Jurnal Psikologi Udayana

2017, Vol.4, No.2, 277- 289


Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Udayana

ISSN: 2354 5607

KONSEP DIRI GAY YANG COMING OUT Kadek Yoga Asmara, Tience Debora Valentina Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana

[email protected]

Abstrak

Homoseksual di Indonesia, khususnya gay semakin lama semakin menunjukkan keberadaannya. Gay adalah seorang laki-laki yang memiliki ketertarikan baik secara fisik dan emosional kepada laki-laki lainnya (Huegel, 2011). Masyarakat Indonesia yang sangat menjunjung tinggi budaya ketimuran memandang homoseksual sebagai fenomena yang tidak sesuai dengan norma di masyarakat. Hal tersebut membuat sebagian besar gay memilih untuk menyembunyikan identitas seksualnya. Pada kenyataannya, beberapa gay justru berani mengungkapkan identitas seksualnya karena dipengaruhi oleh berbagai faktor. Pengungkapan identitas tersebut dikenal dengan istilah coming out (Berger, 1996). Gay yang coming out pada umumnya akan mengalami berbagai penolakan, terutama dari lingkungan sosial yang kurang menerima homoseksualitas (Evans & Broido, 1999). Menurut Burn (1993), umpan balik dari lingkungan merupakan faktor yang dapat memengaruhi pembentukan konsep diri pada individu. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini difokuskan untuk membahas mengenai konsep diri gay yang coming out. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara dan observasi pada tiga gay yang coming out. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa umpan balik negatif dari lingkungan dapat membentuk konsep diri yang negatif pada individu. Begitu juga sebaliknya, individu gay membentuk konsep diri yang positif ketika lingkungannya memberikan umpan balik yang juga positif. Temuan lainnya menunjukkan bahwa umpan balik yang diterima individu dari orang yang tidak penting dalam kehidupannya tidak memengaruhi individu dalam membentuk konsep dirinya.

Kata kunci: Konsep diri, gay, coming out.

Abstract

Homosexuals in Indonesia, particularly gays, have been increasingly showing their existence. A gay is a man who has physical and emotional interest in other men (Huegel, 2011). Indonesian people that highly uphold eastern culture view homosexuality as a phenomenon which is inappropriate with the social norms. It causes the majority of gays tend to conceal their sexual identity. In fact, however, some gays, without any hesitation, disclose their sexual orientation due to the influence of several factors. The term of such identity revelation is known as coming out (Berger, 1996). Gays who are coming out generally experience various avoidances especially from the society that does not accept homosexuality well (Evans & Broido, 1999). According to Burn (1993), the feedback from social environment is a factor that affects the establishment of individual self-concept. Based on such notion, this research was focused on the discussion of self-concept of gays who are coming out. This research utilized qualitative method with phenomenology approach. The data collection was conducted by using interview and observation technique on three gays who are coming out. The result of this research showed that negative feedback from social environment can develop negative self-concept on an individual. On the contrary, a gay individual develops positive self-concept when the environment gives positive feedback. Other findings showed that the feedback gained by individuals from the people that they find insignificant in their life does not affect the development of their self-concept.

Keywords: Self-concept, gay, coming out.

LATAR BELAKANG

Keberadaan homoseksual di Indonesia dapat terlihat dari semakin banyaknya bermunculan organisasi yang bergerak dalam bidang kesejahteraan kehidupan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender). Berdasarkan laporan LGBT Nasional Indonesia pada tahun 2013, terdapat setidaknya 119 organisasi atau komunitas LGBT di 28 dari 34 provinsi di Indonesia (Oetomo & Khanis, 2013). Hal tersebut tidak lantas membuat masyarakat Indonesia dengan mudah menerima keberadaan homoseksual, karena kiblat budaya yang dianut masyarakat Indonesia adalah kebudayan timur yang menganggap homoseksual sebagai fenomena yang tidak sesuai dengan norma dan nilai di masyarakat (Rokhmah, Nafikadini, Luthviatin, & Istiaji, 2012).

Stigma masyarakat terhadap kaum homoseksual, membuat banyak homoseksual memilih untuk menyembunyikan identitasnya sebagai seorang homoseksual yang dikenal dengan istilah covert homosexual (West, 2008). Di sisi lain, ada beberapa individu homoseksual yang justru terbuka tentang orientasi seksualnya yang kemudian dikenal dengan istilah coming out (Berger, 1996). Individu homoseksual yang telah coming out akan berhadapan dengan berbagai pengalaman negatif dalam kehidupannya, salah satunya adalah dikucilkan oleh orang lain di sekitarnya (Corrigan & Alicia, 2003). Berbagai pengalaman yang dialami individu ketika berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya akan memengaruhi individu dalam membentuk persepsi tentang dirinya (Epstein dalam Dewi, 2012). Persepsi individu terhadap dirinya, mencangkup apa yang individu ketahui tentang dirinya, apa yang individu harapkan terkait dirinya serta bagaimana penilaian individu terhadap dirinya disebut dengan istilah konsep diri (Calhoun & Acocella, 1990)

Hal ini tentu juga dapat terjadi pada individu homoseksual yang telah terbuka tentang orientasi seksualnya, karena sering berhadapan dengan berbagai pengalaman negatif dalam lingkungan sosial, seperti ditolak oleh orang lain di sekitarnya (Karangora, 2012). Sesuai dengan temuan pre-eliminary study dalam penelitian ini, penolakan keluarga yang dialami responden ketika coming out membuat responden memandang dan mempersepsikan dirinya secara negatif (Asmara, 2015). Berdasarkan hasil pre-eliminary study tersebut, dapat dilihat bahwa permasalahan yang dialami oleh kaum homoseksual khususnya gay akibat dari penolakan dan belum adanya penerimaan lingkungan sosial terhadap homoseksualitas adalah kecenderungan kaum gay untuk membentuk konsep diri yang negatif.

Konsep diri atau persepsi individu terhadap dirinya merupakan hal yang penting bagi individu karena dapat memengaruhi perilaku yang dimunculkan dan kesehatan

mental individu tersebut. Individu yang memiliki persepsi negatif tentang dirinya, cenderung akan berperilaku negatif sesuai dengan persepsinya tersebut dan begitu juga sebaliknya (Sulistyorini, Prabandani & Warindrayana, 2006). Individu yang memiliki konsep diri negatif juga cenderung memiliki kesehatan mental yang kurang baik seperti merasa tertekan, terisolir dari lingkungan dan merasa hidupnya tidak bermakna (Rice & Dolgin, 2002; Sunaryo, 2004).

Pemaparan diatas menunjukkan bahwa konsep diri merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan individu, sehingga penelitian terkait konsep diri pada individu gay yang coming out dirasa penting untuk dilakukan. Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui dan menggali bagaimana konsep diri gay yang coming out.

METODE PENELITIAN

Tipe penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Metode penelitian kualitatif adalah proses penyelidikan untuk memahami permasalahan manusia dan permasalahan sosial, dimana peneliti membangun gambaran yang kompleks dan holistik, menganalisis kata-kata, melaporkan secara rinci pandangan responden terkait dengan permasalahan penelitian (Creswell, 1998). Pendekatan fenomenologi dalam penelitian kualitatif bertujuan untuk menjelaskan makna dari pengalaman hidup beberapa individu terkait dengan suatu fenomena yang dialami (Creswell, 1998).

Karakteristik responden

Penelitian ini melibatkan tiga orang responden yang memenuhi kriteria sebagai laki-laki yang telah mengidentifikasi dirinya sebagai seorang gay, berusia diatas 15 tahun dan telah melakukan coming out. Kriteria coming out yang digunakan didasarkan pada definisi Zastrow (2010) yaitu telah mengakui kepada diri sendiri dan orang lain bahwa dirinya adalah seorang gay, sementara pembatasan rentang usia responden yang digunakan berdasarkan pertimbangan teori yang dikemukakan oleh Papalia (2008), yang menyatakan bahwa individu gay baru mulai mengidentifikasi dirinya sebagai seorang gay setelah berusia 15 tahun atau lebih.

Berikut gambaran umum responden dalam penelitian ini :

Karakteristik

Responden D

Responden A

Responden G

Usia

23 tahun

19 tahun

25 tahun

Lama menjadigflt,

9 tahun

6 tahun

11 tahun

Lama coming out

5 bulan

1 tahun

6 tahun

Status cσming out

Kepada diri sendiri, ibu, bapak, kakak laki-laki dan satu rekan kerja.

Kepada satu teman sma dan tiga orang teman dekat

Kepada satu sepupu dan dua orang sahabat.

Lokasi pengumpulan data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan di daerah Denpasar. Hal ini karena seluruh responden yang terlibat dalam penelitian ini tinggal di daerah Denpasar. Kesamaan daerah tempat tinggal ini merupakan ketidaksengajaan karena lokasi penelitian tidak menjadi kriteria dalam menentukan responden penelitian.

Teknik pengumpulan data

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik wawancara dan observasi. Pelaksanaan wawancara menggunakan panduan wawancara (guidelines wawancara) yang disusun berdasarkan dimensi konsep diri menurut Calhoun & Acocella (1990). Hasil wawancara berupa rekaman suara diubah dalam bentuk teks verbatim, sedangkan hasil observasi dibuat dalam bentuk fieldnote.

Teknik analisis data

Proses analisis data dalam penelitian ini menggunakan tahapan analis data yang dikemukakan oleh Moustakas (dalam Creswell, 1998), diawali dengan menyusun deskripsi lengkap pengalaman responden, lalu memilih, menyusun dan mendata pernyataan-pernyataan responden yang signifikan dengan fenomena yang menjadi topik penelitian agar tidak berulang dan saling tumpang tindih. Langkah selanjutnya, pernyataan responden dikelompokkan menjadi “meaning units”, membuat deskripsi tekstural dari pengalaman responden disertai contoh verbatim dan deskripsi struktural dari fenomena responden. Tahap terakhir adalah membuat deskripsi menyeluruh tentang makna dan esensi dari pengalaman responden penelitian.

Teknik pemantapan kredibilitas data penelitian

Uji kredibilitas data dalam penelitian kualitatif dapat dilakukan melalui perpanjangan pengamatan, peningkatan ketekunan dalam penelitian, triangulasi, diskusi dengan teman sejawat, menggunakan bahan referensi, analisis kasus negatif maupun dengan member check (Sugiyono, 2014). Teknik pemantapan kredibilitas data penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik triangulasi dan menggunakan bahan referensi.

Isu etika penelitian

Penelitian ini menggunakan semacam kontrak sosial berupa informed consent untuk menjaga etika penelitian, yang di dalamnya tercantum deskripsi dan prosedur penelitian, kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi selama proses penelitian serta hak-hak responden selama penelitian. Informed consent yang digunakan bersifat resmi dan berlandaskan hukum serta disepakati oleh kedua belah pihak yaitu responden dan peneliti, sehingga dapat mengantisipasi

terjadinya cedera sosial baik dari sisi responden penelitian maupun peneliti itu sendiri (Herdiyansyah, 2015).

HASIL PENELITIAN

Faktor-faktor yang memengaruhi seseorang menjadi gay

Responden D mulai merasa tertarik dengan laki-laki karena senang dengan perhatian berlebih dari sesama jenis kelamin yang didapat dari paman responden. Paman responden memberi perhatian kepada responden dengan memperlakukan dirinya seperti seorang perempuan, seperti mencium dan memberikan bunga kepada responden. Serupa dengan pengalaman responden G, responden mulai tertarik dengan laki-laki karena merasa nyaman dengan perhatian berlebih yang didapat dari teman laki-laki responden saat Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama. Pada saat itu responden G diperlakukan layaknya seorang perempuan, seperti berpegangan tangan atau dipeluk oleh teman laki-lakinya. Hal tersebut membuat kedua responden nyaman sehingga selalu berusaha untuk mencari perhatian dari sosok laki-laki, yang pada akhirnya membuat responden semakin mengembangkan perilaku homoseksual.

Berbeda halnya dengan responden A. Perasaan tertarik dengan laki-laki pada responden A muncul setelah dirinya mengalami pengalaman seksual dengan seorang laki-laki ketika masih Sekolah Dasar. Responden tidak berani menolak karena takut dengan ancaman yang diberikan oleh laki-laki tersebut. Hal tersebut dialami responden selama kurang lebih satu tahun, dan semakin lama responden merasa semakin tenang, senang, terbiasa bahkan ketagihan dan merasa ada yang kurang jika laki-laki tersebut tidak melakukan pelecehan seksual kembali kepada responden.

Proses coming out

Proses coming out responden D

Responden D mulai menyadari dan mengakui bahwa dirinya adalah seorang gay ketika menginjak kelas dua dan tiga sekolah menengah pertama. Setelah menyadari dirinya adalah seorang gay, responden juga sudah pernah mencari kenalan sesama gay dengan menggunakan media sosial facebook. Pada saat ini responden sudah terbuka kepada beberapa orang terkait orientasi seksualnya. Responden D terbuka kepada keluarga yang terdiri dari ibu, bapak, kakak laki-laki dan kepada seorang teman kerjanya. Responden terbuka kepada ibunya karena ingin terbebas dari sikap ibu responden yang sering bertanya tentang ketertarikan responden dengan perempuan dan sering memarahi responden ketika mengajak teman laki-laki kerumah, yang membuat responden merasa tertekan. Respoden terbuka kepada bapak dan kakaknya karena ingin menghilangkan perasaan khawatir apabila kedua anggota keluarganya tersebut tau bahwa dirinya adalah seorang gay dari ibu responden. Lain halnya dengan

teman kerjanya, responden memutuskan untuk terbuka kepada teman kerjanya karena ingin menceritakan permasalahan yang responden alami, sehingga dapat menghilangkan sedikit beban responden.

Setelah mengetahui orientasi seksual responden, keluarga responden menolak keadaan responden sebagai seorang gay seperti memarahi responden serta tidak memberikan perhatian kepada responden. Teman kerja responden juga menolak keadaan responden, seperti sering menasehati responden untuk menjadi seorang heteroseksual.

Proses coming out responden A

Responden A mulai menyadari dirinya sebagai seorang gay ketika menginjak kelas satu sekolah menengah pertama. Responden A juga sudah pernah mencari kenalan sesama gay dan hingga saat ini responden memiliki beberapa teman dekat gay. Responden mencari kenalan gay dengan cara bergabung di berbagai grup gay di media sosial facebook. Responden merasa senang memiliki teman sesama gay yang merasakan hal yang sama dengan apa yang responden rasakan. Pada saat ini responden A baru coming out kepada satu orang teman ketika SMA yang berinisial ID, dan tiga orang teman dekatnya dari sejak SMA sampai saat ini.

Responden A terbuka kepada ID karena merasa takut dan terdesak dengan pertanyaan ID yang mencurigai bahwa responden adalah seorang gay. Hal yang sama juga menjadi alasan responden coming out kepada tiga teman responden lainnya. Kecurigaan teman responden karena sering melihat responden mengajak laki-laki menginap di kamar kontrakannya membuat teman-teman responden sering mempertanyakan orientasi seksual responden. Pada akhirnya, responden yang merasa lelah untuk selalu menghindar dan mengelak dari pertanyaan temannya memutuskan untuk coming out sebagai seorang gay.

Setelah mengetahui orientasi seksual responden, teman responden yang berinisial ID menolak keadaan responden, memarahi responden dan sampai saat ini menjauhi responden. Berbeda dengan tiga teman responden lainnya, meskipun sempat terkejut dengan pengakuan responden, ketiga teman responden masih bersikap baik dan mampu menerima keadaan responden meskipun dirinya adalah seorang gay.

Proses coming out responden G

Responden G mulai menyadari bahwa dirinya adalah seorang gay ketika memasuki kelas dua Sekolah Menengah Pertama. Setelah menyadari bahwa dirinya adalah seorang gay, responden juga sudah pernah mencari kenalan gay dengan cara bergabung di beberapa grup gay yang ada di media sosial facebook. Responden merasa senang memiliki teman sesama gay karena sering mendapatkan saran atau solusi ketika dirinya mengalami masalah terkait orientasi seksualnya. Pada saat ini responden G sudah coming out ke

beberapa orang terdekatnya, antara lain satu orang sepupu dan dua orang sahabat.

Responden G memutuskan coming out kepada seorang sepupu dan dua orang sahabatnya karena merasa lelah menyembunyikan orientasi seksualnya serta karena sepupu dan sahabat-sahabatnya tersebut memiliki hubungan yang baik dengan responden sebelum responden coming out. Segala kekurangan responden mampu diterima apa adanya oleh sepupu dan sahabatnya, sehingga hal tersebut membuat responden yakin akan diterima apa adanya dan memutuskan coming out sebagai seorang gay.

Setelah mendengar pengakuan responden G, kedua sahabat dan seorang sepupunya terkejut karena tidak percaya bahwa responden adalah seorang gay. Meskipun begitu, semakin lama kedua sahabat dan sepupu responden kembali bersikap baik kepada responden dan mampu menerima keadaan responden meskipun dirinya adalah seorang gay.

Konsep diri

Pembentukan konsep diri responden D

Sebagai seorang anak, responden merasa bahwa dirinya adalah anak yang berdosa, tidak diharapkan oleh orangtua dan tidak berguna setelah melihat umpan balik atau respon negatif dari orangtua responden setelah responden coming out sebagai seorang gay. Responden D juga memandang bahwa dirinya adalah adik yang tidak diperhatikan dan tidak dianggap oleh kakaknya sendiri, setelah melihat respon negatif dari kakak responden yang telah mengetahui bahwa responden D adalah seorang gay. Di keluarganya sendiri, responden menganggap dirinya adalah sumber masalah dan aib bagi keluarga karena sering dimarahi oleh keluarga responden. Sebagai seorang teman, responden menganggap bahwa dirinya adalah orang yang aneh, berdosa dan bersalah sebagai seorang gay melihat sikap teman kerja yang selalu meminta responden untuk tobat dan berubah menjadi heteroseksual. Sebelum coming out, responden memandang bahwa dirinya adalah orang yang ceria, banyak bicara dan mudah bersosialisasi. Setelah coming out dan melihat penolakan dari keluarga dan teman kerjanya, responden D memandang bahwa dirinya saat ini adalah orang yang pendiam dan susah bersosialisasi karena sering membatasi interaksinya dengan orang lain agar terhindar dari perasaan takut akan dihina dan dimarah oleh orang lain.

Melihat sikap keluarga responden yang cenderung negatif terhadap dirinya setelah coming out, responden berharap agar dirinya diterima apa adanya dan diperlakukan dengan baik oleh keluarga responden, meskipun dirinya adalah seorang gay. Begitu juga ketika melihat sikap teman kerja yang cenderung menolak responden sebagai seorang gay, responden D berharap dirinya diterima apa adanya dan tidak diingatkan untuk taubat atau menjadi heteroseksual,

karena responden merasa sulit untuk merubah orientasi seksualnya.

Responden D merasa bahwa dirinya saat ini belum sesuai dengan apa yang responden harapkan, karena sampai saat ini responden tidak diterima oleh keluarga dan teman sebagai seorang gay. Responden D memandang bahwa dirinya tidak mampu dan juga pernah merasa pasrah dalam mewujudkan harapannya. Kenyataan tersebut membuat responden D merasa dirinya tidak nyaman, tidak tenang, tersiksa menjalani hidup, merasa hidupnya tidak berguna, tidak mampu menerima dirinya dan pada akhirnya menyesali kehidupannya sebagai seorang gay serta ingin dilahirkan kembali menjadi seorang heteroseksual.

Pembentukan konsep diri responden A

Melihat umpan balik atau reaksi teman responden yang berinisial ID menjauhi responden setelah mengetahui responden adalah seorang gay, tidak lantas memengaruhi responden dalam membentuk pengetahuan negatif tentang dirinya. Hal ini karena bagi responden, ID bukan orang yang penting dalam kehidupan responden. Berbeda halnya ketika melihat sikap tiga teman responden lainnya yang masih baik setelah responden coming out. Responden A memandang bahwa dirinya bukanlah seorang penjahat atau orang yang aneh karena tidak dijauhi oleh teman responden meskipun dirinya adalah seorang gay. Responden juga merasa bahwa dirinya unik sebagai seorang gay, dan memandang dirinya sebagai orang yang baik karena sering membantu teman responden meskipun dirinya seorang gay. Sebelum coming out, responden A memandang bahwa dirinya adalah orang yang pendiam dan jarang bergaul dengan lingkungan sekitarnya. Setelah coming out, responden merasa ada perubahan sifat di dalam dirinya. Saat ini responden merasa bahwa dirinya lebih apa adanya, lebih terbuka, lebih berani bicara tentang gay kepada temannya yang sudah mengetahui responden adalah seorang gay dan kepada orang lain yang tidak dikenal oleh responden, meskipun responden masih takut untuk terbuka di depan orangtua atau orang yang dikenal responden yang belum mengetahui bahwa responden adalah seorang gay.

Melihat sikap ID yang menjauhi dirinya, responden A berharap agar dirinya tidak dipelakukan secara negatif meskipun dirinya adalah seorang gay. Melihat respon ketiga teman responden yang masih baik terhadap dirinya setelah mengetahui bahwa responden adalah seorang gay, responden A berharap dirinya tetap diperlakukan dengan baik dan dapat terbuka ke semua orang sehingga mampu hidup bahagia sebagai seorang gay. Responden A memandang bahwa dirinya saat ini belum sepenuhnya sesuai dengan apa yang responden harapkan, karena responden belum mampu terbuka ke semua orang tentang orientasi seksualnya. Meskipun begitu, responden A yang saat ini sudah terbuka ke beberapa orang

teman responden, merasa bahwa dirinya sudah dihargai dan diterima oleh teman responden sebagai seorang gay. Responden merasa susah untuk mewujudkan harapannya agar bisa terbuka ke semua orang terutama keluarga atau orang lain yang responden kenal karena takut dijauhi dan takut dimarahi ketika mengetahui bahwa responden adalah seorang gay. Kenyataan tersebut tidak terlalu dipikirkan oleh responden A, karena saat ini responden sudah merasa senang dan bahagia dengan dirinya meskipun baru terbuka dan diterima sebagai seorang gay oleh beberapa teman responden saja. Secara keseluruhan, responden A menilai dirinya secara positif dan dapat menerima dirinya sebagai seorang gay setelah melihat respon teman responden yang masih baik dan tidak menjauhi dirinya setelah responden A coming out.

Pembentukan konsep diri responden G

Umpan balik atau respon positif yang diterima responden G dari sahabat-sahabatnya membuat responden G memandang bahwa dirinya adalah orang yang tidak berdosa, dihargai, dan diterima apa adanya. Responden juga memandang bahwa dirinya adalah sahabat yang baik, perhatian dan tidak memalukan bagi sahabat-sahabatnya. Sikap sepupu responden yang masih baik terhadap responden G meskipun sudah mengetahui bahwa responden adalah seorang gay, membuat responden merasa bahwa dirinya diterima apa adanya dan bukanlah aib bagi sepupunya yang merupakan keluarganya sendiri. Responden G merasa bahwa sebelum coming out dirinya adalah orang yang banyak bicara, baik, dan perhatian kepada orang lain. Setelah coming out, responden G merasa bahwa dirinya sama sekali tidak mengalami perubahan dalam sifatnya, responden tetap merasa baik, perhatian dan banyak bicara. Responden G justru merasa bahwa dirinya adalah orang yang lebih baik dalam segala hal dari sebelumnya untuk membalas sikap sepupu dan sahabat responden yang masih baik kepada dirinya meskipun sudah mengetahui bahwa dirinya adalah seorang gay.

Sebelum coming out, responden G merasa bahwa dirinya kurang mampu dalam menikmati hidup karena terkadang merasa terbebani harus menutup diri dan tidak mampu terbuka sebagai seorang gay kepada orang lain. Setelah coming out, responden G merasa lebih terbuka tentang perasaan dan kehidupannya sebagai seorang gay kepada sahabat dan sepupunya, sehingga tidak lagi merasa tertekan atau terbebani sebagai seorang gay dan akhirnya membuat responden lebih mampu menikmati kehidupannya. Melihat sikap sahabat dan sepupu responden G yang masih baik terhadap dirinya setelah mengetahui responden adalah seorang gay membuat responden berharap agar dirinya tetap diterima apa adanya dan diperlakukan dengan baik oleh sahabat dan sepupunya sehingga tidak tertekan hidup sebagai seorang gay. Responden G berharap diterima sebagai seorang gay, karena menurut responden, gay bukanlah suatu dosa. Bagi responden

G, berdosa atau tidaknya seseorang dilihat dari perilaku dari orang tersebut, sehingga tidak semua gay dapat dikatakan sebagai pendosa. Harapan responden G yang lainnya adalah ingin menjadi orang yang lebih baik untuk sahabat dan sepupunya sebagai balas budi atas sikap baik sahabat dan sepupunya meskipun telah mengetahui bahwa responden adalah seorang gay.

Setelah coming out, responden G merasa bahwa dirinya sudah mendapatkan sahabat dan sepupu yang baik, perhatian dan menerima responden apa adanya, sehingga responden G tidak tertekan dan tidak merasa terbebani menjadi seorang gay. Harapan responden G yang belum terpenuhi adalah terbuka kepada semua orang. Meskipun begitu, hal tersebut tidak menjadi masalah bagi responden G, karena menurut responden harapan yang menjadi prioritasnya sudah terpenuhi dan sikap sepupu serta sahabat-sahabat responden yang masih baik dan menghargai responden meskipun dirinya adalah seorang gay. Hal tersebut membuat responden G merasa puas dan senang dengan dirinya serta tidak menilai dirinya secara negatif meskipun responden adalah seorang gay.

PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Seseorang Menjadi Gay

Rosenthal (2013) menjelaskan bahwa salah satu teori dalam perspektif psikososial yang dapat digunakan untuk mengkaji penyebab seseorang memiliki orientasi seksual homoseksual adalah teori belajar. Teori belajar memandang bahwa pada dasarnya manusia dilahirkan dengan kecenderungan biseksual, dan orientasi seksual individu kemudian berkembang, dapat menjadi heteroseksual atau justru homoseksual seiring dengan pengalaman yang dialami individu dalam kehidupannya (Jones & Lopez, 2006). Jones & Lopez (2006) lebih lanjut menyatakan bahwa reward atau imbalan menyenangkan yang diterima individu dari perilaku yang dimunculkannya, cenderung membuat individu akan mengulangi perilaku tersebut. Dalam konteks pembentukan orientasi homoseksual sendiri, ketika seorang laki-laki mendapatkan reward dari perilakunya yang lebih mengarah kepada perilaku seorang homoseksual, cenderung akan menyebabkan individu semakin mengembangkan perilaku tersebut. Sesuai dengan temuan dalam penelitian ini, responden yang merupakan seorang laki-laki ketika diperlakukan layaknya seorang perempuan oleh paman atau teman laki-laki responden dan responden mendapatkan perhatian yang membuat responden nyaman akan hal itu, cenderung membuat responden ingin mengulangi lagi pengalaman tersebut. Perilaku homoseksual responden dengan paman dan teman laki-lakinya semakin lama semakin membuat responden menyukai sosok laki-laki.

Teori belajar juga menjelaskan bahwa pengalaman menyenangkan yang dapat menyebabkan individu

mengembangkan orientasi seksual homoseksual dapat berupa pengalaman seksual sesama jenis. Individu dapat menjadi homoseksual ketika mengalami pengalaman seksual yang menyenangkan dengan seseorang dari jenis kelamin yang sama atau ketika individu mengalami pengalaman seksual yang menyakitkan dengan seseorang dari jenis kelamin berbeda (Rosenthal, 2013; Faidah & Abdulah, 2013). Sama halnya dengan responden dalam penelitian ini yang pernah mengalami pengalaman seksual sesama jenis ketika Sekolah Dasar. Responden yang awalnya merasa takut, semakin lama semakin merasa nyaman dan senang dengan hal tersebut, hingga pada akhirnya responden merasa ada yang kurang apabila dirinya tidak mengalami hal tersebut. Kenyamanan dan perasaan senang yang diperoleh responden ketika mengalami pengalaman seksual tersebut membuat responden mulai menyukai sosok laki-laki.

Proses Coming Out

Penelitian ini menemukan bahwa, meskipun responden mengalami pengalaman yang berbeda dalam menjalani proses coming out, ketiganya menunjukkan pola yang serupa dengan pendapat Zastrow (2010) terkait dengan tahapan-tahapan dalam proses coming out sebagai berikut:

Coming out to oneself

Pada tahap ini individu mulai mengidentifikasi dirinya sebagai seorang homoseksual, karena merasa bahwa dirinya tertarik secara seksual dengan sesama jenis kelamin bukan dengan lawan jenis kelamin (Zastrow, 2010). Ketiga responden dalam penelitian ini mulai mengidentifikasi dirinya sebagai seorang gay ketika memasuki usia 12 – 14 tahun. Berdasarkan teori perkembangan psikososial Erik Erikson (dalam Sokol, 2009), hal ini terjadi karena pada usia remaja, antara usia dua belas sampai dengan dua puluh empat tahun, membentuk identitas diri merupakan tugas psikososial utama bagi seorang individu dalam kehidupannya yang sering dikenal dengan istilah identity versus identity confusion. Menurut Erikson (dalam Sunaryo, 2004), pada tahap ini individu akan membentuk identitas dirinya melalui pengalaman individu di lingkungan sekitarnya. Dalam penelitian ini, pengalaman responden yang cenderung mengarah ke perilaku homoseksual, serta perasaan nyaman yang dirasakan responden dari perilaku homoseksual tersebut mengarahkan responden untuk menegaskan identitas dirinya sebagai seorang homoseksual.

Meeting and getting to know other lesbian and gay people

Pada tahap ini, individu mulai mencari dan menjalin pertemanan dengan individu lain yang memiliki orientasi seksual yang sama, mencari komunitas ataupun sistem yang mendukung orientasi seksual individu tersebut (Zastrow, 2010). Ketiga responden dalam penelitian ini sudah melalui

tahapan ini, karena ketiganya sudah mencari kenalan dan saat ini sudah memiliki beberapa teman sesama gay. Individu gay yang memiliki teman atau komunitas dengan orientasi seksual yang sama dapat memberikan berbagai manfaat bagi individu tersebut, seperti membuat dirinya merasa bebas, merasa memiliki kelekatan dengan anggota komunitas gay dan merasa senang menjadi bagian dari komunitas tersebut (Decha-ananwong, Tuicomepee & Kotrajaras, 2013). Senada dengan hasil penelitian ini, responden merasa senang memiliki teman sesama gay yang merasakan hal serupa dengan diri responden, serta tidak jarang memberikan saran dan dukungan kepada responden untuk menjalani hidupnya dengan santai meskipun sering berhadapan dengan berbagai masalah sebagai seorang gay. Berdasarkan teori dukungan sosial, ketika individu mendapatkan dukungan dari lingkungan sosialnya seperti misalnya mendiskusikan beban yang dialami dengan orang lain, dan orang lain memberikan saran atau arahan kepada individu, cenderung akan menurunkan tingkat depresi individu terhadap permasalahan yang dialaminya (Semiun, 2006).

Telling friends and relatives

Pada tahap ini individu gay mulai menyatakan orientasi seksualnya kepada orang lain di sekitarnya seperti keluarga, teman, rekan kerja atau yang lainnya (National Sexual Violence Resource Center [NSVRC] & Pennsylvania Coalition Against Rape [PCAR], 2012). Pada penelitian ini, seluruh responden telah coming out kepada orang lain di sekitarnya seperti keluarga, teman kerja, sahabat atau sepupu responden.

Penelitian ini menemukan bahwa responden D memutuskan untuk coming out agar dapat terbebas dari perasaan tertekan dengan sikap ibu yang selalu menanyakan ketertarikannya dengan perempuan, ingin terbebas dari perasaan khawatir apabila bapak dan kakak laki-lakinya mengetahui dirinya seorang gay terlebih dulu dari ibunya dan ingin terbebas dari perasaan tertekan dengan masalah keluarga sehingga memutuskan coming out kepada teman kerja untuk dapat mencurahkan isi hatinya. Pada responden A, perasaan tidak nyaman karena harus menghindar dan mengelak dari kecurigaan teman-teman responden terkait orientasi seksualnya membuat responden memutuskan untuk coming out. Sama halnya dengan responden G, perasaan tidak nyaman karena harus menutupi dan membohongi sahabat dan sepupu responden mengenai orientasi seksualnya membuat responden G memutuskan untuk coming out. Menurut Compton (2005), pada intinya setiap orang cenderung berusaha untuk merubah lingkungan atau situasi yang akan memengaruhi pengalaman individu menjadi lebih baik, untuk dapat meningkatkan subjektif well-being atau kepuasan dan kebahagiaan individu terhadap hidupnya. Individu juga cenderung akan berusaha untuk membebaskan dirinya dari emosi atau perasaan negatif agar dapat mencapai kebahagiaan

dan kepuasan terhadap kehidupannya (subjective well-being yang baik) (Diener, Suh & Oishi dalam Eid & Larsen, 2008).

Keputusan yang diambil responden untuk melakukan coming out selanjutnya berdampak pada munculnya berbagai umpan balik dari lingkungan sosial responden setelah coming out. Dalam penelitian ini, umpan balik lingkungan sosial yang dialami responden dapat dibagi menjadi dua, yaitu umpan balik yang bersifat positif dan negatif.

Umpan balik positif

Umpan balik positif dari orang lain yang diterima responden setelah coming out berupa penerimaan dan sikap baik orang lain di sekitar responden terhadap dirinya sebagai seorang gay. Meskipun sempat terkejut setelah mengetahui responden seorang gay, sahabat dan sepupu responden G, serta teman-teman responden A pada akhirnya dapat menerima keadaan responden. Hal ini terjadi karena pada awalnya, sebelum mengetahui responden adalah seorang gay, responden dengan orang-orang di sekitarnya memiliki hubungan yang baik dan telah mampu menerima kekurangannya masing-masing. Sesuai pendapat Hariyanto (2010), individu gay yang coming out cenderung akan lebih dapat diterima oleh orang lain di sekitar individu yang sebelumnya memiliki hubungan baik dan dekat dengan individu gay tersebut. Penerimaan dan sikap baik orang lain setelah responden coming out pada akhirnya membuat responden merasa hubungan responden dengan orang lain di sekitarnya menjadi semakin dekat. Sesuai dengan pernyataan NSVRC & PCAR (2012), yang menyatakan bahwa keuntungan yang dapat diterima individu homoseksual setelah melakukan coming out adalah semakin dekatnya hubungan antara individu dengan orang lain di sekitarnya.

Umpan balik negatif

Umpan balik negatif yang mungkin dialami oleh individu gay ketika melakukan coming out dapat berupa tekanan dan ketegangan di lingkungan keluarganya (Huegel, 2011). Pada penelitian ini, ketika responden D coming out kepada keluarganya, ibu responden kaget dan menangis, sedangkan bapak dan kakak laki-laki responden memarahi responden dan malu dengan keadaan responden sebagai seorang gay. Senada dengan penelitian Kircher & Ahlijah (2011) yang menemukan bahwa respon awal orangtua setelah mengetahui bahwa anaknya adalah seorang homoseksual berupa perasaan marah dan sedih. Hal ini karena orangtua menyadari bahwa anaknya tidak akan mampu menjalani kehidupan sebagai seorang heteroseksual dan sesuai dengan norma sosial yang berlaku di masyarakat. Perasaan kehilangan yang dialami orangtua setelah mengetahui anaknya adalah seorang gay, karena tidak lagi dapat muwujudkan keinginan untuk melihat anaknya menikah dan membesarkan anak seperti halnya seorang heteroseksual akan membuat orangtua

mengalami proses grieving atau berduka dalam kehidupannya (Michael, 2000). Kubler-ross (dalam Michael, 2000) menyatakan bahwa proses grieving orangtua yang memiliki anak homoseksual dimulai dari perasaan terkejut, menyangkal, sedih dan marah, meskipun pada akhirnya mampu mencapai tahap penerimaan terhadap orientasi seksual anaknya.

Sampai saat ini, responden D merasa bahwa keluarganya masih sering memarahi dan tidak memberikan perhatian kepada responden. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa orangtua responden belum mencapai tahapan terakhir dalam proses grieving yaitu menerima orientasi seksual responden. Menurut Crump (2001) hal ini terjadi karena proses grieving bukanlah proses yang dapat berlangsung secara cepat, namun membutuhkan cukup waktu untuk dapat mencapai tahap penerimaan yang merupakan tahap terakhir dalam proses ini. Didukung dengan temuan dalam penelitian ini, belum adanya penerimaan dari keluarga responden D terhadap dirinya sebagai seorang gay dapat disebabkan oleh kondisi responden yang baru coming out sekitar lima bulan sebelum wawancara. Berbeda dengan responden A yang sudah coming out sejak satu tahun yang lalu dan responden G sejak enam tahun yang lalu. Selain penolakan keluarga, umpan balik negatif yang juga dapat dialami seorang gay ketika coming out salah satunya berupa kemungkinan mengalami kekerasan atau didiskrimiasi oleh teman-temannya (HRCF, 2014). Sama halnya dengan pengalaman responden A, teman responden yang berinisial ID pada saat ini menjauhi responden setelah mengetahui bahwa dirinya adalah seorang gay.

Publicly acknowledging that one is lesbian or gay

Tahap ini merupakan tahap terakhir dalam proses coming out. Pada tahap ini, individu gay sudah mampu terbuka kepada semua orang terkait orientasi seksualnya (Zastrow, 2010). Ketiga responden dalam penelitian ini belum mencapai tahap ini karena baru coming out ke orang-orang terdekatnya saja, dan belum mampu coming out ke semua orang. Stigma yang melekat pada kaum gay dan ketakutan akan diskriminasi serta perlakuan negatif yang mungkin akan dialami menjadi alasan kenapa kaum gay tidak berani terbuka kepada semua orang tentang orientasi seksualnya (Rahardjo, 2007).

Huegel (2011) menyatakan bahwa sejauh mana individu gay berani mengungkapkan orientasi seksualnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu completely out ketika individu terbuka kepada semua orang mengenai orientasi seksualnya dan partially out ketika individu hanya terbuka kepada beberapa orang mengenai orientasi seksualnya. Berdasarkan pembahasan mengenai proses coming out yang dialami ketiga responden dalam penelitian ini, ketiga responden hanya mencapai tahapan ketiga yaitu terbuka kepada keluarga atau teman responden dan belum mampu terbuka kepada semua orang tentang orientasi seksualnya. Oleh karena itu, ketiga

responden dalam penelitian ini dapat digolongkan sebagai individu gay yang menjalani coming out dengan jenis partially out.

Penelitian ini menemukan bahwa umpan balik dari lingkungan yang diterima responden setelah coming out memengaruhi pembentukan konsep diri responden. Oleh karena itu, selanjutnya akan dibahas mengenai bagaimana responden membentuk konsep dirinya, mencangkup pengetahuan responden tentang dirinya, harapan responden terhadap dirinya serta bagaimana penilaian responden terhadap dirinya sebagai seorang gay yang coming out setelah melihat respon dari orang lain di sekitarnya.

Konsep Diri.

Konsep diri responden dalam penelitian ini dibahas berdasarkan dimensi konsep diri yang dinyatakan oleh Calhoun & Acocella (1990), mencangkup pengetahuan, harapan dan penilaian responden terhadap dirinya.

Dimensi pengetahuan

Pengetahuan individu tentang dirinya menurut Calhoun & Acocella (1990) akan membentuk gambaran diri pada individu itu sendiri. Centi (1993) selanjutnya menyatakan bahwa gambaran diri individu merupakan kesimpulan dari pandangan individu tentang peran, kepribadian dan sifat, kemampuan dan karakteristik lain dari individu itu sendiri. Oleh karena itu, pengetahuan responden tentang dirinya dalam penelitian ini akan dibahas berdasarkan pendapat Centi (1993), yaitu mencangkup pengetahuan responden tentang peran, kepribadian dan sifat, serta kemampuan diri responden.

Pandangan terhadap peran

Penelitian ini menemukan bahwa pandangan responden terhadap dirinya sama seperti bagaimana responden dipandang oleh orang lain di sekitarnya. Hal ini sesuai dengan istilah looking-glass self yang pertama kali diperkenalkan oleh Charles Horton Cooley, untuk menjelaskan bahwa pengetahuan seseorang terhadap dirinya akan sama seperti bagaimana orang lain melihat dirinya (Baumeister & Bushman, 2004). Sikap keluarga dan teman kerja responden D yang cenderung memandang dan memperlakukan responden secara negatif, membuat responden D membentuk pengetahuan yang negatif tentang dirinya sebagai seorang seorang gay.

Pada kenyataannya, tidak semua umpan balik yang diterima individu gay dari lingkungannya dapat memengaruhi individu dalam membentuk konsep dirinya (Mastuti, Winarno & Hastuti, 2012). Seperti halnya pengalaman yang dialami responden A, sikap negatif dari salah satu teman responden justru tidak memengaruhi responden dalam membentuk pandangan yang juga negatif tentang dirinya. Hal tersebut terjadi, karena bagi responden teman responden tersebut

bukan orang penting atau significant others dalam kehidupannya. Sesuai dengan penelitian Burnett & Demnar (1996) yang menemukan bahwa bagaimana seseorang melihat dan menilai dirinya lebih dipengaruhi oleh pandangan orang tersebut terhadap sikap orang lain yang merupakan significant others atau orang yang penting dalam kehidupannya.

Kembali berbicara tentang konsep looking-glass self (Baumeister & Bushman, 2004), tidak hanya umpan balik yang bersifat negatif, umpan balik positif yang diterima responden dari orang lain di sekitarnya juga memengaruhi responden dalam membentuk pengetahuan positif tentang dirinya. Sikap positif ketiga teman responden A lainnya, yang telah mengetahui responden adalah seorang gay memengaruhi responden dalam membentuk pengetahuan yang positif terhadap dirinya meskipun dirinya adalah seorang gay. Sama halnya seperti yang ditemukan pada responden G, sikap baik dari sahabat dan sepupu responden setelah responden coming out cenderung memengaruhi responden dalam membentuk pengetahuan yang cenderung positif tentang dirinya sebagai seorang gay.

Pandangan terhadap sifat dan kepribadian

Pada responden D, sebelum coming out responden memandang bahwa dirinya adalah orang yang ceria dan mudah bersosialisasi dengan orang lain di sekitarnya. Setelah coming out dan mengalami penolakan dari keluarganya, responden D memandang bahwa dirinya cenderung memiliki sifat negatif seperti pendiam, penyendiri dan sering membatasi dirinya dalam bersosialisasi dengan orang lain. Sesuai pendapat Subhrajit (2014) yang menyatakan bahwa ketakutan akan penolakan dan reaksi negatif dari orang lain, membuat individu gay memilih untuk tidak berbagi tentang kehidupannya dengan orang lain dan lebih mengisolasi dirinya. Berbeda dengan responden A, sebelum melakukan coming out, responden memandang bahwa dirinya adalah orang yang pendiam dan tertutup karena takut akan adanya penolakan dari orang lain jika responden secara tidak sengaja mengungkapkan orientasi seksualnya. Setelah coming out dan melihat sikap baik teman responden, responden A memandang dirinya lebih apa adanya dan lebih terbuka karena lebih berani berbicara terkait orientasi seksualnya sebagai seorang gay kepada tiga temannya yang sudah mengetahui hal tersebut dan kepada orang lain yang tidak dikenal oleh responden. Senada dengan pernyataan HRCF (2014), individu gay cenderung akan lebih terbuka dan lebih apa adanya tentang dirinya sebagai seorang gay setelah melakukan coming out.

Melihat sikap teman responden A yang berinisial ID, disamping karena pandangan responden A yang menganggap ID bukan merupakan orang yang penting bagi dirinya, kepribadian responden A turut memengaruhi responden untuk tidak memerdulikan sikap ID yang menjauhi dirinya. Hal ini dapat terjadi karena pada dasarnya kepribadian seseorang

dapat memengaruhi pola pikir dari orang tersebut (Sunaryo, 2004). Setyonegoro (dalam Sunaryo, 2004) menyatakan bahwa kepribadian adalah corak kebiasaan dari seorang individu dalam menanggapi rangsangan yang berasal dari luar dirinya. Responden A dalam penelitian cenderung memiliki kepribadian yang tangguh. Responden A menanggapi reaksi dari temannya yang berinisial ID dengan santai dan tidak memerdulikan sikap ID yang menolak keadaan responden sebagai seorang gay. Hal tersebut terjadi karena responden A tidak pernah merasa bersalah menjadi seorang gay.

Keadaan tersebut pada akhirnya tidak membuat responden A mengalami perubahan sifat ke arah yang negatif. Responden A tetap merasa dirinya lebih apa adanya dan lebih terbuka setelah coming out. Hal ini karena menurut Sunaryo (2004), individu yang memiliki kepribadian tangguh, seperti memiliki perasaan yang kuat terhadap identitas dirinya, cenderung lebih mampu menerima dirinya sendiri dan hal tersebut pada akhirnya menyebabkan responden tidak memerdulikan pendapat orang lain yang menilai dirinya secara negatif.

Lain halnya dengan pengalaman responden G, responden yang awalnya merasa bahwa dirinya adalah orang yang banyak bicara, baik dan perhatian, tetap memandang dirinya memiliki sifat tersebut. Responden justru merasa bahwa dirinya saat ini adalah orang yang lebih baik dari sebelumnya, setelah melihat sikap kedua sahabat dan sepupu responden G yang masih baik terhadap dirinya meskipun dirinya adalah seorang gay. Senada dengan penelitian Eva (2015) yang menemukan bahwa pada kenyataannya, meskipun memiliki orientasi seksual yang berbeda, kaum homoseksual juga mampu berbuat baik dan memiliki jiwa sosial yang tinggi.

Pandangan terhadap kemampuan dan karakteristik lainnya

Responden D memandang bahwa sebelum coming out dirinya adalah orang yang memiliki kemampuan bersosialisasi yang baik, namun setelah coming out dan melihat respon negatif orangtuanya, responden memandang dirinya kurang mampu bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. Hal tersebut terjadi karena responden dengan sengaja membatasi dirinya dalam berinteraksi dengan orang lain, agar terhindar dari sikap negatif orang lain yang mungkin akan diterima oleh responden jika diketahui sebagai seorang gay. Sejalan dengan pendapat Evans & Broido (1999) yang menyatakan bahwa setelah coming out, individu gay cenderung akan membatasi perilaku mereka untuk menghindari kondisi yang tidak aman dan karena adanya ketakutan terhadap penolakan serta tindakan kekerasan yang mungkin akan mereka alami.

Berbeda halnya dengan responden A, sebelum coming out responden memandang bahwa dirinya kurang mampu bersosialisasi dan setelah coming out responden memandang dirinya lebih mampu bersosialisasi karena mendapatkan

penerimaan dari teman-temannya sebagai seorang gay. Hal serupa juga dialami oleh responden G. Sebelum coming out, responden G memandang bahwa dirinya tidak mampu menikmati hidup dan tertekan sebagai seorang gay. Hal tersebut berubah setelah responden coming out, responden merasa bahwa dirinya lebih terbuka dan tidak tertekan karena tidak perlu lagi memendam perasaan terkait orientasi seksualnya. Hal tersebut pada akhirnya membuat responden G lebih menikmati kehidupannya sebagai seorang gay. Senada dengan penelitian Legate, Ryan & Weinstein (2012), yang menemukan bahwa individu gay yang sudah terbuka tentang orientasi seksualnya memiliki tingkat depresi yang cenderung lebih rendah.

Dimensi harapan

Calhoun & Acocella (1990) menyatakan bahwa dimensi harapan pada konsep diri terkait dengan bagaimana harapan individu terhadap dirinya sendiri. Diri yang diharapkan oleh individu sering dikenal dengan istilah ideal self, yang mencangkup diri yang sesuai dengan aspirasi atau harapan maupun nilai dan moral yang ideal bagi individu (Atwater, 1983). Melihat sikap negatif dari orangtuanya, responden D berharap agar dirinya diterima apa adanya, diberikan perhatian dan kasih sayang serta tidak diperlakukan secara negatif oleh keluarganya. Tidak hanya dari keluarga, responden D juga ingin dirinya diterima apa adanya oleh rekan kerja responden, meskipun responden sering mendapat nasehat untuk kembali menjadi heteroseksual dari rekan kerjanya tersebut. Hal ini karena responden D sudah mencoba untuk berubah menjadi heteroseksual namun sangat sulit untuk dilakukan sehingga membuat responden merasa tertekan. Pada intinya, keinginan Responden D untuk dapat diterima apa adanya sebagai upaya untuk terbebas dari perasaan tertekan yang dialami sebagai seorang gay. Sesuai dengan pendapat Kietzer (2015) yang menyatakan bahwa individu gay cenderung memerlukan dukungan dari lingkungan sosialnya untuk meningkatkan kesejahteraan diri individu itu sendiri. Hal sama juga dialami oleh responden A. Sikap salah satu teman responden yang menjauhi dirinya membuat responden A berharap agar dirinya dihargai, tidak diperlakukan secara negatif, serta mendapatkan teman yang tulus menerima responden meskipun dirinya adalah seorang gay.

Tidak hanya sikap negatif, penelitian ini menemukan bahwa sikap positif orang-orang di sekitar responden juga memengaruhi harapan responden terhadap dirinya yang pada akhirnya ikut berperan dalam membentuk konsep diri responden. Melihat respon ketiga teman responden yang masih baik setelah mengetahui bahwa dirinya adalah seorang gay, responden A berharap dirinya masih diperlakukan dengan baik dan dapat hidup bahagia sebagai seorang gay. Responden ingin menjalani hidupnya sebagai seorang gay dengan nyaman serta ingin hubungannya diakui oleh orang lain. Hal ini

menjadi harapan responden karena pada kenyataannya, di Indonesia sendiri, kehidupan bahagia bagi kelompok LGBT yaitu dengan mendapatkan rasa aman untuk menikah dan berumah tangga, bahkan dalam sekedar menjalin berhubungan sesama jenis belum dapat dirasakan sampai saat ini (Arivia & Gina, 2015).

Pada responden G, sikap baik teman dan sepupunya setelah mengetahui responden adalah seorang gay membuat responden berharap agar dirinya tetap diperhatikan, diterima apa adanya, tidak dijauhi dan tetap dianggap baik oleh sahabat dan sepupunya. Responden G bahkan berharap agar dirinya dapat menjadi orang yang lebih baik lagi bagi sahabat dan sepupunya. Hal tersebut diinginkan responden karena dirinya ingin balas budi kepada sahabat dan sepupunya yang masih mau bersikap baik kepada responden walaupun dirinya adalah seorang gay. Selain alasan tersebut, Eva (2015) menyatakan bahwa keinginan kaum homoseksual untuk bersikap baik kepada orang lain merupakan salah satu usaha untuk merubah stigma masyarakat terhadap kaum homoseksual.

Dimensi penilaian

Dimensi penilaian dalam konsep diri mencangkup penilaian individu terhadap sejauh mana dirinya saat ini telah sesuai atau justru bertentangan dengan diri yang individu harapkan (Calhoun & Acocella, 1990). Carl Rogers (dalam Richard & Thomas, 1992) menyatakan bahwa diri individu saat ini dikenal dengan istilah real self dan diri yang individu harapkan dikenal dengan istilah ideal self. Diri yang diharapkan oleh individu belum tentu sesuai dengan kenyataan diri individu saat ini. Individu yang menilai bahwa dirinya saat ini tidak sesuai dengan diri yang individu harapkan cenderung menyebabkan timbulnya konflik di dalam diri individu yang pada akhirnya membentuk kepribadian yang tidak sehat pada individu tersebut (Feist & Feist, 2010).

Penilaian individu terhadap sejauh mana dirinya telah sesuai dengan diri yang individu harapkan selanjutnya dapat membentuk perasaan harga diri (self esteem) dalam diri individu tersebut (Calhoun & Acocella, 1990). Menurut Atwater (1983), perasaan harga diri adalah sejauh mana individu merasa senang terhadap dirinya dan menganggap dirinya berharga. Roger (dalam Eysenck, 2004) menyatakan bahwa ketika individu merasa dirinya saat ini sangat berbeda dengan diri yang individu harapkan, individu tersebut cenderung akan tidak senang dan tidak menghargai dirinya sendiri. Serupa dengan pengalaman responden D. Sikap keluarga yang menolak responden sehingga harapan responden untuk diterima apa adanya sebagai seorang gay dirasa sulit untuk dicapai, pada akhirnya cenderung menyebabkan responden memiliki harga diri negatif yang ditunjukkan dalam bentuk perasaan sedih, tidak dapat menerima dirinya sebagai seorang gay, serta adanya keinginan untuk dilahirkan kembali sebagai seorang heteroseksual.

Roger (dalam Eysenck, 2004) menyatakan bahwa individu cenderung memiliki harga diri yang positif seperti senang dan menghargai dirinya ketika merasa bahwa dirinya saat ini sudah cukup sesuai dengan diri yang individu harapkan. Seperti halnya responden A, meskipun baru coming out ke beberapa temannya, sikap teman-teman responden yang masih baik terhadap dirinya walaupun sudah mengetahui bahwa dirinya adalah seorang gay, sudah cukup membuat responden senang dan bahagia dengan keadaan dirinya sebagai gay, menilai dirinya secara positif dan menerima keadaannya sebagai seorang gay, yang pada akhirnya mengarahkan responden A untuk membentuk konsep diri yang positif. Hal ini dapat terjadi karena umpan balik positif yang diterima individu homoseksual dari lingkungan sosialnya, cenderung mengarahkan individu untuk membentuk harga diri yang positif (Chrisler, Smischney & Villarruel, 2014; Vitasandy & Zulkaida, 2010).

Sama halnya pada responden G, meskipun dirinya baru coming out kepada kedua sahabat dan seorang sepupunya, responden merasa bahwa dirinya sudah mendapatkan perhatian dan diterima apa adanya sesuai dengan harapan responden. Hal tersebut dirasakan responden setelah melihat sikap dari sepupu dan sahabat-sahabat responden yang masih baik terhadap dirinya meskipun telah mengetahui bahwa dirinya adalah seorang gay. Responden saat ini juga merasa senang karena mengenal dan memiliki teman sesama gay yang menerima diri responden. Kenyataan tersebut membuat responden G merasa bahwa dirinya tidak lagi tertekan dan terbebani sebagai seorang gay, kemudian membuat responden menilai dirinya secara positif serta membentuk harga diri yang positif seperti merasa puas dan senang dengan dirinya serta tidak memandang dirinya secara negatif meskipun responden adalah seorang gay. Senada dengan penelitian Colonne & Eliana (2005) yang menemukan bahwa penerimaan lingkungan sekitar terhadap orientasi seksual individu homoseksual menyebabkan terbebasnya individu dari ketegangan dalam hubungan interpersonal dan terbebas dari perasaan tertekan.

Responden A dan responden G memandang bahwa harapan yang belum tercapai yaitu terbuka kepada semua orang terkait dengan orientasi seksualnya. Hal tersebut terjadi karena kedua responden merasa takut dengan penolakan dari orang lain jika suatu saat responden memutuskan untuk coming out ke semua orang. Meskipun begitu, bagi kedua responden hal tersebut tidak menjadi masalah, karena kedua responden sudah merasa puas dengan apa yang responden rasakan saat ini. Kedua responden merasa puas terhadap dirinya, karena sudah coming out ke beberapa orang, dan mendapatkan respon yang baik dari orang-orang tersebut, yang dianggap sebagai orang yang penting dalam kehidupan responden. Hal ini diperkuat oleh pendapat Lopez & Snyder (2003), yang menyatakan bahwa sejauh mana individu gay

menghargai dirinya sendiri sangat dipengaruhi oleh sikap dan perhatian yang diberikan figure yang dianggap penting oleh individu, atau disebut juga significant others individu tersebut.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa umpan balik yang dialami responden dari lingkungan sekitar setelah coming out sebagai seorang gay berupa respon positif seperti sikap baik dan penerimaan dari orang-orang di sekitar responden serta respon negatif seperti sikap marah, tidak memberikan perhatian dan sikap menjauhi responden. Respon negatif dari lingkungan sosial responden setelah coming out, cenderung menyebabkan responden memandang dirinya secara negatif, merasa dirinya memiliki sifat, kepribadian dan kemampuan yang cenderung negatif dan begitu juga sebaliknya. Pada intinya, sebagai seorang gay, responden berharap untuk dapat diterima apa adanya dan diperlakukan dengan baik agar tidak tertekan untuk hidup sebagai seorang gay. Responden cenderung menilai dirinya secara negatif, tidak menghargai serta tidak menerima dirinya sebagai seorang gay, ketika dirinya saat ini tidak sesuai dengan apa yang responden harapkan dan begitu juga sebaliknya. Hal lain yang dapat disimpulkan adalah sikap negatif orang di sekitar responden, yang bukan merupakan orang penting (significant others) bagi responden dalam kehidupannya tidak memengaruhi responden dalam membentuk konsep dirinya dan faktor kepribadian responden merupakan salah satu faktor yang berperan dalam pembentukan konsep diri responden.

Terdapat sejumlah saran yang diajukan dalam penelitian ini. Untuk dapat membentuk konsep diri yang positif, responden penelitian diharapkan dapat mengasah dan menonjolkan kompetensi atau hal positif yang ada di dalam diri responden, sehingga diharapkan melalui hal tersebut masyarakat mampu menerima responden dengan melihat kelebihan yang ada di dalam diri responden daripada memandang responden secara negatif sebagai seorang gay. Saran bagi keluarga individu gay diharapkan mampu membantu individu gay untuk meningkatkan kompetensi dirinya agar dapat diterima di masyarakat. Saran bagi pemerintah yaitu mengadakan berbagai macam program pelatihan peningkatan kompetensi diri bagi individu gay sehingga mampu memberikan kontribusi yang positif dalam kehidupan bermasyarakat dan dapat diterima dengan baik oleh masyarakat. Saran bagi peneliti selanjutnya diharapkan mampu mengkaji lebih mendalam terkait dengan faktor-faktor lain yang dapat memengaruhi konsep diri.

DAFTAR PUSTAKA

Arivia, G. & Gina, A. (2015). “Makna hidup” bagi LGBT ketika negara abai : Kajian queer di Jakarta. Jurnal Perempuan. 20(4), 195 – 212.

Asmara, K. Y. (2015). Konsep diri gay yang coming out (Proposal : Tidak diterbitkan). Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

Atwater, E. (1983). Psychology of adjustment (Edisi ke-2). New Jersey : Prentice Hall Inc.

Baumeister, R. & Bushman, B. (2014). Social psychology and human nature : Brief version (Edisi ke-3). USA : Cengage Learning.

Berger, R. M. (1996). Gay and gray : The older homosexual man. New York : Haworth Press.

Burnett, P. & Demnar, W. (1996). The relationship between closeness to significant others and self esteem. Journal of Family Studies. 2(2), 121 – 129.

Calhoun, J. F. & Acocella, J. R. (1990). Psychology of adjustment and human relationships (Edisi ke-3). New York : McGraw-Hill Publishing Company.

Centi, P. J. (Ed). (1993). Mengapa rendah diri?. Bekasi : Kanisius.

Chrisler, A., Smischney, T. & Villarruel, F. (2014). Promoting positive development of lesbian, gay, bisexsual and transgender youth. Research Brief : Positive Development of LGBT Youth, Department of Family Social Science. University of Minnesota.

Colonne, S. & Eliana, R. (2005).Gambaran tipe-tipe konflik intrapersonal waria ditinjau dari identitas gender. Jurnal Psikologia. (1)2, 96 – 104.

Compton, W. (2005). Introduction to positive psychology. USA : Thomson Learning.

Corrigan, P. W. & Alicia, K. M. (2003). Stigma and disclosure : Implications for coming out of the closet. Journal of Mental Health. 12(3), 235 – 248.

Creswell, J. W. (1998). Qualitative inquiry and research design choosing among five traditions. California : SAGE Publication.

Crump, N. (2001). A lifecare guide to grief and bereavement. Los Angeles : Stewart Enterprises, Inc.

Decha-ananwong, P., Tuicomepee, A. & Kotrajaras, S. (2013). Selfacceptance of sexual orientation in gay men: A consensual qualitative research. Asian Conference on Psychology & the Behavioral Science Proceedings.349 – 365.

Dewi, K. (2012). Buku ajar kesehatan mental. Semarang : UPT. UNDIP Press.

Eid, M. & Larsen, R. (2008). The science of subjective well-being. London : The Guilford Perss.

Eva, M. (2015). Kehidupan sosial lesbian dalam perspektif labeling. Sosiologique Jurnal S1 Sosiologi.(3)4. 1 – 20.

Evans, N. & Broido. (1999). Coming out in college residence halls : Negotiation, meaning making, challenges, supports. Journal of College Student Development. 40(6), 658 – 668.

Eysenck, M. (2004). Psychology : An international perspective.New York : Psychology Press.

Faidah, M. & Abdullah, H.(2013).Religiusitas dan konsep diri kaum waria. Jurnal Studi Gender Indonesia. 4(1), 1 – 14

Feist, J. & Feist, G. J. (2010). Teori Kepribadian (Edisi ke-7) (Diterjemahkan oleh : Sjahputri). Jakarta : Salemba Humanika.

Hariyanto, S. A. (2010). Komunikasi dan sosialisasi kaum gay dalam masyarakat (Studi deskriptif kualitatif tentang komunikasi dan sosialisasi kaum gay dalam pengungkapan diri pada masyarakat di Kabupaten Sragen). (Skripsi : tidak dipublikasikan). Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Herdiyansyah, H. (2015). Metodologi penelitian kualitatif untuk ilmu psikologi. Jakarta : Salemba Humanika.

Human Rights Campaign Foundation [HRCF]. (2014). A resource guide to coming out. Diunduh dari : http://hrc-assets.s3-website-us-east-

1.amazonaws.com//files/assets/resources/resource_guide_a pril_2014 .pdf, 10 April 2016.

Huegel, K. (2011). GLBTQ the survival guide for gay, lesbian, bisexual, transgender, and questioning teens. United States : Free Spirit Publishing Inc.

Jones, R. & Lopez, K. (2006). Human reproductive biology (Edisi ke-3). USA : Academic Press

Karangora, M. (2012). Hubungan antara dukungan sosial dan kualitas hidup pada lesbian di Surabaya.Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya. 1(1).

Kietzer, C. (2015). Development of self identity as lesbian, gay, bisexual, trangender. (Disertasi). Adler Graduate School, United States of America.

Kircher, J & Ahlijah, A. (2011). Developing an understanding of the experiences of parents whose child has come out of the closet. NACSW Convention Proceedings, 1 – 21

Legate, N., Ryan R. & Weinstein, N. (2012). Is coming out always a “Good Things?”: Exploring the relations of autonomy support, outness, and wellbeing for lesbian, gay and bisexual individual. Journal Social Psychological and Personality Science. 3(2), 145 – 152.

Lopez, S. J. & Snyder, C. R. (2003). Positive psychological assessment : A handbook of model and measures. Washington, DC : American Psychological Association

Mastuti, R. E., Winarno, R. D. & Hastuti, L. W. (2012). Pembentukan identitas orientasi seksual pada remaja gay. Jurnal Ilmiah Psikologi. 1(2), 194 – 197.

Michael, C. L. (2000). Lesbians, gay men, and their parents : Family therapy for the coming-out crisis. Journal Family Process. 39(1), 67 – 81.

National Sexual Violence Resource Center [NSVRC] & Pennsylvania Coalition Against Rape [PCAR]. (2012). The process of coming out : Sexual violence & individual who identify    as    LGBTQ.     Diunduh    dari     :

http://www.nsvrc.org/sites/default/files/Publications_NSVR C_Guides_Process-Coming-Out.pdf, 10 April 2016.

Papalia, D. E. (2008). Human development (Psikologi perkembangan) (Alih bahasa : Anwar, A. K.). Jakarta : Kencana Prenada Media Group.

Rahardjo, W. (2007). Sikap akan respon terhadap identitas sosial negatif dan pengungkapan orientasi seks pada gay. Jurnal Psikologi. 1(1), 90 – 96.

Rice, F.P. & Dolgin, K.G.(2002).The adolescent: Development, relationships and culture. Boston : Pearson Education Company.

Richard, P. & Thomas, M. (1992). Self-perspectives across the life span. New York : State University of New York Press.

Rokhmah, D., Nafikadini, E., Luthviatin, N. & Istiaji, E. (2012). Proses sosialisasi laki-laki suka seks dengan laki-laki (LSL) pada kalangan remaja di Kabupaten Jember. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat. 8(2), 142 – 153.

Rosenthal, M. S. (2013). Human sexuality : From cell to society. Canada : Wadsworth Cengage Learning.

Semiun, Y. (2006). Kesehatan mental 2 : Gangguan-gangguan

kepribadian,   reaksi-reaksi simtom khusus,gangguan

penyesuaian diri, anak-anak luar biasa dan gangguan mental yang berat. Yogyakarta : Kanisius.

Sokol, J. T. (2009). Identity development throughout the lifetime: An examination of Erikson theory. Graduate Journal of Counseling Psychology. 1(2), 138 – 149.

Subhrajit, C. (2014). Problem faced by LGBT people in the mainstream society : Some recommendations. International Journal of Interdisciplinary and Multidisciplinary Studies. 1(5), 317 – 331.

Sugiyono. (2014). Metode penelitian kombinasi (Mix methods). Bandung : Alfabeta.

Sulistyorini, Prabandani, R. & Warindrayana. (2006). Konsep diri positif : Menentukan prestasi anak. Yogyakarta : Pustaka Familia.

Sunaryo. (2004). Psikologi untuk keperawatan. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Oetomo, D & Khanis, S. (2013). Hidup sebagai LGBT di Asia : Laporan Nasional Indonesia (Tinjauan dan analisa partisipatif tentang lingkungan hukum dan sosial bagi orang dan masyarakat madani lesbian, gay, biseksual dan transgender).           Diunduh           dari           :

https://www.usaid.gov/sites/default/files/documents/2496/B eing_LGBT_in_Asia_Indonesia_Country_Report_Bahasa_l anguage.pdf, 3 Februari 2016.

Vitasandy, D. & Zulkaida, A. (2010). Konsep diri pria biseksual. Jurnal Psikologi. 3(2), 188 – 194.

West, D. J. (2008). Homosexuality : Its nature and causes. New Brunswick : AldineTransaction.

Zastrow, C. (2010). Introduction to social work and social welfare (Edisi ke-10). USA : Cengage Learning.

289