DINAMIKA HARAPAN IBU TUNGGAL YANG MEMILIKI ANAK DENGAN GANGGUAN AUTISME PADA FASE DEWASA AWAL
on
Jurnal Psikologi Udayana
Edisi Khusus Psikologi Positif, 159-166
Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana
ISSN: 2354 5607
DINAMIKA HARAPAN IBU TUNGGAL YANG MEMILIKIANAKDENGAN GANGGUAN AUTISMEPADA FASE DEWASA AWAL
Putu Ika Pratiwi dan Luh Made Karisma Sukmayanti Suarya
Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana
Menjadi ibu tunggal yang memiliki anak dengan gangguan autisme dapat menyebabkan cemas dan depresi maternal (Orsmond dkk., 2007). Seiring bertambahnya usia, stresor ibu tunggal juga meningkat. Hal tersebut dapat memengaruhi kesejahteraan hidup ibu tunggal dan kualitas pengasuhan. Kondisi patologis yang berlanjut dapat mengarah pada pemikiran kematian dan kecenderungan pengabaian pengasuhan (Cox dkk., 2015). Salah satu cara yang dapat dilakukan ibu tunggal untuk meminimalisir kondisi patologis adalah dengan mengembangkan harapan (Monsson, 2010). Harapan didefinisikan sebagai kondisi mental yang positif tentang kemampuan untuk mencapai tujuan di masa mendatang (Lopez & Snyder, 2003). Penelitian ini bertujuan untuk melihat dinamika harapan ibu tunggal yang memiliki anak dengan gangguan autisme pada fase dewasa awal.Penelitian kualitatif ini menggunakan pendekatan studi kasus. Teknik pengambilan sampel adalah sampel bertujuan. Responden merupakan ibu tunggal, memiliki anak dengan gangguan autisme pada fase dewasa awal. Data dikumpulkan dengan melakukan wawancara, observasi, dan penghimpunan dokumen. Data yang terkumpul dianalisis menggunakan sistem koding, terdiri dari koding terbuka, aksial, dan selektif (Strauss, 2003). Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dinamika harapan terdiri dari fase penurunan level harapan, fase membangun harapan, dan proses harapan. Kondisi anteseden dan faktor harapan memengaruhi dinamika harapan dalam penelitian ini.
Kata kunci: dinamika harapan, ibu tunggal, gangguan autisme pada fase dewasa awal
Being single mother having autism child can cause anxiety and maternal depression (Orsmond dkk., 2007). As far as the age increase, the stressor that single mother held will increase too. The stressor can influence single mother’s well-being and caring quality. The continuity of pathologic conditions can led into death concern and caring neglected tendencies (Cox dkk., 2015). Nurturing hope is one of another way that can use by single mother to minimalize pathologic conditions (Monsson, 2010). Hope defined as positive mental state about the ability to reach the goal in the future (Lopez & Snyder, 2003). The aim of this study is to determine the dynamics of hope on single mother having autism child at early adulthood phase.This qualitative research is using case study approach and the sampling technique is purposive sampling. Respondent of this study is a single mother having autism child at early adulthood phase. The data gathered by interviewing, observing, and collecting documents. It were analyzed by coding system consist of open coding, axial coding, and selective coding (Strauss, 2003). The result of this study shows that hope’s dynamics consist of decreased level of hope phase, nurturing hope phase, and hope’s process. Antecedent condition and hope’s factors were influencing the hope’s dynamics in this study.
Keywords: hope’s dynamics, single mother, autism at early adulthood phase
LATAR BELAKANG
Sosok ibu diketahui lebih banyak menginvestasikan tenaga dan sumber daya yang dimiliki untuk kesejahteraan anak bila dibandingkan dengan sosok ayah (Smith dkk., 2009). Kondisi menjadi ibu yang mengasuh anak tanpa kehadiran sosok suami atau umum disebut ibu tunggal, mengasumsikan tanggung jawab untuk mengasuh anak-anak setelah kematian pasangan, perceraian, atau kelahiran anak di luar nikah (PEKKA, 2015). Ketiadaan sosok suami menyebabkan ibu tunggal memiliki peran dan tanggung jawab yang besar seperti bertanggungjawab terhadap kesehatan dan well-being diri sendiri maupun keluarga (Hashim, Azmawati, & Endut, 2015).
Peran, tanggung jawab, dan krisis yang dialami ibu tunggal akan lebih kompleks apabila ibu tunggal memiliki anak berkebutuhan khusus, terutama anak dengan gangguan autisme (Abbeduto dkk., 2004; Totsika, Hastings, & Emerson, 2011).Anak dengan gangguan autisme memiliki gangguan yang lebih kompleks bila dibandingkan dengan anak berkebutuhan khusus yang lain, seperti gangguan komunikasi, gangguan interaksi sosial, dan perilaku repetitif (Davidson, Neale, & Kring, 2012). Isu-isu krisis yang memengaruhi kesehatan mental ibu yang memiliki anak dengan gangguan autisme terdiri dari stres, multiple stressors, merasa tidak tertolong, merasa tidak mampu memberikan pengasuhan dengan baik, kurang dukungan baik secara sosial maupun finansial, merasa tidak dapat memahami anak dengan baik, hubungan pernikahan yang rusak, dan kecemasan akan kematian (Weiss, Wingsiong, & Lunsky, 2014).
Ibu tunggal yang memiliki anak dengan gangguan autisme dan mengalami krisis-krisis yang kompleks memerlukanrespite care atau penyedia layanan pengasuhan dan terapi bagi anak dengan gangguan autisme, terutama yang sudah memasuki fase dewasa awal. Hal tersebut diperlukan agar ibu memiliki kesempatan untuk beristirahat sejenak dari rutinitas pengasuhan (Christie, 2014; Dyches dkk., 2015). Salah satu instansi pemerintah untuk penanganan autisme yang sedang berkembang di Indonesia adalah Pusat Layanan Autis (PLA). Di Bali terdapat satu PLA yang bertempat di Kota Denpasar.
Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan di PLA Kota Denpasar diketahui bahwa orangtua yang menerapi anak di PLA umumnya mengalami kecemasan tentang masa depan anak dengan gangguan autisme. Kecemasan umumnya berkaitan dengan kematian dan pengasuhan anak. Adapun ibu tunggal yang menjadi responden dalam penelitian ini yaitu EM menyatakan khawatir terhadap kematian karena memikirkan orang yang akan mengasuh anak EM, yaitu ALK, yang mengalami gangguan autisme bila EM telah meninggal. Krisis lain yang EM adalah kendala finansial (Pratiwi, 2016).
EM dapat dikatakan mengalami kondisi ketidakpastian dan risiko. Ketidakpastian merujuk pada kondisi ALK yang mengalami gangguan autisme sehingga sulit untuk memprediksi proses perkembangan ALK sesuai usia. Risiko merujuk pada usia EM yang semakin bertambah sehingga apabila EM meninggal, EM tidak tahu sosok yang akan mengasuh ALK. Kondisi ketidakpastian dan risiko kemudian memunculkan harapan pada EM, yang berharap agar ALK dapat mandiri. Mandiri yang EM maksud adalah agar ALK dapat mengurus diri sendiri tanpa bantuan penuh dari orang lain.
Harapan merupakan konsep yang menggambarkan kondisi mental positif dan merupakan interaksi dari proses kognitif (merencanakan cara mencapai tujuan) dan emosi (keyakinan diri untuk mencapai tujuan). Harapan merupakan suatu tujuan yang diwujudkan karena manusia memiliki kemampuan untuk melakukan suatu rencana untuk mencapai harapan dan memacu diri untuk mewujudkan harapan (Lopez & Snyder, 2003).
Harapan terdiri dari interaksi timbal balik antara tujuan, pathway thinking, dan agency thinking. Pathway thinking atau waypower merupakan kemampuan seseorang untuk mengembangkan suatu jalur dan mampu untuk membuat rencana-rencana sukses untuk mencapai tujuan yang diinginkan (Lopez, 2009; Lopez & Snyder, 2003; Snyder dkk., 1991). Agency thinking didefinisikan sebagai kapasitas dan perasaan yakin untuk mencapai tujuan, baik di masa lalu, masa kini, maupun masa yang akan datang (Lopez, 2009; Lopez & Snyder, 2003; Snyder dkk., 1991).
Interaksi yang berlangsung antara tujuan, pathway thinking dan agency thinking juga dipengaruhi oleh hambatan, emosi, dan stresor. Hambatan, emosi, dan stresor dapat membuat individu semakin terpacu untuk mencapai harapan melalui berbagai jalan atau menyebabkan individu mengalami demotivasi. Emosi positif dipandang penting untuk meningkatkan persepsi individu terkait harapan yang akan terwujud. Harapan ibu yang memiliki anak dengan gangguan autisme menjadi faktor penting dalam koping positif yang dilakukan ibu (Monsson, 2010). Harapan dapat merefleksikan motivasi ibu yang berorientasi pada masa depan terkait tujuan yang diinginkan untuk anak dengan gangguan autisme. Individu dengan penuh harapan lebih dapat mengidentifikasi jalur produktif untuk mencapai tujuan yang diinginkan, memanajemen dan mengatasi stres (Hellman, Worley, & Munoz, 2014).
Harapan dapat memengaruhi dan dipengaruhi oleh kondisi yang dialami manusia, sehingga harapan menjadi suatu konstruk yang dinamis. Harapan dapat juga mengalami fluktuasi, seperti terbentuknya proses harapan yang adekuat, terjadinya nurturing hope, dan terjadinya loss hope. Kondisi ketiadaan harapan, atau the loss hope merujuk pada proses hilangnya harapan. Kondisi the loss hope dapat terjadi bila
individu dihadapkan pada kondisi tidak mampu mengembangkan alternatif-alternatif jalan lain untuk mencapai tujuan atau mengembangkan tujuan lain. Kondisi nurturing hope merujuk pada proses membangun harapan, dapat terjadi apabila individu ingin mengembangkan harapan yang sudah ada atau mengembangkan harapan baru (Snyder, 2002). Perubahan proses harapan serta terjadinya loss hope dan/atau nurturing hope dapat dipengaruhi oleh surprise event dalam kehidupan manusia, seperti dalam kasus yang telah dipaparkan sebelumnya yaitu anak terdiagnosis autisme dan menjadi ibu tunggal.
Harapan dapat menjadi mediator yang membantu ibu tunggal dalam mengembangkan afek positif dan tetap memberikan pengasuhan pada anak dengan gangguan autisme (Monsson, 2010). Harapan dapat menjadi sumber kekuatan bagi ibu yang berada dalam kondisi sedih dan tertekan (Marcel dalam Lopez & Snyder, 2003). Harapan juga menjadi mediator dalam pencapaian tujuan dan meningkatkan kepuasan hidup (Bronk, Hill, Lapsley, Talib, & Finch, 2009). Persepsi terhadap harapan dapat menengahi hubungan antara stres terkait disabilitas dan maladjustment, harapan juga dapat memberikan sugesti efek penangkal ketika kadar stres cukup tinggi (Horton & Wallander, 2001).
Kondisi menjadi ibu tunggal yang memiliki anak dengan gangguan autisme pada usia dewasa awal menjadi latar belakang dalam penelitian ini. Harapan menjadi salah satu mediator yang berperan dalam proses perjalanan hidup ibu tunggal dalam mengasuh anak dengan gangguan autisme. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk menggali dinamika harapan dalam perjalanan kehidupan ibu tunggal yang memiliki anak dengan gangguan autisme pada fase dewasa awal.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Penelitian kualitatif merupakan suatu proses memperoleh pemahaman tentang masalah sosial humaniora yang diselengggarakan dalam latar penelitian yang alamiah(Cresswell dalam Santoso & Royanto, 2009). Studi kasus merupakan penelitian mendalam untuk menginvestigasi topik empiris dengan menggunakan serangkaian prosedur praspesifik (Yin, 2003).Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus dengan tipe penelitian kasus tunggal embedded(Yin, 2003). Dasar pertimbangan dari pendekatan tersebut adalah penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika harapan ibu tunggal yang memiliki anak dengan gangguan autisme pada fase dewasa awal. Subunit-subunit yang akan digali dalam penelitian ini meliputi kronologis menjadi ibu tunggal, kronologis mengetahui anak mengalami gangguan autisme, dan dinamika harapan ibu tunggal terkait kondisi anak dengan gangguan autisme yang pada saat
dilakukan wawancara sudah berada pada fase perkembangan dewasa awal.
Karakteristik Responden
Penelitian ini menggunakan satu responden, yaitu ibu tunggal yang memiliki anak dengan gangguan autisme pada fase dewasa awal. Berikut tabel yang menguraikan karakteristik responden penelitian.
Lokasi Pengambilan Data
Lokasi pengambilan data penelitian dilakukan di PLA Kota Denpasar dan di rumah responden yang berada di kawasan Denpasar Selatan.
Teknik Pengambilan Data
Proses pengumpulan data dilakukan dengan triangulasi, yaitu teknik penggalian data dengan menggabungkan berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data yang telah ada (Sugiyono, 2014). Triangulasi dalam penelitian ini dilakukan dengan dua cara, yaitu triangulasi sumber dan triangulasi teknik. Triangulasi sumber dilakukan dengan menggali data melalui EM dan beberapa informan, dengan metode penggalian data yang sama. Triangulasi teknik dengan menggunakan beragam teknik pengumpulan data seperti wawancara, observasi, dan penghimpunan dokumen. EM berfungsi sebagai penyedia informasi primer dan informan sebagai penyedia informasi sekunder. Rangkuman pengambilan data dalam penelitian ini dapat dilihat pada lampiran 4.
Teknik Analisis Data
Analisis data hasil wawancara, observasi, dan dokumen pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik koding yang dikembangkan oleh Strauss dan Corbin,terdiri dari tiga tahap, yaitu koding terbuka, koding aksial, dan koding selektif (Strauss, 2003). Proses koding dikombinasikan dengan model analisis data metode perbandingan tetap yang terdiri dari reduksi data, kategorisasi data, sintesisasi, dan hipotesis kerja (Moleong, 2004).
-
a. Proses koding terbuka
Proses koding terbuka dilakukan dengan memberikan kode pada pecahan-pecahan data hasil wawancara maupun observasi (Strauss, 2003). Proses koding terbuka tergolong ke dalam reduksi data pada model analisis data metode perbandingan tetap. Kategori yang dihasilkan
merupakan bagian dari tahap kategorisasi pada model analisis data metode perbandingan tetap.
-
b. Proses koding aksial
Koding aksial dapat diilustrasikan sebagai seperangkat catatan koding terbuka yang kemudian dikelompokkan ke dalam satu kategori inti yang sejalan dan sesuai dengan koding terbuka yang telah dibuat (Strauss, 2003). Proses koding aksial tergolong ke dalam sintesisasi pada model analisis data metode perbandingan tetap.
-
c. Proses koding selektif
Koding selektif merupakan proses menarik tema dari kategori-kategori yang telah dihasilkan pada proses koding aksial. Tema yang diperoleh dari proses koding selektif kemudian dielaborasikan dengan suatu teori yang memiliki keterkaitan secara struktural maupun interaksional dengan koding selektif yang telah dibuat (Strauss, 2003). Hasil dari koding selektif tergolong ke dalam tahap hipotesis kerja pada model analisis data metode perbandingan tetap.
Kredibilitas Penelitian
Upaya peningkatan kredibilitas dengan cara melakukan perpanjangan pengamatan, peningkatan ketekunan pengamatan, triangulasi, diskusi dengan sejawat, analisis kasus negatif, dan pengecekan anggota. Keseluruhan proses peningkatan kredibilitas dilakukan peneliti sejak melakukan penggalian data hingga tahap analisis data selesai.
Isu Etik
Isu etik dalam penelitian ini mencakup persiapan penelitian seperti telaah teori dan perancangan panduan wawancara yang kemudian dilanjutkan dengan studi pendahuluan. Perizinan dengan pihak yang memiliki wewenang maupun instansi lain sebagai penjamin pelaksanaan penelitian dilakukan atas dasar perlindungan hukum. Memberikan penjelasan pelaksanaan penelitian pada calon partisipan, persiapan informed concent, dan kesepakatan untuk kontak dengan calon partisipan penelitian. Pelaporan dan publikasi dilakukan dengan mengikuti kaidah dalam panduan skripsi Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana (Himpunan Psikologi Indonesia [HIMPSI], 2010).
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan proses analisis data yang telah dilakukan, diperoleh hasil penelitian sebagai berikut.
Berdasarkan gambar di atas, diketahui bahwa kondisi anteseden dan faktor-faktor harapan memengaruhi dinamika harapan EM. Harapan EM adalah agar ALK dapat mandiri. Harapan EM mengalami fluktuasi sehingga membentuk dinamika harapan seperti gambar berikut.
Penjelasan dinamika harapan secara terperinci sebagai berikut.
Fase penurunan level harapan dapat dilihat pada gambar berikut.
EM mengalami multiple stressor dan tidak menemukan alternatif lain untuk mengatasi multiple stressor yang dialami. Kondisi stres mengakibatkan EM tidak yakin dan bersemangat dalam pencapaian tujuan untuk ALK, yaitu mandiri. Kondisi ketidakyakinan merujuk pada kelelahan dan kecenderungan penurunan motivasi akibat tidak tercapainya tujuan. Kondisi lelah dan keinginan untuk beristirahat dari rutinitas pengasuhan dapat mengarah kepada kecenderungan mengabaikan.
Fase penurunan level harapan tidak serta merta membuat EM mengalami kehilangan harapan (the loss hope). Kesadaran terhadap harapan membuat EM tetap mempertahankan
pengasuhan bagi ALK. Kesadaran EM terkait harapan nampak pada peran harapan, pentingnya harapan, dan makna harapan bagi EM.
EM mengatakan bahwa harapan penting dimiliki karena dengan harapan, manusia dapat bertahan dari cobaan. Harapan memberikan kekuatan yang cenderung membuat EM mengembangkan afek positif, sehingga selama 16 tahun mengasuh ALK, EM selalu dapat mengusahakan pengasuhan dan terapi untuk ALK.
Harapan juga memiliki peran terhadap kemampuan koping, penyesuaian diri, dan penerimaan EM terhadap kondisi yang EM alami. Harapan cenderung berperan pada EM dalam melakukan koping emosional. Terkait dengan penyesuaian diri, harapan cenderung berperan pada EM sebagai faktor yang membuat EM tetap memberi pengasuhan untuk ALK walau mengalami emosi negatif pasca kepergian mantan suami. Harapan berperan dalam penerimaan EM karena keberadaan harapan memberikan EM kesempatan untuk menerima segala kondisi baik atau buruk yang terjadi pada EM, dan tetap menjalankan perilaku harapan untuk mencapai tujuan.
Harapan memiliki makna sebagai faktor penggerak EM untuk tetap berusaha memberikan pengasuhan yang adekuat bagi ALK sejak ALK terdiagnosis ADHD hingga ALK sudah memasuki fase dewasa awaldan terdiagnosis gangguan autisme.
Fase EM membangun harapan dimulai dengan mencari atau memperoleh informasi terkait pengalaman orangtua yang memiliki anak dengan gangguan autisme. Informasi positif yang diterima EM cenderung dapat meningkatkan agency thinking. EM tetap mempertimbangkan tujuan yang mudah dan tepat untuk dicapai ALK.Tujuan yang telah ditetapkan adalah agar ALK mandiri. Tujuan menuntun EM untuk mempersiapkan cara-cara yang harus ditempuh untuk meningkatkan kemampuan bina diri ALK (pathway thinking). Fase membangun harapan dapat dilihat pada gambar berikut.
Faktor-faktor yang memengaruhi EM dalam membangun harapan terdiri dari dukungan sosial, religiusitas, dan kontrol, merujuk pada lampiran 7. Diketahui juga bahwa EM memiliki harapan lain yaitu keberadaan sosok suami. Harapan lain yang nampak adalah agar dapat tinggal bersama dengan GR, anak kedua EM yang diasuh oleh kakak
EM.Dapat juga dikatakan bahwa ada beberapa sumber harapan bagi EM yaitu religiusitas, teman, dan media sosial.
Religiusitas merujuk pada aspek-aspek spiritual di luar diri EM yang dipercayai EM memengaruhi kehidupan EM saat ini. EM nampak meyakini Tuhan sebagai sumber kekuatan bagi EM dalam memberikan pengasuhan untuk ALK. Saat EM merenung dalam situasi yang sulit, EM mengatakan mendapatkan rejeki. Hal tersebut mengindikasikan bahwa Tuhan adalah sumber harapan bagi EM.
Teman juga menjadi salah satu sumber harapan bagi EM. Teman yang dimaksud dalam penelitian ini meliputi pihak-pihak yang dipercaya oleh EM untuk berbagi terkait kondisi anak maupun kondisi personal. EM mengatakan lebih sering berbagi cerita dan informasi dengan MR, sedangkan untuk terapis cenderung kepada BS karena BS sebagai penanggungjawab terapi ALK.
Media sosial dapat memberikan banyak informasi baru dan tak terbatas, termasuk cerita-cerita inspiratif terkait kesuksesan orangtua dalam membesarkan anak yang mengalami gangguan autisme. Media sosial juga menjadi perantara bagi EM dan orangtua yang memiliki anak dengan gangguan autisme untuk saling terhubung dan melakukan sharing terkait kondisi anak yang mengalami gangguan autisme.
Latar belakang kehidupan EM, merujuk pada lampiran 5 dan 6, memengaruhi harapan EM terkait dengan kondisi EM sebagai ibu tunggal dan kondisi ALK yang mengalami gangguan autisme. Harapan EM adalah agar ALK dapat mandiri. EM mengatakan tidak berani memiliki harapan lain karena takut merasa kecewa bila harapan tidak dapat terwujud. Hal lain yang EM sampaikan berhubungan dengan kemandirian ALK adalah agar ALK dapat memahami sopan santun. Proses harapan EM digambarkan sebagai berikut.
Proses harapan EM diawali dengan pemikiran harapan yang terdiri dari perencanaan terhadap ALK (pathway thinking) dan keyakinan diri serta motivasi yang mendukung (agency thinking). Proses harapan akan memunculkan ide terkait tujuan. Komitmen terhadap tujuan tidak secara langsung memunculkan perilaku harapan. Penilaian subjektif merujuk pada lampiran 6, yang akan memengaruhi perilaku harapan EM.
Perilaku harapan adalah proses realisasi EM dari pemikiran harapan yang terdiri dari perencanaan terhadap ALK (pathway thinking) dan keyakinan diri serta motivasi yang mendukung (agency thinking). Berdasarkan hasil penggalian data, diketahui bahwa EM menunjukkan realisasi pathway thinking yang cenderung cukup, sedangkan agency thinking yang cenderung rendah.
Perilaku harapan dan penilaian subjektif berinteraksi timbal balik.Salah satu hal yang dapat menginterupsi dan memengaruhi perilaku harapan maupun penilaian subjektif adalah kejadian tak terduga (surprise event). Perilaku harapan yang dimunculkan dapat terhambat oleh stresor-stresor. Stresor yang muncul ditanggapi EM sebagai sesuatu yang harus diikhlaskan. Tahap akhir dari proses harapan adalah tujuan, baik dicapai maupun tidak dicapai.
Berdasarkan dinamika harapan yang telah dipaparkan di atas, maka dapat dirangkum bahwa dinamika harapan EM dipengaruhi oleh kondisi anteseden, faktor-faktor harapan dan kejadian tak terduga yang dialami EM. Perilaku harapan yang EM munculkan cenderung tidak selalu adekuat walaupun EM sedang dalam fase membangun harapan, karena kondisi anteseden dan faktor-faktor harapan cenderung membuat EM kurang yakin dan mengalami kelelahan dalam melakukan perilaku harapan. Rangkuman hasil penelitian dapat dilihat pada gambar berikut.
PEMBAHASAN
Berkaitan dengan kompleksitas karakteristik anak dengan gangguan autisme dan krisis-krisis yang dialami ibu tunggal, ibu tunggal mengalami kondisi penuh risiko dan kondisi-kondisi ketidakpastian. Kondisi penuh risiko seperti kesehatan anak, perilaku anak serta ketidakpastian seperti
pengasuhan anak dengan gangguan autisme dan finansial dapat membuat ibu tunggal berada pada situasi tidak tertolong (Marcel dalam Lopez & Snyder, 2003). Kondisi tidak tertolong merujuk pada munculnya harapan ibu tunggal. Harapan ibu tunggal terkadang mengalami fluktuasi, sehingga tampak dinamika harapan ibu tunggal dalam penelitian ini diawali pada kondisi penurunan level harapan, kemudian membangun harapan, dan terakhir adalah tercapainya proses harapan.
Fase penurunan level harapan ibu tunggal nampak sedikit berbeda dengan teori the loss hope oleh Snyder (2002). Penurunan level harapan terjadi ketika ibu tunggal mengalami multiple stressorsdan tidak menemukan alternatif lain untuk mengatasi multiple stressorsyang dialami. Snyder (2002) menjelaskan kondisi the loss hope diawali dengan pergolakan emosi negatif dan keputusasaan. Hal yang terjadi pada ibu tunggalnampak berbeda yang dapat disebabkan oleh nilai-nilai yang diyakini dalam menjaga harapan tetap ada, yaitu ikhlas. Ikhlas dapat membantu individu dalam menerima kejadian yang sudah berlalu, sehingga tidak terdapat emosi negatif yang berlebihan (Rohman, 2013).
Ibu tunggalmampu mempertahankan harapan juga disebabkan oleh kesadaran terhadap harapan. Kesadaran ibu tunggalterhadap harapan dibagi menjadi tiga bagian, yaitu peran harapan, pentingnya harapan, dan makna harapan. Peran harapan nampak pada proses koping, penyesuaian diri, dan penerimaan. Memiliki harapan dalam menghadapi ketidakpastian sangat penting dalam proses penyesuaian dan berkorelasi dengan cara individu berpikir terkait tujuan (Truitt, Biesecker, Capone, Bailey, & Erby, 2012). Harapan dapat menguatkan individu dalam menghadapi kesedihan dan stres selama pengasuhan anak dengan gangguan autisme (Monsson, 2010).
Setelah mengalami fase penurunan level harapan, ibu tunggalmengalami fase membangun harapan. Fase membangun harapan yang dialami ibu tunggaldalam penelitian ini tidak berbeda jauh dengan teori nurturing hope oleh Snyder (1995). Sejalan dengan hasil penelitian Hellman dkk. (2014) bahwa dalam membangun atau mengembangkan harapan, individu perlu untuk mendeskripsikan tujuan spesifik yang memungkinkan untuk diraih. Ibu tunggalmendeskripsikan tujuan spesifik agar anak autisme yang dimiliki dapat mandiri, dalam hal ini mampu membuka dan menggunakan baju sendiri dengan konsisten.
Tujuan yang telah ditetapkan menggiring ibu tunggaluntuk mempersiapkan cara-cara yang harus ditempuh untuk meningkatkan kemampuan bina diri anak dengan gangguan autisme (pathway thinking). Fase membangun harapan yang dijalani ibu tunggalmemberikan informasi
terkait sumber-sumber harapan. Sumber harapan ibu tunggal dibagi ke dalam tiga bagian yaitu religiusitas, teman, dan media sosial.
Kepercayaan dan keyakinan terhadap Tuhan memberikan kebermaknaan hidup serta meningkatkan self awareness individu, sehingga individu dapat tetap berfokus pada tujuan hidup (Hidayah, 2013). Dukungan dari pihak penyelenggara pendidikan bagi anak dengan gangguan autisme dapat meringankan stres orangtua, sehingga berdampak pada pengembangan afek positif oleh orangtua untuk meraih tujuan (Duchovic, Gerkensmeyer, & Wu, 2009). Media sosial diketahui dapat menjadi sumber pengetahuan bagi orangtua yang memiliki anak dengan gangguan autisme, sehingga dapat meningkatkan motivasi orangtua dalam memberikan pengasuhan (Asmika, Andarini, & Rahayu, 2006). Motivasi diketahui sebagai salah satu ciri dari agency thinking dalam komponen harapan (Lopez & Snyder, 2003).
Fase membangun harapan yang telah stabil merujuk pada proses harapan. Proses harapan ibu tunggaldiawali oleh pemikiran harapan terkait perencanaan serta keyakinan diri dan motivasi. Pemikiran harapan dipengaruhi oleh kondisi anteseden, yaitu karakteristik anak dengan gangguan autisme dan krisis ibu tunggal. Serupa dengan teori harapan Snyder (Lopez & Snyder, 2003) bahwa pemikiran harapan yang terdiri dari pathway thinking (perencanaan) dan agency thinking (keyakinan diri dan motivasi) dipengaruhi oleh pengalaman individu.
Harapan yang umum muncul pada ibu yang memiliki anak dengan gangguan autisme adalah anak dapat mandiri (Mann, 2013). Hal tersebut serupa dengan pendapat Averill dkk. (dalam Lopez & Snyder, 2003) bahwa harapan dianggap tepat apabila tujuan dari harapan dapat dicapai secara rasional, dapat dikontrol, dipandang penting oleh individu dan dapat diterima pada level sosial maupun moral. Proses harapan dalam hal ini dapat membantu ibu tunggaldalam merefleksikan diri, meyakinkan diri untuk kemandirian anak dengan gangguan autisme dan menangkal stres yang dialami ibu tunggal (Horton & Wallander, 2001).
Berdasarkan pemaparan dinamika harapan di atas, dapat dikatakan bahwa ibu tunggalmemiliki tujuan agar anak dengan gangguan autisme dapat mandiri, tetapi realisasi dari pemikiran harapan ibu tunggalcenderung kurang adekuat. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah kondisi anteseden yang telah ibu tunggaldan anak dengan gangguan autisme alami. Ibu tunggalmemegang sikap ikhlas dalam memberikan pengasuhan dan pendidikan bagi anak autisme serta dalam mempertahankan harapan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Dinamika harapan ibu tunggal yang memiliki anak dengan gangguan autisme pada fase dewasa awal terdiri dari fase penurunan level harapan, fase membangun harapan, dan proses harapan. Fase penurunan level harapan terdiri dari tahap stres, penurunan agency thinking, kelelahan, dan kecenderungan mengabaikan. Fase membangun harapan terdiri dari tahap pencarian informasi, peningkatan agency thinking, merancang tujuan kembali, pathway thinking, dan pemikiran harapan. Proses harapan terdiri dari tahap pemikiran harapan, menetapkan tujuan, penilaian respondentif, perilaku harapan, stresor, dan tujuan.
Saran bagi orangtua yang memiliki anak dengan gangguan autisme agar dapat memahami kebutuhan anak dan mengembangkan harapan demi pengasuhan anak. Orangtua dapat berkolaborasi dengan pendidik atau terapis anak dalam mengembangkan individual educational program (IEP) agar dapat memberikan penanganan tepat untuk mengembangkan kemampuan bina diri anak autisme. Pemerintah juga dapat menyosialisasikan terkait gangguan autisme pada masyarakat untuk meminimalisir pandangan negatif masyarakat terhadap gangguan autisme, serta menyediakan kartu khusus bagi individu dengan gangguan autisme untuk mendapatkan akses fasilitas publik utamanya kesehatan. Pemerintah juga dapat memaksimalkan fungsi PLA, khususnya di Kota Denpasar dengan memberikan pelatihan pada terapis, maupun fungsi pelayanan kesehatan umum agar dapat memahami kondisi klien atau pasien dengan gangguan autisme. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat menggunakan stimulus netral apabila mengalami kesulitan dalam menggali informasi pada responden.
DAFTAR PUSTAKA
Abbeduto, L., Seltzer, M., Shattuck, P., Krauss, M., Orsmond, G., & Murphy, M. (2004). Psychological well-being in mothers of youths with autism, down syndrome, or fragile x syndrome. American Journal on Mental Retardation, 109(3), 237-254.
Asmika, Andarini, S., & Rahayu, R.P. (2006). Hubungan motivasi orangtua untuk mencapai kesembuhan anak dengan tingkat pengetahuan tentang penanganan anak penyandang autisme dan spektrumnya. Jurnal Kedokteran Brawijaya, 22(2)
Christie, J. (2014). Struggling single mother, 40, left suicide note saying she could no longer cope caring for severely autistic son, 16, before killing him and then herself. Diakses pada 12 Februari 2017 dari www.dailymail.co.uk/news/article-2613443/Struggling-single-mother-40-left-suicide-note-saying-she-could-no-longer-cope-caring-for-severely-autistic-son-16-before-killing-him-and-then-herself.html.
Cox, C., Eaton, S., Ekas, N., & Enkevort, E. V. (2015). Death concerns and psychological well-being in mothers of children with autism spectrum disorder. Research in Developmental Disabilities, 229-238.Tersedia di
http://dx.doi.org/10.1016/j.ridd/2015.07.029
Davidson, G. C., Neale, J. M., & Kring, A. M. (2012). Psikologi abnormal (edisi kesembilan). Depok: PT Rajagrafindo Persada.
Duchovic, C. A., Gerkensmeyer, J. A., & Wu, J. (2009). Factors associated with parental distress. Jurnal of Child and Adolescent Psychiatric Nursing, 22(1): 40-48
Dyches, T., Christensen, R., Harper, J., Mandleco, B., & Roper, S. (2015). Respite care for single mothers of children with autism spectrum disorders. Journal of Autism and Developmental Disorders, doi: 10.1007/s10803-015-2618-z, 2-36.
Hartmann, A.L. (2012). Autism and its impact on families. (Clinical research paper, University of Saint Thomas, Minnesota). Diakses dari http://sophia.stkate.edu
Hashim, I., Azmawati, A., & Endut, N. (2015). Stress, roles and responsibilities of single mothers in Malaysia. SHS Web Conference, 18, doi: 10.1051/shsconf/20151803003, 1-8.
Hellman, C., Worley, J., & Munoz, R. (2014). A primer on hope as a theory of change for human service providers. Hope as A Coping Resource, 1-15.
Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI). (2010). Kode etik psikologi Indonesia. Jakarta: Himpunan Psikologi
Indonesia.
Horton, T., dan Wallander, J. (2001). Hope and social support as resilience factors against psychological distress of mothers who care for children with chronic physical conditions. Rehabilitation Psychology, 382-399.
Lopez, S. (2009). The encyclopedia of positive psychology. West Sussex, UK: Wiley-Blackwell.
Lopez, S., & Snyder, C. (2003). Positive psychological assessment: A handbook of models and measures. Washington DC: American Psychological Association.
Mann, A. (2013). The experiences of mothers of children with autism in Jamaica: An exploratory study of their journey.
(Dissertation, University of South Florida, Florida).
Diakses dari
http://scholarcommons.usf.edu/cgi/viewcontentcgi?article
Moleong, L. J. (2004). Metodologi penelitian kualitatif (edisi revisi). Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset.
Monsson, Y. (2010). The effects of hope on mental health and chronic sorrow in parents of children with autism spectrum disorder. (Doctoral Dissertation, University of Kansas, Kansas). Diakses dari https://kuscholarworks.ku.edu/ bitstream/handle/1808/6981/Monsson_ku_0099D_10980_ DATA_1.pdf?sequence=1
Orsmond, G. I., Lin, L-Y., & Seltzer, M. M. (2007). Mothers of adolescents and adults with autism: Parenting multiple children with disabilities. Intelectual and Developmental Disabilities, 45(4): 257-270.
PEKKA. (2015). Pemberdayaan perempuan kepala keluarga. Diakses pada 12 Februari 2017 dari
http://pekka.or.id/index.php/id/tentang-kami/276/pemberdayaan-perempuan-kepala-keluarga-pekka.html
Pratiwi, P.I. (2016). Harapan ibu sebagai orangtua tunggal yang memiliki anak dengan gangguan autisme berusia dewasa awal. (Studi Kasus Program Sarjana, Universitas Udayana, Denpasar). Dokumen tidak dipublikasikan.
Rohmah, I. A. 2013. Kualitas hidup pada ibu yang memiliki anak dengan gangguan spektrum autistik. (Skripsi, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta). Diakses dari http://digilib.uin-suka.ac.id
Santoso, G., & Royanto, L. (2009). Teknik penulisan laporan
penelitian kualitatif. Depok: LPSP3 UI.
Smith, L., Hong, J., Seltzer, M., Greenberg, J., Almeida, D., & Bishop, S. (2009). Daily experiences among mothers of adolescents and adults with autism spectrum disorder. Autism Developmental Disorder. doi: 10.1007/s10803-009-0844-y
Snyder, C.R., Harris, C., Anderson, J.R., Holleran, S.A., Irving, L.M., Sigmon, S.T., dkk. (1991). The will and the ways: Development and validation of an individual-differences measure of hope. Journal of Personality and Social Psychology, 60(4), 570-585
Snyder, C.R., Sympson, S.C., Ybasco, F.C., Borders, T.F., Babyak, M.A., dan Higgins, R.L. (1994). Development and validation of the state of hope scale. Journal of Personality, in press
Snyder, C.R. (1995). Conceptualizing, measuring, and nurturing hope. Journal of Counseling and Development, 73(3), 355360.
Snyder, C.R. (2002). Hope theory: Rainbows in the mind. Psychological Inquiry, 13(4), 249-275.
Strauss, A. (2003). Qualitative analysis for social scientists. Cambridge: Cambridge University Press.
Sugiyono. (2014). Metode penelitian kombinasi (mixed methods). Bandung: Alfabeta.
Totsika, V., Hastings, R., & Emerson, E. (2011). Behavior problems at 5 years of age and maternal mental health in autism and intelectual disability. Journal of Abnormal Child Psychology 39(8), 1137-1147.
Truitt, M., Biesecker, B., Capone, G., Bailey, T., & Erby, L. (2012). The role of hope in adaptation to uncertainty: The experience of caregivers of children with Down Syndrome. Patien Educational Counseling. doi:
10.1016/j.pec.2011.08.015, 87(2)
Weiss, J., Wingsiong, A., & Lunsky, Y. (2014). Defining crisis in families of individuals with autism spectrum disorders. Autism 18(8). doi: 10.1177/1362361313508024, 985-995
Yin, R. (2003). Case study research: design and methods (3rd Ed.). California: Sage Publications Inc.
166
Discussion and feedback