Jurnal Psikologi Udayana

Edisi Khusus Kesehatan Mental, 79-88

Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana e-ISSN: 2654 4024; p-ISSN: 2354 5607

Perbedaan regulasi diri ditinjau dari urutan kelahiran dan jenis kelamin remaja Bali

Ni Ketut Gita Karina dan Yohanes Kartika Herdiyanto

Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana

[email protected]


Abstrak

Regulasi diri sebagai kemampuan individu untuk mengendalikan pikiran, perilaku dan emosi penting dimiliki oleh remaja untuk menghadapi berbagai perubahan dalam kehidupannya. Pola perkembangan perilaku remaja diantaranya dipengaruhi oleh faktor urutan kelahiran, model kecakapan atau ketidakcakapan yang diberi orangtua terhadap remaja, pengaruh lingkungan dan perbedaan budaya. Sistem kekerabatan patrilineal sebagai budaya yang dianut masyarakat Bali tentunya berpengaruh terhadap pengambilan keputusan remaja, dan keputusan tersebut dapat berdampak positif maupun negatif yang bergantung pada pengaturan maupun pengendalian diri remaja itu sendiri, serta dukungan orangorang terdekatnya. Konsep budaya patriarki menimbulkan perbedaan peran sosial yang berbeda terhadap laki-laki maupun perempuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perbedaan regulasi diri pada remaja Bali ditinjau dari jenis kelamin dan urutan kelahiran sebagai salah satu faktor pembentuk kepribadian remaja. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan subjek sejumlah 240 remaja pada rentang usia 17 – 22 tahun dan tengah menempuh pendidikan di salah satu SMAN di Bali yang dipilih dengan menggunakan teknik cluster random sampling. Instrumen penelitian ini adalah skala regulasi diri yang telah diuji validitasnya, dengan reliabilitas 0,901. Metode analisis data menggunakan analisis dua jalur (two way ANOVA) dengan perolehan hasil signifikansi sebesar 0,003 (p<0,05) dengan mean empiris 91,83 lebih besar dibandingkan mean teoretis 77,5, yang artinya terdapat perbedaan regulasi diri ditinjau dari urutan kelahiran dan jenis kelamin remaja Bali dengan taraf regulasi diri remaja Bali yang tergolong tinggi.

Kata kunci: Jenis kelamin, regulasi diri, remaja Bali, urutan kelahiran.

Abstract

Self-regulation as an individual's ability to control thoughts, behaviors and emotions is important for teenagers to cope the changes in their lives. The pattern of adolescent behavioral development is influenced by birth order factors, skill models or incompetence that parents give to teenagers, environmental influences and cultural differences. The patrilineal kinship system as a culture adopted by Balinese society has an effect on teenagers’ decision making, and the decision can have positive and negative impacts that depend on the self-regulation and self-control of teenagers, as well as the support of those closest to them. The concept of patriarchal culture gives rise to different social roles in both men and women. So the aim of this study is to find out how the differences of self-regulation based on birth order and gender differences of Balinese teenagers as one of the factors forming the teenagers personality.

This study uses the quantitative method with 240 teenagers for the subjects, at age of 17-22 years old and is studying in one of public high school in Bali selected by using cluster random sampling technique. Meanwhile, the measurement tool of this study is self-regulation scale which has been tested its validity, with the reliability of 0,901. The data analysis method used is the two way analysis (two way ANOVA) with the result of significance equal to 0,003 (p <0,05) with empirical mean of 91,83 bigger than the theoretical mean of 77,5. The conclusion of this study is that there are differences in self-regulation in terms of birth order and gender of teenagers in Bali and the level of self-regulation level of Balinese teenagers are high.

Keywords: Gender, self-regulation, Balinese teenagers, birth order.


LATAR BELAKANG

Masa remaja merupakan periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa yang melibatkan perubahan biologis, kognitif dan sosioemosional (Santrock, 2007). Berbagai aspek perubahan yang dialami oleh remaja dapat menjadi situasi-situasi krisis dalam kehidupan remaja, Hall (dalam Santrock, 2007) menyebutkan bahwa masa remaja merupakan masa badai dan tekanan akibat jiwa yang penuh dengan gejolak emosi, yaitu masa pergolakan yang dipenuhi konflik sebagai akibat perubahan suasana hati, fisik, kognitif dan psikososial.

Selain harus menghadapi perubahan-perubahan suasana hati, fisik, kognitif, dan psikososial, remaja juga harus menyelesaikan tugas pokoknya, yakni mempersiapkan diri untuk memasuki masa dewasa. Setiap remaja diharapkan dapat mengendalikan dan memiliki pengaturan diri yang baik agar tidak memiliki kesulitan dalam menghadapi berbagai masalah di periode berikutnya (Gunarsa, 2010).

Pada periode transisi tersebut, remaja dituntut untuk mampu menghadapi berbagai perubahan situasi baru yang memengaruhinya. Hurlock (2004) memandang konsekuensi terhadap banyaknya situasi baru pada remaja menimbulkan suatu usaha penyesuaian diri yang melibatkan aspek emosi remaja. Remaja dianggap perlu mengendalikan diri baik terhadap pikiran, perilaku dan emosi dalam berbagai situasi krisis yang dihadapinya. Remaja harus menyadari sifat dasar emosinya dan mampu menempuh strategi-strategi yang dapat digunakan untuk mengelola emosinya (Santrock, 2007). Adapun strategi untuk menyelesaikan masalah baik terhadap berbagai pikiran, perasaan, dan perilaku agar dapat meraih tujuan disebut dengan regulasi diri. Bandura (dalam Slavin, 2011) menegaskan self-regulation atau regulasi diri merupakan kemampuan individu untuk mengendalikan perilaku atas dirinya sendiri.

Ketidakmampuan remaja dalam mengendalikan diri seringkali menimbulkan berbagai perilaku negatif. Fakta menunjukkan tindakan kriminal yang melibatkan remaja mengalami peningkatan kasus di setiap tahunnya (Rudhy, 2012). Badan Pusat Statistik Provinsi Bali (BPS, 2011) mencatat di tahun 2010 terjadi 8.079 kasus dan meningkat sejumlah 8.128 kasus tindak pidana di tahun 2011 dengan dominasi laki-laki kelompok umur 15 tahun ke atas.

Data dari Kepolisian Resor Kota Denpasar, menunjukkan kasus kenakalan remaja di Denpasar pada tahun 2013-2014 terus meningkat. Selama setahun terakhir di tahun 2013 angka kejahatan pada kalangan remaja sejumlah 14 kasus dengan jenis kejahatan yang dilakukan seperti persetubuhan, pencabulan, penganiayaan, pencurian dan pengeroyokan (Pandhi dalam Nathalia, 2015). Fakta lain menunjukkan, Bimbingan Klien Anak Balai Permasyarakatan Kelas I Denpasar mencatat di tahun 2012-2014 tindak pidana tertinggi dilakukan oleh remaja sejumlah 51 kasus (Tribun, 2014). Rendahnya pengendalian diri remaja tidak hanya menyebabkan meningkatkan kenakalan pada remaja, namun juga nampak pada remaja depresi yang dapat menyebabkan meningkatnya kasus bunuh diri pada remaja di Bali. Kasus

bunuh diri remaja mencapai 14% dari angka kejadian bunuh diri di Bali (Sukiswanti, 2015).

Tingginya kasus negatif di kalangan remaja Bali merujuk pada rendahnya regulasi diri remaja itu sendiri. Regulasi diri penting dimiliki remaja dalam membantu perkembangannya, karena regulasi diri merupakan kemampuan seseorang untuk mengendalikan keadaan lingkungan dan impuls emosional yang sekiranya dapat mengganggu perkembangan seseorang (Cervone & Pervin, 2010). Cervone dan Pervin (2010) menambahkan regulasi diri merupakan motivasi internal yang berakibat pada munculnya keinginan seseorang untuk menentukan tujuan-tujuan dalam hidupnya, dengan merencanakan strategi yang akan digunakan serta mengevaluasi dan memodifikasi perilaku yang akan dilakukannya.

Mengingat bahwa masa remaja merupakan masa yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya, maka keluarga sebagai lingkungan sosial utama remaja tentunya juga berpengaruh dalam proses pembentukan perilaku remaja. Fakta menunjukkan 163 remaja di Pekanbaru memperoleh pengaruh positif dari keluarga sejumlah 12,7% yang memengaruhi regulasi diri remaja (Herawaty & Wulan, 2013). Hal ini didukung oleh Santrock (2007) yang mengatakan bahwa keluarga mempunyai pengaruh yang cukup besar bagi perkembangan remaja, karena keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang meletakkan dasar-dasar kepribadian remaja. Orangtua memberikan peran, sikap dan perlakuan yang spesifik pada remaja berdasarkan urutan kelahiran remaja dalam keluarga.

Sejalan dengan yang dikemukakan oleh Hurlock (1978), urutan kelahiran seorang remaja dalam sebuah keluarga mempunyai pengaruh mendasar terhadap perkembangan remaja dan dapat menjadi pertimbangan untuk menggambarkan perilaku remaja. Hal ini juga didukung oleh Adler (dalam Erford, 2015) menyatakan bahwa kepribadian dipandang luas dan terbuka, tidak hanya keseluruhan tetapi juga interaksi individu dengan sosialnya, yang mencakup gaya hidup seseorang, minat sosial, inferioritas dan superioritas serta urutan kelahiran. Berdasarkan pernyataan Adler tersebut, urutan kelahiran dapat memberi pengaruh pada kemampuan remaja dalam berhubungan dengan sosialnya dan perkembangan gaya hidupnya.

Adler (dalam Feist & Feist, 2013) membagi urutan kelahiran menjadi empat diantaranya anak tunggal, anak sulung, anak tengah dan anak bungsu. Berdasarkan urutan kelahiran seseorang memunculkan sifat positif dan sifat negatif yang berbeda. Adler (1931) menyatakan sifat positif anak sulung yakni merawat dan melindungi orang lain, namun sifat negatif anak sulung diantaranya memiliki kecemasan yang tinggi, perasaan berkuasa yang berlebihan, rasa permusuhan secara tidak sadar, berjuang untuk mendapat pengakuan dan tidak dapat bekerja sama. Sifat positif anak tengah bermotivasi tinggi, dapat bekerjasama dan memiliki daya saing yang cukup, serta dalam sifat negatif anak tengah mudah berkecil hati dengan daya saing yang cukup tinggi. Sifat positif anak bungsu yakni memiliki ambisi yang realistis sedangkan sifat negatif anak bungsu cenderung manja, bergantung pada orang

lain dan terkadang ambisi yang tidak realistis. Serta sifat positif anak tunggal yakni matang secara sosial, dan sifat negatif anak tunggal diantaranya yaitu perasaan superior yang berlebihan, sifat kerja yang rendah, harga diri yang tinggi dan cara hidup yang manja.

Perbedaan kepribadian remaja berdasarkan urutan kelahiran ini didukung dengan adanya penelitian oleh Setyapramesti (2016) pada 29 anak tunggal, 27 anak sulung, 26 anak tengah dan 26 anak bungsu di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 7 Yogyakarta yang menunjukkan adanya perbedaan konsep diri ditinjau dari urutan kelahiran. Anak sulung memiliki konsep diri tertinggi kemudian anak bungsu, diikuti oleh anak tengah kemudian terakhir anak tunggal (Setyapramesti, 2016).

Selain itu urutan kelahiran bukan hanya sekedar nomor urut, namun berkaitan dengan reaksi-reaksi psikologis terhadap urutan kelahiran dalam keluarga yang mampu membentuk persepsi, pengalaman dan kepribadian (Adler dalam Erford, 2015). Dalam kehidupan sehari-hari ditemukan orangtua memberikan perbedaan perlakuan terhadap putra-putrinya berdasar urutan kelahiran, namun seringkali orangtua dalam praktik pengasuhannya juga mengikuti cara-cara yang dilakukan oleh masyarakat. Kebiasaan-kebiasaan masyarakat sekitar dianggap berhasil dan mampu mendidik remaja ke arah kematangan (Edwards, 2006), sehingga kebiasaan yang dianut dalam masyarakat atau kebudayaan masyarakat memberi pengaruh pada setiap orangtua dalam memberikan pengasuhan terhadap remaja (Azwar, 2000).

Menurut Holleman dan Koentjaraningrat (dalam Sudarta, 2006), masyarakat Bali dalam budayanya menganut sistem kekerabatan patrilineal, yakni pola tradisional yang dicirikan diantaranya sebagai berikut: (1) hubungan kekerabatan diperhitungkan melalui garis keturunan ayah, anak-anak mejadi hak ayah; (2) harta keluarga atau kekayaan orangtua diwariskan melalui garis pria; (3) pengantin baru hidup menetap pada pusat kediaman kerabat suami (adat patrilokal); (4) pria mempunyai kedudukan yang tinggi dalam kehidupan masyarakat; dengan perkataan lain, wanita yang telah menikah dianggap memutuskan hubungan dengan keluarganya sendiri, tanpa hak berpindah ke dalam keluarga suaminya dan tidak akan memiliki hak-hak dan harta benda.

Gambaran ciri-ciri diatas sejalan dengan Bawa (1989) yakni budaya patriarki sebagai konsep bahwa pria memiliki kedudukan lebih tinggi dibadingkan kaum wanita dalam semua dimensi. Hal ini berdampak adanya perbedaan perlakuan maupun pengharapan orangtua kepada anak-anaknya. Orangtua dalam pengasuhannya cenderung memberi perlakuan yang menguntungkan pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan.

Sistem kekerabatan patrilineal di Bali, khususnya yang beragama Hindu beranggapan bahwa anak laki-laki yang mampu mengurus dan meneruskan swadharma (tanggung jawab) dalam keluarga, sehingga laki-laki memiliki wewenang dalam pewarisan maupun meneruskan keturunan. Perempuan dianggap tidak mungkin meneruskan swadharma karena ketika menikah dirinya akan meninggalkan keluarga asalnya

sekaligus tanggung jawab di keluarga maka dianggap tidak berhak atas hak waris keluarga (Bali Sruti, 2011). Hal ini sejalan dengan pendapat Adler (dalam Siregar, 2011) dalam posisinya masing-masing setiap anak mempunyai tanggung jawab dan konsekuensi yang berbeda, hal tersebut dapat disebabkan oleh kebudayaan maupun sikap orangtua. Seseorang mengalami tekanan untuk mengembangkan suatu pola kepribadian sesuai dengan standar yang ditentukan budayanya.

Selain itu, Hurlock (dalam Khoirunnisa, 2016) menyebutkan bahwa budaya masyarakat dapat menentukan pengaruh urutan kelahiran terhadap seseorang. Budaya Bali dengan sistem tata nama orang Bali yakni pemberian nama atau penamaan kepada setiap anak sesuai dengan urutan kelahirannya. Antara (2012) menjelaskan anak di Bali mempunyai urutan penamaan hingga anak keempat, diantaranya: anak pertama dimulai dari penggunaan nama Gede yang artinya besar, atau Wayan berarti wayah yang artinya tua, atau Putu berarti anak maupun Luh untuk anak perempuan. Anak kedua diberi nama Made berasal dari kata madya yang artinya tengah dengan sapaannya sering disebut dengan Kadek. Anak ketiga diberikan nama Komang atau Nyoman berasal dari kata anom yang artinya muda, sedangkan anak keempat disebut Ketut berasal dari kata kitut yang artinya ekor.

Melihat sistem kekerabatan patrilineal yang dianut oleh masyarakat Bali, tidak hanya mengakibatkan adanya perbedaan perlakuan orangtua dalam pengasuhan terhadap remaja laki-laki dan remaja perempuan, namun budaya juga secara kompleks memengaruhi pembentukan kepribadian remaja berdasarkan urutan kelahiran di dalam keluarga (Adler dalam Hadibroto, dkk., 2002). Interaksi antara budaya dan peran orangtua sebagai lingkungan sosial mengakibatkan adanya perbedaan praktik pengasuhan orangtua berdasarkan urutan kelahiran dan jenis kelamin remaja memengaruhi pola perkembangan kepribadian remaja selanjutnya. Seligman (2001) menambahkan bahwa budaya dan dukungan orangorang terdekatnya terdekat remaja dapat memberikan pengaruh terhadap regulasi diri remaja.

Berdasarkan pemaparan sebelumnya, yang terkait dengan urutan kelahiran dan jenis kelamin yang dapat memberi pengaruh terhadap pembentukan kepribadian remaja Bali, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan regulasi diri ditinjau dari urutan kelahiran dan jenis kelamin pada remaja Bali.

METODE PENELITIAN

Variabel dan Definisi Operasional

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah urutan kelahiran dan jenis kelamin, serta variabel tergantung dalam penelitian ini adalah regulasi diri. Definisi operasional dari masing-masing variabel dalam penelitian ini diantaranya sebagai berikut:

Regulasi diri

Regulasi diri didefinisikan sebagai kemampuan individu untuk mengendalikan diri dalam bertindak atau berperilaku menetapkan tujuan yang hendak dicapai, menyadari sifat dasar

emosi dan mengelola emosi diri, mengawasi serta mengevaluasi kemajuan yang telah dicapai. Pengukuran dilakukan dengan mempertimbangkan aspek regulasi diri dari teori Bandura yaitu: aspek observasi diri (self- observation) yakni kita melihat diri kita sendiri, perilaku kita, dan menjaganya; aspek keputusan   (judgement)   yakni

membandingkan apa yang dilihat dengan suatu standar; dan aspek respon diri (self-response) yaitu jika kita lebih baik dalam perbandingan dengan standar kita, kita memberi penghargaan pada diri kita sendiri dan apabila tidak lebih baik dari standar kita, kita memberi hukuman pada diri kita sendiri (Bandura dalam Feist & Feist, 2013).

Urutan kelahiran

Menurut Adler (dalam Erford, 2015) urutan kelahiran didefiniskan sebagai urutan posisi tertentu anak dalam keluarga berdasarkan kelahiran yang dapat membentuk pola kepribadian anak.

Pengelompokkan posisi urutan kelahiran sebagai berikut: Pertama, anak sulung disebut anak pertama hingga tiba adiknya (anak kedua) hadir dalam keluarga. Kedua, anak tengah yakni anak kedua, anak ketiga, dan seterusnya yang keberadaannya diantara anak sulung dan anak bungsu. Ketiga, anak bungsu yaitu anak kedua, anak ketiga, atau seterusnya yang tidak memiliki adik lagi. Kelima, anak tunggal yaitu anak satu-satunya dalam keluarga dan tidak memiliki saudara kandung. Urutan kelahiran subjek dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan data identitas dari skala yang diberikan. Jenis kelamin

Jenis kelamin didefinisikan sebagai karakteristik yang khas pada fungsi biologis diantara laki-laki dan perempuan. Laki-laki memproduksi sel sperma dan perempuan memproduksi sel telur. Peran antara laki-laki dan perempuan dibentuk oleh sosial, budaya, adat istiadat, agama serta nilai-nilai di masyarakat, suku bangsa sesuai individu tersebut tinggal. Pada masyarakat patrilineal, laki-laki cenderung menempati posisi dominan dibandingkan perempuan dalam segala dimensi. Laki-laki dipandang maskulin artinya berani, berada di atas dan berkuasa, serta laki-laki dipandang lebih rasional. Sebaliknya, perempuan dipandang pasif dan menerima posisi inferior dalam masyarakat yaitu tidak berdaya dan patuh secara berlebihan, cenderung kurang rasional, emosional atau mudah memahami perasaan orang lain, serta manja dan penakut (Narwoko & Suyanto, 2011). Jenis kelamin subjek dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan data identitas dari skala yang diberikan.

Responden

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pelajar Sekolah Menengah Atas yang tersebar di seluruh kabupaten maupun kota di Bali, sedangkan subjek dalam penelitian ini memiliki karakteristik sebagai berikut:

Karakteristik inklusi

Subjek penelitian merupakan remaja Bali yang berada pada rentang usia 17 – 22 tahun, duduk di bangku SMA/SMK dan/sederajat di Bali, dan memenuhi kriteria anak pada urutan kelahiran baik anak sulung, anak tengah atau anak bungsu serta anak tunggal serta berjenis kelamin laki-laki dan perempuan.

Karakteristik eksklusi

Karaksteristik subjek yang tidak digunakan dalam penelitian ini adalah remaja yang berasal dari luar Bali namun menetap atau tinggal di Bali dan beragama selain Hindu, bekerja namun tetap bersekolah, remaja yang telah bekerja akan dianggap menjadi remaja yang matang, karena menjalankan tugas dan kewajiban sebagai orangtua atau pencari nafkah di keluarga, dan telah menikah (remaja menikah dianggap telah menjalankan tugas maupun kewajiban layaknya orang dewasa).

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada Rabu, 27 September 2017 di SMAN 3 Denpasar, dan sampel yang digunakan adalah seluruh siswa kelas XII SMAN 3 Denpasar.

Alat Ukur

Alat ukur dalam penelitian ini menggunakan skala regulasi diri yang disusun berdasarkan teori Albert Bandura, yang terdiri dari 31 aitem pernyataan. Pernyataan dalam penelitian ini terdiri dari aitem-aitem favorable dan unfavorable, dan skala dalam penelitian ini menggunakan empat pilihan jawaban, diantaranya: sangat sesuai (SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS), sangat tidak sesuai (STS).

Azwar (2015) menyatakan bahwa alat ukur yang valid dan reliabel merupakan syarat mutlak untuk mampu menghasilkan data dan memberikan informasi yang akurat. Pengukuran terhadap validitas isi dalam penelitian ini dilakukan melalui professional judgement untuk melakukan penyesuaian aitem-aitem dalam alat ukur dengan indikator perilaku yang hendak diukur (Azwar, 2014). Pengukuran validitas konstruk dengan melihat koefisien korelasi aitem total sama dengan atau lebih besar daripada 0,30 (Azwar, 2014). Penelitian ini juga melakukan uji reliabilitas alat ukur dengan menggunakan metode Alpha Croncbach, dikatakan reliabel apabila koefisien reliabilitas minimal 0,60 (Azwar, 2014).

Hasil uji validitas skala regulasi diri memiliki koefisien korelasi aitem total berkisar antara 0,312 sampai 0,589. Hasil uji reliabilitas menunjukkan koefisien alpha sebesar 0,901, artinya bahwa skala regulasi diri mampu mencerminkan 90,1% variasi skor murni subjek.

Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah teknik analisis anava dua jalur atau (two way ANOVA) dengan bantuan program analisis statistik SPSS for Windows Release 22.0. Sebelum melakukan analisis data penelitian dilakukan uji asumsi data, diantaranya uji normalitas dan uji homogenitas. Uji normalitas sebaran data dilakukan dengan menggunakan teknik Kolmogorov-Smirnov, sedangkan uji homogenitas dalam penelitian ini menggunakan Levene’s Test of homogenity of variance.

HASIL PENELITIAN

Karakteristik Subjek

Subjek dalam penelitian ini adalah remaja yang sedang menempuh pendidikan di SMAN 3 Denpasar dengan jumlah 240 orang. Mayoritas subjek yang mengikuti penelitian ini berusia 17 tahun dengan persentase sebesar 89%, jumlah sama pada masing-masing kelompok subjek baik yang berjenis kelamin laki-laki sejumlah 50% dan perempuan 50% dan jumlah sama pula pada masing-masing kelompok subjek berdasarkan urutan kelahiran diantaranya, anak sulung berjumlah 25%, anak tengah berjumlah 25%, anak bungsu berjumlah 25% dan anak tunggal berjumlah 25%.

Deskripsi Data Penelitian

Kategorisasi data penelitan bertujuan untuk menempatkan subjek ke dalam kelompok-kelompok yang terpisah secara berjenjang menurut suatu kontinum berdasar atribut yang diukur. Kontinum jenjang ini meliputi sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi. Penentuan kategorisasi dengan skor skala dilakukan dengan menggunakan nilai mean dan standar deviasi teoretis (Azwar, 2014).

Berdasarkan hasil deskripsi statistik data penelitian pada tabel 1 (terlampir) dapat dijelaskan nilai-nilai tersebut memberikan makna yaitu variabel regulasi diri memiliki mean teoretis sebesar 77,5 dan mean empiris sebesar 91,83 dengan perbedaan sebesar 14,33. Hal ini menunjukkan bahwa subjek penelitian memiliki tingkat regulasi diri yang tinggi karena nilai mean empiris lebih besar dibandingkan nilai mean teoretis (91,83 > 77,5). Berdasarkan penyebaran frekuensi, subjek dalam penelitian ini memiliki rentang skor antara 72 sampai dengan 124, serta 98% subjek memiliki skor di atas mean teoretis.

Uji Asumsi

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui normal atau tidaknya sebaran skor variabel. Uji normalitas sebaran data menggunakan teknik Kolmogorov-Smirnov dengan menggunakan program SPSS 22.0 dan data penelitian dikatakan normal apabila memiliki nilai p>0,05 (Arikunto, 1988). Berdasarkan hasil uji normalitas pada tabel 2 (terlampir) menunjukkan signifikansi 0,200 (p>0,05), artinya bahwa data berdistribusi normal.

Uji homogenitas data dimaksudkan untuk mengetahui kesamaan varian dari kedua kelompok. Jika kedua kelompok memiliki kesamaan varian, maka apabila nantinya kedua kelompok memiliki perbedaan, perbedaan tersebut memang benar disebabkan oleh rata-rata (mean) kemampuan bukan karena kesalahan random (Khasanah, dalam Kartika, 2013). Tingkat signifikansi (p>0,05) mengindikasikan data tersebut homogen. Uji homogenitas dalam penelitian ini menggunakan Levene’s Test of homogenity of variance. Berdasarkan hasil uji homogenitas data pada tabel 3, variabel urutan kelahiran dan jenis kelamin masing-masing memiliki signifikansi secara berturut-turut sebesar 0,319 dan 0,358 (p>0,05), dengan demikian dapat disimpulkan data homogen.

Uji Hipotesis

Uji hipotesis penelitian ini menggunakan teknik analisis dua jalur (two way ANOVA). Sugiyono (2014) menjelaskan anava dua jalur digunakan untuk menguji perbedaan kelompok-kelompok data yang berasal dari dua variabel bebas (variabel x) yaitu urutan kelahiran dan jenis kelamin, dengan variabel terikat (variabel y) yakni regulasi diri.

Berdasarkan uji ANOVA yang ditunjukkan tabel 4 (terlampir) diperoleh beberapa hasil sebagai berikut:

  • 1.    Corrected model: menunjukkan pengaruh kedua variabel independen yaitu urutan kelahiran “UK” dan jenis kelamin “JK” secara bersama-sama terhadap variabel dependen yaitu regulasi diri. Tabel menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0,001 (p<0,05) artinya model valid.

  • 2.    Intercept: nilai perubahan pada variabel dependen tanpa ada pengaruh variabel independen, sehingga nilai variabel dependen dapat berubah. Karena tabel menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0,000 (p<0,05) artinya nilai intercept menjadi signifikan.

  • 3.    UK: meninjau pengaruh urutan kelahiran terhadap regulasi diri. Berdasarkan tabel diperoleh hasil signifikansi sebesar 0,069 (p>0,05) artinya tidak ada perbedaan regulasi diri bila ditinjau dari urutan kelahiran.

  • 4.    JK: meninjau pengaruh jenis kelamin terhadap regulasi diri. Berdasarkan tabel diperoleh hasil signifikansi sebesar 0,023 (p<0,05) artinya terdapat perbedaan regulasi diri bila ditinjau dari jenis kelamin.

  • 5.    UK*JK: meninjau pengaruh pengaruh variabel urutan kelahiran dan jenis kelamin secara bersama-sama terhadap regulasi diri. Berdasarkan tabel menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0,003 (p<0,05) artinya terdapat perbedaan regulasi diri ditinjau dari urutan kelahiran dan jenis kelamin. Maka (Hipotesis Alternatif – Ha) dalam penelitian ini diterima.

PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

Teori Bandura (dalam Feist & Feist, 2013) menjelaskan regulasi diri merupakan kemampuan individu untuk mengontrol atau mengendalikan tindakan atau perilaku atas dirinya sendiri dengan melibatkan proses aktivitas pemikiran, perilaku dan perasaan untuk menentukan serta merencakan strategi yang akan digunakan. Regulasi diri merupakan kemampuan untuk mengontrol perilaku sendiri dan salah satu dari sekian penggerak utama kepribadian manusia. Adler (1931) percaya bahwa pola perkembangan kepribadian individu dipengaruhi salah satu diantaranya oleh faktor urutan kelahiran dan jenis kelamin individu tersebut.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan diperoleh hasil bahwa terdapat perbedaan regulasi diri pada remaja Bali ditinjau dari urutan kelahiran dan jenis kelamin. Perbedaan urutan kelahiran dan jenis kelamin terhadap regulasi diri dapat dilihat melalui nilai signifikansi sebesar 0,003 (p<0,05). Maka (Hipotesis Alternatif – Ha) dalam penelitian ini diterima. Penelitian ini menunjukkan juga meninjau dari urutan kelahiran, bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan terhadap regulasi diri dengan nilai signifikansi sebesar 0,069 (p>0,05). Bila ditinjau dari jenis kelamin terdapat perbedaan

yang signifikan terhadap regulasi diri dengan nilai signifikansi sebesar 0,023 (p<0,05). Merujuk pada hasil analisis penelitian di atas maka dapat dijelaskan sebagai berikut:

Perbedaan Regulasi Diri ditinjau dari Urutan Kelahiran Remaja Bali

Penelitian ini memperoleh hasil signifikansi nilai urutan kelahiran terhadap regulasi diri sebesar 0,069 (p>0,05) artinya tidak ada perbedaan regulasi diri bila ditinjau dari urutan kelahiran. Hal ini mendukung hipotesis Adler (1931) bahwa urutan kelahiran tidak hanya sekedar nomor urut namun bagaimana persepsi seseorang terhadap situasi di mana mereka dilahirkan. Artinya terdapat reaksi-reaksi psikologis terhadap urutan kelahiran dalam keluarga yang dapat membentuk persepsi, pengalaman dan kepribadian. Selain itu hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rini (2012) pada dasarnya posisi dalam urutan kelahiran bukan menjadi hal terpenting, melainkan yang patut menjadi perhatian yaitu makna dan peran secara psiko-sosial terhadap urutan kelahiran tersebut. Selain itu juga mendukung hasil penelitian Husna, Hidayat dan Arianti (2014) bahwa proses regulasi diri tidak dilakukan secara sendiri, melainkan hubungan yang saling ketergantungan dengan lingkungan sosial. Penelitian Khoirunnisa (2016) juga menunjukkan beberapa faktor yang melekat pada urutan kelahiran seperti tuntutan orangtua, rasa tanggung jawab, kemandirian, kedisiplinan dan perhatian orangtua. Faktor orangtua menjadi penting dalam menentukan perilaku, jika anak mengalami masalah dalam urutan kelahiran maka orangtua menjadi salah satu faktor yang mampu memberi stimulasi pada anak (Rini, 2012).

Sebagaimana hasil penelitian-penelitian sebelumnya mendukung pernyataan Adler (dalam Siregar, 2011) posisi masing-masing anak dalam keluarga menyebabkan adanya tanggung jawab dan konsekuensi yang berbeda, bergantung pada kebudayaan maupun sikap orangtua. Remaja dalam tiap budaya mengalami tekanan untuk mengembangkan suatu pola kepribadian sesuai dengan standar yang ditentukan budayanya. Penelitian ini menekankan makna sistem kekerabatan patrilineal yang dianut oleh masyarakat Bali kaitannya dengan regulasi diri remaja Bali itu sendiri.

Walaupun budaya Bali memiliki sistem pemberian nama seperti Gede, Made, Komang dan Ketut, namun penamaan tersebut hanya berdasarkan urutan kelahiran anak saja (Antara, 2012). Sesuai dengan uraian sebelumnya menjelaskan bahwa urutan kelahiran dilihat secara kompleks, artinya terdapat beberapa faktor yang memengaruhi urutan kelahiran dalam keluarga, dan salah satu diantaranya adalah budaya.

Sistem kekerabatan patrilineal sebagai budaya yang dianut masyarakat Bali dan dipercaya mampu mendidik anak ke arah kematangan tentunya memberi pengaruh pada perlakuan, sikap, peran yang diberikan dari orangtua ke anak, baik terhadap anak laki-laki maupun anak perempuan. Hurlock (dalam Rahmawati, 2003) menyatakan tekanan dan standar yang ditentukan oleh budaya dapat memengaruhi perkembangan pola kepribadian remaja.

Hurlock (1997) juga menambahkan beberapa faktor-faktor lingkungan yang menentukan pengaruh urutan kelahiran terhadap individu diantaranya: sikap budaya terhadap kelahiran, sikap orang-orang yang berarti, peran yang diharapkan, perlakuan awal, rangsangan bawaan lahir. Faktor-faktor tersebut dalam sistem kekerabatan patrilineal mengacu pada sikap dan peran yang menguntungkan pihak laki-laki. Kebiasaan yang dianut dalam masyarakat atau kebudayaan masyarakat memberi pengaruh pada setiap orangtua dalam memberikan pengasuhan terhadap anaknya (Azwar, 2000).

Sejalan dengan isu gender dalam hukum adat (Sukerti, 2012) bahwa Bali dengan sistem kekerabatan patrilineal yang dianut menempatkan kaum laki-laki pada kedudukan lebih tinggi. Laki-laki sebagai ahli waris, sebagai penerus keturunan dan nama keluarga serta memegang peran dalam pengambilan keputusan keluarga maupun masyarakat luas. Hal ini merujuk pada nilai-nilai pada sistem kekeberabatan yang dianut lebih kepada perbedaan jenis kelamin anak dalam keluarga, bukan terhadap urutan kelahiran. Pada masyarakat Bali penerus swadharma (tanggung jawab) tidak hanya dapat diteruskan oleh anak laki-laki tertua, namun juga dapat diteruskan oleh anak laki-laki lainnya dalam keluarga. Artinya tidak ada pembeda pemberian tanggung jawab pada urutan kelahiran anak di dalam keluarga. Maka dari itu penelitian ini tidak hanya mengacu pada urutan kelahiran namun juga fokus meneliti jenis kelamin remaja di dalam keluarga.

Perbedaan Regulasi Diri ditinjau dari Jenis Kelamin Remaja Bali

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh nilai signifikansi jenis kelamin terhadap regulasi diri sebesar 0,023 (p<0,05) artinya terdapat perbedaan regulasi diri bila ditinjau dari jenis kelamin. Hasil tersebut didukung oleh pernyataan Adler (dalam Feist & Feist, 2013) yang percaya bahwa kondisi psikologis laki-laki dan perempuan sesungguhnya sama, sedangkan dominasi pria dibandingkan wanita bukan sesuatu yang alamiah namun sebagai hasil dari perkembangan sejarah. Menurut Adler, budaya dan praktik sosial memberi pengaruh terhadap kondisi psikologis laki-laki dan perempuan. Anak laki-laki sejak kecil diajarkan menjadi seorang yang maskulin artinya berani, berada di atas dan berkuasa. Sebaliknya, perempuan belajar untuk berlaku pasif dan menerima posisi inferior dalam masyarakat yakni tidak berdaya dan patuh secara berlebihan.

Perbedaan kondisi psikologis remaja laki-laki dan perempuan tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan Manab (2016) menunjukkan bahwa konsep regulasi diri anak dan remaja sangat dipengaruhi oleh hubungan dengan orangtua. Orangtua menjadi sosok yang telah memberikan pengetahuan, motivasi, dan pengasuhan serta lingkungan pembelajaran untuk membentuk regulasi diri remaja. Mendukung penelitian Novianti (2014) perilaku orangtua dalam pengasuhan memiliki peranan yang sangat penting dalam membantu remaja dalam meningkatkan strategi pengaturan diri dengan memberi dukungan, arahan dan bantuan kepada remaja untuk menemukan strategi yang tepat dalam menjalani kehidupannya. Selain itu, sejalan dengan hasil penelitian Wesley (2011) menunjukkan adanya perbedaan fungsi sosio-

emosional pada remaja ditinjau dari jenis kelamin, yang mana remaja perempuan memiliki kemampuan regulasi diri lebih tinggi dibandingkan remaja laki-laki. Hal tersebut tidak terlepas dari peran pengasuhan orangtua yang sering kali memberikan perlakuan yang berbeda terhadap anak laki-laki dan perempuan.

Sesuai dengan hasil penelitian ini menunjukkan nilai rata-rata regulasi diri remaja laki-laki 90,55 sedangkan remaja perempuan memiliki nilai rata-rata regulasi diri 93,12. Kegagalan remaja laki-laki dalam mengembangkan regulasi diri dapat disebabkan karena remaja laki-laki tumbuh di lingkungan keluarga yang kurang mengajarkan untuk melakukan regulasi diri (Brody, Stoneman, Flor, dalam Boekaerts, 2000). Orangtua cenderung memberi perlakuan menguntungkan bagi anak laki-laki di dalam keluarga sehingga ketika ia tumbuh, remaja laki-laki tidak memiliki motivasi untuk meningkatkan performanya. Bahkan remaja laki-laki terbatas kemampuan regulasi dirinya karena bersumber dari dirinya. Remaja laki-laki cenderung bersikap apatis (disinterest) atau kurang berusaha dalam melakukan regulasi diri (Steinberg, Brown, Dornbusch, dalam Boekaerts, 2000). Hal tersebut sebagai akibat perlakuan orangtua pada masyarakat dengan budaya patrilineal yang cenderung memanjakan pihak laki-laki dibandingkan pihak perempuan. Remaja laki-laki cenderung cuek dan tidak memiliki daya saing, berbeda halnya dengan anak perempuan menjunjung rasa gengsi cenderung memiliki daya saing (Khoirunnisa, 2016). Remaja perempuan juga lebih dapat melakukan regulasi emosi yang baik dibandingkan laki-laki (Wulanningrum & Irdawati, 2011).

Pencapaian anak dalam mencapai kedewasaan bergantung dari pengasuhan orangtua. Praktik pengasuhan turut serta memengaruhi bagaimana anak akan bersikap dalam kehidupannya. Keberadaan orangtua mendukung teori Bandura (dalam Feist & Feist, 2013) bahwa faktor orangtua menjadi salah satu faktor eksternal yang dapat memengaruhi regulasi diri. Faktor-faktor eksternal mendorong individu memiliki suatu standar untuk mengevaluasi perilaku individu tersebut. Hal ini disebabkan karena adanya interaksi lingkungan sosial dengan individu sehingga memengaruhi standar perilaku individu itu sendiri. Selain itu, faktor-faktor eksternal yang memengaruhi regulasi diri dengan menyediakan cara untuk mendapatkan penguatan (reinforcement). Reward digunakan sebagai penguatan dari perilaku yang ditampilkan untuk tujuan tertentu. Dukungan dari lingkungan dalam bentuk sumbangan materi atau pujian dan dukungan orang lain juga dibutuhkan.

Keberadaan orangtua sebagai lingkungan sosial utama bagi anak maupun remaja memberikan pengaruh positif maupun negatif terhadap performa anak dan remaja. Melalui orangtua remaja belajar baik dan buruk, apa yang dikehendaki dan tidak dikehendaki. Melalui pengalaman berinteraksi dengan lingkungan, remaja mengembangkan standar yang akan digunakan untuk mencapai tujuan dalam kehidupannya.

Sejalan dengan penelitian Istriyanti (2014) budaya memengaruhi remaja dalam menjalankan tugas perkembangannya, remaja dituntut untuk memiliki kontrol diri atau regulasi diri yang baik dalam menjalani tugas perkembangannnya. Budaya juga akan berpengaruh terhadap tindakan seorang remaja, dan tindakan tersebut dapat berdampak positif maupun negatif yang bergantung pada pengaturan maupun pengendalian diri remaja itu sendiri, serta dukungan orang-orang terdekatnya (Seligman, 2001).

Perbedaan Regulasi Diri ditinjau dari Urutan Kelahiran dan Jenis Kelamin Remaja Bali

Penelitian ini juga meneliti interaksi antara urutan kelahiran dengan jenis kelamin terhadap regulasi diri. Hasil penelitian menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0,003 (p<0,05) artinya terdapat perbedaan regulasi diri ditinjau dari urutan kelahiran dan jenis kelamin. Maka (Hipotesis Alternatif – Ha) dalam penelitian ini diterima. Variabel urutan kelahiran dan jenis kelamin secara bersama-sama memberi pengaruh terhadap variabel regulasi diri.

Sejalan dengan teori Hurlock (dalam Khoirunnisa, 2016) menyebutkan terdapat beberapa faktor lingkungan yang memengaruhi urutan kelahiran individu diantaranya: sikap budaya terhadap kelahiran, sikap orang-orang yang berarti, peran yang diharapkan, perlakuan awal dan rangsangan kehidupan bawaan lahir. Faktor-faktor tersebut mengacu pada budaya patriarki yakni perbedaan sikap orangtua terhadap anak laki-laki dan anak perempuan. Konsep sistem kekerabatan patrilineal memandang laki-laki diharapkan mampu meneruskan swadharma (tanggung jawab) dalam keluarga (Bawa, 1989). Selain itu, perlakuan awal dan rangsangan kehidupan bawaan lahir membuat laki-laki menjadi pusat perhatian di awal kehidupannya dibandingkan perempuan. remaja laki-laki sejak kecil cenderung diajarkan menjadi seorang yang maskulin artinya berani, berada di atas dan berkuasa. Sebaliknya, remaja perempuan belajar untuk berlaku pasif dan menerima posisi inferior dalam masyarakat yakni tidak berdaya dan patuh secara berlebihan.

Hal tersebut menyebabkan urutan kelahiran sesungguhnya tidak memberikan pengaruh langsung pada regulasi diri remaja, namun bagaimana orangtua memberikan makna pada urutan kelahiran tersebut seperti penanaman kedisiplinan norma-norma tertentu, dan masalah tanggung jawab. Sejalan dengan penelitian Siregar (2011) perbedaan kecerdasan emosi remaja berdasarkan urutan kelahiran erat kaitannya dengan bagaimana orangtua memberi perlakukan pada remaja di dalam lingkungan keluarga. Urutan kelahiran menjadi salah satu faktor yang kuat dalam menentukan jenis penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial yang harus dilakukan individu sepanjang rentang kehidupan. Demikian pula dengan standar praktik pengasuhan yang diberikan orangtua pada masyarakat patrilineal yakni bagaimana orangtua memberikan perbedaan makna antara laki-laki dan perempuan. Berdasarkan uraian sebelumnya maka faktor urutan kelahiran dan jenis kelamin akan memberikan pengaruh terhadap perkembangan kemampuan regulasi diri remaja, apabila terdapat interaksi diantara kedua faktor tersebut.

Keterbatasan Penelitian

Berdasarkan pembahasan adapun penelitian ini masih memiliki keterbatasan diantaranya, yaitu

  • a.     Terdapat faktor-faktor lain yang yang memengaruhi

regulasi diri

Perbedaan regulasi diri remaja Bali tidak hanya disebabkan oleh urutan kelahiran, namun adanya interaksi terhadap jenis kelamin anak juga memberi pengaruh terhadap regulasi diri. Adapun beberapa faktor yang menentukan pengaruh urutan kelahiran terhadap individu diantaranya: sikap budaya terhadap kelahiran, sikap orang-orang yang berarti, peran yang diharapkan, perlakuan awal, rangsangan bawaan lahir. Faktor-faktor tersebut dalam sistem kekerabatan patrilineal juga mengacu pada perbedaan sikap dan peran yang diberikan orangtua dalam praktik pengasuhannya, selain faktor jenis kelamin yang diteliti dalam penelitian ini. Perbedaan praktik pengasuhan inilah dapat memengaruhi perkembangan kepribadian anak yaitu pengembangan kemampuan regulasi diri. Faktor orangtua ternyata cukup memberi peranan terhadap perkembangan kepribadian remaja.

  • b.    Masih banyaknya aitem yang gugur pada alat ukur

penelitian ini

Keberhasilan dan akurasi temuan data dalam penelitian bergantung pada berbagai faktor dan aspek. Maka penelitian ini tentunya masih terdapat beberapa kelemahan dalam prosesnya, diantaranya sedikitnya jumlah aitem yang digunakan dalam penelitian ini.

  • c.     Kesulitan mencari subjek sesuai dengan kriteria

penelitian

Penelitian dengan keriteria subjek berdasarkan urutan kelahiran memerlukan populasi yang lebih luas.

  • d.    Waktu pengambilan data penelitian

Subjek dengan jenis kelamin laki-laki cenderung tidak kooperatif ketika pengambilan data sedang berlangsung, selain itu penelitian dilaksanakan pada saat jam istirahat membuat subjek kurang kooperatif dalam mengisi kuesioner sehingga terdapat beberapa skala yang tidak terisi dengan lengkap dan tidak dapat dijadikan data penelitian.

Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak terdapat perbedaan regulasi diri ditinjau dari urutan kelahiran remaja Bali, namun terdapat perbedaan regulasi diri ditinjau dari jenis kelamin remaja Bali. Selain itu terdapat perbedaan regulasi diri remaja Bali jika terdapat interaksi diantara urutan kelahiran dan jenis kelamin remaja Bali, dan regulasi diri remaja Bali tergolong tinggi. Remaja perempuan memiliki regulasi diri yang lebih tinggi dibandingkan remaja laki-laki.

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka saran yang dapat diberikan kepada remaja yaitu penting untuk memiliki regulasi diri positif karena regulasi diri merupakan salah satu kemampuan individu untuk mengontrol perilakunya sendiri dan salah satu dari sekian penggerak utama kepribadian individu. Remaja diharapkan dapat memaksimalkan aspek-aspek regulasi diri seperti observasi diri (self- observation), keputusan (judgement) dan reaksi diri (self-response), sehingga regulasi diri yang positif dapat tercapai. Khususnya remaja laki-laki mampu meningkatkan regulasi diri yang

rendah dan nantinya dapat menjadi pribadi yang lebih baik serta dapat memahami kualitas masing-masing pribadi.

Saran bagi orangtua, sebaiknya menerapkan praktik pengasuhan yang lebih efektif dalam mendidik anak, berperan aktif dalam mengontrol perilaku anak dan remaja, juga memberikan perlakuan yang adil terhadap anak perempuan maupun anak laki-laki. Serta dalam praktik pengasuhannya orangtua perlu mempertimbangkan perspektif budaya dan praktik sosial khususnya sistem kekerabatan patrilineal yang dianut karena cukup memberi pengaruh terhadap perkembangan perilaku anak.

Saran bagi institusi pendidikan, hendaknya dapat melakukan evaluasi dan merancang program pembelajaran guna meningkatkan regulasi diri remaja Bali. Selain itu memberikan pendidikan kepada siswa terkait dengan perkembangan aspek sosial, sehingga mampu meningkatkan pengetahuan siswa untuk dapat mengembangkan regulasi diri yang positif. Selain itu saran bagi masyarakat, diharapkan dapat memberikan dukungan yang positif pada remaja terlebih seseorang akan memiliki peran sosial dan mulai internalisasi dalam budayanya ketika masa remaja.

Penelitian ini juga memberikan saran bagi penelitian selanjutnya, diharapkan dapat mengkaji faktor-faktor diluar faktor yang sudah diteliti dalam penelitian ini, karena masih terdapat faktor lain yang dapat memengaruhi regulasi diri seperti gaya pengasuhan dan sikap budaya terhadap kelahiran individu, khususnya budaya dapat memengaruhi praktik pengasuhan orangtua karena dipercaya mampu mendidik anak ke arah kematangan. Selain itu dapat memperluas sampel penelitian agar tidak banyak kuesioner yang gugur, serta data penelitian yang diperoleh lebih representatif dan bervariasi.

DAFTAR PUSTAKA

Antara, I. G. P. (2012). Tata nama orang Bali. Denpasar: Buku Arti.

Arikunto, S. (1988). Statistik jilid i. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.

Azwar, S. (2000). Tes prestasi: Fungsi dan pengembangann pengukuran tes prestasi belajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Azwar, S. (2014). Reliabilitas dan validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bali Sruti. (2011). Agar luh tak sekedar peluh. Diunduh dari: http://laki-laki.balisruti.or.id/wpcontent/uploads/2011/09/bali-sruti-no1-for-web.pdf. Diakses pada Januari 2017.

Bawa, N. A. (1989). Ngaben ngerit dan ngaben individual dengan biaya kecil: Suatu pengamatan dari kancah. Laporan Tim Pencari Data. Singaraja: FKIP UNUD Bali

Boekaerts, M., Pintrich, P. R., & Zeidner, M. (2000). Handbook of self-regulation. Sandiego: Academic Press.

BPS. (2011). Survey kasus tindak pidana. Bali.

Cervone, Daniel & Lawrence, A. Pervin. (2010). Kepribadian : Teori dan penelitian. Jakarta: Salemba Empat.

Erford, Bradley. (2015). 40 teknik yang harus diketahui setiap

konselor, edisi kedua. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Feist & Feist. (2013). Teori kepribadian, edisi ketujuh jilid 1. Jakarta: Salemba Humanika.

Feist & Feist. (2013). Teori kepribadian. edisi ketujuh jilid 2. Jakarta: Salemba Humanika.

Gunarsa. (2010). Dasar dan teori perkembangan anak. Jakarta: BPK. Gunung Mulia.

Hadibroto, dkk. (2002). Misteri perilaku anak sulung, tengah, bungsu, dan tunggal. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Herawaty, Y & Wulan, R. (2013). Hubungan antara keberfungsian keluarga dan daya juang dengan belajar berdasar regulasi diri pada remaja. Jurnal Psikologi, 9(2).

Hidayat, A. F. (2013). Hubungan regulasi diri dengan prestasi belajar kalkulus ii ditinjau dari aspek metakognisi, motivasi dan perilaku. Jurnal Elektronik Pendidikan Matematika Tadulako, 1(1).

Hurlock, E. B. (1978). Perkembangan anak jilid 2 edisi keenam. Jakarta: Erlangga.

Hurlock, E. B. (2004). Psikologi perkembangan : Suatu pendekatan sepanjang rentangg kehidupan edisi kelima. Jakarta: Erlangga.

Istriyanti, N. L. A & Simarmata, N. (2014). Hubungan antara regulasi diri dan perencanaan karir pada remaja putri Bali. Jurnal Psikologi Udayana, 1(2), 301-310.

Kartika, P. (2013). Perbedaan tingkat stres pada ibu rumah tangga yang menggunakan dan tidak menggunakan pembantu rumah tangga. (Skripsi Tidak Dipublikasikan). PS. Psikologi, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar.

Khoirunnisa, N. (2016). Pengaruh urutan kelahiran dan jenis kelamin terhadap motivasi belajar siswa di SMP An-Nur Bululawang. Skripsi. Fakultas Psikologi, Universitas Islam Negeri, Malang.

Manab, A. (2016). Memahamai regulasi diri: Sebuah tinjauan konseptual. Jurnal 2nd psychology & humanity.

Narwoko & Suyanto. (2011). Sosiologi teks pengantar dan terapan. Jakarta: Kencana.

Natalia, C & Lestari, M. D. (2015). Hubungan antara kelekatan aman pada orangtua dengan kematangan emosi remaja akhir di Denpasar. Jurnal Psikologi Udayana. 2(1), 78-88.

Novianti, N. (2014). Pengaruh gaya pengasuhan, motivasi, dan strategi pengaturan diri dalam belajar terhadap prestasi akademik remaja. Skripsi. Fakultas Ekologi Manusia, Institus Pertanian Bogor, Bogor.

Rahmawati. (2003). Perbedaan kemandirian antara anak sulung dengan anak bungsi pada siswa kelas ii SMA Negeri 11 Semarang. Skripsi. Juruan Bimbingan Dan Konseling, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang.

Rini, A. R. P. (2012). Kemandirian remaja berdasarkan urutan kelahiran. Jurnal kemandirian remaja, 3(1).

Rudhy. (2012). Kasus kriminalitas usia remaja kian meningkat. Diunduh                                           dari:

http://www.tribunnews.com/regional/2012/01/21/kasus-kriminalitas-usia-remaja-kian-meningkat.  Diakses pada

Februari 2017.

Santrock, J. W. (2007). Remaja, edisi kesebelas jilid 1. Jakarta:

Erlangga.

Santrock, J. W. (2007). Remaja, edisi kesebelas jilid 2. Jakarta:

Erlangga.

Seligman, L. (2001). Developmental Career Counseling and Assesment. Virginia: George Mason University.

Setyapramesti, D. (2016). Perbedaan konsep diri ditinjau dari urutan kelahiran siswa kelas x SMKN 7 Yogyakarta. Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta.

Siregar, N. S. (2011). Perbedaan kecerdasan emosi antara anak sulung dan anak bungsu. Skripsi. Fakultas Psikologi, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim, Pekanbaru.

Slavin, R. E. (2011). Psikologi pendidikan: Teori dan praktik.

Jakarta: Indeks.

Sudarta, W. (2006). Pola pengambilan keputusan suami-istri rumah tangga petani pada berbagai bidang kehidupan. Jurnal Kembang Rampai Perempuan Bali, 65-83.

Sukerti, N. N. (2012). Hak mewaris perempuan dalam hukum adat Bali, edisi pertama. Denpasar: Udayana University Press.

Sukiswanti. (2015). Tingginya angka bunuh diri di Bali, gubernur Bali minta dicarikan solusi. Diunduh dari: https://fren247.com/fokus/tingginya-angka-bunuh-diri-di-bali-gubernur-bali-minta-dicarikan-solusi/. Diakses pada Februari 2017.

Tribun. (2014). Jumlah dan status klien yang dibimbing BKA Balai Permasyarakatan Kelas I Denpasar Tingkat Pendidikan dan Pekerjaan. Bali: Harian Pagi Tribun Bali.

Wesley, K. I. (2011). Gender differences in positive social-emotional functioning. Journal of Psychology in The Schools, 48 (10), 958-970.

Wulanningrum, D. N & Irdawati. (2011). Hubungan antara urutan kelahiran dalam keluarga dengan kecerdasan emosional pada remaja di SMA Muhammadiyah I Klaten. Jurnal Kesehatan,                4(2),                184-194.

LAMPIRAN

Lampiran 1

Deskripsi Data Penelitian

Deskripsi Data

Regulasi Diri

N

240

Rata-rata Teoretis

77,5

Rata-rata Empiris

91,83

SD Teoretis

15,5

SD Empiris

9,035

Xmin

72

Xmax

124

Sebaran Teoretis

31-124

Sebaran Empiris

72-124

Tabel 2

Hasil Uji Normalitas Variabel Penelitian

Variabel              Kolinogorov-Siiiiniov Asyιιιp. Sig (2-tailed)

________Regulasi Diri__________________________________________________0,200_______

Keterangan: Asvirip. Sig (2-tailed) = nilai probabilitas.

Tabel 3

Hasil Uji Homogenitas Variabel Penelitian

AariabelPenelitian                    Sig.                Simpulan

UrutanKelahiran                   0,319            Datahomogen

___________Jenis Kelamin____________________0,358____________Data homogen

Keterangan: Sig. = nilai probabilitas.

Tabel 4

Hasil Uji Hipotesis Two-Way ANOVA

Source

Type III Sιιιιι of Squares

df

Mean Square

F

Sig.

Corrected Model

2004.229a

1

286.318

3.795

.001

Intercept

2023823.004

1

2023823.00 4

26824.337

.000

UK

542.713

3

180.904

2.398

.069

JK

392.704

1

392.704

5.205

.023

UK*JK

1068.813

3

356.271

4.722

.003

88