Jurnal Psikologi Udayana

Edisi Khusus Psikologi Positif, 211-220

Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana

ISSN: 2354 5607

DINAMIKA PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA BROKEN HOME DI BALI Ida Ayu Shintya Dewi dan Yohanes Kartika Herdiyanto

Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana [email protected]

Abstrak

Penerimaan diri merupakan kesadaran dan kemauan individu untuk hidup dengan kekurangan dan kelebihan dalam dirinya. Pada remaja broken home penerimaan diri menjadi hal penting yang harus dimiliki agar remaja mampu menyesuaikan diri dengan realitas yang dihadapi, sehingga dapat menumbuhkan toleransi terhadap peristiwa-peristiwa menyakitkan terkait konflik yang terjadi dalam keluarga. Berbeda dengan remaja pada umumnya, remaja broken home di Bali memiliki permasalahan yang lebih kompleks mengingat remaja Bali tumbuh dalam lingkungan sosial yang menjunjung tinggi nilai-nilai adat, salah satunya adalah sistem kekerabatan patrilineal. Sistem kekerabatan patrilineal ini menuntut remaja broken home di Bali untuk menyesuaikan diri dengan pihak keluarga purusa (keluarga ayah) agar dapat meneruskan keturunan keluarga, walaupun remaja tidak memiliki kedekatan dengan pihak keluarga purusa. Merujuk dari permasalahan tersebut, penelitian ini bertujuan untuk melihat dinamika penerimaan diri pada remaja broken home di Bali.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif tipe fenomenologi dengan responden sejumlah lima remaja Bali yang dipilih dengan teknik purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara individu, wawancara kelompok, dan observasi dengan guideline yang mengacu pada teori penerimaan diri Kubler Ross yang terdiri dari lima tahap yaitu denial, anger, bargaining, depression, dan acceptance. Adapun hasil dari penelitian ini, diantaranya: pertama adalah penerimaan diri remaja broken home di Bali dominan dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal yaitu keluarga dan sosial, kedua adalah wujud setiap tahap penerimaan diri berbeda pada setiap fase perkembangan, pada fase anak-anak wujud penerimaan diri dominan berbentuk emosi, pada fase remaja awal wujud penerimaan diri dominan berbentuk perilaku, dan pada fase remaja akhir wujud penerimaan diri dominan berbentuk pikiran, dan yang ketiga penerimaan diri pada remaja broken home di Bali merupakan proses dinamis dan terdapat perbedaan dinamika penerimaan diri antara responden dengan hak asuh patrilineal dan responden dengan hak asuh mandiri.

Kata kunci: penerimaan diri, broken home, remaja Bali.

Abstract

Self-acceptance is the consciousness and willingness of the individual to live with the flaws and strengths in himself. With a broken home adolescent, self-acceptance becomes an important thing that must be owned so that adolescent able to adapt to the reality they faced, so that they can grow tolerance to conflict-related painful events that happened in family. Unlike adolescent in general, broken home adolescent in Bali have a more complex problem as Balinese adolescent grow in a social environment that upholds customary values, one of which is the patrilineal kinship system. This patrilineal kinship system demands broken homes adolescent in Bali to adapt to their father’s family (in Bali called “Purusa” system) in order to continue the family’s descent, even though adolescents do not have close relation to their father’s family. Referring from these problems, this study aims to see the dynamics of self-acceptance in broken home adolescents in Bali.

This research used qualitative method of phenomenology type with the respondents of five Balinese adolescent selected by purposive sampling technique. The data were collected by individual interviews, group interviews, and observations with guidelines referring to Kubler Ross's self-acceptance theory consisting of five stages; denial, anger, bargaining, depression, and acceptance. The results of this study includes; first, self-acceptance of broken home adolescents in Bali is dominantly influenced by external factors which are family and social; second, the form of each stage of self-acceptance is different in each phase of development. In the phases of children a form of self-acceptance shown dominantly as form of emotion, in the early adolescent phase the form of self-acceptance is shown dominantly in their behaviour, and in the final adolescent phase of self-acceptance dominant form of thought; third, selfacceptance in broken home adolescent in Bali is a dynamic process and there are difference dynamics of selfacceptance between respondents with patrilineal custody and respondents with independent custody.

Keyword: self-acceptance, broken home, Balinese adolescent.


LATAR BELAKANG

Pernikahan adalah ikatan lahir batin seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (UU Perkawinan RI, 1974). Setiap pasangan suami istri tentu memiliki rencana yang indah untuk kehidupan pernikahan, walaupun pada kenyataannya banyak dinamika kehidupan yang harus dilewati dalam proses menjalani suatu kehidupan rumah tangga. Pada suatu titik pasangan suami istri tentu akan bertemu dengan situasi konflik yang penuh dengan permasalahan dan tuntutan yang menjadi pemicu keretakan sebuah keluarga.

Keretakan sebuah keluarga terutama yang berujung pada perceraian senantiasa membawa dampak yang mendalam, seperti memicu stres, tekanan, dan depresi sehingga dapat menimbulkan perubahan fisik dan psikologis pada seluruh anggota keluarga (Dagun, 1990). Konflik yang terjadi juga membawa perubahan dalam komposisi keluarga, peran, hubungan, masalah ekonomi, serta membawa dampak yang signifikan pada fungsi suatu keluarga. Quensel, Paul, Aoife, Auke, Bloom, Johnson, dan Kolte (2002) menggunakan istilah broken home untuk menggambarkan kondisi keluarga yang tidak harmonis dan tidak berjalan layaknya keluarga yang rukun akibat sering terjadi konflik, keadaan labil, dan komunikasi dua arah dalam kondisi demokratis sudah tidak ada.

Dampak negatif dari keluarga broken home akan sangat memengaruhi perkembangan anak, terutama pada anak yang memasuki masa remaja. Keberfungsian keluarga yang rendah akan meningkatkan kenakalan remaja, terutama jenis kenakalan yang menjurus seperti pelanggaran norma hukum dan kejahatan, serta jenis kenakalan khusus seperti narkotika, hubungan seks di luar nikah, dan sebagainya (Saripuddin, 2009). Berdasarkan hasil dari beberapa penelitian ditemukan bahwa salah satu faktor penyebab timbulnya kenakalan remaja tersebut adalah tidak berfungsinya orangtua sebagai figur tauladan bagi anak (Fitriani, Handayani, & Asiah, 2017).

Disamping dampak negatif yang dirasakan remaja akibat perceraian orangtua, pada beberapa penelitian ditemukan bahwa juga terdapat dampak positif yang terjadi. Optimisme terkait masa depan pada remaja dengan orangtua yang bercerai akan meningkat ketika remaja tetap mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang cukup dari kedua orangtua walaupun dalam kondisi perceraian, dengan cara tersebut remaja akan mampu mempersespsikan peristiwa perceraian dengan lebih positif (Baskoro, 2008). Remaja yang hidup dalam keluarga broken home juga dapat memiliki tingkat subjective well-being yang tinggi ketika terdapat keterbukaan antara remaja dan orangtua terkait konflik yang terjadi dalam keluarga, sehingga remaja memiliki pemahaman bahwa perceraian merupakan jalan yang harus ditempuh daripada hidup dalam keluarga yang tidak harmonis. Melalui

pemahaman tersebut remaja akan merasa nyaman dan mengendalikan emosinya dengan baik (Dewi & Utami, 2008).

Pasangan dalam sebuah keluarga broken home yang tinggal terpisah biasanya akan mempermasalahkan siapa pemegang hak asuh anak. Dikatakan dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 35 tentang Perlindungan Anak tahun 2014 bahwa setiap anak berhak untuk diasuh oleh orangtuanya sendiri, kecuali jika ada alasan atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir. Anak dibawah umur 12 tahun biasanya akan diasuh oleh ibu, kecuali jika ibunya berperilaku tidak baik, sedangkan pada anak usia remaja, dianggap sudah memiliki hak untuk memilih sendiri pemegang hak asuhnya.

Secara umum, peran pengasuhan banyak dijalankan oleh ibu. Figur ibu seringkali dianggap sebagai figur penting dalam proses pertumbuhan dan perkembangan anak, terutama ketika anak memasuki masa remaja (Fajri & Khairani, 2011). Faktanya tidak semua anak, terutama yang berasal dari keluarga broken home, dapat berada dekat dengan ibunya. Pada keluarga broken home yang menganut sistem kekerabatan patrilineal, pengasuhan anak merupakan tanggung jawab keluarga ayah. Contohnya pada keluarga suku Batak, suku Rejang, suku Gayo, dan suku Bali yang sampai saat ini terkenal sebagai penganut adat patrilineal di Indonesia (Koenjaraningrat, 1998). Sistem patrilineal ini akan menimbulkan masalah ketika anak atau remaja dari keluarga broken home tersebut tidak memiliki kedekatan dengan pihak ayah.

Pada sistem kekerabatan patrilineal, hak kepemilikan, warisan harta, keturunan, pengambilan keputusan , dan urusan adat mengalir pada garis keturunan laki-laki (Darwin, 1999). Dalam perkawinan biasa yang terjadi di Bali, perempuan akan memperoleh status pradana (istri diangkat menjadi anggota keluarga suaminya) dan akan masuk ke dalam keluarga suaminya yang berstatus purusa (penerus keturunan), begitu pula dengan anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut akan mengikuti purusa-nya (Koenjaraningrat, 1998). Jika dalam suatu rumah tangga terjadi konflik yang menyebabkan perpisahan, berdasarkan hukum adat di Bali, anak merupakan hak dari keluarga purusa-nya.

Dalam beberapa keluarga yang tidak memiliki anak laki-laki, anak perempuan dapat dijadikan ahli waris atau penerus keturunan dan mendapatkan status purusa. Model perkawinan ini disebut nyentana yang sekilas mirip dengan perkawinan dalam sistem kekeluargaan matrilineal, namun dalam hasil penelitian ditemukan bahwa tiga kabupaten di Bali yaitu Jembrana, Klungkung, dan Bangli masih menolak perkawinan nyentana. Tiga kabupaten tersebut lebih memilih menjadikan anak laki-laki dari keluarga lain yang masih memiliki hubungan darah lurus ke bawah atau ke samping sebagai penerus keluarga daripada menerapkan perkawinan

nyentana (Adnyani, 2016). Melihat kondisi tersebut berarti, remaja dalam keluarga yang bercerai di Bali bisa saja diasuh oleh ibunya atau pihak pradana, namun hak dan kewajiban yang menyangkut warisan dan urusan adat anak tetap ada pada keluarga purusa-nya yang secara umum merupakan pihak keluarga ayah (Sukerti, Ariani, & Krisnawati, 2015).

Secara tidak langsung remaja Bali dituntut untuk dapat menjalin hubungan baik dengan kedua keluarga orangtuanya, namun hal tersebut akan sulit dilakukan ketika remaja belum mampu melakukan penerimaan diri. Kubler Ross (dalam Kellehear, 2009) menjelaskan bahwa penerimaan diri terbentuk ketika individu mampu menghadapi kenyataan daripada hanya menyerah pada tidak adanya harapan. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan kepada satu orang responden remaja Bali, ditemukan bahwa sistem kekeluargaan patrilineal memengaruhi kondisi psikologis remaja Bali yang hidup dalam keluarga broken home. Ketika remaja memiliki masalah relasi dengan pihak ayah, namun tetap harus tinggal dengan ayahnya karena peraturan adat yang berlaku, remaja mengalami hambatan dalam melakukan penerimaan diri terkait kondisi keluarganya (Dewi, 2017). Hal tersebut diperkuat oleh hasil penelitian yang menyebutkan bahwa perceraian merupakan guncangan bagi remaja, karena akan membuat pikiran remaja terfokus pada masalah perceraian orangtua sehingga akan mengganggu apa yang seharusnya remaja perhatikan sesuai dengan usianya yaitu berkaitan dengan pembentukan identitas yang sehat, hal ini memengaruhi sikap remaja yaitu terkait bagaimana remaja membentuk penerimaan terhadap diri sendiri (Lestari, 2014).

Individu yang dapat menerima keadaan dirinya dapat menghormati diri sendiri, dapat menyadari sisi negatif dalam dirinya, dan mengetahui bagaimana untuk hidup bahagia dengan sisi negatif yang dimilikinya, selain itu individu yang dapat menerima dirinya memiliki kepribadian yang sehat dan kuat (Ardilla & Herdiana, 2013). Pada remaja broken home di Bali, penerimaan diri menjadi penting agar remaja mampu menjalani kehidupan dengan baik dan memiliki identitas serta persepsi diri yang sehat, walaupun harus berdampingan dengan kondisi broken home yang dianggap menyakitinya. Melihat permasalahan yang ada, maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian yaitu; bagaimana proses terbentuknya dinamika penerimaan diri dan strategi coping remaja dari keluarga broken home di Bali?

METODE PENELITIAN

Tipe Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif tipe fenomenologi. Moleong (2016) menjelaskan bahwa pendekatan kualitatif dimanfaatkan untuk beberapa keperluan seperti memahami isu-isu rinci tentang situasi dan kenyataan yang dihadapi seseorang, memahami isu-isu sensitif, meneliti

tentang hal-hal yang berkaitan dengan latar belakang responden penelitian dan meneliti sesuatu secara mendalam. Tipe fenomenologi digunakan untuk berfokus pada pengalaman subyektif individu yang diinterpretasikan, dimengerti, dipelajari, dan dimaknai bagaimana “dunia” individu tersebut muncul dalam suatu lingkungan (Sugiyono, 2016). Pemilihan tipe penelitian ini sejalan dengan tujuan penelitian yaitu memahami pengalaman subyektif responden terkait proses penerimaan diri pada kondisi keluarga broken home. Tipe fenomenologi juga dapat digunakan untuk memahami arti dari suatu peristiwa seperti kondisi keluarga broken home dan bagaimana kaitannya dengan orang-orang yang berada dalam peristiwa tersebut seperti bagaimana seorang remaja membentuk penerimaan diri dalam kondisi keluarga broken home.

Responden Penelitian

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan teknik purposive sampling untuk mendapatkan responden penelitian. Adapun kriteria responden dalam penelitian ini adalah:

Kriteria inklusi                                  Kriteria ekslusi

Remaja asli Bali berusia 18-22 tahun.             Bukan merupakan remaja asli Bali.

Beragama Hindu.                             Tidak beragama Hindu.

Memiliki konflik yang menyebabkan            Sudah menikah..

gangguan fungsi keluarga.

Masih tinggal bersama dan berhubungan         Tidak berhubungan sama sekali dengan kedua

dengan Orangtua kandung.                     Oiangtua kandung.

Tempat Penggalian Data

Pada penelitian ini, teknik penggalian data yang digunakan adalah wawancara dan observasi yang dapat dijabarkan sebagai berikut:

  • a.    Wawancara

Menurut Esterberg (dalam Sugiyono, 2016), wawancara adalah pertemuan antara dua orang yang dilakukan untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu. Melalui wawancara, peneliti akan mengetahui hal-hal yang lebih mendalam tentang partisipan dalam menginterpretasikan situasi serta fenomena yang terjadi dan hal ini tidak bisa ditemukan melalui observasi (Stainback dalam Sugiyono, 2016). Secara garis besar, wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara individual dan wawancara kelompok.

  • b.    Observasi

Pada penelitian ini, observasi yang digunakan adalah observasi terfokus, yaitu observasi yang difokuskan pada aspek-aspek tertentu dalam sebuah penelitian (Ibrahim, 2015). Hasil observasi akan dicatat pada bagian interpretasi dalam fieldnote. Fokus observasi akan ditujukan pada aspek-aspek yang berkaitan dengan dinamika penerimaan diri pada remaja broken home yang juga merupakan fokus dari penelitian ini,

sehingga observasi tidak melihat aktivitas secara keseluruhan dari responden.

Teknik Analisis Data

Terdapat tiga langkah besar dalam melakukan analisis data kualitatif, yaitu open coding, axial coding, dan selective coding (Strauss & Corbin dalam Sugiyono, 2016) yang dijabarkan sebagai berikut:

  • a.    Open Coding

Pada tahap ini peneliti akan berupaya menemukan selengkap dan sebanyak mungkin variasi data yang ada pada perilaku responden dan situasi sosial lokasi penelitian.

  • b.    Axial Coding

Hasil yang diperoleh dari open coding diorganisasikan kembali berdasarkan kategori-kategori untuk dikembangkan kearah proporsi-proporsi. Pada tahap ini juga dilakukan analisis antar kategori.

  • c.    Selective Coding

Peneliti menggolongkan kategori yang didapat pada tahap axial coding menjadi kategori inti dan pendukung serta mengaitkan antara kategori inti dan pendukung tersebut. Pada tahap ini peneliti menarasikan keterkaitan kategori-kategori yang telah dipilih.

HASIL PENELITIAN

Faktor-faktor pembentuk penerimaan diri

Berdasarkan hasil pengumpulan data yang dilakukan melalui wawancara dan observasi dengan lima orang responden dan satu orang informan, diperoleh beberapa faktor yang memengaruhi terbentuknya dinamika penerimaan diri pada remaja broken home di Bali. Adapun faktor-faktor yang ditemukan tersebut merupakan faktor eksternal yang secara garis besar dapat dikelompokan sebagai faktor keluarga dan faktor sosial.

  • a.    Faktor keluarga terdiri dari kesempatan dan harapan orangtua rujuk, serta praktik pengasuhan yang membentuk gaya kelekatan antara remaja dengan orangtua.

  • b.    Faktor sosial terdiri dari tiga jenis yaitu budaya, dukungan sosial, serta stresor dan stimulus lingkungan.

Wujud penerimaan diri dan strategi coping

Konflik yang terjadi dalam keluarga dialami kelima responden ketika berada dalam fase perkembangan anak-anak dan saat ini kelima responden telah berada pada rentang usia fase perkembangan remaja akhir. Ketika terjadi konflik rata-rata responden berada pada rentang usia 0-5 tahun, dan saat ini responden berusia 19-21 tahun. Berdasarkan hal tersebut secara kronologis dapat diidentifikasi wujud tahapan penerimaan diri pada setiap fase perkembangan responden, serta strategi coping yang responden gunakan dalam tahap-tahap tersebut.


Proses penerimaan diri terdiri dari lima tahap yakni denial, anger, bargaining, depression, dan acceptance. Pada setiap fase perkembangan yang dilalui responden penelitian, kelima tahap penerimaan diri tersebut tidak selalu muncul dan didominasi oleh aspek psikologis yang berbeda-beda. Bahkan terdapat tahapan yang tidak muncul sama sekali sejak fase perkembangan anak-anak hingga remaja akhir. Secara umum, strategi coping yang diterapkan pada seluruh fase perkembangan dalah emotional focused coping.

Adapun penjabarannya secara lebih terperinci dijelaskan dalam tabel berikut:


Tabel 3.

Wujud pcnvnriiiian din dan strategi cuping


per

kembangan

Anak-anak


Dominan emosi


Remaja awal


Dominan perilaku


Remaja akhir


Dominan pikiran


Dtnial


Angtr


Bargaining


Dtprrsrion


Acctpianct


•Perceraian belum tcηadι. konflik sebatas pertengkaran.


aAnak belum memudari.


•Keluarga merahasiakan.


Mcnghindar dan merasa tidak perlu mengetahui penyebab perceraian.


Takut menanyakan penyebab perceraian karena berpikir keadaan akan berubah.


lBcIum


mampu uittuk marah

atau melakukan perlawanan.


aBclum mengerti apakah keadaan harus diperbaiki atau Ddak


Mcnangis ketakutan ketika melihat konflik yang terjadi


•Belum


mampu


«P* JW terjadi


Pcnoiakan terhadap ( TJTgt--I


Pcnlaku destruktif


Stresor membuat kembali berpikir bahwa dunia tidak adil


sudah lama


Udak ada


untuk rujuk.


'Ingin


rujuk namun tidak melakukan


Mcnank din dan

In JX-TiuJ-T:


Kuahtas setf-dese Iosnre yang kurang


Strcsor


rasa sedih


kesepian kembali


Menemukan strategi


tepat


Munpu melakukan refleksi din sehingga


hidup lebih berharga.


sekali.

Tidak boleh marah pada

pengasuhan.

Iingkungan

Coping strategy

Escapism

No seif blame

Meaning

Minimization & Escapisrn


Keterangan: tanda (•) pada beberapa kolom mengartikan bahwa tahapan tersebut tidak muncul dalam dinamika penerimaan diri yang dialami oleh responden.


Penerimaan diri remaja broken home dalam sistem kekerabatan patrilineal

Responden dalam penelitian ini berjumlah lima orang dengan dua jenis hak asuh, yaitu hak asuh patrilineal dan hak asuh mandiri. Pada hak asuh patrilineal ditemukan dua jenis gaya kelekatan yakni ambivalent attachment dan anxious-ambivalent attachement, sedangkan pada hak asuh mandiri gaya kelekatan dengan pengasuh atau keluarganya adalah secure attachment. Berdasarkan data yang diperoleh terdapat satu responden dengan hak asuh mandiri dan secure attachment, dua responden dengan hak asuh patrilineal dan ambivalent attachment, serta dua responden lainnya dengan hak asuh patrilineal dan anxious-ambivalent attachment. Adapun dinamika penerimaan diri yang dialami oleh ketiga kelompok responden dapat digambarkan dalam grafik berikut:


Responden dengan hak asuh mandiri dan secure attachment hanya mengalami tiga dari lima tahapan penerimaan diri, yaitu anger, depression, dan acceptance. Terjadi fenomena swing antara depression dan acceptanvce yang disebabkan oleh stresor yaitu konflik dengan figur lekat, serta stimulus yaitu dukungan dari keluarga dan teman sebaya.

Denial

Anger

Bargaining

Depression

Acceptance

dukungan ⅛⅜luaga dan ιtman sebaya

Keterangan:

CeUk tebal: tahap penerimaan diri

CetaimirMf strasor

Bergaria bawah: Stimulna

Graflk 2.

Dinamika penerimaan diri pada remaja dengan hak asuh patrilineal dan ambivalem attachment.

Responden dengan hal asuh patrilineal dan ambivalent attachment hanya mengalami tiga dari lima tahapan penerimaan diri, yaitu anger, depression, dan acceptance. Fenomena swing juga terjadi diantara ketiga tahapan yang dialami. Responden mengalami anger ketika terdapat stresor berupa perasaan trauma dan tidak adil, kemudian karena kurangnya kemampuan self-disclosure maka responden akan mengalami tahapan depression, namun ketika responden mendapatkan stimulus berupa dukungan keluarga dan teman sebaya, responden mampu untuk kembali mencapai acceptance.

Denial rj ι,. θ q      ra⅛ WteJieriw tonoraw

Aager_______⅛ ι /               pengabaian orangtua

BirjJiniaj ⅛ ff ⅞ //

Depression \J \J pengabaian Orangtua

Acceptaace

Keterangan:

Cetak tebal: tahap penerimaan diri

Ceiak miring: stresor

Graflk 3. Dinamika penerimaan diri pada remaja dengan hak asuh petrilineal dan Graious arnbivaleru attachment.

Responden dengan hak asuh patrilineal dan anxious-ambivalent attachment juga mengalami tiga dari lima tahapan penerimaan diri, yakni denial, anger, dan depression, yang

mana tahapan denial bersifat konsisten dibarengi dengan kemunculan anger dan depression secara bersamaan ketika ada stresor dari lingkungan. Untuk menutupi sikap denial yang konsisten ini, responden menunjukkan “kepasrahan semu” yang terlihat seperti acceptance padahal kenyataannya sikap responden tidak menunjukkan tanda penerimaan. Tahapan anger dan depression terjadi bersamaan ketika responden mendapatkan stresor yaitu pengabaian dari orangtua, sehingga responden menunjukkan perilaku-perilaku apatis dan destruktif untuk mengekspresikan kekecewaan dan mendapatkan pengakuan.

PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

Pengaruh keluarga dalam dinamika penerimaan diri remaja broken home di Bali

Hurlock (2008) mengemukakan sembilan faktor yang memengaruhi penerimaan diri individu, faktor-faktor tersebut terdiri dari enam faktor internal dan tiga faktor eksternal. Dari ketiga faktor eksternal yang disebutkan oleh Hurlock, satu faktor yang sama ditemukan dalam penelitian ini yaitu faktor praktik pengasuhan dalam keluarga. Praktik pengasuhan dalam keluarga responden tercermin dari pola hubungan responden dengan orangtua. Kehadiran orangtua yang tidak konsisten dan komunikasi yang tidak terbuka antara responden dengan orangtua membentuk gaya kelekatan tidak aman (insecure attachment) pada responden, akibatnya responden merasakan kecemasan dalam menjalin hubungan interpersonal di masa remaja akhir dan menunjukkan perilaku menghindar. Penemuan tersebut sejalan dengan pendapat Simpson (1990, dalam Helmi, 2004) yang menyebutkan bahwa individu dengan gaya kelekatan tidak aman memandang orang lain mempunyai komitmen rendah dalam hubungan interpersonal, selain itu individu juga mudah curiga dan sukar bersikap terbuka. Akibat dari gaya kelekatan tidak aman antara responden dengan orangtua ini adalah ketidakmampuan responden untuk bertahan secara konsisten pada tahap acceptance.

Di sisi lain dukungan keluarga menjadi stimulus yang mampu membantu responden untuk kembali bergerak maju ke tahap acceptance. Temuan tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh McFarlane, Bellissimo, dan Norman (1995) yang menyebutkan bahwa dukungan keluarga berkorelasi negatif dengan depresi pada remaja, yang artinya dukungan keluarga merupakan faktor pelindung remaja dari depresi. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa keluarga merupakan faktor utama dalam dinamika penerimaan diri remaja broken home, yang mana keluarga dapat menjadi faktor penghambat maupun pendukung dalam proses mencapai tahapan acceptance.

Sistem kekerabatan patrilineal menghambat penerimaan diri

Sistem kekerabatan patrilineal yang diterapkan di Bali memengaruhi sikap penerimaan diri pada responden dalam penelitian ini, yang mana responden merasa tidak nyaman karena terpaksa untuk diasuh oleh pihak keluarga ayah, sehingga responden mengalami kegagalan dalam mencapai tahapan acceptance secara utuh. Penemuan ini sejalan dengan temuan Ardilla & Herdiana (2013) bahwa untuk mencapai penerimaan diri individu harus mendapatkan sikap menyenangkan dari lingkungan baru. Pada remaja broken home dalam sistem kekerabatan patrilineal, remaja tidak merasakan sikap menyenangkan dari lingkungan saat ini. Hal tersebut dapat dilihat dari sikap responden yang bertentangan dengan tolak ukur sikap penerimaan diri yang dikemukakan beberapa ahli. Adapun perbandingan sikap yang dimaksud dapat dijabarkan dalam tabel berikut:

Tabel 4.

Sikap yang menunjukkan tidak tercapainya penerimaan diri dengan sempurna.

Pendapat ahli

Penerimaan diri adalah suatu kesadaran individu tentang karakteristik pribadinya dan kemauan untuk hidup dengan keadaan dirinya (Hurlock, 2008).

Penerimaan diri tercapai ketika individu menerima semua hal yang terjadi sebagai bagian dari diri, sehingga akan tumbuh toleransi terhadap ketidaksempurnaan pada diri individu (Shcrpard dalam Bernard, 2013)

Sikap responden

Menganggap orangtua yang mengasuhnya saat ini hanya pelengkap untuk memenuhi kebutuhan materi.

Ingin tinggal sendirian atau dengan pihak orangtua lain yang diinginkan.

Tidak tertarik untuk menjalin hubungan yang lebih intim dengan orangtua yang mengasuhnya saat ini.


Individu yang memiliki penerimaan diri akan lebih mampu menyesuaikan kondisi emosional dengan realitas yang dihadapi (Allport dalam Feist & Feist, 2014).


Merasa tidak nyaman ketika keluarga besar memberi dukungan.

Melakukan tindakan destruktif karena merasa tidak dihargai dalam keluarga.

Memiliki kecemasan akan masa depan terutama terkait aturan adat.

Wujud penerimaan diri dan teori perkembangan

Pada hasil penelitian ditemukan bahwa wujud penerimaan diri berbeda-beda pada setiap fase perkembangan, yang mana fase perkembangan tersebut dalam penelitian ini dibedakan menjadi tiga kategori yaitu fase anak-anak dengan wujud penerimaan diri dominan emosi, remaja awal dengan wujud penerimaan diri dominan perilaku, dan remaja akhir dengan wujud peneriman diri dominan pikiran. Adapun pembahasan pada setiap fase perkembangan jika dikaitkan dengan teori dapat dijabarkan sebagai berikut:

  • a.    Fase perkembangan anak-anak

Pada fase perkembangan anak-anak hanya satu dari lima tahapan penerimaan diri yang muncul, yaitu tahap depression. Tahap depression ini diwujudkan dalam bentuk tangis ketakutan ketika responden melihat konflik atau kekerasan yang terjadi diantara kedua orangtuanya, biasanya hal ini

disaksikan ketika perceraian belum terjadi yaitu ketika responden berada pada kisaran usia 2-5 tahun. Moeslichatoen (dalam Syaodih, 1995) mengemukakan sembilan ciri pertumbuhan kejiwaan anak. Dua dari sembilan ciri yang dikemukakan dapat dikaitkan dengan penemuan ini. Ciri pertumbuhan kejiwaan anak yang pertama dikemukakan oleh Moeslichatoen adalah kemampuan menyesuaikan reaksi emosi dan mengarahkan ekspresi perasaan berdasarkan kejadian yang dialami. Jika dilihat, reaksi emosi depresi yang ditunjukan oleh responden ketika berusia anak-anak disebabkan oleh situasi konflik, saat itu responden melihat ekspresi emosi yang cenderung negatif seperti kemarahan, kekerasan, ketakutan, dan tangisan sehingga responden menunjukkan ekspresi emosi yang serupa dengan kondisi lingkungannya. Hal tersebut mengartikan bahwa wujud penerimaan diri yang ditunjukan oleh responden pada fase perkembangan tersebut sesuai dengan ciri pertumbuhan kejiwaan menurut Moeslichatoen (dalam Syaodih, 1995).

Ciri pertumbuhan kejiwaan kedua yang dapat mendukung temuan ini adalah pada fase perkembangan anak-anak, individu belum dapat membedakan kejadian nyata dan khayal (Moeslichatoen dalam Syaodih, 1995). Pernyataan tersebut dapat menjadi prediktor ketidakmunculan tahapan penerimaan diri lainnya yaitu denial, anger, bargaining, dan acceptance. Menurut Kubler Ross (dalam Kellehear, 2009) tahapan denial muncul sebagai bentuk pertahanan diri individu dengan cara menghindari kenyataan, tahapan anger merupakan ekspresi individu karena perasaan ketidakadilan atas kondisi yang dialami, tahapan bargaining adalah tahapan negosiasi untuk mendapatkan kondisi hidup yang diharapkan, dan tahapan acceptance dapat dicapai ketika individu mampu berdamai dengan kenyataan-kenyataan yang terjadi pada dirinya. Melihat pernyataan Kubler Ross (dalam Kellehear, 2009) berarti individu harus memiliki kemampuan untuk menyadari kenyataan terlebih dahulu untuk dapat melalui keempat tahapan tersebut, sedangkan menurut Moeslichatoen R. (dalam Syaodih, 1995) pada fase anak-anak kemampuan tersebut memang belum berkembang.

  • b.    Fase perkembangan remaja awal

Tahapan penerimaan diri yang muncul pada fase perkembangan remaja awal adalah tahap denial, anger, depression, dan acceptance, namun tahap bargaining tidak muncul. Empat tahapan yang muncul diwujudkan dalam bentuk dominan perilaku. Perilaku merupakan bentuk ekspresi afeksi individu, dalam Santrock (2007) dijelaskan bahwa remaja dengan harga diri tinggi cenderung mengekspresikan afeksi dalam bentuk perilaku-perilaku positif seperti kepedulian, partisipasi dalam aktivitas keluarga, dan bertindak dengan berpedoman pada aturan serta norma.

Pada responden penelitian, bentuk perilaku yang diperlihatkan cenderung negatif atau destruktif, hal tersebut mengindikasikan bahwa harga diri yang dimiliki responden cenderung rendah. Sejalan dengan pendapat Fenzel (dalam Santrock, 2007) bahwa remaja dengan harga diri rendah biasanya rentan mengalami depresi, melakukan kenakalan remaja, dan memiliki masalah dalam penyesuaian diri. Lebih lanjut Santrock (2007) menjelaskan bahwa rendahnya harga diri remaja dapat disebabkan oleh berbagai faktor, dua diantaranya adalah permasalahan dalam kehidupan keluarga dan peristiwa menekan dalam hidup. Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa perilaku yang muncul pada fase perkembangan remaja awal dalam tahapan penerimaan diri, disebabkan oleh rendahnya harga diri remaja akibat kondisi keluarga dan tekanan-tekanan yang dirasakan.

  • c.    Fase perkembangan remaja akhir

Tahap penerimaan diri yang muncul pada fase perkembangan remaja akhir yang dilalui oleh responden masih sama dengan tahap yang dilalui pada fase perkembangan remaja awal, namun perbedaan terletak pada wujud penerimaan diri yaitu lebih dominan dalam bentuk pikiran. Temuan ini dapat dikaitkan dengan teori perkembangan moral, dalam Santrock (2007) dijelaskan bahwa selain perilaku dan perasaan, perkembangan moral juga melibatkan pemikiran. Santrock (2007) menggunakan istilah “pemikiran moral” untuk menjelaskan bagaimana remaja memikirkan standar untuk menyatakan benar dan salah.

Melanjutkan gagasan Santrock (2007) mengenai “pemikiran moral”, Piaget (dalam Santrock, 2007) menyimpulkan remaja usia 10 tahun keatas hingga usia 20 tahun berpikir dengan cara yang berbeda dengan anak-anak, jika anak-anak menerapkan moralitas heteronom, maka remaja menerapkan moralitas otonom dalam berpikir. Pada tahap ini remaja menyadari bahwa dalam memutuskan suatu tindakan seseorang harus mempertimbangkan intensi aktor dan konsekuensinya. Kesesuaian teori dengan temuan dalam penelitian ini dapat dilihat pada hasil penelitian bahwa pikiran yang muncul pada denial, anger, dan depression merupakan respon dari stesor-stresor eksternal, respon tersebut seringkali diwujudkan dalam rangka membentuk pertahanan diri dari konsekuensi-konsekuensi yang mungkin muncul.

Lebih lanjut pada tahap acceptance responden mampu melakukan coping dengan cara refleksi diri, hal tersebut juga sejalan dengan pendapat Kohlberg (dalam Santrock, 2007) mengenai konsep penting dalam perkembangan moral, yaitu internalisasi. Internalisasi merupakan kemampuan remaja yang meliputi perubahan perkembangan dari perilaku yang awalnya dikontrol oleh faktor eksternal menjadi perilaku yang dikontrol oleh faktor

intenal, dalam tahap acceptance pada remaja akhir konsep internalisasi ini terwujud dalam bentuk refleksi diri.

Faktor budaya, gaya kelekatan, dan strategi coping

Lazarus dan Folkman (dalam Lestari, 2014) menjelaskan secara umum coping mempunyai dua macam fungsi, diantaranya; problem focused coping yaitu cara individu mengatasi masalah dengan memperlajari cara-cara atau keterampilan-keterampilan yang baru untuk mengurangi stresor atau mengubah situasi, dan emotion focused coping yaitu strategi yang digunakan untuk mengatur respon emosional terhadap stress biasanya diterapkan bila individu tidak mampu mengubah kondisi yang penuh tekanan, individu akan cenderung untuk mengatur emosinya. Responden dalam penelitian ini cenderung menggunakan strategi emotion focused coping dalam menghadapi kondisi penuh tekanan pada setiap tahapan penerimaan diri yang dihadapi. Adapun strategi emotion focused coping yang diterapkan adalah escapism (pelarian diri dari masalah), minimization (meringankan beban masalah), dan seeking meaning (mencari arti).

Tipe coping self blame tidak digunakan oleh responden dalam penelitian ini, yang mana hal tersebut dapat dikaji dengan teori gaya kelekatan individu dengan orangtua. Pada kondisi broken home, gaya kelekatan yang terbentuk antara remaja dengan orangtua cenderung insecure attachment karena kehadiran orangtua yang tidak konsisten dan pola komunikasi tidak sehat dalam keluarga. Helmi (2004) menjelaskan bahwa individu dengan insecure attachment cenderung memandang pengalaman negatif atau pengalaman kegagalan disebabkan oleh faktor eksternal. Pernyataan tersebut mendukung hasil dari penelitian ini, yaitu tidak terdapat coping self blame pada tipe emotion focused yang diterapkan oleh responden penelitian. Responden menganggap kondisi broken home terjadi karena kesalahan faktor eksternal yaitu orangtua dan keadaan.

Responden lebih memilih menghindari masalah perceraian (escapism) dan menghabiskan waktu bersama teman sebaya (minimization) daripada mengungkapkan secara langsung kekecewaannya pada orangtua dan keadaan. Semua responden beranggapan bahwa seorang anak tidak sepantasnya menunjukkan kemarahan pada orangtua, selain itu apa pun kesalahan yang diperbuat orangtua harus dimaafkan oleh anak. Responden pada akhirnya dapat mengambil hikmah dari peristiwa yang dialami, dan mampu mencapai tahap acceptance melalui cara refleksi diri (seeking meaning). Sikap yang terbentuk pada remaja broken home di Bali dalam menunjukkan emosi kemarahan dan kekecewaan telah membantah temuan dalam penelitian yang dilakukan oleh Barnow, Lucht, dan Freyberger (2001) yang menyebutkan

bahwa perceraian orangtua dan pengalaman penolakan yang didapatkan dalam keluarga pada masa anak-anak akan membentuk sikap remaja yang lebih agresif dalam menunjukkan emosi-emosi negatif.

Pertentangan temuan tersebut disebabkan oleh keyakinan yang timbul dalam diri responden yang merupakan cerminan dari cultural display rules yang berkembang dalam lingkungan sosialnya. Cultural display rules merupakan sistem sosial yang mengatur serta membatasi kepada siapa, kapan, dan dimana seseorang bisa mengungkapkan dan merahasiakan emosi-emosi yang sedang dirasakan, serta hubungannya dengan cara pengungkapan emosi tersebut baik verbal maupun non-verbal (Suciati, 2014). Seluruh responden penelitian merupakan remaja asli Bali yang dalam pergaulan sosialnya tentu banyak mengenal konsep-konsep kearifan lokal, salah satunya adalah konsep catur guru. Subagia & Wiratma (2006) menjabarkan konsep catur guru atau empat guru yang harus dihormati yang dikenal oleh masyarakat Bali, diantaranya guru rupaka (orangtua), guru pengajian (guru di sekolah), guru wisesa (pemerintah), dan guru swadiaya (Tuhan Yang Maha Esa). Lebih lanjut dijelaskan bahwa dalam konsep catur guru ini sejak lahir hingga dewasa, individu memiliki hutang yang dapat dibayar dengan cara berbakti kepada catur guru, melalui konsep ini lah para remaja Bali membentuk keyakinan bahwa orangtua merupakan salah satu dari catur guru yang harus selalu dihormati dalam kondisi apa pun.

Keterbatasan penelitian

Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dijabarkan, dapat dilihat beberapa keterbatasan yang terdapat dalam penelitian ini, diantaranya:

  • a.    Keterbatasan jumlah dan karakteristik responden penelitian yang disebabkan oleh sensitivitas isu penelitian.

  • b.    Ketersediaan waktu juga menjadi keterbatasan dalam penelitian ini. Terbatasnya waktu yang tersedia dan frekuensi pertemuan dengan responden yang dapat dikatakan kurang, menyebabkan penggalian data tidak dapat dilakukan dengan lebih mendalam.

  • c.    Terbatasnya sumber daya manusia, baik dari segi keterbatasan jumlah dan keterbatasan keahlian dalam melakukan pengumpulan data.

Kesimpulan

Penerimaan diri pada remaja broken home di Bali merupakan suatu proses yang dinamis. Terutama karena Bali merupakan daerah yang menganut sistem kekerabatan patrilineal yang kuat, terdapat perbedaan dinamika penerimaan diri antara remaja broken home dengan hak asuh patrilineal dan remaja broken home dengan hak asuh mandiri. Dinamika

tersebut dibedakan menjadi tiga jenis dan juga dipengaruhi oleh gaya kelekatan antara remaja dengan orangtua yang mengasuhnya.

Wujud tahapan penerimaan diri pada setiap fase perkembangan juga berbeda-beda. Pada fase perkembangan anak-anak tahapan penerimaan diri dominan diwujudkan dalam bentuk emosi, pada fase perkembangan remaja awal wujud tahapan penerimaan diri lebih dominan pada perilaku, sedangkan pada fase perkembangan remaja akhir tahapan penerimaan diri dominan diwujudkan dalam bentuk pemikiran, yang mana dalam prosesnya banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal yaitu faktor keluarga dan faktor sosial. Selain faktor-faktor eksternal, juga teridentifikasi strategi coping yang digunakan oleh remaja broken home di Bali adalah emotion focused coping tipe escapism (pelarian diri dari masalah), minimization (meringankan beban masalah), dan seeking meaning (mencari arti)

Saran

Adapun saran yang ditujukan kepada peneliti selanjutnya, diantaranya:

  • a.    Responden dalam penelitian ini berjumlah lima orang dan satu orang informan, oleh karena itu jika peneliti lain ingin mengembangkan penelitian ini maka diharapkan dapat menambah jumlah informan bagi setiap responden untuk memastikan kebenaran dan konsistensi data.

  • b.    Kajian budaya dalam penelitian ini dapat dikembangkan lagi mengingat Bali merupakan daerah yang kaya akan budaya, tidak terbatas pada sistem adat mengenai kekerabatan patrilineal.

  • c.    Teori yang digunakan untuk mengkaji penelitian ini juga dapat diperbanyak ataupun sebaliknya, lebih difokuskan pada beberapa teori tergantung sudut pandang dari peneliti selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Adnyani, N. K. S. (2016). Bentuk perkawinan matriarki pada masyarakat Hindu Bali ditinjau dari perspektif hukum adat dan kesetaraan gender. Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora Undiksha,                     vol                     5

(1).https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JISH/article/vi ew/8284. Diakses tanggal 10 Februari 2018.

Ardilla, F., Herdiana, I. (2013). Penerimaan diri pada narapidana wanita. Jurnal psikologi kepribadian dan sosial universitas airlangga, 2(1).http://www.journal.unair.ac.id/filerPDF/Fauziya%20A rdilla%20Ringkasan.pdf. Diakses tanggal 18 April 2017.

Aryani, N. D. (2015). Pengaruh hubungan orangtua anak dan penerimaan diri terhadap keputusasaan pada remaja dari keluarga broken home. 05 November 2014. Universitas Muhammadiyah                            Malang.

https://core.ac.uk/download/pdf/33340123.pdf.    Diakses

tanggal 18 April 2017.

Barnow, S., Lucht, M., Freyberger, H. J. (2001). Influence of punishment, emotional rejection, child abuse, and broken home on aggression in adolescence: an examination of aggressive adolescents in Germany. Psychiatry at KARGER,                Vol.34                (4).

https://www.karger.com/Article/Abstract/49302. Diakses tanggal 10 Januari 2018.

Baskoro, A. K. (2008). Hubungan antara persepsi terhadap perceraian orangtua dengan optimisme masa depan pada remaja korban perceraian. 19 Mei 2009. Universitas Muhammadiyah Surakarta. http://eprints.ums.ac.id/1340/. Diakses tanggal 10 Februari 2018.

Bernard, M. E. (2013). The strength of self-acceptance theory practice and research. New York: Springer.

Budiarti, S. I. P., Muhdin, F., Hidayati, T. N. (2012). Perbedaan penerimaan diri dengan kompetensi interpersonal antara remaja laki-laki dan perempuan di Panti asuhan yatim Muhammadiyah Gubug. Jurnal karya ilmiah mahasiswa universitas         Muhammadiyah         Semarang.

http://digilib.unimus.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read &id=jtptunimus-gdl-sriindahpu 6519&PHPSESSID=d49523cf8e89bfdfe383a6fc3adcd43f. Diakses tanggal 15 April 2017.

Burns, R. B. (1993). Konsep diri: Teori, pengukuran, perkembangan dan perilaku. (Satyanegara, S. penerjemah). Jakarta: Arcan.

Chaplin, J. P. (2011). Kamus lengkap psikologi 1st edition edition (Kartono, K. penerjemah). Jakarta: Rajawali pers.

Collin, N. L. (1996). Working models of attachment: Implications for expectations, emotion, and behavior. Journal Personality and Social Psychology of American Psychological Association, 810-832. http://psycnet.apa.org/buy/1996-06401-015. Diakses tanggal 18 Februari 2018.

Dagun, S. M. (1990). Psikologi keluarga (peranan ayah dalam keluarga). Jakarta: Rineka Cipta.

Darwin, M. (1999). Maskulinitas: Posisi laki-laki dalam masyarakat patriarkis. Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada.                  http://www.lakilakibaru.or.id/wp-

content/uploads/2015/02/S281_Muhadjir-Darwin_Maskulinitas-Posisi-Laki-laki-dalam-Masyarakat-Patriarkis.pdf. Diakses tanggal 17 Juni 2017.

Dewi, I. A. S. (2017). Studi pendahuluan : Dinamika penerimaan diri pada remaja broken home di Bali. Naskah tidak dipublikasikan, Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana Denpasar.

Dewi, P. S., Utami, M. S. (2008). Subjective well-being anak dari orangtua yang bercerai. Jurnal Psikologi Fakultas Psikologi Universitas    Gadjah    Mada,    vol.    35    (2).

https://journal.ugm.ac.id/JPSI/article/view/7952. Diakses tanggal 10 Februari 2018.

Evitasari, I. A. G. S., Widiasavitri, P. N., Herdiyanto, Y. K. (2015). Proses penerimaan diri remaja tunarungu berprestasi. Jurnal psikologi        Udayana,        2(2),        138-150.

https://ojs.unud.ac.id/index.php/psikologi/article/view/2514 8. Diakses tanggal 18 April 2017.

Feist, J., Feist, G. J. (2014). Theories of personality: Teori kepribadian 7th edition (Handriatno. penerjemah). Jakarta: Salemba Humanika.

Fitriani, O., Handayani, S., Asiah, N. (2017). Determinan penyalahgunaan narkoba pada remaja di SMAN 24 Jakarta. Jurnal Uhamka, Vol.2, No.1.

http://journal.uhamka.ac.id/index.php/arkesmas/article/view/516. Diakses tanggal 5 Mei 2017.

Hawari, D. (1997). Penyalahgunaan narkotika dan zat adiktif . Jakarta: Balai Penerbit FK UI.

Helmi, A. (2004). Gaya kelekatan, atribusi, respon emosi, dan perilaku marah. Buletin Psikologi Fakultas Psikologi Universitas      Gadjah     Mada,      vol.12      (2).

http://avin.staff.ugm.ac.id/data/karyailmiah/modelteoritis_a vin.pdf. Diakses tanggal 12 Desember 2017.

HIMPSI. (2010). Kode etik psikologi Indonesia. Pengurus Pusat Himpunan Psikologi Indonesia: Jakarta.

Hurlock, E. B. (2008). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta: Erlangga.

Ibrahim. (2015). Metodologi penelitian kualitatif: Panduan penelitian berserta contoh proposal kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Intan, N. (2016). Gaya cinta ditinjau dari kematangan emosi pada remaja broken home. 31 Maret 2016. Universitas Muhammadiyah Malang. http://eprints.umm.ac.id/23822/. Diakses tanggal 5 Mei 2017.

Kartono, K. (2014). Patologi sosial 2, kenakalan remaja. Jakarta: Rajawali Pers.

Kellehear, A. (2008). On death and dying: New introduction by Professor Allan Kellehear. Published in the Taylor and Francis                                           E-library.

https://books.google.co.id/books/about/On_Death_and_Dyi ng.html?id=ar2lqlxsHeQC&redir_esc=y. Diakses tanggal 17 Februari 2018.

Khairani, M., Fajri, A. (2011). Hubungan antara komunikasi ibu-anak dengan kesiapan menghadapi menstruasi pertama (menarche) pada siswi SMP Muhammadiyah Banda Aceh. Jurnal psikologi Undip, 10(2).

https://ejournal.undip.ac.id/index.php/psikologi/article/view/2885. Diakses tanggal 10 April 2017.

Koentjaraningrat. (1998). Pengantar antropologi II: Pokok-pokok etnografi. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Lestari, D. W. (2014). Penerimaan diri dan strategi coping pada remaja korban perceraian orangtua. Ejournal Psikologi FISIP Universitas Mulawarman. 2(1):    1-13.

http://ejournal.psikologi.fisip-unmul.ac.id/. Diakses tanggal 18 Desember 2017.

Matthews, D. W. (1993). Acceptance of self and others. North Carolina Coopertaive Extension Service:  Electronic

publication number HE2762.

McFarlane, A. H., Bellissimo, A. (1995). The role of family and peers in social self-efficacy: links to depression in adolescence. American Jornal of Psychology. http://psycnet.apa.org/buy/1996-01492-001.       Diakses

tanggal 10 Januari 2018.

Moleong, L. J. (2016). Metodologi penelitian kualitatif (edisi revisi). Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Monks, F. J., Knoers, A. M. P. (1999). Psikologi perkembangan: Pengantar dalam berbagai bagiannya (Haditono, S. R. penerjemah). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Olson, D. H., Defrain, J. (2003). Marriages and families: Intimacy, diversity, and strengths (4th edition ed.). New York: McGraw-Hill.

Padatu, H. (2015). Konsep diri dan self disclosure remaja broken home di Kota Makassar. Jurnal ilmiah Universitas Hasanuddin.

https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web& cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwjFkK_p7MPZAh WJu48KHQyKDsgQFggnMAA&url=http%3A%2F%2Fre pository.unhas.ac.id%2Fhandle%2F123456789%2F14798 &usg=AOvVaw34HtMqqt19SxZ3FiU5Cmoi.    Diakses

tanggal 18 April 2017.

Padmiari, I. A. E., Sugiani, P. P. S., Gumala, N. M. Y., Oktarina. (2015). Pemberdayaan sekaa teruni pada pendampingan ibu hamil dalam pemberian ASI eksklusif di Kabupaten Klungkung Provinsi Bali, tahun 2014. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan vol.18 (3), 321-328.

http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/hsr/article/view/4556/0 . Diakses tanggal 17 Juni 2017.

Papalia, D., Old, S., Feldman, R. D. (2008). Human development: Psikologi perkembangan. Jakarta: Kencana.

Purnamasari, K. Marheni, A. (2017). Hubungan antara pola asuh otoriter dengan perilaku menjalin persahabatan pada remaja di Denpasar. Jurnal psikologi Udayana, 4(1), 20-29.

https://ojs.unud.ac.id/index.php/psikologi/article/view/3000 1. Diakses tanggal 17 Juni 2017.

Putra, R. A. (2014). Hubungan antara penerimaan diri dengan penyesuaian diri pada remaja difabel. 10 Maret 2015. Universitas         Muhammadiyah         Surakarta.

http://eprints.ums.ac.id/32243/.Diakses tanggal 18 April 2017.

Putri, I. A. K., Tobing, D. H. (2016). Gambaran penerimaan diri pada perempuan Bali pengidap HIV-AIDS. Jurnal psikologi Udayana,               vol.3(3),               395-406.

https://ojs.unud.ac.id/index.php/psikologi/article/view/2805 4. Diakses tanggal 17 Juni 2017.

Putri, A. K. (2012). Hubungan antara penerimaan diri dengan depresi pada wanita perimenopause. Jurnal Psikologi Kepribadian dan        Sosial        Universitas        Airlangga.

http://journal.unair.ac.id/filerPDF/110810218_RINGKASA N.pdf. Diakses tanggal 18 April 2017.

Putri, S. W. (2012). Perilaku memaafkan di kalangan remaja broken home. EMPHATY Jurnal Fakultas Psikologi, vol.1 (1).

http://jogjapress.com/index.php/EMPATHY/article/view/1599. Diakses tanggal 5 Mei 2017.

Republik Indonesia. (1974). Undang-undang perkawinan. Sekretariat Negara: Jakarta.

Republik Indonesia. (2014). Undang-undang nomor 35 pasal 14 tentang perlindungan anak. Sekretariat Negara: Jakarta.

Ridha, M. (2012). Hubungan antara body image dengan penerimaan diri pada mahasiswa Aceh di Yogyakarta. EMPHATY Jurnal Fakultas Psikologi, vol. 1(1),   111-121.

http://jogjapress.com/index.php/EMPATHY/article/view/14 19. Diakses tanggal 5 Mei 2017.

Rohana, U. N. (2013). Perbedaan forgiveness ditinjau dari tipe kepribadian remaja yang orangtuanya bercerai. 19 November 2013. Fakultas Psikologi Universitas Medan Area.

http://balitbang.pemkomedan.go.id/tinymcpuk/gambar/file/ Rohana.pdf. Diakses tanggal 5 Mei 2017.

Santrock, J. W. (2007). Perkembangan anak 11th edition ed., vol.II. (Hardani, E. M. W. penerjemah). Jakarta: Erlangga.

Sari, K. D. L., Budisetyani, I. G. A. P. W. (2016). Konsep diri pada anak dengan orangtua yang bercerai. Jurnal psikologi Udayana.

https://ojs.unud.ac.id/index.php/psikologi/article/view/25241.

Diakses tanggal 18 April 2017.

Saripuddin, M. (2009). Hubungan kenakalan remaja dengan fungsi sosial keluarga. Jakarta: EGC.

Satori, D., Komariah, A. (2017). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Setyawan. (2007). Membangun pemaafan pada anak korban perceraian. Konferensi nasional I IPK-HIMPSI: Stress Manajemen dalam Berbagai Setting Kehidupan. http://eprints.undip.ac.id/19069/1/imam_s_MEMBANGUN _PEMAAFAN_PADA...pdf. Diakses pada 17 Juni 2017.

Subagia, I. W., Wiratma, I. G. L. (2006). Potensi-potensi kearifan lokal masyarakat Bali dalam bidang pendidikan. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, 552568. https://pasca.undiksha.ac.id/. Diakses tanggal 10 Januari 2018.

Sugiyono. (2016). Metode penelitian kombinasi (mix methods). Bandung: Alfabeta.

Sukerti, N. N., Ariani., Krisnawati. I. G. A. A. A. (2015). Penegakan hukum terhadap hak asuh anak akibat perceraian dalam praktik peradilan di Bali. Jurnal magister hukum Udayana, 4(1),                                               90-100.

https://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu/article/view/13043. Diakses tanggal 10 Juni 2017.

Syaodih, E. (1995). Psikologi perkembangan. Bandung: Mandar Maju.

Quensel, S., Paul M., Aoife B., Auke, W. M. Bloom, R. Jonhson, B. Kolte R.P. (2002). Broken home or drug using peers: Journal of Drug Issues 0022—0426/02/02. 467- 490.

England: University of Bremen.

Willis, S. S. (2009). Family counseling, Bandung; Alfabeta.

220