Jurnal Psikologi Udayana

Edisi Khusus Psikologi Positif, 187-200

Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana

ISSN: 2354 5607

PERAN DUKUNGAN SOSIAL DAN PENERIMAAN DIRI PADA STATUS DIABETES MELITUS TIPE II TERHADAP KEPATUHAN MENJALANI DIET PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE II BERUSIA DEWASA MADYA DI RUMAH SAKIT UMUM


DAERAH WANGAYA KOTA DENPASAR Desak Ulan Sukmaning Ayu dan Made Diah Lestari Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana [email protected]


Abstrak


Diabetes Melitus tipe II disebut diabetes yangtidak bergantung dengan insulin, disebabkan penggunaan insulin yang kurang efektif oleh tubuh yang dapat menimbulkan komplikasi jika tidak ditangani dengan baik. Kondisi ini yang memicu timbulnya stressor psikologis dan psikososial terhadap pemeliharaan status kesehatan. Terdapat lima komponen dalam penatalaksanaan DM tipe II adalah diet, latihan, pemantauan, terapi dan pendidikan.Kepatuhan menjalani diet berkaitan dengan faktor internal pasien yaitu penerimaan diri pada status DM tipe II dan faktor eksternal yaitu dukungan sosial dari lingkungan sekitar pasien. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran dukungan sosial dan penerimaan diri pada status DM tipe II terhadap kepatuhan menjalani diet pada pasien DM tipe II berusia dewasa madya di RSUD Wangaya kota Denpasar.Subjek dalam penelitian ini adalah 82 orang pasien DM tipe IIberusia dewasa madya di RSUD Wangaya kota Denpasar. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teknik simple random sampling. Metode analisis yang digunakan adalah teknik analisis regresi berganda. Hasil analisis regresi berganda menunjukkan R=0,286 dan adjusted R square sebesar 0,268. Hal ini menunjukkan bahwa variabel dukungan sosial dan penerimaan diri pada status DM tipe II memberikan peran terhadap kepatuhan menjalani diet sebesar 26,8%. Nilai signifikansi sebesar 0,000 (p<0,05) sehingga dapat disimpulkan dukungan sosial dan penerimaan diri pada status DM tipe II secara bersama-sama berperan terhadap kepatuhan menjalani diet.

Kata kunci: kepatuhan menjalani diet, dukungan sosial, penerimaan diri pada status diabetes melitus tipe II, diabetes melitus tipe II


Abstract


Type II DM is called non-insulin dependent, due to the ineffective use of insulin by the body caused many complications if it’s not treated properly. This condition has been changed several of physical or psychological disturbances for diabetic patiens healt status such as stress. There are five components in the management of type II DM, they are diet, exercise, monitoring, therapy and education.Adherence to the diet related to internal factor of patients which is self-acceptance on the patient with DM type II status and external factor which is social support from the environment around the patient. This study aims to determine the role of social support and self-acceptance on the status of DM type II on adherence to diet at patientswith DM type IIof middle-aged in regional public hospital of Wangaya in Denpasar City. Subjects in this study were 82 patients with DM type II of middle-aged in regional public hospital of Wangaya in Denpasar City. The sampling technique used in this research is simple random sampling technique.The method of analysis used in this research is multiple regression analysis technique. The results of multiple regression analysis showed R=0,286 and adjusted R square value of 0,268. This showed variable social support and self-acceptance on the status of DM type II give role to adherence to diet of 26,8%. A significant value of 0,000 (p<0,05) which means social support and self-acceptance on the patient with DM type II contribute in adherence to diet.


Keywords: adherence to diet, social support,self-acceptance on type II diabetes mellitus status, diabetes mellitus type II


LATAR BELAKANG

Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit gangguan metabolik menahun akibat pankreastidak memproduksi cukup insulin atau tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang diproduksi secara efektif. Insulin adalah hormon yang mengatur keseimbangan kadar glukosa darah. Akibatnya, terjadi peningkatan konsentrasi glukosa di dalam darah (hiperglikemia) (Kemenkes RI, 2013). Klasifikasi yang diperkenalkan oleh American Diabetes Association (ADA)dan telah disahkan oleh World Health Organization (WHO) terdapat empat klasifikasi klinis gangguan toleransi glukosa yaitu DM tipe I dan II, Diabetes Gestasional (diabetes kehamilan), dan tipe khusus lain (Price & Wilson 2003).

Kategori DM tipe II disebut non insulin dependent atau adult onset diabetes, disebabkan penggunaan insulin yang kurang efektif oleh tubuh. Penyakit DM tipe II merupakan 90% dari seluruh diabetes.Insiden DM tipe II sebesar 650.000 kasus baru setiap tahunnya. Obesitas sering dikaitkan dengan penyakit ini(Price & Wilson 2003). Kategori DM tipe II ditandai dengan kelainan sekresi insulin, serta kerja insulin. Pada pasien DM tipe II terdapat kelainan dalam pengikatan insulin dengan reseptor. Kelainan ini dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempat reseptor pada membran sel yang selnya responsif terhadap insulin atau akibat ketidaknormalan reseptor insulin intrinsik. Akibatnya, terjadi penggabungan abnormal antara kompleks reseptor insulin dengan sistem transport glukosa. Ketidaknormalan postreseptor dapat mengganggu kerja insulin (Smeltzer & Bare, 2002).

Penyakit DM tipe II sering juga disebut diabetes life style karena penyebabnya selain faktor keturunan, faktor lingkungan meliputi usia, obesitas, resistensi insulin, makanan, aktifitas fisik, dan gaya hidup penderita yang tidak sehat juga berperan dalam terjadinya DM tipe II.Perkembangan DM tipe II yang lambat, seringkali membuat gejala dan tanda-tandanya tidak jelas (Betteng, Pangemanan, & Mayulu, 2014).WHO tahun 2010 menyatakan bahwa Indonesia menempati urutan ke-4 di dunia setelah China, India, danAmerika Serikat. Tahun 2000 jumlah DM di Indonesia adalah 8,4 juta orang dan diperkirakan bertambah hingga 21,3 juta orang pada tahun 2030. Jumlah kasus DM diperkirakan sekitar 12 juta di Indonesia (Kemenkes RI, 2013).Data Dinas Kesehatan Provinsi Bali terdapat 39.885 orang yang mengalami DM dan terjadi peningkatan kasus DM tipe II sebesar 32,18% dari tahun 2009 dengan jumlah DM tipe II sebanyak 923 menjadi 1220 orang pada tahun 2010. Pasien DM tipe II rawat jalan pada tahun 2009 tercatat 610 orang dan pada tahun 2010 mencapai 819 orang (Dinkes, 2013). Menurut Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 (dalam Mertha, Wedri,& Ngurah, 2015), menunjukkan bahwa angka kejadian DM yang terdiagnosis dokter di Provinsi Bali sebesar 1,3%. Riskesdas Provinsi Bali mencatat bahwa dari 9

kabupaten yang terdapat di Bali prevalensi DM tertinggi terdapat di Denpasar yaitu sekitar 2,0%.

Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya Denpasar merupakan rumah sakit milik pemerintah Kota Denpasar yang tergolong Kelas B Pendidikan. Sebagai rumah sakit milik pemerintah daerah, RSUD Wangaya kota Denpasar dikelola dalam bentuk Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) dan beroperasi dengan mengutamakan prinsip efisiensi dan produktivitas. Misi dari RSUD Wangaya kota Denpasar adalah memberi pelayanan bermutu dan terjangkau oleh tenaga profesional dan mengutamakan kenyamanan dan keselamatan pasien. RSUD Wangaya kota Denpasar adalah salah satu rumah sakit daerah yang ada di kota Denpasar. Rumah sakit ini merupakan rumah sakit pertama di Bali selatan yang berdiri pada tahun 1921. Pasien yang melakukan pengobatan merupakan pasien rujukan dari puskesmas yang ada di kota Denpasar dan melayani pasien dari semua kalangan (RSUD Wangaya, 2017). Adanya fasilitas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan peluang bagi RSUD Wangaya kota Denpasar untuk memperoleh pasien lebih banyak dan melakukan peningkatan pelayanan bagi masyarakat.

Studi pendahuluan yang dilakukan di RSUD Wangaya kota Denpasar, kasus tertinggi pada unit rawat jalan adalah penyakit DM dengan jumlah 7.134 kasus atau 34.48%. Jumlah pasien DM tipe II yang melakukan rawat jalan pada tahun 2015 sampai 2017 bulan Januari hingga Maret adalah 375 orang. Rata-rata jumlah pasien rawat jalan di RSUD Wangaya kota Denpasar berusia dewasa madya. Pada tahun 2015 jumlah total pasien DM tipe II adalah 156 orang, 86 orang diantaranya berusia dewasa madya. Tahun 2016, jumlah total pasien rawat jalan adalah 177 orang, 97 diantaranya berusia dewasa madya. Pada tahun 2017 bulan Januari hingga Maret jumlah total pasien rawat jalan adalah 42 orang, 26 orang diantaranya berusia dewasa madya. Maka dari itu, dalam penelitian ini memfokuskan pada pasien DM tipe II yang berusia dewasa madya (Ayu, 2017).

Penyakit DM tipe II lebih sering ditemukan pada individu yang berusia dewasa yaitu lebih dari 30 tahun. Akibat dari intoleransi glukosa yang berlangsung lambat (selama bertahun-tahun) dan progresif, maka DM tipe II dapat berjalan tanpa terdeteksi. Jika gejalanya dialami pasien, gejala tersebut sering bersifat ringan dan dapat mencakup kelelahan, iritabilitas, poliuria, polidipsia, luka pada kulit yang tidak sembuh-sembuh, infeksi pada vagina atau pandangan mata yang kabur (Smeltzer & Bare, 2002). Umumnya usia yang rentan mengalami DM tipe II mulai dari usia 45 sampai 64 tahun. Hal ini menjadi beban pemerintah dan masyarakat, karena rentang usia tersebut tergolong usia produktif (Redaksi, 2008). Masa dewasa madya atau yang disebut usia setengah baya dalam terminologi kronologis yaitu berkisar antara 40 sampai 60 tahun. Perubahan fisik pada dewasa madya antara

lain perubahan dalam penampilan, perubahan dalam kemampuan indera, perubahan pada keberfungsian fisiologis, dan perubahan pada kesehatan (Hurlock, 1980).

Terdapat lima komponen dalam penatalaksanaan DM adalah diet, latihan, pemantauan, terapi dan pendidikan. Penanganan primer DM tipe II adalah dengan menurunkan berat badan atau diet, karena resistensi insulin berkaitan dengan obesitas. Latihan merupakan unsur yang penting pula untuk meningkatkan efektivitas insulin. Obat hipoglikemia oral dapat ditambah jika diet dan latihan tidak berhasil mengendalikan kadar glukosa darah. Penggunaan obat oral dengan dosis maksimal tidak berhasil menurunkan kadar glukosa hingga tingkat yang memuaskan, maka insulin dapat digunakan. Sebagian pasien memerlukan insulin untuk sementara waktu selama periode stres fisiologik yang akut, seperti selama sakit atau pembedahan (Smeltzer & Bare, 2002). Diet merupakan dasar dari penatalaksanaan DM yang bertujuan untuk memberikan semua unsur makanan esensial, mencapai dan mempertahankan berat badan, memenuhi kebutuhan energi dan mencegah fluktuasi kadar glukosa darah (Smeltzer & Bare,2002). Arsana (2012) menyebutkan bahwa kontrol glikemik pasien sangat dipengaruhi oleh kepatuhan pasien terhadap anjuran diet meliputi jenis, jumlah dan jadwal makanan yang dikonsumsi.

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada 4 orang pasien yang terdaftar di RSUD Wangaya kota Denpasar, didapatkan gambaran bahwa pasien tidak patuh terhadap penatalaksanaan diet DM tipe II. Ketidakpatuhan merupakan salah satu hambatan untuk tercapainya tujuan pengobatan.Menurut Heynes(dalam Delamater,2006) bahwa ketidakpatuhan seringkali muncul saat kondisi kesehatan kronis, ketika penyebab timbulnya gejala bervariasi, gejala tidak tampak, program kompleks dan rumit, serta ketika pengobatan membutuhkan perubahan pola hidup.Kepatuhan jangka panjang terhadap perencanaan makan (diet) merupakan salah satu aspek yang paling menimbulkan tantangan dalam penatalaksanaan diet (Smeltzer & Bare, 2002). Kepatuhan adalah tingkat ketepatan perilaku seorang individu dengan nasehat medis atau kesehatan (Siregar, 2006). Kepatuhan pasien dalam menjalani diet sangat berperan penting untuk menstabilkan kadar glukosa. Menurut Almatsier (2006), pasien DM tipe II yang patuh menjalani diet secara rutin dan kadar glukosa darahnya terkendali, dapat mengurangi risiko komplikasi jangka pedek maupun jangka panjang.

Menurut Lopulalan (2008), kepatuhan dapat sangat sulit dan membutuhkan dukungan, pengetahuan, dan motivasi agar menjadi biasa dengan perubahan yang dilakukan dengan cara mengatur untuk meluangkan waktu dan kesempatan yang dibutuhkan untuk menyesuaikan diri. Diet DM adalah diet yang diberikan kepada orang dengan DM, yang memiliki tujuan membantu memperbaiki kebiasaan makan untuk mendapatkan kontrol metabolik yang lebih baik dengan cara

menyeimbangkan asupan makanan dengan obat penurun glukosa oral ataupun insulin dan aktivitas fisik untuk mencapai kadar glukosa darah normal, mencapai dan mempertahankan kadar lipida dalam normal (Smeltzer & Bare, 2002).

Individu yang mengalami sakit berkepanjangan, keadaannya akan berubah dari waktu ke waktu secara fisik, psikologis, ataupun sosial dikarenakan ketika tubuh terserang penyakit, fungsi dari setiap anggota tubuh akan berkurang atau mengalami disfungsi (Masyithah, 2012). Penyakit DM tipe II sangat berisiko terjadi ulkus atau gangren serta berisiko dilakukan amputasi. Kehilangan dari bagian tubuh akan membuat individu merasa terancam dan mengalami ketidakmampuan fisiologis atau menurunnya kemampuan melakukan aktivitas sehari-hari (Smetzer & Bare, 2002). Perubahan yang lain juga tampak dari aspek lingkungan seperti peningkatan kebutuhan keuangan dan penurunan dalam kegiatan rekreasi.

Selain berdampak pada fisik, penyakit DM tipe II dapat berdampak secara psikologis yaitu minumbulkan stres, mudah cemas, depresi, putus asa dan lebih sering mengeluh tentang permasalahan kesehatannya (Borrot &Bush, 2008). Dampak psikologis yang dapat ditimbulkan apabila tidak melakukan kepatuhan diet adalah perasaan cemas atau khawatir, depresi, dan mudah tersinggung. Stres berkepanjangan akan memicu sekresi hormon kortisol dari kelenjar adrenal yang akan meningkatkan kadar glukosa dalam darah, menekan kerja imun, meningkatkan metabolisme lemak, protein dan karbohidrat (Kalat, 2010). Pasien DM tipe II yang mengalami stres akan menyebabkan krisis hormon kortisol yang akan memicu tidak adanya energi yang dihasilkan dan tubuh tidak dapat mengendalikan kadar glukosa dalam darah. Perubahan sosial pun akan dirasakan oleh pasien DM tipe II seperti mengalami stigmatisasi dan isolasi dalam kelompok sosialnya (Boyd, 2011). Maka dari itu, pasien DM tipe II secara psikologis diharapkan mampu melakukan penerimaan dan penyesuaian diri terhadap penyakit yang dialaminya (Price & Wilson 2003).

Penerimaan diri merupakan salah satu aspek penting yang harus ada di dalam diri pasien DM tipe II. Matyja (2014) menyatakan bahwa individu diharapkan mampu menerima keadaan yang terjadi pada dirinya untuk memungkinkan individu dapat membedakan dirinya dengan lingkungannya. Germer (2009) mendefinisikan penerimaan diri sebagai kemampuan individu untuk dapat memiliki suatu pandangan positif mengenai dirinya yang sebenar-benarnya, dan hal ini tidak dapat muncul dengan sendirinya, melainkan harus dikembangkan oleh individu. Menurut Hurlock (1974) menyatakan bahwa penerimaan diri dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya mampu menerima diri, mengembangkan potensi yang dimiliki dengan optimal, menilai dirinya secara realistis, menyesuaikan diri dengan pandangan orang lain, dan

melihat diri sendiri dari berbagai sudut pandang. Individu yang memiliki penerimaan diri yang positif mampu melihat dirinya dengan realistis serta menerimaa keadaannya yang berstatus DM tipe II.

Penerimaan pasien DM tipe II terhadap status yang dialaminya membantu pasien DM tipe II lebih positif dalam memandang dirinya. Menurut Jersild (1978) individu dengan taraf penerimaan diri yang rendah cenderung sulit untuk memahami karakteristik dirinya sendiri, memiliki pandangan yang negatif terhadap kemampuan atau potensi dirinya, menolak keadaan yang dialaminya serta individu tersebut kurang memiliki motivasi untuk mencapai suatu hal positif dalam hidupnya termasuk dalam melakukan kepatuhan menjalani diet sehubungan dengan pemulihan kadar glukosa darah dalam tubuh. Individu yang memiliki penerimaan diri negatif mengeluarkan respon menyangkal, depresi, mudah marah, menarik diri dari lingkungan dan mudah putus asa (Johnson, 1998).

Studi pendahuluan yang dilakukan pada 4 orang pasien DM tipe II yang berusia dewasa madya didapatkan hasil bahwa 2 subjek mengalami ketidakpatuhan menjalani diet karena kurangnya kesadaran diri dari pasien DM tipe II serta kurangnya perhatian. Sedangkan 2 pasien lainnya merasa bosan dan jenuh sehingga menurunnya motivasi untuk tetap menjaga kesehatan dan tetap menjalani diet. Hal ini dirasakan subjek karena tidak mendapatkan dukungan sosial dari lingkungan sekitarnya (Ayu, 2017). Selain faktor internal yang diperlukan untuk meningkatkan kepatuhan, faktor eksternal seperti dukungan sosial yang diberikan oleh tenaga kesehatan seperti memberikan informasi yang jelas kepada pasien tentang penyakitnya, dukungan sosialyang diberikan oleh keluarga atau teman-teman dengan bentuk perhatian dan memberikan nasehat yang bermanfaat bagi kesehatannya (Smet, 1994).

Menurut Stein (dalam Niven, 2002) salah satu faktor eksternal yang memengaruhi kepatuhan adalah dukungan sosial. Riset yang dilakukan Taylor (dalam Smet, 1994) menunjukkan bahwa jika terdapat kerjasama anggota keluarga dan petugas kesehatan, kepatuhan akan menjadi lebih tinggi. Membangun dukungan sosial dari keluarga dan teman-teman sangat penting, kelompok pendukung dapat dibentuk untuk membantu memahami kepatuhan terhadap diet DM tipe II. Dukungan sosial memberikan kontribusi besar dalam membantu meningkatkan rasa optimisme seseorang, oleh karena itu dukungan sosial dari orang-orang terdekat dapat mengurangi beban psikologis pasien (Keyes, 2002). Aflakseir dan Malekpour (2014) menjelaskan bahwa pasien dengan DM umumnya mengalami kecemasan lebih besar jika dibandingkan dengan pasien dengan penyakit lainnya. Maka dari itu, dukungan sosial perlu diberikan untuk mengurangi kecemasan tersebut. Menurut Taylor (2009) dukungan sosial berperan dalam membantu individu untuk menetapkan diri

atau meminimalkan komplikasi yang terjadi pada suatu penyakit. Kaniasty (2005) menjelaskan bahwa dukungan sosial dibagi menjadi beberapa aspek, diantaranya penerimaan dukungan, menanamkan jiwa sosial yang berkualitas dengan orang lain, serta memiliki keyakinan dan merasakan dukungan yang diberikan pada dirinya.

Berdasarkan pemaparan diatas, tergambar bahwa dukungan sosial dan penerimaan diri memiliki peranan dalam membangun kepatuhan menjalani diet pada usia dewasa madya pasien DM tipe II. Oleh karena itu, penelitian ini ingin melihat Peran Dukungan Sosial dan Penerimaan Diri Terhadap Kepatuhan Menjalani Diet pada Usia Dewasa Madya Pasien Diabetes Melitus Tipe II di RSUD Wangaya Kota Denpasar.

METODE PENELITIAN

Variabel dan Definisi Operasional

Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah kepatuhan menjalani diet pada pasien DM tipe II berusia dewasa madya, sedangkan variabel bebas dalam penelitian ini adalah dukungan sosial dan penerimaan diri pada status DM tipe II. Definisi operasional dari masing-masing variabel penelitian adalah sebagai berikut:

  • 1.    Kepatuhan Menjalani Diet

Kepatuhan merupakan suatu perubahan perilaku dengan menaati peraturan sehubungan dengan pemulihan kesehatan. Taraf kepatuhan diukur menggunakan skala Kepatuhan Menjalani Diet. Semakin tinggi skor total yang diperoleh, maka semakin tinggi taraf kepatuhan yang dimiliki subjek.

  • 2.    Dukungan Sosial

Dukungan sosial adalah transaksi interpersonal yang ditujukan untuk orang lain dalam bentuk perhatian, penghargaan, bantuan berupa informasi ataupun materi yang dapat menjadikan individu yang menerima bantuan merasa disayangi, diperhatikan dan bernilai. Taraf dukungan sosial diukur menggunakan skala Dukungan Sosial. Semakin tinggi skor yang diperoleh, maka semakin tinggi taraf dukungan sosial yang diterima oleh subjek.

  • 3.    Penerimaan Diri pada Status DM Tipe II

Penerimaan diri pada status DM tipe II adalah sikap positif terhadap dirinya sendiri yang mencerminkan perasaan menerima kekurangan dan kelebihan yang dimilikinya serta mampu dan bersedia untuk hidup dengan segala karakteristik yang ada dalam dirinya, tanpa merasakan ketidaknyamanan terhadap dirinya sendiri. Taraf penerimaan diri diukur menggunakan skala Penerimaan Diri pada Status DM Tipe II. Semakin tinggi skor total yang diperoleh, maka semakin tinggi taraf penerimaan diri pada status DM tipe II yang dimiliki subjek.

Responden

Populasi dalam penelitian ini yaitu pasien DM tipe II berusia dewasa madya di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Wangaya kota Denpasar.Teknik pengambilan sampling simple random sampling, dikatakan simple (sederhana) karena pengambilan anggota sampel dari populasi dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam populasi (Sugiyono, 2015). Dalam menentukan sampel, menggunakan teknik secara acak yang dilakukan menggunakan metode undian dengan menggunakan nomor dari daftar nama anggota dalam populasi.

Sampel dalam penelitian ini adalah individu berusia dewasa madya yang merupakan pasien DM tipe II di RSUD Wangaya kota Denpasar. Pasien DM tipe II yang dijadikan sampel penelitian menggunakan taraf kesalahan 5%. Penentuan sampel dihitung dengan menggunakan rumus. Teknik pengambilan sampel dengan menggunakan rumus, apabila populasi sampel sudah diketahui (Nursalam, 2015). Perhitungan pengambilan sampel sebagai berikut:

N

Tl = ----------7

1 + N(d)2

n = besar sampel

N = besar populasi d = taraf kesalahan

Jumlah populasi yang digunakan adalah 103 orang, dengan menggunakan perhitungan di atas yaitu:

103

n —------------

1 + 103(0.0025)

_  103
= 1.2575

= 81,90 atau 82 orang

Jadi, anggota populasi yang digunakan sebagai sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 82 orang yang berusia dewasa madya pasien DM tipe II di RSUD Wangaya kota Denpasar.

Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di rumah-rumah pasien DM tipe II yang terdaftar sebagai pasien di Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya Kota Denpasar.

Alat Ukur

Alat ukur penelitian ini menggunakan skala kepatuhan menjlani diet yang disusun berdasarkan aspek-aspek kepatuhan menjalani diet menurut Delamater (2006), terdiri dari 15 aitem pernyataan yang tersusun atas aspek pilihan dan keterkaitan dalam penetapan tujuan, perencanaan perawatan, dan implementasi peraturan diet.Skala dukungan sosial disusun berdasarkan aspek-aspek dukungan sosial menurut Sarafino dan Smith (2011), terdiri dari 24 aitem pernyataan yang tersusun atas aspek dukungan emosional, dukungan instrumental, dukungan informatif, dan dukungan

persahabatan. Skala penerimaan diri pada status DM tipe II disusun berdasarkan aspek-aspek penerimaan diri menurut Supratiknya (1995) yang terdiri dari 24 aitem pernyataan, tersusun atas aspek pembukaan diri, kesehatan psikologis, dan penerimaan terhadap orang lain. Skala ini terdiri dari pernyataan positif (favorable) dan pernyataan negatif (unfavorable)dengan empat pilihan jawaban yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS).

Pada Penelitian ini dilakukan serangkaian uji validitas dan reliabilitas. Uji validitas dilakukan dengan teknik expert judgementdan dengan melihat nilai koefisien kolerasi aitem-total sama dengan atau lebih besar daripada 0,30 biasanya dianggap sudah memadai. Apabila jumlah aitem yang lolos masih tidak mencukupi, dapat dipertimbangkan untuk menurunkan sedikit batas kriteria menjadi 0,25 (Azwar, 2015). Sementara itu, pengujian reliabilitas memberikan nilai Croncbach Alpha lebih dari 0,60 (Ghozali, 2005).

Uji coba alat ukur penelitian dilakukan untuk mengetahui validitas dan reliabilitas alat ukur yang akan digunakan untuk mengambil data penelitian yang sebenarnya. Tahap uji coba mulai dilaksanakan pada tanggal 5 Agustus 2017 sampai tanggal 15 Agustus 2017 dengan menyebarkan kuesioner kepada 60 orang pasien DM tipe II yang berusia 40 sampai 60.

Hasil uji validitas yang dilakukan pada skala dukungan sosial menunjukkan nilai koefisien kolerasi aitem total berkisar antara 0,254 sampai 0,748. Hasil uji reliabilitas pada skala dukungan sosial menunjukkan koefisien Alpha (α) sebesar 0,892, nilai ini memiliki arti bahwa skala dukungan sosial mampu mencerminkan 89,2%variasi skor murni subjek. Hasil uji validitas yang dilakukan pada skala penerimaan diri pada status DM tipe II menunjukkan nilai koefisien kolerasi aitem total berkisar antara 0,301 sampai 0,682. Hasil uji reliabilitas pada skala penerimaan diri pada status DM tipe II menunjukkan koefisien Alpha (α) sebesar 0,895, nilai ini memiliki arti bahwa skala penerimaan diri pada status DM tipe II mampu mencerminkan 89,5%variasi skor murni subjek. Sementara itu, hasil uji validitas yang dilakukan pada skala kepatuhan menjalani diet menunjukkan nilai koefisien kolerasi aitem total berkisar antara 0,380 sampai 0,706. Hasil uji reliabilitas pada skala kepatuhan menjalani diet menunjukkan koefisien Alpha (α) sebesar 0,873, nilai ini memiliki arti bahwa skala penerimaan diri pada status DM tipe II mampu mencerminkan 87,3%variasi skor murni subjek.

Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dilakukan sebelum melakukan uji hipotesis untuk memastikan data penelitian yang diperoleh dapat diolah, maka dilakukan uji asumsi yang terdiri dari uji normalitas, uji linearitas, uji multikolinearitas dan uji heteroskedastisitas. Uji normalitas pada penelitian ini

menggunakan uji Kolmogorov Smirnov, uji linearitas dilakukan dengan menggunakan uji Compare Means, uji multikolinearitas dilakukan dengan melihat nilai Variance Inflation Factor (VIF) dan nilai Tolerance, sedangkan uji heteroskedastisitas dilakukan dengaan menggunakan uji Glejser. Setelah melakukan uji asumsi, data penelitian dianalisis dengan menggunakan metode analisis regresi berganda untuk menguji hipotesis mayor dan hipotesis minor dengan menggunakan bantuan program SPSS 23.0 for Windows.

HASIL PENELITIAN

Karakteristik Subjek

Subjek dalam penelitian ini memiliki karakteristik yaitu individu dengan DM tipe II berdasarkan diagnosis dokter, dewasa madya yang berusia 40 sampai 60 tahun, mengalami DM tipe II minimal 1 tahun, karena setelah 1 tahun pasien telah mengalami dan merasakan perubahan atau keluhan fisik dan psikis selama mengalami DM tipe II, dan merupakan pasien di RSUD Wangaya kota Denpasar.

Deskripsi Data Penelitian

Hasil deskripsi statistik data penelitian yaitu dukungan sosial, penerimaan diri pada status DM tipe II dan kepatuhan menjalani diet dirangkum dalam tabel 1.

Hasil deskripsi statistik data penelitian pada tabel 1 menunjukkan bahwa variabel dukungan sosial memiliki mean teoretis sebesar 60 dan mean empiris 71,05 dengan perbedaan sebesar 11,05. Hal ini menandakan bahwa subjek pada penelitian ini memiliki taraf dukungan sosial yang tinggi karena mean empiris lebih besar daripada mean teoretis (71,05>60). Berdasarkan penyebaran frekuensi, subjek dalam penelitian ini menghasilkan rentang 56 sampai dengan 84.

Hasil deskripsi statistik data penelitian pada tabel 1 menunjukkan bahwa variabel penerimaan diri pada status DM tipe II memiliki mean teoretis sebesar 60 dan mean empiris 73,05 dengan perbedaan sebesar 13,05. Hal ini menandakan bahwa subjek pada penelitian ini memiliki taraf penerimaan diri pada status DM tipe II yang tinggi karena mean empiris lebih besar daripada mean teoretis (73,05>60). Berdasarkan penyebaran frekuensi, subjek dalam penelitian ini menghasilkan rentang 60 sampai dengan 86.

Hasil deskripsi statistik data penelitian pada tabel 1 menunjukkan bahwa variabel penerimaan diri pada status DM tipe II memiliki mean teoretis sebesar 60 dan mean empiris

73,05 dengan perbedaan sebesar 13,05. Hal ini menandakan bahwa subjek pada penelitian ini memiliki taraf penerimaan diri pada status DM tipe II yang tinggi karena mean empiris lebih besar daripada mean teoretis (73,05>60). Berdasarkan penyebaran frekuensi, subjek dalam penelitian ini menghasilkan rentang 60 sampai dengan 86.

Uji asumsi

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah distribusi sebuah data yang didapatkan berdistribusi normal atau tidak. Pengujian normalitas data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik Kolmogorov-Smirnov.Berdasarkan hasil uji normalitas, nilai signifikansi ketiga variabel diatas berdistribusi normal karena variabel dukungan sosial memiliki signifikansi 0,929, variabel penerimaan diri pada status DM tipe II memiliki signifikansi 0,886, dan variabel kepatuhan menjalani diet memiliki signifikansi 0,432. Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa p>0,05 dan dapat dinyatakan bahwa data berdistribusi normal.

Uji linieritas dilakukan dengan melihat compare mean lalu menggunakan test of linearity, dimana digunakan untuk melihat nilai signifikan linieritas. Data dapat dikatakan memiliki hubungan yang linier apabila nilai signifikansi (p) pada linearity< 0,05 dan nilai signifikansi pada deviation from linearity> 0,05.

T«M X

IM t.. I^bmtym t⅛u IVmAiim

Berdasarkan hasil uji linearitas pada tabel 2, variabel kepatuhan menjalani diet dengan variabel dukungan sosial memiliki nilai signifikansi sebesar 0,000 (p<0,05) dan nilai signifikansi pada kolom deviation from linearity menunjukkan angka 0,224 (p>0,05). Variabel kepatuhan menjalani diet dengan penerimaan diri pada status DM tipe II memiliki nilai signifikansi 0,000 (p<0,05) dan nilai signifikansi pada kolom deviation from linearity menunjukkan angka 0,242 (p>0,05). Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang linier antara kepatuhan menjalani diet dengan dukungan sosial dan kepatuhan menjalani diet dengan penerimaan diri pada status DM tipe II.

Uji multikolinearitas dilakukan dengan melihat Nilai Tolerance yang rendah sama dengan nilai VIF yang tinggi (VIF = 1/Tolerance). Jika nilai VIF 10 dan nilai Tolerance0,1, maka dinyatakan tidak terjadi multikolinearitas.

IVlH

MapBlHM       (UM            ~          1M*ta≠A

Tipa :

Hasil uji multikolinearitas yang ditunjukkan pada tabel 3 menunjukkan bahwa variabel dukungan sosial dan penerimaan diri pada status DM tipe II memiliki nilai

tolerance sebesar 0,565 0,1 dan nilai VIF sebesar 1,770 10, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi multikolinearitas.

Uji heteroskedastisitas bertujuan menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan varians dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain. Model regresi yang baik adalah yang homoskedastisitas atau tidak heteroskedastisitas(Gozhali, 2005).Jika nilai signifikansinya (p)>0,05maka tidak terjadi heterokedastisitas.

Hasil heteroskedastisitas data penelitian yang ditunjukkan pada tabel 4, dapat dilihat nilai signifikansi pada variabel dukungan sosial sebesar 0,292 dan variabel penerimaan diri pada status DM tipe II memiliki nilai signifikansi sebesar 0,096 (p > 0,05). Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas pada model regresi dalam penelitian ini.

Berdasarkan uji-uji asumsi yang sudah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa data-data dalam penelitian ini memiliki distribusi normal, memiliki hubungan yang linier, tidak terjadi multikolinieritas, dan tidak terjadi heteroskedastisitas, sehingga uji hipotesis dengan menggunakan regresi berganda dapat dilakukan.

Uji Hipotesis

Uji hipotesis dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunkan metode analisis regresi berganda untuk pembuktian hipotesis mayor dan hipotesis minor. Hasil uji regresi berganda data penelitian dapat dilihat pada tabel 5,6, dan 7.

Berdasarkan tabel 5, dapat dilihat bahwa nilai R yang merupakan koefisien regresi sebesar 0,535 dan nilai adjusted R square (R2)yang merupakan nilai koefisien determinasi sebesar 0,268.Nilai adjusted R square (R2)memiliki arti yaitu dukungan sosial dan penerimaan diri secara bersama-sama berperanterhadap kepatuhan menjalani diet sebesar 26,8%, sedangkan sisanya sebesar 73,2% ditentukan oleh faktor-faktor lain diluar variabel dukungan sosial dan penerimaan diri pada status DM tipe II.

Nilai signifikansi F yang dihasilkan dari uji regresi dapat dilihat pada tabel 6 yaitu sebesar 0,000 (p<0,05).Hal ini menunjukkan bahwa model regresi dalam penelitian ini dapat

digunakan untuk memprediksi variabel tergantung yaitu kepatuhan menjalani diet. Berdasarkan hasil yang didapatkan, maka dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial dan penerimaan diri pada status DM tipe II secara bersama-sama berperan secara signifikan terhadap kepatuhan menjalani diet.

TlW

Ui_ :.| Ragna l⅛r¾a>d* KU

KnafuiMi Ilm Ur KU :

Jf ⅛⅛.'

' .v‰st dcrXa J : .^k⅛nu

AuhferJteirf

IhHL

T

JM Jftw

∕ ∙≡β≡-

IO14*τ

Mil

.Bft

0,073

IXja.igir. UmmI

0,20≡

0,1»

0lU∞

Z1ON-

O1MJ

TvMncahM Dtn f*U beau

DM Tιp∙ Il

O1WS

0326

2, MO

O1012

Berdasarkan tabel 7, didapatkan hasil yaitu sebagai

berikut:

  • a.    Nilai koefisien beta (standardized coefficients beta) pada variabel dukungan sosial sebesar 0,260, nilai t sebesar 2,056, dan signifikansi sebesar 0,043  (p<0,05), sehingga variabel

dukungan sosial berpengaruh secara signifikan terhadap kepatuhan menjalani diet.

  • b.    Nilai koefisien beta (standardized coefficients beta) pada variabel penerimaan diri pada status DM tipe II sebesar 0,326, nilai t sebesar 2,580, dan signifikansi sebesar 0,012   (p<0,05),

sehingga variabel penerimaan diri pada status DM tipe II berperan secara signifikan terhadap kepatuhan menjalani diet.

  • c.    Hasil uji regresi berganda pada tabel dapat memprediksi kepatuhan menjalani diet dari masing-masing subjek penelitian dengan melihat persamaan garis regresi sebagai berikut:

Y = 10,467 + 0,205X1 + 0,246X2

Keterangan:

Y      : Kepatuhan menjalani diet

  • X1 : Dukungan sosial

X2 : Penerimaan diri pada status DM tipe II

Rumus diatas dapat dijelaskan sebagai berikut:

  • 1)    Konstanta sebesar 10,467 menunjukkan bahwa jika tidak ada penambahan atau peningkatan skor pada dukungan sosial dan penerimaan diri pada status DM tipe II, maka nilai kepatuhan menjalani diet yang dihasilkan adalah sebesar 10,467.

  • 2)    Koefisien regresi X1 sebesar 0,205 menunjukkan bahwa setiap penambahan nilai dari dukungan sosial, maka akan meningkatkan nilai kepatuhan menjalani diet sebesar 0,205 satuan.

  • 3)    Koefisien X2 sebesar 0,246 menunjukkan bahwa setiap penambahan satuan nilai dari penerimaan diri pada status DM tipe II, maka akan meningkatkan nilai kepatuhan menjalani diet sebesar 0,246 satuan.

Berdasarkan hasil uji regresi berganda yang telah didapatkan, maka rangkuman hasil uji hipotesis mayor dan hipotesis minor dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 8.

RSU>      Kam uapur

k. PMrtur. Un ≠≡ Sattii IDM Bpa Il twparaa Mcua αp.f⅛M IDntncu

Wtatia; KafMXtiw Maaa⅛aι IDmc patin Ixiian IDM Tipa ■ Itanua. I⅛⅜mi Mati-> til ULD ⅜ιaμ∙,ι Kru IDaraar

Analisis Tambahan

Analisis tambahan dilakukan peneliti untuk memperkaya hasil dari penelitian ini. Terdapat dua analisis tambahan yang akan dilakukan yaitu uji komparasi dengan independent sample t-test yang dilakukanuntuk mengetahui apakah terdapat perbedaan kepatuhan menjalani diet pada pasien DM tipe II yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan serta uji komparasi dengan Kruskall-Wallis yang dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan kepatuhan menjalani diet berdasarkan pendidikan.

Analisis tambahan tidak dapat dilakukan dengan menggunakan karakteristik subjek selain jenis kelamin, karena karakteristik lain dari subjek seperti usia, pendidikan, pekerjaan, jumlah tanggungan, pengeluaran per bulan, status jaminan kesehatan, aktivitas olahraga serta jangka waktu terdiagnosa DM tipe II tidak memenuhi syarat untuk dilakukan uji komparasi dengan menggunakan independent sample t-test maupun dengan uji anova.Menurut Sudijono (2012),jika jumlah sampel yang akan dibandingkan pada masing-masing karakteristik subjek tidak berada dalam satu kategori yang sama, maka uji komparasi hanya dapat dilakukan apabila dua atau lebih sampel yang akan dibandingkan sama-sama dikategorikan sebagai sampel yang berukuran kecil (N<30) atau sama-sama merupakan sampel yang berukuran besar (N>30).

Berdasarkan uji independent sample t-test, sikap terhadap kepatuhan menjalani diet pada pasien DM tipe II yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan tidak dinyatakan memiliki perbedaaan apabila nilai signifikansi (p) pada tabel t <0,05. Hasil uji independent sample t-test telah dirangkum dalam tabel 9.

TaM H

∙i⅛U I.. .‘fctiy aia ⅛a⅜.⅝ja⅝⅛⅛ >-Γ⅜r ⅞rdaaar⅛aa Jaan Ka⅛a>M8

Berdasarkan tabel 9, dapat dilihat nilai signifikansi pada tabelLevene's test for equality of variancesvariabel kepatuhan menjalani diet adalah 0,974 (p >0,05) yang berarti data kepatuhan menjalani diet subjek penelitian bersifat homogen, sehingga memenuhi syarat untuk dilakukan uji t-test independen. Nilai signifikansi variabel kepatuhan menjalani

diet pada kolom t-testfor equality of means adalah 0,630 (p >0,05), yang berarti tidak terdapat perbedaan kepatuhan menjalani diet pada pasien berjenis laki-laki dan perempuan.

Analisis tambahan lainnya yang digunakan dalam penelitian ini yaitu untuk menguji kepatuhan menjalani diet berdasarkan pendidikan terakhir pasien DM tipe II dengan menggunakkan ujiKruskall-Wallis. Berdasarkan pendidikan terakhir subjek penelitian dibagi menjadi 5, yaitu pendidikan SD, SMA, Diploma, S1 dan S2. Dasar pengambilan keputusan dalam penelitian ini adalah berdasarkan nilai probabilitas (Sig.), jika nilai probabilitas (Sig.) > 0,05, maka H0 diterima. Sedangkan jika nilai probabilitas (Sig.) < 0,05, maka H0 ditolak.Rangkuman hasil uji Kruskal-Wallistelah dirangkum dalam tabel 10.

TaM M

KafWXfcaa MaapIaai 1.'11 4 l.!-W T ^aA Mrtiaf M fartadaas OtgTgggtM MlIItM

Berdasarkan tabel 10, dapat dilihat bahwa hasil ujiKruskal-Wallismenunjukkan nilai Chi-Square 3,133 dan signifikansi 0,536 (p>0,05). Hal ini berarti tidak terdapat perbedaan kepatuhan menjalani diet berdasarkan pendidikan terakhir pasien DM tipe II yang berusia dewasa madya di RSUD Wangaya kota Denpasar.

PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

Pembahasan

Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji regresi berganda yang dilakukan, dapat diketahui bahwa hipotesis mayor penelitian yaitu dukungan sosial dan penerimaan diri pada status DM tipe II berperan secara signifikan terhadap kepatuhan menjalani diet pada usia dewasa madya pasien DM tipe II di RSUD Wangaya kota Denpasar dapat diterima. Hal ini dapat dilihat dari koefisien R pada hasil uji regresi adalah sebesar 0,535 (tabel 5), dan nilai signifikansi uji F adalah 0,000 (tabel 6) yang menunjukkan bahwa dukungan sosial dan penerimaan diri pada status DM tipe II bersama-sama berperan secara signifikan terhadap kepatuhan menjalani diet. Koefisien determinasi sebesar 0,268 menunjukkan bahwa secara bersama-sama dukungan sosial dan penerimaan diri pada status DM tipe II memiliki peran yang signifikan sebesar 26,8% (tabel 5) terhadap kepatuhan menjalani diet. Hal ini menunjukkan bahwa kepatuhan menjalani diet pada usia dewasa madya pasien DM tipe II di RSUD Wangaya kota Denpasar dipengaruhi sebesar 26,8% oleh dukungan sosial dan penerimaan diri pada status DM tipe II. Sementara itu 73,2% sisanya dipengaruhi oleh faktor lain selain dukungan sosial dan penerimaan diri pada status DM tipe II.

Faktor-faktor tersebut diantaranya faktor pengetahuan, sikap, dukungan keluarga, dukungan tenaga kesehatan, health locus of control, efikasi diri, dan strategi koping berperan dalam kepatuhan menjalani diet pasien DM tipe II (Raharjo,

2015; Notoatmodjo, 2003; Pratita, 2012; Pertiwi, 2015). Pada penelitian ini didapatkan pula data deskriptif tambahan mengenai jenis kelamin, status, usia subjek, pendidikan terakhir, pekerjaan, jangka waktu terdiagnosa DM tipe II, jumlah tanggungan, pengeluaran per bulan, status jaminan kesehatan, dan aktivitas olahraga. Dalam penelitian ini hanya beberapa dari data deskriptif yang dapat dianalisis lebih lanjut diantaranya jenis kelamin dan pendidikan terkahir subjek. Kepatuhan menjalani diet dalam penelitian ini dipengaruhi oleh faktor dukungan sosial yang diperoleh dari keluarga, teman maupun petugas kesehatan (Niven, 2002). Selain faktor dukungan sosial, pasien DM tipe II dipengaruhi oleh adanya penerimaan diri yang tinggi sehingga pasien DM tipe II mampu menyesuaikan diri terhadap penyakitnya serta patuh dengan diet yang dijalani. Hurlock (1974) menyatakan penerimaan diri menjadi salah satu faktor penting yang berperan terhadap kebahagiaan individu sehingga akan mampu memiliki penyesuaian diri yang baik.

  • 1.    Hipotesis Minor I : Dukungan Sosial Berperan Secara Signifikan Terhadap Kepatuhan Menjalani Diet pada Pasien DM Tipe II Berusia Dewasa Madya di RSUD Wangaya Kota Denpasar

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa dukungan sosialmemiliki pengaruh yang signifikanterhadap kepatuhan menjalani diet pada usia dewasa madya pasien DM tipe II di RSUD Wangaya kota Denpasar.Hal ini dapat dilihat dari nilai signifikansi sebesar 0,043 (tabel 33) (p<0,05) yangmenunjukkan bahwadukungan sosial memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kepatuhan menjalani diet, artinya semakin positif dukungan sosial yang didapatkan oleh pasien DM tipe II semakin tinggi kepatuhan diet yang dijalankan oleh pasien. Hasil penelitian sejalan dengan teori menurutNiven (2002) yang menyatakan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi kepatuhan menjalani diet salah satunya adalah adanya dukungan sosial dalam bentuk emosional, waktu, uang yang diberikan oleh teman-teman di sekitar individu merupakan faktor penting untuk meningkatkan kepatuhan.Dukungan dari teman-teman dapat membantu mengurangi kecemasan yang disebabkan oleh penyakit tertentu, pasien dapat menghilangkan godaan pada ketidakpatuhan dan dapat menjadi kelompok pendukung untuk mencapai perilaku kepatuhan.Sarafino dan Smith (2011) menyatakan bahwa dukungan sosial dapat memberikan kenyamanan,perhatian serta penghargaan yang diterima individu dari invidu lain ataupun dari kelompok.

Dukungan sosial selalu diharapkan agar kondisi pasien semakin membaik karena dengan adanya dukungan sosial pasien cenderung patuh dengan aturan diet yang dianjurkan oleh tenaga kesehatan. Pasien akan merasakan kualitas kesehatan maupun kualitas hidup yang meningkat pada saat patuh menjalani diet. Apabila makan dan minum dijaga, akan terhindar dari berbagai macam komplikasipenyakit yang

hanya akan memperparah dan memperburuk keadaan pasien serta meminimalisir adanya gangguan kesehatan lainnya (Ismansyah dan Ernawati, 2014). Dukungan sosial memiliki kontribusi yang sangat besar bagi pasien DM tipe II pada usia dewasa madya, seperti penelitian dari Laila (2016) diperoleh hasil bahwa pasien DM tipe II tertinggi pada usia 40 sampai 60 tahun. Menurut Hurlock (1980) usia dewasa madya adalah usia setengah baya dalam terminologi kronologis yaitu pada umumnya berkisar 40 sampai 60 tahun. Dewasa madya menurut Santrock (2002) ditandai dengan terjadinya perubahan jasmani dan mental, penurunan kekuatan fisik serta penurunan daya ingat. Pada usia dewasa madya ini pula, rentang usia tersebut tergolong dalam usia produktif.

Penelitian lain menyatakan bahwa dukungan sosial dapat diberikan oleh orang-orang terdekat seperti keluarga yaitu suami atau istri, dan anak dari pasien DM tipe II. Dalam hal ini pemberi dukungan sosial untuk pasien DM tipe II berasal dari suami atau istri, anak, menantu, cucu, saudara maupun hubungan kekerabatan lainnya (Yuliawati & Handadari, 2013). Keefektifan dukungan sosial menurut penelitian yang dilakukan oleh Nelson dan Prilleltensky (2005) terhadap kepatuhan menjalani diet disebabkan oleh adanya kontak interpersonal yang terjadi dapat meningkatkan tingkah laku dan pola hidup sehat akibat akumulasi efek positif dari pengalaman interpersonal yang baik. Menurut Gurung (dalam Pertiwi, 2015) dukungan sosial juga penting untuk meningkatkan kepatuhan. Kurangnya dukungan sosial dapat meningkatkan dampak kehidupan sehari-hari dan memungkinkan kurangnya perawatan diri, termasuk kepatuhan.

  • 2.    Hipotesis Minor II : Penerimaan Diri pada Status DM Tipe II Berperan Secara Signifikan Terhadap Kepatuhan Menjalani Diet pada Pasien DM Tipe II Berusia Dewasa Madya di RSUD Wangaya Kota Denpasar

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa penerimaan diri pada status DM tipe II memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kepatuhan menjalani diet pada usia dewasa madya pasien DM tipe II di RSUD Wangaya kota Denpasar. Hal ini dapat dilihat dari nilai signifikansi sebesar 0,012 (tabel 33) (p<0,05) yang menunjukkan bahwa penerimaan diri pada status DM tipe II memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kepatuhan menjalani diet. Penerimaan diri merupakan salah satu aspek penting yang harus ada di dalam diri pasien DM tipe II. Hurlock (1974) menyatakan bahwa penerimaan diri dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya mampu menerima diri, mengembangkan potensi yang dimiliki dengan optimal, menilai dirinya secara realistis, menyesuaikan diri dengan pandangan orang lain serta melihat diri sendiri dari berbagai sudut pandang. Individu yang dapat menerima diri akan mempunyai pandangan yang positif terhadap apa yang ada dalam dirinya (Hjelle & Zeigler, 1992)

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Indriasari (2006) yaitu hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara penerimaan diri terhadap kepatuhan pasien DM tipe II. Pasien DM tipe II paling tinggi pada usia dewasa madya yaitu usia 40 hingga 60 tahun, dimana salah satu perubahan-perubahan yang dialaminya adalah penurunan fungsi fisik, perubahan dalam kemampuan indera, perubahan pada kesehatan, dan keberfungsian fisik (Hurlock, 1980). Hal ini sejalan dengan teori dari Sari (2012) yang menyatakan bahwa pasien DM tipe II mengalami gejala yaitu pandangan mata kabur, mati rasa atau rasa sakit pada tubuh bagian bawah dan berat badan berlebih. Faktor utama yang menyebabkan terjadinya DM tipe II yaitu usia, DM tipe II terjadi pada saat usia dewasa karena intoleransi glukosa yang berlangsunglambat (selama bertahun-tahun) dapat progresif, maka DM tipe II dapat berjalan tanpa terdeteksi. Kenaikan kadar glukosa darah tampak berhubungan dengan usia pada laki-laki ataupun perempuan yang frekuensinya meningkat bersamaan dengan pertambahan usia(Smeltzer & Bare, 2002).

Menurut Christanty (2013) individu yang memahami, menerima semua aspek diri dan memiliki pikiran positif yang tinggi merupakan cerminan individu yang memiliki penerimaan diri yang baik.Hasil penelitian tersebut didukung oleh Germer (2009) yang menyatakan bahwa orang yang menerima dirinya adalah orang yang sadar bahwa dirinya mengalami sebuah sensasi, perasaan, maupun pikiran yang ada pada dirinya dari waktu ke waktu.

  • 3.    Pembahasan Deskripsi Statistik dan Kategorisasi Data Variabel Dukungan Sosial

Berdasarkan hasil analisis deskriptif dan kategori pada data variabel dukungan sosial dapat diketahui bahwa mayoritas subjek yang memiliki taraf dukungan sosial yang tinggi yaitu sebanyak62 orang atau 76% dari keseluruhan subjek. Hal ini menandakan bahwa mayoritas pasien DM tipe II yang berusia dewasa madya di RSUD Wangaya kota Denpasar memiliki dukungan sosial yang positif. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Utami (2013) bahwa ada hubungan positif dan searah antara dukungan sosial dengan penerimaan diri. Sehingga dukungan sosial perlu diberikan untuk meningkatkan penerimaan diri individu dalam menjalani kehidupannya. Dukungan sosial yang diberikan kepada pasien DM tipe II di RSUD Wangaya kota Denpasar berasal dari keluarga, teman atau kerabat dekat pasien dan tenaga kesehatan. Sejalan denganSarafino dan Smith (2011) yang mengatakan bahwa dukungan sosial dapat diperoleh dari berbagai sumber yang berbeda, yaitu suami atau istri, keluarga, rekan kerja, dokter, ataupun komunitas organisasi. Jika pasien mendapatkan dukungan dari orang yang dekat dengannya, maka dukungan tersebut akan lebih bermakna dan sangat membantu dalam mencapai kepatuhan menjalani diet.

Pasien DM tipe II yang memiliki dukungan sosial yang tinggi akan memiliki efek terhadap kesehatan dan kesejahteraan pasien. Setiadi (2008) menyatakan efek dari dukungan sosial terhadap kesehatan dan kesejahteraan berfungsi secara bersamaan. Keberadaan dukungan sosial yang adekuat berhubungan dengan menurunnya mortalitas, lebih mudah patuh dalam menjalani perawatan, fungsi kognitif, fisik, dan kesehatan emosi. Sedangkan Arsana (2012) menjelaskan dukungan sosial keluarga dalam hal diet bermanfaat dapat mengontrol jumlah makanan serta jam makan. Pasien DM tipe II menjadi termotivasi untuk menjalankan perawatan akibat adanya dukungan sosial yang membuat pasien merasa nyaman dan tentram untuk menjalani diet DM tipe II. Dukungan sosial menurut Sarafino dan Smith (2011) mengacu pada kenyamanan, perhatian, penghargaan, atau bantuan yang diberikan oleh orang lain atau kelompok kepada individu. Dengan demikian, pasien yang mendapatkan dukungan sosial akan merasa bahwa dirinya dapat diterima oleh lingkungan dan sosial.Dukungan sosial sangat berkaitan dengan pemberi dukungan sosial, pasien DM tipe II akan menerima dukungan yang berarti dari orang-orang yang memberikan kepercayaan baginya. Pasien DM tipe II akan menerima dukungan, apabila dukungan tersebut bermanfaat bagi dirinya, faktor lainnya adalah seberapa lama dan seberapa kapasitas dukungan yang diberikan untuk pasien DM tipe II selama suatu periode tertentu. Hal ini sejalan dengan pendapat Cohen dan Syme (dalam Ika, 2008) menyatakan terdapat beberapa faktor yang memengaruhi dukungan sosial yaitu pemberi dukungan sosial, jenis dukungan sosial, penerima dukungan, dan lamanya pemberian dukungan. Jadi, dapat dikatakan bahwa pasien DM tipe II di RSUD Wangaya kota Denpasar memiliki dukungan sosial yang tinggi dan mampu mempertahankan dukungan yang diperoleh sehingga mampu berdampak positif bagi dirinya.

  • 4.    Pembahasan Deskripsi Statistik dan Kategorisasi Data Variabel Penerimaan Diri pada Status DM Tipe II

Berdasarkan hasil analisis deskriptif dan kategorisasi data variabel penerimaan diri pada status DM tipe II dapat diketahui bahwa penerimaan diri pada status DM tipe II pasien DM tipe II yang berusia dewasa madya di RSUD Wangaya kota Denpasar tergolong tinggi yaitu sebanyak 55 orang atau 67% dari keseluruhan subjek dalam penelitian. Hal ini menandakan bahwa pasien DM tipe II yang berusia dewasa madya di RSUD Wangaya kota Denpasar memiliki penerimaan diri pada status DM tipe II yang positif. Hasil ini menguatkan pendapat Willi (dalam Destiani, 2008) yang menyatakan bahwa penerimaan diri yang tinggi akan memberikan sumbangan positif pada kesehatan mental. Artinya ketika pasien DM tipe II mempunyai penerimaan diri yang tinggi, maka akan dapat memiliki kesehatan mental yang baik dan dapat memicu semangat untuk patuh terhadap diet yang diajalani.

Beberapa faktor yang dapat menimbulkan tercapainya penerimaan diri bagi pasien DM tipe II yaitu kesehatan psikologis, kesehatan fisik dan pendidikan. Menurut Supratiknya (1995) individu yang memiliki kesehatan psikologis yang baik akan memiliki perasaan positif terhadap dirinya sendiri seperti bahagia, memandang dirinya mampu, disenangi orang lain, dan diterima orang lain. Faktor lainnya yang memengaruhi penerimaan diri adalah kesehatan fisik, hal tersebut dapat dilihat bahwa sebagian besar subjek melakukan aktivitas olahraga untuk tetap mengontrol gula dalam tubuh dan memicu kerja organ tubuh dengan baik. Menurut Schlutz (dalam Izzati & Waluya 1996) mengatakan bahwa penerimaan diri memiliki hubungan yang erat dengan tingkat fisiologis seperti kelancaran kerja organ individu dan aktifitas dasar, seperti makan, minum, istirahat dan kehidupan seksual. Kategorisasi data penerimaan diri pada status DM tipe II dalam penelitian ini tergolong tinggi, dengan subjek pasien DM tipe II usia dewasa madya yang mayoritas memiliki pendidikan terakhir sekolah menengah atas sehingga memiliki kemampuan pemahaman yang tinggi terkait kepatuhan menjalani diet. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sari dan Nuryoto (2002) mengatakan bahwa faktor yang memengaruhi penerimaan diri adalah pendidikan. Pasien DM tipe II berusia dewasa madya yang berpendidikan tinggi akan memiliki tingkat kesadaran yang lebih tinggi pula dalam memandang, memahami keadaan dirinya dan segera mencari upaya untuk mengatasi permasalahan kesehatan yang sedang dialaminya.Jadi, pasien DM tipe II yang memiliki penerimaan diri yang baik tahu kemampuan yang dimilikinya dan dapat mengatasi cara untuk mengelolanya.

  • 5.    Pembahasan Deskripsi Statistik dan Kategorisasi Data Variabel Kepatuhan Menjalani Diet

Berdasarkan hasil analisis deskriptif dan kategorisasi pada data variabel kepatuhan menjalani diet dapat diketahui bahwa tingkat kepatuhan menjalani diet pada mayoritas pasien DM tipe II yang berusia dewasa madya di RSUD Wangaya kota Denpasar tergolong tinggi yaitu sebanyak 50 orang atau 60% dari keseluruhan subjek dalam penelitian. Hal ini menandakan bahwa pasien DM tipe II yang berusia dewasa madya di RSUD Wangaya kota Denpasar mengarah pada perilaku kepatuhan menjalani diet yang positif.

Menurut Green (dalam Notoatmodjo, 2003) kepatuhan merupakan suatu perubahan perilaku dari perilaku yang tidak mentaati peraturan ke perilaku yang mentaati peraturan.Hasil penelitian dari Susanti & Sulistyarini (2013) didapatkan kepatuhan diet yang dilakukan pasien adalah patuh, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yang memengaruhi kepatuhan yaitu dukungan tenaga kesehatan. Terdapat cara-cara untuk meningkatkan kepatuhan yaitu menjaga komunikasi dengan tenaga kesehatan, mendapatkan informasi yang jelas mengenai penyakit DM tipe II sehingga pasien memahami instruksi dari tenaga kesehatan, serta memberikan

dukungan sosial dalam bentuk perhatian dan nasehat yang bermanfaat untuk pasien DM tipe II (Smet, 1994). Pertiwi (2015) menyatakan faktor penting lainnya yang memengaruhi kepatuhan menjalani diet adalah efikasi diri. Pasien yang memiliki keyakinan dengan dirinya dapat mematuhi pengobatan yang kompleks sehingga pasien akan lebih mudah melakukannya (Smet, 1994).

  • 6.    Pembahasan Analisis Tambahan

Pada analisis tambahan yang yang dilakukan dengan menggunakan uji independent sample t-test pada variabel kepatuhan menjalani diet dengan variabel jenis kelamin diperoleh hasil yaitu tidak terdapat perbedaan kepatuhan menjalani diet antara pasien DM tipe II yang berjenis kelamin laki-laki dengan pasien DM tipe II yang berjenis kelamin perempuan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kusumawati (2015) bila ditinjau dari jenis kelamin tidak memberikan perbedaan yang berarti pada tingkat kepatuhan menjalani diet pasien DM tipe II. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Jelantik dan Haryati (2014) bahwa tidak terbukti ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan kejadian DM tipe II.

Hasil analisis tambahan lainnya dengan menggunakan uji Kruskal Wallis pada variabel kepatuhan menjalani diet terhadap pendidikan terakhir pasien DM tipe II diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan antara pasien DM tipe II yang pendidikan terakhir SD, SMA, Diploma, S1 maupun S2. Subjek dalam penelitian ini adalah mayoritas dengan pendidikan SMA, sejalan dengan penelitian yang lakukan oleh Yusra (2011) bahwa 40 subjek atau 33% DM tipe II berpendidikan SMA. Penelitian yang dilakukan oleh Kusumawati (2015) tingkat pendidikan pasien tidak memberikan perbedaan yang signifikan pada tingkat kepatuhan menjalani diet pada penderita DM tipe II.Pendidikan atau tingkat pengetahuan ditentukan pula oleh keyakinan seseorang terhadap adanya bentuk dukungan terbentuk oleh variabel intelektual yang terdiri dari pengetahuan,dan pengalaman masa lalu. Kemampuan kognitif akan membentuk cara berpikir seseorang termasuk kemampuan memahami faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit dan menggunakan pengetahuan tentang kesehatan untuk menjaga kesehatan dirinya (Susanti & Sulistyarini, 2013).

Keterbatasan pada penelitian ini antara lain yaitu beberapa subjek dalam penelitian ini kurang memahami maksud dari kuesioner sehingga peneliti harus membacakan kuesioner kepada subjek dan terdapat beberapa subjek yang mengalami kelelahan karena aitem yang terdapat dalam kuesioner penelitian ini terlalu banyak serta kepatuhan menjalani diet dalam penelitian ini hanya diukur dengan menggunakan kuesioner berupa skala yang mengandung sebuah pernyataan, sehingga tidak bersifat objektif karena

tidak dapat mengukur kepatuhan menjalani diet secara langsung.

Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan yaitu dukungan sosial dan penerimaan diri pada status DM tipe II secara bersama-sama berperan terhadap kepatuhan menjalani diet pada pasien DM tipe II berusia dewasa madya di RSUD Wangaya Kota Denpasar, dukungan sosial berperan terhadap kepatuhan menjalani diet pada pasien DM tipe II berusia dewasa madya di RSUD Wangaya Kota Denpasar, penerimaan diri pada status DM tipe II berperan terhadap kepatuhan menjalani diet pada pasien DM tipe II berusia dewasa madya di RSUD Wangaya Kota Denpasar, kepatuhan menjalani diet pada pasien DM tipe II berusia dewasa madya di RSUD Wangaya Kota Denpasar tergolong tinggi, dukungan sosial pada pasien DM tipe II berusia dewasa madya di RSUD Wangaya Kota Denpasar tergolong tinggi, penerimaan diri pada status DM tipe II pada pasien DM tipe II berusia dewasa madya di RSUD Wangaya Kota Denpasar tergolong tinggi, dan tidak ada perbedaan taraf kepatuhan menjalani diet berdasarkan jenis kelamin dan pendidikan terakhir pada pasien DM tipe II berusia dewasa madya di RSUD Wangaya Kota Denpasar.

Saran

Berdasarkan kesimpulan yang telah dipaparkan, maka beberapa sarang yang dapat diberikan bagi pasien DM tipe II berusia dewasa madya yaitu meningkatkan pengetahuan dan pemahaman terkait penyakit DM tipe II dengan mencari informasi dari berbagai sumber yang adekuat, sehingga pasien tetap mempertahankan kepatuhan dalam menjalani diet serta mampu mempertahankan dukungan sosial yang diperoleh dan mengembangkan penerimaan diri pada status DM tipe II, Pasien DM tipe II diharapkan mampu mempertahankan faktor eksternal yang diperoleh yaitu dukungan sosial yang diberikan oleh keluarga, teman, dan tenaga kesehatan agar tetap tinggi dengan cara terus menerima bantuan perawatan, nasehat positif dan kasih sayang yang diberikan agar tetap memiliki makna yang berarti bagi pasien DM tipe II sehingga memiliki pengaruh pada kepatuhan dalam menjalani diet, dan pasien DM tipe II juga diharapkan dapat mempertahankan penerimaan diri yang sudah tinggi dengan cara terus membangun harapan yang realistis terkait kondisi yang dialami, melakukan pembukaan diri, memiliki kesehatan psikologis yang baik, selalu memiliki perspektif yang positif dalam diri dan memiliki konsep diri yang stabil sehingga mampu melihat diri dalam suatu cara yang menyenangkan. Hal ini akan membuat pasien DM tipe II mampu melihat kondisinya dalam keadaan yang sama untuk menjalani diet yang dijalankan dalam jangka waktu yang panjang.

Saran bagi keluarga pasien DM tipe II yaitu keluarga diharapkan mempertahankan sumber eksternal dukungan sosial yang diberikan kepada pasien DM tipe II,kapasitas dukungan sosial harus diberikan secara konsisten agar pasientetap termotivasi untuk patuh terhadap diet yang dijalankan sehingga glukosa dalam darah tetap normal serta tidak mengalami komplikasi penyakit lain, serta keluarga diharapkan mampu mempertahankan penerimaan diri yang dimiliki pasien DM tipe II dengan menjaga kondisi lingkungan agar pasien terhindar dari stres, sehingga pasien akan mampu mempertahankan kepatuhan menjalani diet secara berkelanjutan.

Saran bagi tenaga kesehatan yaitu diharapkan agar mempertahankan dukungan sosial yang diberikan kepada pasien DM tipe II dalam bentuk perhatian, nasehat serta informasi yang jelas terkait penyakit dan diet DM tipe II yang harus dijalankan pasien secara berkelanjutan sehingga pasien DM tipe II mampu mempertahankan kepatuhan menjalani diet, serta tenaga kesehatan diharapkan mampu meningkatkan perannya sebagai counselor yang membantu pasien untuk selalu bersahabat dengan penyakit DM tipe II dan proses pengobatan yang dijalani dalam jangka waktu yang panjang. Tenaga kesehatan harus konsisten memberikan pendidikan kesehatan untuk meningkatan kepatuhan menjalani diet dan pasien tetap mempertahankan penerimaan diri terhadap status DM tipe II.

Saran bagi peneliti selanjutnya yaitu dapat membuat aitem dengan jumlah yang lebih sedikit untuk pasien DM tipe II berusia dewasa madya atau menyesuaikan dengan kondisi subjek agar pasien tidak mudah mengalami kelelahan pada saat mengisi kuesioner, peneliti selanjutnya dapat mengembangkan penelitian mengenai kepatuhan menjalani diet dengan menggunakan metode penelitian lainnya agar dapat mengukur atau mengetahui kepatuhan menjalani diet secara lebih mendalam, dapat melakukan penelitian mengenai kepatuhan menjalani diet dengan menggunakan faktor lain yang mungkin memengaruhi kepatuhan menjalani diet dengan cara menambah jumlah variabel bebas penelitian untuk mendapatkan hasil yang lebih luas dan mendalam dan dalam penelitian ini hanya memungkinkan analisa deskriptif pada karakteristik subjek yaitu jenis kelamin dan pendidikan. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat melakukan uji lanjutan dari penelitian ini yang bertujuan untuk melihat kontribusi dari faktor jenis kelamin, usia, pendidikan, pekerjaan, jumlah tanggungan, pengeluaran per bulan, status jaminan kesehatan, aktivitas olahraga, dan rentang waktu terdiagnosa DM tipe II terhadap kepatuhan menjalani diet.

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, S. (2006). Prinsip dasar ilmu gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Alfakseir, A., & Malekpour, F. (2014). The role of self-efficacy and social support in predicting depression symptoms in diabetic patients . Iranian Journal of Diabetic and Obesity, 6 (3), 126-130.

Arsana, P. M. (2012). Pengaruh penyuluhan gizi terhadap kepatuhan diet pasien diabetes mellitus dI poli gizi RSU Dr. saiful anwar malang. Majalah Kesehatan: FKUB

Ayu, D.U.S. (2017). Studi pendahuluanjumlah pasien DM tipe II dari tahun 2015 hingga  Maret 2017. (Naskah tidak

dipublikasikan). Denpasar

Azwar,S. (2015). Penyusunan  skala  psikologi. Edisi  Kedua.

Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Azzahara, N. (2016). Komplikasi diabetes melitus, Diakses tanggal 19 Oktober 2017, dari www.diabetics1.com

Bangun, A.V. (2009). Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kepatuhan pasien tipe 2 dalam konteks asuhan keperawatan di poliklinik endokrin RSHS Bandung.Tesis. Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Jakarta.

Borrot, N. & Bush, R. (2008). Measuring quality of life. Australia: The University of Queensland.

Betteng, R., Pangemanan, D., &Mayulu, N. (2014). Analisis faktor risiko penyebab terjadinya diabetes mellitus tipe 2 pada wanita usia produktif di puskesmas wawonasa. Jurnal e-Biomedik, 2 (2). 404-412.

Byod, L. Physical mental & social effects of diabetes. Diakses tanggal 19 Oktober 2017, dari www.livesrong.com

Christanty, D.A. (2013). Hubungan persepsi dukungan sosial dengan penerimaan diri pasien penderita diabetes mellitus pasca amputasi. Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental, 2 (2). 55-61.

Dinas Kesehatan Provinsi Bali. (2013). Data sepuluh besar penyakit di 9 kabupaten dan kota provinsi bali. Denpasar: Dinas Provinsi Bali.

Delamater, A.M. (2006). Improving patience adherence. Clinical Diabetes Journal, 24 (2). 71-77.

Delianty, A.P. (2015). Hubungan antara dukungan pasangan terhadap kepatuhan diet pada penderita diabetes melitus tipe 2 di wilayah kerja puskesmas munjul.Skripsi. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Destiani,N.W.(2008). Penerimaan diri pada mantan PSK.Tesis. Universitas Muhammadiyah, Surakarta.

Germer, C.K. (2009). The mindful path to self-compassion: freeing yourself from destructive thoughts and emotions. New York: The Guilford Press.

Gozhali,I. (2005). Aplikasi analisis multivariate dengan program spss. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Hjelle, L.A. & Ziegler, D. J. (1992). Personality theories basic assumptions, research, and applications. Singapore: McGraw Hill International Book Company.

Hurlock, E.B. (1974). Personality  development.  New Delhi:

McGraw-Hill, Inc.

Hurlock, E.B. (1980). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang rentang hidup(5th ed) (I. Soedjarwo, Trans.). Jakarta: Erlangga.

Ika, W.T. (2008). Pengaruh dukungan sosial terhadap kecemasan penderita diabetes melitus. Skripsi. Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Indiasari. (2006). Hubungan antara penerimaan diri dengan kepatuhan dalam menjalani pengobatan pada penderita diabetes mellitus. Skripsi. Malang:    Universitas

Muhammadiyah Malang.

Ismansyah, & Ernawati, R. (2014). Hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan diet diabetes melitus pada pasien diabetes melitus tipe II. Husada Mahakam , 389-442.

Izzati, A., & Waluya, O.T. (1996). Gambaran penerimaan diri pada penderita psoriasis. Jurnal Psikologi, 10 (2), 68-78.

Jelantik, I.M.G.,& Haryati, E.(2014). Hubungan faktor risiko umur, jenis kelamin, kegemukan dan hipertensi dengan kejadian diabetes mellitus tipe II di wilayah kerja puskesmas Mataram. Media Bina Ilmiah39, 8 (1). 1978-3787.

Jersild, A.T. (1978). The psychology of adolescent. Third edition. New York: Mac Millan.

Johnson, M. (1998). Diabetes: terapi dan pencegahannya. Bandung: Indonesia Publishing House.

Kalat, J.W.  (2010).  Biopsikologi, edisi  9. Jakarta: Salemba

Humanika.

Kaniasty, K. (2005). Social support and traumatic stress. The National Center for Post-Traumatic Stress Disorder, 16 (2). 1-8.

Kementrian Kesehatan RI. (2013). Riset kesehatan dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.

Keyes, C.L. (2002). The mental health continuum: From languishing to flourishing in life. Journal of Health and Social Research, 43 (2), 1143-1151.

Kusumawati, I. (2015). Kepatuhan menjalani diet ditinjau dari jenis kelamin dan tingkat pendidikan pada penderita diabetes mellitus tipe 2.Skripsi. Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah, Surakarta.

Laila, R.N. (2016). Hubungan antara dukungan sosial dengan penerimaan diri pada pasien diabetes mellitus tipe II.Skripsi. Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah, Surakarta.

Ligthelm, E.J.& Wright, S.C.D. (2014). Lived experience of persons with an amputation of the upper limb. International Journal of Orthopaedic and Trauma Nursing, 18. 99-106.

Lopulalan, C.R. (2008). Sekilas tentang diabetes mellitus, Diakses tanggal 10 Mei 2017, dariwww.klinikdrrocky.co.id.

Masyithah, D.(2012). Hubungan dukungan sosial dan penerimaan diri pada penderita pasca stroke. Skripsi. Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya.

Matyja, K.W. (2014). Adolescent personalities and their selfacceptance within complete families, incomplete families and reconstructed families. Polish Journal of applied Psychology, 12 (1), 59-74.

Mertha, I. M., Wedri, N. M, Ngurah, I. G.(2015). Karakteristik perawatan pasien diabetes mellitus di rumah sakit umum

pusat sanglah Denpasar tahun 2014. Jurnal Skala Husada, 12 (1). 45-48.

Nelson, G.,& Prilleltensky, I. (2005). Community psychology: In pursuit of liberation and well being. Hampshire: Palgrave Macmillan.

Niven, N. (2002). Psikologi kesehatan. Jakarta: EGC.

Notoatmodjo, S. (2003). Pendidikan dan perilaku kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta

Nursalam.(2015).Metodologi   penelitian ilmu keperawatan,

Pendekatan praktis edisi 4. Jakarta: Salemba Medika.

Papalia, Olds, & Feldman (2009). Human development (perkembangan manusia). Jakarta: Salemba Medika.

Pertiwi, I.(2015). Hubungan dukungan pasangan dan efikasi diri dengan kepatuhan menjalani pengobatan pada penderita diabetes mellitus tipe  II.Skripsi.  Fakultas Psikologi,

Universitas Muhammadiyah, Surakarta.

Pratita, N.D. (2012). Hubungan dukungan pasangan dan health locus of control dengan kepatuhan dalam menjalani proses

pengobatan  pada  penderita  DM  tipe 2.  Jurnal

IlmiahUniversitas Surabaya, 1 (1).

Price, S.A., & Wilson, L.M. (2003). Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit, edisi 6. Jakarta: EGC

Raharjo, A.S. (2015). Hubungan tingkat pengetahuan dan sikap dengan kepatuhan diet diabetes melitus pada penderita diabetes melitus di desa gonilan.Skripsi. Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah, Surakarta.

Redaksi. (2008). Diabetes incar usia produktif, Diakses tanggal 16 Juni 2017, dari www.republika.co.id.

RSUD Wangaya. (2017). Profi dan Sejarah RSUD Wangaya Kota Denpasar.                Diunduh                dari

http://rsudwangaya.denpasarkota.go.id/index.php/profil/124 /Sejarah.

Santrock, J. (2002). Life-span development perkembangan masa hidup. Jakarta: Erlangga.

Sarafino, E.P. & Smith, T.W. (2011). Health psychology: Biopsychosocial interactions (7th ed.). Canada: John Milley and Sons Inc.

Sari, E.P. & Nuryoto, S. (2002). Penerimaan diri pada lanjut usia ditinjau dari kematangan emosi. Jurnal Psikologi, 2, 73-88.

Sari, R.N. (2012). Diabetes milletus. Yogyakarta: Nuha Medika

Setiadi. (2008). Konsep dan proses keperawatan keluarga.

Yogyakarta: Graha Ilmu

Siregar, C. (2006). Farmasi klinik teori dan penerapan. Jakarta: EGC.

Smeltzer, S.C., &Bare, B.G.(2002). Buku ajar keperawatan medikal bedah Brunner & Suddart edisi 8 Vol.2. Jakarta: EGC.

Smet, B.(1994). Psikologi kesehatan. Jakarta: PT Grasindo.

Sudijono, A. (2012). Pengantar statistik pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Sugiyono. (2015). Statistik nonparametris untuk penelitian. Bandung: Alfabeta.

Supratiknya, A. (1995). Komunikasi antar pribadi: Tinjauan psikologi. Yogyakarta: Kanisius.

Susanti, L.S.,  & Sulistyarini, T. (2013). Dukungan keluarga

meningkatkan kepatuhan diet pasien diabetes melitus di ruang rawat inap RS. baptis Kediri. Jurnal STIKES, 6 (1),

Juli 2013.

Taylor, S. E. (2009). Health psychology sevent edition. New York: Mc Graw Hill.

Utami, N.S. (2013). Hubungan antara dukungan sosial keluarga dengan penerimaan diri individu yang mengalami asma. Jurnal Psikologi Udayana, 1 (1). 12-21.

Windasari, N.N. (2015). Pendidikan kesehatan dalam meningkatkan kepatuhan merawat kaki pada pasien DM tipe II. Muhammadiyah Journal of Nursing , 2 (1). 79-90.

Yuliawati, A.D., & Handadari, W. (2013). Hubungan antara tingkat stres dengan tindak kekerasan pada caregiver lansia dengan demensia. Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental, 02 (01), 48-53.

Yusra, A. (2011). Hubungan antara dukungan keluarga dengan kualitas hidup pasien diabetes melitus tipe 2 di poliklinik penyakit dalam rumah sakit umum pusat fatmawati jakarta. Skripsi. Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Jakarta.

200