PERAN POLA ASUH AUTORITATIF DAN KONSEP DIRI TERHADAP KECERDASAN SOSIAL REMAJA AWAL SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI DI DENPASAR
on
Jurnal Psikologi Udayana
2017, Vol.4, No.2, 448-459
Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Udayana
ISSN: 2354 5607
PERAN POLA ASUH AUTORITATIF DAN KONSEP DIRI TERHADAP KECERDASAN SOSIAL REMAJA AWAL SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI DI DENPASAR
Kadek Indah Pratiwi, I Made Rustika
Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana
Abstrak
Kecerdasan sosial merupakan kemampuan yang dimiliki individu untuk menjalin hubungan dan kerjasama, mengorganisir, peka membaca reaksi dan perasaan orang lain, serta mampu menangani perselisihan yang muncul. Kecerdasan sosial merupakan aspek mental yang berkembang karena dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pola asuh dan konsep diri. Pola asuh autoritatif berperan dalam meningkatkan kecerdasan sosial karena orangtua lebih hangat, menunjukkan penerimaan yang positif, menerapkan komunikasi dua arah, dan tanggap terhadap anak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran pola asuh autoritatif dan konsep diri terhadap kecerdasan sosial pada remaja awal. Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah remaja awal yang sedang menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Negeri di Denpasar. Sampel pada penelitian ini berjumlah 100 orang. Hasil uji regresi berganda menunjukkan koefisien regresi sebesar 0,559 dan koefisien determinasi sebesar 0,312, dengan signifikansi sebesar 0,000 (p<0,05), dengan demikian terdapat peran pola asuh autoritatif dan konsep diri terhadap kecerdasan sosial remaja awal. Koefisien beta terstandarisasi dari pola asuh autoritatif menunjukkan nilai sebesar 0,388, dan signifikansi 0,001 (p<0,05), sehingga pola asuh autoritatif berperan secara signifikan terhadap kecerdasan sosial remaja awal. Koefisien beta terstandarisasi dari konsep diri menunjukkan nilai sebesar 0,223, dan signifikansi 0,047 (p<0,05), sehingga konsep diri berperan secara signifikan terhadap kecerdasan sosial remaja awal.
Kata Kunci: Kecerdasan sosial, pola asuh autoritatif, konsep diri, remaja awal.
Abstract
Social intelligence is an ability an individual possesses to create a connection and promote cooperation, to organize, and be sensitive in reading other people’s feelings and reactions, and be able to handle any surfacing conflicts. Social intelligence is a mental aspect which is formed and developed because it’s influenced by several factors such as parenting style and self-concept. Authoritative parenting style has a role in improving social intelligence because parents are warmer, showing positive reception, implement two-way communication, and responsiveness to child. The purpose of this research to gather information regarding the role of authoritative parenting style and self-concept towards social intelligence of early adolescents. The subjects in this research is early adolescents which currently are studying in junior high school in Denpasar. The sample consists of 100 people. The results of multiple regression test shows that the coefficient regression is 0.559 and the coefficient determination is 0.312, with significance of 0.000 (p <0.05), therefore authoritative parenting style and the self-concept has a role towards social intelligence of early adolescents. Standardized beta coefficient from authoritative parenting style shows a value of 0.388, and significance of 0.001 (p <0.05), hence, authoritative parenting style has a significant role towards the social intelligence of early adolescents. Standardized beta coefficient from self-concept shows a value of 0.223, and significance of 0.047 (p <0.05), hence, self-concept has a significant role towards social intelligence of early adolescents.
Keywords: social intelligence, authoritative parenting style, self-concept, early adolescents.
LATAR BELAKANG
Kecerdasan sosial merupakan kecerdasan yang tidak kalah pentingnya untuk dikembangkan selain mengembangkan kecerdasan intelektual (IQ) maupun kecerdasan emosional (EQ). Kecerdasan sosial merupakan unsur-unsur untuk menajamkan kemampuan antarpribadi, unsur-unsur pembentuk daya tarik, keberhasilan sosial, bahkan karisma (Goleman, 2015). Sebagai makhluk sosial, manusia dituntut untuk dapat menjalin interaksi dengan sesamanya di dalam kehidupan sehari-hari. Dari proses interaksi dan sosialisasi tersebut, seseorang tidak hanya memberikan kontak sosial saja, akan tetapi juga menerima kontak sosial berupa pergaulan yang terjalin melalui relasi dengan orangtua dan akan berkembang lagi dengan orang-orang di lingkungan sekitar.
Kecerdasan sosial penting untuk dikembangkan di dalam kehidupan manusia. Kemampuan untuk mengenal diri sendiri dan orang lain adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kondisi manusia. Orang yang cerdas secara sosial memiliki kemampuan berbicara, mendengarkan, dan menjalin suatu hubungan dengan baik serta berhasil dalam dunia yang lebih luas (Buzan, 2002). Kecerdasan sosial membuat seseorang dapat menjalin hubungan yang baik dengan orang lain, peka membaca reaksi dan perasaan orang lain, mampu memimpin dan mengorganisir, serta pintar menangani perselisihan yang muncul dalam setiap kegiatan manusia (Goleman, 2015).
Kecerdasan sosial sangat dibutuhkan pada masa remaja khususnya pada masa remaja awal. Masa remaja awal adalah saat yang tepat untuk memperkuat kecerdasan sosial, karena masa remaja awal merupakan masa transisi seseorang beralih dari masa kanak-kanak ke masa dewasa (Santrock, 2007a). Pada masa remaja awal, seseorang bukan lagi sebagai anak dan juga bukan orang dewasa, remaja akan mencoba gaya hidup yang berbeda dan menentukan pola perilaku, nilai, dan sifat yang paling sesuai bagi dirinya (Hurlock, 1980). Para remaja cenderung ingin meluangkan waktu lebih banyak bersama dengan teman-teman sebayanya di sekolah. Transisi dari masa kanak-kanak hingga masa remaja bersifat kompleks dan melibatkan perubahan di berbagai aspek kehidupan individu (Santrock, 2007b). Salah satu tugas perkembangan remaja yang tersulit adalah berhubungan dengan penyesuaian sosial (Hurlock, 1980). Pada masa transisi, remaja seharusnya belajar untuk memahami dirinya sendiri dan orang lain, serta memahami lingkungan sekitarnya. Hal ini berkaitan dengan bagaimana seorang remaja mampu memulai dan menerima suatu interaksi sebagai langkah awal untuk melakukan hubungan sosial dengan orang lain. Dalam hal ini remaja sedang mempersiapkan diri untuk menjadi bagian dari masyarakat, sehingga remaja harus mampu untuk mencapai
peran sosial yang matang, dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab (Hurlock, 1980).
Masa remaja awal kurang lebih berlangsung di masa sekolah menengah pertama atau sekolah menengah akhir, dan perubahan pubertal terbesar terjadi di masa ini (Santrock, 2007a). Remaja akan berusaha untuk membuat dirinya diterima di lingkungan sosial dan mendapat dukungan dari lingkungannya, terutama dari teman-teman sepergaulannya (Hurlock, 1980). Pada masa remaja awal, seseorang sudah mulai mengeksplorasi lingkungannya. Jika seorang remaja tidak memiliki kepercayaan diri untuk membangun dan menerima suatu interaksi, maka akan mengalami kesulitan dalam membentuk suatu relasi sosial nantinya. Oleh karena itu, kecerdasan sosial merupakan aspek mental yang sangat penting untuk dikembangkan di masa remaja awal.
Kecerdasan sosial utamanya penting untuk remaja awal yang sedang mengikuti pendidikan di sekolah yang memiliki persaingan yang ketat. Kota Denpasar merupakan pusat pemerintahan di Bali sekaligus menjadi pusat pendidikan (Arsana, 1983), yaitu dari Taman Kanak-Kanak (TK) sampai perguruan tinggi. Hal tersebut membuat para pelajar berbondong-bondong untuk mencari sekolah di Denpasar. Terdapat dua jenis Sekolah Menengah Pertama di Denpasar yaitu sekolah negeri dan swasta. Menurut Budiyono (2014) sekolah negeri merupakan sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah sesuai dengan tujuan pendidikan murni, sedangkan sekolah swasta adalah sekolah yang diselenggarakan oleh non pemerintah atau yayasan. Sekolah negeri di Denpasar memiliki persaingan yang ketat untuk mencapai prestasi khususnya dari segi akademis.
Di Denpasar sampai saat ini, sekolah negeri menjadi sekolah yang lebih unggul daripada sekolah swasta. Hal tersebut dilihat dari bagaimana proses penerimaan yang dilakukan. Penerimaan Nilai Ebtanas Murni (NEM) tertinggi selalu diutamakan kepada sekolah-sekolah negeri terlebih dahulu, namun sekolah swasta menjadi pilihan kedua (Mulya, 2014). Sekolah negeri dan swasta memiliki beberapa karakteristik yang berbeda. Sekolah negeri lebih memiliki keberagaman di dalam keyakinan, latar belakang sosio-ekonomi keluarga, ras, dibandingkan dengan sekolah swasta (Hasibuan, 2013). Keberagaman latar belakang membuat siswa-siswi di sekolah negeri dituntut untuk dapat mengembangkan kecerdasan sosialnya di dalam pergaulan. Agar individu mampu bertahan dalam memenangkan persaingan positif dengan teman sebayanya di sekolah, maka individu tersebut harus memiliki kecerdasan sosial yang tinggi. Dalam kegiatan sehari-hari seperti kegiatan belajar di sekolah maupun les pelajaran tambahan di luar, seseorang yang memiliki taraf kecerdasan sosial yang tinggi akan berusaha untuk melakukan kegiatan bersama dalam rangka mencapai prestasi yang diinginkan seperti halnya belajar kelompok.
Di dalam kehidupan sehari-hari, seorang remaja yang memiliki kecerdasan sosial tinggi cenderung akan lebih mudah beradaptasi dan pandai berkomunikasi, sehingga akan memiliki banyak teman (Buzan, 2002). Hal tersebut bermanfaat bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Kemampuan untuk peka terhadap hubungan sosial sangat dibutuhkan pada masa remaja awal. Contohnya ketika remaja memiliki kecerdasan sosial yang tinggi, pada tahun pertama masuk ke sekolah menengah, remaja tersebut akan cenderung pintar dalam menempatkan dirinya. Para remaja memulai hubungan sosial yang baik dengan lingkungan baru di sekolahnya seperti teman sebaya, guru, maupun masyarakat sekitar. Selain itu, remaja yang cerdas secara sosial dapat melakukan antisipasi terhadap pengaruh-pengaruh yang diberikan oleh lingkungannya.
Di dalam kehidupan sosial remaja, kecerdasan sosial sangat dibutuhkan dalam memilih teman sepergaulan. Pada kenyataannya, tidak semua remaja mampu membangun sebuah interaksi awal yang baik dengan orang di sekitarnya. Hal ini sering disebut dengan istilah “kuper” atau kurang pergaulan, sehingga seringkali terjadi ajang saling ejek-mengejek antara satu dengan yang lainnya. Ajang saling ejek-mengejek antara remaja satu dengan yang lainnya dapat menjadi suatu tindakan bullying secara verbal. Salah satu pelajar SMP Negeri di Denpasar mengaku sakit hati karena kerap di bully semenjak kelas satu SMP (Sukiswanti, 2015). Studi pendahuluan melalui metode wawancara dilakukan dengan beberapa siswa dari tiga SMP Negeri yang ada di Denpasar melalui proses random. Para siswa mengatakan pernah mengalami bullying seperti dikucilkan dari pergaulan, mendapat ejekan terkait penampilan fisik, serta bullying secara verbal berupa teriakan. Para siswa SMP Negeri yang mengalami bullying tersebut merasakan perasaan sedih, kesal, takut, dan kurang nyaman (Pratiwi, 2016). Remaja yang mengatakan dirinya sebagai korban bullying mengaku lebih sering kesepian dan mengalami kesulitan dalam berteman (Santrock, 2007b). Para remaja yang melakukan tindakan bullying menunjukkan tingkat kecerdasan sosial yang rendah. Remaja pelaku bullying menunjukkan ketepatan empatik serta kepedulian yang sangat tumpul. Hal tersebut dikarenakan remaja pelaku bullying tidak mampu merasakan perasaan serta isyarat-isyarat emosi nonverbal dari seseorang, sehingga pelaku bullying tersebut tidak memiliki kesadaran sosial yang baik.
Pada kenyataannya, tidak semua orang memiliki kecerdasan sosial yang baik. Taraf kecerdasan sosial yang berbeda dari setiap individu, menimbulkan pertanyaan mengapa ada remaja awal yang memiliki taraf kecerdasan sosial rendah, sedangkan yang lainnya tinggi. Kecerdasan sosial yang berada di dalam diri individu dipengaruhi oleh beberapa faktor yang mendukung, diantaranya adalah faktor eksternal maupun internal dari seseorang. Faktor eksternal
merupakan faktor-faktor yang berasal dari luar diri individu. Salah satu faktor eksternal yang sangat berperan dalam perkembangan mental seseorang adalah pola asuh. Baumrind (1991) menyatakan bahwa ada empat tipe pola asuh yang diterapkan oleh orangtua, yaitu pola asuh autoritatif, autoritarian, permisif, dan mengabaikan. Dari keempat pola asuh tersebut, pola asuh autoritatif lebih berperan dalam meningkatkan kecerdasan sosial seseorang karena orangtua lebih hangat, menunjukkan penerimaan yang positif, menerapkan komunikasi dua arah, dan tanggap terhadap kebutuhan anak. Selain faktor eskternal, terdapat faktor internal dari diri individu yang dapat memengaruhi beberapa komponen dari kecerdasan sosial. Salah satu faktor internal yang berperan dalam berbagai aktivitas manusia adalah konsep diri.
Keluarga membentuk suatu hubungan yang erat antara ayah, ibu, maupun anak. Dalam hal ini, orangtua memiliki peranan yang sangat penting dalam membentuk kecerdasan sosial anak. Melalui lingkungan keluarga, anak mulai mengenal dunia sekitarnya dan pola pergaulan hidup sehari-hari, mulai dari lingkungan itulah anak mengalami proses sosialisasi awal (Soekanto, 2004). Orangtua bertanggung jawab atas perkembangan pribadi remaja, baik fisik, psikis maupun sosial (Gunarsa, 2008). Perhatian, bimbingan, dan pengarahan yang baik dari orangtua sangat dibutuhkan oleh remaja. Kualitas hubungan orangtua dan anak berkaitan erat dengan gaya pengasuhan yang diberikan. Gaya pengasuhan autoritatif mendorong anak untuk mandiri, tetapi juga menekankan batasan-batasan sosial (Santrock, 2007b). Orangtua percaya akan kemampuannya dalam memandu anak, tetapi juga menghargai keputusan mandiri, minat, pendapat, dan kepribadian anak (Papalia, Olds & Feldman, 2009).
Menurut Collins (dalam Papalia & Feldman, 2014) pengasuhan autoritatif dapat membantu remaja menginternalisasi standar yang dapat membantu melawan pengaruh negatif dari sebaya, serta membantu remaja membuka pengaruh-pengaruh positif. Anak dengan orangtua yang autoritatif cenderung lebih mengandalkan diri, mengontrol diri dan lebih asertif, serta mengeksplorasi (Papalia, dkk, 2009). Hal tersebut dapat membuat remaja menjelajahi lingkungan baru di dunia sosial yang luas dengan cara yang sehat. Menurut Baumrind (dalam Santrock, 2007b) orangtua yang autoritatif menunjukkan sikap yang hangat dan penyayang terhadap anak. Kehangatan dan keterlibatan yang diberikan orangtua membuat anak merasa diperhatikan, sehingga dapat menumbuhkan rasa kepekaan pada anak tersebut. Perasaan peka yang tumbuh pada diri remaja, dapat membuat dirinya lebih memiliki kepedulian, empati, serta pengertian sosial yang baik.
Konsep diri merupakan faktor internal yang dapat berperan dalam perkembangan kecerdasan sosial seseorang. Konsep diri digunakan dalam menjelaskan tentang evaluasi
domain spesifik yang dilakukan seseorang terhadap dirinya (Santrock, 2007b). Calhoun dan Acocella (1990) membagi konsep diri menjadi dua, yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif. Konsep diri positif menunjukkan adanya penerimaan diri dimana individu dengan konsep diri yang positif mengenal dirinya dengan sangat baik. Konsep diri negatif dapat dibagi menjadi dua yaitu pandangan individu sendiri benar-benar tidak teratur dan pandangan tentang dirinya yang terlalu stabil dan teratur.
Jika konsep diri positif, remaja akan mengembangkan sifat-sifat seperti kepercayaan diri, harga diri dan kemampuan untuk melihat dirinya secara realitas (Calhoun dan Acocella, 1990), sehingga akan menumbuhkan penyesuaian sosial yang baik pula. Penyesuaian sosial remaja yang baik, akan membentuk suatu kecerdasan sosial, karena seseorang mampu membangun relasi dan memahami situasi sosialnya. Sebaliknya apabila konsep diri negatif, remaja akan mengembangkan perasaan tidak mampu dan rendah diri, serta merasa ragu dan kurang percaya diri (Calhoun dan Acocella, 1990), sehingga menumbuhkan penyesuaian pribadi dan sosial yang buruk pula.
Konsep diri yang dimiliki oleh seseorang, baik positif maupun negatif akan memengaruhi cara penilaian individu mengenai dirinya dan lingkungan, yang pada akhirnya akan sangat memengaruhi perilakunya. Individu akan cenderung bertingkah laku sesuai dengan konsep diri yang dimilikinya (Calhoun dan Acocella, 1990), sehingga akan berpengaruh pada kemampuan menjalin hubungan sosial dengan orang lain. Seseorang yang memiliki hubungan harmonis dengan dirinya akan menghasilkan hubungan yang harmonis dengan orang lain. Konsep diri yang dimiliki oleh seseorang memiliki peranan dalam mengembangkan kecerdasan sosial.
Kecerdasan sosial sangat penting untuk dikembangkan pada masa remaja awal untuk memudahkan remaja membangun interaksi dan relasi dengan teman sebayanya, namun pada kenyataannya tidak semua remaja awal memiliki taraf kecerdasan sosial yang baik.
Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang telah dipaparkan, perlu diketahui apakah terdapat peran pola asuh autoritatif dan konsep diri terhadap kecerdasan sosial remaja awal di Sekolah Menengah Pertama Negeri di Denpasar dan apakah pola asuh autoritatif dan konsep diri secara masing-masing berperan terhadap kecerdasan sosial remaja awal di SMP Negeri di Denpasar. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoretis dalam ilmu psikologi perkembangan dan psikologi sosial. Penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan manfaat praktis bagi orangtua dalam memberikan informasi kepada orangtua mengenai pentingnya penerapan pola asuh autoritatif dan pengembangan konsep diri yang nantinya dapat membantu mengembangkan kecerdasan sosial anak di masa remaja awal. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi remaja dalam
memberikan informasi akan pentingnya kecerdasan sosial untuk membangun interaksi dan relasi sosial. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi institusi pendidikan dalam memberikan informasi kepada para pendidik mengenai pentingnya penerapan pola asuh autoritatif di dalam pengajaran yang nantinya dapat membantu mengembangkan kecerdasan sosial anak di sekolah.
METODE PENELITIAN
Variabel dan Definisi Operasional
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pola asuh autoritatif dan konsep diri serta variabel tergantung dalam penelitian ini adalah kecerdasan sosial. Definisi operasional dari masing-masing variabel dalam penelitian ini sebagai berikut:
-
1. Pola Asuh Autoritatif
Pola asuh autoritatif adalah tipe pengasuhan yang memiliki keseimbangan antara responsiveness dan demandingness, orangtua menunjukkan kehangatan, dukungan emosi, dan komunikasi dua arah, namun tetap memantau dan memberikan standar yang jelas untuk perilaku yang dilakukan anak. Taraf pola asuh autoritatif diukur menggunakan skala pola asuh autoritatif, semakin tinggi skor total yang diperoleh, maka semakin tinggi taraf penerapan pola asuh autoritatif orangtua terhadap subjek.
-
2. Konsep Diri
Konsep diri merupakan suatu gambaran mengenai bagaimana seseorang merasa dipandang atau dinilai oleh orang lain dan seperti apa diri yang ia inginkan, yang hanya terdapat dalam pikiran dan bukan dalam realitas yang konkrit. Taraf konsep diri diukur menggunakan skala konsep diri, semakin tinggi skor total yang diperoleh, maka semakin tinggi taraf konsep diri yang dimiliki subjek.
-
3. Kecerdasan Sosial
Kecerdasan sosial adalah kemampuan yang dimiliki individu untuk menjalin hubungan dan kerjasama dengan orang lain, memimpin dan mengorganisir, peka membaca reaksi dan perasaan orang lain, serta mampu menangani perselisihan yang muncul. Taraf kecerdasan sosial diukur menggunakan skala kecerdasan sosial, semakin tinggi skor total yang diperoleh, maka semakin tinggi taraf kecerdasan sosial yang dimiliki subjek.
Responden
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah remaja awal yang merupakan siswa atau siswi Sekolah Menengah Pertama Negeri yang ada di Denpasar. Subjek dalam penelitian ini memiliki karakteristik sebagai berikut :
-
a. Subjek merupakan remaja awal yang berusia 12 sampai 15 tahun.
-
b. Subjek sedang menempuh pendidikan di SMP Negeri di Denpasar.
Teknik pengambilan sampel yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan salah satu probability sampling yaitu cluster sampling (area sampling), yang digunakan untuk sumber data sangat luas. Pada proses pengambilan data, skala yang disebarkan berjumlah 100 buah dan seluruhnya dapat digunakan sebagai data penelitian.
Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan pada tanggal 30 September 2016 di SMP Negeri 1 Denpasar. SMP N 1 Denpasar terdiri dari 28 kelas dan memiliki jumlah siswa sebanyak 1018 siswa. Sampel yang digunakan ada tiga kelas, yaitu kelas VIII B, IX F, dan IX G.
Alat Ukur
Alat ukur pada penelitian ini menggunakan tiga skala yaitu skala pola asuh autoritatif, skala konsep diri, dan skala kecerdasan sosial. Skala pengukuran pola asuh autoritatif menggunakan modifikasi skala yang disusun oleh Rustika (2014), skala konsep diri disusun berdasarkan dimensi konsep diri oleh Fitts (Agustiani, 2009), dan skala kecerdasan sosial disusun berdasarkan dimensi kecerdasan sosial menurut Goleman (2007).
Skala pola asuh autoritatif terdiri dari 33 item pernyataan, skala konsep diri terdiri dari 30 item pernyataan, dan skala kecerdasan sosial terdiri dari 38 item pernyataan. Pernyataan dalam penelitian ini terdiri dari item-item favorable dan unfavorable. Skala dalam penelitian ini menggunakan empat pilihan jawaban, yaitu sangat setuju (SS), setuju (S), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS).
Alat ukur yang valid dan reliabel merupakan syarat mutlak untuk mampu menghasilkan data dan memberikan informasi yang akurat (Azwar, 2015). Pengukuran terhadap validitas isi dilakukan melalui professional judgment dan penyesuaian item-item dalam alat ukur dengan indikator perilaku (Azwar, 2012). Pengukuran terhadap validitas konstruk dengan melihat koefisien korelasi item-total sama dengan atau lebih besar daripada 0,30, apabila jumlah item yang lolos masih tidak mencukupi, dapat dipertimbangkan untuk menurunkan sedikit batas kriteria menjadi 0,25 (Azwar, 2015). Uji reliabilitas yang digunakan pada penelitian ini menggunakan metode Croncbach Alpha dan dikatakan reliabel jika memberikan nilai Croncbach Alpha lebih dari 0,60 (Ghozali, 2005).
Hasil uji validitas skala pola asuh autoritatif memiliki koefisien korelasi item-total berkisar antara 0,325 sampai 0,693. Hasil uji reliabilitas menunjukkan Koefisien Alpha (α)
sebesar 0,935, yang memiliki arti bahwa skala pola asuh autoritatif mampu mencerminkan 93,5% variasi skor murni subjek. Hasil uji validitas skala konsep diri memiliki nilai koefisien korelasi item-total berkisar antara 0,273 sampai 0,567. Hasil uji reliabilitas menunjukkan Koefisien Alpha (α) sebesar 0,858, yang memiliki arti bahwa skala konsep diri mampu mencerminkan 85,8% variasi skor murni subjek. Hasil uji validitas skala kecerdasan sosial memiliki koefisien korelasi item-total berkisar antara 0,307 sampai 0,622. Hasil uji reliabilitas menunjukkan Koefisien Alpha (α) sebesar 0,908, yang memiliki arti skala kecerdasan sosial mampu mencerminkan 90,8% variasi skor murni subjek.
Teknik Analisis Data
Sebelum melakukan analisis data penelitian, peneliti melakukan uji asumsi berupa uji normalitas, uji linearitas, dan uji multikolinearitas. Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov, uji linearitas data dilakukan dengan menggunakan analisis compare mean, uji multikolinearitas dilakukan dengan melihat nilai dari Variance Inflation Factor (VIF) dan nilai Tolerance. Setelah melakukan uji asumsi, data penelitian dianalisis dengan menggunakan metode analisis regresi berganda untuk menguji hipotesis mayor dan minor. Analisis data dilakukan menggunakan bantuan SPSS release 20.0.
HASIL PENELITIAN
Karakteristik Subjek
Subjek dalam penelitian ini berjumlah 100 orang, yang terdiri dari 46 laki-laki dan 54 perempuan. Mayoritas subjek yang mengikuti penelitian ini berusia 14 tahun dengan persentase sebesar 64%. Mayoritas ayah subjek memiliki pendidikan terakhir S1 dengan persentase sebesar 54%, sedangkan ibu subjek S1 dengan persentase sebesar 61%. Mayoritas ayah subjek bekerja sebagai pegawai negeri sipil dengan persentase sebesar 43%, sedangkan ibu subjek sebagai ibu rumah tangga dengan persentase sebesar 35%.
Deskripsi Data Penelitian
Hasil deskripsi data penelitian yaitu pola asuh autoritatif, konsep diri, dan kecerdasan sosial dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1
Deskripsi data penelitian
Variabel |
N |
Mean Teoritis |
Mean Empiris |
Std Deviasi Teoritis |
Std Deviasi Empiris |
Sebaran Teoritis |
Sebaran t Empiris | |
PAA |
IOO |
82,5 |
110,02 |
16,5 |
12,103 |
33-132 |
66-131 |
22,738 p=(0,000) |
KD |
100 |
75 |
90,85 |
15 |
9,513 |
30-120 |
66-112 |
16,662 P=(OsOOO) |
KS |
IOO |
95 |
115,93 |
19 |
8,785 |
38 152 |
95-134 |
23,825 P=(OsOOO) |
Hasil deskripsi statistik pada tabel 1 menunjukkan mean empiris dan mean teoritis variabel pola asuh autoritatif menghasilkan perbedaan sebesar 27,52. Mean empiris lebih besar dari mean teoritis (mean empiris > mean teoritis) menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa subjek memiliki taraf konsep diri yang tinggi. Rentang skor subjek penelitian berkisar antara 66 sampai 112, sehingga 94% subjek memiliki skor di atas mean teoritis.
Hasil deskripsi statistik pada tabel 1 menunjukkan mean empiris dan mean teoritis variabel konsep diri menghasilkan perbedaan sebesar 15,85. Mean empiris lebih besar dari mean teoritis (mean empiris > mean teoritis) menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa subjek memiliki taraf konsep diri yang tinggi. Rentang skor subjek penelitian berkisar antara 66 sampai 112, sehingga 94% subjek memiliki skor di atas mean teoritis.
Hasil deskripsi statistik pada tabel 1 menunjukkan mean empiris dan mean teoritis variabel kecerdasan sosial menghasilkan perbedaan sebesar 20,93. Mean empiris lebih besar dari mean teoritis (mean empiris > mean teoritis) menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa subjek memiliki taraf kecerdasan sosial yang tinggi. Rentang skor subjek penelitian berkisar antara 95 sampai 134, sehingga 99% subjek memiliki skor di atas mean teoritis.
Uji Asumsi
Tabel 2
Uji normalitas data penelitian
Variabel Kolmogorov-Smirnov Asymp.Sig (2-tailed)
Pola Asuh Autoritatif |
1.252 |
0.087 |
Konsep Diri |
0583 7 |
0485 |
Kecerdasan Sosial |
05973 |
0300 |
Kecerdasan Sosial |
0,973 |
0,300 |
Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah sebaran data ketiga variabel berdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas pada penelitian ini menggunakan teknik Kolmogorov-Smirnov dengan bantuan perangkat lunak SPSS release 20.0. Data dikatakan berdistribusi normal jika memiliki nilai p>0,05 (Santoso, 2003). Tabel 2 menunjukkan menunjukkan data pada variabel pola asuh autoritatif berdistribusi normal dengan nilai Kolmogorov-Smirnov 1,252 dan signifikansi 0,087 (p>0,05). Data pada variabel konsep diri berdistribusi normal dengan nilai Kolmogorov-Smirnov 0,837 dan signifikansi 0,485 (p>0,05). data pada variabel kecerdasan sosial berdistribusi normal dengan nilai Kolmogorov-Smirnov 0,973 dan signifikansi 0,300 (p>0,05).
Tabel 3
Uji Iinearitas data penelitian
F |
Slg- | |||
Kecerdasan |
Between |
Linearity |
40s236 |
O5OOO |
SosialaPoIa Asuh |
Groups | |||
Autoritatif |
Deviation from |
ls098 |
053 67 | |
Linearify | ||||
Kecerdasan |
Between |
Linearity |
32s279 |
O5OOO |
SosialaKonsep Diri |
Groups |
Deviation from |
li353 |
O5146 |
Linearify |
Uji linearitas dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan yang linear antara kedua variabel penelitian (Sugiyono, 2015). Uji linearitas data dilakukan dengan menggunakan analisis compare mean, lalu menggunakan test of linearity, dengan bantuan perangkat lunak SPSS release 20.0. Hubungan kedua variabel dikatakan linear apabila nilai signifikansi pada Linearity lebih kecil dari 0,05 (p<0,05) (Priyanto, 2012). Tabel 3 menunjukkan terdapat hubungan yang linear antara variabel kecerdasan sosial dan variabel pola asuh autoritatif dengan signifikansi linearity sebesar 0,000 (p<0,05), begitu juga hubungan antara kecerdasan sosial dan konsep diri linear dengan signifikansi linearity sebesar 0,000 (p<0,05).
Tabel 4
Uji RiuItikoIinearitas data penelitian | |||
Variabel |
Tolerance |
Variance Inflation Factor (VIF) |
Keterangan |
Pola Asuh Autoritatif |
05576 |
15737 |
Tidak teη adi Uiultikolinearitas |
Konsep Diri |
055 76 |
15737 |
Tidak teη adi Uiultikolinearitas |
Uji multikolinearitas digunakan untuk menguji apakah model regresi ditemukan adanya korelasi yang tinggi antar variabel bebas (Ghozali, 2005). Jika nilai VIF ≤ 10 dan nilai Tolerance ≥ 0,1, maka dinyatakan tidak terjadi multikolinearitas. Uji multikolinearitas dilakukan menggunakan bantuan perangkat lunak SPSS release 20.0. Tabel 4 menunjukkan variabel pola asuh autoritatif dan konsep diri memiliki nilai tolerance sebesar 0,576 dan nilai VIF sebesar 1,737, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi multikolinearitas.
Berdasarkan hasil uji asumsi yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa data pada penelitian ini berdistribusi normal, memiliki hubungan yang linear, dan tidak terjadi multikolinearitas.
Uji Hipotesis
Tabel 5
Hasil uji regresi berganda data penelitian
Model |
R |
R Square |
Adjusted R Square |
Sid. Error of the Estimate |
1 |
.559a |
.312 |
.298 |
7.360 |
Uji hipotesis dalam penelitian ini menggunakan teknik regresi berganda, dengan bantuan perangkat lunak SPSS release 20.0. Dalam analisis regresi, selain mengukur kekuatan hubungan antara dua variabel atau lebih, juga menunjukkan arah hubungan antara variabel tergantung dan variabel bebas (Ghozali, 2005). Hasil uji regresi berganda pada tabel 5 menunjukkan koefisien regresi R sebesar 0,559 dan koefisien determinasi (R Square) sebesar 0,312. Maka dapat disimpulkan bahwa pola asuh autoritatif dan konsep diri secara bersama-sama menentukan 31,2% taraf kecerdasan sosial, sedangkan 68,8% ditentukan oleh variabel lain yang tidak diteliti.
Tabel 6
Hasil uji regresi berganda signifikansi nilai F _______________Sum ofSguares Df______Mean Square F_________Sig._____ Regression 2385530 2 1192,765 22r017 OrOOO
Residul 5254,980 97 54,175
Total 7640,510 99
Hasil uji regresi berganda pada tabel 6 menunjukkan F hitung sebesar 22,017 dan signifikansi sebesar 0,000 (p<0,05). Model regresi dalam penelitian ini dapat digunakan untuk memprediksi kecerdasan sosial. Kesimpulan yang didapatkan adalah bahwa pola asuh autoritatif dan konsep diri secara bersama-sama berperan terhadap kecerdasan sosial.
Tabel 7
HasiI uji regresi berganda nilai koefisien beta dan nilai t variabel pola asuh aUtoritatif dan konsep diri terhadap kecerdasan sosial | |||||
Model |
Unstandarized Coeficienls B |
Std. Error |
Standarized Coefficients Beta t |
Sig. | |
(Constant) |
66,295 |
7,634 |
8,684 |
0,000 | |
PolaAsuh | |||||
Autoritatif |
0,281 |
0,081 |
0,388 |
3,492 |
0,001 |
Konsep | |||||
Diri |
0,206 |
0,102 |
0,223 |
2,007 |
0,047 |
Hasil uji regresi berganda pada tabel 7 menunjukkan pola asuh autoritatif memiliki koefisien beta terstandarisasi sebesar 0,388, nilai t sebesar 3,492, dan signifikansi 0,001 (p<0,05), sehingga pola asuh autoritatif berperan secara signifikan terhadap kecerdasan sosial. Konsep diri memiliki koefisien beta yang terstandarisasi sebesar 0,223, nilai t sebesar 2,007, dan signifikansi 0,047 (p<0,05), sehingga
konsep diri berperan secara signifikan terhadap kecerdasan sosial. Nilai koefisien beta terstandarisasi pola asuh autoritatif lebih besar daripada nilai koefisien beta terstandarisasi konsep diri. Hal tersebut menunjukkan bahwa pola asuh autoritatif memiliki peran lebih banyak terhadap kecerdasan sosial dibandingkan dengan konsep diri terhadap kecerdasan sosial.
Hasil uji regresi berganda pada tabel 7 dapat memprediksi taraf kecerdasan sosial dari masing-masing subjek dengan melihat persamaan garis regresi sebagai berikut:
Y= 66,295 + 0,281 X1+ 0,206 X2
Keterangan:
Y : Kecerdasan Sosial
X1 : Pola Asuh Autoritatif
X2 : Konsep Diri
-
a. Konstanta sebesar 66,295 menyatakan bahwa jika tidak ada penambahan atau peningkatan skor pada pola asuh autoritatif ataupun konsep diri maka taraf kecerdasan sosial sebesar 66,295.
-
b. Koefisien regresi X1 sebesar 0,281 menyatakan bahwa setiap penambahan atau peningkatan satuan skor subjek pada variabel pola asuh autoritatif, maka akan terjadi kenaikan taraf kecerdasan sosial sebesar 0,281.
-
c. Koefisien regresi X2 sebesar 0,206 menyatakan bahwa setiap penambahan atau peningkatan satuan skor subjek pada variabel konsep diri, maka akan terjadi kenaikan taraf kecerdasan sosial sebesar 0,206.
Rangkuman hasil uji hipotesis mayor dan hipotesis minor dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 8.
Tabel 8
Rangkuman hasil uji hipotesis penelitian
No. |
Hipotesis |
Hasil |
1. |
Hipotesis Mayor: Pola Asuh Autoritatif dan Konsep Diri berperan |
Diterima |
terhadap Kecerdasan Sosial Remaja Awal Sekolah Menengah Pertama Negeri di Denpasar. | ||
2. |
Hipotesis Minor: a. Pola Asuh Autoritatif berperan terhadap Kecerdasan |
Diterima |
Sosial Remaja Awal Sekolah Menengah Pertama Negeri di Denpasar. | ||
b. Konsep Diri berperan terhadap Kecerdasan Sosial Remaja Awal Sekolah Menengah Pertama Negeri di Denpasar. |
Diterima |
n
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
Remaja awal di Sekolah Menengah Pertama Negeri di Denpasar mampu mengembangkan kecerdasan sosial karena terdapat peran yang signifikan dari pola asuh autoritatif dan konsep diri, sehingga hipotesis mayor pada penelitian ini diterima. Peran signifikan dari pola asuh autoritatif dan konsep diri dapat dilihat dari koefisien regresi sebesar 0,559, nilai F sebesar 22,017 dengan signifikansi sebesar 0,000. Koefisien determinasi pada penelitian ini memiliki nilai sebesar 0,312, maka dapat disimpulkan bahwa pola asuh autoritatif dan konsep diri secara bersama-sama menentukan 31,2% taraf kecerdasan sosial. Dengan demikian variabel lain yang tidak diteliti menentukan 68,8% taraf kecerdasan sosial.
Hasil analisis koefisien beta terstandarisasi dari pola asuh autoritatif menunjukkan nilai sebesar 0,388, nilai t sebesar 3,492, dan signifikansi 0,001 (p<0,05), sehingga pola asuh autoritatif berperan secara signifikan terhadap kecerdasan sosial remaja awal di SMP Negeri di Denpasar. Keluarga membentuk suatu hubungan yang erat antara ayah, ibu, maupun anak. Melalui lingkungan keluarga, anak mulai mengenal dunia sekitarnya dan pola pergaulan hidup sehari-hari, mulai dari lingkungan itulah anak mengalami proses sosialisasi awal (Soekanto, 2004). Menurut Baumrind (dalam Santrock, 2007b) orangtua yang autoritatif menunjukkan sikap yang hangat dan penyayang terhadap anak. Kehangatan dan keterlibatan yang diberikan orangtua membuat anak merasa diperhatikan, sehingga dapat menumbuhkan rasa kepekaan pada anak tersebut. Perasaan peka yang tumbuh pada diri remaja, dapat membuat dirinya lebih memiliki kepedulian, empati, serta pengertian sosial yang baik. Menurut Darling (1999) individu yang diasuh oleh orangtua autoritatif cenderung memiliki penilaian diri yang objektif, memiliki kompetensi sosial yang lebih baik dan tidak terlibat dalam masalah perilaku baik pada anak laki-laki ataupun perempuan
dalam setiap tahapan perkembangan. Hal tersebut akan memperkuat taraf kecerdasan sosial pada remaja awal.
Ketika seseorang memiliki kecerdasan sosial yang tinggi, pada tahun pertama masuk ke sekolah menengah, ia akan cenderung pintar dalam menempatkan dirinya. Anak dengan orangtua yang autoritatif cenderung lebih mengandalkan diri, mengontrol diri dan lebih asertif, serta mengeksplorasi (Papalia, dkk, 2009). Hal tersebut dapat membuat remaja menjelajahi lingkungan baru di dunia sosial yang luas dengan cara yang sehat. Remaja tersebut akan menggunakan keterampilannya dalam membangun sebuah interaksi agar dapat mengenal lingkungannya. Para remaja memulai hubungan sosial yang baik dengan lingkungan baru di sekolahnya seperti teman sebaya, guru, maupun masyarakat sekitar. Selain itu, remaja yang cerdas secara sosial dapat melakukan antisipasi terhadap pengaruh-pengaruh yang diberikan oleh lingkungannya. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan Devi (2012), yaitu pola asuh autoritatif yang ditanamkan orangtua mengakibatkan anak menjadi mandiri, memiliki kontrol diri yang kuat, dapat berinteraksi dengan teman sebayanya dengan baik, mempunyai minat terhadap hal-hal baru, dan kooperatif. Pengalaman berinteraksi anak dalam keluarga akan menentukan pola tingkah laku anak terhadap orang lain dalam masyarakat. Dalam hubungan sosial tersebut anak akan memahami tentang bagaimana cara menghargai orang lain serta mengetahui cara berkomunikasi dengan orang lain.
Hasil analisis koefisien beta terstandarisasi dari konsep diri menunjukkan nilai sebesar 0,223, nilai t sebesar 2,007, dan signifikansi 0,047 (p<0,05), sehingga konsep diri berperan secara signifikan terhadap kecerdasan sosial remaja awal di SMP Negeri di Denpasar. Konsep diri yang positif mampu membuat seseorang memiliki perasaan bahwa dirinya berharga, berkompetensi, dan percaya diri (Burns, 1993). Melalui hal tersebut seseorang akan mahir dalam pengendalian, mampu menyampaikan sesuatu dengan ekspresi yang tepat, dan merasa percaya diri dalam berbagai situasi sosial. Ketika seseorang memiliki konsep diri yang positif maka ia akan tidak merasa cemas dalam menghadapi situasi baru.
Konsep diri positif menunjukkan adanya penerimaan diri dimana individu dengan konsep diri yang positif mengenal dirinya dengan sangat baik (Calhoun & Acocella 1990). Individu akan cenderung bertingkah laku sesuai dengan konsep diri yang dimilikinya sehingga akan berpengaruh pada kemampuan menjalin hubungan sosial dengan orang lain. Seseorang yang memiliki hubungan harmonis dengan dirinya akan menghasilkan hubungan yang harmonis dengan orang lain. Ketika seorang remaja mampu mengembangkan konsep diri yang positif di sekolah, maka ia dapat melakukan evaluasi terhadap dirinya secara positif. Hal tersebut membuat seorang remaja memiliki rasa percaya diri
dalam membangun sebuah interaksi dengan teman sebaya. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan Wima (2005) bahwa remaja dengan konsep diri positif cenderung lebih mudah dalam melakukan interkasi dengan lingkungan sekitarnya. Pandangan individu terhadap dirinya akan memengaruhi bagaimana individu dalam melakukan penyesuaian sosial.
Konsep diri yang positif dapat membuat seseorang lebih sensitif terhadap kebutuhan orang lain. Perasaan sensitif berkaitan dengan empati dasar dan ketepatan empatik, yaitu kemampuan membaca isyarat verbal dan nonverbal yang diberikan orang lain (Goleman, 2007). Jika seseorang mampu menggunakan empatinya secara tepat, maka seseorang akan mampu merasakan pikiran dan perasaan orang lain. Hal tersebut dapat membangun suatu kesadaran sosial, sehingga dapat meningkatkan kecerdasan sosial di dalam suatu pergaulan. Selain itu, ketika seorang siswa memiliki konsep diri yang positif ia akan memiliki kepercayaan diri dalam menyelesaikan masalah-masalah di dalam kehidupannya. Ketika terjadi konflik dengan teman sebaya, individu yang memiliki konsep diri positif akan mampu menyelesaikan permasalahannya. Tidak hanya di dalam pergaulan saja, tetapi ketika seorang siswa yang memiliki konsep diri positif mengalami kesulitan di dalam kegiatan pembelajaran, ia pasti akan berusaha untuk memecahkan masalahnya bersama-sama. Menurut Goleman (2015) orang-orang yang terampil dalam kecerdasan sosial dapat menjalin hubungan dengan orang lain dengan cukup lancar, peka membaca reaksi dan perasaan, mampu memimpin dan mengorganisir, serta pintar menangani perselisihan yang muncul dalam setiap kegiatan manusia.
Nilai koefisien beta terstandarisasi pola asuh autoritatif lebih besar daripada nilai koefisien beta terstandarisasi konsep diri. Hal tersebut menunjukkan bahwa pola asuh autoritatif memiliki peran lebih besar terhadap kecerdasan sosial dibandingkan dengan peran konsep diri terhadap kecerdasan sosial. Individu yang diasuh dengan pola asuh autoritatif cenderung memiliki penilaian diri yang objektif, memiliki kompetensi sosial yang lebih baik, mandiri, dan memiliki tanggung jawab sosial. Menurut penelitian Lollis (dalam Santorck, 2007b) orangtua autoritatif membantu anak memahami hubungan sosial dan membantu anak menjadi kompeten secara sosial. Pola asuh autoritatif yang telah ditanamkan sejak kecil membuat anak mampu menginternalisasi norma-norma yang ditanamkan oleh orangtua. Pengalaman-pengalaman berinteraksi dalam keluarga menjadi awal dan pedoman untuk berinteraksi dengan masyarakat luas. Menurut Gunarsa (1986) setelah anak bertambah besar, anak mempunyai hubungan yang lebih luas daripada hanya sekedar hubungan dalam lingkungan keluarganya. Anak mempunyai lebih banyak teman dan mempunyai lebih banyak pengalaman.
Pada deskripsi statistik data penelitian menunjukkan subjek dengan taraf pola asuh autoritatif sangat tinggi sebesar 59%. Tingginya taraf pola asuh autoritatif pada remaja awal SMP Negeri di Denpasar didasari oleh beberapa faktor yang memengaruhi kualitas hubungan orangtua dengan anak, yaitu tingkat pendidikan dan pekerjaan orangtua.
Mayoritas orangtua siswa di SMPN 1 Denpasar berpendidikan tinggi yaitu S1, S2, dan S3 dilihat dari persentase ayah berpendidikan tinggi sebanyak 82% dan ibu sebesar 80%. Orangtua yang memiliki pendidikan tinggi lebih banyak mengikuti kegiatan-kegiatan ilmiah, seperti seminar, lokakarya, workshop yang berhubungan dengan perkembangan anak. Orangtua yang berpendidikan tinggi akan memberikan berbagai alternatif dan jawaban dalam melakukan diskusi, sehingga membuat anak lebih matang dalam berpikir terhadap keputusan yang akan diambil (Haryanti, 2014). Sejalan dengan penelitian Rahayu (2008) semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, ia akan semakin mudah untuk menerima informasi, sehingga semakin banyak pula pengetahuan yang dimiliki, sebaliknya pendidikan yang kurang akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap nilai-nilai yang harus dikembangkan. Pendidikan yang baik, membuat orangtua dapat menerima segala informasi dari luar terutama tentang pengasuhan anak yang baik, bagaimana menjaga anak, pendidikan, dan sebagainya. Pengalaman dan pengetahuan yang luas, membuat orangtua mampu mengarahkan anak mewujudkan cita-cita di masa mendatang.
Selain pendidikan, pekerjaan orangtua juga berpengaruh terhadap penerapan pola asuh yang diberikan kepada anak. Hasil deskripsi subjek berdasarkan pekerjaan ibu menunjukkan bahwa mayoritas ibu subjek adalah ibu rumah tangga dengan persentase sebesar 35%. Pekerjaan ayah menunjukkan bahwa mayoritas ayah subjek bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS) dengan persentase sebesar 43%. Hal tersebut membuat orangtua terutama ibu memiliki waktu yang maksimal untuk berinteraksi dengan anak-anaknya, selain itu, orangtua mampu menunjukkan inisiatif untuk menjalin hubungan yang dekat dengan anak. Menurut penelitian Erika (2014) orangtua yang terlalu sibuk bekerja akan kurang mendapat waktu bersama anak-anaknya, jadi orangtua tidak dapat memberikan perhatian dan kasih sayang untuk anak-anaknya. Banyak orangtua yang hanya memberikan materi saja kepada anak-anaknya dan memberikan kebebasan tanpa adanya pengontrolan dari orangtua, sehingga menyebabkan anak-anak tersebut salah dalam pergaulan.
Hasil kategorisasi konsep diri menunjukkan konsep diri tinggi sebesar 62%. Hal ini berkaitan dengan tempat subjek bersekolah. Sampai saat ini, sekolah negeri menjadi sekolah yang lebih unggul daripada sekolah swasta. Hal tersebut dilihat dari bagaimana proses penerimaan yang
dilakukan. Penerimaan Nilai Ebtanas Murni (NEM) tertinggi selalu diutamakan kepada sekolah-sekolah negeri terlebih dahulu, namun sekolah swasta menjadi pilihan kedua (Mulya, 2014). Adanya persepsi bahwa sekolah menegah pertama negeri merupakan sekolah favorit tentu membuat para peserta didik berusaha keras untuk menempuh pendidikan di tempat tersebut. Ketika seorang siswa diterima di sekolah negeri, maka ia akan merasa memiliki kemampuan yang lebih dibandingkan dengan siswa yang tidak lolos seleksi untuk masuk ke sekolah negeri.
Siswa siswi di SMP Negeri di Denpasar terbiasa melakukan kegiatan seperti mendiskusikan pelajaran, mengerjakan tugas kelompok bersama, memberikan pendapat, ataupun mengajukan sebuah pertanyaan. Hal tersebut akan meningkatkan konsep diri siswa apabila siswa tersebut mendapatkan timbal balik yang positif. Menurut Fitts (dalam Agustiani, 2009) konsep diri seseorang dapat dipengaruhi oleh pengalaman, terutama pengalaman interpersonal yang memunculkan perasaan positif dan perasaan berharga. Semangat belajar dan keinginan siswa untuk berprestasi merupakan kesadaran sendiri tanpa didasari atas penghargaan apabila memperoleh prestasi tersebut. Kesempatan yang diberikan sekolah di Denpasar untuk mengasah prestasi akademik dan non akademik memberikan motivasi kepada siswa, sehingga terbentuklah konsep diri yang positif. Kegiatan ekstrakurikuler yang diadakan di SMPN di Denpasar mampu mewadahi para siswa untuk mengembangkan potensinya. Sejalan dengan penelitian Astuti (2014) faktor sekolah yang memberikan kebebasan kepada siswa dalam memilih kegiatan ekstrakurikuler juga sangat berpengaruh pada konsep diri siswa.
Pada deskripsi statistik data penelitian menunjukkan subjek dengan taraf kecerdasan sosial tinggi sebesar 72%. Tingginya taraf kecerdasan sosial pada remaja awal SMP Negeri di Denpasar disebabkan oleh tingginya taraf pola asuh autoritatif dan konsep diri pada penelitian ini. Hasil analisis data dengan teknik regresi berganda menunjukkan kedua variabel bebas berperan terhadap variabel tergantung. Dengan demikian, apabila taraf kedua variabel bebas tinggi, maka dengan sendirinya taraf variabel tergantung akan tinggi. Kecerdasan sosial remaja awal dipengaruhi oleh tingginya intensitas bertemu antara siswa dengan siswa lainnya, antara siswa dengan guru maupun seluruh warga sekolah. Banyaknya aktivitas yang dilakukan siswa secara bersama-sama seperti kegiatan belajar mengajar sehari-hari, belajar kelompok, ekstrakulikuler, ataupun les pelajaran tambahan akan mengasah kemampuan untuk menjalin hubungan interpersonal yang baik.
Ketika seorang siswa berada di lingkungan sekolah, tentu saja siswa tersebut melakukan interaksi dengan siswa lainnya. Semakin sering seorang siswa bertemu dengan teman-temannya, maka semakin seringlah para siswa melakukan
sebuah interaksi. Untuk membangun sebuah interaksi, siswa siswi di SMP N 1 Denpasar secara sendirinya mengembangkan kognisi sosial yang merupakan salah satu aspek dari kecerdasan sosial. Menurut Goleman (2007) kognisi sosial digunakan untuk memahami norma-norma tersirat yang mengatur interaksi antar manusia, sehingga mampu berinteraksi dengan orang yang dijumpai dalam suatu kelompok. Hal tersebut membuat kemampuan dalam menjalin sebuah interaksi semakin terasah. Di dalam penempatan kelas di sekolah, pada awalnya seseorang tidak selalu langsung mengenal teman-teman yang berada satu kelas dengannya. Untuk itu seseorang secara tidak langsung dituntut untuk mampu memulai sebuah interaksi sosial dengan temannya. Menurut Buzan (2002) orang yang cerdas secara sosial paham dengan baik bagaimana membangun dan menjaga sebuah hubungan pertemanan. Ketika seorang remaja mampu menempatkan diri di dalam situasi sosial, maka ia akan merasa nyaman dan diterima di lingkungannya. Di lingkungan sekolah, seorang remaja awal akan bergaul dengan beragam siswa. Pada saat itulah remaja mulai belajar untuk membaca isyarat-isyarat non verbal yang diberikan lawan bicara. Seiring berjalannya waktu remaja belajar untuk memahami dan merasakan perasaan orang lain, serta menumbuhkan suatu kepedulian.
Sekolah negeri di Denpasar memiliki persaingan yang ketat untuk mencapai prestasi khususnya dari segi akademis. Selain itu, sekolah negeri lebih memiliki keberagaman di dalam keyakinan, latar belakang sosio-ekonomi keluarga, ras, dibandingkan dengan sekolah swasta (Hasibuan, 2013). Persaingan yang ketat serta keberagaman latar belakang menyebabkan seorang siswa di sekolah negeri lebih melakukan berbagai upaya untuk mengembangkan kecerdasan sosialnya. Di dalam kegiatan belajar mengajar para siswa membuat kelompok belajar untuk mendiskusikan sebuah materi pelajaran. Adanya interaksi antara siswa dengan guru dan sesama siswa yang terus dikembangkan akan memperkuat hubungan sosial antara satu dengan lainnya. Para siswa akan sering melakukan komunikasi dalam mendiskusikan pelajaran, mengerjakan tugas kelompok bersama, memberikan pendapat, ataupun mengajukan sebuah pertanyaan. Para remaja awal tersebut secara tidak langsung sudah melatih dirinya sendiri. Sejalan dengan penelitian Soejanto (2015) intensitas dan panjangnya waktu kebersamaan dalam kegiatan akademik dan non akademik, bersama-sama terlibat di dalam kegiatan di kelas maupun di luar kelas memberikan pengalaman yang menuntut setiap orang untuk meningkatkan kecerdasan sosialnya.
Setelah melakukan prosedur analisis data penelitian, karya tulis ini telah mencapai tujuan penelitian yaitu mengetahui peran pola asuh autoritatif dan konsep diri terhadap kecerdasan sosial remaja awal SMP Negeri di Denpasar, mengetahui peran pola asuh autoritatif terhadap
kecerdasan sosial remaja awal SMP Negeri di Denpasar, dan mengetahui peran konsep diri terhadap kecerdasan sosial remaja awal SMP Negeri di Denpasar.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan bahwa pola asuh autoritatif dan konsep diri secara bersama-sama berperan terhadap kecerdasan sosial remaja awal Sekolah Menengah Pertama Negeri di Denpasar, pola asuh autoritatif berperan terhadap kecerdasan sosial remaja awal SMP Negeri di Denpasar, konsep diri berperan terhadap kecerdasan sosial remaja awal SMP Negeri di Denpasar, kecerdasan sosial pada remaja awal SMP Negeri di Denpasar tergolong tinggi, pola asuh autoritatif yang diterapkan pada remaja awal SMP Negeri di Denpasar tergolong sangat tinggi, dan konsep diri pada remaja awal SMP Negeri di Denpasar tergolong tinggi.
Berdasarkan kesimpulan yang telah dipaparkan, maka peneliti dapat memberikan saran bagi orangtua, yaitu orangtua diharapkan menerapkan pola asuh autoritatif sehingga kecerdasan sosial anak dapat berkembang secara optimal. Orangtua juga diharapkan mampu memberikan perlakuan yang dapat meningkatkan konsep diri anak, yaitu dengan mempercayai kemampuan anak dan memberikan apresiasi terhadap kelebihan-kelebihan yang dimiliki anak, sehingga anak positif memandang dirinya.
Saran bagi remaja awal, yaitu remaja diharapkan mampu mempertahankan konsep diri positif yang dapat berperan dalam kecerdasan sosial. Hal ini dapat terwujud dengan cara membangun kepercayaan diri, menumbuhkan perasaan diri yang berharga, sensitif terhadap kebutuhan orang lain, dan mampu menerima diri secara positif.
Saran bagi institusi pendidikan, yaitu dalam kegiatan belajar mengajar sebaiknya tenaga pendidik menerapkan pola asuh autoritatif kepada siswa, karena guru merupakan orangtua siswa di sekolah. Hal tersebut dilakukan agar siswa lebih percaya diri, mengandalkan diri, mengontrol diri dan lebih asertif. Institusi pendidikan juga diharapkan mampu merancang program pembelajaran untuk meningkatkan konsep diri remaja awal. Hal tersebut dapat terwujud apabila tenaga pendidik memandang setiap anak didik sebagai individu yang unik, yang mempunyai kelebihan-kelebihan tertentu yang dapat dibanggakan.
Saran bagi peneliti selanjutnya, yaitu peneliti selanjutnya diharapkan mampu menggunakan sampel yang lebih besar, agar data yang diperoleh dapat lebih representatif dan bervariasi. Pada penelitian ini belum diperoleh data empiris tentang kegiatan diskusi kelompok, ekstrakurikuler, dan les pelajaran tambahan, sehingga peneliti selanjutnya diharapkan mampu melakukan penelitian mengenai keterkaitan antara kegiatan diskusi kelompok, ekstrakurikuler, dan les pelajaran tambahan terhadap kecerdasan sosial. Pada penelitian ini juga belum dilakukan uji beda terhadap data pendidikan orangtua dan data pekerjaan orangtua, sehingga
belum diperoleh data empiris yang pasti mengenai variasi pola asuh berdasarkan tingkat pendidikan dan pekerjaan orangtua. Peneliti selanjutnya diharapkan mampu melakukan penelitian mengenai keterkaitan antara pendidikan dan pekerjaan orangtua dengan pola asuh.
DAFTAR PUSTAKA
Agustiani, H. (2009). Psikologi perkembangan: Pendekatan ekologi kaitannya dengan konsep diri dan penyesuaian diri pada remaja. Bandung: PT. Refika Aditama.
Arsana, I.G.K. (1983). Dampak modernisasi terhadap hubungan kekerabatan di Daerah Bali. Denpasar: Direktorat Jenderal Kebudayaan.
Astuti, R.D. (2014). Identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri siswa Sekolah Dasar Negeri Mendungan I Yogyakarta. (Skripsi tidak dipublikasikan). Universitas Negeri Yogyakarta.
Azwar, S. (2012). Reliabilitas dan validitas. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Azwar, S. (2015). Penyusunan skala psikologi. Edisi Kedua. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Baumrind, D. (1991). The influence of parenting style on adolescent competence and substance abuse. Journal of Early Adolescence, 11(01), 56-95.
Budiyono. (2014). Kemampuan siswi Sekolah Menengah Pertama Negeri dan Sekolah Menengah Pertama Swasta kelas vii dalam menyelesaikan soal-soal matematika sekolah dasar. Jurnal Pendidikan Matematika, 10 (1), 39-42.
Burns, R.B. (1993). Konsep diri: Teori, pengukuran, perkembangan, dan perilaku. Jakarta: Arcan.
Buzan, T. (2002). The power of social intelligence. London: Thorson.
Calhoun, J.F & Acocella, J.R. (1990). Psychology of adjustment and human relationship. New York: McGraw-Hill, Inc.
Darling, N. (1999). Parenting style and its correlates.
Diunduh dari
http://www.kidneeds.com/diagnostic_categories
/articles/parentcorrelates.pdf. Diakses pada 12 April 2016.
Devi, W. C. (2012). Hubungan pola asuh orang tua dengan kecerdasan sosial pada siswa kelas vi Sekolah Dasar Jatimulyo 01. (Tesis tidak dipublikasikan). Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.
Ghozali, I. (2005). Aplikasi analisis multivariate dengan program SPSS. Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro.
Goleman, D. (2007). Social intelligence: Ilmu baru tentang hubungan antar-manusia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Goleman, D. (2015). Emotional intelligence. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Gunarsa, S.D. (1986). Psikologi perkembangan anak dan
remaja. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia.
Gunarsa, S.D. (2008). Psikologi perkembangan anak dan
remaja. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.
Haryanti, D. (2014). Hubungan pola asuh orang tua dengan harga diri siswa di SMAN 1 Kretek Bantul. (Skripsi tidak dipublikasikan). Program Studi Ilmu Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Aisyiyah, Yogyakarta.
Hasibuan. (2013). Pendidikan di perguruan swasta. Diunduh dari http://www.tebingtinggi
kota.go.id/upload/majalah/largeimage/1381121344.p df Diakses pada 25 Desember 2016.
Hurlock, E.B. (1980). Psikologi perkembangan suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Edisi kelima. Terjemahan Instiwidayanti dan Soedjarwo. Jakarta: Erlangga.
Mulya. (2014). Hasil PPDB SMP Negeri, persaingan ketat terjadi di SMPN 10, 3 dan 1 Denpasar. Diunduh dari http://pendidikan.denpasarkota.go.id/index.php/baca-berita/7504/Hasil-PPDB-SMP-Negerikoma-Persaingan-Ketat-Terjadi-di-SMPN-10koma-3-dan-1-Denpasar Diakses pada 25 Desember 2016.
Papalia, D.E., Olds, S.W., & Feldman, R.D. (2009). Human development: Perkembangan manusia. Edisi
Kesepuluh. Jilid 1. Jakarta: Salemba Humanika.
Papalia, D.E. & Feldman, R.D. (2014). Menyelami perkembangan manusia. Edisi Keduabelas. Jakarta: Salemba Humanika.
Wima, B.A. (2005). Hubungan konsep diri dengan penyesuaian sosial siswa kelas akselerasi di Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 dan Sekolah Menengah Pertama PL Domenico Savio Semarang. Fakultas Psikologi, Universitas Diponegoro.
Pratiwi, K.I. (2016). Studi pendahuluan terkait kasus bullying pada Sekolah Menengah Pertama Negeri di Denpasar. (Naskah tidak dipublikasikan). Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, Denpasar.
Priyanto, D. (2012). Belajar praktis analisis parametrik dan non parametrik dengan SPSS. Yogyakarta: Gava Media.
Rahayu, B.U. (2008). Pengaruh tingkat pendidikan dan tipe pola asuh orangtua terhadap perkembangan psikososial anak prasekolah di Taman Kanak-Kanak Aisyiyah ii Nganjuk. (Tesis tidak dipublikasikan). Univeritas Sebelas Maret, Surakarta.
Rustika, I.M. (2014). Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi akademik pada remaja. (Disertasi tidak dipublikasikan). Program Doktor Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Santoso, S. (2005). Mengatasi berbagai masalah statistika dengan SPSS versi. 11.5. Jakarta: PT. Alex Media Komputindo.
Santrock, J.W. (2007a). Remaja. Edisi Kesebelas. Jakarta: Erlangga.
Santrock, J.W. (2007b). Perkembangan anak. Edisi Kesebelas. Jakarta: Erlangga.
Soejanto, L.T. (2015). Tingkat kecerdasan sosial mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Univeritas Kanjuruhan Malang. Jurnal Konseling Indonesia, 1(1), 18-28.
Soekanto, S. (2004) . Sosiologi suatu pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sugiyono. (2015). Metode penelitian kombinasi (mixed methods). Bandung: Alfabeta.
Sukiswanti. (2015). Remaja di Bali nekat bunuh temannya karena sering dibully. Diunduh dari
http://daerah.sindonews.com/read/1058287/174/rema ja-di-bali-nekat-bunuh-temannya-karena-sering-dibully-1446470519 Diakses pada 25 Desember 2016.
459
Discussion and feedback