DINAMIKA MEMAAFKAN PADA KORBAN PELECEHAN SEKSUAL
on
Jurnal Psikologi Udayana
2017, Vol.4, No.2, 435-447
Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Udayana
ISSN: 2354 5607
DINAMIKA MEMAAFKAN PADA KORBAN PELECEHAN SEKSUAL
I Nyoman Bagus Darma Yudha, David Hizkia Tobing
Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana darmayudha940@gmail.com
Abstrak
Dewasa ini semakin banyak kasus pelecehan seksual terjadi, korban pelecehan seksual tidak memandang usia dan jenis kelamin baik laki-laki maupun perempuan. Berdasarkan data yang dimiliki Direktorat Reaserse Kriminal Umum Polda Bali, pada tahun 2014 tercatat 87 kasus pelecehan seksual, sedangkan di tahun 2015, hingga Maret 2015 baru tercatat 18 kasus pelecehan seksual. Pelecehan seksual dapat menimbulkan berbagai dampak, baik secara psikologis, fisik, maupun dalam bidang pekerjaan.
Dalam mengatasi dendam kepada pelaku pelecehan seksual, memaafkan menjadi satu cara yang dapat dilakukan oleh para korban untuk menghapus trauma yang dirasakan. Memaafkan merupakan sesuatu yang penting tapi juga sulit untuk dilakukan. Memaafkan tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat dan setiap individu akan mengalami proses yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Berdasarkan hal tersebut, peneliti ingin mengetahui bagaimana dinamika memaafkan pada korban pelecehan seksual dengan pelaku (teman baik, ayah, paman, tetangga) dan jenis kelamin korban pelecehan seksual (laki-laki dan perempuan).
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Jumlah responden terdiri dari dua orang perempuan dan dua orang laki-laki sebagai korban pelecehan seksual, beserta satu significant others dari satu responden. Hasil penemuan dalam penelitian ini dibagi dalam tiga fase, yaitu Fase I: Pengalaman, bentuk dan dampak pelecehan seksual, Fase II: Proses, tujuan dan motivasi perilaku memaafkan dan Fase III: Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku memaafkan. Dalam penelitian ini, satu responden perempuan dan satu responden pria dapat memaafkan pelaku, sedangkan responden penelitian lainnya tidak dapat memaafkan pelaku, sehingga penelitian ini menemukan bahwa perilaku memaafkan tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin korban.
Kata Kunci: Dinamika memaafkan, pelecehan seksual, korban pelecehan seksual
Abstract
Recently there have been a lot more cases of sexual harassment, sexual abuse regardless of age and gender, for both men and women. Based on data by General Criminal Police Directorate Reaserce Bali, sexual harassment cases occurred in 2014 recorded 87 cases of sexual abuse and for the year 2015 from January to March only recorded 18 cases of sexual abuse in Bali. Sexual harassment will cause various effects, including psychological, physical and effects for victims’ ability to work.
To overcome the animosity to the perpetrator, it can be done by forgiving as a way to heal the trauma of the victims. Forgiveness is something that is important but is also a difficult thing to do. Forgiveness can not be done in a short time and every individual will experience a different process from one another. Based on this case, this research wanted to find out the forgiving behavior of the victims of sexual abuse to the perpetrator (a good friend, father, uncle, neighbor) and sex of the victims of sexual abuse (men and women).
This study uses qualitative research with case study approach. The number of respondents in this study were two women and two men as sexual abuse victims, along with the significant others of the respondents. The findings in this study were divided into three phases, namely Phase I: Experience, forms and impact of sexual harassment, Phase II: Processes, goals and motivation to forgive behavior and Phase III: Factors that influence the behavior of forgiveness. This study found that one woman and one man as the respondents could forgive the perpetrator, contrast with the other respondents who could not forgive the perpetrator. Therefore, the result of this study indicated that forgiving behavior is not affected by the sex of the victim.
Keywords: forgiveness, sexual abuse, sexual abuse victims
LATAR BELAKANG
Dewasa ini, semakin banyak kasus pelecehan seksual dan pemerkosaan yang dapat terjadi kapan dan dimana saja. Korban pelecehan seksual tidak memandang usia, jenis kelamin baik laki-laki maupun perempuan dapat mengalami pelecehan seksual, akan tetapi sebagian besar korban pelecehan seksual berasal dari kaum perempuan, baik anak-anak, remaja maupun dewasa yang dapat terjadi di sekolah, lingkungan keluarga maupun di tempat-tempat umum. Tahun 2016 di Indonesia sendiri kekerasan seksual berada di peringkat kedua terkait dengan kekerasan terhadap perempuan dengan jumlah kasus mencapai 2.399 kasus (72%), pencabulan mencapai 601 kasus (18%), dan pelecehan seksual mencapai 166 kasus (5%) (Komnas Perempuan).
Di Bali sendiri, kasus pelecehan seksual terjadi pada tahun 2014 tercatat 87 kasus pelecehan seksual dan untuk di tahun 2015 dari bulan Januari sampai dengan Maret tercatat 18 kasus pelecehan seksual yang terjadi (Direktorat Reaserse Kriminal Umum Polda Bali). Menurut Marks (dalam Collier, 1998) di Amerika sendiri menunjukkan bahwa 62% pelaku pelecehan seksual adalah laki-laki dan hampir semua perempuan mengaku pernah mendapatkan pengalaman pelecehan seksual dari laki-laki.
Pelecehan seksual pada dasarnya adalah setiap bentuk perilaku yang memiliki muatan seksual yang dilakukan seseorang atau sejumlah orang namun tidak disukai dan tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran sehingga menimbulkan akibat negatif seperti rasa malu, tersinggung, terhina, marah, kehilangan harga diri, kehilangan kesucian, dan sebagainya, pada diri orang yang menjadi korban (Supardi & Sadarjoen, 2006).
Pelecehan seksual memiliki beberapa golongan antara lain, pertama dalam bentuk verbal yaitu tatapan penuh nafsu, tatapan yang mengancam, dan gerak-gerik yang bersifat seksual, kedua dalam bentuk verbal seperti siulan, gosip, gurauan seks, dan pernyataan yang bersifat mengancam, dan yang ketiga dalam bentuk fisik yaitu sentuhan, mencubit, menepuk, menyenggol dengan sengaja, meremas, dan mendekatkan diri tanpa diinginkan Kelly (Dalam Lubis, 2013). Pelecehan seksual bisa mengarah menjadi kekerasan seksual seperti pemerkosaan jika tindakan yang dilakukan oleh pelaku pelecehan seksual sudah menimbulkan bekas atau luka, maka tindakan itu digolongkan menjadi kekerasan seksual (Gruber, 1992).
Pelecehan seksual bisa terjadi dimana saja dan kapan saja, meskipun pada umumnya para korban pelecehan seksual adalah kaum wanita, namun hal ini tidak berarti bahwa kaum pria kebal (tidak pernah mengalami) terhadap pelecehan seksual (Lubis, 2013). Pada umumnya pelecehaan seksual atau pemerkosaan dilakukan oleh orang yang sudah sangat dikenal korban, misalnya teman dekat, kekasih, saudara, ayah (tiri
maupun kandung), guru, pemuka agama dan atasan. Sebagian kasus lainnya, pelecehan seksual juga dilakukan oleh orang yang baru di kenal dan semula nampak sebagai orang baik-baik yang menawarkan bantuan, misalnya mengantarkan korban ke suatu tempat. Terdapat tiga dampak pelecehan seksual yang ditimbulkan menurut O’Donohue (dalam Lubis, 2013), pertama akan berdampak pada psikologis seperti menurunnya harga diri, menurunnya kepercayaan diri, depresi, kecemasan dan ketakutan, kedua akan berdampak pada kondisi fisik seperti sakit kepala, gangguan makan, gangguan pencernaan, menurun atau bertambahnya berat badan dan memanggil tanpa sebab yang jelas, ketiga akan berdampak pada pekerjaan korban pelecehan seksual seperti menurunnya kepuasan kerja, semangat kerja dan tingkat kepercayaan diri.
Pelecehan seksual akan berdampak pada psikologis korban seperti diliputi perasaan dendam, marah, penuh kebencian yang tadinya ditujukan kepada orang yang melecehkannya dan kemudian menyebar kepada obyek-obyek atau orang-orang lain (Supardi & Sadarjoen, 2006). Pelecehan seksual dan pemerkosaan dapat menimbulkan efek trauma yang mendalam pada korban. Korban pelecehan seksual dan pemerkosaan dapat mengalami stres akibat pengalaman traumatis yang telah dialaminya dan seringkali disebut dengan gangguan stres pasca trauma (post traumatic stress disorder atau PTSD). Korban pelecehan seksual cenderung merasa tidak berharga dibandingkan dengan orang lainnya, mendapat celaan dari orang lain, merasa tidak punya harapan, merasa gagal sehingga menimbulkan depresi, dan terlebih kurangnya dukungan dari keluarga dan akan menyalahkan dirinya sendiri, sehingga jika keadaan ini terus menerus berlanjut, maka korban dapat memiliki pandangan yang negatif terhadap dirinya. Lingkungan sekitar sangat berpengaruh seperti adanya penolakan dan tidak diberikannya kesempatan karena orang tersebut merupakan korban pelecehan seksual. Dalam kondisi seperti inilah banyak faktor-faktor yang mempengaruhi respon dengan sikap dan perilaku yang kurang wajar (Dahlan, 2000).
Dalam menghadapi situasi yang sulit dan penuh tekanan, seseorang membutuhkan dukungan atau bantuan yang berasal dari orang lain seperti teman, keluarga, tetangga, rekan kerja dan orang lain (Dimatteo, 1991), untuk meredakan kemarahan, balas dendam dan kebencian terhadap pelaku atau pihak yang menimbulkan permasalahan atau konflik, dapat dilakukan dengan memaafkan. Memaafkan adalah jalan untuk menghapus luka atau bekas-bekas luka dalam hati (Nashori, 2008). Tidak semua korban pelecehan seksual mau dan mampu secara tulus memaafkan dan melupakan kesalahan orang lain (Affinito, 1999).
Memaafkan lebih dari meredakan atau menghentikan kemarahan terhadap pelaku dan bukan hanya untuk membuat diri sendiri merasa baik. Perilaku memaafkan adalah sebuah pemberian untuk orang lain. Ketika individu tidak berfokus pada dirinya tetapi pada pelaku, dan memaafkan pelaku maka
individu akan mengalami pemulihan psikologis (McGary, 1989 dalam Enright & North, 1998). Memaafkan berarti memutuskan untuk tidak menghukum tindakan tidak adil yang diterima, mengambil tindakan berdasarkan keputusan tersebut dan mengalami kelegaan secara emosional oleh karena keputusan tersebut (Affinito, 1999).
Memaafkan merupakan suatu hal yang penting akan tetapi disatu sisi sulit untuk dilakukan bahkan sangat menyakitkan bagi seseorang karena sudah disakiti baik secara fisik maupun psikologis. Memaafkan tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat tapi membutuhkan waktu yang lama dan setiap individu akan mengalami proses yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya (Enright, 2001). Menurut Smith (dalam Henderson, 2003), belajar memaafkan orang lain yang telah melakukan kesalahan dan menyakiti sangat sulit untuk dilakukan namun sangat berarti. Perilaku memaafkan membuat individu berusaha untuk menilai kembali dan melihat pelaku dari sudut pandang yang berbeda, hal tersebut dapat tercapai apabila individu mengubah cara berpikir dan perasaannya terhadap pelaku serta dirinya sendiri. Perilaku memaafkan dapat menjadi suatu pengalaman yang membuat individu tidak memikirkan keinginan dirinya sendiri dan kebutuhannya.
Berdasarkan pemaparan di atas, penelitian ini ingin melihat gambaran antara individu yang sudah memberikan maaf, dan belum bisa memberikan maaf kepada pelaku, sehingga penting untuk dilakukan karena hingga saat ini belum ada penelitian yang membahas tentang dinamika memaafkan pada korban pelecehan seksual.
METODE PENELITIAN
Tipe Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metodologi kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2004) metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Yusuf (2014) menyatakan bahwa penelitian kualitatif memiliki beberapa ciri umum diantaranya menggunakan “naturals setting” seperti keadaan dan lingkungan maupun kondisi sosial budaya yang alami sebagai sumber data, data yang dikumpulkan merupakan data kualitatif yang berupa gambar maupun kata-kata dan bukan berupa angka, teknik yang digunakan dalam mengumpulkan data dilapangan berupa pengamatan (observasi) dan wawancara.
Berdasarkan permasalahan yang hendak dikaji, penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Studi kasus adalah penelitian mendalam terhadap fenomena khusus yang hadir dalam suatu konteks yang terbatasi (bounded context), meski batas-batas
antara fenomena dan konteks tidak sepenuhnya jelas (Poerwandari, 1998).
Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus dengan tipe penelitian multikasus atas dasar pertimbangan tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan perbandingan pada pelaku (ayah, tetangga, teman baik, paman) dan jenis kelamin pada korban pelecehan seksual terkait dengan perilaku memaafkan.
Responden
Karakteristik reponden dalam penelitian ini melibatkan dua orang pria dan dua orang wanita selaku korban pelecehan seksual sebagai responden dalam penelitian. Adapun beberapa faktor yang membedakan keempat responden dalam penelitian ini diantaranya, jenis kelamin, identitas pelaku pelecehan seksual, bentuk pelecehan seksual dan usia responden penelitian. Responden pertama yaitu AN berusia 21 tahun berjenis kelamin wanita mengalami pelecehan seksual dalam bentuk visual dan fisik yang dilakukan oleh dua pelaku, yakni teman terdekat responden dan pacarnya, dengan demikian responden pertama mengalami pelecehan seksual (extrafamilial abuse).
Responden kedua yaitu MN berusia 20 tahun berjenis kelamin wanita mengalami pelecehan seksual dalam bentuk fisik yang dilakukan oleh salah satu anggota keluarganya, yakni ayah tiri responden, dengan demikian responden kedua mengalami pelecehan seksual yang tergolong dalam (familial abuse).
Responden ketiga yaitu RA berusia 19 tahun berjenis kelamin laki-laki mengalami pelecehan seksual dalam bentuk fisik yang dilakukan oleh salah satu anggota keluarganya, yakni paman responden sehingga tergolong dalam (familial abuse).
Responden keempat yaitu RT berusia 20 tahun berjenis kelamin wanita mengalami pelecehan seksual dalam bentuk fisik yang dilakukan tetangganya, sehingga tergolong pelecehan seksual (extrafamilial abuse).
label 1.
Karakteristik Responden
Identitas Pembeda |
Responden Pertama |
Responden Kedua |
Responden Ketiga |
Responden keempat |
Inisial |
AN |
MN |
RA |
RT |
Usia |
21 tahun |
20 tahun |
19 tahun |
20 tahun |
Jenis Kelamin |
Wanita |
Wanita |
Pria |
Pria |
Identitas Pelaku |
Extrafamilial |
Familial Abuse |
Familial Abuse |
Extrafamilial |
Abuse (Teman) |
(Ayah) |
(Paman) |
Abuse (Tetangga) | |
Bentuk | ||||
Pelecehan |
Visual dan Fisik |
Fisik |
Fisik |
Fisik |
Seksual |
Lokasi Pengumpulan Data
Peneliti mencari responden pelecehan seksual di Bali dengan pertimbangan untuk memudahkan peneliti dalam melakukan pertemuan, berinteraksi dengan responden dan
mengamati secara langsung gestur responden pada saat wawancara berlangsung. Lokasi penelitian dilakukan di tempat yang berbeda-beda, tergantung kesepakatan dengan responden. Pengambilan data responden pertama dilakukan di rumah responden yang berlokasi di Denpasar Selatan, responden kedua dilakukan di sebuah rumah makan di daerah Teuku Umar di Denpasar dan di sebuah kafe di Jalan Sudirman Denpasar, responden ketiga dilakukan di sebuah rumah makan yang berlokasi di Sesetan, Denpasar, sedangkan responden keempat dilakukan di sebuah kafe di Jalan Raya Kerobokan, sedangkan pengambilan data kedua dilakukan di sebuah mini market yang bertempat di Jalan Raya Nangka. Penentuan lokasi pengambilan data yang dilakukan oleh responden keempat yang bertujuan untuk menghindari agar proses wawancara tidak diketahui oleh orang-orang yang dikenal.
Teknik Pengumpulan Data
-
a. Pengumpulan data dengan wawancara dan observasi
Proses pengambilan data pada penelitian ini diawali dengan proses wawancara. sebelum memulai wawancara, peneliti terlebih dahulu menyusun guideline wawancara yang terdiri dari topik-topik dan garis besar pertanyaan. Penelitian ini menggunakan metode wawancara mendalam (in-depth interview) dan wawancara semi-terstruktur. Selama proses wawancara dilakukan perekaman suara menggunakan alat rekam pada handphone iPhone dengan nomor model ME039J/A. Data temuan dalam proses wawancara yang berupa rekaman suara akan diubah kedalam bentuk verbatim dalam format dokumen dengan cara mengetik setiap suara yang terdengar dari rekaman tersebut, hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mempermudah peneliti dalam proses analisis data yang akan dilakukan selanjutnya.
Observasi dilakukan dalam tempat dan waktu yang sama dengan dilangsungkannya proses wawancara. Observasi dilakukan dengan fokus pada respon nonverbal responden selama proses wawancara yang terlihat pada perilaku dan sikap yang ditunjukkan oleh responden, ekspresi wajah saat menjawab pertanyaan, gerakan tangan dan sikap duduk selama menceritakan peristiwa yang dialaminya. Hasil observasi kemudian ditulis kembali ke dalam sebuah catatan lapangan atau fieldnote sebagai data pelengkap dan pendukung hasil wawancara.
Pada tahap pengambilan data peneliti memberikan penekanan akan pentingnya informed consent sebagai bukti perjanjian bahwa semua data yang diperoleh dalam penelitian hanya akan digunakan untuk kepentingan ilmiah serta informasi terkait identitas seluruh responden akan dijaga dan dirahasiakan. Tahap pengambilan data melalui wawancara terhadap keempat responden berlangsung sejak bulan Januari 2016 hingga Mei 2016.
Tabel 2.
Waktu Pelaksanaan Wawancara
Responden |
Waktu Pelaksanaan |
Durasi Wassancara |
Responden AN |
24 Mei 2016 5 Juni 2016 |
42 Menit 12 detik 11 Menit 43 detik |
Responden MN |
13 Januari 2016 26 Mei 2016 |
16 Menit 17 detik 22 Menit 59 detik |
Responden RT |
29 Mei 2016 14 Juni 2016 |
30 Menit 40 detik 11 Menit 09 detik |
Responden RA |
12 Juiu 2016 13 Juni 2016 |
I Jam 4 Menit 50 detik 15 Menit 51 detik |
Informan T (s⅛. eiher responden AN) |
31 Mei 2016 |
15 Menit 08 detik |
Analisis Data
Langkah awal yang dilakukan adalah melakukan open coding yaitu memberikan kode-kode pada seluruh data hasil wawancara yang telah ditransformasikan ke dalam bentuk verbatim dan seluruh hasil observasi yang telah disalin ke dalam bentuk catatan lapangan (fieldnote). Pada proses ini, semua data diberikan kode secara mendetail baik itu data yang berkaitan atau tidak berkaitan dengan penelitian. Langkah selanjutnya setelah menyelesaikan open coding adalah melakukan axial coding yaitu memilah-milah informasi pada open coding yang dianggap berkaitan dengan penelitian lalu memberikan kategori-kategori baru pada informasi yang telah dipilah. Langkah terakhir yang dilakukan dalam proses analisis data adalah selective coding yaitu memilah-milah kategori-kategori yang telah dibuat sebelumnya yang sesuai dengan tujuan dari peneliti terkit dengan perilaku memaafkan pada korban pelecehan seksual.
Teknik Pemantapan Kredibilitas Penelitian
Terdapat bermacam-macam cara dalam pengujiam kredibilitas data seperti perpanjangan pengamatan, peningkatan ketekunan dalam penelitian, triangulasi, diskusi dengan teman sejawat, analisis kasus negatif, dan member check (Sugiyono, 2014). Dalam penelitian ini, teknik pengujian kredibilitas data yang digunakan adalah perpanjangan pengamatan, peningkatan ketekunan, triangulasi, analisis kasus negatif, bahan referensi dan mengadakan membercheck.
Isu Etika Penelitian
Herdiyansyah (2002) menyatakan bahwa etika merupakan salah aturan yang harus disepakati dan dipahami dengan sebenar-benarnya oleh peneliti agar apa yang dilakukan dalam riset tetap menghargai dan menjujung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Etika dalam penelitian harus tetap di jaga agar tidak memberikan dampak negatif kepada responden penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan semacam kontrak sosial berupa informed consent yang bersifat resmi dan berlandaskan hukum serta disepakati oleh kedua
belah pihak yaitu responden dan peneliti, untuk dapat mengantisipasi terjadinya cedera sosial baik dari sisi responden penelitian maupun peneliti itu sendiri.
Dalam informed consent, peneliti menjelaskan deskripsi dan prosedur penelitian, kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi selama proses penelitian serta hak-hak responden penelitian selama penelitian ini berlangsung. Responden yang telah menyetujui informed concent tersebut kemudian memiliki tanggung jawab etis untuk memberikan informasi sejelas-jelasnya dan sebenar-benarnya sepanjang informasi tersebut tidak mengganggu privasi serta tidak berisiko mencederai responden penelitian, baik secara fisik maupun secara sosial (Herdiyansyah, 2002).
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan desain penelitian studi kasus, sehingga pada sub-bab ini akan dipaparkan hasil penelitian yang telah diperoleh dari masing-masing responden secara terpisah. Seluruh informasi yang ada dalam hasil penelitian ini merupakan fakta yang telah diperoleh dari hasil pengambilan data terhadap responden dan telah melalui proses analisis.
Memaafkan terdiri dari tiga fase, fase yang pertama meliputi pengalaman pelecehan seksual, bentuk pelecehan seksual dan dampak pelecehan seksual. Fase yang kedua meliputi proses memaafkan, tujuan memaafkan dan motivasi memaafkan dan fase yang ketiga meliputi faktor-faktor yang memengaruhi perilaku memaafkan
Pengalaman pelecehan seksual
Responden pertama yaitu AN mengalami pelecehan seksual sebanyak tiga kali, pelaku pelecehan bukan merupakan keluarga AN, sehingga pelecehan seksual yang dialami AN tergolong sebagai extrafamilial abuse, kedua responden MN mengalami pelecehan seksual sebanyak satu kali, pelaku merupakan ayah tiri responden MN, sehingga pelecehan seksual yang dialaminya tergolong sebagai familial abuse, ketiga responden RA mengalami pelecehan seksual sebanyak satu kali, pelaku merupakan paman responden RA yang merupakan saudara dari ayahnya, sehingga pelecehan seksual yang dialami RA tergolong sebagai familial abuse, dan keempat responden RT sering mengalami pelecehan seksual, akan tetapi dampak pelecehan seksual yang sangat dirasakan responden RT adalah pelecehan saat di masa kecilnya. Pelaku merupakan tetangga responden RT yang merupakan kakek dari temannya, sehingga pelecehan seksual yang dialami RT tergolong sebagai exstrafamilial abuse.
-
2. Bentuk pelecehan seksual
Pelecehan seksual yang dialami responden pertama yaitu AN dalam bentuk visual, verbal dan fisik. Pelecehan seksual dalam bentuk visual yang dialami responden diantaranya, yang pertama pelaku melakukan aktivitas seksual dengan cara menghisap alat kelamin laki-laki di depan responden AN atau yang sering disebut dengan oral seks, aktivitas seksual tersebut tidak hanya berlangsung sekali akan tetapi berlangsung beberapa kali, kedua pelecehan seksual yang dialami responden MN termasuk pelecehan dalam bentuk verbal dan fisik ketika responden MN meminta pelaku untuk menggosok punggungnya dengan uang logam dan secara perlahan-lahan pelaku meraba dan meremas payudaranya.
Pelecehan seksual yang dialami responden ketiga yaitu RA termasuk pelecehan dalam bentuk visual, verbal dan fisik terjadi ketika responden RA mandi di pemandian umum, pelaku selalu memperhatikan alat kelamin responden RA, akan tetapi responden belum mempunyai kecurigaan terhadap pelaku dan keempat pelecehan seksual yang dialami responden RT tergolong dalam bentuk fisik terjadi ketika responden RT bermain ke rumah temannya, pelaku secara tiba-tiba memegang, memeluk dan meremas payudaranya dengan keras.
-
3. Dampak pelecehan seksual
Responden AN mengalami pelecehan seksual sebanyak tiga kali yang berdampak pada psikologisnya. Dari pelecehan seksual tersebut resnponden AN mengalami trauma yang mendalam diantaranya, responden AN takut pergi di malam hari sehingga harus ditemani oleh orang lain, responden AN tidak berani mengendarai motor dan mobil baik di siang ataupun malam hari terlebih dalam situasi yang mirip dengan kejadian pelecehan seksual, responden AN tidak berani menatap semua mata laki-laki tidak terkecuali
pacarnya, karena menganggap semua mata laki-laki itu jahat, responden AN sempat ketakutan melihat pacarnya karena gerak-geriknya mirip dengan gerak gerik pelaku sehingga memilih untuk menjauhinya.
Pelecehan seksual yang dialami responden kedua yaitu MN termasuk pelecehan dalam bentuk verbal dan fisik sehingga responden MN mengalami dampak psikologis dari kejadian menyakitkan tersebut diantaranya, responden MN tidak ingat dengan kejadian yang terjadi di masa lalu setelah ibunya membawa ke salah satu psikolog yang bertempat di yogyakarta, ketiga pelecehan seksual yang dialami responden RA termasuk pelecehan dalam bentuk visual, verbal dan fisik sehingga berdampak pada psikologis responden RA diantaranya, responden RA tidak mau pergi ke kampung halamannya karena tidak mau bertemu dengan pelaku lagi setelah kejadian tersebut dan keempat dampak psikologis yang dirasakan responden RT dalam pelecehan seksual tersebut diantaranya, responden RT merasa dilema terkait orientasi seksualnya dan terjadinya perubahan fisik khususnya di bagian payudara yang terlihat membesar.
Proses memaafkan
Proses memaafkan terdiri dari empat tahapan yaitu, uncovering phase, decision phase, working phase dan deepening phase. Tahap uncovering phase pada responden pertama yaitu AN diawali dengan munculnya rasa marah, sedih, kecewa dan memilih untuk tidak bertemu dengan pelaku, akan tetapi tetap menjalin komunikasi dengan pelaku perempuan karena merupakan teman baiknya. Tahap decision phase pada responden AN diawali dengan menyadari apa yang dilakukan kedua pelaku merupakan hal yang tidak sehat.
Tahap working phase diawali dengan responden AN menghubungi pelaku perempuan melalui media line untuk memberikan masukan bahwa responden AN tetap menerima pelaku apa adanya dan tindakan yang dilakukan pelaku sudah melewati norma yang berlaku di budaya ketimuran. Tahap deepening phase dalam proses memaafkan dintunjukkan responden AN dengan memberikan maaf kepada pelaku. Ketika responden AN memberikan maaf kepada pelaku secara tulus ikhlas, dirinya menjadi individu lebih tenang sehingga dapat meredam emosi dan kemarahannya, akan tetapi merasa sedih kenapa hubungan pertemanan yang mereka jalin sekian lama berakhir seperti ini.
Responden kedua yaitu MN pada tahap uncovering phase diawali dengan munculnya rasa marah,
sedih, dan setiap bertemu dengan pelaku responden MN ingin memukulnya sebagai salah satu cara untuk melampiaskan rasa marah dan kecewa. Dalam tahap decision phase terkait pelecehan seksual, responden MN belum bisa memberikan maaf karena apa yang dilakukan pelaku berdampak pada masa depannya, akan tetapi dalam tahap working phase, responden MN sudah bisa menerima rasa sakit yang diberikan oleh pelaku dan menjadikan masa lalu sebagai sebuah pembelajaran. Responden MN belum bisa masuk ke tahap deepening phase dikarenakan belum bisa memberikan maaf kepada pelaku, sehingga responden MN tidak bisa menemukan makna bagi dirinya sendiri dan untuk orang lain terkait dengan pemberian maaf.
Responden ketiga yaitu RA pada tahap uncovering phase dapat dilihat dari responden RA tidak bersedia membalas sapaan pelaku pada saat pulang dari pemandian umum. Pada tahap decision phase, responden RA sudah tidak mempunyai keinginan untuk balas dendam kepada pelaku, karena sudah mulai menerima rasa sakit yang diberikan dan menyadari apa yang dilakukan pelaku merupakan bentuk dari pemuasan hasrat terkait orientasi seksualnya sehingga dalam tahap working phase, responden RA sudah bisa menunjukkan perilaku memaafkan tersebut melalui interaksi dengan pelaku walaupun hanya sebatas sapaan dan pada tahap deepening phase, responden RA sudah bisa mengontrol emosinya setelah memberikan maaf kepada pelaku.
Responden keempat yaitu RT pada tahap uncovering phase diawali dengan munculnya rasa dendam dengan pelaku. Dalam tahap decision phase terkait pelecehan seksual, responden RT belum bisa memberikan maaf karena apa yang dilakukan pelaku berdampak pada keadaan fisik, psikologis dan respon lingkungan terhadap dirinya. Walaupun responden RT belum bisa memberikan maaf kepada pelaku, akan tetapi dalam tahap working phase, responden RT sudah bisa menerima rasa sakit yang diberikan oleh pelaku. responden RT belum masuk ke tahap deepening phase, dikarenakan belum bisa memberikan maaf kepada pelaku, sehingga tidak bisa menemukan makna hidup bagi diri sendiri dan orang lain.
-
2. Tujuan memaafkan
Keputusan responden AN memberikan maaf kepada pelaku dipengaruhi tujuan yang ingin dicapai responden AN yaitu reconciliation, easing conscience dan freedom from anger and resenment yang dilihat dari responden AN tidak ingin terjadinya permusuhan dengan pelaku yang merupakan teman baiknya karena sering merasakan rindu walaupun pelaku sudah menyakitinya, secara perlahan-lahan sudah bisa memaafkan pelaku sehingga mampu melepaskan emosi negatif serta dapat memberikan rasa nyaman dan kebebasan terhadap hati nuraninya, merasa lebih baik setelah melepaskan emosi negatif yang dirasakan,
akan tetapi emosi tersebut muncul dalam intensitas yang berbeda jika kejadian tersebut dibicarakan kembali, Responden MN dan RT tidak memiliki tujuan untuk memberikan maaf kepada pelaku karena belum bisa memberikan maaf, sedangkan tujuan memaafkan responden RA dapat dilihat dari adanya keinginan untuk menjalin hubungan dengan palaku sehingga responden RA sudah bisa memberikan rasa nyaman dan kebebasan terhadap hati nuraninya dan melepaskan emosi negatif yang dirasakannya.
-
3. Motivasi memaafkan
Terdapat tiga motivasi dalam perilaku memaafkan, diantaranya expedient, role expected dan intrinsik seperti responden AN memberikan maaf kepada pelaku bukan didasarkan untuk bebas dari trauma yang dialaminya melainkan untuk melepaskan pikiran dan emosi negatif yang ditujukan kepada pelaku, keputusan responden AN memberikan maaf kepada pelaku yang tidak dipengaruhi oleh lingkungan sekitar ataupun keluarganya dan motivasi memaafkan pada responden AN sebagian besar muncul dari dalam dirinya atau bersifat intrinsik, sedangkan responden MN dan RT tidak mempunyai motivasi memaafkan karena belum bisa memberikan maaf kepada pelaku.
Responden RA memberikan maaf kepada pelaku tidak dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya melainkan berasal dari dalam dirinya dan memutuskan untuk memaafkan pelaku dengan maksud menggantikan sikap permusuhan, menyadari bahwa memaafkan merupakan hal yang penting.
-
c. Fase III dalam dinamika memaafkan
Faktor-Faktor yang Memengaruhi pemberian maaf
---
Sosial
Kognitif
Kualitas hubungan
interpersonal
Karakteristik Peristiwa Menvakitkan
-
Gambar 5. Faktor yang memengaruhi dinamika memaafkan
Kualitas hubungan interpersonal yang tejalin antara responden AN dengan pelaku merupakan salah satu faktor penting dalam pemberikan maaf, hal ini dikarenakan hubungan yang terjalin dari SMA menjadi dasar pertimbangan responden AN dan salah satu faktor yang memengaruhi pemberian maaf kepada pelaku adalah agama, sedangkan responden MN dan RT tidak memberikan maaf kepada pelaku karena rasa sakit yang
diberikan terlalu dalam sehingga berdampak pada ingatan masa lalunya yang hilang dan responden RT mengalami perubahan orientasi seksual serta perubahan fisik khususnya di bagian payudara. Kualitas hubungan interpersonal atau kedekatan yang tejalin antara responden RA dengan pelaku bukan merupakan faktor penting yang memengaruhi pemberian maaf, melainkan reponden RA sudah mulai memahami kondisi dan orientasi seksual pelaku.
2. Perbandinganjenis kelamin terkait dinamika memaafkan | ||||
Respiideii |
AN |
MN |
RA |
RT |
Jenis Kelamin |
Perempuan |
Perempuan |
Laki-laki |
Laki-laki |
Perilaku Memaafkan |
Memaatkan |
Tidak |
Memaatkan |
Tidak |
Fase yang dilalui |
4 fase |
2 fase |
4 fase |
2 fase |
Tabel 1. Perbandingan dinamika memaafkan pada korban pelecehan seksual
Dalam penelitian ini membuktikan bahwa baik laki-laki maupun perempuan akan cenderung mengalami reaksi dan dampak yang sama terhadap pelecehan seksual, sehingga jenis kelamin tidak memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap perilaku memaafkan pada tiap responden.
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan akan dijelaskan melalui empat topik utama, yaitu faktor-faktor yang memengaruhi perilaku memaafkan, proses memaafkan, tujuan memaafkan dan motivasi memaafkan pada responden.
-
1. Proses memaafkan
Menurut Enright & North (dalam Worthington, 1998), proses perilaku memaafkan dibagi ke dalam empat tahapan, yaitu uncovering phase, decision phase, working phase dan deepening phase. Pada tahap uncovering phase terkait dengan bagaimana individu mengatasi kemarahan (menghindar atau menghadapinya), kemudian adanya penyangkalan sebelum memaafkan, sehingga banyak orang tidak menyadari bahwa dirinya disakiti secara dalam oleh orang lain (Enright & North dalam Worthington, 1998).
Sesuai dengan teori yang disampaikan oleh Enright & North (dalam Worthington, 1998), tahap uncovering phase pada responden AN, MN, RA dan RT diawali dengan munculnya rasa marah, penyangkalan, sedih, kecewa, kejadian yang terus menerus muncul dalam pikiran, dan munculnya keinginan untuk balasa dendam. Pada tahap decision phase individu sudah mulai menyadari cara berpikir pelaku dan apa yang dilakukannya tidak sehat sehingga munculnya kesediaan untuk memaafkan meskipun perilaku memaafkan belum sungguh-sungguh dilakukan namun sudah tidak ada pikiran untuk membalas (Enright & North dalam Worthington, 1998).
Sesuai dengan teori yang disampaikan oleh Enright & North (dalam Worthington, 1998), tahap decision phase pada responden AN diawali dengan menyadari apa yang dilakukan
kedua pelaku merupakan hal yang sehat. Responden MN dan RT tidak bisa memberikan maaf kepada pelaku sehingga belum mencapai tahap decision phase karena pelecehan tersebut berdampak pada keadaan fisik, psikologis dan masa depannya, akan tetapi rasa dendam yang ada pada responden MN dan RT sudah jauh berkurang dan sudah menerima rasa sakit yang diberikan pelaku.
Pada tahap decision phase, responden RA sudah tidak mempunyai keinginan untuk balas dendam kepada pelaku karena sudah mulai menerima rasa sakit yang diberikan dan menyadari apa yang dilakukan pelaku merupakan bentuk dari pemuasan hasrat terkait orientasi seksualnya. Pada tahap working phase individu sudah bisa memahami pelaku, masa lalunya, tekanan yang dihadapi pelaku pada saat tersebut dan nilai dasar manusia, muncul empati dan belas kasihan terhadap pelaku, menerima rasa sakit merupakan inti dari perilaku memaafkan, termasuk komitmen pada diri sendiri untuk tidak menyakiti orang dan memberikan pelajaran moral kepada pelaku yang menyakiti (Enright & North dalam Worthington, 1998).
Sesuai dengan teori yang disampaikan oleh Enright & North (dalam Worthington, 1998), Tahap working phase pada responden AN diawali dengan menghubungi pelaku perempuan melalui media line untuk memberikan masukan terkait dengan tindakannya yang sudah melewati norma yang berlaku di budaya ketimuran dan tetap menerima pelaku apa adanya. Walaupun responden MN belum bisa memberikan maaf kepada pelaku, akan tetapi dalam tahap working phase, responden MN sudah bisa menerima rasa sakit yang diberikan oleh pelaku dan menjadikan masa lalu sebagai sebuah pembelajaran.
Sesuai dengan teori yang disampaikan oleh Enright dan North (dalam Worthington, 1998), dalam tahap working phase, responden RA sudah bisa menunjukkan perilaku memaafkan tersebut melalui interaksi dengan pelaku walaupun hanya sebatas sapaan. Walaupun responden RT belum bisa memberikan maaf kepada pelaku, akan tetapi dalam tahap working phase, responden RT sudah bisa menerima rasa sakit yang diberikan oleh pelaku.
Pada tahap deepening phase individu sudah menemukan makna bagi diri sendiri dan orang lain dalam keadaan tersakiti maupun dalam proses memaafkan, menyadari ketidaksempurnaan setiap orang dan mengingat kembali kejadian-kejadian yang membuat seseorang layak untuk mendapatkan maaf (Enright & North dalam Worthington, 1998). Sejalan dengan teori yang disampaikan oleh Enright dan North (dalam Worthington, 1998), Tahap deepening phase dalam proses memaafkan dintunjukkan responden AN dengan memberikan maaf kepada pelaku. Ketika responden AN memberikan maaf kepada pelaku secara tulus ikhlas, dirinya menjadi individu lebih tenang sehingga dapat meredam emosi dan kemarahannya.
Sejalan dengan teori yang disampaikan oleh Enright & North (dalam Worthington, 1998), Responden MN dan RT belum bisa masuk ke tahap deepening phase dikarenakan belum bisa memberikan maaf kepada pelaku, sehingga tidak bisa menemukan makna bagi dirinya sendiri dan untuk orang lain terkait dengan pemberian maaf. Seperti halnya responden AN, pada tahap decision phase responden RA sudah tidak mempunyai keinginan untuk balas dendam kepada pelaku, karena sudah bisa menerima rasa sakit yang diberikan dan menyadari apa yang dilakukan pelaku merupakan bentuk dari pemuasan hasrat terkait orientasi seksualnya.
-
2. Tujuan perilaku memaafkan
Perilaku memaafkan tidak terjadi secara instan, meskipun ada orang yang mampu melalui prosesnya secara cepat. Keputusan individu untuk memaafkan dipengaruhi tujuan yang ingin dicapai oleh orang tersebut, menurut Affinito (1999), tujuan individu untuk memaafkan antara lain reconciliation, easing conscience dan freedom from anger and resentment. Sesuai dengan teori yang disampaikan oleh Affinito (1999), Reconciliation dalam tujuan memaafkan dilihat dari responden AN tidak ingin terjadinya permusuhan dengan pelaku walaupun pelaku sudah menyakitinya.
Sejalan dengan teori yang disampaikan oleh Affinito (1999), responden MN dan RT tidak mencapai tahap reconciliation dalam tujuan memaafkan, dikarenakan responden MN tidak ingin menjalin hubungan yang baru dengan pelaku. Seperti halnya responden AN, tahap reconciliation pada responden RA ditunjukkan dengan adanya keinginan untuk menjalin hubungan dengan pelaku, akan tetapi tidak untuk hubungan yang akrab seperti dulu atau ingin memiliki hubungan tanpa perasaan tidak nyaman dengan pelaku.
Easing conscience merupakan Salah satu tujuan dari memaafkan adalah untuk memberikan rasa nyaman dan kebebasan terhadap hati nurani (Affinito, 1999). Sejalan dengan teori yang disampaikan oleh Affinito (1999), Easing conscience merupakan salah satu tujuan dalam memberikan maaf, tujuan tersebut dilihat dari responden AN dan RA yang secara perlahan-lahan sudah bisa memaafkan pelaku sehingga mampu melepaskan emosi negatif dan dapat memberikan rasa nyaman terhadap hati nuraninya. Easing conscience merupakan salah satu tujuan dalam pemberikan maaf, akan tetapi responden MN dan RT belum bisa memberikan maaf tersebut kepada pelaku, sehingga belum mencapai tahap easing conscience dengan maksud untuk memberikan rasa nyaman dan kebebasan terhadap hati nuraninya.
Freedom from anger and resentment merupakan salah satu tujuan dalam perilaku memaafkan akan membuat individu
merasa lebih baik setelah melepaskan emosi negatif yang dirasakan (Affinito, 1999). Sesuai dengan teori yang disampaikan oleh Affinito (1999), freedom from anger and resenment dalam perilaku memaafkan membuat responden AN dan RA merasa lebih baik setelah melepaskan emosi negatif yang dirasakan, sehingga mengubah pemikiran destruktif menjadi pemikiran yang lebih baik terhadap orang yang telah menyakitinya. Freedom from anger and resenment merupakan bagian dari tujuan memafkan, pada bagian ini responden MN dan RT belum bisa memberikan maaf kepada pelaku, akan tetapi sudah bisa melepaskan emosi negatif yang dirasakan dengan cara memanfaatkan pelaku dengan mengambil keuntungan secara finansial untuk membiayai kuliah, menonton drama korea dan mengingat bahwa setiap agama dapat mengampuni setiap kesalahan umatnya.
-
3. Motivasi perilaku memaafkan
Menurut Trainer (dalam McCullough & Sandage & Worthington, 1997) terdapat tiga motivasi individu memaafkan orang lain, yaitu expedient, role-expected dan intrinsik. Expedient terkait dengan individu memberikan maaf untuk mendapatkan sesuatu, termasuk kebebasan dari pikiran dan emosi negatif, kebebasan dari gejala-gejala stres, reputasi yang lebih baik dimata orang (Affinito, 1999). Sejalan dengan teori yang disampaikan oleh Affinito (1999), Expedient dalam motivasi memaafkan pada responden AN dan RA bukan didasarkan untuk bebas dari trauma yang dialaminya, melainkan untuk melepaskan pikiran dan emosi negatif yang ditujukan kepada pelaku.
Motivasi expedient atau pemberikan maaf dengan tujuan tertentu seperti bebas dari gejala-gejala stres ataupun berdamai dengan dirinya sendiri belum dirasakan responden MN dan RT, karena tidak bisa memberikan maaf kepada pelaku. Role-expected terkait individu memaafkan karena adanya harapan dari figur otoritas, seperti Tuhan atau orang lain dan tipe memaafkan ini bersifat memaksa (Affinito, 1999). Sejalan dengan teori yang disampaikan oleh Affinito (1999), role expected dalam motivasi memaafkan pada responden AN dilihat dari keputusan responden AN memberikan maaf kepada pelaku yang tidak dipengaruhi oleh lingkungan sekitar ataupun keluarganya, karena keluarga responden AN tidak mengetahui kejadian tersebut.
Responden MN dan RT belum bisa memberikan maaaf kepada pelaku sehingga tidak mempunyai motivasi role expected atau memberikan maaf dikarenakan adanya harapan dari figur otoritas, seperti Tuhan atau orang lain. Responden RA memberikan maaf kepada pelaku tidak dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya, melainkan berasal dari dalam dirinya sehingga tidak masuk dalam motivasi role expected.
Motivasi memaafkan intrinsik adalah keputusan yang dibuat individu untuk menggantikan sikap bermusuhan, individu menyadari, baik dalam pikiran maupun perasaannya, bahwa memaafkan merupakan hal yang penting. Perilaku
memaafkan yang bersifat intrinsik muncul dari dalam hati seseorang (Affinito, 1999). Sejalan dengan teori yang disampaikan oleh Affinito (1999), motivasi memaafkan pada responden AN dan RA sebagian besar muncul dari dalam dirinya atau bersifat intrinsik tanpa ada intervensi dari siapapun dan memahami kodisi yang dihadapi oleh pelaku baik secara fisik dan psikologis. Responden MN dan RT belum bisa memberikan maaf kepada pelaku sehingga tidak mempunyai motivasi memaafkan secara intrinsik.
-
4. Faktor-faktor yang memengaruhi memaafkan
Menurut McCullough (2000), secara teoritis faktor-faktor yang memengaruhi perilaku memaafkan (forgiveness) terbagi dalam 4 kategori yang berada dalam satu kontinum, yaitu dari faktor yang paling memengaruhi sampai faktor yang pengaruhnya tidak begitu besar, diantaranya faktor sosial kognitif, karakteristik peristiwa menyakitkan, kualitas hubungan interpersonal dan karakteristik kepribadian. Faktor sosial kognitif merupakan perilaku memaafkan dipengaruhi oleh dua hal yaitu perenungan diri (rumination) dan penekanan (suppression), yaitu kecenderungan korban untuk terus menerus mengingat kejadian yang dapat menimbulkan kemarahan dan menghalangi dirinya untuk memaafkan (McCullough, 2000).
Berlawanan dengan teori tersebut, dalam penelitian ini justru ditemukan bahwa meski responden AN terus menerus mengingat kejadian menyakitkan dan menarik diri dari lingkungan sosial dengan cara mengurung diri di kamar, responden AN tetap bisa memberikan maaf kepada pelaku, sehingga motivasi untuk menghindar dan balas dendam semakin berkurang. Berbeda dengan responden AN, responden MN juga memiliki kecenderungan untuk terus mengingat kejadian pelecehan seksual yang dialaminya, namun kecenderungan tersebut justru menimbulkan kemarahan dan keinginan untuk balas dendam sehingga menghalangi dirinya untuk memaafkan pelaku (McCullough, 2000).
Sesuai dengan teori yang disampaikan oleh McCullough (2000), didalam penelitian ini ditemukan bahwa responden RA sempat mengingat kembali kejadian menyakitkan tersebut, sehingga menimbulkan kemarahan dan keinginan untuk balas dendam kepada pelaku, akan tetapi hal tersebut tidak berlangsung lama, karena seiring berjalannya waktu responden RA sudah bisa memberikan maaf kepada pelaku dan bisa menerima rasa sakit yang diberikan. Sesuai dengan teori yang disampaikan oleh McCullough (2000), didalam penelitian ini ditemukan bahwa responden RT memiliki kecenderungan untuk terus mengingat kejadian pelecehan seksual tersebut, dan mengekpresikannya dalam bentuk kemarahan.
Karakteristik peristiwa menyakitkan merupakan Persepsi terhadap tingkat keparahan dari peristiwa yang menyakitkan dan konsekuensinya akan memengaruhi pemaafan individu. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Girard, Mullet, Ohbucci, Kamaeda dan Agarie (dalam McCullough, 2000) menggambarkan bahwa semakin parah peristiwa menyakitkan yang dialami, maka semakin sulit individu untuk memaafkan. Berlawanan dengan teori yang disampaikan oleh Girard & Mullet, Ohbucci, Kamaeda dan Agarie (dalam McCullough, 2000), dalam penelitian ini ditemukan bahwa pelecehan seksual yang dialami responden AN dalam bentuk visual, verbal dan fisik, akan tetapi semua dampak yang dirasakan responden AN tidak memengaruhi dirinya untuk memberikan maaf kepada pelaku dengan alasan tidak ingin menghancurkan hubungan pertemanannya yang terjalin dari SMA.
Sesuai dengan teori yang disampaikan oleh Girard, Mullet, Ohbucci, Kamaeda dan Agarie (dalam McCullough, 2000), pelecehan seksual yang dialami responden MN diantaranya meraba bagian tubuh, meremas payudara dan adanya ancaman dari pelaku, akan tetapi tingkat keparahan dan dampak yang ditimbulkan dari pelecehan tersebut begitu mendalam, sehingga responden MN semakin sulit untuk memberikan maaf kepada pelaku. Seperti halnya responden AN, responden RA juga mengalami pelecehan seksual dalam bentuk visual, verbal dan fisik, antara lain adanya pemaksaan untuk melakukan oral seks dan memegang alat kelamin responden RA, sehingga dampak yang ditimbulkan diantaranya ketakutan pergi ke kampung halaman, akan tetapi hal tersebut tidak berlangsung lama. Responden RA tidak mengalami trauma ataupun kecemasan berlebih lainnya karena tingkat pelecehan seksual yang dilakukan pelaku hanya sebatas memegang alat kelamin, sehingga responden RA lebih mudah untuk memberikan maaf kepada pelaku.
Bentuk pelecehan seksual yang dialami responden RT mirip dengan responden MN akan tetapi dampak yang ditimbulkan berbeda. Responden RT mengalami pelecehan seksual yang tergolong dalam bentuk fisik, diantaranya pelaku memegang, memeluk dan meremas payudaranya dengan keras, sehingga berdampak pada kondisi fisik, psikologis dan sulit untuk memberikan maaf kepada pelaku karena tingkat keparahan dan dampak yang dirasakan responden RT begitu mendalam.
Kualitas hubungan interpersonal merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan pemaafan. Hal ini dikarenakan pemaafan dapat dipahami sebagai perubahan motivasi ke arah hubungan yang lebih konstruktif setelah peristiwa yang menyakitkan terjadi, sehingga hubungan antar individu dengan pelaku merupakan faktor penting (McCullough, 2000). Sesuai dengan teori yang disampaikan oleh McCullough (2000), didalam penelitian ini ditemukan bahwa kualitas hubungan interpersonal yang terjalin antara
responden AN dengan pelaku merupakan salah satu faktor penting dalam pemberian maaf, hal ini terlihat dari responden AN sering merindukan pelaku dan akan tetap menjadi teman baiknya walaupun pelaku sudah menyakitinya baik secara fisik maupun psukologis.
Tidak sejalan dengan teori yang disampaikan oleh McCullough (2000), kualitas hubungan interpersonal yang terjalin antara responden MN dengan pelaku yaitu sebagai ayah dengan anak. Pelaku merupakan ayah tiri responden MN, akan tetapi sudah dianggap sebagai ayah biologisnya karena sudah dibesarkan dan dirawat dari kecil. Hubungan yang terjalin antara responden MN dengan pelaku bukan sebagai dasar pertimbangan untuk memberikan maaf. Seperti halnya responden MN, kualitas hubungan interpersonal atau kedekatan yang terjalin antara responden RA dengan pelaku antara keponakan dengan paman, akan tetapi bukan merupakan faktor penting yang memengaruhi pemberian maaf, melainkan responden RA sudah mulai memahami kondisi dan orientasi seksual pelaku.
Berlawanan dengan teori yang disampaikan oleh McCullough (2000), didalam penelitian ini ditemukan bahwa kualitas hubungan interpersonal yang terjalin antara responden RT dengan pelaku hanya sebatas tetangga, akan tetapi responden RT sudah dianggap sebagai cucunya dan menjadi bagian dari keluarga tersebut. Hubungan yang terjalin antara responden RT dengan pelaku bukan sebagai landasan dalam pemberian maaf.
5. Perbaiidirigaii Jenis Kelamin | ||||
Respnden |
AN |
MN |
RA |
RT |
Jenis Kelamin |
Perempuan |
Perempuan |
Lald-Iaki |
Laki-laki |
Perilaku Memaafkan |
Memaaikan |
Tidak |
Memaafkan |
Tidak |
Fase yang dilalui |
4 fase |
2 fase |
4 fase |
2 fase |
Tabel 1. Perbandingan dinamika memaafkan pada korban pelecehan seksual
Perempuan umumnya dipandang memiliki pemikiran atau sifat yang lebih sensitif (Pease, 1999) sehingga memungkinkan perempuan untuk lebih mudah memberikan maaf atau justru sulit memaafkan, namun dalam penelitian ini membuktikan bahwa baik laki-laki maupun perempuan akan cenderung mengalami reaksi dan dampak yang sama terhadap pelecehan seksual, sehingga jenis kelamin tidak memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap perilaku memaafkan pada tiap responden.
Dari keseluruhan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa keempat responden memiliki pengalaman, bentuk dan dampak yang berbeda-beda dalam mengalami kasus pelecehan seksual. Penelitian ini melibatkan empat responden dengan dua responden berjenis kelamin wanita dan dua responden berjenis kelamin pria untuk dapat menemukan perbandingan perilaku memaafkan pelaku pelecehan seksual yang dijalani
oleh pria dan wanita. Dilihat dari 3 fase memaafkan yang dijalani oleh para responden, berikut kesimpulan dari penelitian ini :
-
1. Secara umum, perilaku memaafkan yang dijalani oleh tiap individu berbeda-beda. Perbedaan ini sebagian besar dipengaruhi oleh pengalaman, bentuk dan dampak pelecehan seksual yang dialami pada setiap individu, sehingga menjadi bahan pertimbangan untuk memberikan maaf kepada pelaku. Jenis kelamin individu tidak mempengaruhi kemauan individu dalam memaafkan dan menerima pelecehan seksual yang dialaminya.
-
2. Proses memaafkan yang dilalui oleh tiap individu berbeda-beda tergantung dari kesediaan memberikan maaf kepada pelaku. Individu akan mencapai tahap deepening phase jika sudah menyadari
ketidaksempurnaan setiap orang dan mengingat kembali kejadian-kejadian yang membuat seseorang layak untuk mendapatkan maaf sehingga dapat merasakan, kebebasan, kelegaan, terhindar dari efek balas dendam dan berdamai dengan diri sendiri. Individu yang belum bisa memberikan maaf kepada pelaku hanya akan mencapai tahap decision phase karena masih munculnya emosi negatif, kebencian dan keinginan untuk balas dendam walaupun sudah bisa menerima rasa sakit yang diberikan oleh pelaku, sehingga belum menemukan makna bagi diri sendiri dalam keadaan tersakiti maupun manfaat dari perilaku memaafkan.
-
3. Individu yang sudah bisa memberikan maaf kepada pelaku memiliki tujuan dan motivasi yang sama, persamaan tersebut terlihat dari individu ingin menjalin hubungan baru dengan pelaku (reconciliation),
memberikan rasa nyaman dan kebebasan terhadap hati nurani (Easing Conscience) dan pemberian maaf tersebut muncul dari dalam diri individu (intrinsik) tanpa ada intervensi dari orang lain.
-
4. Faktor-faktor yang memengaruhi keputusan individu dalam memberikan maaf atau tidak kepada pelaku berbeda-beda. Individu-individu yang belum bisa
memberikan maaf sebagian besar dipengaruhi oleh
karakteristik peristiwa menyakitkan, semakin parah peristiwa menyakitkan yang dialami maka semakin sulit individu untuk memaafkan, akan tetapi terdapat individu yang tetap bisa memberikan maaf walaupun dampak yang dirasakan begitu mendalam karena dipengaruhi oleh kualitas hubungan interpersonal yang kuat.
-
5. Individu yang sudah bisa memberikan maaf kepada pelaku memiliki tujuan dan motivasi yang sama, persamaan tersebut terlihat dari individu ingin menjalin hubungan baru dengan pelaku (reconciliation),
memberikan rasa nyaman dan kebebasan terhadap hati nurani (Easing Conscience) dan pemberian maaf tersebut
muncul dari dalam diri individu (intrinsik) tanpa ada intervensi dari orang lain.
-
6. Faktor-faktor yang memengaruhi keputusan individu dalam memberikan maaf atau tidak kepada pelaku berbeda-beda. Individu-individu yang belum bisa memberikan maaf sebagian besar dipengaruhi oleh karakteristik peristiwa menyakitkan, semakin parah peristiwa menyakitkan yang dialami maka semakin sulit individu untuk memaafkan, akan tetapi terdapat individu yang tetap bisa memberikan maaf walaupun dampak yang dirasakan begitu mendalam karena dipengaruhi oleh kualitas hubungan interpersonal yang kuat.
Bagi korban pelecehan seksual, diharapkan dapat memunculkan insight dari dalam dirinya untuk memberikan maaf kepada pelaku pelecehan seksual dengan bercermin pada penggolongan perilaku memaafkan berdasarkan tahapan-tahapan yang telah dipaparkan dalam penelitian ini dan menemui tenaga profesional sebagai salah satu usaha untuk meredakan dendam, mengurangi trauma yang dirasakan dari pelecehan seksual yang dialami, hingga sebisa mungkin memunculkan motivasi dari dalam diri individu untuk memaafkan pelaku pelecehan seksual.
Untuk keluarga dan orang-orang terdekat yang hidup berdampingan dengan individu korban pelecehan seksual, diharapkan dapat merangkul, mendampingi, mendukung, dan peka terhadap kondisi yang dialami individu walaupun tidak terbuka dengan pelecehan seksual yang dialaminya, sehingga dapat menanggulangi rasa cemas, depresi ataupun trauma yang timbul dari pelecehan seksual tersebut.
Untuk masyarakat secara luas, penelitian ini diharapkan mampu menjadi cerminan bagi masyarakat untuk meningkatkan kepedulian dan kepekaan terhadap lingkungan sekitar serta dapat membedakan perilaku-perilaku yang mengarah pada pelecehan seksual, sehingga dengan demikian dapat mengurangi angka pelecehan seksual dan trauma yang dirasakan oleh individu.
Bagi pemerintah, undang-undang terkait pelecehan seksual baik perlindungan bagi korban ataupun hukuman bagi pelaku sekiranya dapat berjalan dengan baik sesuai ketentuan yang berlaku, sehingga diperlukan keefektifan dan fungsi yang baik dari faktor-faktor yang mempengaruhi penegakkan hukum (UU, penegak hukum, sarana atau fasilitas dan masyarakat) dengan memberikan rehabilitasi mental kepada pelaku pelecehan seksual atau lebih memperberat sanksi (hukuman pidana) terhadap pelaku dan mengedepankan usaha penegak hukum agar lebih responsif dalam menanggapi laporan kasus pelecehan seksual dengan tetap melindungi hak-hak dan privasi korban pelecehan seksual itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Affinito, M. 1999. When to forgive. Oakland: New Harbinger Publications, Inc.
Arif, T. A. (2013). Komitmen dengan pemaafan dalam hubungan persahabatan. Fakultas Psikologi,
Universitas Muhammadiyah, Malang.
Collier, R. 1998. Masculinities, crime and criminology. London: Sage Publications.
Collier, J., & collier, R. 1991. Tackling sexism and sexual harassment: A guide for changing the workplace, London: City Centre.
Collier, R. 1991. Mental rape: The effects of sexual harassment: London: City Centre.
Creswell, J. W. 2003. Research design: Qualitative, quantitative, and mixed methods approaches. 2nd edition. California: Sage Publications.
Dahlan, S. 2000. Hukum kesehatan: Rambu-rambu bagi profesi dokter, Semarang: Universitas Diponegoro. https://books.google.co.id/books?id=R1sxMwAACA AJ&dq=Rambu-
Rambu+bagi+Profesi+Dokter+sofwan+dahlan&hl=id &sa=X&redir_esc
Dimatteo, M. R. (1991). The psychology of health, illness and medical care. Pasific Grove, California: Brooks / Cole Publishing Company.
Direktorat Reaserse Kriminal Umum Polda Bali. (2014). Data pelecehan seksual di Bali 2014. Bali: Polda Bali
Direktorat Reaserse Kriminal Umum Polda Bali. (2015). Data pelecehan seksual di Bali 2015. Bali: Polda Bali
Enright, R.D. (2001). Forgiveness is a choice: A step-y-step process for resolving anger and restoring hope. Washington DC: APA Life Tools.
https://couragerc.org/wp-content/uploads/Enright_Process_Forgiveness_1.pdf
Enright, R., & North, J. 1998. Exploring forgiveness. New York: The University of Wisconsin Press.
Fincham. (2002). Forgiveness integral to ascience of close relatinship. Journal of Personality and Social Psychology Family Institude: Florida State
University.
http://portal.idc.ac.il/en/symposium/herzliyasymposiu m/documents/dcfincham.pdf
Gruber, J. E. (1992). A typology of personal and environmental sexual harrasment. Research and policy implications for the 1990s, Sex Roles, 26: 447-464.
Hargrave, T. D. 1994. Families and forgiveness: Healing wounds in the intergenerational family. New York: Taylor & Francis Group.
Henderson, M. 2003. Forgiveness: Breaking the chain of hate. 2nd rev. ed. Amerika Serikat: Arnica Publishing, Inc.
Herdiyansyah, H. 2002. Metodologi penelitian kualitatif untuk ilmu psikologi. Jakarta: Salemba Humanika.
Lubis. 2013. Psikologi kespro: Wanita & perkembangan reproduksinya. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.
McCullough, M.E. (2000). Forgiveness as human strength: Theory, measurement , and l inks to wellbeing. Journal of sosial and clinical psychology. 19, 43-55. http://www.psy.miami.edu/ehblab/Forgiveness%20an d%20Revenge%20Papers/forgiveness_as_human_str ength.pdf
McCullough, M., Sandage, S., & Worthington, E. 1997. To forgive is human: How to put your past in the past. Madison: InterVarsity Press.
Moleong, L. J. 2014. Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Munthe, R. U. N. (2013). Perbedaan forgiveness ditinjau dari tipe kepribadian remaja yang orangtuanya bercerai. Naskah tidak dipublikasikan, Fakultas Psikologi, Universitas Medan Area, Medan.
Nashori, F. (2008). Psikologi sosial islami. Jakarta: PT refika aditama.
Papalia, D. E., Old, S. W. & Feldman, R. D. 2011. Human development. 9th edition (Psikologi Perkembangan, Edisi Kesembilan: Anwar, A.K.). Jakarta: Kencana.
Pease, A. & Barbara. 1993. Memory language. Sydney, Australia: Camel Publishing.
Poerwandari, E. K. 1998. Pendekatan kualitatif dalam penelitian psikologi. Jakarta: Lembaga
Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi.
Putri, S. W. (2014). Perilaku memaafkan dikalangan remaja broken home. Naskah tidak dipublikasikan, Fakultas Psikologi, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta.
Satori, D. & Komariah, A. 2011. Metodologi penelitian kualitatif. Bandung : Alfabeta.
Sugiyono. 2014. Metode penelitian kuantitatif, kualitatif, dan R & D. Bandung: Penerbit Alfabeta.
Supardi & Sadarjoen. (2006). Dampak psikologis pelecehan seksual pada anak perempuan. Dikutip dari http://www.kompas.com/ pada tanggal 20 Oktober 2015.
Tanjung, Gema. (2015). Jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak terus meningkat. Diunduh 12 Agustus 2015 dari
Worthington, E.L. (1997). Dimension of forgiveness: Psychological research and tecnological perspective. Philadelphia & London: Templeton Foundation Press. https://books.google.co.id/books/about/Dimensions_ Of_Forgiveness.html?id=nI__EYZ-kzkC&redir_esc=y
Worthington, E. 1998. Dimensions of forgiveness. Pennyslavia: Templeton Foundation Press.
Yusuf, M. 2014. Metode penelitian kuantitatif, kualitatif & penelitian gabungan. Jakarta: Prenadamedia Group.
Yudha, N. B. D. (2016). Studi pendahuluan: Perilaku memaafkan pada korban pelecehan seksual. Naskah tidak dipublikasikan. Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Yuniardita, M. I. (2014). Kematangan emosi dengan pemaafan pada remaja. Naskah tidak dipublikasikan. Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah, Malang.
447
Discussion and feedback