Jurnal Psikologi Udayana

Edisi Khusus Psikologi Positif, 147-158

Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana

ISSN: 2354 5607

MEDITASI MENINGKATKAN REGULASI EMOSI PADAREMAJA

Natassa R. Tejena dan Luh Made Karisma Sukmayanti Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana [email protected]

Abstrak

Pada masa remaja, individu mengalami perubahan emosi. Emosi remaja yang cenderung meledak-ledak dan sulit dikendalikan apabila tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan berbagai masalah bagi remaja dan lingkungan sekitarnya. Untuk itu, remaja membutuhkan kemampuan regulasi emosi. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk melatih regulasi emosi adalah meditasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah meditasi meningkatkan regulasi emosi pada remaja. Penelitian ini menggunakan metode kuasi eksperimen dengan desain penelitian NonEquivalent Group Design. Meditasi yang digunakan adalah meditasi Bali Usada yang terdiri dari meditasi teknik mindfulness dan loving kindness. Subjek dalam penelitian ini adalah remaja berusia 15 sampai dengan 18 tahun atau siswa SMA atau SMK di Denpasar yang diperoleh dengan melakukan two stages cluster sampling. Subjek dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok eksperimen yang terdiri dari 32 orang dan kelompok kontrol yang terdiri dari 31 orang. Kedua kelompok diberikan pre-test berupa skala regulasi emosi. Kemudian, kelompok eksperimen diberikan perlakuan berupa pelatihan meditasi selama sebulan, sedangkan kelompok kontrol tidak diberikan pelatihan. Setelah itu, kedua kelompok diberi post-test berupa skala regulasi emosi.Hasil uji hipotesis dengan Paired Sample t-test menunjukkan nilai signifikansi selisih pre-test dan post-test pada kelompok eksperimen sebesar 0.000yang kurang dari 0.05 (p<0.05) dan nilai signifikansi selisih pre-test dan post-test pada kelompok kontrol sebesar 0.388 yang lebih dari 0.05 (p>0.05). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa meditasi dapat meningkatkan regulasi emosi pada remaja.

Kata Kunci: meditasi, regulasi emosi, remaja.

Abstract

Adolescent’s emotions tend to be explosive and difficult to control that can cause problems for adolescents and the people around. For that reason, adolescents need emotion regulation abilities. One way that can be used to train emotion regulation is meditation. The purpose of this study was to find out whether meditation improves emotion regulation in adolescents. This research uses quasi experimental method with Non-Equivalent Group Design. Meditation that is used is meditation of Bali Usada consisting of mindfulness and loving kindness techniques. Subjects in this study were adolescents aged 15 to 18 years or high school students in Denpasar who obtained by doing two stages cluster sampling.Subjects were divided into two groups: 32 subjects in experimental group and 31 subjects in control group. The two groups were given pre-test in the form of emotion regulation scale. Then, the experimental group was given meditation training for a month, while the control group was not given any training. After that, the two groups were given a post-test in the form of emotion regulation scale. The result of hypothesis test with Paired Sample t-test showed the significance value of pre-test and post-test difference in experiment group is 0.000 which is less than 0.05 (p <0.05) and significance value of pre-test and post-test difference in control group is 0.388 which is more than 0.05 (p> 0.05). Thus it can be concluded that meditation can improve emotion regulation in adolescents.

Keywords: meditation, emotion regulation, adolescent.


LATAR BELAKANG

Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa. Individu pada masa remaja berharap dapat menemukan jati diri, mengembangkan potensi yang dimiliki, memperluas lingkungan sosial dan mempersiapkan diri untuk memasuki masa dewasa. Akan tetapi, harapan dari para remaja tidak dapat terwujud dengan mudah karena terdapat beberapa perubahan dalam hidup remaja, seperti perubahan dalam fisik, emosi dan psikososial (Santrock, 2007). Perubahan emosi yang terjadi pada masa remaja mempunyai pengaruh besar dalam kehidupan para remaja. Emosi remaja cenderung meledak-ledak sehingga menyulitkan remaja sendiri dan lingkungan sekitar remaja terutama orangtua dan guru dalam memahami diri remaja (Sarwono, 2013).

Dengan demikian, remaja memerlukan suatu kemampuan dari dalam diri untuk dapat mengelola emosi-emosi negatif agar dapat melewati masa remaja dengan baik. Kemampuan yang diperlukan oleh remaja adalah kemampuan regulasi emosi. Gratz dan Roemer (2004) mendefinisikan regulasi emosi sebagai konstruk multidimensional yang melibatkan kesadaran, pemahaman dan penerimaan emosi, kemampuan untuk terlibat dalam perilaku yang bertujuan dan mencegah perilaku impulsif ketika mengalami emosi negatif, fleksibelitas dalam menggunakan strategi untuk mengatur intensitas atau durasi dari respons emosional daripada menghilangkan emosi tersebut sepenuhnya dan keinginan untuk mengalami emosi negatif sebagai bagian dari pengalaman hidup yang bermakna.

Kemampuan regulasi emosi sangat dibutuhkan bagi para remaja. Para remaja umumnya memiliki keinginan untuk diterima oleh teman sebaya, dengan memiliki regulasi emosi yang baik, remaja dapat mengelola emosi negatif dan berperilaku dengan cara yang dapat diterima oleh teman sebaya. Penelitian yang dilakukan oleh Nisfiannoor dan Kartika (2004) menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara regulasi emosi dengan penerimaan teman sebaya. Selain bermanfaat dalam hubungan dengan teman sebaya, regulasi emosi juga berkontribusi dalam kesehatan psikologis remaja. Remaja yang memiliki regulasi emosi yang baik dapat mengatasi perasaan sedih, kecewa, dan putus asa sehingga dapat menghindari risiko terjadinya depresi pada remaja. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Betts, Gullone dan Allen (2009) yang menunjukkan bahwa kemampuan regulasi emosi yang baik merupakan salah satu faktor yang dapat mengurangi risiko depresi pada remaja.

Remaja dengan regulasi emosi yang kurang baik rentan untuk mengalami depresi dan kemarahan yang merujuk pada kenakalan remaja dan kesulitan dalam bidang akademis (Santrock, 2007). Remaja yang mempunyai tingkat regulasi emosi yang rendah tidak mampu mengelola emosi negatif sehingga emosi negatif yang sedang dialami mendominasi diri

remaja dan menghasilkan berbagai perilaku yang termasuk dalam kenakalan remaja. Hasil penelitian menunjukkan semakin tinggi tingkat regulasi emosi seorang remaja, maka semakin rendah tingkat kenakalan remaja (Faridh, 2008). Selain itu, emosi yang sedang dialami remajadapat memengaruhi pengambilan keputusan pada remaja. Kemampuan regulasi emosi yang rendah dapat membuat remaja tidak berpikir panjang akan konsekuensi dari sebuah keputusan sehingga remaja mengambil keputusan yang salah. Penelitian yang dilakukan oleh Nurhasanah (2014) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara strategi regulasi emosi dengan gaya pengambilan keputusan pada anak didik tindak pidana narkoba di Lapas Anak Pria di Tangerang.

Selain berhubungan dengan kenakalan remaja, regulasi emosi juga berkontribusi dalam prestasi para remaja. Saat mengalami kegagalan, remaja yang memiliki regulasi emosi yang baik dapat mengelola perasaan kecewa dan memiliki pandangan bahwa kegagalan adalah sebuah tantangan untuk mencoba kembali. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wahyuni (2013) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara regulasi emosi dan motivasi berprestasi pada remaja.

Melalui kasus-kasus kenakalan remaja yang terjadi di Indonesia dapat dilihat bahwa belum semua remaja mempunyai kemampuan regulasi emosi yang baik. Kenakalan remaja dapat berupa perilaku tawuran, penyalahgunaan narkoba, dan tindakan kriminal. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) pada tahun 2015, tercatat sebanyak 921.695 orang pengguna narkoba yang masih berstatus pelajar dan mahasiswa (Anggriawan, 2014). Pada tahun 2014 Komisi Nasional Perlindungan Anak menerima 2.737 kasus atau 210 setiap bulannya termasuk kasus kekerasan dengan pelaku anak-anak, termasuk tawuran antar siswa yang naik hingga 10 persen dari tahun sebelumnya dan diprediksi akan meningkat pada tahun-tahun berikutnya (Anoraga, 2015).Salah satu kasus tawuran remaja yang baru saja terjadi adalah kasus tawuran antar dua kelompok pelajar di Bogor pada tanggal 28 Maret 2016. Tawuran yang terjadi mengakibatkan salah satu pelajar terkena bacok di bagian kepaladan meninggal dunia (Saudale, 2016).

Kota Denpasar juga tidak luput dari kasus perilaku menyimpang yang dilakukan oleh remaja sehingga kemampuan regulasi emosi remaja di Denpasar perlu diperhatikan. Sebagai contoh, kasus seorang remaja yang menikam temannya di Panjer karena memiliki dendam (Sukiswanti, 2015), kasus penusukan yang dilakukan oleh remaja yang berasal dari sebuah geng motor (Detail Berita, 2015) dan kasus bunuh diri seorang remaja perempuan berumur 15 tahun di Padang Sambian karena dilarang berpacaran oleh orangtua (Suwiknyo, 2015). Perilaku menyimpang yang dilakukan oleh remaja salah satunya terjadi karena remaja kurang dapat mengendalikan diri dan

membiarkan emosi mengambil alih keputusan untuk bertindak.

Berdasarkan kasus-kasus perilaku menyimpang pada remaja yang telah disebutkan, dapat dilihat bahwa remaja membutuhkan sebuah sarana untuk meningkatkan regulasi emosi. Salah satu sarana yang dapat digunakan adalah meditasi. Meditasi merupakan teknik atau metode latihan yang bertujuan untuk melatih perhatian guna meningkatkan kesadaran, yang selanjutnya dapat membuat proses-proses mental menjadi lebih terkontrol (Walsh,1983). Penelitian-penelitian terdahulu menunjukkan bahwa meditasi memberikan manfaat pada remaja, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Maharani (2013) yang menunjukkan bahwa pelatihan meditasi memberi pengaruh terhadap penurunan tingkat distres remaja yang mengalami kehamilan pranikah. Penelitian lain yang dilakukan oleh Evan-Chase (2013) menunjukkan bahwa pelatihan meditasi untuk remaja yang di penjara dapat meningkatkan kemampuan regulasi diri remaja tersebut.

Penelitian-penelitian terdahulu juga menunjukkan beberapa bukti bahwa meditasi berkontribusi secara positif terhadap emosi individu, seperti penelitian yang dilakukan oleh Baskara, Soetjipto, dan Atamimi (2015) yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kecerdasan emosi pada individu yang mengikuti program meditasi dan individu yang tidak mengikuti program meditasi. Selain itu, terdapat penelitian yang dilakukan oleh Menezes, dkk. (2013) yang menunjukkan bahwa meditasi terbukti dapat menurunkan emosi negatif dan kecemasan pada mahasiswa.

Salah satu perkumpulan yang dapat dikunjungi untuk belajar meditasi di Bali adalah Bali Usada. Bali Usada merupakan sebuah perkumpulan meditasi yang didirikan oleh Merta Ada pada tanggal 14 Agustus 1993 di Bali. Teknik meditasi di Bali Usadadibuat berdasarkan lontar-lontar kuno di Bali, ajaran dari beberapa guru meditasi dan penyembuh tradisional, berbagai buku pengetahuan serta pengalaman Merta Ada sebagai penyembuh (Perkumpulan Bali Usada, 2016). Menurut Ada (2014) meditasi merupakan sebuah teknik yang dapat digunakan oleh individu untuk melatih pikiran agar menjadi lebih kuat sehingga individu lebih tenang dalam menghadapi hidup. Meditasi Bali usada bertujuan untuk melatih pikiran agar menjadi harmonis yang dapat digunakan untuk menyehatkan badan, menenangkan pikiran dan melepaskan reaksi buruk dari memori yang kurang menyenangkan. Meditasi Bali Usada terdiri dari meditasi mindfulness dan loving kindness.

Menurut Brown, Ryan, dan Creswell (dalam Ciarrochi, Bilich, & Godsell, 2010), meditasimindfulness dapat membuat seseorang memiliki kemampuan dalam menyesuaikan kebutuhan, perasaan, nilai-nilai yang sesuai dengan situasi tertentu. Penelitian yang mendukung bahwa meditasi mindfulness berperan dalam emosi adalah penelitian

yang dilakukan oleh Goldin dan Gross (2010) yang menunjukkan bahwa individu yang diberikan pelatihan meditasi mindfulnessmenunjukkan penurunan pengalaman emosi negatif.Terdapat juga penelitian oleh Arch dan Craske (2006) yang menunjukkan bahwa individu yang melakukan meditasi mindfulness menunjukkan tingkat emosi negatif yang lebih rendah, emosi riang yang lebih tinggi dan lebih mampu untuk beradaptasi dengan stimulus negatif.

Selain meditasi mindfulness, teknik meditasi yang digunakan adalah loving kindness. Melalui meditasi loving kindness individu dapat mengendalikan emosi-emosi negatif dan meningkatkan emosi-emosi positif. Penelitian yang dilakukan oleh Kearney, dkk. (2014) menunjukkan bahwa meditasi loving kindness dapat meningkatkan emosi-emosi positif pada individu yang mengalami gangguan stres pascatrauma. Latihan loving kindness membantu individu untuk mengembangkan perasaan positif serta merangkul semua aspek dalam diri sendiri dan orang lain tanpa syarat, yang merupakan jalan untuk mengalami inner peace dan kebahagiaan (Brantley & Hanauer, 2008). Hal tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Kharina dan Saragih (2013) yang menunjukkan bahwa individu yang melakukan meditasi loving kindness memiliki self-compassion yang lebih tinggi dibanding yang tidak bermeditasi. Penelitian lain membuktikan bahwa meditasi loving kindness dapat meningkatkan resiliensi dan well being individu (Seppala, Hutcherson, Nguyen, Doty, & Gross, 2014).

Melalui pemaparan masalah yang telah disebutkan, dapat dikatakan bahwa pada masa remaja individu mengalami beberapa perubahan, salah satunya adalah perubahan emosi. Perubahan emosi yang terjadi pada masa remaja mempunyai pengaruh besar dalam kehidupan para remaja. Emosi remaja cenderung mudah berubah dan terkadang cenderung ekstrim, dari yang sebelumnya merasa sangat senang, karena suatu hal kecil berubah menjadi sangat sedih. Ketika sedang diikuti emosi marah ataupun sedih yang sangat kuat, kemungkinan besar remaja akan melakukan perbuatan yang tidak didahului oleh akal sehat. Untuk mengatasi masalah-masalah remaja yang disebabkan oleh perubahan emosi, dibutuhkan kemampuan untuk meregulasi emosi. Salah satu cara untuk meningkatkan kemampuan regulasi emosi adalah meditasi. Meditasi yang dapat digunakan adalah meditasi Bali Usada yang terdiri dari teknik mindfulness dan loving kindness. Hasil-hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa latihan meditasi dengan teknik mindfulness dan loving kindness dapat berkontribusi terhadap kemampuan regulasi emosi individu. Pemaparan mengenai berbagai masalah yang terjadi pada remaja yang salah satunya ditimbulkan oleh perubahan emosi, dan hasil dari penelitian sebelumnya yang mendukung bahwa meditasi dapat meningkatkan regulasi emosi, melatarbelakangi ide penelitian ini yaitu “Meditasi Meningkatkan Regulasi Emosi pada Remaja”. Diharapkan dengan penelitian ini,

remaja dapat meningkatkan kemampuan regulasi emosi dengan mengikuti meditasi.

METODE PENELITIAN

Variabel dan Definisi Operasional

Variabel bebas dari penelitian ini adalah meditasi dan variabel tergantung dari penelitian ini adalah regulasi emosi remaja. Definisi Operasional dari variabel-variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

  • 1.    Meditasi

Meditasi dalam penelitian ini merupakan meditasi Bali Usada yang terdiri dari dua teknik yaitu mindfulness dan loving kindness. Meditasi mindfulness merupakan meditasi yang mengajarkan individu untuk menyadari dan menerima keadaan saat ini tanpa menghakiminya. Teknik kedua adalah meditasi loving kindness. Meditasi loving kindness merupakan meditasi yang membantu individu untuk mengembangkan perasaan cinta kasih kepada diri sendiri dan semua mahluk hidup tanpa syarat.

Meditasi Bali Usada terdiri delapan kali pertemuan yang dilakukan seminggu dua kali. Rangkaian meditasi yang lengkap berlangsung selama 25 menit, terdiri dari 20 menit melakukan meditasi mindfulness yaitu 10 menit mengamati nafas dan 10 menit mengamati sensasi tubuh serta lima menit melakukan meditasi loving kindness.

  • 2.    Regulasi Emosi Remaja

Regulasi emosi remaja merupakan kemampuanuntuk menyadari, memahami, menerima dan mengatur intensitas emosi yang dapat membantu remaja untuk melaksanakan tugas-tugas perkembangannya. Regulasi emosi remaja diukur berdasarkanempat aspek menurut Gratz dan Roemer (2004), yaitu: kemampuan menyadari dan memahami emosi, kemampuan menerima emosi yang dialami, kemampuan mengontrol perilaku impulsif dan tetap berperilaku untuk mencapai tujuan yang diinginkan ketika mengalami emosi yang negatif, dan kemampuan menggunakan strategi regulasi emosi yang pantas sesuai dengan situasi secara fleksibel agar respons emosional yang dimunculkan sesuai dengan yang diinginkan guna mencapai tujuan pribadi dan tuntutan lingkungan.

Responden

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah remaja di Denpasar. Teknik pengambilan sampel penelitian ini menggunakan teknik two stages cluster sampling. Kriteria subjek dalam penelitian ini adalah:

  • a.    Remaja yang berusia 15 sampai dengan 18 tahun. Individu yang berusia 15 tahun telah mempunyai keterampilan berpikir abstrak sehingga dapat memahami isi kuesioner. Individu yang cocok dengan kriteria tersebut adalah siswa SMA dan SMK di Denpasar.

  • b.    Belum pernah mengikuti meditasi sebelumnya.

Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di SMK Teknologi Nasional Denpasar dengan kelompok eksperimen 32 siswa dari kelas X AKAP (Akutansi dan Administrasi Perkantoran) dan kelompok kontrol 31 siswa dari kelas XI MMTKJ (Multimedia dan Teknik Komputer Jaringan).

Alat Ukur

Alat ukur pada penelitian ini menggunakan skala regulasi emosi. Skala regulasi emosi disusun berdasarkan aspek regulasi emosi oleh Gratz dan Roemer (2004). Skala regulasi emosi terdiri dari 21 aitem pernyataan. Pernyataan dalam penelitian ini terdiri atas aitem favorabel dan unfavorabel. Skala dalam penelitian ini menggunakan skala likert dengan empat pilhan jawaban, yaitu sangat setuju (SS), setuju (S), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS).

Sebelum skala regulasi emosi diberikan kepada subjek, dilakukan uji validitas dan reliabilias pada skala regulasi emosi. Uji validitas isi dilakukan dengan teknik professional judgement. Uji validitas konstrak dilakukan dengan mengorelasikan nilai aitem dan total dari data dengan standar sama dengan atau lebih besar daripada 0,30. Uji reliabilitas pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Cronbach’s Alpha pada program SPSS release 20.0.Suatu alat ukur dikatakan reliabel apabila skor reliabilitasnya minimal sebesar 0,80 (Azwar, 2014).

Hasil uji validitas skala regulasi emosi dalam penelitian ini memiliki koefisien korelasi aitem-total berkisar antara 0,315 hingga 0,624. Hasil uji reliabilitas skala regulasi emosi menunjukkan hasil koefisien reliabilitas sebesar 0.857.

Prosedur Pengambilan Data

Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen dengan desain penelitianNon-Equivalent Group Design.Dalam desain ini terdapat dua kelompok yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.

T>MI.

Ocaain PowAttan

.IiayatticnC

Kciottpok

Sdtclan

PeHakuaa

--VrLakuar

Sctdat FVriadJtti

.V 3∙t-Aua⅛m

KE

Q

X

.Van-AuaJBai

KK

Lctcrsnfui label

KE   * Leiotspiik Ckapenttten

KK   ■ Leliitxpik KcsaiicJ

  • X    ∙ κiacλu tsc&ta*

O     ■ κιtfMktruι Cstfkal rεyulau Ctsoai

Subjek dalam kelompok eksperimen dan kontrol pada awalnya diberikan pre-test berupa skala regulasi emosi untuk mengetahui kemampuan awal regulasi emosi subjek. Setelah itu, kelompok eksperimen diberikan perlakuan berupa pelatihan meditasi, sedangkan kelompok kontrol tidak diberikan perlakuan.

Perlakuan yang diberikan berupa rangkaian pelatihan meditasi yang terdiri dari delapan tahap. Setiap pertemuan kurang lebih berlangsung selama 1 jam 15 menit. Dalam

setiap tahap terdapat sesi ceramah terkait meditasi yang akan dilakukan selama 30 menit, pembukaan meditasi selama lima menit, sesi meditasi selama 25 menit dan sesi tanya jawab selama 15 menit. Meditasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah meditasi mindfulness dan loving kindness. Pada pertemuan pertama sampai ketiga subjek akan melatih meditasi mindfulness, kemudian pertemuan keempat sampai ke delapan subjek akan melakukan meditasi mindfulness dan loving kindness. Pada pertemuan pertama subjek akan diajak untuk mengamati keluar masuk nafas. Pada pertemuan kedua subjek akan mengulang latihan di pertemuan pertama dan ditambah dengan latihan mengamati karakteristik nafas. Pada pertemuan ketiga subjek akan mengulang latihan di pertemuan kedua dan ditambah dengan latihan mengamati perubahan karakteristik nafas. Pada pertemuan keempat subjek akan mengulang latihan di pertemuan ketiga dan ditambah dengan latihan meditasi loving kindness. Pada pertemuan kelima, keenam, ketujuh dan kedelapan subjek akan diajak melakukan rangkaian meditasi mindfulness dan loving kindness secara lengkap.

Rangkaian meditasi yang lengkap berlangsung selama 25 menit, terdiri dari 20 menit melakukan meditasi mindfulness yaitu 10 menit mengamati nafas dan 10 menit mengamati sensasi tubuh serta lima menit melakukan meditasi loving kindness. Latihan meditasi terdiri dari dua jenis, yaitu latihan bersama yang dilakukan dua kali seminggu dan latihan pribadi individu yang dilakukan sekali sehari di rumah masing-masing. Setelah bermeditasi, individu diajak untuk merilekskan tubuh dengan melakukan olahraga etherik. Setelah merilekskan tubuh, individu diberikan kartu meditasi dan lembaran harian yang harus diisi setelah melakukan meditasi dan dipersilahkan apabila ada subjek yang ingin bertanya kepada instruktur meditasi.Untuk mengetahui apakah meditasi meningkatkan regulasi emosi remaja, setelah kelompok eksperimen diberikan pelatihan sama sebulan, kedua kelompok diberikanpost-test berupa skala regulasi emosi.

Teknik Analisis Data

Sebelum melakukan analisis data penelitian, dilakukan uji asumsi berupa uji normalitas. Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Setelah dilakukan uji asumsi, data penelitian dianalisis menggunakan uji Paired Sample t-test. Analisis data dilakukan menggunakan bantuan SPSS release 20.0.

HASIL PENELITIAN

Karakteristik Subjek

Subjek dalam kelompok eksperimen adalah 32 siswa dengan rentang usia 15-17 tahun sedangkan subjek dalam kelompok kontrol adalah 31 siswa dengan rentang usia 16-18 tahun.

Deskripsi Data Penelitian

Untuk mengetahui lebih lengkap mengenai data deskriptif dari data pre-test maupun post-test, peneliti melakukan analisis deskriptif dan didapatkan hasil seperti dalam tabel berikut.

TaMt

IM Ujl ⅛⅛⅜d

'■ lBi-iIr1-

Mon

BkL Drnaiicxi

Vxnecc

Γir-4c≡ι KK

H

Itf

5441

TjOB

49 i 13

RNMcrt KK

IL

3S

17

72

55 19

1472

Mta

Γτr∙4r≡i KE

H

27

15

β

5] U

6sω

47 652

PoaMcrtKE

12

73

56.47

Uki

W.3B

Selanjutnya dilakukan analisis berupa pengkategorisasian skor subjek. Perbandingan rata-rata teoretis dengan rata-rata empiris dibutuhkan sebelum melakukan pengkategorisasian. Rata-rata (mean) teoretis diperoleh dengan cara menghitung skor maksimum aitem ditambah skor minimum aitem, kemudian dibagi dua. Jumlah aitem yang valid berjumlah 21 aitem dengan 4 pilihan jawaban dan rentang skor 1 sampai 4 sehingga didapat hasil bahwa rata-rata teoretisregulasi emosi adalah 52.5. Untuk dapat melakukan perbandingan dan penggolongan data, terlebih dahuluharus mencari mean, standar deviasi, serta nilai maksimum dan minimum empiris dari data tersebut.

TMt

MiS      IKI      »621

Berdasarkan tabel 3, mean empiris lebih besar daripada mean teoretis, maka dapat dikatakan bahwa kemampuan regulasi emosi subjek penelitian lebih tinggi daripada kemampuan regulasi emosi remaja lainnya di Denpasar. Hal ini juga memiliki makna bahwa subjek penelitian memiliki kemampuan regulasi emosi yang lebih tinggi daripada populasinya.

Skor yang dimiliki subjek akan dibagi menjadi lima jenjang kontinum, yaitu sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah dan sangat rendah. Skor subjek diberi simbol X. Tabel berikut akan    menjelaskan    mengenai    ketentuan    dalam

mengkategorisasikan skor subjek.

IUTlt

___________hi⅛⅛M hInr ⅛∏Mlr___________ Xjtic                       KM⅞κfiujE. Akcr

Xs ⅛μ-∣∣Jh          ^≡5pΓSΞHi

1 ■; l.≤ I < ■■■ X ^ Λ ■ Γ-.≤J ∏       Rπ⅛lll

ψ. - ⅛1 ■=: >; Ji J lμ.-* li⅛r5 ⅛     fnl»--£

ψ.-l-A⅞<4<Xf√'+QJ^ιφ Tiv

V>tμ+(Λf)          ⅛plt∏!p

Berdasarkan Tabel 4, diperoleh aturan kategori seperti pada tabel berikut.

Peneliti kemudian mencari frekuensi dan persentase dari masing-masing data yaitu pre-test kelompok kontrol, post-test kelompok kontrol, pre-test kelompok eksperimen, dan post-test kelompok eksperimen.

TaWi.

Had Kaacfortaaii ⅛kιr⅜f∙Γ>a ⅛aa Fgrxra jadi Kc⅛>πbφ⅜-⅛. Kcatrol

W*

RcikWi

S

ib uh

5

16. B H

Soiana

13

41 $4 H

13

41.94 H

τbw

12

JfiTiH

12

StII H

Saτp∙l∙>w

D

OH

I

3 22 H

Kelompok kontrol adalah kelompok subjek yang tidak diberi perlakuan meditasi. Melalui tabel 6 dapat dilihat bahwa persentase subjek yang berada pada kategori kemampuan regulasi emosi sangat rendah mengalami penurunan dari 3.22% menjadi 0%, sedangkan subjek yang berada pada kategori rendah, sedang, dan tinggi persentasenya tetap sebesar 16.13 %; 41.94 % dan 38.72 %. Sebaliknya subjek yang berada pada kategori kemampuan regulasi emosi sangat tinggi mengalami peningkatan dari 0% menjadi 3.22%. Persentase-persentase tersebut menunjukkan bahwa subjek dalam kelompok kontrol yang tidak mendapat perlakuan meditasi mengalami sedikit peningkatan kemampuan regulasi emosi.

TbML

Haad Kaiirforta

ui SKarFra-Jar.* dan FvrV-Orrraada K<Aama«

ι⅛ LhapcrBncn

KcTTBITfXBIl

RcapJaai Ξmo∙

Frv√ni

Frrkuerji

Perata*

FrrkuerJi

Prracrtme

Sazjat rrndah

Ili ⅛

Jll⅛

RbhHi

R

MH

4

LLSH

Soaanj

IS

46⅛7H

IS

4ttTH

τiw

B

MH

9

MISH

⅛apalιw

D

OH

J

WH

M

IOOH

M

IOOH

Kelompok eksperimen adalah kelompok subjek yang diberi perlakuan meditasi. Melalui tabel 7 dapat dilihat bahwa setelah sebulan diberi pelatihan meditasi, persentase subjek yang berada pada kategori kemampuan regulasi emosi sangat rendah tetap 3.13 %, persentase subjek yang berada pada kategori rendah mengalami penurunan dari 25 % menjadi 12.5 %, persentase subjek yang berada dalam kategori sedang tetap 46.87% sedangkan persentase subjek yang berada dalam

kategori regulasi emosi tinggi mengalami peningkatan dari 25% menjadi 28.13 % dan persentase subjek yang berada dalam kategori sangat tinggi juga mengalami peningkatan dari 0 % menjadi 9.37 %. Persentase-persentasetersebut menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kemampuan regulasi emosi pada kelompok eksperimen yang mendapat pelatihan meditasi.

Uji asumsi

Sebelum melakukan uji Paired Sample t-test, terdapat uji asumsi yang harus dipenuhi yaitu uji normalitas. Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnovdalam program SPSS release 20.0. Data pada

penelitian akan dikatakannormal apabila memiliki signifikansi lebih dari 0.05. Berikut adalah tabel hasiluji normalitas dari pre-test dan post-test pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.

Tabel 8 menunjukkan bahwa sebaran data pre-test danpost-test pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol adalah normal, karena 0.869, 0.731, 0.871, 0.451 lebih dari 0.05. Melalui uji asumsi dapat dikatakan bahwa data pada penelitian ini telah normal sehingga data dapat dianalisis melalui uji Paired Sample t-test untuk membuktikan hipotesis.

Uji Hipotesis

Uji hipotesis dalam penelitian ini menggunakan ujiPaired Sample t-test     untuk mengetahui apakah

terjadiperbedaan peningkatan regulasi emosi pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Uji beda Paired Sample t-testdilakukan dengan membandingkan pre-test dan post-test pada kelompok eksperimen dengan post-test dan post-test padakelompok kontrol.Apabila nilai signifikansi selisih posttest dan pre-test kelompok eksperimen kurang dari 0,05, dan nilai signifikansi selisih post-test dan pre-test pada kelompok kontrol lebih dari 0,05 maka hipotesis nol ditolak dan hipotesis alternatif diterima.

TaM t.

Maa M. T dl ⅛ (3daiM Drviaiian

Fahl ,Γ∙ιvtKK-PιrKK* TTT                     T

f⅛2 FioiKF-FteKP V2⅜    ÷ U⅞ ⅛ 2 ⅛

Uji Paired Sample t-test pada kelompok eksperimen menunjukkan taraf signifikansi 0.000 yang kurang dari 0.05 (p<0.05), artinya terdapat perbedaan antara pre-test dan posttest pada kelompok eksperimen. Selain itu, uji Paired Sample

t-test pada kelompok kontrol menunjukkan taraf signifikansi 0.388 yang lebih dari 0.05 (p>0.05) sehingga dapat dikatakan bahwa tidak terdapat perbedaan antara pre-test dan post-test pada kelompok kontrol. Melalui hasil tersebut dapat dilihat bahwa Ho ditolak dan Ha diterima sehingga dapat dikatakan bahwa ada perbedaan regulasi emosi pada remaja setelah melakukan meditasi.

PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

Hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa terdapat peningkatan regulasi emosi pada remaja setelah melakukan meditasi. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Luders, Toga, Lepore, Gaser (2009) yang menyebutkan bahwa meditasi berperan dalam kemampuan regulasi emosi. Meditasi dapat membantu individu memunculkan lebih banyak emosi positif, mempertahankan stabilitas emosi dan terlibat dalam perilaku yang penuh kesadaran. Hal tersebut terjadi karena individu yang melakukan meditasi menunjukkan volume materi abu-abu yang lebih besar pada korteks orbito-frontal bagian kiri dan volume hippokampus bagian kanan yang lebih besar. Kedua bagian otak tersebut berperan dalam regulasi emosi dan pengontrolan respons individu.

Sebelum penelitian ini dilakukan, pemberian latihan meditasi kepada remaja sudah dilakukan dalam penelitian-penelitian sebelumnya. Penelitian yang dilakukan oleh Kumari dan Ghosh (2015) yang menunjukkan bahwa remaja perempuan yang diberi pelatihan meditasi menunjukkan penurunan stres dan peningkatan kualitas hidup.Penelitian lain yang dilakukan oleh Rosaen dan Benn (2006) menunjukkan bahwa meditasi dapat meningkatkan kecerdasan emosi dan performa akademis pada siswa. Selain itu, terdapat pula penelitian yang dilakukan oleh Roeser dan Pinela (2014) yang menemukan bahwa latihan mindfulness dan cinta kasih pada remaja dapat memberikan pengaruh positif pada perkembangan remaja.

Pada penelitian ini, pertemuan pertama meditasi Bali Usada dimulai dengan mengajak subjek melakukan meditasi mindfulness untuk melatih konsentrasi dengan cara memperhatikan nafas keluar masuk. Tujuannya adalah agar subjek dapat fokus pada objek-objek meditasi yang akan diajarkan pada pertemuan selanjutnya. Kemampuan konsentrasi yang baik dapat menunjang keberhasilan meditasi. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Vahia, dkk. (1984) yang menyebutkan bahwa salah satu hal yang menunjang keberhasilan meditasi adalah kemampuan subjek untuk mempertahankan fokus pada objek meditasi. Menurut Dunn, Hartigan, dan Mikulas (1999) penting untuk mengajarkan meditasi yang berfokus untuk melatih

konsentrasi terlebih dahulu sebelum latihan meditasi lain agar individu mengerti bagaimana cara menenangkan pikiran.

Pada pertemuan kedua meditasi Bali Usada, subjek diajak melakukan meditasi mindfulness untuk melatih kesadaran yaitu dengan cara memperhatikan karakteristik nafas. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Farb, Anderson dan Segal (2012), latihan mindfulness meningkatkan kemampuan atensi yang didukung oleh adanya perubahan pada bagian frontal korteks cingulate (ACC) dan korteks prefrontal (PFC). Bagian frontal korteks cingulate (ACC) dan korteks prefrontal (PFC) mempunyai banyak peran dalam emosi seorang individu. Adanya perubahan dalam PFC dapat memunculkan penilaian alternatif terhadap emosi negatif. Latihan mindfulness dapat membantu individu untuk memunculkan pemikiran alternatif untuk mengelola emosi negatifdan pemikiran bahwa emosi negatif tersebut hanyalah pengalaman sesaat. Hal tersebut juga berkaitan dengan tahap ketiga meditasi Bali Usada yang melatih subjek untuk bijaksana menghadapi segala perubahan di dunia ini dengan cara mengamati perubahan karakteristik nafas nafas. Subjek juga diberi pengertian bahwa segala sesuatu di dunia ini baik fisik, pikiran, perasaan, diri sendiri maupun orang lain selalu berubah sehingga tidak ada yang perlu dilekati, yang perlu dilatih adalah kebijaksanaan untuk menghadapi segala perubahan dalam hidup ini. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Farb, Anderson dan Segal (2012) yang menyebutkan bahwa dengan menyadari bahwa emosi negatif hanya bersifat sementara dapat mengurangi evaluasi diri yang negatif, meningkatkan toleransi terhadap perasaan negatif dan luka serta membantu mengembangkan self-compassion serta empati.

Terdapat penelitian lain yang dapat mendukung, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Goldin dan Gross (2010) mengenai pelatihan mindfulness pada individu dengan gangguan kecemasan sosial. Latihan mindfulness terbukti mengurangi pengalaman emosi negatif, mengurangi aktivitas amigdala dan meningkatkan aktivitas bagian otak yang berkaitan dengan atensi. Pelatihan mindfulness mengurangi reaktivitas emosi dan meningkatkan regulasi emosi. Perubahan tersebut kemungkinan mendorong penurunan perilaku menghindar, gejala klinis dan self-belief negatif pada individu dengan gangguan kecemasan sosial. Selain itu terdapat juga penelitian yang dilakukan oleh Ortner, Kilner dan Zelazo (2007) yang menunjukkan bahwa individu yang melakukan meditasi mindfulness menunjukkan gangguan emosi yang lebih rendah saat ditunjukkan gambar emosional dan tingkat psychological well-being yang lebih tinggi.

Pada pertemuan keempat meditasi Bali Usada, subjek diajak untuk melatih meditasi cinta kasih atau loving kindness dengan cara memancarkan cinta kasih ke semua makhluk

hidup. Penelitian yang dilakukan oleh Leung, dkk. (2013) menunjukkan bahwa individu yang berlatih meditasi loving kindness menunjukkan peningkatan pada volume materi abu-abu di angular sebelah kanan gyrus parahippocampal dan posterior gyrus parahippocampal. Bagian otak tersebut adalah bagian pada korteks serebral yang berperan penting dalam regulasi emosi, self-control, kemampuan empati, kecemasan dan mood. Selain itu terdapat penelitian yang dilakukan oleh Kemeny, dkk. (2012) yang menunjukkan bahwa latihan cinta kasih dapat mengurangi perasaan negatif, depresi, kecemasan dan dapat meningkatkan perasaan positif serta kepekaan mengenali emosi orang lain.

Penelitian lain yang mendukung adalah penelitian yang dilakukan oleh Desbordes, dkk. (2012) yang menunjukkan bahwa setelah diberi pelatihan meditasi cinta kasih selama delapan minggu, individu menunjukkan adanya peningkatan aktivasi amigdala sebelah kanan saat dipertunjukkan gambar yang bersifat negatif. Peningkatan aktivasi amigdala tersebut berkorelasi dengan penurunan tingkat depresi pada individu. Pengukuran tersebut dilakukan menggunakan fMRI (functional magnetic resonance imaging) saat individu tidak dalam kondisi bermeditasi yang menunjukkan bahwa latihan meditasi menimbulkan perubahan dalam fungsi mental seseorang.

Pada pertemuan kelima sampai dengan kedelapan meditasi Bali Usada, subjek diajak untuk melakukan rangkaian meditasi Bali Usada yang lengkap yaitu meditasi sudah dilatih sebelumnya ditambah dengan merasakan sensasi bagian-bagian tubuh. Selain berfokus pada nafas, meditasi mindfulness juga dapat memakai objek tubuh. Melalui merasakan sensasi tubuh seperti apa adanya dan merasakan adanya perubahan pada sensasi tubuh, subjek kembali melatih pikiran kebijaksanaan bahwa segala sesuatu di dunia ini pasti berubah.

Menurut Gratz dan Roemer (2004) regulasi emosi terdiri dari empat aspek yaitu kemampuan menyadari dan memahami emosi yang dialami, kemampuan menerima emosi yang dialami, kemampuan mengontrol perilaku impulsif dan tetap berperilaku untuk mencapai tujuan yang diinginkan ketika mengalami emosi yang negatif, serta kemampuan menggunakan strategi regulasi emosi yang pantas sesuai dengan situasi secara fleksibel agar respons emosional yang dimunculkan sesuai dengan yang diinginkan guna mencapai tujuan pribadi dan tuntutan lingkungan.

Pada latihan mindfulness di meditasi Bali usada, subjek diajak untuk menyadari nafas keluar masuk seperti apa adanya. Hal tersebut berkaitan dengan aspek regulasi emosi yang pertama yaitu kemampuan menyadari dan memahami emosi yang dialami. Menurut Gratz dan Tull (2010), latihan

mindfulness dapat meningkatkan kontak dengan berbagai macam emosi dan meningkatkan fokus pada berbagai komponen dari respons emosional yang dapat meningkatkan kesadaran terhadap emosi. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nielsen dan Kaszniak (2006) yang menyebutkan bahwa individu yang bermeditasi menunjukkan kesadaran akan emosi yang lebih tinggi daripada individu yang tidak bermeditasi.

Selain itu, dalam latihan meditasi Bali Usada subjek juga diajak untuk mengamati sensasi badan seperti apa adanya. Subjek diajarkan untuk menyadari dengan bijaksana bahwa segala sesuatu di dunia ini baik tubuh, perasaan, diri sendiri maupun orang-orang disekitar akan berubah. Subjek diajarkan untuk tidak menolak dan mengatur segala sesuatu namun hanya mengamati seperti apa adanya dan mengetahui bahwa hal tersebut berubah yang berkaitan dengan aspek regulasi emosi menerima emosi yang dialami. Melalui latihan merasakan segala sesuatu tanpa menghakimi terutama dalam hal ini perasaan, individu diharapkan dapat meningkatkan kemauan untuk mengalami suatu emosi (Greenberg & Safran, 1987). Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Teper dan Inzlicht (2012) yang menunjukkan bahwa meditasi mindfulness dapat meningkatkan penerimaan emosi.

Menurut Gratz dan Tull (2010) latihan mindfulness juga dapat mendorong pemisahan antara emosi dan perilaku, yang dapat mengajarkan subjek bahwa emosi dapat dirasakan tanpa perlu direspons dengan perilaku. Hal tersebut berkaitan dengan salah satu aspek regulasi emosi yaitu kemampuan untuk mengontrol perilaku impulsif. Penelitian yang mendukung adalah penelitian yang dilakukan oleh Lutz, Brefczynski-Lewis, Johnstone dan Davidson (2008). Subjek eksperimen diminta untuk melakukan meditasi kemudian peneliti mengamati bagian-bagian otak subjek dengan menggunakan alat functional magnetic resonance imaging (fMRI). Saat bermeditasi, subjek diputarkan suara yang dapat memunculkan distres. Hasil penelitian menunjukkan bahwa saat diperdengarkan suara distres terdapat peningkatan aktivitas pada bagian otak yang berhubungan dengan emosi seperti amigdala, perbatasan antara temporal dan parietal bagian kanan, serta posterior superior temporal sulkus (PSTS) bagian kanan, yang menunjukkan adanya deteksi yang lebih kuat terhadap suara yang emosional dan adanya pemikiran sebelum merespons stimulus emosional. Ketika individu berpikir sebelum merespons sesuatu, individu dapat mencegah munculnya perilaku impulsif dan memunculkan respons emosional yang sesuai dengan situasi. Hal tersebut berhubungan dengan aspek ketiga dan keempat dalam kemampuan regulasi emosi.

Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan agar meditasi memberikan hasil yang positif, salah satunya adalah

konsentrasi. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Vahia, dkk. (1984),individu yang lebih dapat mempertahankan fokus saat bermeditasi, lebih mungkin untuk berhasil dalam meditasi. Hal tersebut juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Kharina dan Saragih (2012) yang menyebutkan bahwa bersikap sadar dan penuh konsentrasi merupakan faktor penentu meditator mendapatkan manfaat dari meditasi loving kindness. Pada penelitian dengan menggunakan meditasi Bali Usada, pada minggu pertama dari total jumlah meditasi 32 subjek sebanyak 86 kali meditasi, subjek tidak dapat berkonsentrasi sebanyak 37 kali atau 43,02% dari total meditasi. Pada minggu kedua, dari total jumlah meditasi sebanyak 66 kali, subjek tidak dapat berkonsentrasi sebanyak 24 kali atau 36,36% dari total meditasi. Pada minggu ketiga, dari total jumlah meditasi sebanyak 63 kali, subjek tidak dapat berkonsentrasi sebanyak 16 kali atau 25,4% dari total meditasi. Pada minggu keempat, dari total jumlah meditasi sebanyak 65 kali, subjek tidak dapat berkonsentrasi sebanyak tiga kali atau 4,61% dari total meditasi.

Berdasarkan data dari lembaran harian yang diisi oleh subjek, alasan tidak bisa berkonsentrasi yang sering muncul adalah badan pegal. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa peningkatan konsentrasi subjek pada setiap minggu disebabkan oleh tubuh subjek yang semakin menyesuaikan diri untuk duduk bermeditasi. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Clement (2012) yang menyebutkan bahwa individu perlu melatih tubuhnya untuk bermeditasi. Semakin rajin individu berlatih meditasi maka punggungnya akan semakin kuat dan kakinya akan semakin fleksibel.

Berdasarkan data yang menunjukkan bahwa semakin sering individu berlatih meditasi maka individu akan semakin dapat berkonsentrasi, dapat dilihat bahwa frekuensi meditasi juga berperan penting dalam meditasi. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Keune (2010) menyebutkan bahwa tingkat emotional well-being pada individu yang melakukan meditasi dipengaruhi oleh frekuensi dan durasi latihan bermeditasi. Selain itu, terdapat penelitian yang dilakukan oleh Alexander (1993) yang menyebutkan bahwa individu yang berlatih meditasi lebih rutin menunjukkan penurunan stres yang lebih signifikan dibanding individu yang tidak meditasi dengan rutin.

Karena frekuensi dan durasi latihan meditasi dapat memengaruhi hasil latihan, maka penting bagi individu untuk membentuk kebiasaan meditasi. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Lally, dkk (2010), bagi sebagian besar orang dibutuhkan waktu kurang lebih dua bulan atau lebih tepatnya 66 hari untuk membentuk sebuah kebiasaan baru. Sejalan dengan penelitian tersebut, Wellings (2016) menyebutkan apabila individu duduk bemeditasi setiap hari pada jam yang

sama dan tempat yang sama selama dua bulan, maka individu tersebut akan membentuk kebiasaan meditasi.

Selain frekuensi meditasi dan konsentrasi, hal lain yang dapat memengaruhi hasil meditasi adalah motivasi. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Van Hooff dan Baas (2012), individu dengan motivasi instrinsik yang tinggi untuk mengikuti meditasi mendapatkan hasil meditasi yang lebih positif. Selain itu, menurut Jiyu-Kennett (2016) untuk mendapatkan hasil yang baik, individu yang ingin bermeditasi terutama yang pemula disarankan untuk bermeditasi di satu ruangan yang tenang, tidak ada banyak gangguan dan kondusif.

Pada penelitian ini, kelompok kontrol yang tidak diberi perlakuan juga menunjukkan peningkatan regulasi emosi walaupun tidak signifikan. Tujuh subjek dalam kelompok kontrol menyebutkan bahwa lebih rajin berolahraga dalam sebulan terakhir. Hal tersebut yang kemungkinan memengaruhi adanya peningkatan dalam regulasi emosi kelompok kontrol. Penelitian yang dapat mendukung adalah penelitian yang dilakukan oleh Goodwin, Haycraft dan Meyer (2012) yang menyebutkan bahwa olahraga merupakan salah satu strategi remaja untuk meregulasi emosinya. Selain itu, terdapat penelitian yang dilakukan oleh Goldin, dkk (2013) yang menunjukkan bahwa olahraga aerobik dapat menurunkan reaktivitas emosi seorang individu.

Berdasarkan pemaparan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa meditasi meningkatkan regulasi emosi pada remaja dilihat dari hasil yang menunjukkan bahwa kelompok eksperimen menunjukkan perubahan regulasi emosi yang signifikan setelah diberi pelatihan meditasi selama sebulansedangkan kelompok kontrol yang tidak diberikan pelatihan meditasi tidak menunjukkan perubahan kemampuan regulasi emosi yang signifikan. Selain itu, konsentrasi merupakan salah satu faktor yang menunjang agar meditasi memberikan hasil yang positif. Subjek eksperimen menunjukkan peningkatan konsentrasi karena tubuh subjek mulai menyesuaikan diri untuk duduk bermeditasi. Oleh karena itu, dibutuhkan latihan meditasi yang rutin untuk mendapat hasil meditasi yang positif.

Penelitian ini tidak luput dari kelemahan-kelemahan penelitian. Kelemahan dalam penelitian ini adalah waktu untuk pelatihan meditasi. Pelatihan meditasi tidak dapat dilakukan setiap hari di sekolah karena bertepatan dengan jadwal ekstrakulikuler. Hal tersebut menyebabkan peneliti hanya dapat menghimbau subjek untuk berlatih meditasi mandiri di rumah masing-masing yang memungkinkan subjek untuk tidak melakukan latihan meditasi setiap hari. Melalui lembaran harian yang dibagikan pada subjek, diketahui bahwa

tidak semua subjek berlatih meditasi mandiri di rumah. Selain itu, pada pelatihan meditasi pertemuan keempat merupakan hari raya umat Hindu yang membuat 14 subjek tidak bisa mengikuti pelatihan meditasi karena harus pulang kampung.

Kelemahan selanjutnya dalam penelitian ini adalah tidak dilakukan random assignment. Pertimbangannya adalah tidak setiap kelas mempunyai jadwal pulang sekolah yang sama sehingga sulit untuk mengatur jadwal meditasi apabila melakukan random assignment. Kelemahan lain adalah peneliti tidak dapat mengontrol kegiatan yang dilakukan oleh kelompok kontrol yang kemungkinan dapat meningkatkan kemampuan regulasi emosi kelompok kontrol.

Berdasarkan kelemahan-kelemahan tersebut, peneliti memberikan beberapa saran untuk peneliti selanjutnya. Peneliti selanjutnya dapat menggunakan subjek eksperimen remaja dengan rentang umur yang lebih bervariasi dari remaja awal, remaja tengah dan remaja akhir agar hasil penelitian dapat mencakup remaja dengan rentang usia yang lebih luas. Peneliti selanjutnya dapat memperbaiki beberapa kekurangan dalam penelitian ini seperti jadwal meditasi yang hanya dilakukan dua kali seminggu. Peneliti selanjutnya dapat melakukan pelatihan meditasi setiap hari agar subjek eksperimen mendapatkan manfaat yang lebih maksimal.Penelitian ini tidak melakukan random assignment karena keterbatasan dalam mengatur jadwal meditasi apabila subjek eksperimen berasal dari kelas-kelas yang berbeda. Peneliti selanjutnya dapat melakukan random assignment agar setiap individu dalam populasi tersebut mendapatkan peluang yang sama untuk menjadi kelompok kontrol dan kelompok eksperimen.Peneliti selanjutnya yang ingin melakukan penelitian di Bali dapat lebih memerhatikan apakah jadwal penelitian bertepatan dengan hari raya umat Hindu. Selain itu, peneliti selanjutnya sebaiknya mengontrol kegiatan yang dilakukan kelompok kontrol yang kemungkinan dapat meningkatkan kemampuan regulasi emosi kelompok kontrol.

Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti memberikan beberapa saran bagi reaja, orangtua, pihak sekolah, dan masyarakat. Bagi para remaja agar memahami pentingnya kemampuan regulasi emosi dalam menjalani tugas-tugas perkembangan remaja seperti kemampuan untuk melakukan perilaku bertanggung jawab dan membina hubungan dengan orang lain. Bagi remaja yang ingin meningkatkan kemampuan regulasi emosi, dapat menggunakan meditasi sebagai salah satu sarana untuk meningkatkan kemampuan regulasi emosi. Bagi remaja yang ingin membentuk kebiasaan bermeditasi, dibutuhkan latihan meditasi teratur setiap hari selama kurang lebih dua bulan.Bagi orangtua, agar memahami pentingnya kemampuan regulasi emosi pada remaja dan mendorong anak-anaknya untuk mengikuti meditasi sebagai salah satu sarana untuk meningkatkan kemampuan regulasi emosi pada remaja.

Saran bagi pihak sekolah, agar memahami pentingnya kemampuan regulasi emosi, menyosialisasikan pentingnya kemampuan regulasi emosi pada siswa dan mempertimbangkan meditasi sebagai salah satu ekstrakulikuler di sekolah ataupun bagian dari kurikulum pelajaran agar dapat meningkatkan kemampuan regulasi emosi pada remaja.Bagi masyarakat, pemerintah dan para guru meditasi, agar memahami pentingnya kemampuan regulasi emosi, menyosialisasikan pentingnya kemampuan regulasi emosi pada remaja dan membuat program ataupun perkumpulan meditasi khusus untuk remaja agar dapat menjadi sebuah wadah perkumpulan positif untuk meningkatkan kemampuan regulasi emosi.

DAFTAR PUSTAKA

N Detail Berita. (2015, Januari 24). Retrieved April 16, 2016, from

Suksesinews.com:     http://suksesinews.com/berita-geng-

motor-otaki-kasus-penusukan-di-denpasar.html.

Perkumpulan Bali Usada. (2016). Retrieved Desember 16, 2016, from Bali Usada: http://www.baliusada.com/ index.php? option=com_content&task=view&id=449&Itemid=49.

Ada, M. (2014). Meditasi Kesehatan Meduitasi Pikiran Harmonis Getaran dan Menyehatkan Diri Sendiri (Edisi Revisi). Denpasar: Bali Usada.

Alexander, C. N., Swanson, G. C., Rainforth, M. V., Carlisle, T. W., Todd, C. C., & Oates, R. M. (1993). Effects of the

transcendental meditation program on stress reduction, health, and employee development: A prospective study in two occupational settings. Anxiety, Stress & Coping, 6(3), 245-262.

Anggriawan, F. (2014, September 28). Humaniora. Retrieved April 2016,       16,      from      SINDONEWS.com:

http://nasional.sindonews.com/read/906057/15/narkoba-di-kalangan-pelajar-mahasiswa-makin-parah-1411908498

Anoraga, W. (2015, Maret 27). Liputan Khusus. Retrieved April 16, 2016,           from           IndonesianReview.com:

http://indonesianreview.com/wira-anoraga/pendidikan-kian-loyo

Arch, J.J. & Craske, M.G. (2006). Mechanisms of Mindfulness: Emotion Regulation Following a Focused Breathing Induction. Behaviour Research and Therapi, 44(12), 18491858.

Azwar, S. (2014). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Baskara, A., Soetjipto, H. P., & Atamimi, N. (2008). Kecerdasan Emosi Ditinjau dari Keikutsertaan dalam Program Meditasi. Jurnal Psikologi, 35(2), 101-115.

Betts, J., Gullone, E., & Allen, J. S. (2009). An examination of emotion regulation, temperament, and parenting style as potential predictors of adolescent depression risk status: A correlational study. British Journal of Developmental Psychology, 27(2), 473-485.

Brantley, M., & Hanauer, T. (2008). The Gift of Loving-Kindness. Oakland: New Harbinger Publication, Inc.

Ciarrochi, J., Bilich, L., & Godsell, C. (2010). Psychological

Flexibility as A Mechanism of Change in Acceptance and Commitment Therapy. In R. Baer, Assessing Mindfulness and Acceptance: Illuminating the Processes of Change (pp. 51-76). Oakland: New Harbinger Publication.

Clement, S. (2012). Meditation for Beginners: Techniques for Awareness, Mindfulness & Relaxation. Minnesota: Llewellyn Publications.

Desbordes, G., Negi, L. T., Pace, T. W., Wallace, A., Raison, C. L., & Schwartz, E. L. (2012). Effects of Mindful-Attention and Compassion Meditation Training On Amygdala Response to Emotional Stimuli in an Ordinary, Non-Meditative State. Neural Effects of Mindfulness.

Dunn, B.R., Hartigan, J.A. & Mikulas, W.L. (2009). Appl Psychophysiol Biofeedback, 24 (3), pp 147-165.

Evan-Chase, M. (2013). Mindfulness Meditation with incarcerated youth:  A randomized controlled trial informed by

neuropsychosocial theories of adolescence.

Farb, N. A., Anderson, A. K., & Segal, Z. V. (2012). The Mindful Brain and Emotion Regulation in Mood Disorders. The Canadian Journal of Psychiatry.

Faridh, R. (2008). Hubungan antara Regulasi Emosi dengan Kecenderungan Kenakalan Remaja. (Naskah Publikasi). Program Studi Psikologi Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.

Goldin, P. R., & Gross, J. J. (2010). Effects of Mindfulness-Based Stress Reduction (MBSR) on Emotion Regulation in Social Anxiety Disorder. Emotion, 10(1), 83-91.

Goldin, P., Ziv, M., Jazaieri, H., Hahn, K., Gross, J.J. (2013). MBSR vs aerobic exercise in social anxiety: FMRI of emotion regulation of negatie self-beliefs.

Goodwin, H., Haycraft, E., & Meyer, C. (2012). The Relationship between Compulsive Exercise and Emotion Regulation. British Journal Health Psychology, 17(4), 699-710.

Gratz, K.L., & Roemer, L. (2004). Multidimensional Assessment of Emotion Regulation and Dysregulation: Development, Factor Structure, and Initial Validation of the Difficulties in Emotion Regulation Scale. Journal of Psychopatology and Behavioral Assesment, 26(1), 41-53.

Gratz, K. L., & Tull, M. T. (2010). Emotion Regulation as a

Mechanism of Change in Acceptance and MindfulnessBased Treatments. In R. Baer (Ed.), Assessing Mindfulness and Acceptance Processes in Clients (pp. 107-134). Oackland: New Harbinger Publications, Inc.

Greenberg, L.S., & Safran, J.D. (1987). Emotions in psychotherapy. New York: Guilford.

Jiyu-kennett (2016). Serene Reflection Meditation. California: Shasta Abbey.

Kearney, D., McManus, C., Matte, C., Martinez, M., Felleman, B., & Simpson, T. L. (2014). Loving-Kindness Meditation and the Broaden-and-Build Theory of Positive Emotions Among Veterans With Posttraumatic Stress Disorder. Medical Care, 52, 32-38.

Kemeny, M. E., Foltz, C., Cavanagh, J. F., Cullen, M., Giese-Davis, J., Jennings, P., et al. (2012). Contemplative/Emotion Training Reduces Negative Emotional Behavior And Promotes Prosocial Responses. Emotion 12, 338–350.

Keune, P. M. (2010). Mindfulness Meditation: A Preliminary Study on Meditation Practice During Everyday Life Activities and its Association with Well-Being. Psihologijske teme, 19(2), 373-385.

Kharina & Saragih J.I (2012). Meditasi Metta-Bhacana (Loving-Kindness Meditation) unuk mengembangkan Selfcompassion. Jurnal On-Line Predicara.

Kumari, S. & Ghosh, S. (2015). Effect of Cyclic Meditation on Quality of Life and Perceived Stress in Female Adolescence. Journal of Educational & Psychological Researches, 1(3), 238-240.

Lally, P., Van Jaarsveld, C.H.M., Potts, H.W.W., & Wardle, J. (2010). European Journal of Social Psychology, 40(6), 998-1009.

Leung, M.-K., Chan, C. C., Yin, J., Lee, C.-F., So, K.-F., & Lee, T. M. (2013). Increased gray matter volume in the right angular and posterior parahippocampal gyri in loving-kindness meditators. Social Cognitive and Affective Neuroscience, 8(1), 34-39.

Luders, E., Toga, A. W., Lepore, N., & Gaser, C. (2009). The underlying anatomical correlates of long-term meditation: Larger hippocampal and frontal volumes of gray matter. NeuroImage, 45(3), 672-678.

Lutz, A., Brefczynski-Lewis, J., Johnstone, T., & Davidson, R. J. (2008). Regulation of the Neural Circuitry of Emotion by Compassion Meditation: Effects of Meditative Expertise.

Maharani, E.A. (2013). Pengaruh Pelatihan “Meditasi Sadar Diri” Terhadap Penurunan Tingkat Distres Remaja yang Mengalami Kehamilan Pranikah. (Tesis Tidak Dipublikasikan). Program Studi Magister Profesi Psikologi Universitas Gadjah Mada.

Menezes, C.B., Couto, M., Buratto, L.C., Erthal, F., Pereira, M.G., & Bizzaro, L. (2013). The Improvement of Emotion and Attention Regulation after a 6-Week Training of Focused Meditation: A Randomized Controlled Trial. Evidence -Based Complementary and Alternative Medicine.

Nielsen, L. & Kaszniak, A.W. (2006). Awareness of Subtle Emotional Feelings:  A Comparison of Long-term

Meditators and Nonmeditators. Emotion. 6(3), 392-405.

Nisfiannoor, M., & Kartika, Y. (2004). Hubungan antara Regulasi Emosi dan Penerimaan Kelompok Teman Sebaya pada Remaja. Jurnal Psikologi, 2, 160-178.

Nurhasanah, M. (2014). Hubungan antara Strategi Regulasi Emosi Cognitive Reappraisal dan Expressive Suppression dengan Kecenderungan Gaya Pengambilan Keputusan pada Anak Didik Tindak Pidana Narkoba di Lapas Anak Pria di Tangerang. (Tesis tidak dipublikasikan). Program Studi Psikologi Fakultas Humaniora Universitas Bina Nusantara, Jakarta.

Ortner, C. N., Kilner, S. J., & Zelazo, P. D. (2007). Mindfulness meditation and reduced emotional interference on a cognitive task. Motivation and Emotion, 31(4), 271-283.

Roeser, R. W., & Pinela, C. (2014). Mindfulness and compassion training in adolescence: A developmental contemplative science perspective. Mindfulness in Adolescence, 2014 (142), 9-30.

Rosaen, C. & Benn, R. (2006). The Experience of Transcendental Meditation in Middle School Students: A Qualitative Report. The Journal of Science and Healing, 2(5), 422-425.

Santrock, J. W. (2007). Remaja, edisi kesebelas. Penerbit Erlangga.

Sarwono, S. Psikologi Remaja. Jakarta: PT. Raja Grafindo. 2013.

Saudale, V. (2016, Maret 28). Megapolitan. Retrieved April 16, 2016,               from               BeritaSatu.com:

http://www.beritasatu.com/megapolitan/357151-tawuran-antar-pelajar-di-bogor-satu-tewas.html

Seppala, E., Hutcherson, C. A., Nguyen, D. T., Doty, J. R., & Gross, J. J. (2014). Loving-kindness meditation: a tool to improve healthcare provider compassion, resilience, and patient care. Journal of Compassionate Health Care, 1-5.

Sukiswanti, P. (2015, October 13). News. Retrieved March 3, 2016, from                                    okezone.com:

http://news.okezone.com/read/2015/10/13/340/1230918/re maja-tikam-pelajar-smk-dua-kali-di-bali.

Suwiknyo, E. (2015, 10 23). Bali. Retrieved March 4, 2016, from Tribun Bali: http://bali.tribunnews.com/2015/10/23/diduga-dilarang-menjalin-asmara-remaja-15-tahun-ini-gantung-diri

Teper, R. & Izlicht, M. (2012). Meditation, Mindfulness and Executive  Control:  The Importance of  Emotional

Acceptance  and Brain-Based Performance Monitorin.

Social Cognitive and Affective Neuroscience, 8(1), 85-92.

Vahia, H.S., Doengaji, D.R., Jeste, D.V., et al. (1984). In. D. H. Shapiro & R.N. c. (Eds.), Meditation: Classic and Contemporary Perspectives. New York: Aldine Publishing Company.

Van Hooff, M.L.M., & Baas, M. (2012). Recovering by Means of Meditation: The Role of Recovery Experiences and

Instrinsic Motivation. Applied Psychology, 62(2), 185-210.

Wahyuni, S. (2013). Hubungan Efikasi Diri dan Regulasi Emosi dengan Motivasi Berprestasi Pada Siswa SMK Negeri 1 Samarinda. eJournal Psikologi, 88-95.

Walsh, R. (1983). Meditation Practice and research. Journal of Humanistic Psychology, 23, 18-50.

Wellings, N. (2016). Why Can’t I Meditate?: How to Get Your Mindfulness Practice on Track. New York: Penguin Random House LLC.

158