PENERIMAAN DIRI DIFABEL (DIFFERENT ABILITIES PEOPLE): STUDI TENTANG REMAJA TUNANETRA PEROLEHAN
on
Jurnal Psikologi Udayana
Edisi Khusus Psikologi Positif, 53-61
Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana
ISSN: 2354 5607
PENERIMAAN DIRI DIFABEL (DIFFERENT ABILITIES PEOPLE): STUDI TENTANG REMAJA TUNANETRA PEROLEHAN
Son Three Nauli Gultom dan I Gusti Ayu Putu Wulan Budisetyani Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana [email protected]
Abstrak
Difabel (Different abilities people) merupakan kata yang digunakan untuk memperhalus istilah penyandang cacat, dan salah satu bagian dari difabel ini ialah penyandang tunanetra. Tunanetra merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan kondisi individu dengan indera penglihatan yang tidak berfungsi sebagai saluran penerima informasi dalam kehidupan sehari-hari seperti orang awas (Somantri, 2006). Kondisi tunanetra berpengaruh pada aspek kehidupan individu yang salah satunya adalah aspek sosial dan emosional. Sebagian tunanetra pada akhirnya mampu untuk berdamai dan menerima kondisi yang dimiliki dan berusaha untuk mengembangkan diri. Penerimaan terhadap diri ini merupakan sikap individu yang mampu merasa puas terhadap diri sendiri, kualitas, serta bakat sendiri serta adanya pengakuan terhadap keterbatasan diri sendiri (Chaplin, 2011). Havighurst (dalam Hurlock, 2006) juga menyatakan bahwa menerima keadaan fisik dan menggunakan tubuh secara efektif merupakan salah satu tugas dalam perkembangan remaja. Berdasarkan hal tersebut, peneliti ingin mengetahui penerimaan diri remaja difabel dengan fokus tunanetra perolehan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan desain penelitian studi kasus. Proses pengambilan data dilakukan dengan teknik wawancara dan observasi terhadap dua orang remaja tunanentra perolehan. Peneliti juga melakukan wawancara terhadap significant other remaja tunanetra untuk memperkuat data yang telah ada. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa proses penerimaan diri remaja tunanetra terjadi melalui tiga fase. Fase tersebut adalah fase awal, fase konflik, dan juga fase menerima. Dinamika yang terjadi berbeda pada setiap individu dan akan dibahas lebih detail sesuai dengan pengalaman hidup remaja tunanentra tersebut hingga mampu menerima kondisi diri.
Kata Kunci: penerimaan diri, difabel, tunanetra, perolehan.
Abstract
Difabel (Different abilities people) used to refine the term of people with disabilities, and one of these disabilities is blindness. Blindness is a term that used to explain the condition of individual with a sense of vision that is not functioning as a receiver information in daily life like a normal people (Somantri, 2006). This condition contributes to some development aspect of human being, which are social aspect and emotional aspect. Some of them finally able to reconcile, accept the condition and attempted to develop themselves. Self-acceptance is the attitude of people that able to feel satisfied with themselves, quality, talent and recognition of the limitations of self (Chaplin, 2011). Havighurst (in Hurlock, 2006) also states that accept physical condition and use the body effectively is one of task in adolescence development. According to the fact, this study would like to know self-acceptance of difabel in acquired blindness adolescence. This study using qualitative method and case study design. Collecting data in this study using interview and observation toward two acquired blindness adolescence. To strengthened data, this study used interview and observation toward significant other of acquired blindness adolescence. The result of this study shows that acquired blindness adolescence passing three phases in the process of self-acceptance, which are proximal phase, conflict phase, and accepting phase. The dynamics in every complete phase will be discussed based to the chronology of the adolescence life journey until they can accept their condition.
Keywords: Self accaptance, difabel, blindness, Acquired
LATAR BELAKANG
Masa remaja merupakan salah satu tahapan penting yang harus diperhatikan dalam siklus kehidupan. Pasa tahap perkembangan ini, individu selalu ingin tampil maksimal baik tampilan fisik maupun perilaku, akan tetapi sering kali harapan tersebut sirna karena terjadi hal yang tidak terduga (Musfiroh, 2010). Kejadian tidak terduga seperti adanya kecelakaan ataupun adanya bencana alam yang mengubah kehidupan individu dan dapat menyebabkan kecacatan pada salah satu anggota tubuh. Individu yang mengalami kecacatan ini lebih dikenal dengan istilah difabel (different abilities people) atau orang-orang yang mempunyai kemampuan berbeda (Setyawati, 2008).
Jumlah difabel di Indonesia menurut Kementerian Kesehatan sekitar 6,7 juta jiwa atau 3,11% dari populasi penduduk Indonesia (JPNN, 2012). Jumlah difabel ini tersebar di banyak wilayah di Indonesia, dimana salah satunya berada di pulau Bali yang pada tahun 2012 jumlahnya ialah 16.135 jiwa (Badan Pusat Statistik, 2013). Tunanetra merupakan salah satu difabel dengan jumlah sekitar 1,7 juta jiwa di Indonesia (Rigo, 2013), dan di Bali jumlahnya 2213 jiwa (Badan Pusat Statistik, 2013). Tunanetra merupakan istilah yang digunakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang maknanya ialah tidak dapat melihat (Murjoko, 2012). Tunanetra memiliki penyebab yang berbeda pada setiap individu, ada yang mengalami sejak lahir atau dikenal dengan tunanetra bawaan, dan ada yang mengalami setelah lahir karena faktor kecelakaan, bencana alam, sakit, atau hal lain dimana individu sudah memiki pengalaman visual disebut sebagai tunanetra perolehan (Lukitasari, 2011).
Menjadi penyandang tunanetra memunculkan reaksi yang berbeda pada setiap individu. Rosa (dalam Fitryiah, 2012) menjelaskan bahwa penyandang tunanetra bawaan tetap merasa bahagia, dan secara otomatis menerima kondisi yang dialami karena tidak merasa kehilangan apapun. Lebih lanjut Lowenfeld (dalam Murjoko, 2012) mengatakan bahwa individu yang menjadi penyandang tunanetra pada usia sekolah atau pada masa remaja telah memiliki kesan-kesan visual. Pada akhirnya kesan ini akan meninggalkan pengaruh yang mendalam terhadap proses perkembangan pribadi individu tersebut.
Seorang penyandang tunanetra di usia remaja tentu akan mengalami beberapa perubahan yang signifikan karena pada usia ini, individu berusaha mencari jati diri dan pengakuan dari lingkungan. Saat perubahan yang terjadi tidak sesuai dengan keinginan, individu akan merasa rendah diri, kehilangan, dan tidak percaya diri karena kondisi yang dialami berbeda dengan kondisi awal (Fitriyah, 2012). Perubahan ini juga akan memunculkan reaksi internal dan eksternal. Reaksi internal individu adalah kurangnya rasa percaya diri, pesimis, ragu-ragu, dan khawatir saat menyampaikan gagasan (Khusnia & Rahayu, 2010). Reaksi eksternal yang muncul
ialah pandangan masyarakat bahwa tunanetra tidak berdaya, tidak mandiri, dan menyedihkan. Hal ini juga ditemukan dari hasil wawancara dengan MT (23), yang mengatakan bahwa meski penyandang tunanetra saat ini sudah banyak yang mandiri, tetapi tetap harus dibantu karena keterbatasan yang dimiliki sehingga tidak sebebas orang normal. MT juga mengatakan bahwa penyandang tunanetra terkadang sedikit merepotkan karena harus lebih diperhatikan dan dituntun (MT, 2014).
Perubahan yang terjadi karena menjadi penyandang tunanetra perolehan dialami oleh seorang pemuda bernama Sikdam Hasim (26), seorang guru bahasa Inggris dan juga pejuang hak-hak penyandang disabilitas (Mendofra, 2016). Sikdam menjadi penyandang tunanetra perolehan karena kecelakaan mobil hingga harus kehilangan indera penglihatan. Sikdam panik dan kaget karena tidak dapat melihat sama sekali, dan juga memberontak karena takut dan cemas akan kondisi yang dialami. Semakin hari fisik Sikdam semakin memburuk, perasaan tertekan membuat Sikdam kehilangan banyak berat badan dan Sikdam berpikir lebih baik mati dengan meminum racun anti nyamuk.
“Semangat hidup saya hilang seiring dengan hilangnya penglihatan saya. Saya ingin mati cepat, tapi tidak terlalu menyakitkan”
Keinginan bunuh diri ini batal karena usaha ibu Sikdam melakukan pendekatan dan selalu mendukung setiap saat. Ibu Sikdam mulai memperkenalkan Sikdam pada penyandang disabilitas dan hal tersebut membuat Sikdam merasa memiliki semangat hidup lagi. Ibu Sikdam mengingatkan Sikdam akan kelebihan yang dimiliki salah satunya kelebihan berbahasa Inggris yang kemudian memberi harapan baru untuk kembali bangkit. Sikdam memerlukan waktu sekitar setahun sebelum akhirnya kembali membuka diri dan mulai mau mengambil aktivitas kembali.
Penyandang tunanetra perolehan berikutnya yang sukses dibidang yang digeluti ialah Ritson Manyonyo (38), seorang instruktur komputer, memiliki perusahaan perkebunan, dan juga pengurus yayasan Elsafan. Ritson kehilangan indera penglihatan ketika berada di bangku kuliah karena penyakit saraf mata yang dialami (Pardede, 2012).
"Saya sudah putus asa. Saya hobi membaca. Waktu itu saya masih kuliah. Bahkan saya sudah mau bunuh diri, saya sangat depresi. Saya dulu yang bisa bawa kendaraan sendiri, sejak buta kemanapun harus dituntun"
“Untuk teman yang punya keterbatasan fisik, ingat, yang pertama perlu disadari adalah sadarilah, terima keterbatasan itu sebagai takdir. Jangan mengasihani dan menjual keterbatasan itu. Seberapapun beratnya keterbatasan yang kita
miliki, kita harus mampu mengalahkannya. Kita tidak boleh menjadikannya sebagai alasan untuk berhenti berjuang,"
Semangat Ritson kembali bangkit setelah mengetahui seorang teman yang juga tunanetra tetapi tetap bersemangat menjalani hidup. Dukungan dari keluarga merupakan hal yang paling penting untuk kembali bangkit dan menerima keadaan hingga akhirnya Ritson berjuang dan segera menyelesaikan kuliah yang sempat tertunda (Pardede, 2012).
Berdasarkan pemaparan di atas tergambar dengan jelas bahwa setiap individu yang menjadi penyandang tunanetra perolehan melalui fase konflik karena kondisi yang dialami. Sulit bagi individu untuk menerima kondisi yang berbeda dari keadaan sebelumnya, Ditengah keterbatasan yang dimiliki, ternyata tidak menjadi sebuah alasan untuk menyerah dan berdiam diri meratapi nasib. Ada hal-hal yang akhirnya membuat individu dengan tunanetra perolehan akhirnya bangkit dan berjuang untuk mengembangkan diri dan meraih masa depan yang lebih baik. Dukungan yang diterima individu menjadi salah satu faktor penting untuk dapat bangkit dari keterpurukan. Kepercayaan serta adanya perasaan senasib yang dirasakan indvidu saat bertemu orang yang memiliki keterbatasan yang sama namun mereka mampu untuk bangkit menjadi salah satu pemicu semangat individu untuk bangkit.
Selain dukungan yang diterima individu, penerimaan akan diri sendiri dengan segala kondisi tanpa menyalahkan siapapun dan terus berusaha mengembangkan diri menjadi hal penting yang harus diperhatikan. Penerimaan diri ini menjadi penting karena merupakan hal yang paling mendasar ketika individu ingin sukses dan berdamai dengan keadaan yang ada (Aritama, 2010). Sebagaimana pada penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa ketika remaja difabel memiliki penerimaan diri yang tinggi akan memiliki penyesuaian diri yang tinggi sehingga lebih mudah memahami kondisi diri sendiri dan mampu menerima kekurangan dan kelebihan yang dimiliki (Putra, 2014). Hurlock juga mengatakan dengan penerimaan diri, remaja akan memiliki penyesuaian diri dan sosial yang lebih baik yang membuat seseorang menjadi sukses, bahagia, dan memiliki kehidupan yang penuh makna (Ardani & Nasution, 2014).
Penerimaan diri merupakan suatu kemampuan menerima segala hal yang ada pada diri sendiri baik kekurangan maupun kelebihan yang dimiliki dan bersedia memperbaiki segala sesuatu yang dianggap kurang (Hurlock, 2006). Pada definisi selanjutnya penerimaan diri juga merupakan bentuk dari sebuah sikap yang pada dasarnya merasa puas terhadap diri sendiri, kualitas, serta bakat sendiri serta adanya pengakuan terhadap keterbatasan diri sendiri (Chaplin, 2011). Faktor yang mempengaruhi penerimaan diri, yaitu: Pemahaman Diri, harapan yang realistik, tidak adanya hambatan lingkungan, tingkah laku sosial yang sesuai, tidak adanya stres emosional, kenangan akan keberhasilan
sebelumnya, identifikasi dengan orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik, perspektif diri, pola asuh masa kecil yang baik, konsep diri yang stabil (Hurlock (2006).
Adapun tahapan dalam proses penerimaan diri (self acceptance) menurut Livneh dan Antonak (2005) ialah:
-
1. Reaksi awal (proximal)
-
a. Kaget
Reaksi individu yang muncul pada tahapan ini ialah perasaan tidak percaya dengan hal yang dialami, adanya gangguan pada mobilitas individu secara keseluruhan, dan disorganisasi kognitif (Livneh dan Antonak, 2005).
-
b. Kecemasan
Reaksi selanjutnya ialah rasa panik saat mengetahui sifat dan besarnya peristiwa traumatis yang dialami ditandai dengan munculnya perasaan bingung dan ketidakmampuan fungsi kognitif, dan hadir gejala fisiologis termasuk denyut jantung yang cepat, keringat yang berlebih, serta adanya gangguan pada sistem pencernaan (Livneh dan Antonak, 2005)..
-
c. Penyangkalan
Reaksi yang muncul pada tahap ini ialah suatu penolakan terhadap kenyataan yang terjadi, dan biasanya merupakan suatu cara individu untuk mempertahankan diri. Pada tahap ini, individu akan berusaha untuk menyangkal realitas yang ada dan hanya berfungsi sementara karena penyangkalan yang dilakukan individu bersifat primitif (Taylor, 2009).
-
2. Reaksi menengah (intermediate)
-
a. Depresi
Reaksi yang muncul ialah adanya rasa putus asa, berdiam diri, menghabiskan banyak waktu untuk menangis, merasa tidak memiliki harapan, dan merasa tidak dapat tertolong lagi (Kubler ross, 2008).
-
b. Marah dan Permusuhan
Perasaan marah membuat individu sulit untuk memperdulikan keadaan dan membuat individu cenderung menyalahkan kondisi yang dialami (Kubler ross, 2008) Reaksi marah dan permusuhan biasanya dibagi menjadi dua bagian menurut Livneh dan Antonak (2005) , yaitu:
-
1 .Internalisasi rasa marah. Individu akan menunjukkan rasa marahnya kepada diri sendiri, adanya rasa benci, rasa bersalah, dan sering menyalahkan diri.
-
2 .Eksternalisasi sikap permusuhan. Individu akan menunjukkan sikap permusuhan terhadap sekitarnya dengan cara membalaskan perasaan marah yang dirasakan individu pada orang lain atau lingkungan disekitarnya.
-
3. Reaksi akhir (distal)
-
a. Pengakuan dan Penyesuaian
Pada tahap ini individu tidak lagi marah dan mulai membiasakan diri dengan risiko yang mungkin akan dihadapi. Individu mulai mencoba menghadapi pikiran yang tidak menyenangkan tentang penyakit yang dialami, dan mulai menyadari kondisi diri dan berusaha untuk dapat menerima kondisi diri sendiri (Germer, 2009).
METODE PENELITIAN
Tipe Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Bogdan dan Taylor mendefinisikan metode kualitatif merupakan suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku juga yang dapat diamati (dalam Moleong, 2004). Metode penelitian kualitatif ini merupakan penelitian yang berusaha memahami masalah-masalah manusia atau sosial dengan menciptakan gambaran menyeluruh yang disajikan dengan kata-kata, melaporkan masalah terperinci dari sumber informasi, serta dilakukan dalam latar yang alami (Gunawan, 2013). Penelitian dengan metode kualitatif ini memiliki sifat yang sementara, tentatif, dan berkembang atau berganti setelah peneliti berada di lapangan. Dalam hal ini penelitian kualitatif ini memungkinkan peneliti untuk menemukan fakta-fakta baru yang tidak terpikirkan oleh peneliti sebelumnya, dan selama proses penelitian berlangsung desain penelitian yang digunakan disesuaikan dengan kebutuhan peneliti.
Responden
Kriteria responden aau sampel penelitian yang akan dijadikan peneliti sebagai sumber data dalam penelitian ini ialah sebagai berikut :
-
a. Remaja penyandang tunanetra perolehan
-
b. Remaja dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan
-
c. Berusia antara 11 hingga usia 22 tahun
-
d. Pernah memiliki indera penglihatan yang normal
Tempat Penelitian
Lokasi yang menjadi tempat penelitian berlangsung ialah di asrama Dria Raba yang terletak di jalan Serma Gede no.11, Sanglah, Denpasar. Penelitian ini pada awalnya di lakukan di SLBA dengan mengirimkan surat ijin kepada kepala sekolah, akan tetapi responden penelitian yang pertama tinggal di asrama dan responden kedua selalu ada di asrama pada siang hari, maka penelitian selanjutnya dilaksanakan di asrama Dria Raba.
Prosedur Pengambilan Data
Mantja (dalam Gunawan, 2013) menyatakan bahwa data penelitian kualitatif diperoleh dari sumber data dengan menggunakan teknik pengumpulan data yang dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu metode yang bersifat interaktif dan noninteraktif. Teknik interaktif dilakukan melalui wawancara dan pengamat berperan serta, sementara teknik noninteraktif ialah pengamat tidak berperan serta, analisis isi dokumen, dan analisis arsip. Tipe pengumpulan data dalam penelitian kualitatif sangat beragam, disesuaikan dengan masalah, tujuan penelitian dan juga sifat objek yang diteliti. Jenis pengumpulan data menurut (Poerwandari, 1998) ialah wawancara, observasi, diskusi kelompok terfokus, analisis terhadap karya, analisis dokumen, analisis catatan pribadi, studi kasus, dan studi studi riwayat hidup. Dan dalam penelitian ini, teknik yang digunakan ialah wawancara dan juga observasi.
Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dalam penelitian kualitatif cukup beragam, akan tetapi yang akan digunakan peneliti dalam penelitian ini ialah teknik analisa tematik menurut Strauss dan Corbin (dalam Poerwandari, 1998). Analisa tematik ini memiliki tiga tahapan yaitu open coding, axial coding, dan selective coding.
-
1. Open Coding
Peneliti mencari sebanyak mungkin data yang termasuk di dalamnya perilaku responden, situasi sosial lokasi penelitian. Langkah yang dilakukan ialah :
a.Breaking Down. Merinci kelengkapan data yang ada dengan mengumpulkan semua informasi yang berkaitan dengan partisipan.
b.Examining. Proses memeriksa dan mengelompokan bentuk-bentuk tindakan informan.
c.Comparing. Membandingkan bentuk tindakan partisipan beserta sejumlah faktor yang mempengaruhi.
d.Conceptualizing. Proses menjelaskan konsep lokal yang sering dan diucapkan dan dilakukan partisipan.
e.Categorizing. Proses pengkategorian data menjadi tema-tema yang sifatnya masih terbuka.
-
2. Axial Coding
Hasil yang diperoleh dari open coding diorgasnisasi kembali berdasarkan kategori-kategori untuk dikembangkan ke arah proporsi-proporsi. Pada tahap ini dilakukan analisis antar kategori.
-
3. Selective Coding
Peneliti menggolongkan kategori menjadi kriteria inti dan pendukung serta mengaitkan antara kategori inti dan pendukungnya. Kategori ini ditemukan melalui perbandingan hubungan antar kategori dengan menggunakan model paradigma lalu memberikan hubungan antar kategori dan
akhirnya menghasilkan kesimpulan yang kemudian diangkat menjadi general design.
Teknik Pemantapan Kredibilitas Penelitian
Dalam penelitian kualitatif pengukuran keabsahan data dapat dilakukan dengan beberapa cara. Moleong (2004) menjelaskan beberapa teknik yang digunakan untuk mengukur kredibilas penelitian, seperti : perpanjangan keikutsertaan, ketekunan/keajegan pengamatan, triangulasi, dan pengecekan anggota. Dalam proses pemantapan kredibilitas penelitian ini, peneliti akan menggunakan teknik triangulasi data yaitu triangulasi sumber, triangulasi teknik pengumpulan data, dan triangulasi waktu.
HASIL PENELITIAN
Karakteristik Subjek
Hasil penelitian ini akan di jelaskan secara terpisah berdasarkan kasus masing-masing responden karena merujuk pada metode atau desain penelitian yang digunakan yaitu studi kasus.
-
1. Responden AM
Proses penerimaan diri yang dialami responden dimulai dari usia 10 tahun dan berlanjut terus hingga responden menginjak usia saat ini. Proses yang terjadi ialah sebagai berikut : a. Reaksi awal
Kejadian awal responden menjadi penyandang tunanetra bermula ketika responden mengalami sakit meningitis. Responden menjalani perawatan dirumah sakit hingga akhirnya virus meningitis tersebut sembuh, akan tetapi efek virus ini menyerang sitem saraf mata responden hingga akhirnya responden kehilangan indera penglihatan. Menjadi penyandang tunanetra membuat responden akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikan karena responden ingin sembuh terlebih dahulu. Responden berhenti sekolah selama 2 tahun dan menjalani berbagai macam pengobatan baik medis maupun alternatif. Selama 2 tahun, keluarga responden menawarkan agar responden kembali melanjutkan pendidikan ke SLBA dan akhirnya responden mau melanjutkan pendidikan.
Pada saat awal responden masuk sekolah, responden sangat pendiam dan lebih banyak menghabiskan waktu dikelas. Teman-teman sekolah responden mulai mengajak responden berkenalan hingga akhirnya responden mulai menyesuaikan diri dengan baik. Setelah 2 minggu sekolah di SLBA responden berangkat dan pulang kerumah, namun akhirnya teman responden mengajak untuk tinggal diasrama. Responden mengutarakan keinginan tinggal diasrama kepada orangtua karena diasrama responden punya banyak treman dan juga banyak kegiatan. Orangtua responden akhirnya mengijinkan responden untuk tinggal diasrama.
-
b. Reaksi menengah
Menjadi penyandang tunanetra membuat responden mengalami beberapa konflik baik secara internal maupun eksternal. Konflik internal responden lebih kepada kenginan responden untuk dapat sembuh dan melakukan kegiatan seperti dulu. Responden merasa sedih tidak dapat membantu ibu bekerja dan responden tidak ingin cerita kepada ibu responden ketika sedih karena takut ibu responden akan khawatir dan sedih. Konflik lai yang juga dirasakan responden ialah konflik eksternal dimana responden pernah mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan dari orang lain karena kondisi responden yang menjadi penyandang tunanetra. Selama proses pengobatan, responden juga pernah menolak proses pengobatan yang ditawarkan. Orangtua responden menyarankan untuk melakukan operasi mata, namun responden menolak karena responden merasa takut indera pengelihatan responden semakin memburuk. Responden sudah mampu melihat bayangan berwarna hitam namun tidak dapat melihat secara jelas objek yang ada dihadapan responden, namun responden merasa bahwa itu merupakan sebuah kemajuan.
-
c. Reaksi akhir
Responden sudah menerima kondisi yang dialami dan sikap responden dalam menerima ini merupakan tahapan dimana responden sudah mulai membiasakan diri dengan risiko yang mungkin akan dihadapi. Dalam proses menerima diri ini responden mampu memahami diri dan mengetahui apa yang menjadi kelemahan responden setelah kehilangan indera penglihatan, maka responden berusaha untuk meningkatkan kemampuan indera yang lainnya untuk membantu
menggantikan fungsi indera penglihatan yang sudah tidak
berfungsi. Pemahaman diri serta penerimaan diri ini berjalan berdampingan, karena semakin individu dapat memahami diri sendiri dengan baik maka semakin baik pula individu dapat menerima diri.
Responden juga memiliki harapan yang realistis dan yang mampu dicapai kedepannya. Responden ingin menjadi seorang guru dan mulai mempersiapkan diri dengan belajar lebih giat dan mengikuti perlombaan atau olimpiade. Lingkungan sekitar responden juga sangat mendukung responden dalam mewujudkan keinginan responden. Responden juga berusaha mengembangkan kelebihan yang dimiliki dengan mengikuti les piano. Kehilangan indera penglihatan memang sempat membuat responden merasa kaget dan juga sedih karena tidak dapat melihat lagi, namun hal ini tidak membuat responden mengalami stres. Responden selalu berusaha untuk maju dan menjadikan penyandang tunanetra lain sebagai panutan. Bagi responden jika orang lain mampu, maka responden juga mampu untuk bangkit dan meraih mimpi.
-
2. Responden GD
Proses penerimaan diri yang dialami responden dimulai dari usia 8 tahun dan berlanjut terus hingga responden menginjak usia saat ini. Proses yang terjadi ialah sebagai berikut :
-
a. Reaksi awal
Pada awalnya responden mengalami kecelakaan bola yang mengakibatkan pecahnya retina mata responden hingga akhirnya responden kehilangan indera penglihatan saat kelas 3 SD. Responden menjalani pengobatan hingga akhirnya sembuh dan dapat melihat kembali, akan tetapi 3 tahun kemudian muncul katarak pada mata responden. Akhirnya responden kembali menjalani operasi pada kelas 6 SD dan harus menggunakan kacamata plus karena kondisi mata responden yang semakin parah. Lambat laun penglihatan responden semakin memburuk dan saat akan masuk SMP responden sudah tidak dapat melihat lagi. Dokter menyatakan bahwa indera penglihatan responden sudah tidak dapat disembuhkan dan orangtua responden pun akhirnya memutuskan agar responden berhenti sekolah.
Responden vakum selama 5 tahun karena tidak mengetahui bahwa tunanetra dapat beraktivitas dan melanjutkan pendidikan. Selama 5 tahun responden vakum sekolah, responden menjalani beberapa pengobatan hingga ke Singapura namun tidak ada hasil. Kemudian dokter di Singapura memberitahu mengenai SLBA yang ada di jalan Serma Gede dan mengatakan agar responden melanjutkan pendidikan. Akhirnya responden kembali ke Bali dan masuk sekolahdi SLBA. Saat di SLBA responden tidak mengalami hambatan dalam beradaptasi dengan teman-teman akan tetapi responden lebih lama beradaptasi dengan lingkungan tempat sekolah belajar. Selama sekolah di SLBA responden tidak tinggal diasrama melainkan pulang kerumah setiap hari. b. Reaksi menengah
Menjadi penyandang tunanetra membuat responden mengalami permasalah masalah internal dan eksternal. Permasalahan internal responden ialah munculnya perasaat takut karena tidak dapat melihat lagi. Responden juga ingin sekali dapat melakukan ke\giatan seperti orang normal dan bisa berman bersama teman-teman responden. Responden sering merasa diabaikan ketika banyak orang sedang membicarakan sesuatu, namun responden tidak dianggap ada disana. Permasalahan eksternal responden ialah responden mendapatkan perlakuan kuyrang menyenangkan dari orang disekitar responden baik orang lain bahkan keluarga responden sendiri. Responden dianggap tidak mampu melakukan apa-apa karena tunanetra dan harus selalu dibantu untuk makan, mandi dan kegiatan lain.
Responden juga tidak dapat pergi keluar dan jalan jalan dengan teman-teman, bahkan teman responden sudah jarang datang kerumah responden untuk bermain. Teman responden didunia maya juga mulai menjauhi responden setelah mengetahui bahwa responden tunanetra. Seringkali
responden merasa marah dan kesal ketika dicibir oleh orang lain, namun responden memilih untuk pergi dan mendengarkan lagu atau bercerita kepada adik atau ibu responden.
Responden merasa stres akan kondisi yang dialami karena responden menjadi terbatas dalam melakukan banyak hal. Perasaan stres ini mulai muncul saat vresponden menjalani operasi hingga menimbulkan efek fisik seperti mual, pusing, dan muntah. Stres ini juga terus dirasakan hingga responden kehilangan indera penglihatan terutama saat responden sedang sendiri dan ingin pergi keluar bersama teman-teman namun tidak bisa. Perasaan trauma juga dirasakan responden sejak terkena bola dulu, setiap kali mendengar kata bola responden merasa takut. Selain itu, responden juga akhirnya menolak proses pengobatan yang ditawarkan. Responden pernah ditawari untuk melakukan laser mata, namun responden menolak karena belum ada kepastian akan kesembuhan jika menjalani pengobatan tersebut.
c. Reaksi akhir
Saat ini responden juga sudah dapat menerima kondisi dirinya dan mulai mampu menjalni kehidupannya dengan baik. Dalam proses menerima diri ini responden mampu memahami diri dan mengetahui apa yang menjadi kelemahan dan kelebihan responden setelah kehilangan indera penglihatan, Responden merasa mampu dalam bermain bass dan berusaha untuk tetap berlatih dan meningkatkan kemampuan diri agar menjadi lebih baik lagi. Responden juga memiliki harapan yang realistis dan yang mampu dicapai kedepannya. Responden ingin menjadi seorang pengajar musik. Responden yakin mampu mewujudkan mimpi tersebut jika ada dukungan melalui fasilitas serta peluang yang diberikan kepada responden.
Lingkungan tempat responden menuntut ilmu juga sangat mendukung responden dalam mewujudkan keinginan responden. Responden juga berusaha mengembangkan kelebihan yang dimiliki dengan bergabung dalam sebuah band dan terus berlatih bersama. Banyak prestasi yang telah dicapai responden melalui band yang di ikuti hingga menjadi pemacu semangat bagi responden untuk terus maju dan berkarya. Ketika mengalami kegagalan, responden berusaha untuk tetap berpikir ppsitif dan belajar dari kesalahan serta memperbaiki kesalahan tersebut. Responden selalu berusaha untuk maju dan memiliki panutan yang menjadi sumber semangat responden. Panutan ini dijadikan responden sebagai contoh untuk terus berusaha untuk mencapai mimpi.
Tabd 1. Dinamika fase menerima pada responden | ||
Dinamika |
Responden AM |
Responden GD |
Informasi Mendaparkau penjelasan mengenai Innanetra Tempat tinggal Asrama sekolah Pemahaman diri Mengetahui kelebihan dan kekurangan, mengenali batas kemampuan din Penerimaan diri Bersyukur dan Menerima diri dengan kondisi tunanetra Perubahan sikap Perubahan sikap menjadi lebih baik Pandangan mengenai Mengetahui keinginan dan cita-masa depan cita dimasa depan dan mempersiapkan diri Duknngan sosial Mendapatkan dukungan dari Oi aiigUia. keluarga, guru, dan teman |
Tidak mendapatkan informasi mengenai Itmauetra Kembali ke rumah Mengetahui kelebihan dan kekurangan, mengalami kesulitan menjadi tunanetra Bersyuktir dan menerima diri dengan kondisi tunanetra Pembahan sikap menjadi lebih pendiam Merencanakan masa depan Mendapatkan dukungan dari orangtua. guru, dan teman |
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan diatas didapatkan bahwa remaja tunaetra perolehan dalam hal ini kedua responden memiliki proses penerimaan diri yang sama. Berdasarkan hasil penelitian ini kedua responden samasama melewati tiga fase dalam proses penerimaan diri. Pada fase awal, responden dengan tunanetra perolehan mengalami sesuatu hal seperti sakit dan juga kecelakaan yang menyebabkan responden akhirnya kehilangan indera penglihatan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Somantri (2006) yang menyatakan bahwa tunanetra yang dialami oleh individu dapat terjadi karena beberapa faktor yang berasal dari internal maupun eksternal individu. Setelah kehilangan indera penglihatan, responden berusaha untuk menjalani beberapa pengobatan dan namun pada akhirnya kedua responden kehilangan fungsi indera penglihatan. Reaksi responden selama proses pengobatan ialah munculnya perasaan cemas, dimana menurut Livneh dan Antonak (2005) kondisi cemas ini terlihat dengan timbulnya gejala fisik yaitu denyut jantung yang cepat, berkeringat, dan gangguan sistem pencernaan.
Hal yang dialami responden setelah kehilangan indera penglihatan ialah tidak dapat melakukan kegiatan sebagaimana biasanya hingga akhirnya responden juga vakum dari sekolah selama beberapa tahun. Pada akhirnya responden harus mulai menyesuaikan diri dengan kondisi baru dan mulai mempersiapkan diri memasuki jenjang pendidikan kembali. Kedua responden akhirnya masuk di sekolah khusus untuk anak-anak tunanetra di SLBA karena tidak bisa mengikuti proses belajar disekolah biasa. Menjadi penyandang tunanetra akan membuat responden mengalami kesulitan dengan cara belajar disekolah biasa karena indera penglihatan tidak berfungsi sebagai saluran penerima informasi dalam kehidupan sehari-hari seperti orang awas (Somantri, 2006).
Blos (dalam Sarwono, 2012) bahwa remaja membutuhkan dan juga bergantung pada teman-teman serta akan mencari kesamaan dengan kelompok. Hal ini terlihat pada responden AM yang memutuskan untuk tinggal diasrama karena banyak teman dan banyak kegiatan, sedangkan Responden GD juga berada di asrama hingga sore hari namun kembali kerumah di sore hari. Setelah menjadi penyandang
tunanetra, responden AM dan juga GD mengalami permasalahan seperti diremehkan oleh orang lain karena menjadi penyandang tunanetra. Hal ini juga dipaparkan dalam penelitian sebelumnya dimana masyarakat cenderung menjadikan penyandang tunanetra sebagai kaum minoritas (Sumaryanto, 2011). Adanya sindiran dan celaan yang diterima responden dari lingkungan membuat responden akhirnya memunculkan sikap atas hal tersebut, pada responden AM berusaha untuk menerima dan pada responden GD lebih kepada menghindar. Hasil penelitian Purnaningtyas (2013) juga menyatakan bahwa celaan yang sering diterima dari lingkungan sekitar akan menyebabkan individu menarik diri dari pergaulan.
Responden juga sangat terhambat dalam proses pergaulan karena tidak dapat bersosialisasi dengan teman-teman karena terhambat pada indera penglihatan. Hal ini juga dinyatakan oleh Soekanto (dalam Widodo & Pratitis, 2013) bahwa interaksi sosial merupakan kunci utama dari semua kehidupan sosial karena tanpa interaksi sosial tidak akan mungkin ada kehidupan bersama. Responden GD ingin melakukan kegiatan seperti saat masih dalam kondisi melihat dulu dan dapat berkumpung dengan teman-teman responden. Pada saat seperti ini responden ingin lebih banyak meluangkan waktu dengan teman karena pada usia remaja ini hubungan dengan kelompok jauh lebih kuat daripada dengan orangtua (Sarwono, 2012).
Pada responden untuk dapat menerima kondisi diri dimulai dengan adanya dukungan yang diterima baik berupa dukungan informasi, dukungan emosional, dan dukungan instrumental. Hal ini tergambar juga dalam hasil penelitian sebelumnya dimana dukungan orang-orang terdekat mampu membuat individu mampu bangkit dan kembali melanjutkan hidup (Puspitarini, 2013). Masuk di SLBA juga merupakan salah satu hal yang sangat membantu responden untuk menerima diri, karena responden akhirnya mendapatkan kesempatan untuk belajra kembali dengan cara yang sesuai dengan kebutuhan responden. Salah satu penentu sukses atau tidaknya penyandang tunanetra terletak pada ada atau tidaknya sarana belajar yang dimiliki (Sumaryanto, 2011).
Jersild (dalam Ramadan, 2013) menyebutkan ciri individu yang mampu menerima diri ialah memiliki penilaian yang realistis terhadap kekurangan tanpa mencela diri dan menyadari kelebihan yang dimiliki. Dalam hal ini, responden AM dan GD mampu mengenal kekuatan diri masing-masing dan berusaha mengembangkan hal tersebut. Responden AM ingin menjadi guru dan mulai mempersiapkan diri dengan belajar giat dan mengikut banyak perlombaan. Responden GD ingin menjadi pengajar musik dan juga mulai berlatih lebih giat dan mengikuti lomba bersama band responden.
AM mengetahui kelebihan diri dalam pelajaran dan terus giat ikut les akademik dan juga ikut les piano di asrama. Responden yang sudah mampu menerima diri ialah yang
mengakui kelebihan dan kekurangan yang dimiliki dan memiliki keinginan yang kuat untuk terus mengembangkan diri (Handayani, Ratnawati, & Helmi, 1998). Pada responden GD selain prestasi, kekalahan yang dialami saat ikut kompetisi band tidak menjadikan responden menyerah. GD menjadi lebih banyak belajar dengan mencari letak kesalahan sebelumnya dan berusaha memperbaiki hal tersebut. Chaplin (2012) bahwa menerima diri ialah bentuk dari sebuah sikap yang pada dasarnya merasa puas terhadap diri sendiri, kualitas, serta bakat sendiri serta adanya pengakuan terhadap keterbatasan diri sendiri.
Secara keseluruhan dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa remaja tunanetra perolehan dalam hal ini kedua responden memiliki proses penerimaan diri yang sama. Berdasarkan hasil penelitian ini kedua responden sama-sama melewati ketiga fase dalam proses penerimaan diri. Pada akhirnya setelah melewati ketiga fase tersebut, responden AM dan responden GD mampu menerima diri dengan segala bentuk dukungan dari orangorang disekitar responden.
Saran bagi Individu dengan kondisi tunanetra
perolehan diharapkan selalu memiliki sikap positif dan
percaya diri agar mampu menerima diri dengan baik. Salah satu cara yang dapat dilakukan ialah mengikuti kegiatan yang sesuai dengan bakat yang dimiliki. Mencari informasi mengenai hal yang diperlukan dalam mempersiapkan masa depan dengan cara bertanya kepada guru, orangtua, atau orang yang dianggap memiliki kompetensi. .
DAFTAR PUSTAKA
Ardani, H. Z., & Nasution, I. K. (2014). Gambaran proses
penerimaan diri remaja tunadaksa karena kecelakaan lalu lintas. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Aritama. (2010). Penerimaan diri adalah modal awal dari kesuksesan. Dipetik Agustus 3, 2016, dari
http://aritama.student.fkip.uns.ac.id/penerimaan-diri-adalah-modal-awal-dari-kesuksesan/
Badan Pusat Statistik. (2013). Bali dalam angka 2013. Denpasar: Badan Pusat Statistik Provinsi bali.
Chaplin, J. P. (2011). Kamus lengkap psikologi. Jakarta: Rajawali Pers.
Fitriyah, C. (2012). Konsep diri pada remaja tunanetra di YPAB (yayasan pendidikan anak buta) Surabaya. Surabaya: Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel.
Germer, C. K. (2009). The mindful path to self compassion. USA: The Guilford Press.
Gunawan, I. (2013). Metode penelitian kualitatif teori & praktik. Jakarta: Bumi Aksara.
Handayani, M. M., Ratnawati, S., & Helmi, A. F. (1998). Efektivitas pelatihan pengenalan diri terhadap peningkatan penerimaan diri dan harga diri. Jurnal Psikologi , No.2, 47-55.
Hurlock, E. B. (2006). Psikologi perkembangan suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta: Erlangga.
Jpnn - Jawa Pos National Network. (2012, April 11). Dipetik April 5, 2014, dari jpnn.com: http://www.jpnn.com/read/
2012/04/11/123841/Penderita-Difabel-Capai-10-Juta-Jiwa-
Khusnia, S., & Rahayu, S. A. (2010). Hubungan antara dukungan sosial dan kepercayaan diri remaja tunanetra. Jurnal Penelitian Psikologi , Vol. 01 No. 01, 40-47.
Kubler Ross, E. (2008). On Life After Death Revised. USA: Celestial Arts.
Livneh, H., & Antonak, R. F. (2005). Psychosocial adaptation to chronic illness and disability: a primer for counselors. Journal of Counseling & Development , 83, 12-20.
Lukitasari, R. (2011). Penyesuaian diri remaja tunanetra perolehan. Surabaya: Fakultas Psikologi Universitas Airlangga.
Mendrofa, D. (2016, Mei 10). Sikdam Hasim Memiliki Mata Baru.
Dipetik Mei 2016, dari
HTTP://WWW.FEMINA.CO.ID/TRUE-STORY/SIKDAM-HASIM-MEMILIKI-MATA-BARU
Moleong, L. J. (2004). Metode penelitian kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
MT. (2014, Januari 26). Wawancara pre-eliminary study . (SG, Pewawancara)
Murjoko, T. (2012, Mei 14). Anak tunanetra. Dipetik Januari 28, 2014, dari TriMurjoko.com: http://trimurjoko.blogspot.co.id/ 2012/05/artikel-tunanetra.html
Musfiroh, S. (2010). Koping stres pada difabel korban gempa bumi 27 Mei 2006. Surakarta: Universitas Muhammadiyah.
Pardede, D. E. (2012, Februari 24). Menjadi buta bukan akhir tapi awal menuju sukses. Dipetik April 20, 2013, dari Tribun Kaltim: http://kaltim.tribunnews.com/2012/02/24/menjadi-
buta-bukan-akhir-tapi-awal-menuju-sukses
Poerwandari, E. K. (1998). Pendekatan kualitatif dalam penelitian psikologi. Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Purnaningtyas, A. A. (2013). Penerimaan diri pada laki-laki dewasa penyandang disabilitas fisik karena kecelakaan. jurnal psikologi , Vol, 2 No. 1.
Puspitarini, M. (2013, Maret 5). Tunanetra, Yohana "X-factor" sering minder. Dipetik April 17, 2014, dari Okezonekampus:
http://news.okezone.com/read/2013/03/05/373/771119/tuna-netra-yohana-x-factor-sering-minder
Putra, R. A. (2014). Hubungan antara penerimaan diri dengan penyesuaian diri pada remaja difabel. Surakarta: Universitas Muhammadiyah.
Ramadan, M. P. (2013). Hubungan antara penerimaan perkembangan fisik dengan kematangan emosi pada remaja awal. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Rigo. (2013, Februari 21). Simpang siur populasi disabilitas di Indonesia. Dipetik Februari 17, 2014, dari Kartunet News: http://www.kartunet.com/simpang-siur-populasi-disabilitas-di-indonesia-1295/
Sarwono, S. (2012). Psikologi remaja. Jakarta: Rajawali Pers.
Setyawati, Y. (2008). Problematika pembelajaran dan upaya pemberian layanan mahasiswa difabel di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Yogyakarta: Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam Fakultas Dakwah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
Somantri, S. (2006). Psikologi anak luar biasa. Bandung: Refika Aditama.
Sumaryanto. (2011). Upaya pusat studi layanan difabel dalam membantu keberhasilan belajar mahasiswa tunanetra di UIN Sunan Kalijaga. Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
Taylor, S. E. (2009). Health psychology (seventh edition ed.). New York: McGraw-Hill.
Widodo, A. S., & Pratitis, N. T. (2013). Harga diri dan interaksi sosial ditinjau dari status sosial ekonomi orangtua. Persona, Jurnal Psikologi Indonesia , Vol. 2, 131 - 138.
61
Discussion and feedback