PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI TERHADAP KESEMPATAN KERJA (KASUS PROVINSI BALI, 2001--2011)
on
PIRAMIDA Vol. VIII No. 2 : 76 - 84
ISSN : 1907-3275
PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI TERHADAP KESEMPATAN KERJA (KASUS PROVINSI BALI, 2001--2011)
Nyoman Dayuh Rimbawan Fakultas Ekonomi Universitas Udayana, Denpasar Email: [email protected]
ABSTRACT
Job opportunities are considered as one of important targets in each phase of development process. Job opportunities are highly related to economic growth. The relation is expected to be positive, meaning that the higher the economic growth the more job available. Therefore it is important to ensure the high rate of economic growth. However, economic growth and job opportunities are not always in line, even though the economic growth is high job opportunities grow slower. Consequently, many workforces stay unemployed and increase poverty level.
During 2001 – 2011 the economy of Bali grew 5.57 percent per year in average, but job opportunities only grew 3.36 percent. Job opportunity elasticity and ILOR are the methods that can be used to describe the effect of economic growth on job opportunities creation. In the period of 2001 – 2011 the job opportunity elasticity of Bali was less than one. This means that the capability of economic growth to create job opportunities is low. ILOR rate for the period in average was less than 10.000 persons. Thus in Bali poor people are still found, about 2.3 percent per year; income distribution is also imbalanced which is shown by the increasing Gini Ratios.
The low creations of job opportunities in Bali are due to: (1) Bali economic growth is mainly supported by consumption expenditures; (2) distribution of the use of GDP is dominated by consumption expenditures (71 percent) while investment reaches only 27 percent; and (3) in each year regional budget always earns a surplus (called SiLPA) which reflects unproductive funds.
Keywords: economic growth, job opportunities, unemployment and poverty.
PENDAHULUAN
Tujuan pembangunan adalah meningkatkan kesejahteraan penduduk. Untuk mencapai tujuan ini salah satunya harus tersedia kesempatan kerja bagi semua penduduk (baca: angkatan kerja). Kesempatan kerja yang tersedia harus berkualitas, artinya, mampu memberikan pendapatan yang menjamin kehidupan para pekerja dan anggota keluarganya secara layak. Tetapi, dalam realitanya kesempatan kerja yang tersedia terbatas sehingga sejumlah angkatan kerja tidak memperoleh pekerjaan. Angkatan kerja yang disebutkan terakhir ini disebut sebagai pengangguran terbuka (open unemployment). Keterbatasan dalam kesempatan kerja juga dapat menimbulkan setengah pengangguran (under utilized), yaitu pekerja yang bekerja kurang dari jam kerja normal (< 35 jam per minggu). Setengah pengangguran bukan semata-mata mengindikasikan terbatasnya lapangan pekerjaan, tetapi sekaligus juga menunjukkan kelebihan pekerja dan pendapatan yang relatif rendah.
Pertumbuhan ekonomi biasanya dilihat dari nilai relatif atau persentase, yaitu selisih nilai PDB/PDRB tahun tertentu (t) dikurangi nilai PDB/PDRB tahun sebelumnya (t-1) dibagi dengan nilai PDB/PDRB tahun sebelumnya (t-1) dikalikan 100 persen. PDB/PDRB merupakan nilai
dari seluruh barang/jasa akhir yang diproduksi oleh suatu perekonomian selama satu periode biasanya setahun. Barang atau jasa akhir yang diproduksi memerlukan berbagai faktor produksi. Disebut sebagai faktor produksi, karena sifat kemutlakannya untuk menghasilkan barang/ jasa. Faktor produksi seperti kelompok modal yang terdiri atas mesin, gedung, tanah, bahan baku, dan peralatan lain, secara mutlak membutuhkan tenaga kerja (Thee Kian Wie, 1981). Pertumbuahn ekonomi berkaitan erat dengan produksi, artinya, makin banyak barang/jasa yang diproduksi akan diikuti oleh pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi. Di sisi lain, terdapat hubungan fungsional antara jumlah barang/jasa yang diproduksi dengan tenaga kerja. Artiny, setiap perubahan dalam jumlah produksi akan mengubah kuantitas tenaga kerja yang diperlukan. Karena perubahan dalam jumlah produksi barang/jasa mecerminkan pertumbuhan ekonomi, maka tenaga kerja yang terserap dalam proses produksi barang/jasa berkaitan erat dengan pertumbuhan ekonomi. Tetapi, seringkali pertumbuhan ekonomi dan penyerapan pekerja dalam proses produksi tidak berjalan linier. Tidak jarang terjadi pertumbuhan ekonomi yang tinggi diikuti oleh pertumbuhan kesempatan kerja yang rendah, sehingga memunculkan pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan pendapatan diantara kelompok masyarakat.
Semuanya ini akan bermuara pada kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang rendah.
Selama kurun waktu 2001--2011 ekonomi Bali tumbuh rata-rata 5,57 persen per tahun, sedangkan kesempatan kerja hanya meningkat 3,36 persen. Oleh karena demikian, pembahasan mengenai seberapa besar pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap kesempatan kerja menjadi sangat penting.
KAJIAN PUSTAKA
Sejak akhir dasawarsa 1960-an, banyak negara sedang berkembang mulai menyadari bahwa pertumbuhan (growth) tidak identik dengan pembangunan (development). Pada awal-awal pembangunannya mereka memang mampu mencapai pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi, tetapi di sisi lain masalah pengangguran, kemiskinan di perdesaan, distribusi pendapatan yang timpang, dan ketidakseimbangan strutural tidak terpecahkan (Mudrajad Kuncoro: 2000). Esmara, 1986 dalam Mudrajad Kuncoro, 2000 menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan syarat yang diperlukan (necessary) tetapi tidak mencukupi (insufficient). Semua hal di atas menjadi alasan kuat munculnya pandangan kedua mengenai pembangunan. Pandangan ini dikenal dengan istilah “pembangunan modern”. Dalam konsep pemangunan modern, pembangunan dilihat sebagai upaya pembangunan yang tidak lagi menitikberatkan pada pencapaian pertumbuhan PDB atau PDRB sebagai tujuan akhir, melainkan pengurangan (atau dalam bentuk ekstrimnya penghapusan) tingkat kemiskinan yang terjadi, mengurangi ketimpangan pendapatan, serta penyediaan lapangan kerja yang mampu menyerap angkatan kerja produktif.
Selama dekade 1970-an dan 1980-an di banyak negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia, ditemukan adanya korelasi yang negatif antara pertumbuhan ekonomi dengan kesenjangan pendapatan. Artinya, makin tinggi pertumbuhan ekonomi diikuti oleh makin melebarnya kesenjangan pendapatan antara kelompok penduduk miskin dengan kelompok penduduk kaya. Hasil studi dari Ahuja, dkk. (1997) mengenai negara-negara di Asia Tenggara, menemukan bahwa pada saat negara-negara tersebut mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada awal dekade 1990-an, distribusi pendapatannya semakin melebar (Tambunan, 2001). Tetapi, perlu dicatat bahwa ketimpangan dalam distribusi pendapatan bukan semata-mata karena pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Banyak faktor lain yang ikut berpengaruh, seperti misalnya tingkat pendidikan angkatan kerja, struktur ekspor, dan terjadinya distorsi dalam perdagangan (Tambunan, 2001).
Korelasi antara pertumbuhan dan kemiskinan tidak berbeda dengan kasus pertumbuhan dan ketimpangan pendapatan. Pada awal-awal proses pembangunan tingkat kemiskinan cenderung meningkat, dan pada saat mendekati
tahap akhir pembangunan, jumlah penduduk miskin berkurang. Tetapi, pertumbuhan ekonomi bukan satu-satunya faktor yang berpengaruh terhadap kemiskinan. Faktor lain yang berpengaruh besar terhadap kemiskinan antara lain struktur pendidikan angkatan kerja, struktur ekonomi, dan faktor kultural. Pendidikan yang rendah dari sebagain besar angkatan kerja dapat mengurangi akses mereka terhadap berbagai peluang ekonomi. Demikian juga jika struktur perekonomian masih berorientasi pada sektor primer dimana lapangan usaha pertaniannya sudah padat, berpotensi memperbanyak penduduk miskin. Karena pada lapangan usaha pertanian sering berlaku hukum pertambahan hasil yang semakin menurun, artinya penambahan faktor produksi tenaga kerja tidak mampu meningkatkan produksi secara signifikan sehingga rata-rata produktivitas per pekerja menurun. Penurunan ini berimplikasi pada makin rendahnya pendapatan para pekerja pada lapangan usaha pertanian dan akhirnya bermuara pada kemiskinan.
Deskripsi di atas menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan kesempatan kerja, pengangguran, dan kemiskinan. Todaro (1983) juga mengemukakan hal senada dimana ada hubungan yang erat antara tingkat pengangguran (pengangguran terbuka dan setengah pengangguran), luasnya kemiskinan dan penghasilan yang tidak merata. Todaro mengatakan salah satu mekanisme penting untuk mengurangi kemiskinan di negara sedang berkembang adalah memberikan upah/ bayaran yang memadai, menyediakan kesempatan kerja produktif bagi masyarakat miskin. Oleh karena itu, kesempatan kerja merupakan hal yang esensial dalam setiap strategi pembangunan yang berfokus kepada pengentasan kemiskinan. Dengan kata lain, strategi pembangunan harus berorientasi pro-job, pro-growth, dan pro-poor.
METODE KAJIAN
Ruang lingkup studi mencakup wilayah Provinsi Bali dan sepenuhnya menggunakan data sekunder hasil Sakernas (Survei Angkatan Kerja Nasional), berbagai publikasi lain yang diterbitkan baik oleh BPS (pusat dan daerah) dan lembaga pemerintah tingkat provinsi seperti Bapeda. Data yang dikumpulkan mencakup kurun waktu 2001-2011, dan dianalisis dengan menggunakan konsep ILOR (Incremental Labor Output Ratio) dan Elastisitas kesempatan kerja. ILOR dihitung dengan menggunakan rumus: ILORi = tambahan tenaga kerja (orang)/ % pertumbuhan PDRBi. Sedangkan, elastisitas kesempatan kerja menggunakan rumus: Ln Eit = Ln a + b Ln Yit, dimana Eit adalah elastisitas kesempatan kerja pada sektor i tahun ke-t; Yit adalah nilai PDRB sektor i tahun ke-t.
DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL
Angkatan kerja adalah penduduk usia 15 tahun atau lebih yang terdiri atas penduduk yang bekerja, mempunyai pekerjaan tetap tetapi sementara tidak bekerja, dan tidak mempunyai pekerjaan sama sekali tetapi mencari pekerjaan secara aktif. Dalam Sensus Penduduk jumlah angkatan kerja yang bekerja (umur ≥ 15 tahuh) sekaligus mencerminkan jumlah kesempatan kerja yang tercipta.
Pengangguran terbuka (open unemployment) adalah angkatan kerja (umur ≥ 15 tahun) yang berstatus sedang mencari pekerjaan.
Setengah pengangguran (under utilized) adalah angkatan kerja (umur ≥ 15 tahun) yang bekerja di bawah jam kerja normal (< 35 jam per minggu).
Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan (GK). GK terdiri atas dua komponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM). GKM merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kalori per kapita per hari. Sedangkan GKNM adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Paket komoditas kebutuhan dasar non-makanan diwakili oleh 51 jenis komoditas untuk daerah perkotaan dan 47 jenis komoditas untuk daerah perdesaan.
Gini ratio adalah alat yang digunakan untuk mengukur distribusi pendapatan antar kelompok masyarakat. Angka Gini Ratio bergerak mulai dari 0 s.d 1. Jika angka Gini Rasio makin mendekati 1, menggambarkan distribusi pendapatan antar kelompok masyarakat kaya dan miskin semakin timpang.
ILOR (Incremental labor output ratio) adalah menunjukkan banyaknya kesempatan kerja baru yang tercipta sebagai akibat naiknya pertumbuhan ekonomi sebesar 1,00 persen.
Elastisitas kesempatan kerja adalah imbangan antara persentase kenaikan kesempatan kerja dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi sebesar 1,00 persen.
Pertumbuhan ekonomi diukur dengan menggunakan rumus: (PDRBt – PDRBt-1)/PDRBt-1 x 100 persen, dimana PDRBt adalah nilai PDRB tahun ke-t; PDRBt-1 adalah PDRB tahun ke t-1.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja
Selama kurun waktu 2001--2011 nilai PDRB Bali dan kesempatan kerja yang tercipta semakin banyak. Tetapi jika dilihat pertumbuhannya baik PDRB atau kesempatan kerja sangat fluktuatif. Pertumbuhan PDRB bervariasi antara 3,04 – 6,48 persen dengan kecendrungan meningkat. Tetapi pertumbuhan kesempatan kerja lebih bervariasi yaitu antara (-) 1,34 – 6,62 persen dengan kecendrungan
menurun (Tabel 1). Hubungan yang berlawanan antara pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja mengindikasikan sektor-sektor kegiatan ekonomi sudah kelebihan tenaga kerja dan atau banyak proses produksi yang bersifat capital intensive.
Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja (employment) pada Tabel 1 dapat digambarkan dalam bentu grafik seperti pada Diagram 1. Dalam diagram ini tidak terlihat secara jelas pola hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja. Pertumbuhan ekonomi trend-nya meningkat, tetapi pertumbuhan kesempatan kerja sangat fluktuatif malahan tahun 2001 dan 2006 mengalami pertumbuhan yang negatif. Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai besarnya pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap kesempatan kerja digunakan konsep ILOR dan elastisitas kesempatan kerja.
Tabel 1 Perkembangan PDRB dan kesempatan kerja, Provinsi Bali, 2001-2011
Tahun |
PDRB (harga konstan 2000)1) |
Kesempatan kerja2) | ||
Milliar rupiah |
Pertumbuhan (%) |
Orang |
Pertumbuhan (%) | |
2001 |
17 879 875,31 |
3,54 |
1 583 917 |
(-)7,53 |
2002 |
18 423 860,69 |
3,04 |
1 688 841 |
6,62 |
2003 |
19 080 895,84 |
3,57 |
1 748 932 |
3,56 |
2004 |
19 963 243,81 |
4,62 |
1 835 165 |
4,93 |
2005 |
21 072 444,79 |
5,56 |
1 895 741 |
3,30 |
2006 |
22 184 679,28 |
5,28 |
1 870 288 |
(-)1,34 |
2007 |
23 497 047,07 |
5,92 |
1 982 134 |
5,98 |
2008 |
24 900 571,98 |
5,97 |
2 029 730 |
2,40 |
2009 |
26 228 275,39 |
5,33 |
2 057 118 |
1,35 |
2010 |
28 880 686,20 |
5,61 |
2 177 358 |
5,84 |
20113) |
30 753 674,05 |
6,48 |
2 204 874 |
1,26 |
Sumber: 1) Bali Dalam Angka 2002, 2006 dan 2011
2) Sakernas 2001 s/d 2011
Sumber: Tabel 1
ILOR dan elastisitas kesempatan kerja
ILOR adalah banyaknya kesempatan kerja yang tercipta untuk setiap pertumbuhan ekonomi sebesar 1,00 persen (H. F. Noor, 2007). Dengan menggunakan data petumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja periode 2000--2011, diperoleh angka ILOR untuk Bali seperti yang disajikan pada Tabel 2. Dari tabel ini terlihat perkembangan angka ILOR Bali selama periode 2001--2011 sangat fluktuatif dengan rata-rata 9.988 orang. Angka ini menunjukkan
setiap ekonomi tumbuh 1,00 persen mampu menciptakan kesempatan kerja bagi 9.988 orang pekerja.
Tabel 2 Perkembangan pertumbuhan ekonomi, tambahan kesempatan kerja dan ILOR, Bali, 2001--2011
Tahun |
Pertumbuhan ekonomi (%)1) |
Tambahan kesempatan kerja (orang)2) |
ILOR (orang) |
(1) |
(2) |
(3) |
(4) = (3):(2) |
2001 |
3,54 |
(-) 129 037 |
(-) 36 451 |
2002 |
3,04 |
104 924 |
34 514 |
2003 |
3,57 |
60 091 |
29 390 |
2004 |
4,62 |
86 233 |
18 665 |
2005 |
5,56 |
60 576 |
10 895 |
2006 |
5,28 |
(-) 25 453 |
(-) 4 821 |
2007 |
5,92 |
111 846 |
18 893 |
2008 |
5,97 |
47 596 |
7 972 |
2009 |
5,33 |
27 388 |
5 138 |
2010 |
5,61 |
120 240 |
21 433 |
2011 |
6,48 |
27 516 |
4 246 |
Rata-rata |
- |
- |
9 988 |
Sumber: 1) http://bali.bps.go.id
2)Sakernas 2001 s/d 2011 (data diolah).
Apa makna angka ILOR ini dikaitkan dengan jumlah pengangguran? Tahun 2011 misalnya di Bali tercatat jumlah penduduk yang berstatus menganggur 52.384 orang. Saat yang sama ekonomi Bali tumbuh 6,48 persen. Ini berarti, untuk mengentaskan jumlah penganggur tersebut dengan rata-rata ILOR 9.988 orang, maka, tahun 2012 ekonomi Bali harus tumbuh 5,52 persen di atas pertumbuhan tahun 2011. Dengan kata lain, tahun 2012 ekonomi Bali harus tumbuh minimal 12,00 persen (6,48 % + 5,52%). Dapat dipastikan pertumbuhan ekonomi sebesar 12,00 persen mustahil dapat dicapai oleh Bali.
Metode kedua yang dapat digunakan mengukur besarnya pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap kesempatan kerja dilihat dari koefisien elastisitas kesempatan kerja. Menurut A. Daryanto & Y. Hafizrianda (2010), salah satu cara yang dianggap baik mengukur elastisitas rata-rata sepanjang waktu historis dapat menggunakan metode regresi model double log (model log-log) dengan rumus: Ln Eit = Ln a + bLn Yit, dimana Eit adalah jumlah kesempatan kerja pada sektor i tahun ke-t, dan Yit merupakan nilai PDRB sektor i pada tahun ke-t. Elastisitas kesempatan kerja akan ditunjukkan oleh nilai koefisien regresi dari PDRB, dalam kasus ini adalah nilai b. Berdasarkan rumus di atas, dengan menggunakan Program SPSS diperoleh rata-rata elastisitas kesempatan kerja per lapangan usaha sepanjang periode 2001--2011 seperti yang disajikan dalam Tabel 3. Pada Tabel 3, terlihat secara keseluruhan rata-rata koefisien elastisitas kesempatan kerja di Bali sepanjang periode 2001--2011 adalah < 1, tepatnya 0,553. Koefisien elastisitas < 1 menunjukkan pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap penciptaan kesempatan kerja relatif rendah. Dalam kasus ini pertumbuhan ekonomi sebesar 1,00 persen hanya mampu menciptakan tambahan kesempatan kerja 0,55 persen.
Tabel 3 Rata-rata elastisitas kesempatan kerja sepanjang periode 2001-2011 menurut lapangan usaha, Bali.
No. |
Lapangan usaha |
Koefisien elastisitas kesempatan kerja |
1 |
Pertanian (dalam arti luas) |
0,316 |
2 |
Pertambangan & Galian |
0,126 |
3 |
Industri pengolahan |
0,458 |
4 |
Listrik, gas & air |
1,112 |
5 |
Bangunan |
0,623 |
6 |
Perdagangan, Hotel & Restoran |
0,632 |
7 |
Angkutan & Komunikasi |
0,412 |
8 |
Keuangan, Persewaan & Jasa perusahaan |
1,761 |
9 |
Jasa-jasa |
1,007 |
Keseluruhan |
0,553 |
Sumber: Lampiran
Jika dilihat menurut lapangan usaha, koefisien elastsitasnya sangat bervariasi. Hanya tiga dari sembilan usaha yang membentuk PDRB mempunyai kemampuan relatif besar dalam menciptakan kesempatan kerja karena koefisien elastisitasnya > 1. Tiga lapangan usaha tersebut adalah keuangan, listrik, dan jasa-jasa. Sebaliknya, enam lapangan usaha yang lain karena koefisiennya < 1 , maka, kemampuannya dalam menciptakan kesempatan kerja relatif rendah. Lapangan usaha pertanian misalnya, koefisiennya 0,316, yang berarti kenaikan PDRB lapangan usaha pertanian sebesar 1,00 persen hanya mampu meningkatkan kesempatan kerja 0,31 persen. Rendahnya koefisien elastisitas sebagian besar lapangan usaha mengakibatkan pertumbuhan kesempatan kerja relatif lambat. Akibatnya, sejumlah angkatan kerja tidak memperoleh pekerjaan (pengangguran terbuka) dan berstatus sebagai setengah pengangguran.
Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4 dalam kurun waktu 2001--2006 banyaknya pengangguran terbuka meningkat hampir tiga kali lipat, yaitu dari 46.000 orang menjadi lebih dari 120.000 orang. Kondisi ini tampaknya berkaitan dengan terjadinya ledakan bom di kawasan wisata Kuta pada tahun 2002 dan 2005. Ledakan bom ini mengakibatkan kunjungan wisatawan asing ke Bali menurun drastis sehingga industri pariwisata melemah. Banyak hotel dan pendukung prasarana pariwisata melakukan pemutusan hubungan kerja atau mengurangi jam kerja karyawannya. Melemahnya industri pariwisata berdampak negatif terhadap sektor-sektor ekonomi yang lain sehingga secara keseluruhan ekonomi Bali terpuruk. Akibatnya, pengangguran meningkat. Tetapi, setelah tahun 2006 sejalan dengan pulihnya industri pariwisata ekonomi Bali kembali bergerak kearah yang positif sehingga jumlah pengangguran menurun dan tahun 2011 hanya tinggal 52.384 orang. Tetapi, jumlah ini masih lebih banyak dibandingkan dengan tahun 2001 yang hanya 46.000 orang.
Tabel 4 |
Perkembangan pengangguran terbuka dan setengah pengangguran, Bali, 2001--2011 | |||
Tahun |
Pengangguran terbuka |
Setengah pengangguran | ||
Orang |
Persen1) |
Orang |
Persen2) | |
2001 |
46 000 |
2,82 |
618 925 |
39,05 |
2002 |
61 032 |
2,56 |
522 497 |
30,95 |
2003 |
69 975 |
2,80 |
521 609 |
29,83 |
2004 |
89 640 |
4,66 |
619 480 |
33,76 |
2005 |
106 430 |
5,32 |
540 808 |
28,53 |
2006 |
120 188 |
4,61 |
550 178 |
29,42 |
2007 |
77 577 |
2,91 |
501 265 |
25,29 |
2008 |
69 548 |
2,58 |
664 325 |
32,73 |
2009 |
66 470 |
2,44 |
556 753 |
27,06 |
2010 |
68 791 |
2,37 |
525 500 |
24,13 |
2011 |
52 384 |
2,32 |
540 633 |
24,52 |
Rata-rata |
75 276 |
3,21 |
560 179 |
25,96 |
Sumber: Sakernas 2001 s.d 2011
Catatan: 1)Persentase terhadap total angkatan kerja. 2)Persentase terhadap angkatan kerja yang bekerja.
Penduduk miskin dan Gini Rasio
Masalah lain yang dihadapi Bali di bidang ketenagakerjaan adalah banyaknya setengah pengangguran. Pada Tabel 4 terlihat rata-rata setiap tahun jumlahnya lebih dari 560.000 orang atau sekitar 25,00 persen dari seluruh angkatan kerja yang bekerja. Setengah penangguran bukan semata-mata menunjukkan jam kerja yang pendek, tetapi sekaligus juga mencerminkan perekonomian sudah kelebihan pekerja dan pendapatan yang relatif rendah. Kondisi ini berpotensi memunculkan penduduk miskin dan distribusi pendapatan yang kurang merata.
Tabel 5 Perkembangan jumlah penduduk miskin dan angka Gini Rasio, Bali, 2001--2011
Tahun |
Penduduk miskin |
Angka Gini Rasio | |
Orang |
Persen | ||
2001 |
248.400 |
7,87 |
0,2919 |
2002 |
221.800 |
6,89 |
0,2966 |
2003 |
246.100 |
7,34 |
0,2607 |
2004 |
231.900 |
6,85 |
0,2669 |
2005 |
228.400 |
6,72 |
0,3284 |
2006 |
243.500 |
7,08 |
0,3046 |
2007 |
229.100 |
6,63 |
0,2788 |
2008 |
215.700 |
6,17 |
0,3104 |
2009 |
181.700 |
5,13 |
0,2907 |
2010 |
174.900 |
4,88 |
0,3195 |
20111) |
183.100 |
4,59 |
0,3820 |
Sumber: http://bali.bps.go.id
1)http://bali-bisnis.com/index.php/warga-bali-semakin-miskin/
Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 5, selama periode 2006--2010 jumlah penduduk miskin semakin menurun, tetapi tahun 2011 jumlahnya meningkat secara absolut dari 174.900 menjadi 183.100, namun dari persentase turun menjadi 4,59 persen dibandingkan tahun sebelumnya (4,88 persen). Secara keseluruhan selama kurun waktu 2001--2011, jumlah penduduk miskin di Bali menunjukkan trend yang menurun. Tetapi, di sisi lain angka Gini Rasio dalam kurun waktu yang sama cenderung meningkat. Ini berarti, kendatipun jumlah penduduk miskin sudah semakin berkurang, tetapi distribusi pendapatan antara penduduk miskin dan kaya semakin melebar. Hal ini menjadi indikasi bahwa proses pembangunan kurang pro-
poor, tetapi pro-growth.
Pemahaman tentang kemiskinan tidak hanya terbatas pada berapa jumlah dan persentase penduduk miskin. Dimensi lain yang juga perlu diperhatikan adalah tingkat kedalaman kemiskinan (P1) dan tingkat keparahan kemiskinan (P2). Kebijakan penanggulangan kemiskinan di samping harus diarahkan untuk mengurangi jumlahnya sekaligus juga mengurangi kedalaman dan keparahannya. Periode 2007--2011 Indeks P1 dan P2 di Bali makin kecil (Tabel 6). Ini berarti, rata-rata pengeluaran penduduk miskin semakin meningkat mendekati Garis Kemiskinan (GK) dan rata-rata perbedaan/ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin semakin menyempit. Tetapi, jika dilihat menurut desa-kota baik indeks P1 atau P2, angkanya berbeda. Kadang-kadang di kota lebih besar dibandingkan dengan di desa, atau sebaliknya. Tetapi, tahun 2011, baik untuk P1 atau P2 angkanya lebih besar di perkotaan. Ini mengindikasikan pengeluran rata-rata penduduk miskin di perkotaan makin menjauhi GK dibandingkan dengan penduduk miskin di perdesaann. Demikian juga dari sisi pemerataan, pengeluaran di antara penduduk miskin diperkotaan lebih timpang dibandingkan dengan di perdesaan. Dengan kata lain, tahun 2011 kondisi penduduk miskin di perkotaan lebih jelek dibandingkan dengan di perdesaan.
Tabel 6 |
Indeks Kedalaman (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Provinsi Bali Tahun 2007--2011 | |||||
Tahun |
Indeks Kedalaman Kemiskinan(P1) Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) | |||||
Kota |
Desa |
Kota+Desa |
Kota |
Desa |
Kota+Desa | |
2007 |
0.98 |
0.87 |
0.94 |
0.27 |
0.18 |
0.23 |
2008 |
0.74 |
0.98 |
0.84 |
0.15 |
0.22 |
0.18 |
2009 |
0.77 |
0.70 |
0.74 |
0.20 |
0.13 |
0.17 |
2010 |
0.52 |
0.96 |
0.71 |
0.09 |
0.22 |
0.14 |
2011 |
0.76 |
0.52 |
0.66 |
0.20 |
0.09 |
0.16 |
Sumber |
: Bali Dalam Angka 2012 (berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional -Maret |
Data pada Tabel 2 menunjukkan selama kurun waktu 2001--2011, pertumbuhan ekonomi Bali mencapai puncaknya pada tahun 2011, yaitu sebesar 6,48 persen. Padahal, tahun-tahun sebelumnya pertumbuhannya dibawah 6,00 persen, yaitu bervariasi antara 3,04 – 5,92 persen. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi ini diikuti oleh menurunnya angka pengangguran terbuka, tetapi di sisi lain jumlah setengah mengangguran semakin banyak, dan hal ini bermuara pada makin meningkatnya penduduk miskin serta makin melebarnya jurang pendapatan antara penduduk kaya dan miskin. Hal ini mengindikasikan pertumbuhan ekonomi yang kurang berkualitas. Pembangunan lebih berorientasi pada pertumbuhan atau pro-growth.
Mengapa pertumbuhan ekonomi Bali rendah?
Banyak faktor yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi Bali relatif rendah, antara lain karena hal-hal berikut. Pertama, dari aspek penggunaan Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB), dari tahun ke tahun didominasi oleh pengeluaran konsumsi, bukan pengeluaran untuk investasi. Tahun 2011 dari seluruh nilai PDRB, pengeluaran untuk konsumsi (konsumsi rumah tangga, lembaga swasta nirlaba, dan pemerintah) hampir mencapai 71,00 persen. Sebaliknya, proporsi pengeluaran untuk investasi (baca: Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto) jauh lebih rendah, yaitu hanya 27,00 persen. Dampak pengeluaran konsumsi terhadap pertumbuhan ekonomi relatif lemah dan bersifat jangka pendek, sedangkan pengeluaran investasi dapat menopang pertumbuhan ekonomi jangka panjang dan mempunyai dampak pengganda (multiplier effect) jauh lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran konsumsi.
Kedua, dari segi kebijakan anggaran. Dari aspek pengeluaran, struktur APBD semua kabupaten/kota di Bali termasuk Provinsi Bali sebagian besar untuk belanja tak langsung, yang didominasi untuk belanja pegawai termasuk uang representasi dan tunjangan pimpinan/anggota DPRD serta kepala daerah/wakilnya. Sedangkan, untuk belanja langsung, yaitu belanja yang dianggarkan terkait langsung dengan kegiatan program seperti belanja barang/ jasa dan belanja modal, menempati proporsi besar kedua. Proporsi besar ketiga untuk pembiayaan daerah dalam APBD 2010, total pengeluaran untuk belanja tak langsung dari semua kabupaten/kota di Bali hampir mencapai 71,00 persen. Sedangkan, untuk belanja langsung hanya sekitar 27,00 persen dan sisanya (± 2,00 persen) untuk pembiayaan daerah seperti pembentukan dana cadangan, penyertaan modal pemerintah daerah, pemberian pinjaman daerah, dan pembayaran pokok hutang. Perlu dicatat bahwa dari seluruh belanja langsung tersebut, paling banyak digunakan untuk belanja barang dan jasa (55,00 persen), sedangkan untuk belanja modal hanya sekitar 36,00 persen. Sisanya, (9,00 persen) untuk honorarium/uang lembur pegawai yang berkaitan dengan kegiatan program. Struktur belanja modal seperti ini kurang mendukung pertumbuhan ekonomi karena didominasi oleh belanja barang dan jasa, bukan untuk untuk belanja modal.
Ketiga, penyusunan RAPBD yang kurang cermat. Hal ini dapat dilihat dari pos pembiayaan daerah dimana salah satu komponennya berupa sisa lebih perhitungan anggaran tahun lalu (SiLPA) sebagai salah satu sumber penerimaan daerah. Selain SiLPA yang termasuk dalam pembiayaan daerah adalah transfer dari dana cadangan, penerimaan pinjaman, dan obligasi. Tahun anggaran 2010 besarnya pembiayaan daerah untuk seluruh kabupaten/ kota se-Bali sekitar 11,00 persen (setara dengan Rp.748 milliar) dari total penerimaan. Sebagian besar dari pembiayaan daerah tersebut berupa SiLPA. Besarnya SiLPA mencerminkan banyaknya uang yang mengendap dalam tahun anggaran sebelumnya, sehingga mengurangi kemampuan APBD menggerakkan aktivitas perekonomian dalam tahun anggaran yang bersangkutan. Akibatnya, kemampuan APBD dalam mendorong pertumbuhan
ekonomi berkurang.
Provinsi Bali akan sulit untuk mengentaskan pengangguran (terbuka atau tersembunyi) karena di samping pertumbuhan ekonominya relatif rendah (dibawah rata-rata nasional), pertumbuhan tersebut lebih banyak merupakan kontribusi sektor non-tradable dibandingkan sektor tradable. Padahal, penyerapan pekerja oleh sektor tradable (pertanian, industri, dan pertambangan & galian) lebih besar dibandingkan sektor non-tradable (hotel, perdagangan, restoran, keuangan, transportasi dll.). Tahun 2011 misalnya, ekonomi Bali tumbuh 6,48 persen. Tetapi, kontribusi dari sektor tradable terhadap pertumbuhan hanya 12,8 persen, selebihnya, (87,2 persen) merupakan kontribusi dari sektor non-tradable.
SIMPULAN DAN SARAN
Struktur APBD yang lebih banyak untuk belanja tak langsung dan distribusi penggunaan PDRB yang didominasi untuk konsumsi, serta pertumbuhan yang lebih banyak didorong oleh sektor non-tradable mengakibatkan pertumbuhan ekonomi Bali relatif rendah, sehingga kesempatan kerja yang tercipta juga rendah. Dalam jangka panjang proporsi belanja investasi (belanja modal) harus diperbesar. Konsekwensinya, proporsi belanja pegawai harus dikurangi. Pengurangan belanja pegawai dapat dilakukan dengan melakukan analisis mengenai kebutuhan personil, baik di lihat dari aspek kuantitatif ataupun kualitatif. Sekarang ini ada indikasi seluruh kabupaten/kota di Bali, termasuk provinsi, disamping postur birokrasinya relatif gemuk, juga kurang match-nya antara kualifikasi tenaga yang tersedia dengan yang dibutuhkan. Pengurangan secara bertahap proporsi belanja pegawai harus diikuti pengeluaran yang semakin besar untuk belanja langsung (baca: belanja modal). Dengan demikian, diharapkan pertumbuhan ekonomi dapat dipacu lebih tinggi, sehingga dapat menciptakan kesempatan kerja yang lebih banyak sekaligus untuk mengurangi/ mengentaskan kemiskinan.
DAFTAR PUSTAKA
............, 2002. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia, Agustus 2001. Badan Pusat Statistik: Jakarta-Indonesia.
............, 2003. Bali Dalam Angka 2002. Badan Pusat Statisitik Provinsi Bali: Denpasar.
............, 2003. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia, Agustus 2002. Badan Pusat Statistik: Jakarta-Indonesia.
............, 2004. Keadaan Angkatan Kerja di Provinsi Bali, Agustus 2003. Badan Pusat Statistik: Jakarta-Indonesia.
............, 2005. Bali Dalam Angka 2004/2005. Denpasar: Badan Pusat Statistik Provinsi Bali.
............, 2005. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia, Agustus 2004. Badan Pusat Statistik: Jakarta-Indonesia.
............, 2006. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia, Agustus 2005. Badan Pusat Statistik: Jakarta-Indonesia.
............, 2007. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia, Agustus 2006. Badan Pusat Statistik: Jakarta-Indonesia.
............, 2007. Bali Dalam Angka 2006. Badan Pusat Statisitik Provinsi Bali: Denpasar.
............, 2008. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia, Agustus 2007. Badan Pusat Statistik: Jakarta-Indonesia.
............, 2009. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia, Agustus 2008. Badan Pusat Statistik: Jakarta-Indonesia.
............, 2010. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Bali 2005-2009. Denpasar:
............, 2010. Berita Resmi Statistik, No. 29/07/51/Th.IV,1 Juli 2010. Badan Pusat Statistik Provinsi Bali: Denpasar.
............, 2010. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia, Agustus 2009. Badan Pusat Statistik: Jakarta-Indonesia.
............, 2011. Bali Dalam Angka 2011. Badan Pusat Statisitik Provinsi Bali: Denpasar.
............, 2011. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia, Agustus 2010. Badan Pusat Statistik: Jakarta-Indonesia.
............, 2012. Bali Dalam Angka 2012. Badan Pusat Statisitik Provinsi Bali: Denpasar.
............, 2012. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia, Agustus 2011. Badan Pusat Statistik: Jakarta-Indonesia.
Arief Daryanto & Yundy Hafizrianda.2010. Model-Model Kuantitatif Untuk Perencanaan Pembangunan Ekonomi Daerah: Konsep dan Aplikasi. Bogor: IPB Press.
Bappeda Provinsi Bali & Badan Pusat Statistik Provinsi Bali.
H. F. Noor. 2007. Ekonomi Manajerial . Jakarata: PT Radja Grafindo Persada.
http://bali-bisnis.com/index.php/warga-bali-semakin-miskin/
http://www.tempo.co.id/hg//2008/08/28/brk,20080828-13269.....
Mudrajad Kuncoro. 2000. Ekonomi Pembangunan, Teori, Masalah dan Kebijakan. Yogyakarta: UPP STIM YKPN
Thee Kian Wie. 1981. Pembangunan Ekonomi dan Pemerataan.
Jakarata: LP3ES.
Todaro, M. P. 1983. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, buku 1 (terjemahan). Jakarta: Ghalia Indonesia.
Tulus T. H. Tambunan. 2001. Perekonomian Indonesia, Teori dan Temuan Emperis. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Lampiran
Regression
Variables Entered/Removedb
Model |
Variables Entered |
Variables Removed |
Method |
1 |
lnpertaa |
. |
Enter |
a. All requested variables entered.
b. Dependent Variable: lnpperta
Model Summary
Model |
R |
R Square |
Adjusted R Square |
Std. Error of the Estimate |
1 |
,346a |
,120 |
,022 |
,11653 |
a. Predictors: (Constant), lnperta
ANOVAb
Model |
Sum of Squares |
df |
Mean Square |
F |
Sig. |
1 Regression |
,017 |
1 |
,017 |
1,224 |
,297a |
Residual |
,122 |
9 |
,014 | ||
Total |
,139 |
10 |
a. Predictors: (Constant), lnperta b. Dependent Variable: lnpperta
Coefficientsa
Model |
Unstandardized Coefficients B Std. Error |
Standardized Coefficients Beta |
t |
Sig. |
1 (Constant) lnperta |
8,509 4,393 ,316 ,286 |
,346 |
1,937 1,106 |
,085 ,297 |
a. Dependent Variable: lnpperta
Regression
Model Summary
Model |
R |
R Square |
Adjusted R Square |
Std. Error of the Estimate |
1 |
,042a |
,002 |
-,109 |
,58748 |
a. Predictors: (Constant), lntambang
ANOVAb
Model |
Sum of Squares |
df |
Mean Square |
F |
Sig. |
1 Regression |
,005 |
1 |
,005 |
,016 |
,903a |
Residual |
3,106 |
9 |
,345 | ||
Total |
3,112 |
10 |
a. Predictors: (Constant), lntambang b. Dependent Variable: lnptambang
Coefficientsa
Model |
Unstandardized Coefficients |
Standardized Coefficients |
t |
Sig. | |
B |
Std. Error |
Beta | |||
1 (Constant) lntambang |
7,609 ,126 |
11,958 1,007 |
,042 |
,636 ,125 |
,540 ,903 |
a. Dependent Variable: lnptambang
Regression
Variables Entered/Removedb
Model |
Variables Entered |
Variables Removed |
Method |
1 |
lnindustria |
. |
Enter |
a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: lnpindusri
Variables Entered/Removedb
Model |
Variables Entered |
Variables Removed |
Method |
1 |
lntambanga |
. |
Enter |
a. All requested variables entered.
b. Dependent Variable: lnptambang
Model Summary
Model |
R |
R Square |
Adjusted R Square |
Std. Error of the Estimate |
1 |
,633a |
,401 |
,334 |
,12031 |
-
a. Predictors: (Constant), lnindustri
ANOVAb
Model |
Sum of Squares |
df |
Mean Square |
F |
Sig. |
1 Regression |
,168 |
1 |
,168 |
28,359 |
,000a |
Residual |
,053 |
9 |
,006 | ||
Total |
,221 |
10 |
a. Predictors: (Constant), lnPHR b. Dependent Variable: lnpphr
ANOVAb
Model |
Sum of Squares |
df |
Mean Square |
F |
Sig. |
1 Regression |
,087 |
1 |
,087 |
6,026 |
,036a |
Residual |
,130 |
9 |
,014 | ||
Total |
,217 |
10 |
a. Predictors: (Constant), lnindustri
b. Dependent Variable: lnpindusri
Coefficientsa
Model |
Unstandardized Coefficients |
Standardized Coefficients |
t |
Sig. | |
B |
Std. Error |
Beta | |||
1 (Constant) |
3,076 |
1,871 |
1,644 |
,135 | |
lnPHR |
,632 |
,119 |
,871 |
5,325 |
,000 |
a. Dependent Variable: lnpphr
Coefficientsa
Model |
Unstandardized Coefficients |
Standardized Coefficients |
t |
Sig. | |
B |
Std. Error |
Beta | |||
1 (Constant) |
5,784 |
2,727 |
2,121 |
,063 | |
lnindustri |
,458 |
,187 |
,633 |
2,455 |
,036 |
a. Dependent Variable: lnpindusri
Regression
Variables Entered/Removedb
Regression
Variables Entered/Removedb
Model |
Variables Entered |
Variables Removed |
Method |
1 |
lnangkuta |
. |
Enter |
-
a. All requested variables entered.
-
b. Dependent Variable: lnpangkuat
Model
Variables Entered
Variables Removed
Method
1
lnbanguna
.
Enter
-
a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: lnpbangun
Model Summary
Model |
R |
R Square |
Adjusted R Square |
Std. Error of the Estimate |
1 |
,629a |
,396 |
,329 |
,11183 |
-
a. Predictors: (Constant), lnangkut
Model Summary
Model |
R |
R Square |
Adjusted R Square |
Std. Error of the Estimate |
1 |
,785a |
,617 |
,574 |
,09577 |
-
a. Predictors: (Constant), lnbangun
ANOVAb
Model |
Sum of Squares |
df |
Mean Square |
F |
Sig. |
1 Regression |
,074 |
1 |
,074 |
5,903 |
,038a |
Residual |
,113 |
9 |
,013 | ||
Total |
,186 |
10 |
a. Predictors: (Constant), lnangkut
b. Dependent Variable: lnpangkuat
ANOVAb
Model |
Sum of Squares |
df |
Mean Square |
F |
Sig. |
1 Regression |
,133 |
1 |
,133 |
14,486 |
,004a |
Residual |
,083 |
9 |
,009 | ||
Total |
,215 |
10 |
a. Predictors: (Constant), lnbangun b. Dependent Variable: lnpbangun
Coefficientsa
Model |
Unstandardized Coefficients |
Standardized Coefficients |
t |
Sig. | |
B |
Std. Error |
Beta | |||
1 (Constant) |
5,206 |
2,497 |
2,085 |
,067 | |
lnangkut |
,412 |
,170 |
,629 |
2,430 |
,038 |
a. Dependent Variable: lnpangkuat
Coefficientsa
Model |
Unstandardized Coefficients |
Standardized Coefficients |
t |
Sig. | |
B |
Std. Error |
Beta | |||
1 (Constant) |
3,276 |
2,241 |
1,462 |
,178 | |
lnbangun |
,623 |
,164 |
,785 |
3,806 |
,004 |
a. Dependent Variable: lnpbangun
Regression
Regression
Variables Entered/Removedb
Model |
Variables Entered |
Variables Removed |
Method |
1 |
lnuanga |
. |
Enter |
-
a. All requested variables entered.
Variables Entered/Removedb
b. Dependent Variable: lnpuang
Model
Variables Entered
Variables Removed
Method
1
lnPHRa
.
Enter
Model Summary
-
a. All requested variables entered.
-
b. Dependent Variable: lnpphr
Model
R
R Square
Adjusted R Square
Std. Error of the Estimate
1
,785a
,617
,574
,25634
-
-
a. Predictors: (Constant), lnuang
Model Summary
Model |
R |
R Square |
Adjusted R Square |
Std. Error of the Estimate |
1 |
,871a |
,759 |
,732 |
,07686 |
-
a. Predictors: (Constant), lnPHR
ANOVAb
Model |
Sum of Squares |
df |
Mean Square |
F |
Sig. |
1 Regression Residual Total |
,952 ,591 1,544 |
1 9 10 |
,952 ,066 |
14,495 |
,004a |
a. Predictors: (Constant), lnuang b. Dependent Variable: lnpuang
Coefficientsa
Model |
Unstandardized Coefficients |
Standardized Coefficients |
t |
Sig. | |
B |
Std. Error |
Beta | |||
1 (Constant) |
-14,513 |
6,619 |
-2,193 |
,056 | |
lnuang |
1,761 |
,462 |
,785 |
3,807 |
,004 |
a. Dependent Variable: lnpuang
Regression
Regression
Variables Entered/Removedb
Model |
Variables Entered |
Variables Removed |
Method |
1 |
lnlistrika |
. |
Enter |
-
a. All requested variables entered.
-
b. Dependent Variable: lnplistrik
Variables Entered/Removedb
Model |
Variables Entered |
Variables Removed |
Method |
1 |
lnjasaa |
. |
Enter |
-
a. All requested variables entered.
-
b. Dependent Variable: lnpjasa
Model Summary
Model |
R |
R Square |
Adjusted R Square |
Std. Error of the Estimate |
1 |
,461a |
,213 |
,125 |
,47028 |
-
a. Predictors: (Constant), lnlistrik
Model Summary
Model |
R |
R Square |
Adjusted R Square |
Std. Error of the Estimate |
1 |
,916a |
,839 |
,821 |
,08589 |
ANOVAb
Model |
Sum of Squares |
df |
Mean Square |
F |
Sig. |
1 Regression |
,537 |
1 |
,537 |
2,430 |
,153a |
Residual |
1,990 |
9 |
,221 | ||
Total |
2,528 |
10 |
a. Predictors: (Constant), lnlistrik b. Dependent Variable: lnplistrik
-
a. Predictors: (Constant), lnjasa
ANOVAb
Model |
Sum of Squares |
df |
Mean Square |
F |
Sig. |
1 Regression |
,347 |
1 |
,347 |
46,984 |
,000a |
Residual |
,066 |
9 |
,007 | ||
Total |
,413 |
10 |
a. Predictors: (Constant), lnjasa b. Dependent Variable: lnpjasa
Coefficientsa
Model |
Unstandardized Coefficients |
Standardized Coefficients |
t |
Sig. | |
B |
Std. Error |
Beta | |||
1 (Constant) |
-5,704 |
9,087 |
-,628 |
,546 | |
lnlistrik |
1,112 |
,714 |
,461 |
1,559 |
,153 |
a. Dependent Variable: lnplistrik
Coefficientsa
Model |
Unstandardized Coefficients |
Standardized Coefficients |
t |
Sig. | |
B |
Std. Error |
Beta | |||
1 (Constant) |
-2,601 |
2,199 |
-1,183 |
,267 | |
lnjasa |
1,007 |
,147 |
,916 |
6,855 |
,000 |
a. Dependent Variable: lnpjasa
Regression
Variables Entered/Removedb
Model |
Variables Entered |
Variables Removed |
Method |
1 |
lnPDRBa |
. |
Enter |
-
a. All requested variables entered.
-
b. Dependent Variable: lnptotal
Model Summary
Model |
R |
R Square |
Adjusted R Square |
Std. Error of the Estimate |
1 |
,970a |
,941 |
,935 |
,02663 |
a. Predictors: (Constant), lnPDRB
ANOVAb
Model |
Sum of Squares |
df |
Mean Square |
F |
Sig. |
1 Regression |
,102 |
1 |
,102 |
143,818 |
,000a |
Residual |
,006 |
9 |
,001 | ||
Total |
,108 |
10 |
a. Predictors: (Constant), lnPDRB
b. Dependent Variable: lnptotal
Coefficientsa
Model |
Unstandardized Coefficients |
Standardized Coefficients |
t |
Sig. | |
B |
Std. Error |
Beta | |||
1 (Constant) |
5,103 |
,780 |
6,539 |
,000 | |
lnPDRB |
,553 |
,046 |
,970 |
11,992 |
,000 |
a. Dependent Variable: lnptotal
84
PIRAMIDA Jurnal Kependudukan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia
Discussion and feedback