Jurnal Psikologi Udayana

Edisi Khusus Kesehatan Mental, 68-78

Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana e-ISSN: 2654 4024; p-ISSN: 2354 5607

Proses Penyesuaian Diri pada Perempuan Usia Dewasa Madya yang berada pada Fase Sarang Kosong

Ni Km. Peby Darmayanthi dan Made Diah Lestari

Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana

[email protected]


Abstrak

Fase sarang kosong merupakan suatu peristiwa saat anak mulai meninggalkan rumah untuk menjalankan kehidupan yang lebih mandiri. Dalam fase sarang kosong orangtua biasanya mengalami sindrom sarang kosong, sindrom ini merujuk pada perasaan sedih atau kehilangan yang dialami oleh orangtua. Kondisi ini lebih memungkinkan terjadi pada ibu sebab hampir sebagian besar waktu ibu dihabiskan untuk pengasuhan anak. Penyesuaian diri yang baik dalam menghadapi fase sarang kosong akan membantu individu mengatasi perasaan-perasaan negatif yang muncul sehingga individu akan mampu menghadapi fase sarang kosong dengan lebih positif dan mampu melanjutkan ke tahap perkembangan berikutnya. Penelitian ini bertujuan untuk melihat proses penyesuaian diri pada perempuan usia dewasa madya yang berada pada fase sarang kosong.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologis. Responden dalam penelitian ini adalah tiga orang ibu usia dewasa madya yang dipilih berdasarkan teknik purposive sampling. Pengambilan data terhadap kedua responden dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara dan observasi, dengan teknik analisis theoritical coding yaitu open coding, axial coding, dan selective coding. Didapatkan beberapa hasil dari penelitian ini yaitu penyebab sarang kosong, sindrom sarang kosong pada perempuan usia dewasa madya, faktor yang mendukung dalam menghadapi fase sarang kosong, faktor yang menghambat dalam menghadapi fase sarang kosong, tindakan yang dilakukan untuk mencapai penyesuaian diri pada fase sarang kosong serta kondisi setelah mencapai penyesuaian diri pada fase sarang kosong.

Kata kunci: Penyesuaian diri, sarang kosong, sindrom sarang kosong

Abstract

The empty nest phase is an event when the child begins to leave home, to lead a life more independent. In the empty nest phase, parents usually experience empty nest syndrome, this syndrome refers the feeling of sadness or loss that is experienced by parents. This condition more likely to occur in the mother, because almost the most of the time that the mother spent is on parenting. Good adjustment in the face of the empty nest phase will help the individual faces the negative feelings that arise, so that the individual will be able to face the nest empty phase more positively and be able to move on to the next stage of development. This study aimed to see the process of self-adjustment on middle-aged adults women who are in empty nest phase.

This research used qualitative method with phenomenological approach. The respondents of this study were three mothers in the middle-aged adults, who selected based on purposive sampling technique. The collecting data of both respondents was done by using interview and observation technique, with theoritical coding analysis technique that is open coding, axial coding, and selective coding. The results of this study are the causes of empty nest, empty nest syndrome in middle-aged adults women, supporting factors in the face of empty nest phases, inhibiting factors in the face of empty nest phases, actions performed to achieve self-adaption in the empty nest phase as well as the condition after reaching self-adaption in the empty nest phase.

Keywords: Self-adjustment, empty nest, empty nest syndrome.


LATAR BELAKANG

Pernikahan merupakan bentuk hubungan antara laki-laki dewasa dan perempuan dewasa yang diterima secara universal, pernikahan adalah dua orang atau lebih yang berkomitmen satu sama lain dan saling berbagi intimasi, pendapatan, membuat keputusan, tanggung jawab dan nilai-nilai (Olson & Defrain, 2000). Setelah pernikahan maka akan terbentuk keluarga. Keluarga adalah awal perjalanan hidup manusia karena pada hakikatnya keluarga merupakan sistem satuan terkecil dari sistem sosial keseluruhan. Keluarga merupakan kelompok sosial yang memiliki karakteristik tinggal bersama, terdapat kerjasama ekonomi dan terjadi proses produksi (Murdock, 1965). Keluarga akan berkembang dan berubah sepanjang waktu dengan cara yang serupa dan konsisten. Keluarga dan anggotanya harus melaksanakan tugas khusus pada waktu tertentu yang disusun oleh diri sendiri dan oleh orang lain dalam masyarakat yang lebih luas (Duvall & Miller, 1985). Setelah menikah perlahan peran laki-laki dan perempuan yang menikah pun akan berubah menjadi suami dan istri, lalu setelah memiliki anak peran suami dan istri akan berubah menjadi ayah dan ibu.

Menurut Moser (1993), terdapat tiga peranan gender, yakni produktif, reproduktif, serta pengelolaan masyarakat dan politik. Laki-laki umumnya terlibat dalam peran produktif serta pengelolaan masyarakat dan politik, sedangkan perempuan umumnya terlibat dalam peran reproduksi. Perempuan yang memiliki peran sebagai istri dan juga ibu menghabiskan lebih banyak waktu untuk merawat anak dibandingkan laki-laki (Papalia & Feldman, 2014).Seiring dengan berjalannya waktu, orangtua akan memasuki usia dewasa madya, dalam usia ini terdapat satu peristiwa saat anak mulai meninggalkan rumah untuk menjalankan kehidupan yang lebih mandiri yang disebut dengan fase sarang kosong (Hurlock, 1980). Menurut Hurlock (1980), masa dewasa madya dimulai pada umur 40 tahun sampai kira-kira 60 tahun disaat perubahan fisik dan psikologis yang menyertai berkurangnya kemampuan reproduktif.

Dalam fase sarang kosong orangtua umumnya mengalami sindrom sarang kosong, yang merujuk pada perasaa sedih, depresi atau kehilangan yang dialami orangtua (Mitchell & Lovergreen, 2009; Akmalah, 2014; Makkar, 2015). Kondisi ini biasanya terjadi ketika anak akan memasuki kuliah atau menikah (Bararah, 2010). Periode ini terjadi ketika usia pernikahan mencapai 25 hingga 35 tahun. Pasangan suami atau istri yang sudah berumah tangga selama minimal 25 tahun, rata-rata sudah memasuki usia dewasa madya atau berkisar usia 45 hingga 60 tahun (Levinson, 2004). Dikaitkan dengan tahapan perkembangan keluarga menurut Duvall & Miller (1985), maka individu yang berada pada fase sarang kosong berasa pada tahapan keluarga usia pertengahan. Pada tahapan ini, individu pada usia dewasa madya mengalami beberapa perubahan mulai dari peran hingga tugas perkembangan yang berbeda, sehingga diperlukan penyesuaian diri yang baik agar individu mampu melewati fase ini dengan baik dan bisa melanjutkan ke tahap perkembangan keluarga selanjutnya.

Bararah (2010) mengatakan sindrom sarang kosong merupakan faktor yang memengaruhi kehidupan dan

kesehatan dewasa madya karena diasumsikan sindrom sarang kosong tersebut dapat menyebabkan stres dan depresi. Hal ini disebabkan orangtua menghadapi proses penyesuaian diri baru karena ketidakseimbangan akibat ketidakadaan anak di rumah (Bassoff dalam Santrock, 2002). Sindrom sarang kosong ini sangat terasa bagi ibu karena sebagian besar waktu ibu dihabiskan di rumah dan selalu berinteraksi dengan anak-anak, sehingga kepergian anak merupakan saat-saat yang tidak menyenangkan bagi ibu (Rahmah, 2006; Mitchell & Lovergreen, 2009). Kecemasan sebagai salah satu gejala dari sindrom sarang kosong bisa disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah faktor penyesuaian diri.

Hurlock (1980) mengungkapkan bahwa penyesuaian diri merupakan salah satu faktor penyebab munculnya kecemasan. Penyesuaian diri merupakan salah satu hal penting yang harus dimiliki pada individu yang akan menghadapi peristiwa dimana anak-anaknya akan pergi meninggalkan rumah untuk kehidupan yang lebih mandiri. Duberman (Feldman, 1989) menyatakan bahwa ada kemungkinan terjadi perubahan yang besar dalam kualitas pernikahan hanya karena anak-anak telah dewasa. Hal tersebut juga dipertegas oleh Bassoff (dalam Santrock, 2002), bahwa sebuah peristiwa penting dalam keluarga adalah beranjaknya seorang anak ke dalam kehidupan dewasa, karir atau keluarga yang terlepas dari keluarga tempat anak berasal.

Struktur keluarga di Bali biasanya adalah keluarga besar atau extended family, dimana dalam satu keluarga selain terdiri dari orangtua dan anak, juga terdiri dari kakek, nenek bahkan paman dan bibi (Atmaja, 2009). Swarsi (dalam Rospita & Lestari, 2016) menyatakan bahwa pada masyarakat Bali juga terdapat anak yang sudah menikah memilih untuk mencari tempat tinggal sendiri sehingga tidak tinggal bersama dengan orangtua maupun kerabatnya, masyarakat Bali mengenal pernikahan ini sebagai nuclear family atau keluarga batih. Ketika anak yang sudah menikah memilih untuk tidak tinggal bersama dengan orangtua, maka orangtua akan menghadapi penyesuaian baru karena perubahan akibat ketidakadaan anak, berkurangnya tugas sebagai orangtua dan bertambah banyaknya waktu luang yang kadang terasa sangat mengganggu.

Perubahan peran seorang ibu akan menjadi awal penyesuaian diri menghadapi fase sarang kosong, penyesuaian diri merupakan kemampuan untuk dapat mempertahankan eksistensinya atau untuk bertahan hidup dan memperoleh kesejahteraan baik secara jasmani maupun rohani (Kartono & Andri, 2001). Individu yang memiliki penyesuaian diri yang baik dalam menghadapi datangnya fase sarang kosong akan cenderung melakukan persiapan dan perencanaan yang baik sehingga dapat mengatasi atau setidaknya mengurangi kekhawatiran yang muncul, sehingga pada saat fase itu tiba individu tersebut akan bersikap lebih realistik dan objektif dengan keadaan yang dialaminya (Hurlock,1980).

Atwater (1983) mengungkapkan bahwa penyesuaian diri yang berhasil merupakan penyesuaian diri yang mencakup inisiatif individu, kemauan untuk berkomunikasi, dan menaruh perhatian pada kepuasan bersama terhadap kebutuhanIndividu yang memiliki penyesuaian diri yang baik dalam menghadapi datangnya fase sarang kosong akan cenderung melakukan

persiapan dan perencanaan yang baik sehingga dapat mengatasi atau setidaknya mengurangi kekhawatiran yang muncul sehingga pada saat fase itu tiba individu tersebut akan bersikap lebih realistik dan objektif dengan keadaan yang dialaminya, bahkan justru sebaliknya fase sarang kosong dapat menjadi masa yang menyenangkan karena mempunyai banyak waktu untuk mengisi waktu dengan kegiatan dan hobi yang digemari (Hurlock,1980).

Tidak semua ibu yang berada pada fase sarang kosong menganggap peristiwa ini sebagai hal yang menyenangkan, seperti penelitian yang dilakukan oleh Darmayanthi (2016) yang menunjukkan terdapat perasaan tidak menyenangkan yang di alami ibu yang berada pada fase sarang kosong begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Akmalah (2014) menunjukkan tingkat sindrom sarang kosong yang tinggi cenderung menyebabkan tingkat stres yang lebih tinggi daripada tingkat sindrom sarang kosong rendah. Pada fase ini biasanya perempuan akan mengalami stres dan kecemasan, stres dan kecemasan bisa terjadi akibat banyak faktor salah satunya adalah faktor penyesuaian diri. Berdasarkan pemaparan diatas dapat dikatakan bahwa terdapat perempuan usia dewasa madya menganggap peristiwa ini sebagai sesuatu yang menyenangkan. Menjalani fase sarang kosong sebagai sesuatu hal yang positif oleh perempuan usia dewasa madya tentu melewati proses penyesuaian diri terhadap berbagai kejadian. Oleh karena itu, penelitian ini akan menjelaskan lebih mendalam mengenai proses penyesuaian diri perempuan usia dewasa madya yang berada pada fase sarang kosong.

METODE PENELITIAN

Tipe Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Menurut Herdiansyah (2010) metode penelitian kualitatif adalah metodologi penelitian yang digunakan untuk memahami arti dari pengalaman individu berdasarkan perilaku yang muncul serta aktivitas mental yang mendasarinya. Metode penelitian kualitatif digunakan untuk mendapatkan data yang mendalam dan menekankan pada makna. Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi yang merupakan pandangan berpikir yang menekankan pada pengalaman-pengalaman subjektif manusia dan interpretasi-interpretasi dunia (Moleong, 2014). Fenomenologi berusaha untuk mencari arti secara psikologis dari suatu pengalaman individu terhadap suatu fenomena melalui penelitian yang mendalam dalam konteks kehidupan sehari-hari individu (Herdiansyah, 2010). Pada penelitian ini, peneliti ingin mengetahui bagaimana proses penyesuaian diri perempuan usia madya yang berada pada fase sarang kosong.

Karakteristik Responden

Penelitian ini melibatkan tiga orang perempuan yang berusia dewasa madya dan sedang berada pada fase sarang kosong. Karakterisrik fase sarang kosong sesuai dengan definisinya yaitu merupakan fase yang biasa dialami orangtua ketika akan memasuki usia dewasa madya, fase sarang kosongterjadi karena terdapat satu peristiwa saat anak mulai meninggalkan rumah untuk menjalankan kehidupan yang lebih mandiri dalam penelitian ini anak mulai meninggalkan rumah karena

kuliah dan menikah, selanjutnya karakteristik usia dewasa madya yang digunakan dalam penelitian ini menurut Hurlock (1980) yaitu masa dewasa madya dimulai pada umur 40 tahun sampai dengan 60 tahun, responden saat ini tidak sedang tinggal dengan anaknya karena alasan menikah atau kuliah. Responden saat ini hanya tinggal berdua dengan suami dan responden saat ini berdomisili di Denpasar (tabel 1. Terlampir).

Lokasi Pengumpulan Data

Lokasi penelitian dilakukan di tempat yang telah disepakati peneliti dengan responden. Penelitian pada ketiga responden dilakukan di rumah pribadi masing-masing responden yang berlokasi di Denpasar. Lokasi penelitian terhadap ketiga responden dapat dilihat pada tabel berikut ini (tabel 2. Terlampir).

Teknik Pengambilan Data

Teknik pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara dan observasi. Menurut Stewart dan Cash (dalam Herdiansyah, 2010), wawancara diartikan sebagai suatu interaksi yang terdiri dari pertukaran aturan, tanggung jawab, perasaan, kepercayaan, motif, dan informasi. Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara semi terstruktur, tujuan dari dari penggunaan wawancara jenis ini adalah untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka dengan meminta pendapat maupun ide-ide dari narasumber (Sugiyono, 2015).

Teknik pengambilan data yang dilakukan selanjutnya adalah observasi. Menurut Moleong (2014), observasi memungkinkan peneliti untuk mencatat peristiwa dalam situasi yang berkaitan serta untuk memahami situasi-situasi yang rumit untuk perilaku yang kompleks. Penelitian ini menggunakan teknik observasi tidak terstruktur. Dalam observasi yang tidak terstruktur, peneliti tidak menentukan dan merumuskan garis besar dari aspek-aspek yang akan diobservasi terlebih dahulu.

Jika pengambilan data telah selesai dilakukan, kemudian dilakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan data. Apabila data yang telah diperoleh dirasa kurang lengkap, maka peneliti dan responden merencanakan pertemuan kembali untuk melengkapi data. Berikut adalah tabel waktu pengambilan data yang telah dilakukan dalam penelitian ini (tabel 3. Terlampir).

Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis data theeoritical coding (Strauss & Corbin 1990), yang terdiri dari tiga tahap, yaitu:

Open coding

Merupakan proses merinci, menguji, membandingkan, konseptualisasi, dan melakukan kategorisasi data. Data yang diperoleh kemudian diberikan label konseptual dan dikelompokkan secara bersama-sama dalam suatu tingkat yang lebih tinggi, yaitu konsep yang lebih abstrak yang disebut kategori. Dalam tahap open coding, setiap respon jawaban maupun ekspresi dan tingkah laku yang ditunjukkan oleh responden dikelompokkan ke dalam beberapa kategori. Untuk menghindari adanya interpretasi dari peneliti, data

ditulis apa adanya, sesuai dengan apa yang ditampilkan oleh responden selama wawancara dalam menentukan kode. Proses ini dilakukan untuk setiap hasil wawancara dan observasi yang telah dilakukan terhadap responden sehingga akan terdapat hasil open coding sejumlah hasil wawancara dan observasi yang telah dilakukan.

Axial coding

Merupakan tahapan yang dilakukan untuk membuat keterkaitan antara kategori-kategori pada setiap data yang ada, sehingga diperoleh kategori-kategori yang di dalamnya terdapat seluruh kode data yang telah ditulis dalam open coding. Kemudian subkategori akan dihubungkan dengan sebuah kategori dalam suatu hubungan yang menunjukan kondisi kausal, fenomena, konteks, kondisi yang memengaruhi (intervening), strategi tindakan/aksi, dan konsekuensi. Kategori-kategori tersebut kemudian disajikan dalam bentuk paradigma model.

Selective coding

Pada tahap ini peneliti membuat narasi deskriptif atau story line dari data yang ditemukan yanng telah dibuat pada axial coding yaitu mengenai proses penyesuaian diri pada perempuan usia dewasa madya yang berada pada fase sarang kosong. Hasil penelitian yang telah dibuat dalam bentuk bagan sesuai dengan pertanyaan penelitian yakni proses penyesuaian diri pada perempuan usia dewasa madya yang berada pada fase sarang kosong. Setelah menyelesaikan semua tahapan koding, maka dilanjutkan dengan tahap pembahasan hasil penelitian berupa narasi sesuai dengan literatur yang digunakan.

Kredibilitas Penelitian

Data dan temuan dalam sebuah penelitian dikatakan kredibel apabila telah memenuhi validitas dan reliabilitas. Menurut Sugiyono (2012), temuan atau data pada penelitian kualitatif dapat dikatakan valid apabila tidak ada perbedaan antara yang dilaporkan peneliti dengan apa yang sehungguhnya terjadi pada objek yang diteliti. Sedangkan reliabilitas dalam penelitian kualitatif bersifat majemuk dan dinamis sehingga tidak ada yang konsisten dan berulang seperti semula. Menurut Sugiyono (2012) terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk melakukan uji kredibilitas pada sebuah penelitian, antara lain dengan cara perpanjangan pengamatan, meningkatkan ketekunan, triangulasi, diskusi dengan teman sejawat, analisis kasus negatif, menggunakan bahan referensi dan Membercheck. Pada penelitian ini, uji kredibilitas data dilakukan dengan metode:

Peningkatan Ketekunan

Peningkatan ketekunan dilakukan dengan cara melakukan pengamatan secara lebih cermat dengan membaca berbagai referensi buku maupun hasil penelitian atau dokumentasi yang terkait dengan temuan yang diteliti.

Triangulasi

Triangulasi dalam pengujian kredibilitas diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara dan waktu melalui triangulasi sumber dan triangulasi teknik pengumpulan data. Pada penelitian ini, peneliti melakukan triangulasi sumber dan teknik. Triangulasi sumber dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber (Sugiyono, 2012), selanjutnya triangulasi teknik yang digunakan pada penelitian ini selain melakukan

wawancara, peneliti juga melakukan observasi pada masing-masing responden.

Menggunakan Bahan Referensi

Teknik uji kredibilitas lainnya adalah menggunakan bahan referensi yang dilakukan untuk membuktikan atau mendukung data yang telah diperoleh (Sugiyono, 2012). Pada penelitian ini, hasil wawancara dibuktikan dengan adanya rekaman wawancara yang berbentuk audio.

Membercheck

Membercheck yaitu proses pengecekan data yang diperoleh peneliti kepada pemberi data untuk mengetahui seberapa jauh data yang diperoleh sesuai dengan apa yang diberikan oleh pemberi data. Membercheck akan dilakukan dengan memberikan hasil analisis data kepada responden untuk memeriksa ketepatan informasi responden dengan analisis data yang dihasilkan.

Isu Etik

Berikut beberapa isu etik yang diperhatikan dalam penelitian ini berdasarkan pada kode etik Himpunan Psikologi Indonesia, (2010), seperti perlindungan responden penelitian dari konsekuensi yang tidak menyenangkan, baik dari keikutsertaan atau penarikan diri atau pengunduran dari keikutsertaan. Sebelum pengambilan data dilakukan, peneliti memberikan informed consent yang menjelaskan kepada calon responden tentang penelitian yang akan dilakukan, serta mengenai asas kesediaan sebagai responden penelitian yang bersifat sukarela, sehingga memungkinkan pengunduran diri atau penolakan untuk terlibat. Selanjutnya, peneliti bersikap profesional, bijaksana, dan jujur dengan memerhatikan keterbatasan kompetensi dan kewenangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam melakukan pelaporan maupun publikasi hasil penelitian untuk menghindari kekeliruan penafsiran serta menyesatkan masyarakat pengguna jasa layanan psikologi.

HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian ini akan dipaparkan berdasarkan enam kategori yaitu penyebab sarang kosong, kondisi yang dialami pada fase sarang kosong, tindakan yang dilakukan responden untuk mencapai penyesuaian diri, faktor-faktor yang mendukung dalam mencapai penyesuaian diri, faktor-faktor yang menghambat dalam mencapai penyesuaian diri, dan kondisi setelah tercapainya penyesuaian diri

Gambar 1 (terlampir). Paradigma model di atas menunjukkan proses penyesuaian diri perempuan usia dewasa madya yang berada pada fase sarang kosong. Berikut akan dijabarkan masing-masing kategori yang didapat dari proses wawancara dan observasi:

Penyebab sarang kosong

Menurut ketiga responden, sarang kosong yang dialami responden disebabkan oleh beberapa hal, yaitu tempat tinggal anak yang berbeda, perasaan khawatir dengan keadaan anak, berkurangnya kesibukan sehari-hari, suami yang masih aktif bekerja sehingga tidak bisa selalu di rumah dan makna keluarga sebagai tujuan hidup yang sangat berharga.

Sindrom sarang kosong pada perempuan usia dewasa madya Berdasarkan hasil wawancara didapat beberapa gambaran

sindrom sarang kosong yang dialami oleh responden, meliputi perasaan kesepian karena anak tidak tinggal bersama dengan responden, mengalami demam karena perasaan kesepian yang dimiliki, perasaan hampa karena berkurangnya kesibukan sehari-hari dan mulai merasa takut kehilangan anak.

Faktor yang mendukung dalam menghadapi fase sarang kosong

Keberhasilan perempuan usia dewasa madya yang berada pada fase sarang kosong untuk menyesuaikan diri dipengaruhi oleh beberapa hal, salah satunya merupakan faktor-faktor yang mendukung responden dalam menghadapi fase sarang kosong, antara lain responden menyadari jika alasan anak pergi karena kuliah, lalu dukungan suami dalam menghadapi fase sarang kosong, komunikasi yang tetap intens dengan anak, hubungan yang baik dengan teman-teman dan juga responden yang menyibukkan diri dengan pekerjaan agar tidak selalu fokus memikirkan anak membantu responden dalam menghadapi fase sarang kosong. Penyebab terjadinya sindrom sarang kosong antara lain adalah tempat tinggal anak yang berbeda, perasaan khawatir dengan keadaan anak, berkurangnya kesibukan sehari-hari, suami yang masih aktif bekerja sehingga tidak bisa selalu di rumah dan makna keluarga sebagai tujun hidup yang sangat berharga.

Faktor yang menghambat dalam menghadapi fase sarang kosong

Beberapa faktor yang menghambat proses penyesuaian diri pada fase sarang kosong adalah perubahan emosi yang fluktuatif akibat menopause, perubahan fisik yang menurun sehingga tidak bisa banyak melakukan kegiatan dan juga perasaan dekat responden dengan anak karena sejak kecil hingga remaja selalu mengasuh dan sering melakukan kegiatan bersama anak menjadi faktor penghambat dalam menyesuailan diri pada fase sarang kosong.

Tindakan yang dilakukan untuk mencapai penyesuaian diri pada fase sarang kosong

Dalam menghadapi berbagai perubahan pada fase sarang kosong tentu diperlukan berbagai tindakan untuk mencapai penyesuaian diri, dalam penelitian ini terdapat beberapa tindakan yang dilakukan responden untuk dapat mencapai penyesuaian diri pada fase sarang kosong, antara lain komunikasi yang intens dengan anak, bertemu dan melakukan aktivitas bersama teman-teman, mengobrol dan melakukan kegiatan bersama suami, berdoa mendekatkan diri kepada Tuhan agar pikiran bisa lebih tenang menghadapi segala perubahan yang terjadi membantu ketiga responden untuk menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi pada fase sarang kosong.

Kondisi setelah mencapai penyesuaian diri pada fase sarang kosong

Kondisi responden setelah mencapai penyesuaian diri pada fase sarang kosong yaitu responden lebih menerima segala perubahan yang terjadi, responden menyadari bahwa suami sebagai teman hidup yang akan terus menemaninya, dan respoden juga merasa tidak sendiri karena banyak teman-temannya juga mengalami hal yang sama dan bisa diajak saling sharing bersama.

Pembahasan

Sindrom sarang kosong merupakan perasaan kosong dan sedih yang umumnya dialami orangtua saat anaknya pergi

meninggalkan rumah karena bekerja, menikah ataupun kuliah. Kepergian anak dari keluarga membawa perasaan kosong pada orang tua karena sebelum anak meninggalkan keluarga, orangtua memperoleh banyak kepuasaan yang berasal dari seorang anak (Santrock, 2002). Dalam penelitian ini, sindrom sarang kosong disebabkan oleh beberapa hal yaitu tempat tinggal anak yang berbeda, perasaan khawatir dengan keadaan anak, berkurangnya kesibukan sehari-hari, suami yang masih aktif bekerja sehingga tidak bisa selalu di rumah, dan makna keluarga sebagai tujuan hidup yang sangat berharga.

Barber (1989) mengatakan bahwa salah satu gejala dari sindrom sarang kosong adalah kecemasan, sejalan dengan hasil yang didapatkan pada penelitian ini bahwa sindrom sarang kosong yang dialami responden salah satunya adalah mengalami demam ketika merasa kesepian. Menurut Daradjat (1983) kecemasan merupakan manifestasi dari berbagai proses emosi yang bercampur baur, yang terjadi ketika orang sedang mengalami tekanan perasaan (frustrasi) dan pertentangan batin (konflik), dalam kondisi yang dialami responden merujuk pada kecemasan fisiologis yaitu terdapat gejala seperti tangan dan kaki sering berkeringat dingin, demam, mengalami gangguan pencernaan, pernafasan terganggu (Daradjat, 1983).

Perasaan lain yang dirasakan responden adalah perasaan hampa karena berkurangnya kesibukan sehari-hari. Responden merasa hampa ketika pekerjaan rumah sudah selesai dan suami berangkat kerja, hal ini sesuai dengan pernyataan Hurlock (1980) bahwa hilangnya kesibukan aktivitas sehari-hari disebabkan oleh perubahan fisik maupun kognitif yang terjadi pada usia dewasa madya. Sindrom sarang kosong yang dirasakan responden selanjutnya adalah perasaan takut kehilangan anak. Hurlock (1980) menyatakan bahwa orangtua yang terlalu melindungi dan terlalu merasa memiliki anak-anaknya cenderung untuk membuat anak-anak mereka berpusat dan bergantung pada kehidupan orangtuanya, sehingga orangtua akan kesulitan menyesuaikan diri terhadap perubahan peran pada saat anak-anak meninggalkan rumah. Hal tersebut ditunjukkan oleh respon responden yang merasa takut kehilangan anak-anak setelah anak-anak tidak tinggal bersama lagi karena kuliah.

Penyesuaian diri pada fase sarang kosong hanya dapat terjadi ketika individu melakukan tindakan-tindakan seperti melakukan komunikasi yang intens dengan anak hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Dharmawati (2016) bahwa salah satu upaya yang dilakukan untuk mencegah sindrom sarang kosong pada perempuan usia dewasa madya adalah dengan tetap menjaga hubungan yang baik dengan anak maupun dengan cucu. Shakya (2013) mengatakan bahwa salah satu hal yang dapat mengurangi efek dari sindrom sarang kosong adalah dengan mengunjungi keluarga anak yang sudah memiliki tempat tinggal berbeda.

Tindakan selanjutnya yang bisa dilakukan untuk memperoleh penyesuaian diri adalah bertemu dan melakukan kegiatan bersama teman-teman hal ini dilakukan untuk mengurangi perasaan kesepian yang dialami responden. Tindakan yang dilakukan responden sesuai dengan penelitian yang dilakukan Wardani (2012) bahwa pentingnya membina hubungan positif

dengan orang lain sebagai cara utama untuk beradaptasi dengan fase sarang kosong. Hubungan positif itu meliputi keuletan, kesenangan, dan kegembiraan yang didapatkan dari hubungan dengan orang lain, dari keakraban dan cinta (Wardani, 2012).

Responden mengatakan tindakan lain yang membantunya mencapai proses penyesuaian diri pada fase sarang kosong adalah dengan melakukan kegiatan bersama suami, seperti refreshing bersama suami, memanfaatkan waktu berdua agar responden tidak merasa kesepian dan sedih. Responden juga mengatakan seringkali mengungkapkan keluh kesah kepada suaminya ketika ada masalah yang dirasakan baik akibat kepergian anak ataupun karena hal lain. Penyesuaian diri terlihat lebih sulit pada ibu yang menjadi orangtua tunggal karena bercerai atau meninggalnya pasangan (Nagy & Theiss, 2013; Ghofur & Hidayah, 2014). Keberadaan pasangan sangat berpengaruh dalam penyesuaian diri seorang ibu, karena orientasi peran dalam hidup akan kembali pada pasangan (Ghofur & Hidayah, 2014).

Rahmah (2006) mengatakan keberadaan pasangan juga mampu mereduksi kesedihan dan rasa sepi pada diri seorang ibu serta mendapatkan kompensasi atas rasa kehilangannya terhadap anak-anak. Duvall & Miller (1985) mengatakan bahwa tugas pasangan di usia dewasa madya adalah menemukan satu sama lain sebagai suami istri lagi, lalu pasangan usia dewasa madya lebih cenderung untuk mendukung satu sama lain serta memenuhi kebutuhan masing-masing secara emosi maupun seksual yang menarik mereka sebagai pasangan. Responden biasa melakukan berbagai kegiatan yang bermanfaat untuk mengisi waktu luangnya akibat kepergian anak, kegiatan yang dilakukan bisa dalam hal pekerjaan ataupun menjalankan hobi yang dimiliki.

Kepergian anak-anak meninggalkan rumah merupakan kejadian yang tak terelakkan dan hampir bisa dipastikan dialami para orangtua pada usia dewasa madya, maka dalam menghadapi kenyataan itu individu memandang perlu mengisi waktu luang yang tersedia dengan melakukan berbagai kegiatan bermakna (Wardani, 2015; Makkar, 2015). Melakukan berbagai kegiatan dengan teman-teman juga dapat membantu responden dalam menjalani fase sarang kosong dengan lebih positif. Lestari (2017) menyatakan bahwa berkumpul bersama teman, sharing pengalaman, mencari solusi dari masalah yang dihadapi merupakan aktivitas yang baik bagi individu. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Dharmawati (2016) menyebutkan bahwa individu sebaiknya aktif meningkatkan aktivitas di lingkungan sekitar dalam mencegah sindrom sarang kosong.

Keterlibatan aktif individu pada usia dewasa madya dalam kegiatan rekreasi, termasuk olahraga, kegiatan seni dan hobi, dapat membantu individu mengurangi keterikatan emosional dengan anak-anak, mengatasi kesepian dan meningkatkan kesehatan mental (Wei,2010). Terakhir, tindakan yang dilakukan responden untuk mencapai penyesuaian diri adalah dengan berdoa mendekatkan diri kepada Tuhan sehingga responden merasa lebih tenang dalam menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi pada fase ini. Salah satu faktor yang

dapat membantu individu pada fase sarang kosong bisa menikmati kehidupan barunya tanpa kehadiran anak-anak adalah dengan meningkatkan religiusitas (Akmalah,2014; Makkar, 2015; Mbaeze & Ukwandu, 2011).

Tindakan-tindakan seperti menjaga komunikasi yang intens dengan anak, melakukan kegiatan bersama teman-teman, melakukan kegiatan bersama suami, melakukan berbagai kegiatan yang bermanfaat serta berdoa dan mendekatkan diri kepada Tuhan dipengaruhi oleh beberapa faktor, ada faktor yang menjadi penghambat proses penyesuaian diri responden seperti perubahan emosi yang fluktuatif akibat menopause, emosi fluktuatif yang dialami responden dalam penelitian ini seperti tiba-tiba bisa menangis saat sedang melakukan aktivitas karena teringat oleh anaknya. Hurlock (1980) mengatakan banyak perempuan mengalami perubahan kepribadian selama masa menopause seperti merasa tertekan, cepat marah serta bersifat mengkritik diri.

Faktor yang menjadi penghambat proses penyesuaian diri selanjutnya adalah perasaan dekat dengan anak karena sejak kecil selalu melakukan kegiatan bersama, hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Hurlock (1980) bahwa orangtua yang terlalu melindungi dan terlalu merasa memiliki anak-anaknya cenderung untuk membuat anak-anak berpusat dan bergantung pada kehidupan orangtuanya, sehingga orangtua akan kesulitan menyesuaikan diri terhadap perubahan peran pada saat anak-anak meninggalkan rumah. Penelitian yang dilakukan Mbaeze & Ukwandu (2011) mengungkapkan bahwa ikatan yang kuat antara orangtua dan anak akan memperburuk kondisi orangtua saat memasuki fase sarang kosong.

Selain faktor yang menghambat terdapat juga faktor yang mendukung dalam menghadapi fase sarang kosong, yaitu individu menyadari alasan anak tidak tinggal bersama, hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Makkar (2015) bahwa salah satu cara untuk dapat melewati fase sarang kosong adalah dengan menerima kenyataan dan percaya dengan kemampuan anak. Hurlock (1980) mengatakan individu dengan penyesuaian yang baik mempunyai sikap realistik dan objektif berdasarkan pada proses belajar, pengalaman masa lalu, pertimbangan rasional, dan dapat menghargai situasi dan masalah biasanya digunakan untuk menghadapi peristiwa penting, sehingga orangtua bisa menerima alasan anak-anak meninggalkan rumah.

Faktor selanjutnya yang membantu dalam proses penyesuaian diri adalah dukungan emosional suami untuk melewati fase sarang kosong, sesuai dengan penelitian yang dilakukan Akmalah (2014) bahwa dukungan emosional dari suami dapat membuat individu lebih mudah menyesuaikan diri atas kepergian anak dari rumah. Wardani (2012) menambahkan ibu empty nester sangat didukung oleh keberadaan dukungan emosional pasangan maupun kelompok sebaya. Komunikasi yang intens dengan anak menjadi faktor yang membantu proses penyesuaian diri pada fase sarang kosong dikarenakan komunikasi yang intens dapat mengurangi perasaan khawatir ibu terhadap anak-anak.

Penelitian yang dilakukan Mitchell & Lovergreen (2009)

menyatakan bahwa hubungan yang tetap terjalin baik dengan anak setelah anak-anak pergi meninggalkan rumah membantu para ibu menyesuaikan diri menghadapi fase sarang kosong. Kualitas hubungan sosial yang baik dengan anak-anaknya maupun orang lain juga turut membantu para ibu menyesuaikan diri menghadapi fase sarang kosong. Hubungan yang tetap terjalin baik dengan anak setelah anak-anak pergi meninggalkan rumah, dan hubungan dengan orang lain seperti berteman dan ikut serta dalam komunitas tertentu, juga turut mempengaruhi kondisi dewasa madya yang berada pada fase sarang kosong (Mitchell & Lovergreen, 2009; Ghofur & Hidayah, 2014; Makkar, 2015).

Faktor lain yang membantu proses penyesuaian diri adalah hubungan yang baik dengan teman sebaya. Responden dalam penelitian ini melakukan aktivitas bersama teman-temannya untuk mengisi waktu luang yang dimiliki dan juga untuk mengurangi kesepian yang dirasakan, berpartisipasi dalam organisasi sosial dan organisasi kemasyarakatan perlu dilakukan oleh individu, upaya ini dilakukan untuk memperpanjang usia harapan hidup dan masa produktif, serta mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan dalam memelihara sistem nilai budaya dan kekerabatan (Rahmah, 2006; Makkar, 2015).

Faktor terakhir yang membantu responden dalam menyesuaikan diri pada fase sarang kosong adalah pekerjaan responden. Kesibukan dalam pekerjaan dinyatakan dapat membantu dalam mengalihkan fokus perhatian responden, sehingga responden tidak selalu memikirkan anaknya, Duvall & Miller (1985) menyatakan bahwa para perempuan usia dewasa madya yang anak-anaknya telah dewasa akan mendapatkan kepuasan ketika perempuan usia dewasa madya memiliki pekerjaan, kreatif dan diakui sebagai seseorang yang yang berkompeten pada pekerjaan. Keberhasilan dalam pekerjaannya tergantung pada seberapa baik perempuan setengah baya mengalokasikan waktu dan energi yang dia berikan untuk pekerjaannya, urusan rumah tangga, dan tanggung jawab lain.

Berdasarkan faktor-faktor yang telah disebutkan diatas, maka dapat dilihat bahwa tindakan yang ditampilkan oleh responden untuk mencapai penyesuaian diri pada fase sarang kosong dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dibagi menjadi dua, yaitu faktor yang menghambat dalam proses penyesuaian diri seperti perubahan emosi yang fluktuatif akibat menopause dan perasaan responden yang dekat dengan anak karena sejak kecil selalu melakukan kegiatan bersama. Faktor yang mendukung dalam proses penyesuaian diri adalah kesadaran diri alasan anak pergi meninggalkan rumah, dukungan emosional suami dalam menghadapi fase sarang kosong, komunikasi yang intens dengan anak, hubungan yang baik dengan rekan sebaya dan kesibukan dalam pekerjaan.

Keterbatasan dalam penelitian ini terletak pada proses pengambilan data yang dilakukan, yaitu catatan lapangan yang tidak detil dicatat oleh peneliti karena peneliti kesulitan jika harus fokus pada beberapa hal sekaligus, yaitu melakukan wawancara dan memerhatikan responden, serta mencatat gestur responden. Hal ini membuat peneliti melewatkan

informasi non-verbal yang mungkin saja penting bagi penelitian ini.

Selain keterbatasan pada saat pelaksanaan pengambilan data, yaitu kesulitan mencari responden yang hanya tingal berdua dengan suami dan tidak tinggal dengan cucu atau keluarga lainnya, mengingat struktur keluarga di Bali biasa terdiri atas keluarga besar atau extended family.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan diatas, maka dalam penelitian ini didapatkan kesimpulan sebagai berikut:

  • (1)    Perasaan kesepian dan khawatir yang dialami responden setelah melalui proses penyesuaian diri menjadi perasaan menerima segala perubahan dan menyadari alasan anak pergi dari rumah. Perubahan tersebut dapat terjadi karena tindakan-tindakan yang dilakukan oleh responden seperti melakukan komunikasi yang intens dengan anak, bertemu dan melakukan kegiatan bersama teman-teman, melakukan kegiatan bersama suami, melakukan kegiatan berbagai kegiatan yang bermanfaat, mengelola cara berpikir serta berdoa dan mendekatkan diri kepada Tuhan. (2) Tindakan-tindakan yang dilakukan responden dalam mencapai proses penyesuaian diri dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dibagi menjadi faktor yang menghambat proses penyesuaian diri dan faktor yang membantu proses penyesuaian diri. Faktor yang menghambat proses penyesuaian diri perempuan usia dewasa madya yang berada pada fase sarang kosong antara lain perubahan emosi yang fluktuatif akibat menopause, dan perasaan dekat dengan anak karena sejak kecil selalu melakukan kegiatan bersama.

  • (3)    Faktor-faktor yang membantu dalam proses penyesuaian diri perempuan usia dewasa madya yang berada pada fase sarang kosong, antara lain kesadaran responden bahwa alasan anak tidak tinggal di rumah karena menikah dan kuliah, dukungan emosional suami dalam melewati fase sarang kosong, komunikasi intens dengan anak, hubungan yang baik dengan teman dan lingkungan serta kesibukan dalam pekerjaan.

Saran

Berdasarkan kesimpulan yang telah dipaparkan, maka peneliti memberikan saran kepada perempuan dewasa madya yang berada pada fase sarang kosong disarankan untuk menerima segala perubahan-perubahan yang terjadi pada fase sarang kosong dengan positif, serta bisa mengelola pola pikir yang positif terkait alasan anak tidak tinggal di rumah. Selain hal tersebut, perempuan usia dewasa madya, khususnya yang tidak memiliki pekerjaan agar bisa melakukan berbagai kegiatan-kegiatan yang dapat mengisi waktu luang seperti menjalankan hobi yang dimiliki ataupun berkumpul dan arisan bersama teman-teman.

Untuk perempuan dewasa madya yang bekerja diharapkan dapat mengisi waktu luang dengan menyibukkan diri dalam pekerjaan agar tidak terfokus memikirkan perubahan-perubahan yang terjadi pada fase sarang kosong sehingga perempuan usia dewasa madya yang berada pada fase sarang kosong dapat merasa nyaman dan lebih tenang saat menjalani fase sarang kosong.

Perempuan usia dewasa madya juga disarankan semakin meningkatkan hubungan dengan pasangan dengan cara memanfaatkan waktu luang untuk meningkatkan intimasi. Hubungan dengan teman-teman juga disarankan agar perempuan usia dewasa madya bisa saling berbagi dan tidak merasa menghadapi masalah seorang diri.

Saran kepada pihak keluarga, sangat disarankan untuk bisa menjadi sumber dukungan utama bagi perempuan usia dewasa madya yang berada pada fase sarang kosong. Dukungan yang bisa dilakukan seperti rutin melakukan pertemuan keluarga besar dan tetap menjaga komunikasi yang intens, kepada suami diharapkan dapat membantu istri yang sedang berada pada fase sarang kosong dengan melakukan kegiatan bersama seperti mengajak istri refreshing keluar rumah untuk meningkatkan intimasi. Kepada anak, diharapkan dapat tetap menjaga komunikasi dengan ibu untuk mengurangi perasaan khawatir yang dialami. Hal-hal tersebut bisa membantu perempuan usia dewasa madya menghadapi fase sarang kosong.

Saran kepada masyarakat diharapkan dapat mengadakan berbagai kegiatan dalam masyarakat yang dapat membantu mengisi waktu luang perempuan usia dewasa madya, seperti misalnya di setiap Banjar mengadakan sharing session, dimana pada kegiatan ini para perempuan usia dewasa madya diajak berkumpul bersama lalu menyampaikan keluhan yang dialami pada usia ini dan bagaimana cara mengatasinya. Kegiatan tersebut diharapkan dapat menjadi wadah bagi perempuan usia dewasa madya yang tidak memiliki kegiatan atau pekerjaan untuk dapat berkumpul dan berbagi perasaan sehingga dapat mengurangi perasaan kesepian yang dirasakan.

Saran kepada pemerintah disarankan untuk membuat program untuk menyediakan wadah kegiatan yang bermanfaat untuk mengisi waktu luang bagi perempuan yang berada pada usia dewasa madya, agar perempuan usia dewasa madya dapat lebih mengisi luang dengan kegiatan yang lebih bermanfaat sehingga akan mengurangi perasaan kesepian yang dialami.

Saran kepada peneliti selanjutnya, Peneliti selanjutnya diharapkan untuk meneliti fenomena sindrom sarang kosong pada laki-laki, karena penelitian tentang sindrom sarang lebih banyak dilakukan pada perempuan sehingga dapat ditemukan hasil penelitian yang memunculkan saran-saran yang dapat diaplikasikan oleh laki-laki yang berada pada fase sarang kosong, selain itu peneliti selanjutnya diharapkan dapat meneliti fase sarang kosong pada ibu yang mengasuh anaknya seorang diri (single parent) atau ibu yang sudah berstatus janda karena kematian pasangan atau bercerai, agar penelitian tentang fase sarang kosong dapat lebih mendalam dan bervariasi

DAFTAR PUSTAKA

Akmalah, N. (2014). Psychological well-being pada ibu usia dewasa madya yang berada pada fase sarang kosong. Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi Vol 3 No 2 Th 2014. Surabaya: Universitas Airlangga.

Atmaja, J. (2009). Perkawinan pada gelahang di Bali. Denpasar: Udayana University Press.

Atwater, E. (1983). Psychology of adjustment 2nd ed. USA: Prentice Hall, Inc., Englewood Clift.

Bararah, V. F. (2010). 'Sindrom sarang kosong', saat anak meninggalkan rumah. Jakarta, Jakarta: Diunduh dari http://health.detik.com/read/2010/07/01/083551/1390690/7 63/sindrom-sangkar-kosong-saat-anak-meninggalkan-rumah tanggal 26 Oktober 2016.

Barber, C. E. (1989). Transition to the Empty Nest. Lexington: Lexington Books.

Creswell, J. W. (2015). Penelitian kualitatif & desain riset : Memilih diantara Lima Pendekatan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Daradjat, Z (1983). Kesehatan mental. Jakarta: Gunung Agung.

Darmayanthi, N.K.M. (2016). Gambaran sindrom sarang kosong pada seorang ibu di Bali. Studi Kasus (Naskah Tidak Dipublikasikan). Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

Dharmawati, M.A. (2016). Upaya-upaya mencegah sindrom sarang kosong pada lanjut usia perempuan di Banguntapan, Bantul. Skripsi (Naskah Dipublikasikan). Fakultas Ilmu Pendidika Universitas Negeri Yogyakarta.

Duvall, E. M., & Miller, B. C. (1985). Marriage and development, 6th ed. USA: Hurper & Row Publisher, Inc

Feldman, R.S. (1989). Adjustment applying psychology in a complex world (International ed). Singapore: McGraw-Hill Book Company.

Ghafur, J, & Hidayah, F.S. (2014). Manajemen waktu di usia madya untuk meminimalisir dampak dari empty nest syndrome. Jurnal Inovasi dan Kewirausahan Vol 3.    120-125.

Jogjakarta. Universitas Islam Indonesia.

Herdiansyah, H. (2010). Metodologi penelitian kualitatif untuk ilmu-ilmu sosial. Jakarta: Salemba Humanika.

Himpunan Psikologi Indonesia. (2010). Kode etik psikologi Indonesia. Jakarta: Pengurus Pusat Himpunan Psikologi Indonesia.

Hurlock, E.B. (1980). Psikologi perkembangan: suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan, Edisi 5. Jakarta: Erlangga.

Kartono, K, & Andri, S. (2001). Hygiene mental & kesehatan mental dalam islam. Bandung: Mandar Maju.

Lestari, M.D. (2017). Persahabatan: makna dan kontribusinya bagi kebahagiaan dan kesehatan lansia. Jurnal Psikologi Ulayat Vol 4 No 1. 59-82

Levinson, W. (2004). Medical microbiology & imunology, Examination & Board. New York: McGraw-Hill,

Makkar, Suresh. (2015). Problem of empty nest syndrome: an analysis and sugestion to bridle it. ADR Journal. 19-23

Mbaeze, I.C & Ukwandu, E. (2011). Empty-nest syndrome, gender, and family size as predictor of ages’s adjusment pattern. Pakistan Journal of Social Science 8 (4). 166-171. Nigeria: Imostate University

Mitchell, B. & Lovergreen, L.D. (2009). The empty nest syndrome in midlife families. Journal Of Family Issue 30. 1651-1670

Moleong, L.J. (2014). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Mosser, C.O. (1993)/ Gender planning and development theory; practice and training. (H. Silawati, Penerj.) New York: Routledge

Murdock, G. P. (1965). Social structure. the free-press. New York: The Free-Press.

Nagy, M.E., Theiss, J.A. (2013). Applying the relational turbulence model to the empty-nest transition: sources of relationship change, relationship uncertainty, and interference from partners. Journal of Family Communication. 280-300. Bloomsburg: Bloomburgs University

Olson, D. H., & Defrain, J. (2000). Marriage family: intimacy,

diversity, and strengths 5th edition. New York: McGraw Hill.

Papalia, D.E, & Felmand, R.D. (2014). Menyelami perkembangan manusia, Edisi. 12. Jakarta: Salemba Humanika

Rahmah, N. (2006). Penyesuaian diri ibu menghadapi sindrom sarang

kosong. Skripsi (Naskah Dipublikasikan). Fakultas Psikologi Universitas Airlangga.

Rospita, I.O. Lestari, M.D. (2016). Penyesuaian dan kepuasan

perkawinan pada perempuan Bali yang tinggal di keluarga inti dan keluarga batih. Jurnal Psikologi Udayana Vol 3 No 3. 491-498. Denpasar: Universitas Udayana

Santrock, J.W. (2002). Life span development: perkembangan masa hidup, Edisi 2. Jakarta: Erlangga.

Shakya, D.R. (2013). Empty nest- mirrored in a growing min; a case

report. Journal Psychiatrists Association of Nepal Vol 2 No

  • 2. Nepal. Koirala Institute of Health Science

Strauss, & Corbin. (1990). Basic of qualitative research: grounded theory procedures and techniques. USA: Sage Publication

Sugiyono. (2012). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif dan R&D.

Bandung: Alfabeta.

Sugiyono. (2015). Metode penelitian kombinasi (mixed method).

Bandung. Alfabeta.

Wardani, R. (2012). Kesejahteraan psikologis dan dukungan

pasangan pada ibu “empty nester” di kota Bandung. Jurnal Vol 3 No 1 Th 2012. Bandung: Universitas Padjajaran.

LAMPIRAN

Tabel 1

Karakteristik Responden Penelitian

Identitas

Responden I

Responden II

Responden III

Nama (Inisial)

KA

NT

DA

Jenis Kelamin

Perempuan

Perempuan

Perempuan

Usia

43 tahun

51 tahun

53 tahun

Jnmlah anak

2

2

3

Alasan tidak

tinggal bersama anak

Anak pertama kuliah di Jogjakarta dan anak kedua kuliah di Australia

Kedua anak kuliah di Malang

Anak pertama dan kedua sudah menikah dan anak ketiga sedang kuliah di Surabaya

Tinggal

Denpasar

Denpasar

Denpasar

Saat ini tinggal

Suami

Suami

suami

dengan

Tabel 2

Lokasi Penelitian

Responden           Kode Responden

Lokasi Penelitian

I KA ∏ NT III DA

Rumah KA

Rumah NT

Rumah DA

Tabel 3

Waktu Pelaksanaan Wawancara dan Observasi

Kode Responden

Waktu Pelaksanaan

KA

03 Maret 2017

20 Maret 2017

13 Mei 2017

NT

25 April 2017

13 Mei 2017

DA

16 Mei 2017

18 Mei 2017

Kode Significant Others

Waktu Pelaksanaan

AG (Anak kedua Responden KA)

20 Maret 2017

NA (Anak pertama Responden KA)

17 Mei 2017

BS (Anak pertama Responden NT)

12 Mei 2017

AS (Suami Responden NT)

16 Mei 2017

GR (Anak ketiga Responden DA)

18 Mei 2017

GL (Anak kedua Responden DA)

19 Mei 2017

Gambar 1

Paradigma Model

Penyebab sarang kosong

  • a.    Tempat tinggal anak berbeda

  • b.    Khawatir dengan keadaan anak

c Berkurangnya kesibukan sehari-hari

d Suami masih aktif bekerja sehingga tidak bisa selalu di rumah

e Makna keluarga sebagai tujuan hidup yang sangat berharga


78