PERAN EFIKASI DIRI DAN MOTIVASI INTRINSIK TERHADAP RESILIENSI ORANGTUA DENGAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS PADA SEKOLAH LUAR BIASA (SLB) DI BALI
on
Jurnal Psikologi Udayana
2017, Vol.4, No.2, 347-356
Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Udayana
ISSN: 2354 5607
PERAN EFIKASI DIRI DAN MOTIVASI INTRINSIK TERHADAP RESILIENSI ORANGTUA DENGAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS PADA SEKOLAH LUAR BIASA (SLB) DI BALI
Ni Nyoman Tri Marheni Wulandari, Supriyadi Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana [email protected]
Abstrak
Resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk menilai, mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun mengubah dirinya dari keterpurukan atau kesengsaraan dalam hidup yang membuat seseorang berhasil menyesuaikan diri dalam berhadapan dengan kondisi yang tidak menyenangkan. Kemampuan resiliensi dipengaruhi oleh keyakinan individu terhadap kemampuan yang dimiliki dalam menjalani suatu tugas. Di samping itu dorongan dari dalam diri individu untuk menjalani suatu tugas juga dapat mengembangkan kemampuan untuk beradaptasi dari keterpurukan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran efikasi diri dan motivasi intrinsik terhadap resiliensi orangtua dengan anak berkebutuhan khusus pada Sekolah Luar Biasa (SLB) di Bali. Subjek penelitian ini adalah 78 orangtua dengan anak berkebutuhan khusus pada SLB di Bali. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah two stage cluster sampling dalam probability sampling. Instrumen penelitian ini adalah skala resiliensi, skala efikasi diri dan skala motivasi intrinsik. Hasil yang diperoleh dari analisis regresi ganda menunjukkan nilai R=0,686 (p<0,05) dan koefisien determinasi sebesar 0,471, dengan demikian dapat disebutkan bahwa efikasi diri dan motivasi intrinsik secara bersama-sama berperan sebesar 47,1% dalam menjelaskan varian resiliensi orangtua dengan anak berkebutuhan khusus. Koefisien beta efikasi diri sebesar 0,340 dan siginifikansi 0,008 (p<0,05) menunjukkan efikasi diri ,berperan terhadap resliensi. Koefisien beta motivasi intrinsik sebesar 0,473 dan signifikansi 0,000(p<0,05) menunjukkan motivasi intrinsik berperan dalam menjelaskan varian resiliensi. Hal ini menunjukkan setiap kenaikan 0,340 pada efikasi diri dan 0,473 pada motivasi intrinsik, terjadi peningkatan 1 poin pada resiliensi orangtua dengan anak berkebutuhan khusus pada SLB di Bali.
Kata Kunci: resiliensi, efikasi diri, motivasi intrinsik, orangtua dengan anak berkebutuhan khusus
Abstract
Resilience is an ability of people to give value, resolving and self improve or self changing from adversity or misery in life who made people successfully to adapt in dealing with unpleasant conditions. Resilience ability is influenced by an individual’s believe in the ability possessed in undergoing a task. Besides that the drive of the individual to lead a task can also develop the ability to adapt in dealing with unpleasant conditions. This research aims to see the role of self efficacy and intrinsic motivation to resilience parents with disability child on extraordinary school in Bali. The subjects were 78 parents with disability child on extraordinary school in Bali. Sampling technique used two stage cluster sampling in probability sampling. Instrument in this research were resilience scale, self efficacy scale and intrinsic motivation scale. The result of multiple regression analysis showed the value R=0,686 (p<0,05) and R2=0,471, which concluded that the self efficacy and intrinsic motivation conjunctly contributes as much as 47,1% to resilience parents with disability child. Standardized beta coefficient of self efficacy showed the value of 0,340 (p<0,05) which mean self efficacy conjunctly contribute to resilience. Standardized beta coefficient of intrinsic motivation showed the value 0,473 (p<0,05) which mean intrinsic motivation conjunctly contribute to resilience. It showed every increase 0,340 of self efficacy and 0,473 of intrinsic motivation, an increase 1 point in resilience of parents with disability child on extraordinary school in Bali.
Keywords: resilience, self efficacy, intrinsic motivation, parents with disability child
LATAR BELAKANG
Seseorang menikah karena ingin hidup bersama dengan orang yang disayang dan dicintai. Alasan lain seseorang memutuskan menikah karena ingin memperoleh keturunan (Ismail, 2008). Setiap pasangan perkawinan menginginkan adanya anak sebagai penerus keturunan. Anak merupakan sumber kebahagiaan bagi pasangan suami istri (Mangunsong, 1998).
Setiap anak tentunya akan melalui masa tumbuh kembang dalam rentang waktu kehidupannya. Seorang anak dikatakan tumbuh dapat dilihat dari perubahan fisik yang dapat diukur secara kuantitas dari masa ke masa dan dari satu peringkat ke peringkat berikutnya. Setiap anak akan bertumbuh dan juga berkembang. Perkembangan anak dapat dilihat dari perubahan secara kualitas dengan membandingkan sifat anak terdahulu dengan sifat yang sudah terbentuk (Papalia, 2009).
Menurut Papalia (2009) melihat pertumbuhan dan perkembangan anak menjadi dewasa merupakan masa yang paling membahagiakan dalam hidup orangtua. Setiap orangtua menginginkan anaknya berkembang sempurna, namun tidak semua orangtua dikaruniai anak yang normal. Harapan orangtua untuk memiliki anak dengan tahap perkembangan yang sesuai sering tidak sesuai dengan kenyataan yang ada seperti memperlihatkan masalah dalam perkembangan sejak usia dini, seperti adanya orangtua yang dikaruniai anak berkebutuhan khusus. Rahmitha (2011) menyatakan bahwa membesarkan anak adalah sebuah tantangan. Orangtua memiliki peran yang sama di dalam mengasuh. Orangtua yang mendapat karunia untuk membesarkan anak berkebutuhan khusus diharapkan mampu mengadapi kondisinya.
Anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan kondisi memiliki kesulitan yang secara signifikan lebih besar dari anak-anak anak lain seusianya dalam menyelesaikan pekerjaan sekolah, berkomunikasi atau berperilaku, dan mereka dikatakan memiliki kesulitan dalam belajar (Undang-Undang Anak Kebutuhan Pendidikan Khusus dan Disabilitas dalam Thompson, 2010). Directgov (dalam Thompson, 2010) juga menjelaskan bahwa anak berkebutuhan khusus merujuk pada anak yang memiliki kesulitan atau ketidakmampuan belajar yang membuatnya lebih sulit untuk belajar atau mengakses pendidikan dibandingkan kebanyakan anak seusianya. Istilah anak berkebutuhan khusus bukan istilah yang baru, melainkan telah digunakan selama bertahun-tahun untuk mendeskripsikan murid yang memiliki kesulitan belajar. Rahmitha (2011) mengungkapkan bahwa anak berkebutuhan khusus adalah anak yang mengalami keterlambatan lebih dari dua aspek perkembangan dan lebih dari satu tingkat umur atau anak anak yang mengalami penyimpangan. Gangguan dan hambatan beberapa aspek tersebut adalah fisik (tunanetra, tunarungu, tunadaksa), bahasa dan komunikasi (tunarungu,
anak dengan gangguan komunikasi), emosi dan perilaku (tunalaras), sensorimotor (tunadaksa), intelektual (tunagrahita), bakat (umum dan khusus), autisme, ADHD dan gangguan belajar.
Anak dengan berkebutuhan khusus memiliki wadah untuk mengembangkan kompetensi yang dimiliki. Sama halnya sepertinya anak normal yang bersekolah, anak berkebutuhan khusus memiliki sekolah yang khusus yang disebut dengan sekolah luar biasa atau disingkat SLB. Menurut UU No. 20 Tahun 2003 SLB merupakan lembaga pendidikan yang diperuntukkan untuk anak berkebutuhan khusus sehingga pendidikannya juga disebut pendidikan khusus yang merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran, karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial dan memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa (Kementrian Agama Republik Indonesia, 2005).
Jumlah anak berkebutuhan khusus di Indonesia semakin meningkat. Menurut Badan Pusat Statistik (2012) jumlah anak berkebutuhan khusus di Bali adalah 1.067 anak. Di kota Denpasar terdapat 442 anak berkebutuhan khusus, jumlah ini lebih banyak dibandingkan kabupaten lain, yaitu Badung terdapat 77 orang, Gianyar terdapat 69 orang, Klungkung terdapat 120 orang, Bangli terdapat 47 orang, Karangasem terdapat 77 orang, Buleleng terdapat 116 orang, Tabanan terdapat 104 orang dan terakhir Jembrana terdapat 15 orang. Jumlah anak berkebutuhan khusus ini merupakan anak berkebutuhan khusus yang terdaftar dalam sekolah luar biasa (SLB). SLB di Bali terbagi atas klasifikasi, yaitu untuk tunanetra (SLB-A), tunarungu (SLB-B), tunagrahita ringan (SLB-C), tunagrahita sedang (SLB-C1) dan campuran. Di Bali terdapat 16 SLB yang tersebar di seluruh kabupaten dan kota. Tidak semua anak berkebutuhan khusus di Bali bersekolah di SLB, adapun yang dibiarkan tinggal dirumah oleh kedua orangtuanya karena tidak adanya biaya sekolah dan tidak sempatnya orangtua mengantar jemput anaknya (Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi Bali, 2012).
Orangtua yang mendapat karunia untuk membesarkan anak berkebutuhan khusus, diharapkan mampu menghadapi kondisi yang dimiliki. Terdapat orangtua yang berhasil hingga bisa mencapai tahap penerimaan dan terdapat orangtua yang terbelenggu pada tahap penolakan, kemarahan, perundingan, bahkan depresi, seperti yang kasus yang terjadi di Jember, Jawa Timur. Seorang anak berkebutuhan khusus bernama Iin dibunuh oleh ibunya kandungnya sendiri. Ibu Iin mengaku gelap mata dan membunuh anak pertamanya itu karena Iin minta makan dua kali dan menumpahkan piring berisi nasi (Wirawan, 2014). Pada tahun 2015 terdapat kasus serupa yang terjadi di Cilegon, Jakarta seorang anak bernama Ferdi dibunuh oleh ayah kandungnya sendiri. Ayah Ferdi membunuh lantaran malu Ferdi merupakan anak autis. Ferdi dianggap membuat nama baik keluarga tercemar oleh
kelakuannya. Ayah Ferdi membuangnya ke sungai setelah melakukan pembunuhan terhadap Ferdi (Ridho, 2015).
Melihat adanya kasus tersebut dan perbedaan cara pengasuhan terhadap anak, orangtua dengan anak berkebutuhan khusus diharapkan dapat beradaptasi dengan kondisi yang dihadapinya. Kemampuan untuk beradaptasi ini dapat disebut dengan resiliensi. Resiliensi adalah kapasitas untuk merespon secara sehat dan produktif ketika menghadapi kesulitan atau trauma, dimana hal ini penting untuk mengelola tekanan hidup sehari-hari (Reivich & Shatte, 2002). Grotberg (1995) menyatakan bahwa resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk menilai, mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun mengubah dirinya dari keterpurukan atau kesengsaraan dalam hidup. Setiap orang pasti mengalami kesulitan ataupun sebuah masalah dan tidak ada seseorang yang hidup di dunia tanpa suatu masalah ataupun kesulitan, maka dari itu individu membutuhkan kemampuan resiliensi. Resiliensi membuat seseorang berhasil menyesuaikan diri dalam berhadapan dengan kondisi yang tidak menyenangkan, serta dapat mengembangkan kompetensi sosial, akademik dan vokasional sekalipun berada di tengah kondisi stres hebat yang inheren dalam kehidupan dewasa ini (Desmita, 2005).
Resiliensi dipengaruhi oleh faktor internal yang meliputi kemampuan kognitif, gender dan keterikatan individu dengan budaya, serta faktor eksternal dari keluarga dan komunitas. Reivich & Shatte (2002) memaparkan beberapa hal yang memengaruhi resiliensi yaitu pengaturan emosi, kontrol terhadap impuls, optimis, kemampuan menganilisis masalah, empati, efikasi diri, dan pencapaian. Menurut Henderson & Milstein (2003) hal-hal yang memengaruhi resiliensi diantaranya kesediaan diri untuk melayani orang lain, menggunakan keterampilan-keterampilan hidup, mencakup keterampilan mengambil keputusan dengan baik, tegas, keterampilan mengontrol impuls-impuls dan problem solving, sosiabilitas yaitu kemampuan untuk menjadi seorang teman, kemampuan untuk membentuk hubungan-hubungan yang positif, memiliki perasaan humor, lokus kontrol internal, otonomi, independen, memiliki pandangan positif terhadap masa depan atau optimis, memiliki kapasitas untuk terus belajar, fleksibilitas, motivasi, kompetensi personal, memiliki harga diri, dan percaya diri.
Salah satu faktor yang memengaruhi resiliensi adalah efikasi diri. Bandura dalam Hergenhahn & Olson (2008) menjelaskan bahwa efikasi diri atau kecakapan diri adalah keyakinan seseorang tentang kemampuannya dalam melakukan sesuatu yang muncul dari beberapa macam sumber termasuk prestasi dan kegagalan personal yang pernah dialaminya, melihat orang yang sukses atau gagal dan persuasi verbal.
Bandura dalam Feist (2010) menjelaskan bahwa efikasi diri merujuk pada keyakinan diri seseorang bahwa orang tersebut memiliki kemampuan untuk melakukan suatu
perilaku. Terdapat individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi dalam suatu situasi akan tetapi dalam situasi berbeda akan memiliki efikasi yang rendah. Efikasi diri bervariasi dari satu situasi ke situasi lain, dalam hal ini orangtua dengan anak berkebutuhan khusus memiliki keyakinan dapat beradaptasi atau resilien dengan kondisinya. Efikasi diri merupakan keyakinan individu dapat melakukan sesuatu dengan kemampuan dalam kondisi tertentu (Snyder & Lopez, 2005). Dalam hal ini jika orangtua dengan anak berkebutuhan khusus memiliki efikasi diri yang tinggi atau memiliki keyakinan bahwa orangtua dapat melakukan suatu perilaku maka orangtua dengan anak berkebutuhan khusus dapat memenuhi kemampuan dalam beradaptasi dengan kondisinya.
Faktor-faktor yang membentuk resiliensi, selain efikasi diri adalah motivasi. Motivasi merupakan faktor utama dalam proses pembelajaran yang dapat berperan menjamin kelangsungan kegiatan belajar karena kemampuannya memberikan arah pada kegiatan belajar sehingga aktivitas belajar lebih efektif dalam mencapai tujuannya. Kehilangan motivasi dapat menyebabkan orientasi terhadap tujuan menjadi lemah (Rahayu, 2012). Terdapat dua jenis atau tipe motivasi, yaitu motivasi intrinsik (berasal dari dalam diri) dan motivasi ekstrinsik (berasal dari luar diri). Motivasi intrinsik memiliki peranan yang lebih besar pada individu. Motivasi intrinsik adalah pilihan untuk melakukan sesuatu karena senang atau menyukainya (Ryan & Deci, 2000). Vallerand (2004) menyatakan bahwa motivasi intrinsik adalah keterlibatan dalam suatu aktivitas karena aktivitas itu sendiri dan untuk kesenangan serta kepuasan yang timbul dari keikutsertaannya. Motivasi yang dimiliki individu bisa berbeda ukuran, bentuk, juga berbeda tingkatan ataupun tipe. Orangtua dengan anak berkebutuhan khusus diharapkan memiliki motivasi intrinsik agar dapat menghadapi kondisinya dengan senang atau tidak terlarut dalam kesedihan. Motivasi intrinsik dapat membuat orang tua dengan anak berkebutuhan khusus memiliki dorongan dari dalam diri untuk bertahan pada kondisi keterpurukan yang dialami, dalam hal ini jika orangtua dengan anak berkebutuhan khusus memiliki motivasi intrinsik pada dirinya, maka diharapkan ia mampu membentuk kemampuan resiliensi atas kondisi yang dialami.
Dari paparan di atas maka peneliti ingin melihat apakah terdapat peran efikasi diri dan motivasi intrinsik tehadap resiliensi orangtua dengan anak berkebutuhan khusus pada SLB di Bali.
METODE PENELITIAN
Variabel dan Definisi Operasional
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah efikasi diri dan motivasi intrinsik serta variabel tergantung dalam penelitian ini adalah resiliensi. Definisi operasional dari masing-masing variabel dalam penelitian ini sebagai berikut:
-
1. Resiliensi
Resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk menilai, mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun mengubah dirinya dari keterpurukan atau kesengsaraan dalam hidup yang membuat seseorang berhasil menyesuaikan diri dalam berhadapan dengan kondisi yang tidak menyenangkan, serta dapat mengembangkan kompetensi sosial, akademik dan vokasional sekalipun berada di tengah kondisi stres hebat yang inheren dalam kehidupan dewasa ini. Dimensi dari resiliensi adalah meaningful life atau kehidupan yang bermakna, perseverance atau ketekunan, equanimity atau keseimbangan, self reliance atau kemandirian, dan existential aloneness atau eksistensi kesendirian.
-
2. Efikasi Diri
Efikasi diri adalah keyakinan seseorang terhadap kemampuannya untuk melakukan sesuatu yang memengaruhi bentuk tindakan yang akan mereka pilih untuk dilakukan, sebanyak apa usaha yang akan individu berikan ke dalam suatu aktivitas, selama apa individu akan bertahan dalam menghadapi rintangan dan kegagalan, serta ketangguhan individu menghadapi adanya kemunduran. Dimensi dari efikasi diri adalah tingkatan (level), keadaan umum (generality), dan kekuatan (strength).
-
3. Motivasi Intrinsik
Motivasi intrinsik adalah suatu dorongan dari dalam diri yang mendorong individu berprestasi dan dapat melakukan suatu pekerjaan atau aktivitas. Dimensi dari motivasi intrinsik adalah autonomy (otonomi), competence (kompetensi), dan relatedness
(keterhubungan).
Responden
Populasi penelitian menggunakan orangtua dengan anak berkebutuhan khusus pada sekolah luar biasa di Bali. Karaktersitik subjek dalam penelitian ini sebagai berikut:
-
1. Orangtua dengan anak berkebutuhan khusus berusia 7-12 tahun.
-
2. Bertempat tinggal di Bali.
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah two stage cluster sampling adalah teknik pengambilan sampel dengan dua tahap pengambilan sampling dari kelompok-kelompok unit–unit yang kecil atau cluster. Sampling tahap pertama dalam penelitian ini menggunakan kabupaten dan kota yang terdapat pada Provinsi Bali. Sampling tahap kedua adalah mengacak SLB yang terdapat pada kabupaten atau kota yang terpilih. Pada proses sampling, terpilih salah satu SLB yang terdapat pada kota Denpasar. Peneliti menyebar 90 skala kepada sampel dan kembali sejumlah 78 skala.
Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di salah satu SLB kota Denpasar pada bulan Maret dan April 2016, yaitu pada tanggal 24 Maret sampai dengan 3 April 2016.
Alat Ukur
Alat ukur penelitian ini menggunakan skala. Skala merupakan alat pengumpulan data dalam penelitian (Azwar, 2013). Penelitian ini menggunakan 3 skala yaitu, skala resiliensi, skala efikasi diri dan skala motivasi intrinsik. Skala resiliensi disusun oleh peneliti sendiri menggunakan teori Wagnild & Young (2010), skala efikasi diri memodifikasi skala yang disusun oleh Prasetyaningrum (2015) dengan mengubah beberapa aitem dan skala motivasi intrinsik disusun oleh peneliti sendiri menggunakan teori Ryan & Deci (2000). Skala resiliensi terdiri dari 19 aitem pernyataan, skala efikasi diri terdiri dari 18 aitem pernyataan dan skala motivasi intrinsik terdiri dari 18 aitem pernyataan. Pernyataan pada skala penelitian ini tediri dari kalimat positif (favorable) dan kalimat negatif (unfavorable) yang diberikan skor 1 sampai 4. Pada skala efikasi diri, motivasi intrinsik dan resiliensi terdapat 4 respon terhadap pernyataan, yaitu Sangat Tidak Setuju (STS), Tidak Setuju (TS), Setuju (S) dan Sangat Setuju (SS).
Hasil uji validitas skala resiliensi menunjukkan nilai koefisien korelasi aitem total berkisar antara 0,271 sampai 0,587. Hasil uji reliabilitas skala resiliensi pada saat uji coba menunjukkan koefisien Alpha (α) sebesar 0,865 yang memiliki arti bahwa skala resiliensi mampu mencerminkan 86,95 variasi skor murni subyek, sehingga dapat disimpulkan bahwa skala resiliensi layak digunakan sebagai alat ukur untuk mengukur atribut yang dimaksudkan, yaitu resiliensi.
Hasil uji validitas skala efikasi diri menunjukkan nilai koefisien korelasi aitem total berkisar antara 0,292 sampai 0,546. Hasil uji reliabilitas skala efikasi diri pada saat uji coba menunjukkan koefisien Alpha (α) sebesar 0,817 yang mememiliki arti bahwa skala efikasi diri mampu mencerminkan 81,7% variasi skor murni subyek, sehingga dapat disimpulkan bahwa skala efikasi diri layak digunakan sebagai alat ukur untuk mengukur atribut yang dimaksudkan, yaitu efikasi diri.
Hasil uji validitas skala motivasi intrinsik menunjukkan nilai koefisien korelasi aitem total berkisar antara 0,266 sampai 0,521. Hasil uji reliabilitas skala motivasi intrinsik pada saat uji coba menunjukkan koefisien Alpha (α) sebesar 0,806 yang mememiliki arti bahwa skala efikasi diri mampu mencerminkan 80,6% variasi skor murni subyek, sehingga dapat disimpulkan bahwa skala motivasi intrinsik layak digunakan sebagai alat ukur untuk mengukur atribut yang dimaksudkan, yaitu motivasi intrinsik.
Teknik Analisis Data
Hal pertama yang dilakukan sebelum analisis data untuk uji hipotesis adalah melakukan uji asumsi data penelitian yaitu uji normalitas, uji linearitas, dan uji
multikolinearitas. Pada penelitian ini uji normalitas dilakukan menggunakan Kolmogorov Smirnov, uji linearitas dilakukan menggunakan Compare Means dan uji multikolinearitas dilakukan dengan melihat nilai variance inflation factor (VIF) dan tolerance. Setelah melakukan uji asumsi, data penelitian dapat di analisis menggunakan metode analisis regresi berganda untuk menguji hipotesis mayor dan hipotesis minor. Metode analisis regresi berganda digunakan untuk mengetahui peran dari dua atau lebih variabel bebas terhadap satu variabel tergantung (Santoso, 2003). Analisis data dilakukan dengan menggunakan bentuan perangkat lunak SPSS versi 17.0.
HASIL PENELITIAN
Karakteritik Subjek
Berdasarkan hasil data karakteristik subjek, penelitian ini memiliki 78 subjek yang terdiri dari 37 laki-laki dan 41 perempuan dengan rentang usia 27 sampai 52 tahun. Subjek memiliki pendidikan terakhir yang beragam yaitu SD, SMP, SMA, diploma dan Sarjana namun mayoritas subjek berpendidikan SMA dengan persentase 62,8%.
Deskripsi Data Penelitian
Hasil deskripsi data penelitian yaitu efikasi diri, motivasi intrinsik dan resiliensi, dapat dilihat pada tabel 1.
Tabdl
Deskiipsi StatistikDataPeneUtian
Variabel |
N |
Mean Teoritis |
Mean Empiris |
Std Deviasi Teoritis |
Std Deviasi Empiris |
Sebaran Teoritis |
Sebaran Empiris |
ED |
78 |
45 |
60.29 |
3,66 |
4,576 |
18-72 |
46-68 |
AU |
78 |
45 |
60,91 |
3 |
4,784 |
18-/2 |
51-69 |
RES |
78 |
47,5 |
62,68 |
4,3 |
5,098 |
19 76 |
47 73 |
Berdasarkan tabel 1, variabel efikasi diri memiliki mean empiris yang lebih besar dari mean teoritis sehingga menghasilkan perbedaan sebesar 15,29. Mean empiris yang didapat lebih besar dari mean teoritis (mean empiris > mean teoritis) menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa subjek memiliki taraf efikasi diri yang tinggi. Berdasarkan penyebaran frekuensi menghasilkan rentang skor subjek penelitian berkisar antara 46 sampai 68 terdapat 100% subjek memiliki skor diatas mean teoritis.
Berdasarkan tabel 1, variabel motivasi intrinsik memiliki mean empiris yang lebih besar dari mean teoritis sehingga menghasilkan perbedaan sebesar 15,91. Mean empiris yang didapat lebih besar dari mean teoritis (mean empiris > mean teoritis) menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa subjek memiliki motivasi intrinsik yang tinggi. Berdasarkan penyebaran frekuensi menghasilkan rentang skor subjek penelitian berkisar antara 51 sampai 69 terdapat 100% subjek memiliki skor diatas mean teoritis.
Berdasarkan tabel 1, variabel resiliensi memiliki mean empiris yang lebih besar dari mean teoritis sehingga menghasilkan perbedaan sebesar 15,18. Mean empiris yang didapat lebih besar dari mean teoritis (mean empiris > mean teoritis) menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa subjek
memiliki resiliensi yang tinggi. Berdasarkan penyebaran frekuensi menghasilkan rentang skor subjek penelitian berkisar antara 47 sampai 73 terdapat 100% subjek memiliki skor diatas mean teoritis.
Lji Asumsi
Tabel 2.
Hasil Uji Normalitas Data Penelitian
__________________________Efikasi Diri_____Motivasi Intrinsik_______Resiliensi Kolmogorov- 0,835 0,811 0,903
Smirnov
Asymp. Significant 0,488 0,419 0,389
(2-tailed)
Uji normalitas pada penelitian ini menggunakan Kolmogorov Smirnov dengan bantuan SPSS version 17.0. Data penelitian dikatakan berdistribusi normal apabila memiliki nilai p>0,05 (Santoso, 2003). Pada saat melakukan uji normalitas dengan jumlah subjek sebanyak 78 orang, hasil uji normalitas pada penelitian ini menunjukkan data penelitian ini berdistribusi normal. Berdasarkan tabel 2, diketahui bahwa data pada variabel efikasi diri dapat dikatakan telah berdistribusi normal karena memiliki nilai Kolmogorov-Smirnov sebesar 0,835 dengan signifikansi 0,488 (p>0,05). Data pada variabel motivasi intrinsik dapat dikatakan telah berdistribusi normal karena memiliki nilai Kolmogorov-Smirnov sebesar 0,811 dengan signifikansi 0,419 (p>0,05). Data pada variabel resiliensi dapat dikatakan telah berdistribusi normal karena memiliki nilai Kolmogorov-Smirnov sebesar 0,903 dengan signifikansi 0,389 (p>0,05).
TabdS
Hasil Uji Linearitas Data Penelitian
F |
Signiflkansi | |||
ED*RES |
Between |
(Combined) |
4,064 |
0,000 |
Groups |
Linearitx- |
48, 830 |
0,000 | |
Deviation from Linearity |
1,577 |
0,097 | ||
M1*RES |
Between |
(Combined) |
4,412 |
0,000 |
Groups |
Linearitx- |
59,442 |
0,000 | |
Deviation from Linearitx' |
1,354 |
0,190 |
Uji linearitas digunakan untuk mengetahui apakah kedua variabel bersifat linear atau tidak. Asumsi linearitas data dalam penelitian ini diolah menggunakan uji compare mean dengan melihat nilai signifikansi pada test for linierity. Hasil uji linearitas yang membperoleh nilai kurang dari 0,05 (p<0,05) dapat dikatakan sebagai data yang linear (Priyatno, 2012). Uji linearitas pada penelitian ini menggunakan SPSS version 17.0. Berdasarkan tabel 3, diketahui bahwa variabel efikasi diri dan resiliensi memiliki signifikansi linearity sebesar 0,000 (p<0,05). Pada variabel motivasi intrinsik dan resiliensi yang memiliki signifikansi liniearity sebesar 0,000 (p<0,05). Maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan linear antara efikasi diri dengan resiliensi dan motivasi intrinsik dengan resiliensi.
Tabel 4.
Hasil Uji Multikolmeantas Data Penelitian
Variabel |
Tolerance |
Variance Inflation Factor (VTF) |
Keterangan |
Efikasi Diri |
0,558 |
1,793 |
Tidak ada Uiultikolinearitas |
Motivasi Intrinsik |
0,558 |
1,793 |
Tidak ada Uiultikolinearitas |
Uji multikolinearitas digunakan untuk melihat korelasi antar variabel-variabel bebas. Metode regresi dianggap baik ketika variabel bebas tidak memiliki gejala multikolinearitas, hal tersebut dapat dilihat dari nilai VIF dibawah 10 dan nilai Collinierity Tolerance diatas 0,1. Uji multikolinearitas pada penelitian ini menggunakan SPSS version 17.0. Hasil uji multikolinearitas menunjukkan bahwa pada variabel efikasi diri dan motivasi intrinsik memiliki nilai tolerance sebesar 0,558 dan nilai VIF sebesar 1,793, sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel bebas pada metode regresi penelitian ini dianggap baik karena tidak terjadi multikolinearitas.
Berdasarkan hasil uji asumsi yang telah dilakukan, peneliti mendapatkan hasil bahwa data penelitian ini memiliki distribusi normal, memiliki hubungan yang linear, dan tidak terjadi multikolinearitas.
Uji Hipotesis
Berikut merupakan hasil uji regresi berganda antara efikasi diri dan motivasi intrinsik terhadap resiliensi:
Tabel 5
Hasil Uji Regresi Berganda Efikasi Diri dan Motivasi Intrinsik terhadap Resiliensi
Model |
R |
R Square |
Adjusted R Square |
Std. Error of the Estimate |
1 |
0,686 |
0,471 |
0,457 |
3,756 |
Uji |
regresi |
berganda |
pada |
penelitian ini |
menggunakan SPSS version 17.0. Berdasarkan tabel 5, diketahui bahwa koefisien regresi (R) sebesar 0,686 dan koefisien determinasi (R Square) sebesar 0,471 maka dapat disimpulkan bahwa efikasi diri dan motivasi intrinsik secara bersama-sama menentukan 47,1% taraf resiliensi. Dengan demikian variabel lain yang tidak diteliti menentukan 52,9% taraf resiliensi.
Tabel 6.
-Iasil Uji Regresi Berganda Signifikansi Nilai F
Model |
Sum of Squares |
Df |
Mean Square |
Γ |
s⅛ |
1 Regression |
942,834 |
2 |
471,471 |
33,413 |
0,000(a) |
Residual |
1058,153 |
75 |
14,109 | ||
Total |
2000,987 |
77 | |||
Total |
2000,987 |
77 |
Berdasarkan hasil komputasi statistik, didapatkan nilai probabilitas (p) pada taraf signifikansi 5% sebesar 0,000 (p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa garis regresi dapat dipercaya untuk meramalkan kontribusi variabel bebas yaitu efikasi diri dan motivasi intrinsik dalam meprediksi variabel tergantung yaitu resiliensi, sekaligus memberi arti bahwa efikasi diri dan motivasi intrinsik memiliki peran yang signifikan terhadap resiliensi orangtua dengan anak berkebutuhan khusus pada SLB di Bali.
label 7.
Hasil Dji Regresi Berganda Nilai Koefisien Beta dan Nilai T Variabel Efikasi Diri dan Motivasi
Intrinsik Terhadap Resiliensi
Model |
Unstandardized Coefficients |
Standardized Coefficients |
t |
S⅛ | |
B |
Std. Error |
Beta | |||
1 (Constant) |
13,327 |
6,097 |
2,186 |
,032 | |
Efikasi Diri |
0,340 |
0,125 |
0,306 |
2,717 |
,008 |
Motivasi Intrinsik |
0,473 |
0,120 |
0,444 |
3,951 |
,000 |
Berdasarkan tabel 7, diketahui bahwa menunjukkan menunjukkan nilai koefisien beta terstandarisasi motivasi intrinsik lebih besar dari nilai koefisien beta terstandarisasi efikasi diri, yang memiliki arti bahwa motivasi intrinsik memiliki peran yang lebih banyak terhadap resiliensi dibandingkan efikasi diri. Efikasi diri memiliki koefisien beta sebesar 0,340, nilai t sebesar 2,717 dan signifikansi 0,008 (p<0,05), sehingga efikasi diri berperan secara signifikan terhadap efikasi diri. Motivasi intrinsik memiliki koefisien beta yang terstandarisasi sebesar 0,473, nilai t sebesar 3,951, dan signifikansi 0,000 (p<0,05), sehingga motivasi intrinsik memiliki peran secara signifikan terhdap efikasi diri. Pada hasil uji regresi berganda pada tabel 7. juga dapat memprediksi taraf resiliensi dari masing-masing subjek dengan melihat nilai konstan, beta terstandarisasi dan skor subjek. Memprediksi taraf resiliensi apabila subjek memiliki efikasi diri yang tinggi dapat dihitung dengan melakukan penambahan setiap satuan skor subjek pada skala efikasi diri maka akan terjadi kenaikan taraf resiliensi sebesar 0,340. Demikian dengan motivasi intrinsik akan terjadi kenaikan taraf resiliensi sebesar 0,473. Rangkuman hasil uji hipotesis mayor dan hipotesis minor dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 8.
Tabel 8.
Rangkuman Hasil Uji Hipotesis Penelitian _____________________________Hipotesis_______________________________________Hasil______________ 1 Hipotesis Mayor: Diterima
Efikasi diri dan motivasi intrinsik berperan terhadap resiliensi orangtua dengan anak berkebutuhan khusus pada SLB di Bali
-
2 Hipotesis Minor:
-
a. Efikasi diri berperan terhadap resiliensi orangtua Diterima
dengan anak berkebutuhan khusus pada SLB di Bali.
-
b. Motivasi intrinsik resiliensi orangtua dengan Diterima
anak berkebutuhan khusus pada SLB di Bali.
Analisis Tambahan
Analisis tambahan pada penelitian ini terdiri dari analisis untuk menguji perbedaan taraf resiliensi berdasarkan jenis kelamin.
Tabel 24.
Hasil Uji Beda BerdasarkanJenisKelamin Pada Resiliensi
Variabel |
Jenis Kelamin |
N |
Mean |
Std. Deviation |
Std. Error Mean |
RES |
Perempuan |
41 |
62,51 |
5.177 |
0,809 |
Laki-laki |
37 |
62,86 |
5.073 |
0,834 |
Laki-laki 37 62,86
Subjek berjenis kelamin laki-laki memiliki nilai rata-rata lebih tinggi daripada subjek perempuan pada variabel
resiliensi yaitu 62,86 pada laki-laki dan 62,51 pada perempuan.
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan, subjek penelitian ini adalah orangtua dengan anak berkebutuhan khusus yang berusia 7-12 tahun. Persentase subjek berusia 27-39 tahun sebanyak (46,8%) dan sisanya berusia 40-52 tahun (51,9%). Subjek dalam penelitian ini mayoritas perempuan, yaitu sebesar 52,6%. Subjek dalam penelitian ini mayoritas berpendidikan terakhir SMA yaitu sebesar 62,8%. Sisanya sarjana sebesar 19,2%, SMP sebesar 9,0%, SD sebesar 6,4% dan diploma sebesar 2,6%.
Orangtua dengan anak berkebutuhan khusus pada SLB di Bali memiliki kemampuan resiliensi karena peran yang signifikan dari efikasi diri dan motivasi intrinsik. Peran signifikan dari efikasi diri dan motivasi intrinsik dapat dilihat dari koefisien regresi sebesar 0,686, nilai F sebesar 33,413 dengan signifikansi 0,000. Koefisien determinasi pada penelitian ini memiliki nilai sebesar 0,471 yang memiliki arti bahwa efikasi diri dan motivasi intrinsik memiliki sumbangan efektif sebesar 47,1% terhadap resiliensi. Kesimpulan yang didapat adalah efikasi diri dan motivasi intrinsik secara bersama-sama dapat menjelaskan 47,1% varian resiliensi pada orangtua dengan anak berkebutuhan khusus, dan sisanya sebesar 52,9% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.
Orangtua dengan anak berkebutuhan khusus dengan efikasi diri dan motivasi intrinsik yang sangat tinggi memengaruhi dirinya dalam mengembangkan kemampuan resiliensi karena orangtua dengan anak berkebutuhan khusus mampu untuk menilai, mengatasi dan meningkatkan diri ataupun mengubah dirinya dari keterpurukan atau kesengsaraan dalam hidup (Grotberg,1995). Efikasi diri tinggi pada orangtua dengan anak berkebutuhan khusus menjadikan orangtua dengan anak berkebutuhan khusus memiliki keyakinan akan kemampuannya dalam melakukan sesuatu yang dalam hal ini adalah kondisinya orangtua dengan anak berkebutuhan khusus (Bandura, 1997). Orangtua dengan anak berkebutuhan khusus memiliki tingkat motivasi intrinsik yang tinggi dapat terdorong untuk melakukan sesuatu dan mengetahui manfaat apa yang didapat ketika melakukan suatu tugas (Nawawi, 1998).
Hasil analisis koefisien beta dari efikasi diri menunjukkan nilai sebesar 0,340 dan nilai t sebesar 2,717 dengan signifikansi 0,008 (p>0,05) memiliki arti bahwa efikasi diri memiliki peran secara signifikan terhadap resiliensi orangtua dengan anak berkebutuhan khusus pada SLB di Bali. Peran tersebut memiliki arti bahwa individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi memliki keyakinan akan kemampuannya dalam melakukan sesuatu yang dalam hal ini adalah kondisinya orangtua dengan anak berkebutuhan khusus. Individu yang memiliki keyakinan akan
kemampuannya memengaruhi bentuk tindakan yag akan mereka pilih untuk dilakukan, sebanyak apa usaha yang akan individu berikan ke dalam suatu aktivitas, selama apa individu akan bertahan dalam menghadapi rintangan dan kegagalan, serta ketangguhan individu dalam menghadapi adanya kemunduran (Bandura, 1997).
Hasil analisis koefisien beta pada motivasi intrinsik menunjukkan nilai sebesar 0, 473, nilai t sebesar 3,951, dan signifikansi 0,000 memiliki arti bahwa motivasi intrinsik berperan secara signifikan terhadap resiliensi orangtua dengan anak berkebutuhan khusus pada SLB di Bali. Peran tersebut memiliki arti bahwa individu dengan motivasi intrinsik tinggi memiliki dorongan dari dalam diri untuk melakukan suatu pekerjaan. Individu yang memiliki dorongan kuat dari dalam dirinya ini memiliki kebebasan dalam beraktivitas, memiliki perasaan efektif dalam melakukan suatu aktivitas dan individu merasa ada perasaan disayangi dan diperhatikan oleh lingkungan sekitar (Ryan & Deci, 2000).
Pada deskripsi statistik data penelitian menunjukkan bahwa resiliensi memiliki mean teoritis 47,5 dan mean empiris 62,68. Mean empiris yang didapat lebih besar dari mean teoritis (mean empiris>mean teoritis) sehingga membuktikan bahwa orangtua dengan anak berkebutuhan khusus pada SLB di Bali memiliki taraf resiliensi yang sangat tinggi. Hasil kategorisasi data resiliensi menunjukkan subjek dengan taraf resiliensi sedang memiliki presentase sebesar 1,3%, taraf resiliensi tinggi sebesar 23,1%, dan taraf resiliensi sangat tinggi sebesar 75,6. Sangat tingginya taraf resiliensi dipengaruhi oleh adanya kekuatan yang berasal dari dalam diri individu, seperti perasaan, tingkah laku dan kepercayaan yang terdapat dalam diri individu. Kekuatan ini dapat dilihat dari bagaimana individu memiliki kebanggaan terhadap diri dan perasaan dicintai. Resiliensi yang tinggi dapat dipengaruhi oleh lingkungan atau dari luar individu berupa semangat agar mandiri, role models dan adanya hubungan (Grotberg, 1995). Orangtua dengan anak berkebutuhan khusus pada SLB di Bali memiliki orang-orang sekitar yang memberikan semangat terhadap mereka dalam menjalani kehidupan. Individu dengan resiliensi tinggi mampu mengatur perasaan dan rangsangan, memiliki keterampilan dalam komunikasi dan mempunyai kemampuan dalam memecahkan masalah (Grotberg, 1995). Orangtua dengan anak berkebutuhan khusus pada SLB di Bali mampu mengatur perasaan, walaupun terdapat individu lain yang mencemooh keadaannya, mereka tetap tidak marah.
Taraf resiliensi subjek yang memiliki jenis kelamin laki-laki pada penelitian ini lebih tinggi daripada subjek perempuan yaitu sebesar 62,86. Menurut Calhoun dan Acocella (1990) perbedaan taraf resiliensi pada laki-laki dan perempuan dipengaruhi oleh keadaan biologis. Hal ini terlihat dari perbedaan fisik antara laki-laki dan perempuan. Keadaan biologis berpengaruh terhadap perbedaan perilaku antara jenis kelamin. Menurut teori seleksi alam, pembagian peran ini
cenderung mendorong perbedaan perilaku yang didasarkan pada keadaan biologis. Laki-laki lebih bersikap agresif dan bebas, sedangkan wanita lebih berperilaku sebagai pengasuh dan tinggal dirumah. Laki-laki dan perempuan memiliki pandangan yang berbeda dalam merasakan resiko. Wanita lebih mengedepankan aspek afektif dalam mengambil resiko, sedangkan laki-laki lebih mengedepankan pertimbangan kognitif dalam memandang resiko dan bahaya sebagai dari bagian hidup. Laki-laki menyelesaikan suatu masalah dengan optimis, sedangkan perempuan dengan ketidakberdayaan.
Pada deskripsi statistik data penelitian menunjukkan bahwa motivasi intrinsik memiliki mean teoritis 45 dan mean empiris 60,91. Mean empiris yang didapat lebih besar dari mean teoritis (mean empiris>mean teoritis) sehingga membuktikan bahwa orangtua dengan anak berkebutuhan khusus pada SLB di Bali memiliki motivasi intrinsik yang tinggi. Hasil kategorisasi data motivasi intrinsik menunjukkan subjek 100% memiliki motivasi intrinsik yang sangat tinggi. Sangat tingginya motivasi intrinsik yang dimiliki orangtua dengan anak berkebutuhan khusus pada SLB di Bali dipengaruhi oleh adanya kebebasan dalam melakukan aktivitas (Ryan & Deci, 2000). Hal ini mereka rasakan ketika dapat berkumpul bersama orangtua dengan anak berkebutuhan khusus lain pada saat menunggu anaknya bersekolah. Orangtua dapat menceritakan keluh kesah yang dialami pada orangtua lain dan dapat melakukan kegiatan rumah di sekolah seperti mejejaitan. Individu dengan motivasi intrinsik tinggi memiliki perasaan efektif dalam melakukan aktivitas seperti merasa mampu menghadapi keterpurukan yang dialami dan merasakan adanya perasaan disayangi dan diperhatikan oleh lingkungan sekitarnya (Ryan & Deci, 2000). Orangtua dengan anak berkebutuhan khusus pada SLB di Bali mendapatkan dukungan dari orang-orang sekitar seperti orangtua lain yang memiliki keadaan serupa. Saat orangtua berada di sekolah dan menunggu anaknya sedang sekolah, para orangtua berkumpul memiliki kelompok dan bercerita akan pengalaman dalam kehidupan. Hal ini dapat membuat orangtua dapat berbagi keluh kesah dan mendapatkan cara pemecahan masalah terhadap masalah yang dihadapi.
Pada deskripsi statistik data penelitian menunjukkan bahwa efikasi diri memiliki mean teoritis 45 dan mean empiris 60,29. Mean empiris yang didapat lebih besar dari mean teoritis (mean empiris>mean teoritis) sehingga membuktikan bahwa orangtua dengan anak berkebutuhan khusus pada SLB di Bali memiliki efikasi diri yang tinggi. Hasil kategorisasi data efikasi diri menunjukkan subjek dengan taraf efikasi diri yang sedang sebesar 1,3%, dan taraf efikasi diri yang sangat tinggi sebesar 98,7%. Sangat tingginya efikasi diri yang dimiliki orangtua dengan anak berkebutuhan khusus pada SLB di Bali dipengaruhi oleh adanya pengalaman dalam menguasai sesuatu. Pengalaman yang dimiliki oleh orangtua dengan anak berkebutuhan khusus pada SLB di Bali ini didapatkan dari
pengalaman secara langsung dan berdasarkan pengalaman tidak secara langsung. Pengalaman secara langsung ini didapat dari langsungnya orangtua menghadapi suatu kejadian keterpurukan dan menggunakan kemampuannya untuk mengatasi ataupun bertahan dalam keterpurukan. Pengalaman secara tidak langsung didapat saat adanya orangtua dengan anak berkebutuhan khusus lain yang menceritakan keluh kesahnya. Pengalaman secara tidak langsung ini terjadi ketika orangtua dengan anak berkebutuhan khusus berkumpul di teras sekolah ketika menunggu anak-anak bersekolah. Menurut Bandura (1997) pengalaman dalam menguasi sesuatu dapat meingkatkan efikasi diri individu ketika individu mampu dalam suatu tugas, namun ketika individu gagal maka sangat mungkin individu tersebut gagal dalam meningkatkan kemampuan efikasi diri. Individu yang memiliki keyakinan kuat terhadap kemampuan mereka akan teguh dalam berusaha dan tidak mempedulikan kesulitan yang dialami.
Keterbatasan yang dimiliki peneliti dalam penelitian ini adalah peneliti tidak dapat membedakan jenis kebutuhan khusus yang dialami anak dari subjek yang d`iteliti karena sebagian besar anak dari subjek belum terdiagnosa secara pasti kebutuhan khusus yang dialami. Keterbatasan ini membuat peneliti menggambarkan hasil penelitian pada orangtua dengan anak berkebutuhan khusus secara general.
Setelah melakukan prosedur analisis data penelitian, karya tulis ini telah mencapai tujuan penelitian yaitu mengetahui peran efikasi diri dan motivasi intrinsik terhadap resiliensi orangtua dengan anak berkebutuhan khusus pada SLB di Bali, mengetahui peran efikasi diri terhadap resiliensi orangtua dengan anak berkebutuhan khusus pada SLB di Bali, dan mengetahui peran motivasi intrinsik terhadap resiliensi orangtua dengan anak berkebutuhan khusus pada SLB di Bali. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa efikasi diri dan motivasi intrinsik secara bersama-sama dalam menjelaskan varian resiliensi orangtua dengan anak berkebutuhan khusus pada SLB di Bali, efikasi diri memiliki peran yang signifikan dalam menjelaskan varian resiliensi orangtua dengan anak berkebutuhan khusus pada SLB di Bali, motivasi intrinsik memiliki peran yang signifikan dalam menjelaskan varian resiliensi orangtua dengan anak berkebutuhan khusus pada SLB di Bali, Resiliensi, efikasi diri dan motivasi intrinsik orangtua dengan anak berkebutuhan khusus pada SLB di Bali tergolong sangat tinggi
Berdasarkan kesimpulan yang telah dipaparkan, maka peneliti dapat memberikan saran untuk orangtua dengan anak berkebutuhan khusus yang memiliki resiliensi sangat tinggi, diharapkan dapat mempertahankan kemampuan resiliensi yang dimiliki. Bagi orangtua yang masih memiliki resiliensi sedang dan tinggi diharapkan dapat meningkatkan kemampuannya dengan cara meningkatkan efikasi diri dan motivasi intrinsik. Orangtua yang memiliki efikasi diri dan motivasi intrinsik yang sangat tinggi diharapkan mempertahankan efikasi diri
dan motivasi intrinsik dengan cara tetap yakin terhadap kemampuan yang dimiliki untuk mengerjakan sesuatu dan memiliki dorongan atau kehendak yang kuat dalam diri untuk melakukan suatu pekerjaan atau aktivitas.
Saran untuk Pihak SLB diharapkan membuat kegiatan yang melibatkan orangtua dengan anak berkebutuhan khusus agar para orangtua dengan anak berkebutuhan khusus dapat berkumpul dan bercerita mengenai pengalaman masing-masing dalam mengasuh anak berkebutuhan khusus. Dengan ini diharapkan orangtua dengan anak berkebutuhan khusus dapat belajar dari pengalaman orangtua yang lain sehingga dapat membentuk, meningkatkan dan mempertahankan kemampuan resiliensi. Saran untuk peneliti selanjutnya yaitu peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian dengan jumlah populasi dalam penelitian ini yang tidak diketahui maka besar sampel kurang dapat dipastikan sebagai jumlah yang representative mewakili jumlah keseluruhan anggota populasi. Peneliti menyarankan agar penelitian selanjutnya menggunakan populasi dengan jumlah anggota populasi yang diketahui agar keseluruhan jumlah populasi dapat dipastikan telah terwakili oleh sampel, dapat melakukan penelitian dengan faktor-faktor yang memengaruhi resiliensi selain efikasi diri dan motivasi intrinsik untuk mengetahui seberapa besar hubungan variabel lain diyakini berpengaruh pada resiliensi, dapat merancang suatu program atau penelitian eksperimen untuk meneliti lebih lanjut efektivitas kegiatan anak berkebutuhan khusus bersama orangtua ketika di sekolah dan dapat melakukan penelitian dengan mengkategorisasikan jenis kebutuhan khusus agar mendapatkan data yang lebih spesifik mengenai reseliensi orangtua dengan anak berkebutuhan khusus.
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, S. (2013) Penyusunan skala psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Badan Pusat Statistik. (2012). Statistik anak disabilitas. Bali: BPS Prov. Bali.
Bandura, A. (1997). Self efficacy the exercise of control. New York: W.H. Freeman and Company.
Calhoun, J.C. & Accocella, J.R. (1990). Psychology of human adjustment and human relationship. New York: Mc Graw Hill.
Desmita. (2005). Psikologi perkembangan peserta didik. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi Bali. (2012). Data SLB di Bali. Bali: Disdikpora Provinsi Bali.
Feist, J & Feist G.J. (2010) Theories of personality. New York: Mc Graw Hill.
Grotberg, E. (1995). A guide to promoting resilience in children: strengthening the human spirit. Netherlands: Bernard van Leer Foundation.
Henderson, N & Milstein, M.M. (2003). Resiliency in school: making it happen for students and educators. USA: Corwin Press, Inc.
Hergenhahn, B.R & Olson, M.H. (2008). Theories of learning. USA: Pearson Education.
Ismail, M. (2008). The spirit of love, rahasia bagaimana cinta membangun hidup lebih produktif. Purwokerto: LPM Obsesi.
Kementrian Agama Republik Indonesia [Kemenag RI]. (2005). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Mangunsong, F. (1998). Psikologi pendidikan anak luar biasa. Depok: LPSP3 Universitas Indonesia.
Maulana, F.H., Hamid, D., & Mayoan, Y. (2015). Pengaruh motivasi intrinsik, motivasi ekstrinsik dan komitmen organisasi terhadap kinerja karyawan pada bank BTN kantor cabang Malang. Jurnal Administrasi Bisnis, 22(1).
Nawawi, H. (1998). Metode penelitian bidang sosial.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Papalia, D.E., Olds, S.W., & Feldman, R.D. (2009). Human development perkembangan manusia (10th ed.). Jakarta: Salemba Humanika.
Prasetyaningrum, A. (2015). Efikasi diri dan kecerdasan emosional dengan perilaku kewargaan organisasi pada pramugari pramugara maskapai X. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Bali.
Priyatno, D. (2012). Belajar praktis analisis parametrik dan non parametrik dengan SPSS. Yogyakarta: Gava Media.
Taylor, E. (2009). Psikologi sosial (2nd ed.). Jakarta: Kencana.
Rahayu, E. (2012). Hubungan antara aspek-aspek dalam motivasi belajar dengan hasil belajar kognitif biologi siswa SMA negeri 1 Karanganyar tahun pelajaran 2011/2012. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret, Jawa Tengah.
Rahmitha. (2011). Orangtua dengan anak yang berkebutuhan khusus. Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini, Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini Nonformal dan Informal Kementerian Pendidikan Nasional.
Reivich, K & Shatte, A. (2002). The resilience factor: 7 essential skill for overcoming life’s inevitable obstacle. New York: Broadway Books.
Ridho, R. (2015, 8 Oktober). Ferdi dibunuh ayah kandungnya karena malu. Sindonews.com.
http://daerah.sindonews.com/read/1051253/174/ferdi-dibunuh-ayah-kandungnya-karena-malu-1444228206. Diakses pada 15 Januari 2016 (10:35).
Ryan, R.M & Deci, E.L. (2000). Self determination theory and the facilitation of intrinsic motivation, social development, and well being. American Psychology, 55(1).
Santoso, S. (2003). Mengatasi berbagai masalah statistik dengan SPSS versi 11.5. Jakarta: PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia.
Snyder, C.R & Lopez, S. J. (2005). Handbook of positive psychology. New York: Oxford University Press.
Thompson, J. (2010). Memahami anak berkebutuhan khusus. Jakarta: Esensi.
Vallerand, R.J. (2004). Toward a hierarchical model of intrinsic and extrinsic motivation. Advances in Experimental Social Psychology, 29(1).
Wagnild, G.M & Young, H. M. (2010). Development and psychometric evaluation of resilience scale. Journal of Nursing Measurement, 1(2).
Wirawan, O.A. (2014, 9 Agustus). Rajin, gadis idiot yang dibunuh ibu kandungnya.
Beritajatim.com.http://beritajatim.com/hukum_kriminal /214553/rajin,_gadis_idiot_yang_dibunuh_ibu_kandun gnya.html. Diakses pada 15 Januari 2016 (09:53).
356
Discussion and feedback