Vol 05 No 01 April 2020

e-ISSN: 2502-7573 p-ISSN: 2502-8960

Open Acces at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ActaComitas

Sanksi Terhadap Penerima Fidusia Yang Tidak Menghapuskan Jaminan Fidusia Elektronik

I Putu Budi Arta Yama1

1Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: arta_yama@yahoo.co.id

Info Artikel

Masuk : 28 Oktober 2019

Diterima : 30 Oktober 2019

Terbit : 30 April 2020

Keywords :

Penalty; Fiduciary Recipients;

Fiduciary Guarantees


Kata kunci:

Sanksi; Penerima Fidusia

;Jaminan Fidusia

Corresponding Author:

I Putu Budi Arta Yama, Email: arta_yama@yahoo.co.id

DOI :

10.24843/AC.2020.v05.i01.p12


Abstract

The purpose of carrying out the elimination of related fiduciary guarantees so that objects that are used as fiduciary collateral objects with the debt fiduciary debt paid off, then the object can be re-registered the same fiduciary guarantee. In the regulations regarding Fiduciary Guarantees namely Law Number 42 of 1999 does not regulate sanctions against parties who are given the mandate by statutory regulations to abolish fiduciary guarantees. The purpose of this paper is to analyze the sanctions against those appointed by the laws and regulations that do not abolish electronic fiduciary guarantees and who can eliminate electronic fiduciary guarantees. This study applies a method which is normative legal research and the approach is the statutory approach. The result of this research is that the sanction given is civil sanction, in the form of a claim for compensation which refers to the provisions of Article 1365 of the Civil Code and the party that can carry out the removal of fiduciary guarantees ie is a fiduciary recipient either through his power of attorney or representative, the attorney referred to is a Notary Public.

Abstrak

Tujuan dilaksanakannya penghapusan terkait jaminan yang difidusiakan supaya benda yang dijadikan objek jaminan fidusia dengan telah lunasnya utang pemberi fidusia, maka benda tersebut bisa kembali didaftarkan jaminan fidusia yang sama. Dalam peraturan mengenai Jaminan Fidusia yakni Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tidak mengatur perihal sanksi terhadap pihak yang diberi amanat oleh peraturan perundang-undangan untuk menghapuskan jaminan fidusia. Tujuan penulisan ini yakni bertujuan untuk menganalisis sanksi terhadap pihak yang ditunjuk peraturan perundang-undangan yang tidak menghapuskan jaminan fidusia elektronik dan siapa pihak yang bisa menghapus jaminan fidusia secara elektronik. Penelitian ini menerapkan metode yang penelitian hukum yang bersifat normatif dan pendekatannnya adalah pendekatan perundang-undangan. Dari penelitian ini hasilnya adalah sanksi yang diberikan adalah sanksi perdata, berupa tuntutan ganti kerugian yang mengacu ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata dan pihak yang bisa untuk melakukan penghapusan terhadap jaminan fidusia yaitu adalah penerima fidusia baik melalui kuasa atau wakilnya, kuasanya yang dimaksud adalah Notaris.

  • I.    Pendahuluan

Perkembangan zaman semakin maju mengakibatkan kebutuhan manusia meningkat. Begitu juga kebutuhan akan tambahan dana atau modal usaha juga semakin meningkat terutama bagi pengusaha yang ingin memperbesar atau meingkatkan usahanya. Ketika seseorang membutuhkan dana atau modal usaha lebih dapat dilakukan dengan mengajukan suatu kredit terhadap lembaga keuangan. Salah satu cara agar mendapatkan fasilitas kredit dengan melakukan fidusia. Sebelum suatu benda dapat dijadikan jaminan dalam perjanjian fidusia, pihak kreditur menerapkan prinsip 5 C yaitu character atau karakter; capacity atau kemampuan; capital atau modal; collateral atau jaminan; dan condition atau kondisi. Prinsip character atau karakter mempunyai makna bahwa pihak kreditur harus mengetahui tentang bagaimana karakter atau latar belakang dari calon debitur. Capacity atau kapasitas yaitu kemampuan dari calon debitur untuk membayar kreditnya. Capital atau modal yakni modal yang dimiliki oleh calon debitur secara khusus untuk keperluan usaha atau bisnisnya. Collateral atau jaminan memiliki makna bahwa jaminan yang diberikan oleh calon debitur kepada kreditur saat akan mengajukan kredit. Condition atau kondisi yaitu suatu kondisi perekonomian yang baik terhadap usaha yang dimiliki oleh calon debitur. Setelah persyaratan 5 C tersebut diatas telah terpenuhi, maka pihak kreditur dapat mengeluarkan fasilitas kredit. Menurut Kitab Undang-Udang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata) terdapat pengelompokan barang atau benda yang diatur dalam Buku Kedua. Pengaturan tentang pengelompokkan barang atau benda terdapat dalam Pasal 504 KUHPerdata yang membedakan barang atau benda menjadi benda bergerak dan benda tidak bergerak. Pasal 506 KUHPerdata secara tegas mengatur bahwa benda tidak bergerak terdiri atas tanah pekarangan dan apa yang didirikan diatasnya. Penjelasan mengenai benda bergerak terdapat dalam Pasal 509 KUHPerdata yaitu benda bergerak adalah barang yang dapat berpindah sendiri atau dipindahkan, contohnya yaitu mobil dan sepeda motor. Perjanjian fidusia yang dilakukan tentu harus sesuai dengan peraturan yang berlaku. Berdasar atas segala peraturan yang mengatur tentang jaminan fidusia, bahwa objek jaminan fidusia adalah berupa benda bergerak. Hal itu berarti hanya benda yang termasuk benda bergerak saja yang dapat dibebankan dengan fidusia.

Menurut ketentuan yang mengatur perihal Jaminan Fidusia yakni Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 (selanjutnya disebut UU Fidusia) dalam Pasal 1 angka 1, yang mengatur yakni fidusia dijelaskan sebagai hak kepemilikan terhadap benda yang dialihkan atas dasar saling percaya atau berdasar kepercayaan, yang mana dasar ketentuannya yaitu hak kepemilikan bagi benda tersebut yang dialihkan berada tetap dikuasai oleh pemilik benda. Berdasarkan peraturan perihal cara untuk mendaftarkan jaminan yang difidusiakan yang secara khusus diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2015 (selanjutnya disebut PP Fidusia) diatur secara tegas pada Pasal 1 angka 1 mengatur jaminan fidusia merupakan hak jaminan terhadap benda-benda yang termasuk sebagai benda bergerak, baik benda tersebut benda bergerak yang berwujud maupun tidak berwujud, begitu juga benda jaminan berupa benda tidak bergerak yang menurut Undang-Undang Hak Tanggungan yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tidak bisa dibebankan Hak Tanggungan, sebagai jaminan pelunasan utang pemberi fidusia, yang memberi kedudukan utama terhadap penerima fidusia dibandingkan dengan kreditor lain, yang mana pemilik jaminan fidusia tersebut tetap menguasainya.

Fidusia sangat diminati di masyarkat dikarenakan dengan melakukan fidusia jaminannya adalah bukti kepemilikan benda tersebut saja yang diserahkan kepada penerima fidusia, sehingga fisik objek jaminan fidusia tetap dipegang oleh pemberi fidusia.1 Misalnya objek benda bergerak tersebut adalah sepeda motor, yang diserahkan oleh pemberi fidusia adalah bukti kepemilikan sepeda motor tersebut yaitu Bukti Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) saja, sedangkan fisik motornya tetap dikuasai oleh pemberi fidusia. Hal ini tentu akan memberikan keuntungan terhadap pemberi fidusia, karena benda fisik motor dalam penguasaan pemberi fidusia dan dapat digunakan oleh pemberi fidusia.

Pendaftaran fidusia wajib dilakukan berdasarkan atas pengaturan dalam Pasal 11 UU Fidusia. Selain itu pendaftaran jaminan yang akan difidusiakan wajib dilakukan pada Kantor Pendaftaran Fidusia (selanjutnya disebut KPF). Ketentuan mengenai pendaftaran fidusia secara eksplisit diatur pada Pasal 11 dan sampai pada Pasal 18 UU Fidusia. Berdasarkan ketentuan UU Fidusia pada Pasal 5 ayat (1) menentukan diperlukannya akta jaminan fidusia yang dibuat berlandaskan akta Notaris berbahasa Indonesia sebagai awal untuk benda atau objek yang akan dibebankan dengan jaminan fidusia. Dari ketentuan diatas, dapat dikatakan Notaris mempunyai peranan sangat penting pada saat proses pembebanan objek jaminan fidusia, karena UU Fidusia mensyaratkan adanya akta Notaris saat proses pembebanan jaminan fidusia. Sehingga kontribusi dari Notaris sangat besar, dimulai dari pendaftaran sampai dengan dicetaknya Sertifikat Jaminan Fidusia (selanjutnya disebut SJF). Manfaat bagi para pihak dengan adanya akta yang dibuat Notaris yakni sebagai akta jaminan fidusia. Akta jaminan fidusia sebagai alat bukti kuat apabila adanya pihak melakukan wanprestasi atau melanggar janji yang menyebabkan timbulnya kerugian bagi salah satu pihak.2 UU Fidusia menentukan proses pendafataran selebihnya diatur kembali dalam peraturan pemerintah. Sejalan dengan hal itu, sesuai dengan Pasal 2 ayat (2) PP Fidusia, ditegaskan adanya perubahan dari konvensional kearah modern atau elektronik, yakni pendaftaran fidusia dilakukan secara elektronik. Berdasarkan ketentuan tersebut, dari sanalah muncul bahwa pendafataran fidusia wajib dilakukan secara elektronik.

Berdasarkan PP Fidusia, ditentukan tata cara pendaftara fidusia yang tercantum dalam Pasal 3, yaitu permohonan pendaftaran dilakukan penerima fidusia, baik melalui wakil atau kuasanya yang diajukan kepada Menteri yang dilakukan secara elektronik. Pendaftaran tersebut harus memuat identitas dari para pihak, tanggal, akta pendaftaran jaminan fidusia, tempat dan kedudukan Notaris, nilai besaran penjaminan, nilai dari benda yang dijadikan objek jaminan. Kemudian setelah persyaratan tersebut terpenuhi maka akan memperoleh bukti pendaftaran, selanjutnya akan melakukan pembayaran melalui bank dan setelah itu akan dilakukan pencatatan secara elektronik. Pencatatan dilakukan dalam pangkalan data KPF.

Berdasarkan Peraturan Menteri dibidang Hukum dan Hak Asasi Manusia mengeluarkan ketentuan mengenai pendaftaran jaminan yang difidusiakan yang awalnya dilakukan secara konvensional berubah menjadi elektronik yakni Nomor 9 Tahun 2013 (selanjutnya disebut Permenkumham 2013) yang secara umum menentukan bahwa diberlakukannya dengan elektronik ketika pendaftaran jaminan fidusia. Perihal yang tercantum pada Permenkumham 2013 tersebut adalah bahwa dalam proses pendaftaran, baik pendaftaran permohonan, perubahan, dan juga melalui elektronik untuk penghapusan jaminan fidusia.

Hapusnya jaminan fidusia, berdasar atas ketentuan yang diatur pada UU Fidusia yang secara tegas termuat pada Pasal 25 ayat (1), disebabkan hal-hal berikut yakni utang debitor yang dijamin fidusia itu sudah hapus; disebabkan pula karena benda jaminan tersebut telah musnah; atau hak jaminan fidusia yang haknya telah dilepas oleh penerima fidusia. Oleh karena hal itu, jaminan fidusia wajib dilakukan penghapusan, hal ini mengacu Pasal 16 ayat (2) PP Fidusia. Sehingga dari ketentuan tersebut, maka wajib dilakukannya penghapusan secara elektronik oleh penerima fidusia.

Penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini, dilakukan oleh Nurita Nerrisa Wijaya pada tahun 2016, menunjukkan bahwa ketentuan Pasal-Pasal UU Fidusia maupun PP Fidusia tidak termuat sanksi bagi pihak yang tidak menghapuskan jaminan fidusia yang telah didaftarkan sebelumnya yang telah diwajibkan oleh peraturan yang berlaku untuk dihapus. Penghapusan jaminan fidusia yang dilakukan dengan cara elektronik tentu mempunyai dampak atau akibat hukum terhadap pemberi fidusia. Menurut uraian yang diatur PP Fidusia, secara tegas telah diatur pada Pasal 17 ayat (2) mengatur apabila tidak dihapuskannya jaminan fidusia dengan cara elektronik tersebut, maka benda tersebut tidak dapat didaftarkan untuk dijaminkan kembali. Hal ini dikarenakan, sebelum adanya penghapusan yang diwajibkan PP Fidusia dengan cara elektronik tersebut, maka jaminan fidusia dianggap tetap sebagai jaminan fidusia serta berakibat tidak bisa kembali untuk dijaminkan.3

Sehingga dari kasus tersebut mengenai tidak dihapuskannya jaminan fidusia secara elektronik, maka penulisan ini bertujuan untuk menganalisis dan memahami permasalahan mengenai tanggungjawab pihak penerima fidusia jika tidak menghapus jaminan fidusia dalam fidusia elektronik dan siapa saja pihak yang dapat untuk menghapus dengan cara elektronik terhadap jaminan fidusia.

  • 2.    Metode Penelitian

Sifat dari penelitian yang dilakukan adalah penelitian bersifat normatif karena fokus kajian bermula dari kekosongan norma. Jenis pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach) dikarenakan penelitian ini meneliti peraturan perundang-undangan yang mempunyai hubungan dengan masalah-masalah dalam penelitian. Sumber bahan hukum dalam penelitian yaitu diperoleh melalui data sekunder dengan dilakukan melalui kepustakaan (library research). Selain

itu, terdapat teknik deskripsi guna menganalisis bahan-bahan hukum. Dalam teknik tersebut, kondisi hukum ataupun suatu peristiwa-peristiwa hukum dipaparkan oleh peneliti secara faktual.4

  • 3.    Hasil Dan Pembahasan

    • 3.1 . Sanksi Terhadap Pihak Yang Tidak Melakukan Penghapusan Jaminan Fidusia Dalam Fidusia Elektronik

Fiducie adalah istilah dari fidusia dalam kosakata bahasa Belanda, begitu pula fiduciary transfer of ownership adalah istilah fidusia dalam bahasa Inggris, yang mempunyai makna percaya atau saling percaya. Dapat dikatakan bahwa fidusia berarti kepercayaan sebagai landasan dari hak milik yang diserahkan.5 Dialihkannya hak dari benda dalam fidusia dengan didasari saling percaya, yang hak kepemilikannya dari pengalihan atas benda itu pemilik benda yang tetap menguasai. Artinya benda yang akan dialihkan haknya, tetap dikuasai oleh pemilik. Jaminan fidusia merupakan hak jaminan terhadap objek fidusia yakni benda bergerak berwujud dan benda yang bergerak tidak berwujud serta benda tidak bergerak yang dikecualikan UU Hak Tanggungan, yang dijadikan agunan untuk pelunasan utang Pemberi Fidusia, serta adanya pengutamaan pelunasan terhadap kreditor lainnya.

Objek jaminan fidusia dapat dikategorikan sebagai benda yang bergerak dan yang tidak bergerak. Benda bergerak tersebut dapat berwujud atau benda bergerak yang tidak berwujud, sedangkan benda yang dijaminkan dengan fidusia berupa benda kategori tidak bergerak berupa bangunan yang mendapat pengecualian untuk dijadikan objek hak tanggungan.6 Contoh dari benda bergerak berwujud adalah motor, mobil, perhiasan. Contoh benda yang termasuk bergerak yang tidak berwujud yakni, saham-saham atau piutang lainnya. Benda tidak bergerak contohnya bangunan-bangunan dikecualikan untuk didaftarkan Hak Tanggungan. Pada prinsipnya dalam fidusia, benda yang dijaminkan dengan fidusia tetap dikuasai pemilik benda, hanya bukti kepemilikan benda saja yang diserahkan kepada Penerima Fidusia.

UU Fidusia menejlaskan makna dari jaminan fidusia yang tercantum dalam ketentuan Pasal 1 angka 2, dalam pasal tersebut dijelaskan secara tegas makna jaminan fidusia. Isi pasal tersebut adalah hak untuk menjaminkan benda-benda yang memenuhi kualifikasi sebagai objek fidusia, yaitu berupa benda bergerak terdiri atas benda berwujud ataupun tidak berwujud, termasuk pula benda yang tidak bergerak yang berbentuk bangunan yang mendapat pengecualian sebagai objek Hak Tanggungan, sehingga benda-benda yang telah memenuhi kualifikasi dijadikan agunan untuk melunasi utang dari debitor, dan kedudukan kreditor atau penerima fidusia diutamakan dari kreditor lain, serta objek dikuasai tetap oleh pemiliknnya. Jika dipaparkan unsur-unsur yang ada pada jaminan fidusia yakni adanya hak untuk

menjaminkan; ada jenis atau kualifikasi benda objek jaminan fidusia; objek yang dijadikan jaminan tetap dikuasai pemiliknya; dan kedudukan kreditor mempunyai kedudukan yang utama. UU Fidusia menentukan bahwa adanya kewajiban untuk didaftarkannya jaminan fidusia, yang mana pendaftaran itu dilakukan di KPF, dilakukan oleh pihak kreditor atau Penerima fidusia, baik melalui kuasa atau melalui wakilnya. Sejalan dengan hal diatas, maka ketentuan UU Fidusia yakni Pasal 5 ayat (1) menentukan diperlukannya akta Notaris berbahasa Indonesia dalam proses pembebanan benda yang nantinya sebagai akta jaminan fidusia.

Alasan-alasan penyebab hapusnya jaminan fidusia karena tiga hal sesuai dengan peraturan yang mengatur fidusia, UU Fidusia yakni pada Pasal 25 ayat (1), hapusnya fidusia disebabkan:

  • a.    utang yang dijamin fidusia telah hapus;

  • b.    benda yang dijaminkan fidusia itu musnah; atau

  • c.    pelapasan hak jaminan oleh penerima fidusia.

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut diatas, secara tegas mengatur hal-hal penyebab menjadi hapusnya fidusia, yakni disebabkan utang debitor telah hapus, atau dengan kata lain piutang kreditor telah dibayarkan, kemudian objek jaminan itu musnah, serta adanya pelepasan hak jaminan dari benda oleh kreditor. Setelah jaminan fidusia itu hapus, tentu ada proses selanjutnya yang dilakukan oleh pihak penerima fidusia, salah satu kewajibannya adalah dilakukan penghapusan. Penghapusan dilakukan dengan cara elektronik untuk menghapus jaminan fidusia. Berdasar atas ketentuan yang diatur UU Fidusia yakni dalam Pasal 25 ayat (3) yang mengatur untuk adanya pemberitahuan ke Kantor Pendaftaran Fidusia dengan disertai alasan-alasan hapusnya fidusia yang dilakukan kreditor. Setelah adanya pemberitahuan ke KPF tersebut, maka surat keterangan diterbitkan yang berisikan pernyataan tidak lagi berlaku SJF tersebut.

Penghapusan jaminan fidusia wajib dilakukan berdasarkan ketentuan yang diatur PP Fidusia, yakni Pasal 16 ayat (2) yang mengatur bahwa penerima fidusia berkewajiban, baik melalui kuasa, bisa juga melalui wakilnya, dengan batasan waktu maksimal empat belas hari semenjak tanggal fidusia itu hapus untuk diberitahukan kepada Menteri. Sehingga dari ketentuan tersebut, maka wajib bagi penerima fidusia untuk melakukan penghapusan secara elektronik. Adapun pengertian dari penerima fidusia yaitu orang perseorangan yakni individu atau manusia maupun juga berbentuk sebuah korporasi atau perusahaan yang pembayarannya piutangnya dijamin menggunakan jaminan fidusia. Adapun piutang yang dimaksud adalah hak dalam hal untuk menerima pembayaran. Pihak yang dapat melakukan pengahpusan adalah Notaris. Notaris mendapatkan hak akses untuk mengakses atau login dalam laman web www.fidusia.ahu.go.id. Notaris disini bertindak sebagai kuasa dari kreditor. Jika jaminan fidusia itu telah hapus, baik karena pelepasan utang, atau hapusnya karena pelepasan hak, maupun karena objek itu musnah, maka harus dilakukan penghapusan dengan elektronik, namun jika kreditor tidak menghapus maka seharusnya diberikan sanksi.

Jaminan fidusia yang dihapuskan sangat berkaitan dengan perlindungan hukum serta kepastian hukum terhadap pihak pemberi fidusia. Ketika perjanjian pokok itu telah berakhir, maka perjanjian jaminan fidusia sebagai perjanjian ikutan atau tambahan ikut

hapus pula, namun tidak cukup sampai disana, harus ada kepastian hukumnya, yakni adanya penghapusan secara elektronik terhadap jaminan fidusia tersebut.7 Berdasarkan ketentuan yang berlaku dalam UU Fidusia terdapat adanya perlindungan secara hukum untuk para pihak yang ada dalam perjanjian fidusia yakni perlindungan terhadap pemberi fidusia, kemudian penerima fidusia serta pula pihak yang terkait atau ketiga yang terlibat. Terhadap pihak pemberi fidusia atau debitor perlindungan hukumnya yaitu debitor mendapatkan hak penguasaan atau pemakaian objek yang dijaminkan dengan fidusia. Kemudian untuk kreditor yakni menguasai bukti kepemilikan benda tersebut. Ketika debitor melakukan tindakan wanprestasi atau melanggar ketentuan dari perjanjian yang telah dibuat, maka tidak akan merubah status kepemilikan benda jaminan, karena dalam perjanjian jaminan fidusia tidak dibenarkan dibuatkan perjanjian yang menyatakan beralihnya stastus kepemilikan akibat pemberi fidusia yang wanprestasi. Berdasarkan atas ketentuan yang diatur dalam UU Fidusia untuk penerima fidusia, diberikan hak preferen terhadap piutangnya, yakni hak yang diutamakan dalam hal terjadinya eksekusi terhadap objek jaminan. Untuk pihak terkait, sesuai dengan UU Fidusia, diberikannya asas publisitas, yakni diumumkannya kepada publik mengenai benda yang dijaminkan dengan fidusia. Pihak ketiga bisa mengetahui mengenai informasi terhadap benda yang difidusiakan.8

Menurut UU Fidusia pada Pasal 4 menentukan perjanjian jaminan fidusia termasuk perjanjian tambahan dari perjanjian pokoknya. Dimana perjanjian pokoknya itu adalah perjanjian utang piutang, yang mana perjanjian ikutan ini bergantung dari perjanjian pokoknya. Artinya jika tidak ada perjanjian pokok, tidak akan ada perjanjian ikutan ini. Berdasarkan syarat batal dalam Pasal 1265 KUHPerdata yang menentukan: jika syarat telah dipenuhi, menyebabkan berhentinya perikatan, serta pula membawa akibat kembalinya segala hal menjadi seperti keadaan awal, maka seolah-olah atau dianggap tidak pernah adanya perikatan itu. Dari ketentuan Pasal 1265 KUH Perdata tersebut dapat dimaknai bahwa jika persayaratan dalam hapusnya fidusia terpenuhi, misalnya dilunasi utang oleh debitor, maka secara langsung akan mengembalikan hak kepemilikan kepada pemberi fidusia.9

Sifat serta hakekat sanksi secara umum dibedakan menjadi sanksi bersifat positif dan yang bersifat negatif. Sanksi positif yakni sanksi yang diberi dalam bentuk imbalan, sedangkan sanksi negative diberi dalam bentuk berupa hukuman. Sanksi diartikan sebagai sanksi negatif, yakni akibat yang terjadi dari penyimpangan atau pelanggaran terhadap suatu aturan yang ada di masyarakat. Sanksi bisa sebagai alat untuk memaksa, selain dari hukuman guna menepati isi atau substansi yang dibuat dalam suatu perjanjian maupun peraturan. Sanksi dapat sebagai alat untuk memaksa seseorang sebagai bentuk sebuah hukuman atau ganjaran jika tidak patuh terhadap isi perjanjian. Pada hakikatnya sanksi diberikan bertuuan untuk menjaga keseimbangan terhadap suatu aturan hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat. Berlakunya

sanksi sebagai bentuk penyadaran jika ada pelanggaran atau penyimpangan. Penyadaran dilakukan terhadap siapapun yang berbuat atau bertindak tidak sesuai dengan peraturan yang ada, yang nantinya yang bersangkutan bertindak sejalan dengan peraturan yang diberlakukan.10

Berdasarkan KUHPerdata diatur pertanggungjawaban dari pihak yang melakukan pelanggaran hukum dan membawa dampak merugikan untuk orang lain. Sejalan dengan hal itu, KUHPerdata yakni pada Pasal 1365 yang mengatur bahwa : setiap orang mempunyai kewajiban mengganti kerugian diakibatkan karena perbuatan melanggar hukum yang berdampak merugikan orang lain. Berdasarkan atas ketentuan diatas, maka apabila salah satu pihah, baik pihak pemberi fidusia atau pihak penerima fidusia karena perbuatannya menyebabkan kerugian bagi orang lain, wajib untuk melakukan penggantian kerugian atas perbuatannya tersebut. Pihak penerima fidusia dan pemberi fidusia harus mentaati aturan hukum yang berlaku, baik dalam UU Fidusia, maupun peraturan pelaksananya. Dalam UU Fidusia sudah diatur bahwa, setelah fidusia itu hapus yang dikarenakan utang telah lunas atau dengan kata lain sudah dilunasinya utang oleh pemberi fidusia, sehingga penerima fidusia atau kreditor wajib untuk dilakukan pemberitahuan ke KPF. Pemberitahuan itu berisikan hal atau alasan-alasan hapusnya jaminan fidusia tersebut, sehingga KPF mengeluarkan surat berisikan keterangan bahwa SFJ yang diberitahukan kepada Kantor Pendaftaran Fidusia dinyatakan sudah tidak lagi berlaku. Jikalau tidak dilakukannya penghapusan dengan cara elektronik itu, maka Pihak pemberi fidusia akan dirugikan, dikarenakan benda jaminan tidak itu bisa kembali untuk didaftarkan. Hal ini membawa kerugikan terhadap pemberi fidusia.

UU Fidusia secara tegas menyatakan penghapusan secara elektronik terhadap jaminan yang difidusiakan wajib oleh pihak penerima fidusia, baik kuasa atau wakilnya. Pihak penerima fidusia, baik melalui kuasa maupun wakilnya tidak menghapuskan jaminan fidusia dengan cara elektronik baik itu karena sengaja maupun karena kelalaian, maka penerima fidusia dapat digugat karena melakukan perbuatan melawan hukum, karena telah mengabaikan ketentuan PP Fidusia Pasal 16 ayat (2) dan juga mengabaikan ketentuan dalam UU Fidusia.11 Berkaitan dengan hal itu, maka yang bertanggung jawab untuk penghapusan tersebut adalah penerima fidusia. Jika tidak dihapus, maka berdasar atas Pasal 1365 KUHPerdata, maka pihak penerima fidusia dapat diminta pertanggungjawaban untuk melakukan penghapusan secara elektronik, jika tetap tidak dilakukan, maka dapat diminta tututan ganti kerugian oleh pihak pemberi fidusia, dikarenakan pihak debitor tidak dapat mendaftarkan kembali. Pasal 1365 KUHPerdata mengatur bahwa: setiap orang mempunyai kewajiban mengganti kerugian diakibatkan karena perbuatan melanggar hukum yang berdampak merugikan orang lain. Adapun unsure-unsur dalam Pasal 1365 KUHPerdata yaitu: adanya perbuatan melawan hukum; adanya kesalahan; adanya kerugian; dan adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dengan perbuatan. Dari unsur-unsur yang diuraikan diatas, pihak penerima fidusia yang tidak menghapuskan jaminan fidusia

secara elektronik dapat dikenakan Pasal 1365 KUHPerdata, karena pihak penerima fidusia melanggar ketentuan yang ada dalam UU Fidusia dan PP Fidusia, dimana penghapusan fidusia elektronik wajib untuk dilakukan, hal itu dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum adalah suatau perbuatan atau tindakan yang dilakukan melanggar ketentuan atau bertentangan dengan hukum yang berlaku. Perbuatan melawan hukum tidak hanya terbatas pada hukum tertulis saja, melainkan pula terhadap hukum yang tidak tertulis. Perbuatan melanggar hukum yaitu sebagai berikut: melanggar ketentuan undang-undang; melanggar hak subjektif orang lain; bertentangan dengan kewajiban hukum dari pelaku; bertentangan dengan kesusialaan; dan bertentangan dengan sikap kehati-hatian yang sepatutnya dalam masyarakat. Kemudian unsur kedua adanya kesalahan, kesalahan dapat dibedakan menjadi kelalaian atau kesengajaan. Jika pihak penerima fidusia tidak melakukan penghapusan secara elektronik dilakukan baik sengaja atau karena kelalaiannya. Unsur adanya kerugian, jika penghapusan fidusia elektronik tidak dilakukan, maka akan berakibat menimbulkan kerugian terhadap pihak pemberi fidusia, karena jaminan tersebut tidak dapat untuk didaftarkan kembali. Unsur yang terakhir yaitu adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dengan perbuatan, kerugian yang diderita oleh pihak pemberi fidusia mempunyai hubungan dengan perbuatan melawan hukum oleh pemberi fidusia yang tidak melakukan penghapusan jaminan fidusia secara elektronik, karena melanggar ketentuan UU Fidusia dan PP Fidusia.

  • 3.2    Pihak Yang Bisa Melakukan Penghapusan Fidusia Elektronik

Pendaftaran maupun penghapusan benda yang dijaminkan dengan fidusia saat ini telah berubah dari konvensiaolan ke elektronik, hal ini ditentukan dalam PP Fidusia. Dengan berlakunya PP Fidusia tersebut, maka segala kegiatan berkaitan dengan fidusia dilakukan secara elektronik. Pihak-pihak yang berperan serta didalam perjanjian fidusia adalah pihak pemberi fidusia dengan pihak penerima fidusia. Berdasarkan Pasal 1 angka 5 UU Fidusia, pemberi fidusia yaitu pemilik benda baik orang perseorangan yakni individu atau manusia serta dapat berbentuk korporasi yang mana benda itu dijadikann objek Jaminan Fidusia. Penerima fidusia sesuai dengan Pasal 1 angka 6 UU Fidusia adalah pemilik sejumlah piutang dimana pelunasannya dijaminkan dengan fidusia, baik orang perseorangan yakni manusia atau individu serta berbentuk korporasi atau perusahaan. Dari ketentuan tersebut, maka orang perseorangan dapat diartikan sebagai naturlijk person atau individu. Selain itu, korporasi atau perusahaan juga dapat sebagai pihak penerima fidusia misalnya bisa berbentuk perseroan terbatas.

Penghapusan secara elektronik jaminan fidusia dapat dilakukan oleh pihak penerima fidusia, baik kuasa maupun wakilnya. Berdasar atas ketentuan PP Fidusia, yakni dalam Pasal 16 ayat (2), maka ada tindakan wajib dari pihak penerima fidusia, baik melaui wakilnya atau kuasa berkewajiban melakukan penghapusan secara elektronik yang selanjutnya diberitahukan kepada Menteri. Yang dimaksud Menteri dalam PP Fidusia adalah menteri dibidang hukum dan hak asasi manusia. Adapun batas waktu yakni selama 14 (empat belas) hari. Pengajuan kepada Menteri sedikit tidaknya memuat alasan yang mengakibatkan fidusia itu hapus, tanggal hapusnya fidusia, nama serta tempat kedudukan dari Notaris yang ditunjuk, nomor dan tanggal serifikat jaminan fidusia. Sehingga melalui pemberitahuan itu, jaminan fidusia itu akan hapus dari daftar jaminan fidusia serta dikeluarkannya surat keterangan berisikan

penghapusan, didalamnya itu menyebutkan bahwa tidak berlaku lagi sertifikat jaminan fidusia tersebut.

Penjelasan umum Pasal 8 UU Fidusia, menjelaskan mengenai yang dimaksud dengan kuasa atau wakil. Kuasa berdasarkan penjelasan umum Pasal 8 tersebut yakni orang yang mewakili kepentingan dari penerima fidusia pada saat proses menerima jaminan fidusia dari pemberi fidusia berdasarkan atas kuasa khusus. Sementara itu yang dimaksud dengan wakil misalnya wali amanat atau pihak pemegang obligasi, yang mana wakil disini adalah secara hukum pihak ini dianggap sebagai perwakilan atau yang mewakili dalam fidusia.

Berdasarkan PP Fidusia maka penghapusan dilakukan secara elektronik. Kewajiban untuk menghapuskan jaminan fidusia yang diamanatkan oleh PP Fidusia, maka tertentu yang dapat melakukan penghapusan adalah pihak yang mempunyai akses untuk masuk ke sistem elektronik tersebut. Dalam ketentuan UU Fidusia maupun PP Fidusia mengatur bahwa penerima fidusia, baik wakil atau kuasanya berwenang untuk mendaftarkan atau melakukan penghapusan jaminan fidusia. Kuasa yang dimaksud adalah Notaris. Pada saat proses permohonan pendaftaran, permohonan perbaikan, permohonan perubahan serta permohonan pemberitahuan pengahpusan jaminan fidusia adanya peranan Notaris disana. Sebagai contoh adanya keterlibatan Notaris dalam kegiatan pendaftaran jaminan fidusia, yakni sesuai ketentuan UU Fidusia, yang dimuat pada Pasal 5 ayat (1), bahwa wajib ada akta jaminan fidusia, dibuat oleh Notaris menggunakan bahasa Indonesia. Benda yang dibebankan menggunakan jaminan fidusia diharuskan dibuatkan dalam akta Notaris. Begitu pula dalam proses penghapusan jaminan fidusia yang dapat melakukannya adalah Notaris, karena Notaris yang mempunyai akses didalam hal melakukan penghapusan jaminan fidusia, yang mana Notaris ditunjuk sebagai kuasa untuk penerima fidusia. Pihak yang bisa untuk menghapuskan yakni pihak penerima fidusia itu sendiri. Pihak penerima fidusia bisa bertindak sendiri atau dilakukan oleh kuasa atau wakilnya. Jika penerima fidusia merupakan orang perseorangan atau individu atau pula berbentuk korporasi maka dia dapat melakukan penghapusan dengan persyaratan harus mempunyai akses untuk bisa melakukan kegiatan penghapusan secara elektronik tersebut. Pihak penerima fidusia dapat menunjuk Notaris sebagai kuasa. Adapun proses dalam hal penghapusan jaminan fidusia melalui Notaris yakni diterimanya surat keterangan utang pokok lunas, kemudian adanya surat pengajuan untuk dilakukannya penghapusan jaminan fidusia, serta Notaris menerima SJF. Setelah Notaris menerima kesemua dokumen-dokumen itu, maka Notaris dapat melakukan penghapusan secara elektronik melalui sistem aplikasi fidusia elektronik. Notaris masuk ke aplikasi tersebut dengan memasukkan username dan password Notaris sendiri. Setelah masuk dalam aplikasi itu, maka menu yang dipilih oleh Notaris adalah penghapusan data. Maka pada hari dimana dilakukannya penghapusan, penghapusan sertifikat jaminan fidusia dapat dicetak.12 Jadi dari uraian diatas, yang bisa untuk menghapuskan jaminan fidusia secara elektronik yaitu pihak penerima fidusia, baik melalui kuasa atau wakilnya, kuasa yang dimaksud adalah Pihak Notaris.

  • 4.    Kesimpulan

Penghapusan jaminan fidusia wajib dilakukan ketika salah satu alasan hapusnya fidusia terpenuhi, yang penghapusannya dilakukan secara elektronik. Jika penerima fidusia tidak menghapus jaminan fidusia, maka pihak pemberi fidusia dapat meminta tanggungjawab dari pihak penerima fidusia yang berpedoman dalam ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata yang mewajibkan adanya pertanggungjawaban ganti kerugian, dikarenakan pihak pemberi fidusia dirugikan diakibatkan karena objek fidusia itu tidak lagi bisa kembali dijaminkan untuk jaminan fidusia yang tidak dihapuskan tersebut. Pihak-pihak yang bisa menghapuskan jaminan fidusia yakni pihak penerima fidusia. Pihak penerima fidusia baik perorangan maupun korporasi bisa meminta bantuan kepada Notaris yang ditunjuk sebagai kuasanya.

Daftar Pustaka / Daftar Referensi

Buku:

Adjie, H. (2013). Sanksi Perdata Dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik. Bandung : PT. Refika Aditama. Hlm 90.

Diantha, I. M. P. (2016). Metodologi Penelitian Hukum Normatif dalam Justifikasi Teori Hukum. Jakarta: Prenada Media Group. hlm 152.

Salim, H. (2014). Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada. Hlm 55.

Jurnal:

Adawiyah Nasution, S. H., & Kn, M. (2018). Pelunasan Hutang Terhadap Jaminan Fidusia. Jurnal Hukum Kaidah: Media Komunikasi dan Informasi Hukum dan Masyarakat, 17(3).

Diana, F., Rasyid, M. N., & Azhari, A. (2017). Kajian Yuridis Pelaksanaan Penghapusan Jaminan Fidusia Secara Elektronik. Syiah Kuala Law Journal, 1(2), 37-52.

Felisa, A. (2018). FUNGSI NOTARIS DALAM PENGHAPUSAN JAMINAN FIDUSIA SECARA ELEKTRONIK. JURNAL MEDIA HUKUM DAN PERADILAN, 4(2), 18-34.

Gotama, V. (2019). Penghapusan Jaminan Fidusia Online Studi empiris di Kabupaten Badung. Acta Comitas : Jurnal Hukum Kenotariatan, 4(2), 308-315.

Meiyudianti, N. (2018). AKIBAT HUKUM KELALAIAN KREDITUR DALAM MELAKUKAN ROYA ATAS JAMINAN FIDUSIA. Jurnal Pro Hukum: Jurnal Penelitian Bidang Hukum Universitas Gresik, 7(2).

Siregar, S. H. (2019). MANFAAT AKTA JAMINAN FIDUSIA BAGI KONSUMEN (DEBITUR). Al-Iqtishadiyah: Ekonomi Syariah dan Hukum Ekonomi Syariah, 4(2), 150-159.

Sukariyanti, D. (2019). PERLINDUNGAN HUKUM BAGI DEBITUR ATAS KELALAIAN KREDITUR MELAKUKAN ROYA JAMINAN FIDUSIA. Jurnal Komunikasi Hukum (JKH), 5(2), 117-125.

Wijaya, Y. N. (2016). Perlindungan Hukum Bagi Debitur Jika Penghapusan Jaminan Fidusia Tidak Dilaksanakan Oleh Kreditur. Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum.

Peraturan Perundang-Undangan:

Kitab Undang-Udang Hukum Perdata. Diterjemahkan dari Burgerlijk Wetboek (BW) oleh Soedharyo Soimin, 2012, Sinar Grafika, Jakarta.

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889).

Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia Dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 80, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5691).

149