Jurnal Psikologi Udayana

Edisi Khusus Kesehatan Mental, 89-102

Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana e-ISSN: 2654 4024; p-ISSN: 2354 5607

Proses penerimaan anggota keluarga orang dengan skizofrenia

Ida Ayu Winda Candra Laksmi dan Yohanes Kartika Herdiyanto

Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana

[email protected]


Abstrak

Skizofrenia merupakan gangguan psikotik dalam proses berpikir, berbicara, dan berperilaku. Tak hanya memengaruhi orang dengan skizofrenia (ODS) saja, skizofrenia juga memengaruhi orang-orang disekitar ODS, termasuk anggota keluarga yang tinggal satu rumah dengan ODS. Stigma yang dibentuk oleh masyarakat membuat anggota keluarga menutup diri dan enggan bersosialisasi. Permasalahan fisik dan psikis juga dialami oleh anggota keluarga dengan keadaan ODS, maka dibutuhkan proses untuk dapat menerima keadaan diri, dengan melewati tahapan-tahapan dalam proses penerimaan. Penanganan yang tepat juga dibutuhkan untuk membantu pemulihan ODS, dengan mendapatkan pengobatan teratur dan pendampingan dari keluarga juga merupakan faktor yang penting.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan apa saja permasalahan yang dihadapi anggota keluarga ODS, proses penerimaan anggota keluarga ODS (beserta strategi kopingnya), penanganan yang dilakukan, dan faktor-faktor yang memengaruhi penerimaan anggota keluarga ODS. Menggunakan metode kualitatif fenomenologi dengan teknik pengambilan data observasi dan wawancara pada 6 orang responden yaitu anggota keluarga ODS yang tinggal satu rumah dengan ODS dan menggunakan analisis data theoretical coding.

Hasil penelitian ini menunjukkan kurangnya pengetahuan keluarga mengenai skizofrenia, emosi, sikap ODS, dan penilaian lingkungan yang menjadi permasalahan anggota keluarga ODS. Proses penerimaan anggota keluarga ODS melalui tahap penolakan, marah, tawar-menawar, depresi, dan tahap penerimaan, walaupun terdapat perbedaan pada kasus-kasus yang spesifik. Penanganan pada ODS yang memberikan efek pemulihan lebih cepat adalah membawa ODS ke rumah sakit, memberikan obat dan perawatan keluarga. dorongan dari dalam diri, dukungan sosial, pandangan diri, pandangan sosial dan status ekonomi merupakan faktor penerimaan anggota keluarga ODS.

Kata kunci: Proses penerimaan, anggota keluarga ODS, skizofrenia.

Abstract

Schizophrenia is a psychotic disorder in the process think, speak, and behave. Do not only affect people with schizophrenia (ODS), schizophrenia also affects people around the ODS, including members of the family who live one house with ODS. The stigma that was formed by the community making family members shut down and reluctant to socialize. Physical and psychological problems were also experienced by family members with ODS, then it takes a process to be able to receive a state themselves, with it went through stages in the process of acceptance. Proper handling is also required to assist in the recovery of ODS, by getting regular treatment and mentoring of families is also an important factor.

This research aims to describe what are the problems faced by the family members of the ODS, to describe the process of acceptance family members of ODS (along with coping strategy), to know the handling is done, to find factors that affect the acceptance family members of ODS. Using qualitative methods of phenomenology, techniques of observation and data retrieval interview on 6 respondents i.e. family members of ODS who lives one house with ODS and data analysis uses theoretical coding.

The results of this study demonstrate a lack of knowledge about schizophrenia, family members emotions, attitude of ODS, and environmental assessment of the problems family members of ODS. The process of acceptance family members of ODS through the stages of denial, anger, bargaining, depression, and acceptance phase, although there are differences in specific cases. Handling ODS which provide faster restoration effect is brought to the hospital, ODS provides a cure and care of the family members. Encouragement from self, social support, self'-judgmental, social-judgmental and economic status is a factor in the acceptance family members of ODS.

Key words: the process of acceptance, family members of ODS, schizophrenia.


LATAR BELAKANG

Keadaan sehat dan sakit merupakan keadaan biopsikososial dan terus terjadi dalam proses kehidupan manusia (Notosoedirdjo & Latipun, 2001). Keadaan sehat adalah keadaan emosional, fisik dan sosial yang baik, mampu memenuhi tanggung jawab, merasa puas dengan hubungannya pada sesama dan dirinya (Baradero, Dayrit, & Maratning, 2016). Konsep sakit adalah suatu konsep yang menjelaskan suatu penyimpangan yang membenarkan individu melepas tanggung jawab, peran, atau kebiasaan tertentu yang dilakukannya saat sehat karena adanya ketidaksehatannya (Notosoedirdjo & Latipun, 2001). Salah satu dari konsep sakit dapat dilihat pada seseorang yang mengalami gangguan mental atau yang lebih dikenal dengan gangguan jiwa.

Prevalensi penderita gangguan jiwa berat seperti skizofrenia di Indonesia adalah 1,7 kejadian per 1000 penduduk yang merupakan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013. Berdasarkan data Riskesdas tahun 2013, Bali masuk pada peringkat tiga wilayah dengan gangguan kejiwaan berat di Indonesia, dengan prevalensi kasus skizofrenia sebesar 2,3 permil yang artinya dari 1000 penduduk diantaranya terdapat 2,3 kasus skizofrenia. Skizofrenia adalah gangguan dengan simtom yang bervariasi, diantaranya gangguan dalam proses berpikir, isi, dan bentuk pemikiran, persepsi, gangguan afek, motivasi, kesadaran diri, gangguan dalam tingkah laku, dan hubungan dengan orang lain (Halgin dan Withbourne, 1997). Skizofrenia dapat bersifat kronis atau menahun dan gangguan yang dialami dapat memengaruhi emosi, pikiran atau tingkah laku, di luar kepercayaan budaya dan kepribadian orang dengan gangguan jiwa (Salahuddin, 2009). Skizofrenia menimbulkan hambatan yang berdampak bagi ODS, lingkungan, terutama anggota keluarga yang merawat ODS dengan merasakan beban fisik dan mental yang berbeda dengan keluarga lain pada umumnya, membuat perubahan pada kehidupan keluarga dalam berinteraksi sosial dan kepercayaan diri (Nainggolan & Hidajat, 2013).

Keluarga adalah lingkungan terdekat dan utama dalam kehidupan ODS, tergabung karena hubungan darah, perkawinan atau pengangkatan dan hidup dalam suatu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain sesuai peran (Dion & Betan, 2013). Anggota keluarga dalam penelitian ini terdiri dari suami, istri, ayah, ibu, saudara, dan anak-anak yang berada dalam satu rumah dengan ODS. Setiap anggota keluarga ingin memiliki keluarga yang harmonis, kebahagiaan masing-masing anggota keluarga dalam tercapainya keinginan, harapan-harapan dari semua anggota keluarga dan sedikitnya konflik yang muncul. Keluarga bahagia adalah seluruh anggota keluarga yang merasa bahagia dengan ditandai oleh berkurangnya rasa ketegangan, kekecewaan, dan puas terhadap seluruh keadaan dan keberadaan dirinya yang meliputi aspek fisik, mental, emosi dan sosial (Gunarsa, 1991).

Namun, keluarga idaman yang didambakan oleh masing-masing anggota keluarga tidak dapat seutuhnya dirasakan dan dapat menimbulkan kekecewaan pada keluarga, ketika salah satu anggota keluarga di diagnosa mengalami gangguan mental yang menimbulkan perubahan pada kehidupan anggota keluarga lainnya dalam aktivitas dan kesehatan, serta

membawa dampak yang mendalam bagi anggota keluarga, munculnya konflik, ketegangan, kekecewaan dan rasa tidak puas dengan keadaan diri sehingga merasa terganggu dan terhambat.

Reaksi kaget, tidak percaya, sedih, kecewa, merasa bersalah, marah, menolak dan tertutup ditampilkan oleh anggota keluarga yang memiliki ODS. Ada masa saat keluarga merenung dan tidak mengetahui tindakan tepat yang harus dilakukan (Rachmayanti & Zulkaida, 2007). Berbagai macam permasalahan yang dihadapi anggota keluarga muncul dalam proses menerima dengan keadaan ODS yang memengaruhi kondisi fisik dan psikis seluruh anggota keluarga. Beberapa permasalahan yang dihadapi keluarga menurut Wardhani (2013) dikarenakan tingkat pendidikan, dipengaruhi oleh kemampuan finansial, dipengaruhi oleh penilaian lingkungan terhadap hadirnya ODS ditengah keluarga dan permasalahan keempat dipengaruhi oleh penilaian keluarga mengenai persepsi keluarga terkait keluarga idaman (Wardhani, 2013). Permasalahan yang timbul dapat berkaitan dengan stigma yang diberikan masyarakat pada keluarga dan ODS.

Stigma muncul dimasyarakat terkait dengan persepsi negatif hadirnya ODS dilingkungan masyarakat. Hasil penelitian Syaharia (2009) menunjukkan bahwa stigma masyarakat terhadap gangguan jiwa secara umum ditimbulkan oleh keterbatasan pemahaman masyarakat mengenai etiologi gangguan jiwa dan nilai-nilai tradisi budaya yang masih kuat berakar sehingga gangguan jiwa sering kali dikaitkan dengan kepercayaan masyarakat yang bersangkutan. Untuk menghindari stigma dari masyarakat, beberapa anggota keluarga memilih untuk mengisolasi diri dan memasung ODS. Kurangnya informasi mengenai skizofrenia menyebabkan masih banyak terdapat pemasungan dan perlakuan yang kurang tepat pada ODS, serta biaya pelayanan kesehatan yang besar juga membuat anggota keluarga memilih untuk melakukan pemasungan yang memengaruhi penerimaan anggota keluarga (Idaiani, Yunita, Prihatini, & Indrawati, 2013).

Pada tahun 2015 terdapat berita terkait pemasungan yang dilakukan keluarga kepada orang dengan gangguan jiwa yang berlangsung selama delapan tahun. Faktor yang melatarbelakangi yaitu tidak adanya kesembuhan, dianggap dapat meresahkan warga, kekhawatiran jika mengganggu dan menyakiti orang lain, dan kesulitan biaya (Tribun Bali, 2015). Respon penerimaan yang muncul beragam pada masing-masing anggota keluarga dipengaruhi oleh nilai dan budaya masing-masing.

Penerimaan yang dikemukakan oleh Rogers (dalam Safaria, 2005) merupakan sikap seseorang yang menerima orang lain apa adanya secara keseluruhan, tanpa disertai persyaratan ataupun penilaian. Kubler-Ross (2009) mengungkapkan proses penerimaan keluarga mencakup dalam lima hal yaitu, tahap penolakan (denial), tahap marah (anger), tahap tawar-menawar (bargaining), tahap depresi (depression), dan tahap penerimaan (acceptance). Untuk sampai pada tahap penerimaan, anggota keluarga menerima berbagai stigma dari masyarakat dan lingkungan sekitar. Salah satu yang dapat menunjang dalam melewati proses penerimaan adalah menggunakan strategi koping yang tepat. Koping yang efektif

akan membantu seseorang untuk mentoleransi serta menerima situasi menekan dan tidak merisaukan tekanan yang tidak dapat dikuasainya (Rubbyana, 2012).

Penerimaan anggota keluarga yang ditandai dengan sikap positif dapat membantu ODS untuk menjadi lebih baik, memaksimalkan potensi yang dimiliki, mempertinggi harga diri dan menjadi lebih bersemangat dalam menjalani hidup (Chaplin, 2000). Pengetahuan anggota keluarga dan masyarakat yang kurang dalam mendeteksi dini dan memberikan penanganan yang tepat bagi ODS menyebabkan keterlambatan dalam proses pemulihan ODS (Lestari & Wardhani, 2014). Berbagai macam penanganan dapat dilakukan terhadap ODS diantaranya penanganan dalam bentuk psikofarmakologi dengan memberikan obat-obatan antipsikotik yang efektif untuk mengurangi gejala psikotik dan dikonsumsi secara rutin, perawatan dirumah sakit, dan penanganan psikososial untuk melatih ODS melakukan kontak sosial, membangun relasi serta adanya terapi keluarga (Baradero, Dayrit & Maratning 2016). Penanganan gangguan jiwa khususnya skizofrenia di Bali masih berbasis budaya, beberapa orang Bali umumnya akan meminta pertolongan seorang balian (dukun) untuk mengetahui sebab dan cara mengatasinya (Kumbara, 2017).

Anggota keluarga memiliki peranan yang penting dalam perawatan ODS saat fase kambuh atau pun stabil. Salah satu faktor yang memengaruhi penerimaan yaitu dukungan sosial. Seseorang yang mendapatkan perlakuan lingkungan sosial yang mendukung dapat menerima dirinya sendiri dengan lebih baik, begitu juga sebaliknya apabila seseorang tidak mendapatkan dukungan dari lingkungan maka sulit dapat menerima dirinya sendiri (Hurlock, 1974). Berangkat dari pemaparan latar belakang di atas, maka peneliti ingin mengetahui dan mendeskripsikan proses penerimaan anggota keluarga orang dengan skizofrenia.

METODE PENELITIAN

Tipe Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Moleong (2014) menjelaskan penelitian kualitatif merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk memahami fenomena yang dialami oleh responden penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain, secara holistik. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan fenomenologi. Pendekatan fenomenologi merupakan pandangan berpikir yang menekankan pada fokus pengalaman-pengalaman responden dan interpretasi-interpretasi dunia (Moleong, 2014).

Karakteristik Responden

Responden yang dilibatkan dalam penelitian ini dipilih melalui teknik purposive sampling, sehingga diperoleh 6 responden yang merupakan anggota keluarga ODS. Pertimbangan atau karakteristik subjek yang digunakan dalam penelitian ini ditetapkan berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi.

Adapun kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah anggota keluarga yang memiliki ODS dan tinggal dalam satu rumah,

anggota keluarga meliputi keluarga inti (nuclear family) yaitu suami/istri/ayah/ibu/anak/saudara kandung yang tinggal satu rumah dengan ODS, melewati tahap-tahap proses penerimaan, responden dalam penelitian ini berada di Bali untuk mempermudah dalam mengumpulkan data dan penelitian. Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah anggota keluarga yang tidak tinggal satu rumah dengan ODS, tidak bersedia melanjutkan menjadi responden penelitian.

Lokasi Pengumpulan Data

Lokasi pengumpulan data dalam penelitian yang melibatkan 6 responden anggota keluarga ODS dilakukan di Bali. Responden penelitian merupakan anggota keluarga dari ODS yang tinggal satu rumah dengan ODS.

Teknik Penggalian Data

Teknik penggalian data dalam penelitian ini menggunakan dua metode yaitu observasi dan wawancara. Observasi dilakukan pada saat bersamaan dengan proses wawancara dan fokus observasi berkembang selama proses wawancara berlangsung. Pencatatan observasi dilakukan segera setelah observasi berjalan dan dicatat pada catatan lapangan. Metode wawancara yang digunakan dalam penelitian adalah wawancara mendalam untuk memperoleh data yang kaya. Wawancara dilakukan dengan bantuan pedoman wawancara semi terstruktur. Proses wawancara direkam oleh peneliti menggunakan alat perekam agar diperoleh informasi yang disajikan dengan lengkap.

Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan teknik theoretical coding dari Strauss dan Corbin (2013) yang terdiri atas tiga tahap yaitu pengodean berbuka (open coding), pengodean berporos (axial coding) dan pengodean berpilih (selective coding). Pengodean berbuka merupakan langkah awal analisis data dalam penelitian ini dan pengodean berbuka dilakukan dengan cara membaca data yang diperoleh dengan teliti kemudian memberikan kode atau label pada setiap data. Proses analisis data selanjutnya dilakukan dengan cara pengodean berporos yang dilakukan dengan cara mengelompokkan kode-kode yang memiliki makna serupa ke dalam satu kategori. Analisis data selanjutnya menggunakan pengodean berpilih yang dilakukan dengan memilih kategori inti yang berasal dari tahapan pengodean berporos (Strauss & Corbin, 2013). Pelaksanaan proses koding dengan memberikan kode menggunakan aplikasi footnote dalam Microsoft word 2013.

Kredibilitas Penelitian

Kredibilitas penelitian dilakukan dengan menggunakan triangulasi. Triangulasi yaitu upaya mengambil sumber-sumber data yang berbeda untuk menjelaskan suatu hal tertentu atau sebagai perbandingan terhadap data (Poerwandari, 2014). Menurut Patton (dalam Poerwandari, 2014), triangulasi terdiri dari empat macam yaitu triangulasi data, investigator triangulasi, triangulasi metode, triangulasi teori. Teknik triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah triangulasi data yang dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber dan triangulasi metode yang dilakukan dengan menggunakan beberapa teknik pengumpulan data.

Isu Etik

Isu etik menurut Herdiansyah (2010) yang digunakan dalam penelitian ini yaitu persetujuan (informed consent) dengan menggunakan semacam kontrak sosial berupa persetujuan yang bersifat resmi disepakati oleh kedua belah pihak yaitu responden dan peneliti untuk dapat mengantisipasi terjadinya cedera sosial, menjaga kerahasiaan informasi yang diberikan oleh responden, responden menentukan sendiri untuk bersedia atau tidak diwawancarai, menyamarkan identitas, dan perlindungan dari rasa tidak nyaman.

HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian berdasarkan proses pengambilan data yang telah dilakukan dibagi menjadi tiga kategori yaitu permasalahan yang dihadapi anggota keluarga ODS, proses penerimaan anggota keluarga ODS (yang terdiri dari 5 tahap proses penerimaan Kubler Ross, strategi koping yang dipilih anggota keluarga ODS, penanganan yang diberikan bagi ODS), dan faktor penerimaan anggota keluarga ODS. Berikut visualisasi hasil penelitian: (gambar 1. terlampir).

Permasalahan yang Dihadapi Anggota Keluarga ODS Kurangnya pengetahuan anggota keluarga

Kurangnya pengetahuan anggota keluarga di fase awal ODS menurut responden dikarenakan pemahaman yang kurang terkait skizofrenia dan gejala-gejala yang ditimbukannya, keterbatasan tersebut yang membuat responden kurang cepat dalam mengambil tindakan pada ODS. Sementara saat berada pada fase kambuh anggota keluarga kurang memiliki pengetahuan sikap yang seharusnya diambil untuk menghadapi perilaku ODS yang sedang mengalami kekambuhan. Permasalahan yang dihadapi anggota keluarga tidak hanya dirasakan saat gejala terlihat atau saat ODS mengalami kekambuhan, karena kontrol pun dibutuhkan saat ODS berada di fase stabil seperti tetap memperhatikan waktu pemberian obat pada ODS agar emosi ODS tetap stabil.

Kurangnya pengetahuan anggota keluarga tentang gejala yang muncul membuat anggota keluarga hanya berpendapat bahwa keadaan ODS di awal tidak akan memunculkan risiko yang lebih besar lagi, karena anggota keluarga tidak menyangka bahwa salah seorang anggota keluarganya memunculkan ciriciri orang yang mengalami gangguan jiwa dan menurut responden, ODS memang memiliki sikap yang tertutup dan pendiam sebelum gejala skizofrenia muncul.

Emosi yang dirasakan anggota keluarga

Permasalahan lainnya yang dirasakan anggota keluarga dalam mendampingi ODS adalah dalam mengatur emosi untuk menjaga kondisi ODS tetap baik tanpa menyinggung perasaannya. Responden mengatakan bahwa diawal mengetahui anggota keluarganya mengalami gangguan jiwa skizofrenia, menimbulkan rasa sedih karena terjadi pada ODS, saat ODS berada dalam fase kambuh menimbulkan kekhawatiran pada setiap anggota keluarga karena adanya rasa takut bahwa ODS akan melakukan hal yang diluar batas nalar dan merasa kesal karena perilaku yang dimunculkan diluar tingkat kesadaran ODS. Sementara itu, saat ODS telah berada pada fase stabil, anggota keluarga menjaga emosi agar tidak

terpancing pada situasi yang dapat membuat ODS kehilangan kontrolnya, sehingga membuat anggota keluarga menahan emosi untuk ketenangan ODS.

Sikap yang ditunjukkan ODS

Permasalahan lainnya yang dirasakan oleh anggota keluarga ODS berasal dari sikap yang ditunjukkan ODS. Pada fase awal, ODS terkadang berperilaku seperti orang yang normal tidak menunjukkan gejala-gejala skizofrenia dan menimbulkan kebingungan dalam diri anggota keluarga dengan sikap yang ditunjukkan. ODS juga merasa bahwa dirinya tidak dalam keadaan sakit maka menolak untuk menjalani atau menerima pengobatan. Sikap yang ditunjukkan ODS membuat anggota keluarga mencari alternatif lain seperti memberikan alasanalasan yang menimbulkan kepercayaan dalam diri ODS.

Selain penyangkalan yang disampaikan ODS, sikap yang ditunjukkan oleh ODS pada fase awal saat melihat obat yang diberikan padanya adalah menolak, karena ODS merasa bahwa tidak ada yang salah dengan kondisinya.

Pada saat memasuki fase kambuh, sikap ODS bisa menjadi tidak terkontrol dan menimbulkan keresahan dalam diri anggota keluarga jika ODS bisa saja melukai dirinya sendiri atau menyakiti orang lain, membuat responden menjaga perasaan ODS agar tidak menimbulkan kondisi yang lebih buruk lagi. Saat fase stabil, anggota keluarga tidak serta merta memberikan kebebasan pada ODS, melainkan menjadi lebih waspada agar tetap berada pada keadaan stabil.

Penilaian lingkungan

Respon-respon dari lingkungan sekitar responden ada yang memberikan dukungan dan ada juga yang tidak mendukung kehadiran ODS di fase awal ODS menunjukkan gejala abnormalnya. Lima dari enam responden mendapatkan penilaian yang baik dari lingkungannya, baik dalam bentuk dukungan dan juga permakluman, namun satu diantaranya yaitu responden VI mendapatkan respon yang kurang baik dari lingkungan sekitarnya yang kurang mendukung kehadiran ODS karena kurangnya pengetahuan lingkungan akan keadaan yang dialami ODS.

Pada fase kambuh dan fase stabil ODS, lingkungan sudah bisa menerima kehadiran ODS dan sudah mengerti dengan keadaan ODS. Lingkungan sekitar juga memberikan semangat kepada anggota keluarga untuk mendampingi ODS, sehingga pada fase kambuh dan fase stabil ODS, anggota keluarga tidak mengalami permasalahan dengan penilaian lingkungan sekitar.

Proses Penerimaan Anggota Keluarga ODS

Berdasarkan data yang diperoleh, responden III melalui tahap penolakan, tahap marah, tahap tawar-menawar, tahap depresi dan sampai pada tahap penerimaan, sementara responden I, II, IV, V dan VI melalui tahap penolakan, tahap tawar-menawar dan sampai pada tahap penerimaan tanpa melalui tahap marah dan tahap depresi. Setiap responden telah mencapai proses terakhir dalam proses penerimaan yaitu penerimaan. Proses penerimaan terdiri dari tahap penolakan, marah, tawar-menawar, depresi dan penerimaan, yang terbagi atas respon emosi anggota keluarga ODS, respon perilaku anggota keluarga ODS, koping pada masalah, koping pada emosi. Berikut tahapan yang dilalui anggota keluarga dalam proses

penerimaan anggota keluarga ODS, berdasarkan hasil wawancara dengan responden:

Tahap penolakan

Tahapan yang dimulai dari rasa tidak percaya dan bingung. Hasil penelitian menunjukkan respon emosi yang ditunjukkan responden dengan keadaan yang dialami oleh ODS adalah bingung dengan perilaku yang ditunjukkan, menolak dengan keadaan yang dialami. Rasa tidak percaya juga dirasakan oleh anggota keluarga, karena ODS tumbuh dengan kondisi yang baik dan penolakan akan keadaan ODS saat ini yang tidak sesuai dengan ekspektasi anggota keluarga. Respon bingung dengan diagnosa yang disampaikan tenaga ahli bahwa salah satu penyebabnya adalah tekanan yang dirasakan ODS, sementara responden merasa tidak melakukan tekanan-tekanan dan responden menanyakan maksud dari pernyataan tenaga ahli. Pada tahap penolakan, dalam penelitian ini anggota keluarga bingung dengan hal yang harus dilakukan sehingga anggota keluarga hanya berdiam dan mencari tahu dalam diri, penyebab gejala gangguan jiwa muncul pada ODS.

Tahap marah

Tahap marah ditandai dengan adanya reaksi emosi pada anggota keluarga dengan keadaan yang dialami, diantara keenam responden hanya responden III saja yang melewati tahap marah dikarenakan saat gangguan muncul pada ODS hanya responden yang tinggal berdua saja dalam satu rumah dengan ODS karena terlebih dahulu sudah ditinggal meninggal oleh pasangannya, sehingga responden III kurang mendapatkan dukungan sosial secara langsung dan responden lah yang lebih banyak melakukan interaksi dengan ODS. Responden merasakan adanya ketidak adilan karena harus menanggung cobaan dengan memiliki ODS dan tidak menyangka harus menerimanya. Respon emosi yang muncul ialah marah pada dokter karena saat menyampaikan diagnosa dokter mengatakan bahwa responden merupakan orang yang keras yang membuat ODS menjadi tertekan, sementara responden merasa tidak pernah bersikap keras pada ODS, rasa marah juga muncul kepada Tuhan dengan keadaan yang dialami sehingga membuat responden berdoa sampai malam.

Respon perilaku yang ditunjukkan oleh responden III adalah meninggalkan ODS untuk sementara waktu, dilakukan karena tidak ingin melampiaskan perasaan pada ODS yang sedang mengalami kesusahan. Pada tahap marah, responden mengatasi masalah yang dihadapinya dengan mencari bantuan baik secara spiritual ataupun lingkungan sekitar. Responden lebih memilih untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan melepas emosi yang dirasakan dengan berdoa dan bersabar.

Tahap tawar-menawar

Tahap saat anggota keluarga mulai untuk berusaha menghibur diri dengan memikirkan upaya yang dapat dilakukan untuk membantu proses penyembuhan ODS. Seperti yang dilakukan oleh responden I, II dan VI saat proses tawar-menawar respon emosi dan perilaku yang ditunjukkan responden dengan melakukan usaha-usaha agar ODS bisa sembuh dengan melakukan pemberian sesajen kepada Tuhan sesuai upacara Hindu agar ODS bisa cepat pulih, dan dengan ditangani oleh tenaga ahli. Responden berusaha menghibur diri dengan memikirkan bahwa kedepannya kondisi ODS akan membaik dan dan responden akan mencarikan ODS pasangan agar ODS bisa mendapatkan pasangan untuk melanjutkan kehidupan

ODS sampai pada jenjang pernikahan. Salah satu pemecahan masalah yang dilakukan oleh responden untuk melewati tahap tawar-menawar adalah dengan melakukan hal yang dapat berguna untuk bekal ODS dimasa depan, yaitu dengan membekali ilmu yang secara tidak langsung dapat membantu ODS untuk lebih berkonsentrasi sedikit demi sedikit.

Meskipun berusaha untuk mengalihkan permasalahan yang dialami, responden tetap memiliki kekhawatiran dan kekhawatiran diatasi dengan penilaian positif yang disampaikan oleh responden sebagai bentuk motivasi dan strategi koping dalam melewati tahap tawar-menawar.

Tahap depresi

Menimbulkan perasaan bersalah dari figur ayah atau ibu karena membuat ODS lahir di dunia, rasa putus asa yang terlihat saat membayangkan masa depan dari anggota keluarga yang mengalami skizofrenia, terutama pemikiran-pemikiran tentang cara ODS menjalani hidupnya dimasa depan. Hanya responden III yang melalui tahap depresi dikarenakan responden tidak mendapatkan dukungan sosial secara langsung ketika merasa kesulitan dan putus asa dengan keadaan yang harus dijalani. Respon emosi dan perilaku yang disampaikan oleh responden memengaruhi kesehatan karena khawatir dengan masa depan ODS.

Depresi yang dialami oleh responden ditunjukkan dengan kecewa akan keadaan yang terjadi dan menyalahkan diri sendiri, akibat dari situasi masa lalu yang meninggalkan ODS untuk tugas bekerja. Pada tahap depresi, responden III mengalami penurunan kesehatan hingga mengalami penyakit jantung tanpa riwayat keturunan. Untuk melewati proses ini, responden menggunakan strategi koping yang berfokus pada penyelesaian masalah dan koping pada emosi responden. Penekanan pada kegiatan lain dipilih agar responden dapat mengalihan pikiran dari masalah dan kegundahan yang sedang dihadapi agar tidak berkelanjutan.

Tahap penerimaan

Tahap saat keluarga mencapai titik pasrah dan menerima keadaan yang dilalui. Pada tahap ini anggota keluarga cenderung mengharapkan yang terbaik bagi keluarganya. Pada akhirnya, seluruh responden telah mencapai tahap penerimaan dengan bentuk pasrah, menyerahkan segalanya kepada Tuhan. Selain pasrah dengan keadaan dan berserah kepada Tuhan, anggota keluarga tetap berusaha untuk memberikan pengobatan yang efektif, mengharapkan kesembuhan dari ODS, mengikuti masukan-masukan positif yang diberikan oleh orang lain. Anggota keluarga selalu siap untuk melindungi ODS dan mendahulukan kepentingan ODS agar tidak menimbulkan gejala kekambuhan kembali, sementara yang paling memberikan manfaat yang baik untuk peluang kondisi stabil ODS adalah anggota keluarga menjadi perawat untuk masa depan ODS. Rentang waktu yang dibutuhkan keluarga untuk dapat sampai pada tahap menerima keadaan diri dengan kondisi ODS yaitu minimal tujuh bulan dari gejala awal terlihat.

Tahap penerimaan sebagai tahapan yang mulai menerima keadaan yang dialami oleh masing-masing anggota keluarga dengan keadaan ODS, terdapat beberapa bentuk koping diantaranya koping aktif yang merupakan bentuk koping

berfokus pada masalah. Bentuk koping pada emosi yaitu penerimaan yang merupakan bentuk dari penerimaan responden pada kondisi ODS dan koping kembali ke agama dengan mencari pegangan pada agama.

Perbedaan Proses Penerimaan Pada Responden Yang Menerima Dukungan Sosial

(tabel 1. terlampir)

Berdasarkan hasil penelitian proses penerimaan anggota keluarga ODS, lima orang responden yaitu responden I, II, IV, V dan VI memiliki persamaan proses penerimaan yang dilalui yaitu tahap penolakan, tawar-menawar, dan tahap paling akhir yaitu penerimaan. Kelima responden tidak melewati tahap marah dan depresi. Sementara satu responden yaitu responden III melalui semua tahap dalam proses penerimaan yaitu tahap penolakan, marah, tawar-menawar, depresi, dan penerimaan dikarenakan ada kasus-kasus spesifik lain yang mengikuti.

Perbedaan dalam tahapan-tahapan yang dilalui anggota keluarga ODS dalam proses penerimaan pada penelitian ini adalah munculnya tahap marah dan depresi pada diri responden yang memiliki kasus-kasus spesifik seperti munculnya permasalahan secara tumpang tindih, pengaruh dukungan sosial yang didapatkan responden. Sementara responden yang tidak memunculkan tahap marah dan depresi dikarenakan adanya pengaruh budaya timur yang tidak memunculkan ekspresi emosi secara bebas karena ada nilai-nilai moral yang dimiliki, selain itu juga karena dipengaruhi oleh dukungan sosial yang didapatkan oleh anggota keluarga saat menghadapi kesulitan sehingga tidak sampai pada rasa putus asa dan mendapatkan kekuatan serta alternatif solusi untuk menghadapi masalah yang dialami.

Kelima responden yaitu responden I, II, IV, V, VI merupakan keluarga yang utuh dan masih memiliki pasangan yang dapat menemani untuk saling bertukar pikiran, namun berbeda dengan responden III yang harus memikul tanggung jawab yang besar karena disaat yang bersamaan salah satu anaknya mengalami gangguan skizofrenia dan suami responden meninggal dunia, saat gejala skizofrenia muncul responden hanya tinggal dengan ODS dalam satu rumah sehingga cobaan yang diterima oleh responden datang secara bersamaan.

Responden III melalui tahap marah karena masalah yang dialami datang secara tumpang tindih yang membuat responden memiliki kontrol yang kurang dalam menyampaikan dan mengatur ekspresi emosinya. Responden III melalui tahap depresi karena saat sedang menghadapi permasalahan, tidak langsung mendapatkan dukungan sosial dari orang sekitar dikarenakan hanya tinggal bersama dengan ODS dan responden III merasa segan dengan tetangga karena takut mengganggu. Saat memutuskan untuk mencari dukungan sosial, responden III harus mendatangi sanak saudaranya sehingga tidak mendapatkan bantuan secara langsung saat mengalami kesulitan dan putus asa. Sementara responden I, II, IV, V dan VI tinggal satu rumah dengan anggota keluarga yang lain, dan mendapatkan dukungan sosial secara langsung saat bantuan diperlukan.

Penanganan yang Dilakukan Anggota Keluarga Untuk ODS Penanganan bagi ODS dibagi menjadi dua yaitu psikofarmakologi dan psikososial. Pengobatan medis utama untuk skizofrenia, obat-obat antipsikotik yang juga disebut neuroleptik diberikan karena efektif dalam mengurangi gejala psikotik, tetapi tidak menyembuhkan skizofrenia. Anggota Keluarga memberikan penanganan secara medis bagi ODS dengan membawa ODS ke rumah sakit umum, rumah sakit jiwa, atau psikiater.

Saat proses penanganan dilakukan, ODS menolak mengkonsumsi obat karena merasa bahwa dirinya baik-baik saja. Alasan utama ODS secara diam-diam berhenti meminum obat antipsikotik adalah efek samping dari obat yang tidak nyaman. Namun, dengan bantuan dari anggota keluarga dan usaha yang dilakukan anggota keluarga, akhirnya ODS bersedia untuk menjalani pengobatan dan mengkonsumsi obat dengan teratur.

Pengobatan psikososial diterapkan dengan melakukan terapi keluarga, mengikuti penyuluhan keluarga ODS, membangun relasi dengan sesama keluarga ODS untuk meningkatkan kembali rasa kepercayaan diri. ODS juga dilatih untuk membuat suatu keterampilan agar dapat melatih kemampuan neurotik, mampu bertanggung jawab, dan mandiri yang dapat mengurangi efek negatif dari skizofrenia.

Selain penanganan psikofarmakologi dan psikososial, ODS juga menerima penanganan secara niskala yang diyakini oleh Agama Hindu karena semua responden beragama Hindu, terdapat pengaruh budaya yang melatarbelakangi kepercayaan-kepercayaan masyarakat khususnya di Bali, mayoritas masyarakat Bali memilih untuk menjalani pengobatan secara niskala dibandingkan pengobatan secara medis, namun beberapa masyarakat juga menjalani pengobatan dengan dua alternatif yaitu tenaga ahli medis dan niskala/balian.

Penanganan pertama yang dilakukan oleh responden adalah bertanya pada balian dan membawa ODS ke balian untuk menanyakan sebab dari perilaku ODS yang tidak normal dan menjalani pengobatan pada balian. Rata-rata balian mengatakan sebab dari keadaan ODS adalah karena adanya rasa iri dari orang lain pada ODS (diguna-guna), kondisi ODS yang “kotor”, dan berhubungan dengan leluhur ODS dengan penanganan yang dilakukan berupa pembersihan diri ditempat suci Hindu, memberikan sesajen, tidak jarang dapat menimbulkan konflik dengan orang lain dengan alasanan adanya rasa iri hati dari orang lain.

Setelah beberapa kali (maksimal 5 balian) menjalani pengobatan ke balian tidak terlihat adanya perubahan yang lebih baik pada ODS, sehingga keluarga memutuskan untuk tidak melanjutkan pengobatan secara niskala karena dirasa kurang efektif, dan lebih memilih untuk menjalani pengobatan secara medis dengan mengkonsumsi obat secara rutin yang lebih menunjukkan adanya perkembangan yang lebih baik pada perilaku ODS.

Faktor yang Memengaruhi Penerimaan Anggota Keluarga ODS

Peran penerimaan anggota keluarga dalam membantu proses penyembuhan ODS sangatlah penting. Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi penerimaan anggota keluarga ODS. Berdasarkan data yang didapatkan dari responden, terdapat lima faktor yang memengaruhi penerimaan anggota keluarga ODS adalah dorongan dari dalam diri, dukungan sosial, pandangan diri, pandangan sosial, dan status ekonomi.

Dorongan dari dalam diri

Faktor penerimaan yaitu dorongan dari dalam diri merupakan bentuk dukungan yang berasal dari diri individu karena semua akan kembali pada diri masing-masing. Anggota keluarga berusaha dan optimis untuk kesembuhan ODS, membuka diri dengan tidak malu lagi memiliki ODS dan menyadari keterbatasan yang dimiliki oleh anggota keluarga dengan mendapatkan dukungan dari diri melalui orientasi pada keluarga lain yang juga mengalami hal yang sama.

Dukungan sosial

Terdapat empat bentuk dukungan sosial. Dukungan yang paling banyak digunakan adalah dalam bentuk dukungan informasi dan dukungan emosional, kedua dukungan merupakan dukungan paling dasar yang dibutuhkan psikis dari keluarga ODS.

Dukungan informasi

Dukungan informasi mencakup bentuk dukungan yang diperoleh keluarga dari anggota keluarga, teman, orang sekitar, dan tenaga ahli yang memberikan nasihat, tanggapan ataupun saran untuk membantu informasi mengenai keadaan dan penanganan yang didapatkan anggota keluarga ODS dari keluarga, teman, orang sekitar, dan para ahli. Mendapatkan informasi terkait gangguan jiwa, alternatif mengunjungi psikiater, rumah sakit jiwa.

Dukungan emosional

Mendapatkan bentuk dukungan perhatian, rasa peduli, menghargai, perkataan yang membangun, respon yang baik, dan perasaan memiliki yang diberikan kepada anggota keluarga ODS yang berasal dari keluarga, teman, orang sekitar, ahli, dan agama. Anggota keluarga mendapatkan dukungan emosional berupa kedekatan maupun keterbukaan orang-orang yang berada disekeliling anggota keluarga untuk membangkitkan semangat agar tidak merasa sendiri.

Dukungan instrumental

Dukungan yang diperoleh berupa pemberian bantuan secara langsung dan nyata untuk membantu pengobatan dan pemenuhan kebutuhan ODS. Dukungan instrumental yang diberikan oleh keluarga, orang sekitar, dan tenaga ahli kepada anggota keluarga ODS meliputi bantuan materiil dengan membantu biaya pengobatan ODS dan bantuan berupa tenaga yang menemani ODS dan anggota keluarga untuk menuju tempat berobat.

Dukungan penghargaan

Dukungan penghargaan sangat dibutuhkan oleh anggota keluarga yang memiliki ODS, berbagai permasalahan yang ditimbulkan dalam proses penerimaan anggota keluarga ODS cenderung dapat membuat rasa percaya diri anggota keluarga mengalami penurunan. Dukungan penghargaan diperoleh anggota keluarga ODS dari keluarga, orang sekitar, dan tenaga ahli yang memberikan penghargaan positif, masukan untuk

menguatkan dan meningkatkan rasa kepercayaan diri anggota keluarga.

Pandangan diri

Faktor penerimaan yang ketiga yaitu pandangan diri yang meliputi perasaan mampu untuk beradaptasi dan merasa diterima oleh sosial. Pandangan diri anggota keluarga ODS dalam tahap penerimaan kehadiran ODS dan cara merespon kondisi di sekitarnya, dengan beradaptasi dan memiliki keyakinan bahwa anggota keluarga ODS diterima oleh lingkungan.

Pandangan sosial

Adanya pandangan negatif yang dimunculkan oleh lingkungan sekitar saat diawal mengetahui keadaan ODS yang berbeda dari manusia normal lainnya. Orang-orang disekitar lingkungan ODS menganggap bahwa apa yang ditunjukkan ODS hanyalah berpura-pura karena tidak mengerti dengan keadaan yang sedang terjadi. Selain pandangan negatif, pandangan positif juga dimunculkan oleh lingkungan kepada anggota keluarga ODS dan ODS saat telah mengetahui kondisi dan keadaan ODS. Pandangan positif yang diterima adalah penerimaan, rasa empati, memahami, dan menerima kondisi dari anggota keluarga ODS.

Status ekonomi

Anggota keluarga yang memiliki status ekonomi tergolong mampu atau kurang mampu dan tidak memiliki informasi yang cukup serta tidak mendapatkan dukungan dari lingkungan maka akan berpengaruh pada faktor penerimaan anggota keluarga dan keterlambatan penanganan pada ODS, pembiaran, atau pengasingan pada ODS. Anggota keluarga yang memiliki status ekonomi yang mampu atau kurang mampu dan memiliki informasi yang memadai serta dukungan dari lingkungannya maka akan lebih mudah untuk menerima keadaan memiliki ODS dan menjalankan pengobatan

PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

Permasalahan yang Dihadapi Anggota Keluarga ODS

Pilihan anggota keluarga untuk merawat dan tinggal bersama ODS, secara tidak langsung akan menimbulkan permasalahan yang dialami oleh seluruh anggota keluarga. Berdasarkan hasil penelitian ini, permasalahan yang dirasakan anggota keluarga adalah minimnya pengetahuan anggota keluarga mengenai gejala-gejala yang dimunculkan ODS adalah gejala dari suatu gangguan jiwa, sehingga menghambat proses penyembuhan lebih dini. Menurut Notosoedirdjo dan Latipun (2005) pengetahuan keluarga selain dapat meningkatkan dan memertahankan kesehatan mental anggota keluarga, juga dapat menjadi sumber masalah bagi anggota keluarga yang mengalami persoalan kejiawaan.

Permasalahan yang dihadapi anggota keluarga ODS berupa kurangnya pengetahuan anggota keluarga, emosi yang dirasakan anggota keluarga, sikap yang ditunjukkan ODS, dan penilaian lingkungan muncul tidak hanya pada awal munculnya gangguan saja, tapi juga pada fase kekambuhan terlihat karena ODS akan lebih susah untuk mengontrol dirinya sendiri. Pada fase stabil akan membuat anggota keluarga menjadi lebih waspada dan menjaga emosi agar tidak memancing kondisi ODS. Tidak dapat dipungkiri bahwa membantu ODS membutuhkan waktu yang tidak begitu

singkat, sehingga seringkali memunculkan emosi yang disebabkan adanya miskomunikasi. Penelitian yang dilakukan Brady dan McCain (2005) menyatakan bahwa keluarga yang tinggal bersama ODS maka tingkat emosionalnya meningkat yang menjadi salah satu konsekuensinya. Pola komunikasi dalam keluarga membut bingung dengan pola interaksi yang kacau, sehingga menimbulkan adanya emosi. Berdasarkan hasil penelitian, pada fase awal munculnya gejala, anggota keluarga menjadi sensitif pada perasaannya, dan menimbulkan konflik-konflik pada aktivitas anggota keluarga ODS. Saat berada pada fase kekambuhan, emosi anggota keluarga pun ikut bergejolak namun memilih untuk mengalihkan emosi yang dirasakan agar tidak menambah beban ODS. Pernyataan ini juga di dukung oleh teori Sadock (2007), bahwa ekspresi emosi yang tenang akan mengurangi munculnya gejala-gejala gangguan jiwa yang di alami oleh pasien skizofrenia. Ketika ODS telah berada pada fase stabil yang mampu mengontrol emosi maka anggota keluarga ikut membantu dengan tidak memunculkan pemicunya.

Permasalahan yang muncul dalam anggota keluarga ODS juga dipengaruhi oleh sikap yang ditunjukkan ODS yang menyangkal kondisi psikologisnya sehingga mempersulit anggota keluarga untuk memberikan pengobatan. Perilaku berulang ODS yang merujuk pada perilaku agresif, kekerasan fisik saat kambuh, menimbulkan kesulitan pada anggota keluarga untuk mengontrol ODS yang memunculkan rasa takut bagi anggota keluarga dan masyarakat sekitarnya. Perilaku agresif adalah perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti orang lain, baik secara fisik (seperti menendang atau memukul) maupun psikis (seperti memaki atau mengancam) (Syafrika & Tommy, 2004). Anggota keluarga menjadi lebih waspada saat mendampingi ODS.

Hadirnya ODS diantara anggota keluarga dan masyarakat menimbulkan penilaian lingkungan yang tidak serta merta langsung menerima keberadaan ODS, hal tersebut tak jarang membuat anggota keluarga merasa berkecil hati untuk bersosialisasi dengan lingkungan, karena merasa takut mendapatkan hinaan, dan perbedaan perlakuan yang diperoleh keluarga dari lingkungan sosialnya. Pernyataan ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Wardhani (2013), penilaian lingkungan terhadap hadirnya pasien skizofrenia diantara keluarga juga menimbulkan beban dan permasalahan tersendiri bagi keluarga seperti hinaan, hinaan dan perbedaan perlakuan yang diperoleh anggota keluarga dari masyarakat sekitar. Dalam hal ini Hawari (2003) mengungkapkan salah satu kendala dalam upaya penyembuhan pasien gangguan jiwa adalah pengetahuan masyarakat dan keluarga. Keluarga dan masyarakat menganggap gangguan jiwa penyakit yang memalukan dan membawa aib bagi keluarga. sehingga tidak jarang masyarakat berperilaku tidak menyenangkan kepada keluarga penderita skizofrenia baik secara perkataan maupun perbuatan langsung yang ditujukan kepada keluarga maupun penderita skizofrenia. Perlakuan lingkungan sosial yang menghina anggotakeluarga ODS, hanya berlangsung di awal timbulnya gejala skizofrenia, dikarenakan informasi yang kurang yang dimiliki oleh lingkungan disekitar ODS.

Proses Penerimaan Anggota Keluarga ODS

Setiap anggota keluarga menginginkan keluarga yang harmonis yang akan tercipta jika kebahagiaan salah satu anggota berkaitan dengan kebahagiaan anggota keluarga lainnya, seperti tercapainya keinginan, cita-cita dan harapan dari semua anggota keluarga, dengan sedikitnya konflik yang terjadi (Sarwono, 1982). Keadaan akan berubah ketika salah satu anggota keluarga mengalami sakit, terlebih sakit mental atau yang lebih dikenal dengan sakit jiwa khususnya skizofrenia, harapan-harapan yang pupus akan membuat perubahan bagi anggota keluarga lainnya pada kondisi fisik dan psikisnya dan membawa dampak yang dalam bagi anggota keluarga.

Seperti yang disampaikan oleh Mangunsong (1998) reaksi yang muncul ketika keluarga dikatakan memiliki permasalahan pada kondisi fisik maupun kesehatan adalah tidak percaya, terjadi goncangan batin, terkejut dan tidak mempercayai kenyataan yang menimpa keluarga. Bukan hal yang mudah untuk percaya bahwa keluarga dikatakan bermasalah, apalagi dikatakan mengalami gangguan, maka timbul perasaan terpukul, putus asa, menyalahkan diri sendiri, melakukan penawaran-penawaran mengapa hal ini terjadi pada keluarganya, timbul dua perasaan bertentangan antara menerima dan menolak, tidak percaya diri, mengalami kebingungan untuk pengasuhan (Mangunsong, 1998).

Beberapa anggota keluarga ada yang memiliki dorongan untuk melarikan diri dari masalahnya, berpura-pura bila keluarga tidak memiliki kekurangan. Ketika merasa tidak nyaman dengan perasaan berpura-pura itu sehingga mengambil tindakan sebaliknya, menjadi terlalu cemas dan terlalu berlebihan dalam menjaga keluarga yang mengalami gangguan. Maka anggota keluarga membutuhkan proses untuk melewati tahap-tahap dalam menerima keadaan dengan memiliki ODS.

Setiap keluarga menjalani proses menuju penerimaan dengan melewati tahap yang berbeda-beda dengan perbedaan kasus-kasus spesifik. Menurut Kubler Ross (2009), sebelum mencapai pada tahap penerimaan individu akan melalui beberapa tahapan, diantaranya adalah tahapan penolakan, marah, tawar-menawar, depresi, penerimaan.

Tahap penolakan

Penolakan yang dilakukan oleh anggota keluarga yang memiliki ODS berupa perasaan bingung dengan keadaan yang terjadi, bingung akan apa yang harus dilakukan, dan bingung dengan keadaan yang tidak disangka terjadi pada keluarga. Pada tahap ini, anggota keluarga menolak keadaan yang dialami oleh keluarganya, merasa tidak percaya dengan keadaan ODS dikarenakan saat proses pertumbuhan ODS tampak seperti anak-anak normal dan keluarga tidak pernah membayangkan akan terjadi pada salah satu anggota keluarga. Respon penolakan anggota keluarga berupa keadaan bingung dengan diagnosa yang disampaikan oleh tenaga ahli berupa gejala timbul akibat tekanan yang dialami oleh ODS dikarenakan ODS tidak pernah menceritakan pada keluarga terkait masalah yang sedang dialami. Kemudian Kubler Ross (2009) menyatakan bahwa tahap penolakan dimulai dari rasa tidak percaya saat menerima diagnosa dari seorang ahli. Perasaan keluarga selanjutnya akan timbul rasa kebingungan.

Manifestasi dari kebingungan tersebut dapat berupa bingung atas arti diagnosa, bingung akan apa yang harus dilakukan, serta bingung atas peristiwa tersebut dapat terjadi pada keluarganya. Anggota keluarga dalam usaha melewati masalah pada tahap penolakan, tidak melakukan tindakan apapun sampai ada kesempatan yang tepat untuk bertindak dan responden memasuki tahap berikutnya yaitu marah.

Tahap marah

Berdasarkan hasil penelitian, responden I, II, IV, V dan VI tidak melalui tahap marah. Di budaya timur, orang-orang tidak terbiasa untuk mengungkapkan ekspresi marah dan menekan ekspresi tersebut agar tidak terlihat oleh orang lain dan tidak diketahui oleh orang lain. Namun tidak demikian disaat individu merasa senang malah akan menunjukkan ekspresi senangnya kepada orang lain dan terkadang melebih-lebihkannya. Berbeda halnya di budaya barat yang lebih bebas dalam menunjukkan ekspresi emosi karena budaya di dunia barat tidak sekental budaya di timur. Individu lebih enggan untuk menunjukkan ekspresi emosi yang menunjukkan terdapat permasalahan yang sedang dihadapinya agar permasalahan yang dihadapinya tidak diketahui oleh orang lain. Sejalan dengan pernyataan menurut Barret, Barman, Boitano dan Brooks (2010), emosi merupakan hasil manifestasi dari keadaan fisiologis dan kognitif manusia, dan juga merupakan cermin dari pengaruh kultur budaya dan sistem sosial. Menurut Prawitasari, Martani dan Adiyanti (1995), emosi sedih dan marah sangat pribadi, hanya orangorang tertentu saja yang boleh melihatnya. Individu mengungkapkan kedua emosi itu dimuka orang yang dipercaya terutama keluarga, sehingga ungkapan di muka umum perlu dikendalikan agama yang mereka anut dan dikendalikan dengan baik.

Anggota keluarga yang dapat mengungkapkan ekspresi marah dalam hal ini dalam bentuk rasa marahnya kepada Tuhan karena keadaan yang diberikan dan beban yang dipikul seorang diri dengan usia yang sudah tidak lagi muda dan tanpa pendampingan dari pemberi dukungan secara langsung disaat menghadapi permasalahan yang ditimbulkan dari aktivitas ODS yang harus menghadapi keseharian dengan tekanan-tekanan yang dirasakan. Tahap marah ditandai dengan adanya reaksi emosi yang ditunjukkan dengan timbulnya rasa marah kepada lingkungan sekitar sebagai perlawanan dari rasa tidak percaya seseorang pada keadaan yang sedang dialami (Kubler Ross, 2009). Pada tahap marah ini anggota keluarga lebih mengungkapkan respon marah kepada Tuhan dengan keadaan yang diberikan. Keadaan yang dirasakan membuat anggota keluarga meninggalkan ODS untuk sementara waktu agar tidak melampiaskan emosi pada ODS.

Strategi koping yang dilakukan untuk mengatasi marah yang dirasakan lebih kepada koping secara emosi yaitu mendekatkan diri kepada Tuhan dengan berdoa dan bersabar, sesuai dengan teori yang disampaikan Lazarus (dalam Taylor, 2012).

Tahap tawar-menawar

Tahap ketiga adalah tawar-menawar, tahap yang ditujukan pada diri sendiri sebagai wujud pembelaan diri atas keadaan yang dialami dan berpikir tentang upaya yang dapat dilakukan untuk membantu proses penyembuhan (Kubler Ross, 2009).

Keenam responden melewati tahap ini, saat dalam tahap tawar-menawar respon emosi dan perilaku yang ditunjukkan responden adalah berusaha untuk menghibur diri melakukan usaha-usaha agar ODS bisa sembuh dengan ditangani oleh tenaga ahli seperti memberikan pengobatan agar kondisi ODS mengalami perubahan yang baik. Responden menghibur diri dengan meyakinkan diri bahwa ODS akan mendapatkan pasangan dan melanjutkan kehidupan pada jenjang pernikahan. Kemudian, hasil penelitian yang dilakukan oleh Wardhani (2013) tahap tawar menawar dilalui keluarga pasien skizofrenia dengan cara berbicara tawar menawar yang ditujukan kepada diri sendiri dengan agar dapat menentramkan maupun menenangkan diri sendiri, keluarga melakukannya dengan cara verbalisasi, berdialog dengan diri sendiri selalu mengulang kata “seandainya”. Tahap tawar-menawar dalam penelitian ini tidak hanya tawar-menawar yang dilakukan untuk ditujukan pada diri sendiri saja seperti pada teori, namun anggota keluarga juga melakukan tawar menawar untuk pihak lain yaitu masa depan ODS.

Strategi koping yang digunakan oleh responden adalah koping pada masalah yaitu perencanaan masalah dengan mengajarkan ODS lebih berkonsentrasi dalam bersikap dan koping pada emosi dengan bentuk penilaian positif pada diri responden dengan menumbuhkan keyakinan bahwa responden telah memeberikan yang terbaik bagi ODS. Sejalan dengan penelitian Mutoharoh (2010), strategi koping pemecahan masalah menggambarkan pertimbangan, usaha-usaha yang difokuskan pada masalah untuk mencari jalan keluar.

Tahap depresi

Tahap keempat adalah depresi. Anggota keluarga yang tidak melewati tahap depresi memeroleh dukungan sosial secara penuh yang diberikan oleh teman, saudara, keluarga, orang sekitar, dan tenaga ahli, membuat responden memiliki sandaran sebagai wadah mencurahkan isi hati disaat menghadapi ODS dalam keseharian, membuat anggota keluarga tidak sampai pada tahap depresi karena disaat merasa tidak mendapatkan penyelesaian pada masalahnya, anggota keluarga mendapatkan alternatif solusi dari orang disekitarnya serta pendampingan secara langsung karena dalam satu atap tempat tinggal terdiri dari beberapa orang yang mempercepat jangkauan untuk saling memberikan perhatian yang lebih sesuai dengan keadaannya. Sejalan dengan teori Argyle (dalam Veiel & Baumann, 1992), bila individu dihadapkan pada suatu stresor maka hubungan intim yang muncul karena adanya sistem keluarga dapat menghambat, mengurangi, bahkan mencegah timbulnya efek negatif stresor karena ikatan dalam keluarga dapat menimbulkan efek penangkal (buffering) terhadap dampak stressor.

Anggota keluarga yang melewati tahap depresi, harus melewati saat-saat ODS sedang pada fase kekambuhan sendirian karena hanya tinggal satu rumah dengan ODS, jadi tidak mendapatkan dukungan sosial apapun pada saat itu juga, sehingga harus mencari bantuan dan alternatif solusi sendiri. Meskipun mencari dukungan sosial dari orang lain, anggota keluarga merasa enggan untuk menceritakan banyak hal sehingga hanya menekan masalah yang dihadapi dan memunculkan respon depresi pada keadaannya, yang ditunjukkan dengan rasa kecewa dengan keadaan,

menyalahkan diri sendiri, menjadi stress berdampak pada pola tidur, perubahan kesehatan dan semangat hidup dikarenakan khawatir dengan masa depan ODS. Hal tersebut diungkapkan pula oleh Kubler Ross (2009), tahap depresi muncul dalam bentuk keputusasaan dan kehilangan harapan. Selain itu dalam kondisi depresi dapat menimbulkan rasa bersalah, kecewa, menunjukkan sikap menarik diri, tidak mau bicara. Gejala fisik tahap depresi menurut Notoatmojo (2003) berupa menolak makan, susah tidur, letih, dorongan libido menurun. Selanjutnya hasil penelitian Wardhani (2013) mengungkapkan keluarga dengan anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa merupakan suatu beban tersendiri. Keluarga berupaya untuk mengobati atau menyembuhkan pasien skizofrenia. Pada kenyataannya patologis gangguan jiwa itu sendiri semakin lama diderita justru semakin sulit kesembuhannya, inilah yang menyebabkan keluarga merasa tidak berdaya dan takut.

Strategi koping anggota keluarga yang melalui tahap depresi yaitu koping pada masalah dengan penekanan pada kegiatan lain dengan memberikan bimbingan belajar, melakukan aktivitas bersama teman-teman, mencari aktivitas diluar rumah agar tidak bertemu dengan ODS untuk mengurangi konflik. Sejalan dengan teori Taylor (2012) strategi koping perencanaan masalah menggambarkan pertimbangan, usaha-usaha yang difokuskan pada masalah untuk mencari jalan keluar.

Tahap penerimaan

Tahap terakhir dalam proses penerimaan anggota keluarga ODS adalah tahap penerimaan. Keenam responden telah melalui tahap penerimaan dalam bentuk mengharapkan kesembuhan ODS, mau menerima masukan orang lain, mengupayakan kesembuhan ODS, menjadi perawat (caregiver) untuk melindungi ODS, dan terakhir anggota keluarga memilih untuk pasrah dan berserah pada Tuhan, menerima dengan keadaan yang diperoleh. Penelitian yang dilakukan Wardhani (2013) yaitu penerimaan keluarga terhadap pasien skizofrenia diwujudkan dengan perilaku keluarga berupaya untuk memperhatikan proses pengobatan dan mulai mengikuti perkembangan, pada akhirnya memasrahkan kesembuhan pasien kepada Tuhan dengan cara memperbanyak ibadah. Hal tersebut diperkuat dengan pengertian tahap penerimaan menurut Kubler Ross (2009), tahapan dimana keluarga telah mencapai pada titik pasrah dan mencoba untuk menerima keadaan dengan tenang.

Strategi koping dalam tahap penerimaan yang dilakukan oleh keenam responden adalah koping aktif dengan penekanan pada tindakan aktif individu untuk mencoba mengatasi masalah maupun untuk mengurangi dampak dari masalah tersebut (Taylor, 2012). Masing-masing anggota keluarga ODS berfokus pada koping pada masalah berupa memberikan pengobatan medis pada ODS dengan berobat kedokter, mengawasi saat ODS mengkonsumsi obat secara rutin. Koping pada emosi yaitu koping penerimaan dan kembali ke agama, dengan menerima keaadaan diri responden yang memiliki ODS dan tetap berdoa kepada Tuhan untuk masa depan anggota keluarga dan ODS.

Penanganan yang diberikan oleh anggota keluarga pada ODS

adalah sebagai berikut:

Penanganan Yang Diberikan Anggota Keluarga pada ODS Pengobatan profesional adalah pengobatan yang berasal dari setiap orang yang mengabdikan dirinya dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan terutama di bidang kesehatan jiwa. Baradero, Dayrit dan Maratning (2016) mengungkapkan penanganan bagi ODS dalan pengobatan professional dibagi menjadi dua:

Penanganan psikofarmakologi yang dijalankan keluarga yaitu membawa ODS ke rumah sakit umum, rumah sakit jiwa, psikiater, dan mengkonsumsi obat-obatan antidepresan. Begitu pula hasil penelitian Hartanto (2014) bahwa penderita gangguan jiwa dapat disembuhkan dengan cara melakukan pengobatan dan minum obat secara teratur meskipun butuh waktu yang lama. Rutin atau tidaknya ODS mengonsumsi obat tidak terlepas dari peran keluarga. Hal ini sejalan dengan Abdullah (2015) bahwa semakin baik dukungan keluarga terhadap kepatuhan berobat pasien skizofrenia maka semakin meningkat kepatuhan pasien skizofrenia dalam berobat.

Penanganan medis yang kedua adalah psikososial diterapkan oleh anggota keluarga dengan terapi keluarga, mengikuti penyuluhan keluarga ODS, membangun relasi sesama anggota keluarga ODS, meningkatkan kembali rasa percaya diri ODS dan melatih keterampilan dan kemampuan neurotik ODS agar mampu bertanggung jawab dan mandiri sehingga mengurangi efek negatif dari skizofrenia.

Selain penanganan profesional terdapat pula penanganan dari non-profesional yang dijalani oleh anggota keluarga ODS. Anggota keluarga ODS yang menjadi responden penelitian merupakan masyarakat Bali asli. Masyarakat Bali dikenal dengan pengobatan alternatif oleh tenaga non-profesional. Pengobatan ini didasari dengan keyakinan secara niskala masyarakat Bali khususnya anggota keluarga. Pengobatan non-profesional di Bali tidak terlepas dari peran balian. Balian adalah orang yang mempunyai kemampuan menolong orang yang mengalami gangguan kesehatan dengan menggunakan cara pengobatan yang diwariskan secara turun-temurun. Peranan balian masih menjadi pilihan utama untuk penyakit gangguan jiwa di Bali (Putro, 2004). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Ardiyasa (2012) yang menyatakan bahwa masyarakat Bali biasanya berobat ke dokter tradisional yaitu balian. Namun menurut anggota keluarga setelah melakukan pengobatan balian, efektivitas pengobatan yang dilakukan lebih pada pengobatan medis yang memperlihatkan pemulihan yang memberikan perubahan lebih baik pada ODS, dibandingkan pengobatan melalui balian karena tidak menimbulkan perubahan pada ODS.

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penerimaan Anggota Keluarga ODS

Terdapat lima faktor yang memengaruhi proses penerimaan anggota keluarga ODS yaitu:

Dorongan dari dalam diri

Anggota keluarga berusaha untuk optimis dengan kesembuhan ODS, dengan dukungan dari diri sendiri anggota keluarga

membuka diri dengan tidak malu memiliki ODS dan menyadari keterbatasan yang dimiliki anggota keluarga dengan mendapatkan dukungan dari diri melalui orientasi pada keluarga lain yang juga mengalami masalah yang sama maka anggota keluarga tidak merasa pesimis karena masih banyak keluarga lain yang mengalami cobaan seperti anggota keluarga ODS. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Cahyani (2015) yaitu dorongan dari dalam diri adalah dukungan yang didapatkan dari diri sendiri seperti merasa diterima sosial, merasa bisa beradaptasi, dan merasa memiliki pendirian.

Dukungan sosial

Terdapat empat jenis dukungan sosial yang memengaruhi faktor penerimaan anggota keluarga ODS:

Dukungan informasi.

Dukungan informasi adalah dukungan yang diperoleh dari keluarga, teman, orang sekitar, dan tenaga ahli yang memberikan nasihat dan saran untuk membantu informasi mengenai keadaan dan penanganan yang bisa didapatkan anggota keluarga.

Pernyataan mengenai dukungan informasi sesuai dengan pendapat Haber (2010) yang menyatakan dukungan informasi dengan cara memberikan nasihat, tanggapan, dan saran untuk membantu seseorang dalam menghadapi masalah. Sejalan dengan pernyataan dari Hartanto (2014) yang menyatakan dukungan informasi adalah nasihat, usulan, saran, petunjuk, dan pemberian informasi.

Dukungan emosional

Dukungan yang ditunjukkan dengan pemberian perhatian, rasa perduli, menghargai, perkataan yang membangun, respon yang baik, dan perasaan memiliki yang diberikan kepada anggota keluarga ODS yang berasal dari keluarga, teman, orang sekitar, ahli, dan agama. Dukungan emosional yang diberikan berupa kedekatan maupun keterbukaan orang-orang yang berada disekeliling anggota keluarga agar tidak merasa sendiri dan juga rasa kasih sayang yang diberikan anggota keluarga pada ODS.

Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Sarafino (2002) mengenai dukungan emosional yang berarti dukungan yang terdiri dari ekspresi seperti perhatian, empati, dan turut prihatin kepada seseorang. Dukungan ini akan menyebabkan penerima dukungan merasa nyaman, tentram kembali, merasa dimiliki dan dicintai ketika dia mengalami stres, memberi bantuan dalam bentuk semangat, kehangatan personal, dan cinta. Begitu pula pernyataan dari Hartanto (2014) yang menyatakan bahwa dukungan emosional dengan cara anggota keluarga memberikan dukungan, perhatian, dan kasih sayang kepada ODS.

Dukungan instrumental

Dukungan bersifat materiil dan tenaga yang didapatkan dari keluarga, orang sekitar, dan para ahli. Dukungan yang diberikan pada anggota keluarga ODS berupa pemberian bantuan secara langsung dalam biaya pengobatan dan bantuan tenaga dengan membantu anggota keluarga mengajak ODS menuju tempat berobat. Pernyataan ini didukung oleh Sarafino (2002) bahwa dukungan instrumental merupakan dukungan yang berupa bantuan secara langsung dan nyata seperti memberi atau meminjamkan uang atau membantu meringankan tugas orang yang sedang stres. Begitu pula

pendapat Uchino, Cutrona dan Gardner (dalam Sarafino & Smith, 2011) yang mengatakan dukungan instrumental atau nyata melibatkan bantuan langsung.

Dukungan penghargaan

Dukungan penghargaan didapatkan anggota keluarga dari keluarga, orang sekitar, dan tenaga ahli yang memberikan masukan dan menguatkan serta meningkatkan rasa kepercayaan anggota keluarga ODS. Begitu pula pendapat Cahyani (2015), dukungan penghargaan terjadi lewat ungkapan penghargaan positif untuk seseorang, dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan seseorang, dan perbandingan positif dengan orang lain.

Pandangan diri

Pandangan diri anggota keluarga ODS dengan menerima keadaan diri, menerima kehadiran ODS, dan cara merespon kondisi di sekitar ODS dan anggota keluarga, dengan cara beradaptasi dan memiliki keyakinan bahwa anggota keluarga ODS diterima oleh lingkungan. Teori yang disampaikan oleh Cahyani (2015), pandangan diri adalah pandangan yang berasal dari diri sendiri yang merasa bisa beradaptasi, memiliki pendirian, dan merasa diterima oleh sosial.

Pandangan sosial

Terdapat pandangan negatif dan pandangan positif yang diterima oleh anggota keluarga dan ODS. Pandangan negatif yang diterima dimunculkan oleh lingkungan sekitar yang menganggap bahwa perilaku ODS hanya berpura-pura dan keadaan ODS dianggap merupakan karma yang diterima oleh keluarga. Namun terdapat pula pandangan positif yang dimunculkan ketika lingkungan sudah mengetahui keadaan yang dialami oleh ODS, sehingga lingkungan memunculkan rasa empati, penerimaan, memahami, dan membantu anggota keluarga agar ODS bisa bersosialisasi. Didukung oleh teori yang disampaikan Cahyani (2015), pandangan sosial adalah pandangan yang diberikan lingkungan sosial terkait dengan keadaan seseorang yang mengalami skizofrenia dan keluarga. Status ekonomi

Anggota keluarga yang memiliki status ekonomi tergolong mampu atau kurang mampu dan tidak memiliki informasi yang cukup serta tidak mendapatkan  dukungan  akan

berpengaruh pada faktor penerimaan anggota keluarga dan keterlambatan penanganan yang dapat  diberikan  yang

berdampak pada pembiaran atau pengasingan pada ODS. Namun apabila mendapatkan informasi yang baik dan

dukungan dari sosial akan lebih memudahkan anggota keluarga untuk menerima kehadiran ODS. Berupa pemberian bantuan dari lembaga kesehatan yang menopang anggota-anggota keluarga kurang mampu, memberikan akses untuk mendapatkan jaminan kesehatan dari pemerintah sehingga pengawasan pengobatan ODS tetap terkontrol.

Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan dalam penelitian ini adalah pertama, minimnya referensi. Referensi baik berupa jurnal ataupun buku terkait yang secara spesifik membahas proses penerimaan anggota keluarga ODS. Sebagian besar jurnal dan buku terkait penerimaan keluarga anak berkebutuhan khusus. Kedua, penelitian ini hanya melihat dari sudut pandang keluarga inti seperti suami/ istri/ ayah/ ibu/ anak/ saudara kandung yang tinggal dalam satu rumah dengan ODS, tidak melihat sudut pandang dari keluarga yang lain karena peneliti hanya ingin

mengetahui penerimaan anggota keluarga yang berada dalam satu rumah dengan ODS saja, mengingat anggota keluarga yang tinggal satu rumah dengan ODS menjalani aktivitas keseharian dengan ODS.

Saran Bagi Peneliti Selanjutnya

Peneliti selanjutnya diharapkan dapat melakukan lebih banyak probing dalam pengambilan data, agar mendapatkan data yang lebih mendalam sehingga hasil yang diperoleh lebih banyak lagi dan dapat mencari referensi yang lebih bervariasi terkait proses penerimaan anggota keluarga, sehingga dapat memperkaya informasi penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Ardiyasa, I. N. S. (2012). Balian dalam pengobatan tradisional Bali (kajian teologi Hindu). Jurnal Sphatika, 6(1).

Baradero, M., Dayrit, M.W.D., & Maratning, A. (2016). Kesehatan mental psikiatri: Seri asuhan keperawatan. Jakarta: EGC.

Brady & McCain. (2005). Ving with schizophrenia: A family perspective. Kent State University College Nursing, J Issues Nurse Online. Advacnce online publication. doi: 10.3912/OJIN.Vol10No01HirshPsy01.

Cahyani, R.A. (2015). Penerimaan diri ibu dengan anak berkebutuhan khusus di Mojokerto (Skripsi Tidak Dipublikasikan). Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang.

Chaplin, C.P. (2000). Kamus lengkap psikologi alih bahasa. Jakarta: Kartini Kartono Rajawali Press.

Dion, Y., & Betan, Y. (2013). Asuhan keperawatan keluarga konsep dan praktik. Yogyakarta: Nuha Medika.

Gitasari, N., & Savira, S.I. (2015). Pengalaman family caregiver orang dengan skizofrenia. Jurnal Psikologi, 3(2).

Gunarsa. Singgih & Ny. SD. Gunarsa. (1991). Psikologi Praktis Anak Remaja dan Keluarga. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Haber, D. (2010). Health promotion and aging: Pravtical application for health professional (5th ed.). New York: Springer Publishing Company.

Halgin, R.P., & Withbourne, S.K. (1997). Abnormal psychology the human experience of psychology disorders. Dubuque: Times Mirror Higher Education.

Hartanto, D. (2014). Gambaran sikap dan dukungan keluarga terhadap penderita gangguan jiwa di Kecamatan Kartasura (Skripsi Tidak Dipublikasikan). Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah, Surakarta.

Hawari, D. (2003). Pendekatan holistik pada gangguan jiwa skizofrenia. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Hendriani,W., Handariyati, R., & Sakti, T.M. (2006). Penerimaan keluarga terhadap individu yang mengalami keterbelakangan mental. Jurnal INSAN. 8(2), 100-111.

Herdiansyah, H. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu Psikologi. Jakarta: Salemba Humanika.

Hurlock, E. (1974). Personality development. New Delhi: Mc Graw-Hill Publising Company.

Idaiani, S., Yunita, I., Prihatini, S., & Indrawati, L. (2013). Riset kesehatan dasar 2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Kubler-Ross, E. (2009). On death and dying (40th ed.). New York: Taylor & Francis e-Library.

Kumbara, A. N. (2017, April). Fungsi dan makna ritual melukat dalam penyembuhan gangguan jiwa di Bali. Warta Hindu Dharma.      Diambil      dari      www.phdi.or.id:

http://phdi.or.id/artikel/fungsi-dan-maknaritual-melukat-dalam-pemnyembuhan-gangguan-jiwa-di-bali.

Lestari, W., & Wardhani, Y. F. (2014, April). Stigma dan

penanganan penderita gangguan jiwa berat yang dipasung. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 17, 157-166.

Moleong, J.L. (2014). Metode penelitian kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Mutoharoh. (2010). Faktor-faktor berhubungan dengan mekanisme koping klien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa di RS. Umum Pusat (RSUP) Fatmawati (Skripsi. Tidak Dipublikasikan). Keperawatan Universitas Bandung, Bandung.

Nainggolan, N.J. & Hidajat, L.L. (2013). Profil kepribadian dan psychological well-being caregiver skizofrenia. Jurnal Psikologi, 6(1), 21–42.

Notoatmodjo, S. (2003). Pendidikan dan perilaku kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Notosoedirjo, M & Latipun. (2001). Kesehatan mental, konsep & penerapan. Malang: UMM PRESS.

Notosoedirdjo & Latipun. (2005). Kesehatan mental, konsep dan penerapan. Jakarta: EGC.

Prawitasari, J ,E., Martani, W. & Adiyanti, M.G (1995). Konsep emosi orang Indonesia: Pengungkapan dan pengertian emosi melalui komunikilsi nonverbal di masyarakat yang berbeda latar budaya (Banjarmasin, Balikpapan, dan Yogyakarta). (Laporan Penelitian Tidak dipublikasikan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.

Poerwandari, E. Kristi (2014). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) Universitas Indonesia.

Putro, B. D. (2004). Gangguan jiwa (buduh) di Bali sebagai fenomena budaya: Studi persepsi dan perilaku pilihan perawatan gangguan jiwa orang Bali. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Rachmayanti, S., & Zulkaida, A. (2007). Penerimaan orangtua

terhadap anak autisme dan peranannya dalam terapi autisme. Jurnal Psikologi, 1(1).

Riskesdas. (2013, 1 Desember). Badan penelitian dan pengembangan kesehatan Kementerian RI tahun 2013. Kementrian Kesehatan RI. Diambil      dari

www.depkes.go.id:http://www.depkes.go.id/resources/dow nload/general/Hasil%20Riskesdas%202013.pdf.

Rubbyana, U. (2012). Hubungan antara strategi koping dengan kualitas hidup pada penderita skizofrenia remisi simptom. Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental, 1(2), 59-66.

Sadock. (2007). Sinopsis psikiatri: Ilmu pengetahuan psikiatri klinis (Jilid 1). Jakarta: Bina Rupa Aksara.

Safaria. (2005). Interpersonal intelligence: Metode pengembangan kecerdasan interpersonal anak. Yogyakarta: Amara Books.

Salahuddin, M. (2009). Peran keluarga terhadap proses penyembuhan pasien gangguan jiwa (Skripsi Tidak Dipublikasikan). Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang.

Sarafino, E. P. (2002).  Health  psychology:  biopsychology

interactions (4th ed.). USA: John Wiley & Sons, Inc.

Sarafino, E. P., & Smith, T. W. (2011). Health psychology:

biopsychological interaction (7th ed.). USA: John Wiley & Sons.

Strauss, A. & Corbin, J. (2013). Dasar-dasar penelitian kualitatif (Tata langkah dan teknik- teknik teoritisasi data). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Syafrika & Tommy. (2004). Persepsi terhadap lingkungan fisik kerja dan dorongan berperilaku agresif pada polisi lalu lintas. Jurnal Insan Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara, 6(3).

Syaharia, A. R. H. (2009). Stigma gangguan jiwa perspektif kesehatan mental Islam (Skripsi Tidak Dipublikasikan). UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Taylor, E. S. (2012). Health Psychology. New York: McGraw-Hill Companies.

Tribun Bali. (2015, 22 April). Dianggap kutukan, penderita gangguan jiwa akhirnya dipasung. Tribun Bali. Diambil  dari

http://bali.tribunnews.com/2015/04/22/dianggap-kutukan-pihak-keluarga-memasung-si-sakit.

Veiel, H.D.F & Bauman, F. (1992). The meaning and measurement of social support. New York: Hemisphere Publish Co.

Wardhani, R.S.P. (2013). Penerimaan keluarga pasien skizofrenia yang menjalani rawat inap. (Skripsi Tidak Dipublikasikan). Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah, Surakarya.

LAMPIRAN

Gambar 1

Hasil Penelitian

Tabel 1

Perbedaan Proses Penerimaan pada Responden yang Menerima Dukungan Sosial

Proses

Penerunaaii

I

Responden

VI

n

m

IV

V

Taliap penolakan

'J

Taliap marah

Taliap tawar-menawar

'v'

Tahap depresi

Tahap penerimaan

102