GAMBARAN COPING GAY MUSLIM TERKAIT KONFLIK IDENTITAS
on
Jurnal Psikologi Udayana
2018, Vol.5, No.1, 123-131
Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Udayana
ISSN: 2354 5607
GAMBARAN COPING GAY MUSLIM TERKAIT KONFLIK IDENTITAS
Made Dwi Faradina Antari dan Yohanes K. Herdiyanto
Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana dwi.faradina@yahoo.com
Abstrak
Menurut Erickson (dalam Papalia & Old, 2001) identitas diri adalah proses menjadi seseorang yang unik dengan peran yang penting dalam hidup. Terdapat berbagai jenis identitas diri yang terbentuk pada diri seseorang seperti identitas gender, identitas agama, identitas seksual dan masih banyak lagi. Identitas homoseksual dan identitas keagamaan merupakan identitas yang saling bertentangan yang dibuktikan dengan adanya nilai-nilai dalam agama yang menentang keberadaan dari kaum homoseksual sehingga individu yang memiliki kedua jenis identitas tersebut akan mengalami suatu konflik identitas. Untuk dapat mengatasi konflik identitas tersebut kemudian dibutuhkan suatu strategi coping yang tepat dan efektif.
Penelitian ini bertujuan untuk menemukan bagaimana gambaran bentuk coping pada gay Muslim terkait konflik identitas. Metode penelitian ini menggunakan kualitatif dengan pendekatan studi kasus yang mewawancarai tiga subjek laki-laki yang memiliki orientasi seksual sebagai homoseksual gay dan beragama Islam. Penelitian ini menggunakan analisis theoretical coding.
Hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah jenis coping yang dipilih oleh homoseksual untuk menghadapi konflik identitas adalah dengan menggunakan problem-focused coping dengan strategi playful problem solving dengan mengurangi aktivitas seks bersama pasangan homoseksual. Selain itu homoseksual juga menggunakan jenis emotional-focused coping dengan strategi seeking social support dengan bercerita dan menerima nasehat dari teman, positive repraisal dengan kembali rajin beribadah, self-control dengan mengontrol diri agar tidak terlalu jauh terjerumus ke dalam dunia negatif homoseksual dan accepting responsibility dengan mengakui kesalahan menjadi homoseksual dan bertanggung jawab dengan keputusan menjadi homoseksual.
Kata kunci: Gay, konflik identitas, coping.
Abstract
According to Erickson (in Papalia & Old, 2001) self-identity is a process of becoming unique person with a significant role in life. There are various types of identity formed in a person such as gender identity, religious identity, sexual identity and many more. Homosexual identity and religious identity are contradictory that evidenced by some values in religion that opposes the existence of homosexuals so that individuals who have a sexual identity as a homosexual and religious will be experience identity conflict. To overcome identity conflict, needed an effective coping strategy.
This study aims to discover how the shape of the coping strategies of gay Muslims againts identity conflict. This research method is using qualitative with case study approach which interviewed three male subjects who have a homosexual orientation as a gay Muslim. This research used a theoretical coding analysis.
The results obtained from this study are the type of coping that chosen by homosexuals to face identity conflict are using problem-focused coping which is playful problem solving strategy with reduce sexual activity with gay couples. Beside that, homosexual also using type of emotional-focused coping which are seeking social support strategies with telling and received advice from their friends, positive repraisal strategies with back to diligent worship, self-control strategies with control for not to be too much drift into negative world of homosexual and accepting responsibility strategies with admit mistake to be a part of homosexual and responsible for the dicision to become homosexuals.
Keywords: Gay, identity conflict, coping.
LATAR BELAKANG
Identitas menurut Toomey (dalam Samovar, 2009) merupakan refleksi diri atau cerminan diri yang berasal dari keluarga, gender, budaya, etnis dan proses sosialisasi. Sedangkan menurut Erickson (dalam Papalia & Old, 2001) identitas diri adalah proses menjadi seseorang yang unik dengan peran yang penting dalam hidup. Identitas pada dasarnya merujuk pada refleksi dari diri kita sendiri dan persepsi orang lain terhadap diri kita. Terdapat berbagai jenis identitas diri yang terbentuk pada diri seseorang seperti identitas gender, agama, seksual, dan masih banyak jenis identitas lain.
Identitas seksual merupakan salah satu jenis dari identitas yang mengacu pada identifikasi seksualitas atau orientasi ketertarikan seksual seseorang. Identitas seksual yang dapat dibentuk berupa heteroseksual, homoseksual, maupun sebagai biseksual (Nakayama & Martin, 2009). Menurut Dermatoto (dalam Wedanthi, 2014) homoseksual adalah ketertarikan seksual terhadap sesama jenis kelamin, heteroseksual yaitu ketertarikan seksual terhadap lawan jenis kelamin, dan biseksual yaitu ketertarikan seksual kepada sesama jenis kelamin dan berbeda jenis kelamin.
Ada dua tipe homoseksual, yaitu lesbian dan gay (Kartono, 2009). Lesbian merupakan istilah yang menggambarkan seorang perempuan yang secara emosi dan fisik tertarik dengan sesama perempuan sedangkan gay merupakan istilah untuk menyebutkan laki-laki yang menyukai sesama laki-laki sebagai pasangan seksual serta memiliki ketertarikan baik secara perasaan atau erotis, baik secara dominan maupun ekslusif dan juga dengan ataupun tanpa adanya hubungan fisik (Putri, 2013). Dalam penelitian ini, peneliti memilih untuk meneliti homoseksual gay karena keberadaan dan aktivitas gay jauh terlihat lebih menarik perhatian dibandingkan dengan keberadaan dan aktivitas homoseksual lesbian. Salah satu contohnya seperti adanya tempat-tempat berkumpul khusus untuk para gay serta adanya pekerjaan khusus untuk para gay sebagai lady boy atau drag queen di tempat-tempat hiburan.
Diskriminasi terhadap Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) di Indonesia sedang marak akhir-akhir ini. Berbagai diskusi dan ceramah publik tentang kontroversi LGBT digelar yang diliput berbagai media cetak dan elektronik. Pejabat pemerintah dan pemimpin agama telah menyatakan secara terbuka tentang pendapat mereka terhadap orientasi seksual yang dikatakan menyimpang dari moral dan nilai-nilai identitas nasional dan norma-norma agama. Bahkan, para menteri ikut membuat pernyataan menentang terhadap LGBT yang menyebut LGBT sebagai ancaman bagi kehidupan keagamaan negara dan bahkan menyarankan orang dengan orientasi seksual menyimpang tersebut diberikan terapi untuk disembuhkan (Yosephine, 2016).
Sebelum memulai penelitian, peneliti terlebih dahulu melakukan studi pendahuluan kepada calon responden untuk mendapatkan suatu kasus. Dari studi pendahuluan tersebut kemudian didapatkan temuan kasus bahwa gay memiliki konflik identitas antara identitas sebagai homoseksual dan identitas agama sebagai pemeluk agama Islam. Kedua identitas tersebut saling bertentangan yang dikutip dari:
“di hadapan mereka apa ya gaya ngomong aku yang gak wajar di hadapan mereka mungkin aku dibully karena apa namanya sikap, perkataan dan kebiasaan-kebiasaan aku itu gak bisa diterima sama mereka gitu” (VR-IN01)
“soalnya aku juga agama agama agam seluruh agama otomatis pasti ngelarang jelas ngelarang dan kita sudah terlanjur masuk ke dunia seperti ini gitu, kita mau keluar juga susah” (VR-IN01)
Sama halnya dengan para heteroseksual, para homoseksual pun berhak untuk menganut dan mengamalkan sebuah ajaran agama sehingga akan terbentuk suatu identitas agama yang dianut. Pemerintah Indonesia mengakui dan melindungi 6 agama, yaitu agama Islam, Hindu, Buddha, Kristen Protestan, Kristen Katolik, dan Konghucu. Namun dari keenam agama yang diakui oleh pemerintah tersebut, ajaran agama Islam yang paling dominan menentang keberadaan dari homoseksual sehingga memicu timbulnya suatu konflik bagi homoseksual terhadap identitas keagamaan. Dalam penelitian ini, peneliti lebih memfokuskan pada homoseksual gay yang menganut agama Islam karena agama Islam memiliki pemeluk agama yang mayoritas di Indonesia sebesar 207,2 juta penganut (Badan Pusat Statistik, 2015) dan merupakan agama yang dominan menentang keberadaan dari homoseksual di Indonesia (Okdinata, 2009).
Terdapat beberapa tokoh agama Islam yang berusaha untuk menerima dan menghargai pilihan homoseksual karena ini merupakan bagian hak asasi manusia namun kelompok homoseksual juga mendapat perlawanan dari tokoh agama konservatif yang menyatakan bahwa homoseksual adalah kelompok yang menyalahi fitrah penciptaan manusia, homoseksual merupakan perbuatan yang keji yang dapat merusak agama, kehormatan dan mental masyarakat (Az-Zulfi dalam Okdinata, 2009).
Kitab faidhul qadir dalam agama Islam menyebutkan bahwa homoseksual atau al-mutarajjilatdan almukhannisin terbagi menjadi dua macam, yaitu: perilaku mutarajjilat-mukhannisin yang disengaja atau dibentuk oleh lingkungan sosial dan perilaku yang terbawa sejak lahir (khalqiyan). Perilaku yang pertama dianggap sebagai kejahatan agama yang diharamkan dan terlaknat, sedangkan yang kedua, agama tidak menuduhnya sebagai perbuatan makshiyat dan dosa, sekalipun orang yang dianugrahi perilaku seperti itu masih harus mengupayakan untuk mengubah dan menyembuhkannya
(Nakhe’l, 2012). Pendapat yang pertama tentang homoseksual pada kitab inilah yang dijadikan acuan oleh konservatif Islam untuk menentang keberadaan LGBT.
Konflik identitas yang dialami oleh homoseksual salah satunya gay yang dikarenakan oleh pertentangan antara kedua identitas kemudian akan membuat para gay mengalami kebingungan identitas dan perasaan yang tertekan. Dampak dari konflik antara dua identitas yang bertentangan akan membuat individu tidak dapat bertahan dari konflik dalam kehidupan sehari-hari sehingga diperlukanlah suatu strategi coping untuk mengatasinya. Coping adalah proses untuk menata tuntutan yang dianggap membebani atau melebihi kemampuan sumber daya kita (Lazarus & Folkman dalam Taylor, Peplau, & Sears, 2009). Terdapat dua strategi coping secara umum yaitu usaha pemecahan masalah yang artinya usaha untuk melalukan sesuatu yang konstruktif guna mengubah situasi stres dan strategi coping yang berupa pengaturan emosi yang artinya usaha untuk menata reaksi emosi terhadap kejadian stressor (Stanton, Kirk, Cameron, & Danoff-Burg dalam Taylor, Peplau & Sears, 2009).
Berdasarkan paparan di atas, para gay Muslim akan kesulitan dalam mengembangkan identitas keagamaan karena nilai-nilai agama Islam menentang keberadaan dari homoseksual. Konflik identitas homoseksual bagi gay Muslim tersebut menimbulkan permasalahan yaitu perasaan tertekan dan kebingungan sehingga diperlukan suata strategi coping yang efektif agar para gay Muslim dapat bertahan dengan dua identitas yang saling bertentangan. Adapun pertanyaan utama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana gambaran coping gay Muslim terkait konflik antara identitas homoseksual dan keagamaan sehingga dari paparan tersebut, penelitian ini ingin menggali model coping gay Muslim terkait konflik identitas.
METODE PENELITIAN
Pendekatan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus, yang menekankan pada kasus tentang konflik identitas homoseksual pada gay Muslim. Unit analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah unit analisis kelompok.
Kriteria Responden dan Tempat Penelitian
Responden dalam penelitian ini adalah sebanyak tiga orang laki-laki yang memiliki orientasi seksual sebagai homoseksual gay dan beragama Islam. Proses wawancara dengan ketiga responden berlangsung di bulan April 2016 hingga Oktober 2016. Pengumpulan data dilakukan di tiga lokasi yang berbeda, lokasi pertama bertempat di KFC Sanur, kedua adalah di McD Robinson dan lokasi terakhir berada di McD Marlboro. Wawancara yang dilakukan untuk tiap
responden adalah satu sampai tiga kali wawancara dan berlangsung dengan durasi 40 sampai 60 menit.
Teknik Penggalian Data dan Analisis Data
Penelitian ini menggunakan teknik penggalian data dengan wawancara dan observasi. Sebelum proses pengumpulan data dengan wawancara, dilakukan penyusunan pedoman wawancara yang akan diajukan kepada para responden. Proses wawancara didokumentasikan dengan bantuan alat perekam berupa tape recorder. Rekaman audio dilakukan untuk memudahkan proses olah data dalam bentuk verbatim yang selanjutnya akan dilakukan proses coding.
Setelah seluruh data telah terorganisir dengan baik maka tahap selanjutnya adalah melakukan analisis data. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik theoretical coding yang terdiri dari tiga tahap pengkodean yaitu open coding, axial coding dan selective coding (Strauss & Corbin, 2013).
Teknik Triangulasi Data dan Isu Etik
Dalam penelitian ini teknik triangulasi yang digunakan adalah triangulasi sumber data, teknik pengumpulan data, triangulasi pengamat dan triangulasi teori. Triangulasi sumber data dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber, triangulasi teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan beberapa teknik pengumpulan data yaitu menggunakan teknik wawancara dan observasi sedangkan triangulasi pengamat dilakukan dengan berkonsultasi dengan dosen pembimbing dan triangulasi teori dengan menggunakan teori-teori yang sudah dijabarkan
Dalam penelitian ini digunakan informed consent yang bersifat resmi yang disepakati oleh kedua belah pihak yaitu responden dan peneliti, untuk dapat mengantisipasi terjadinya cedera sosial baik dari sisi responden penelitian maupun peneliti itu sendiri. Selain itu dalam penelitian ini peneliti juga menerapkan kode etik dalam pasal 46 tentang batasan kewenangan dan tanggung jawab (dalam Himpunan Psikologi Indonesia, 2010) yang mengatakan bahwa psikolog dan atau ilmuwan psikologi bertanggung jawab atas pelaksanaan dan hasil penelitian yang dilakukan serta memberi perlindungan terhadap hak dan kesejahteraan partisipan penelitian atau pihak-pihak lain yang terkait.
HASIL PENELITIAN
Setelah ditemukan pola kesamaan dan hubungan dari seluruh responden atas pertanyaan penelitian, selanjutnya dibuat dalam bentuk topik-topik utama yang berlaku pada seluruh individu dalam tataran kelompok gay Muslim yang mengalami konflik homoseksual. Segala hal yang dituangkan dalam bagan hasil penelitian ini merupakan fakta hasil temuan
dari proses pengumpulan data yang telah dianalisis. Hasil penelitian akan dipaparkan dalam empat bagian dan masing-masing memiliki tema tersendiri.
Hasil pertama adalah identitas sebagai homoseksual yang berisikan penyebab menjadi homoseksual, bukti menjadi homoseksual dan keterbukaan sebagai homoseksual. Penyebab para responden mengambil keputusan untuk menjadi homoseksual adalah karena adanya faktor genetik yaitu memiliki anggota keluarga yang memiliki orientasi seksual yang sama sebagai homoseksual dan adanya faktor dari lingkungan yaitu ajakan dari teman-teman homoseksual untuk ikut bergabung menjadi homoseksual.
Bukti yang diperlihatkan responden untuk membuktikan bahwa responden memang memiliki orientasi seksual sebagai homoseksual antara lain adalah dari segi perilaku yang terlihat feminim, tidak seperti laki-laki pada umumnya. Selain itu, dari segi lingkungan, responden mengatakan lebih banyak bergaul dengan teman-teman sesama banci atau homoseksual dan teman-teman perempuan. Kemudian dari segi perasaan, responden merasa memiliki ketertarikan dengan laki-laki dan memiliki pasangan laki-laki. Serta dari segi aktivitas seksual, satu responden mengambil peran sebagai top dan dua responden yang lain mengambil peran sebagai first top dalam berhubungan seksual dengan pasangan.
Dua dari tiga responden belum membuka jati dirinya sebagai homoseksual dengan alasan belum siap, malu dan takut dengan respon dari masyarakat dan keluarga. Sedangkan satu responden sudah membuka jati dirinya sebagai homoseksual karena alasan tidak bisa berbohong dan menutupi identitasnya kepada orang lain serta membutuhkan teman untuk sharing. Adapun cara yang dilakukan oleh responden untuk mengungkapkan jati dirinya sebagai homoseksual adalah dengan tidak sengaja teman yang mengetahui identitas responden sebagai homoseksual memberitahukan kepada orang lain sehingga identitas responden sebagai homoseksual pun terungkap. Adapun perilaku yang diperlihatkan oleh kedua responden yang belum membuka jati dirinya sebagai homoseksual adalah perilaku berpura-pura menjadi orang non homoseksual dan harus menjaga attitude atau perilaku di depan orang lain agar tidak mencurigakan. Selain itu perasaan yang dirasakan oleh responden ketika menjadi homosekual yang belum membuka jati dirinya adalah perasaan lelah dan terbebani.
Tema kedua yang dihasilkan dari penelitian ini adalah identitas keagamaan yang berisikan latar belakang keagamaan responden dan praktek keagamaan responden. Ketiga responden sudah diperkenalkan agama sejak kecil oleh anggota keluarga. Ketiga responden sudah mendapatkan pendidikan tentang agama sedari dini dengan mendapatkan pendidikan keagamaan di sekolah dan mengikuti sekolah pengajian sepulang sekolah. Adapun alasan yang diberikan responden untuk melaksanakan ibadah adalah ketika semasih kecil, responden dipaksa untuk melaksanakan ibadah oleh orangtua namun ketika sudah beranjak dewasa hingga sekarang responden sudah mengetahui risiko jika tidak melaksanakan ibadah sehingga menjadikan ibadah sebagai kewajiban dan kebiasaan. Selain itu, alasan yang diberikan responden untuk tidak melaksanakan ibadah adalah selain malas, responden lupa akan waktu untuk melaksanakan ibadah karena tidak ada yang mengingatkan di Bali, berbeda dengan di kampung halaman responden yang selalu diingatkan oleh orangtua, serta terbenturnya waktu untuk melaksanakan ibadah dengan aktivitas sehari-hari sehingga dengan tidak sengaja responden melewati waktu untuk melaksanakan ibadah.
Perilaku keagamaan yang ditunjukkan oleh responden adalah antara lain melaksanakan sholat, sholat jumat dan puasa, tidak lupa juga untuk membekali diri dengan membaca kitab suci, mengucapkan bismillah sebelum melakukan aktivitas atau sebelum bepergian, berdoa sebelum tidur dan tetap mengikuti dan merayakan hari besar keagamaan yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Adapun perasaan responden saat melaksanakan ibadah adalah merasakan ketenangan dan merasa bahwa beban yang ada menjadi hilang.
Responden mengungkapkan bahwa setengah-setengah dalam menaati ajaran agama, sebagian besar tidak menaati karena identitas sebagai homoseksual yang dilarang oleh agama Islam itu sendiri. Selain itu, responden tidak aktif dalam melaksanakan perilaku sosial keagamaan di Bali karena tidak mengenal siapa pun di Bali, sedangkan untuk di kampung halaman tergolong aktif dengan membantu ketika ada acara sunatan atau ketika hari raya Idul Adha ikut membantu dalam pemotongan daging kurban serta membantu mendistribusikan daging kurban tersebut kepada para tetangga.
Tema ketiga yang dihasilkan dari penelitian ini adalah konflik identitas homoseksual yang berisikan konflik homoseksual dan konflik homoseksual dalam agama. Konflik homoseksual terbentuk dari respon negatif masyarakat dan keluarga. Ketiga responden sama-sama mendapatkan respon negatif dari masyarakat sedangkan untuk respon negatif dari keluarga hanya didapatkan oleh satu responden yang sudah membuka jati diri sebagai homoseksual kepada masyarakat dan keluarga. Adapun respon dari masyarakat terkait identitas responden sebagai homoseksual adalah diskriminasi dan sindiran-sindirian yang memandang sebelah mata para homoseksual. Dengan adanya respon tersebut kemudian responden menunjukkan perasaan sedih, malu, kecewa, beban dan perasaan tidak nyaman dengan identitas sebagai homoseksual.
Konflik homoseksual dalam agama terbentuk dari pandangan agama dan perilaku masyarakat Muslim terhadap
homoseksual. Pada zaman Nabhi Luth, agama Islam menyebutkan bahwa homoseksual merupakan kaum sodom yang telah dimusnahkan oleh Tuhan. Agama Islam melarang adanya homoseksual dalam ajaran-ajaran keagamaan. Selain itu, masyarakat Muslim juga memandang homoseksual dan laki-laki yang menyerupai perempuan tersebut dilarang karena melanggar ajaran dari agama Islam. Adapun perilaku masyarakat Muslim terhadap larangan homoseksual dalam agama Islam adalah dengan menyuarakan keras tentang larangan homoseksual, ketika bertemu dengan homoseksual maka kelompok tersebut akan dibunuh serta beberapa aplikasi homoseksual sudah diblock keberadaannya. Dengan adanya perilaku serta larangan-larangan tersebut kemudian responden menampilkan perasaan terhadap konflik tersebut yaitu perasaan beban, tidak nyaman, kecewa, sedih, dan takut dengan Tuhan.
Tema keempat yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah coping terkait konflik homoseksual yang berisikan bentuk coping yang digunakan oleh responden yaitu problem-focused coping dan emotional-focused coping. Dalam menghadapi konflik antara identitas homoseksual dan identitas agama, responden menampilkan strategi coping dengan problem-focused coping yang memiliki pengertian mengurangi stressor, dengan strategi playful problem solving yaitu melakukan tindakan nyata untuk mengatasi masalah. Strategi coping tersebut ditunjukkan oleh responden dengan cara mengurangi aktivitas seks sesama homoseksual karena
mengganggap bahwa hal tersebut adalah perbuatan yang berdosa.
Selain menampilkan strategi coping dengan problem-focused coping, responden juga menampilkan strategi coping dengan emotional-focused coping yang terdiri dari, seeking social support yang memiliki pengertian yaitu berusaha memperoleh informasi atau dukungan emosional dari orang lain yang ditunjukkan responden dengan cara bercerita dengan teman dan menerima nasehat dari teman. Kemudian responden juga melakukan distancing yang memiliki pengertian yaitu menghindar atau menjauhkan diri dari situasi stres yang ditunjukkan responden dengan cara menghindar dari teman-teman homoseksual. Selain itu responden juga melakukan
positive repraisal yang memiliki pengertian sebagai usaha untuk mencari sisi positif dari situasi yang terkadang dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat rohani yang ditunjukkan responden dengan cara semakin rajin beribadah. Responden juga melakukan self-control yang memiliki pengertian yaitu mengatur tindakan dan emosi yang berkaitan dengan situasi stres yang ditunjukkan responden dengan cara mengontrol diri agar tidak terlalu jauh terjerumus ke dalam sisi negatif homoseksual. Serta responden juga menggunakan accepting responsibility yaitu pengakuan masalah yang dibuat sehingga
masalah-masalah tersebut bisa terjadi yang ditunjukkan
responden dengan cara mengakui kesalahan menjadi
homoseksual dan bertanggung jawab dengan keputusan
COPING TERKAIT KONFLIK IDENTITAS
HOMOSEKSUAL DAN KEAbAMAAN
PROBLEM-
menjadi homoseksual.
Keterangan gambar

FOCUSEd
Gambar 4. Skema Coping Konflik Identitas Homosekstial dan Keagamaan
Mengurangi aktivitas sebagai homoseksual.
: terdiri dari
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan disampaikan dalam empat topik utama, yaitu identitas homoseksual, identitas keagamaan, konflik homoseksual dan coping terhadap konflik homoseksual. Identitas homoseksual akan disampaikan melalui tiga sub-bab dari teori Kartono (2009) dan teori dari Cass (1979). Identitas keagamaan akan disampaikan secara langsung tanpa sub-bab. Konflik homoseksual akan disampaikan melalui dua sub bab dari teori Atkinson (1983) dan teori dari Clark (1985) serta coping terhadap konflik homoseksual akan disampaikan melalui dua sub bab dari teori Lazarus (2009).
-
1. Identitas homoseksual
Identitas homoseksual merupakan identitas seksual yang mengacu pada identifikasi seseorang sebagai homoseksual yang dalam penelitian ini difokuskan kepada gay. Homoseksual sendiri memiliki pengertian yaitu ketertarikan seksual terhadap sesama jenis salah satunya dalam penelitian ini berfokus pada gay yang memiliki pengertian laki-laki yang menyukai laki-laki (Dermantoto dalam Wedanthi, 2014).
Pada umumnya para penyandang homoseksualitas tidak mengetahui mengapa menjadi demikian, keadaan tersebut bukan atas kehendak sendiri. Dalam penelitian ini didapatkan hasil bahwa keputusan menjadi homoseksual disebabkan oleh faktor genetik yaitu bawaan dari lahir dan adanya anggota keluarga yang memiliki orientasi seksual yang sama dengan individu dan adanya faktor lingkungan yaitu ajakan dari teman-teman homoseksual untuk ikut bergabung menjadi salah satu dari kelompok homoseksual itu sendiri. Hasil dari penelitian ini sejalan dengan teori penyebab menjadi homoseksual dari Kartono (2009) yaitu penyebab individu menjadi homoseksual adalah adanya faktor herediter yang berupa ketidakimbangan hormon-hormon seks dan pengaruh lingkungan yang tidak baik atau tidak menguntungkan bagi perkembangan kematangan seksual yang normal.
Untuk dapat mengetahui orientasi seksual sebagai homoseksual maka diperlukan bukti-bukti yang cukup untuk menentukan apakah seseorang dapat dikatakan sebagai homoseksual. Dalam penelitian ini didapatkan hasil bahwa bukti-bukti yang terlihat adalah perilaku atau gesture dari individu terlihat lebih feminim dibandingkan laki-laki normal, memiliki teman bergaul yang mayoritas adalah perempuan dan homoseksual selain itu timbulnya ketertarikan dengan sesama jenis yaitu laki-laki yang kemudian berujung kepada hubungan seksual dengan laki-laki, dalam beraktivitas seksual dengan pasangan laki-laki, individu memiliki peran yang diambil yaitu sebagai top dan first top. Hasil dari penelitian ini sejalan dengan teori ekspresi homoseksual dari Kartono (2009) yang mengatakan bahwa dalam beraktivitas sebagai homoseksual terdapat peranan yang dapat diambil yaitu aktif yang bertindak
sebagai pria yang agresif, dalam kamus homoseksual diistilahkan sebagai top, kemudian pasif yang bertindak sebagai wanita yang feminim, dalam kamus homoseksual diistilahkan sebagai bottom namun dalam penelitian ini tidak terdapat responden yang mengambil peran sebagai bottom, dan yang terakhir adalah berganti peranan yaitu terkadang memerankan fungsi perempuan dan terkadang memerankan fungsi laki-laki yang diistilahkan sebagai first top atau bottom dalam kamus homoseksual.
Dalam menjalankan aktivitas homoseksual diperlukan suatu kesadaran diri untuk membuka jati diri kepada masyarakat tentang jati diri sebagai homoseksual. Individu dengan orientasi sebagai homoseksual memiliki pilihan untuk menutupi jati diri sebagai homoseksual kepada masyarakat atau memilih untuk membuka jati diri kepada masyarakat. Dalam penelitian ini, terdapat dua responden yang belum membuka jati diri sebagai homoseksual dengan alasan belum siap, malu dan takut dengan respon dari masyarakat dan keluarga sedangkan satu responden sudah membuka jati diri sebagai homoseksual karena alasan tidak bisa berbohong dan menutupi identitasnya kepada orang lain serta membutuhkan teman untuk sharing. Hasil dari penelitian ini sejalan dengan teori dari Cass (1987) tentang tahap pembentukan identitas homoseksual yaitu tahap identity tolerance bagi individu yang belum membuka jati diri sebagai homoseksual dan tahap identity acceptance bagi individu yang sudah membuka jati diri sebagai homoseksual. Indentity tolerance adalah individu mulai berpindah pada keyakinan bahwa dirinya mungkin homoseksual dan mulai mencari komunitas homoseksual sebagai kebutuhan sosial, seksual dan emosional. Biasanya individu masih tidak memberitahukan identitas barunya dan menjalani gaya hidup ganda, sebagai homoseksual dan sebagai heteroseksual. Identity acceptance adalah terbentuknya pandangan positif tentang identitas diri dan mulai mengembangkan jaringan hubungan dengan homoseksual yang lain. Individu mulai membuka diri terhadap teman dan keluarga serta semakin membenamkan diri dalam budaya homoseksual.
-
2. Identitas keagamaan
Identitas keagamaan merupakan dimensi yang penting dalam identitas seseorang. Identitas agama ditandai dengan adanya ritual yang dilakukan oleh pemeluk agama tersebut. Agama sendiri merupakan sistem kepercayaan kepada Tuhan yang dianut oleh sekelompok manusia yang selalu mengadakan interaksi dengan Tuhan (Ruhyat, 2015). Dalam penelitian ini, agama yang dianut oleh ketiga responden adalah agama Islam.
Ketiga responden memiliki latar belakang keagamaan yang sama yaitu sudah mendapatkan pendidikan keagamaan sejak dini dari orangtua dan sekolah. Selain diajarkan melalui sekolah biasa, ketiga responden mengaku mengikuti sekolah madrasah sepulang dari sekolah biasa. Pelajaran-pelajaran
yang diberikan dalam sekolah madrasah biasanya adalah seputar pendidikan dasar agama Islam, cerita-cerita tentang Nabhi, cara membaca Alquran dan kitab-kitab agama serta ceramah-ceramah tentang agama.
Sejak kecil ketiga responden sudah diajarkan untuk melaksanakan ibadah oleh orangtua hingga sekarang, ibadah merupakan suatu kewajiban dan kebiasaan bagi responden. Ketiga responden juga mengatakan bahwa terdapat sewaktu-waktu tidak melaksanakan ibadah dengan alasan lupa karena tidak ada yang mengingatkan sehubungan dengan responden yang tidak tinggal dengan orangtua dan terbenturnya waktu ibadah dengan aktivitas seperti pekerjaan sehingga beberapa waktu beribadah harus terlewatkan.
Perilaku keagamaan yang dilakukan oleh responden antara lain sholat, sholat jumat, puasa, membaca kitab suci, mengucapkan bismillah sebelum melaksanakan aktivitas atau bepergian, berdoa sebelum tidur dan memperingati hasi besar keagamaan yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Ketiga responden mengaku aktif dalam melaksanakan kegiatan sosial keagamaan di kampung halaman seperti membantu ketika ada acara sunatan maupun potong kambing kurban ketika Idul Adha namun untuk di Bali, ketiga responden mengaku tidak aktif karena tidak memiliki orang yang dikenal untuk dibantu dalam kegiatan sosial keagamaan.
Ketiga responden mengatakan bahwa setengah-setengah dalam menaati ajaran agama. Setengah-setengah disini dimaksudkan karena kondisi homoseksual yang dialami oleh responden adalah suatu hal yang dilarang oleh agama sehingga responden setengah-setengah dalam menaati ajaran agama. Ketiga responden mengatakan bahwa tetap percaya dengan Tuhan walaupun dengan kondisi sebagai homoseksual adalah suatu hal yang dilarang oleh agama namun dengan selalu memohon maaf kepada Tuhan, responden percaya bahwa doa tersebut akan didengar dan kesalahan tersebut akan diampuni oleh Tuhan.
-
3. Konflik homoseksual
Konflik secara umum bisa diartikan adanya pertentangan antara motif dan dua tujuan eksternal atau antara motif dan norma internal seseorang (Atkinson, 1983). Atkinson (1983) menjelaskan bahwa kebanyakan konflik menimbulkan sikap ambivalen yaitu dua sikap yang bertentangan karena adanya tujuan yang diharapkan sekaligus tidak diharapkan, disukai sekaligus tidak disukai.
Dalam penelitian ini konflik identitas homoseksual diperlihatkan sebagai individu yang mengalami konflik dengan identitas seksualnya sebagai homoseksual yang mendapatkan stigma dan diskriminasi dari lingkungan sekitarnya yang memandang bahwa homoseksualitas adalah sesuatu yang buruk sehingga membentuk perasaan sedih, kecewa, malu dan beban tidak nyaman. Konflik tersebut pun membentuk perilaku untuk menutup identitas seksual responden sebagai homoseksual. Hasil dari penelitian ini
sejalan dengan teori konflik dari Atkinson (1983) yaitu teori konflik mendekat-menghindar (approach-avoidance conflict) yang merupakan bentuk konflik yang dihadapkan pada tujuan yang menarik (positif) sekaligus berbahaya (negatif). Bagi individu dengan orientasi seksual sebagai homoseksual dihadapkan dengan tujuan untuk memilih tetap menjadi homoseksual yang dianggap sebagai tujuan negatif atau kembali menjadi heteroseksual yang dianggap sebagai tujuan positif. Individu yang mengalami konflik ini akan mengalami kebimbangan ketika menentukan apa yang akan dilakukan atau dalam bersikap.
Konflik homoseksual dalam agama diperlihatkan dari adanya larangan-larangan yang tertuang dalam kitab-kitab agama yang menyebutkan bahwa homoseksual itu dilarang. Ketiga responden mengatakan bahwa pada zaman dahulu terdapat kaum Sodom yang dianggap sebagai homoseksual yang keberadaannya dimusnahkan oleh Tuhan karena larangan untuk berhubungan dengan sesama jenis. Selain tertuang dari kitab-kitab agama, para masyarakat Muslim tidak mau ketinggalan untuk menyuarakan keras larangan tentang homoseksual ini dalam ajaran agama. Para masyarakat Muslim mengutarakan bahwa jika bertemu dengan homosekusal maka kelompok tersebut akan dibunuh serta beberapa aplikasi-aplikasi terkait homoseksual sudah diblock keberadaannya. Hasil penelitian ini sejalan dengan teori konflik keagamaan dari Clark (1958) yang mengkategorikan konflik keagamaan secara umum yang dialami individu ke dalam tiga macam kategori konflik yaitu konflik yang terjadi antara percaya dan ragu. Konflik yang terjadi antara pemilihan satu diantara dua ide keagamaan atau institusi dan konflik yang terjadi antara ketaatan beragama atau meninggalkan ajaran agama.
Dalam penelitian ini terlihat bahwa gay Muslim mengalami konflik antara ketaatan beragama atau meninggalkan ajaran agama karena para gay Muslim yang merasa identitasnya sebagai homoseksual yang menyalahi norma-noma agama akan mengalami konflik untuk membuat diri individu memilih agar tetap menjalankan agama atau meninggalkan ajaran agama.
-
4. Coping terhadap konflik homoseksual
Coping adalah proses untuk menata tuntutan yang dianggap membebani atau melebihi kemampuan sumber daya manusia (Lazarus & Folkman, dalam Taylor, Peplau & Sears, 2009). Dalam penelitian ini para homoseksual terutama gay Muslim mengalami konflik tentang identitas sebagai homoseksual yang dilarang oleh ajaran agama yang dianut, untuk dapat mengatasi konflik tersebut maka dibutuhkanlah suatu strategi coping.
Ketiga responden dalam menghadapi konflik homoseksual menampilkan strategi coping dengan cara mengurangi aktivitas homoseksual seperti mengurangi berhubungan seksual dengan laki-laki. Hasil dari penelitian ini
sejalan dengan teori Lazarus (dalam Taylor, Peplau & Sears, 2009) yaitu teori tentang Problem focused coping, yaitu untuk mengurangi stressor, individu akan mengatasi dengan mempelajari cara-cara atau keterampilan yang baru. Dalam penelitian ini cara yang ditampilkan responden termasuk ke dalam playful problem solving yaitu individu menganalisa situasi yang dihadapi sehingga memperoleh cara-cara yang diperlukan untuk mengatasi masalah kemanusiaan, melakukan tindakan nyata untuk mengatasi masalah.
Ketiga responden dalam menghadapi konflik homoseksual juga menampilkan strategi emotional-focused coping dengan cara seeking social support dengan bercerita dengan teman dan menerima nasehat dari teman, kemudian distancing dengan menghindar dari teman-teman homoseksual, positive repraisal dengan semakin rajin beribadah, self-control dengan mengontrol agar tidak terlalu jauh terjerumus ke dalam sisi negatif homoseksual serta accepting responsibility dengan mengakui kesalahan menjadi homoseksual dan bertanggung jawab dengan keputusan menjadi homoseksual. Hasil dari penelitian ini sejalan dengan teori dari Lazarus (dalam Taylor, Peplau & Sears, 2009) tentang emotional-focused coping, yaitu digunakan untuk mengatur respon emosional terhadap stress. Pengaturan ini dilakukan melalui perilaku individu untuk meniadakan fakta-fakta yang tidak menyenangkan melalui strategi kognitif, ketika individu tidak mampu mengubah kondisi yang stressful, individu akan cenderung untuk mengatur emosinya.
Dalam penelitian ini cara yang diambil responden termasuk ke dalam beberapa strategi coping dalam emotional-focused coping menurut Lazarus (dalam Taylor, Peplau & Sears, 2009) yaitu seeking social support yaitu individu akan berusaha memperoleh informasi atau dukungan emosional dari orang lain, kemudian distancing yaitu usaha individu untuk menghindar atau menjauhkan diri dari situasi stressful atau usaha dari sudut pandang yang positif, positive repraisal yaitu usaha individu untuk mencari sisi positif dari situasi yang bertujuan untuk mencapai pertumbuhan pribadi yang terkadang dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat rohani atau religi, self-control yaitu usaha seseorang untuk mengatur tindakan dan emosi yang berkaitan dengan situasi yang dihadapi serta accepting responsibility yaitu pengakuan masalah yang dibuat individu sehingga masalah-masalah itu terjadi.
Kesimpulan
Kesimpulan yang bisa ditarik dari penelitian berjudul gambaran coping gay Muslim terkait konflik identitas adalah sebagai berikut:
-
1. Konflik identitas homoseksual diperlihatkan dalam bentuk larangan yang tertulis di dalam kitab-kitab agama berupa kisah kaum sodom yang dimusnahkan oleh Tuhan serta perlakuan dari masyarakat Muslim yang menentang keras
keberadaan dari homoseksual. Konflik identitas homoseksual tersebut kemudian menimbulkan perasaan sedih, kecewa, malu, beban dan perasaan tidak nyaman pada gay Muslim.
-
2. Perilaku keagamaan yang diperlihatkan oleh gay Muslim adalah dengan menjalankan sholat lima waktu, sholat jumat, puasa, membaca kitab suci, mengucapkan bismillah sebelum melakukan aktivitas atau berpergian, berdoa sebelum makan dan merayakan hari besar keagamaan yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Selain itu, gay Muslim juga melakukan perilaku sosial keagamaan seperti membantu saat ada upacara sunatan dan membantu memotong daging kurban serta mendistribusikannya saat hari raya Idul Adha.
-
3. Jenis coping yang dipilih oleh gay Muslim untuk menghadapi konflik homoseksual adalah dengan menggunakan problem-focused coping yaitu mengurangi aktivitas seksual dengan pasangan homoseksual yang termasuk ke dalam strategi playful problem solving. Selain itu gay Muslim juga menggunakan jenis emotional-focused coping dengan strategi seeking social support yaitu bercerita dengan teman dan menerima nasehat dari teman, kemudian distancing yaitu menghindar dari teman-teman homoseksual, positive repraisal yaitu semakin rajin beribadah, self-control yaitu mengontrol agar tidak terlalu jauh terjerumus ke dalam sisi negatif homoseksual serta accepting responsibility yaitu mengakui kesalahan menjadi homoseksual dan bertanggung jawab dengan keputusan menjadi homoseksual.
Saran yang dapat diberikan peneliti adalah antara lain, bagi homoseksual terutama gay Muslim adalah agar dapat menghadapi konflik homoseksual dengan melakukan strategi coping yang sudah disebutkan dengan semaksimal mungkin agar dapat bertahan dari konflik tersebut. Saran bagi masyarakat agar dapat membantu para homoseksual terutama gay Muslim untuk kembali rajin beribadah, bukan dengan menghukum atau menghakimi homoseksual terhadap orientasi yang dipilih adalah salah, namun dengan membimbing agar para homoseksual tersebut dapat melalui konflik dengan baik dan kembali menjadi pribadi yang beragama. Saran bagi penelitian selanjutnya adalah agar dapat melakukan observasi secara langsung terhadap strategi coping dan ritual keagamaan yang dilakukan sehari-hari oleh responden dan mendapatkan significant others untuk dapat membandingkan data yang didapatkan dari responden.
DAFTAR PUSTAKA
Atkinson, R. L. (1983). Pengantar psikologi umum, jilid 1 (Terj. Taufiq dan Burhana). Jakarta: Erlangga.
Badan Pusat Statistik. (2015). Statistik Politik 2015. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Cass, V. (1979). Homosexual identity formation: Atheoretical model. Journal of homosexuality. 4(3). 21-35.
Clark, W.H. (1958). The psychology of religion. New York: The McMillan Company.
Himpunan Psikologi Indonesia. (2010). Kode etik psikologi Indonesia. Surakarta: Pengurus Pusat Himpunan Psikologi Indonesia.
Kartono, K. (2009). Psikologi abnormal dan abnormalitas seksual. Bandung: CV. Mandar Maju.
Nakayama, T. K. & Martin, J. N. (2009). Intercultural communication in contexts. New York: McGraw-Hill.
Nakhe’I, Imam. (2012). LGBT perspektif Islam. Jurnal Lisan Al-hal. 4(2). 361-371.
Okdinata (2009). Religiusitas kaum homoseks (Studi kasus tentang dinamika psikologis keberagamaan gay Muslim di
Yogyakarta). Skripsi tidak dipublikasikan. Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Papalia, D. E. & Olds, S. W. (2001). Human development. New York: Mc Graw-Hill.
Putri, Rizka R. (2013). Penerimaan gay dalam keluarga: Studi tentang penerimaan keluarga terhadap anggota keluarga yang gay. Skripsi tidak dipublikasikan. Universitas Airlangga, Surabaya.
Ruhyat, R. (2011). Religiusitas gay Muslim di usia lanjut. Thesis tidak dipublikasikan. Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Bandung.
Samovar, L.A., Porter, R.E. & McDaniel, E.R. (2009). Communication between cultures. Canada: Cengange Learning.
Strauss, A. & Corbin, J. (2013). Dasar-dasar penelitian kualitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Taylor, S.E., Peplau, L.A. & Sears, D.O. (2009). Psikologi sosial: Edisi kedua belas (Terj. Wibowo, Tri). Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Wedanthi, P.H. & Herdiyanto, Y.K. (2014). Dinamika kesetiaan pada kaum gay. Jurnal Psikologi Udayana. (1)2. 363-371.
Yosephine, Liza. (2016). A portrait of a gay Indonesian. Diunduh dari:http://www.Thejakartapost.com/longform/2016/05/16/ a-portrait-of-a-gay-indonesian.html
131
Discussion and feedback