PIRAMIDA Vol. VIII No. 2 : 85 - 92

ISSN : 1907-3275

ESENSI BANTUAN PEMERINTAH KABUPATEN BADUNG TERHADAP KEBERDAYAAN MASYARAKAT

Nyoman Suartha

Fakultas Ekonomi Universitas Ngurah Rai, Denpasar Email: [email protected]

ABSTRACT

Community empowerment is a concept that summarizes the economic development of social values. This concept reflects the new development paradigm, namely “people centered, participatory, empowering, and sustainable”. This concept is broader than merely satisfy basic needs or provide a mechanism to prevent further impoverishment (safety net), whose thinking recently been developed as an effort to find an alternative to the concepts of growth in the past. Empowerment aims to encourage the community that is still below the poverty line by collectively involved in the decision-making process, including overcoming the unsatisfied condition that there are filled. Empowerment was also marked by the increasing capacity of the population collectively in managing development organizations independently.

Keywords: community empowerment, goverment assistance, poverty line

PENDAHULUAN                (Chambers, 1995). Konsep ini lebih luas dari hanya

Pembangunan merupakan proses mewujudkan masyarakat makmur sejahtera secara adil dan merata. Kesejahteraan ditandai dengan kemakmuran, yaitu meningkatnya konsumsi yang disebabkan oleh meningkatnya pendapatan. Pendapatan meningkat sebagai hasil produksi yang semakin meningkat pula. Proses ini akan terlaksana jika asumsi-asumsi pembangunan yang ada dapat terpenuhi (Wrihatnolo dan Dwidjowinoto, 2007). Asumsi-asumsi tersebut diantaranya, kesempatan kerja atau partisipasi termanfaatkan secara penuh (full employment), setiap orang memiliki kemampuan sama (equal productivity), dan masing-masing pelaku bertindak rasional (efficient). Pada kenyataannya, asumsi-asumsi tersebut sulit untuk dipenuhi sehingga pembangunan memerlukan intervensi pemerintah dengan kebijakan-kebijakan yang akan mendorong terciptanya kondisi yang lebih baik.

Salah satu paradigma yang melandasi pembangunan adalah paradigma pembangunan manusia (Kartasasmita, 1996). Pembangunan dalam pandangan manusia merupakan suatu upaya meningkatkan kualitas manusia dimana manusia itu sendiri sebagai subyek pembangunan. Dalam hal ini, pembangunan perlu menjadikan pemberdayaan sebagai nilai dan pilihan kebijakan sehingga apa yang menjadi tujuan pembangunan dapat tercapai dengan optimal. Pemberdayaan yang utama dalam paradigma pembangunan manusia adalah pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat “people centered, participatory, empowering, and sustainable

semata-mata memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) atau menyediakan mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safety net), yang pemikirannya belakangan ini banyak dikembangkan sebagai upaya mencari alternatif terhadap konsep-konsep pertumbuhan di masa yang lalu. Konsep ini berkembang dari upaya banyak ahli dan praktisi untuk mencari apa yang antara lain oleh Friedman (1992) disebut sebagai alternative development, yang menghendaki ‘inclusive democracy, appropriate economic growth, gender equality and intergenerational equaty”(Kartasasmita, 1997).

Berkenaan dengan pemaknaan konsep pemberdayaan masyarakat, Ife (1995) menyatakan bahwa :

Empowerment is a process of helping disadvantaged groups and individual to compete more effectively with other interests, by helping them to learn and use in lobbying, using the media, engaging in political action, understanding how to ‘work the system,’ and so on (Ife, 1995).

Pemberdayaan masyarakat memberikan ruang bagi pengembangan kemampuan manusia yang beragam dimana satu sama lain akan saling melengkapi. Ini bertujuan untuk mendorong masyarakat utamanya masyarakat yang masih berada di bawah garis kemiskinan secara kolektif terlibat dalam proses pengambilan keputusan termasuk menanggulangi kondisi kekurangan yang mereka hadapi. Sekali lagi ditekankan bahwa masyarakat bukan lagi sebagai objek melainkan sebagai subjek pembangunan. Keberdayaan masyarakat ditandai dengan semakin bertambahnya kesempatan kerja yang diciptakan sendiri oleh masyarakat secara kolektif dan pada gilirannya akan memberikan tambahan penghasilan, meringankan beban konsumsi serta meningkatkan nilai

aset masyarakat. Keberdayaan masyarakat juga ditandai dengan semakin meningkatnya kapasitas penduduk secara kolektif dalam mengelola organisasi pembangunan secara mandiri. Implementasi konsep pemberdayaan masyarakat dimaknai beragam dalam berbagai bentuk program dan proyek pembangunan yang diselenggarakan oleh pemerintah baik pemerintah pusat maupun daerah.

Pemerintah Daerah Kabupaten Badung sebagai penyelenggara pemerintahan wilayah administrasi Kabupaten Badung telah mengimplementasikan berbagai kebijakan dan program kegiatan untuk mempercepat proses pembangunan melalui pemberdayaan masyarakat. Program-program tersebut berupa pemberian bantuan kepada masyarakat baik yang bersifat teknis maupun non teknis. Berbagai program bantuan yang telah direalisasikan oleh Pemerintah Kabupaten Badung diharapkan pemanfaatannya dapat tercapai secara optimal sehingga memberi dampak yang positif bagi proses pembangunan khususnya di wilayah Kabupaten Badung. Untuk mengetahui hal tersebut, diperlukan suatu identifikasi terhadap implementasi program bantuan yang telah terealisasi serta dampaknya bagi pemberdayaan masyarakat Kabupaten Badung.

KAJIAN PUSTAKA

Perencanaan pembangunan ekonomi daerah dianggap sebagai perencanaan untuk memperbaiki penggunaan sumberdaya-sumberdaya publik yang tersedia di daerah serta untuk memperbaiki kapasitas sektor swasta dalam menciptakan nilai sumberdaya-sumberdaya swasta secara bertanggung jawab. Melalui perencanaan pembangunan ekonomi daerah, suatu daerah dilihat secara keseluruhan sebagai suatu unit ekonomi yang di dalamnya terdapat berbagai unsur yang berinteraksi satu sama lain. Dalam hal ini, campur tangan pemerintah khususnya pemerintah daerah tetap diperlukan untuk mencegah akibat buruk dari mekanisme pasar terhadap pembangunan daerah serta menjaga agar pembangunan dan hasil-hasilnya dapat dinikmati seluruh wilayah yang ada. Pemerintah memiliki peran tidak saja sebagai penggerak pembangunan (dinamisator) tapi juga sebagai fasilitator, stimulator dan entrepreneur. Dengan demikian, campur tangan pemerintah khususnya pemerintah daerah untuk pembangunan daerahnya memiliki peranan yang penting dan juga mampu mencegah jurang kemakmuran antar wilayah, melestarikan budaya setempat serta menghindarkan perasaan tidak puas masyarakat.

Perencanaan pembangunan ekonomi daerah yang baik akan mempercepat proses pencapaian kemakmuran masyarakat. Secara keseluruhan, perencanaan pembangunan ekonomi daerah memiliki implikasi yaitu pertama, perencanaan pembangunan ekonomi daerah yang realistik memerlukan pemahaman tentang hubungan antara daerah dengan lingkungan nasional (horisontal

dan vertikal) dimana daerah tersebut merupakan bagian darinya, keterkaitan secara mendasar antara keduanya serta konsekuensi akhir dari interaksi tersebut. Kedua, sesuatu yang tampaknya baik secara nasional belum tentu baik untuk daerah dan sebaliknya. Dengan demikian, penyeragaman kebijakan di semua wilayah perlu menjadi suatu pertimbangan tersendiri mengingat kondisi setiap wilayah tidaklah sama. Hal yang perlu diingat bahwa setiap daerah beserta wilayahnya memiliki ciri khas tersendiri baik kondisi geografis, demografis, budaya dan sebagainya. Ketiga, perangkat kelembagaan yang tersedia untuk pembangunan daerah biasanya sangat berbeda pada tingkat daerah dengan yang tersedia pada tingkat pusat. Di samping itu, derajat pengendalian kebijakan sangat berbeda pada kedua tingkat tersebut. Oleh karena itu, perencanaan yang efektif adalah perencanaan yang harus bisa membedakan apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang dapat dilakukan dengan mengggunakan sumberdaya-sumberdaya pembangunan sebaik mungkin yang benar-benar dapat dicapai dan mengambil manfaat dari informasi yang lengkap yang terseda pada tingkat daerah karena kedekatan para perencana dengan obyek perencanaan.

Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat “people centered, participatory, empowering, and sustainable” (Chambers, 1995). Konsep ini lebih luas dari hanya semata-mata memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) atau menyediakan mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safety net), yang pemikirannya belakangan ini banyak dikembangkan sebagai upaya mencari alternatif terhadap konsep-konsep pertumbuhan di masa yang lalu. Konsep ini berkembang dari upaya banyak ahli dan praktisi untuk mencari apa yang antara lain oleh Friedman (1992) disebut sebagai alternative development, yang menghendaki ‘inclusive democracy, appropriate economic growth, gender equality and intergenerational equaty”.(Kartasasmita, 1997).

Berkenaan dengan pemaknaan konsep pemberdayaan masyarakat, Ife (1995) menyatakan bahwa :

Empowerment is a process of helping disadvantaged groups and individual to compete more effectively with other interests, by helping them to learn and use in lobbying, using the media, engaging in political action, understanding how to ‘work the system,’ and so on (Ife, 1995).

Definisi tersebut di atas mengartikan konsep pemberdayaan (empowerment) sebagai upaya memberikan otonomi, wewenang, dan kepercayaan kepada setiap individu dalam suatu organisasi, serta mendorong mereka untuk kreatif agar dapat menyelesaikan tugasnya sebaik

mungkin. Di sisi lain Paul (1987) dalam Prijono dan Pranarka (1996) mengatakan bahwa pemberdayaan berarti pembagian kekuasaan yang adil sehingga meningkatkan kesadaran politis dan kekuasaan pada kelompok yang lemah serta memperbesar pengaruh mereka terhadap ”proses dan hasil-hasil pembangunan”. Konsep pemberdayaan menurut Friedman (1992), merupakan pembangunan alternatif menekankan keutamaan politik melalui otonomi pengambilan keputusan untuk melindungi kepentingan rakyat yang berlandaskan pada sumberdaya pribadi, langsung melalui partisipasi, demokrasi dan pembelajaran sosial melalui pengamatan langsung.

Schuler, Hashemi dan Riley mengembangkan beberapa indikator pemberdayaan,yang mereka sebut sebagai empowerment index atau indeks pemberdayaan (Girvan,2004) antara lain mencakup :

  • a.    Kebebasan mobilitas

  • b.    Kemampuan membeli komoditas ‘kecil’

  • c.    Kemampuan membeli komoditas ‘besar’

  • d.    Terlibat dalam pembuatan keputusan-keputuan rumah tangga

  • e.    Kebebasan relatif dari dominasi keluarga

  • f.    Kesadaran hukum dan politik

  • g.    Keterlibatan dalam kampanye dan protes-protes terhadap jaminan ekonomi dan kontribusi terhadap keluarga.

Pemerintah, sebagai ‘agen perubahan’ dapat menerapkan kebijakan pemberdayaan masyarakat dengan tiga arah tujuan, yaitu enabling, empowering, dan protecting. Enabling merupakan penciptaan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat untuk berkembang. Empowering bertujuan untuk memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh rakyat dengan menerapkan langkah-langkah nyata, yakni dengan menampung berbagai masukan dan menyediakan prasarana dan sarana yang diperlukan dan yang terakhir, protecting, artinya melindungi dan membela kepentingan masyarakat lemah.

Peningkatan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri dan masyarakatnya merupakan unsur yang penting. Dengan sudut pandang demikian, maka pemberdayaan masyarakat amat erat kaitannya dengan pemantapan, pembudayaan dan pengamalan demokrasi. Friedmann (1994) mengemukakan:

The empowerment approach, which is fundamental to an alternative development, place the emphasize on autonomy in the decision making of territorially organized communities, local self-relience (but not autrachy), direct (participatory) democracy and experiential social learning.

Pendekatan pemberdayaan pada intinya memberikan tekanan pada otonomi pengambilan keputusan dari

suatu kelompok masyarakat yang berlandaskan pada sumberdaya pribadi, langsung (melalui partisipasi) demokratis dan pembelajaran sosial melalui pengalaman langsung. Friedmann dalam hal ini menegaskan bahwa pemberdayaan masyarakat tidak hanya sebatas ekonomi saja tetapi juga secara politis sehingga pada akhirnya masyarakat akan memiliki posisi tawar-menawar (bargaining position) baik secara nasional maupun internasional. Sebagai titik fokus dari pemberdayaan ini adalah aspek lokalitas, sebab civil society akan merasa lebih siap diberdayakan lewat isu-isu lokal. Friedmann mengingatkan bahwa adalah sangat tidak realistis apabila kekuatan-kekuatan ekonomi dan struktur-struktur di luar civil society diabaikan. Proses pemberdayaan bisa dilakukan melalui individu maupun kelompok, namun pemberdayaan melalui kelompok mempunyai keunggulan yang lebih baik, karena mereka dapat saling memberikan masukan satu sama lainnya untuk memecahkan masalah yang dihadapinya. Tujuan akhir dari pemberdayaan adalah mewujudkan masyarakat yang berdaya dan mandiri.

Tujuan pemberdayaan dapat dicapai melalui tiga tahapan yaitu penyadaran, pengkapasitasan dan pendayaan. Pada tahapan penyadaran, target yang hendak diberdayakan diberikan pencerahan dalam bentuk pemberian penyadaran bahwa mereka mempunyai hak untuk mempunyai “sesuatu”. Misalnya, target adalah masyarakat miskin. Kepada mereka diberikan pemahaman bahwa mereka dapat menjadi berada dan itu dilakukan jika mereka mempunyai kapasitas untuk keluar dari kemiskinannya. Program-program yang dapat dilakukan pada tahap ini misalnya memberikan pengetahuan yang bersifat kognisi, belief, dan healing. Prinsipnya membuat target mengerti bahwa mereka perlu diberdayakan dan proses pemberdayaan itu dimulai dari dalam diri mereka. Tahapan berikutnya adalah pengkapasitasan atau yang juga disebut capacity building (memampukan/enabling). Untuk diberikan daya atau kuasa, yang bersangkutan hasrus mampu terlebih dahulu. Proses capacity building terdiri dari tiga jenis yaitu manusia, organisasi dan sistem nilai. Pengkapasitasan manusia berarti memampukan manusia baik dalam konteks individu maupun keompok. Pada dasarnya memberikan kapasitas kepada individu dan kelompok manusia untuk mampu menerima daya atau kekuasaaan yang akan diberikan. Ini biasa dilakukan melalui pelatihan, lokal latih, seminar dan sebagainya. Pengkapasitasan organisasi dilakukan dalam bentuk restrukturisasi organisasi yang hendak menerima daya atau kapasitas sedangkan sistem nilai adalah aturan main. Pada tingkat yang lebih maju, sistem nilai terdiri atas budaya organisasi, etika, dan good governance. Pengkapasitasan sistem nilai dilakukan dengan membantu target dan membuatkan aturan main diantara mereka sendiri. Tahapan pemberdayaan yang treakhir adalah pemberian daya itu sendiri atau empowerment. Target diberikan daya, kekuasaan, otoritas atau peluang. Pemberian ini

sesuai dengan kualitas kecakapan yang telah dimiliki.

Upaya pemberdayaan tidak hanya meingkatkan kemampuan pemenuhan kebutuhan pokok (basic need) juga mengandung makna kelangsungan pemenuhan kebutuhan lainnya sehingga mereka yang tadinya kurang berdaya menjadi lebih berdaya. Semuanya ini sangat tergantung dari kapasitas rumah tangga atau masyarakat itu sendiri. Jika kapasitasnya rendah maka hasilnyapun akan rendah demikian sebaliknya. Domain pembangunan daerah juga tidak terlepas dari wacana tentang model perencanaan pembangunan yaitu dari atas ke bawah (top down planning) dan dari bawah ke atas (bottom up planning). Pada dasarnya setiap program dari pemerintah senantiasa mencerminkan kombinasi kedua model tersebut, hanya intensitasnya yang berbeda. Sesuai dengan tuntutan paradigma baru tentang pembangunan yang berpusat pada manusia (people centered development), maka pendekatan bottom up planning sudah sewajarnya diperbesar dan menjadi inti dari proses pembangunan yang memberdayakan masyarakat.

METODE PENELITIAN

Metode penanganan diuraikan sebagai dasar dan tata cara penanganan studi sehingga dalam pelaksanaannya tidak terjadi kesalahan dan seluruh kegiatan dapat terkoordinir dan terpantau secara mudah. Untuk melaksanakan kegiatan Dampak dan Implementasi Bantuan Pemerintah Terhadap Pemberdayaan Masyarakat Badung ditetapkan pendekatan dan metodologi yang akan digunakan dalam pelaksanaan studi. Pendekatan dan metodologi ini akan teraplikasi dalam tahapan-tahapan pelaksanaan pekerjaan yang nantinya akan tertuang secara tertulis di dalam suatu sistem pelaporan. Data yang digunakan dalam kajian ini dibedakan menjadi beberapa klasifikasi data, yaitu 1)Data berdasarkan jenisnya, terdiri dari data kualitatif dan data kuantitatif. 2) Data berdasarkan sumber perolehan data terdiri dari data primer dan data sekunder.

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan: 1) Teknik dokumentasi, dilakukan dengan mengambil data sekunder yang telah dikompilasi dan dipublikasi oleh dinas-dinas terkait. Data sekunder yang dikumpulkan berkaitan dengan peranan bantuan pemerintah terhadap pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Badung. Data tersebut antara lain berupa peraturan standar atau petunjuk teknis yang pernah dikeluarkan oleh pemerintah, kebijakan wilayah baik dari tingkat kabupaten sampai tingkat nasional dan data statistik yang dapat mengungkapkan dampak bantuan pemerintah terhadap masyarakat di daerah penanganan. 2)Teknik wawancara, teknik ini dilakukan dengan penyebarkan kuesioner serta wawancara mendalam sehingga akan terkumpul data primer yang relevan sebagai bahan kajian. Penyebaran kuesioner dilakukan pada tingkat rumah tangga dimana responden adalah kepala

rumah tangga yang menerima dan pernah menerima program bantuan pemerintah daerah Kabupaten Badung. Data primer juga diperoleh melalui diskusi-diskusi dan wawancana mendalam dengan aparat desa dan tokoh masyarakat setempat di Kabupaten Badung.

Pengambilan sampel dilakukan dengan harapan mampu mewakili kondisi populasi masyarakat Kabupaten Badung. Teknik pengambilan sampel yang dilakukan adalah purposive sampling, yaitu pengambilan sampel yang dilakukan menyasar pada suatu kriteria tertentu dan pengambilannya dilakukan secara bertingkat dan proporsional di masing-masing tingkatan tersebut. Pengambilan sampel pada studi ini diawali dengan mendata jumlah rumah tangga yang ada di Kabupaten Badung. Data ini bersumber dari data sekunder Badung Dalam Angka 2010. Berdasarkan informasi tersebut dilakukan pengambilan sampel secara purposive, yaitu rumah tangga tersebut menerima atau pernah menerima bantuan dari pemerintah Kabupaten Badung. Rumah tangga yang terpilih sebagai sampel diwakili oleh seorang responden yaitu kepala rumah tangga yang bersangkutan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Implementasi Program Bantuan

Pada studi ini, bantuan-bantuan yang telah diterima oleh masyarakat Kabupaten Badung dikategorikan menjadi 5 (lima) kelompok besar, yaitu:

  • 1.    Dana hibah meliputi berbagai dana segar yang diterima oleh masyarakat dimana dalam pemanfaatannya dilakukan sesuai tujuan pemberian bantuan dan bertanggung jawab tanpa harus mengembalikan kepada pemberi bantuan ataupun pihak lainnya. Seperti bantuan modal, bantuan biaya pendidikan, bantuan stimulus, bantuan langsung tunai, bedah rumah dan sebagainya dengan catatan bantuan tersebut tidak dikembalikan.

  • 2.    Dana bergulir meliputi berbagai dana segar yang diterima oleh masyarakat dimana pemanfaatannya dilakukan sesuai tujuan pemberian bantuan dan bertanggung jawab dengan syarat utama adalah adanya pengembalian atau pengguliran kembali bantuan kepada pemanfaat lain setelah tujuan bantuan tersebut dinyatakan tercapai secara optimal. Seperti, bantuan simpan pinjam, bantuan modal yang harus digulirkan kembali kepada anggota masyarakat lain yang memenuhi syarat untuk memperoleh bantuan tersebut.

  • 3.    Pelatihan/training/kursus meliputi berbagai jenis transfer pengetahuan yang diberikan/ diselenggarakan oleh pemerintah kepada masyarakat Kabupaten Badung yang bertujuan untuk peningkatan kualitas sumberdaya manusia.

  • 4.    Alat produksi/mesin meliputi bantuan berupa berbagai jenis peralatan yang menunjang proses

proses produksi masyarakat. Seperti: mesin perontok padi, mesin kapal motor dan sebagainya.

  • 5.    Bantuan lainnya meliputi program bantuan yang secara tidak langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Misalnya adalah bantuan-bantuan yang diberikan untuk perbaikan infrastruktur terutama di pedesaan sehingga mampu memperlancar baik aktivitas maupun moblitas masyarakat sehingga lebih menggerakkan roda perekonomian masyarakat.

Sumber: data survey diolah, 2012

Program-program bantuan yang diberikan pemerintah kepada masyarakat Kabupaten Badung masih bersifat top down dimana bantuan digelontorkan secara langsung dari pemerintah sementara masyarakat hanya menerimanya selama eligible terhadap bantuan tersebut. Bantuan jenis ini kurang merangsang kreativitas masyarakat dalam mengidentifikasi serta mencari solusi terhadap permasalahan yang dihadapi. Namun demikian, terdapat pula bantuan-bantuan yang bersifat bottom up yaitu bantuan yang diberikan kepada masyarakat sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Masyarakat agar bisa menerima bantuan yang dibutuhkan harus mengajukan proposal kegiatan yang berisi perencanaan, pelaksanaan serta pertanggungjawaban pemanfaatan bantuan bahkan sampai pada perkiraan dampak yang akan ditimbulkan dari bantuan tersebut. Implementasi bantuan jenis ini sudah dilakukan dengan baik oleh Pemeirntah Daerah Kabupaten Badung salah satunya berupa dana hibah yang dialokasikan pada tahun 2012 sebesar Rp 37 milyar bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Badung tahun 2012.

Bantuan yang diterima oleh masyarakat Kabupaten Badung sebagian besar adalah bantuan yang bersifat hibah (56 persen) dimana pemanfaatannya disesuaikan dengan tujuan program bantuan. Dana segar semacam ini merupakan dana yang paling fleksibel untuk diberikan kepada masyarakat karena masyarakat lebih leluasa dalam pemanfaatannya asalkan tidak menyimpang dari tujuan pemberian bantuan. Di samping dana hibah,

dana bergulir juga banyak diterima oleh masyarakat Kabupaten Badung yaitu mencapai 36 persen. Dana jenis ini menuntut pertanggungjawaban yang lebih besar dibandingkan dengan dana hibah karena pemanfaatan dana ini menuntut “pengembalian” dengan digulirkan kembali kepada anggota masyarakat lainnya yang memerlukan serta memenuhi syarat untuk menerima bantuan tersebut. Perlu diperhatikan bahwa bantuan pelatihan/training/kursus masih kurang. Bantuan jenis ini hanya mencapai 1 persen, padahal proses transfer ilmu pengetahuan merupakan salah satu cara yang cukup efektif untuk mengembangkan kemampuan masyarakat dalam mengembangkan aktivitasnya. Lebih dari separuh bantuan yang diterima masyarakat tidak bersifat rutin. Ini juga memerlukan perhatian yang lebih karena bantuan yang tidak rutin akan berpengaruh terhadap kesinambungan usaha masyarakat. Di lain pihak, rutinitas bantuan tidak boleh menyebabkan masyarakat menjadi manja dengan menggantungkan diri pada bantuan.

Pemanfaatan bantuan yang diterima masyarakat disesuaikan dengan tujuan pemberian bantuan. Seperti terlihat pada Grafik 1 bahwa sebagian besar bantuan yang diterima berupa dana hibah, maka pemanfaatan bantuan yang diberikan diantaranya untuk meningkatkan usaha produktif, memperluas usaha yang telah ada, melakukan diversifikasi hasil usaha, membayar biaya pendidikan, kesehatan dan sebagainya. Demikian pula dengan pemanfaatan dana bergulir. Hal yang membedakan dengan dana hibah adalah masyarakat memiliki tanggung jawab untuk mengembalikan/menggulirkan dana tersebut kepada anggota masyarakat lainnya sehingga dalam pemanfaatannya lebih bersifat hati-hati dengan mempertimbangkan resiko-resiko kegagalan pemanfaatan dana. Program bantuan lainnya yang tidak secara langsung diterima oleh masyarakat sebagian besar digunakan untuk membangun infrastruktur wilayah setempat seperti pembangunan jalan desa, penataan lingkungan tempat tinggal serta pembangunan fasilitas umum seperti pengadaan air minum, MCK umum dan sebagainya.

Efektivitas implementasi bantuan tidak terlepas dari pasca pemanfaatannya yaitu berupa kontrol yang dilaksanakan melalui proses monitoring dan evaluasi (monev). Proses monev terhadap bantuan kepada masyarakat Kabupaten Badung masih belum optimal. Hanya sebagian bantuan hibah dan bantuan sosial yang memiliki sistem monev terstruktur dengan melibatkan BPK sebagai auditor realisasi bantuan. Pihak-pihak lainnya yang melakukan monev terhadap bantuan pemerintah adalah perangkat desa (baik administrasi maupun adat), perangkat kecamatan dengan penyampaian/pelaporan hasil monev ke tingkat kabupaten. Pada umumnya ini dilakukan karena rasa tanggung jawab sebagai pemimpin/ tokoh terhadap segala sesuatu yang terjadi pada masyarakat di wilayah yang dipimpinnya serta untuk menghindari kesalahpahaman yang mungkin terjadi mengingat bantuan

merupakan sesuatu yang bersifat sensitif di masyarakat. Program bantuan yang terkontrol dengan baik masih sedikit jumlahnya. Sebagian besar masih mengandalkan monev yang bersifat “moral” dalam arti mengandalkan budaya malu masyarakat dalam memanfaatkan bantuan sesuai dengan tujuan. Kesadaran penerima bantuan serta kepedulian masyarakat sekitar merupakan hal terpenting untuk mempermudah proses monev program-program pemerintah.

Bantuan merupakan hal sangat diharapkan oleh masyarakat karena apapun bentuk bantuan yang diberikan pasti akan memperingan beban masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Namun demikian, realisasi bantuan pemerintah tidak selalu berjalan dengan mulus. Ini terlihat dari adanya kendala-kendala dalam merealisasikan bantuan pemerintah dimana yang menjadi permasalahan klasik adalah dalam pembagian bantuan atau penentuan penerima bantuan. Kendala utama adalah terdapatnya konsep-konsep yang menimbulkan kesalahpahaman dalam masyarakat seperti konsep “keadilan”. Bantuan yang diberikan oleh pemerintah khususnya pemerintah Daerah Kabupaten Badung berasaskan keadilan, kepatutan, rasionalitas serta manfaat bagi masyarakat. Adil yang dimaksud di sini adalah bantuan tersebut diberikan sesuai dengan eligibilitasnya serta kebutuhan masyarakat sedangkan konsep yang sering ada di masyarakat bahwa adil identik dengan “bagi rata”. Ini terlihat pada bantuan-bantuan yang disalurkan melalui desa (tidak secara langsung kepada individu/rumah tangga penerima bantuan). Bantuan yang disalurkan melalui desa diumumkan kepada masyarakat desa tersebut lalu dirapatkan oleh masyarakat dan perangkat desa dengan kesimpulan akhir jumlah total bantuan akan dibagi rata dengan masyarakat. Hal ini tentu saja akan bertendensi negatif karena pertama, musyawarah tidak memberikan solusi terbaik bagi peningkatan kualitas anggota masyarakat yang memerlukan bantuan. Bagi rata berarti butuh ataupun tidak akan bantuan akan mendapat bagian yang sama. Kedua, bantuan yang diberikan oleh pemerintah jumlahnya pasti terbatas. Jika bantuan yang jumlahnya terbatas tersebut dibagi rata oleh masyarakat, berarti nilai bantuan yang diterima oleh setiap individu atau rumah tangga akan jauh di bawah yang dibutuhkannya. Dengan demikian, pemanfaatan bantuan akan menjadi tidak optimal. Ini akan berpengaruh terhadap target capaian program pemerintah.

Kendala kedua yang terjadi masih terkait dengan sifat bantuan yang top down. Tidak semua bantuan yang diberikan oleh pemerintah sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Terkadang bantuan digelontorkan begitu saja sehingga dalam realisasi masyarakat utamanya perangkat pemerintah lokal (desa sampai kecamatan) kesulitan untuk menentukan penerima seperti yang disyaratkan oleh program bantuan tesebut. Dampaknya adalah adanya kecenderungan bantuan dibagi rata oleh

masyarakat. Ini tidak saja terjadi pada bantuan berupa dana segar, namun juga bantuan lainnya seperti bantuan paket infrastruktur. Contoh yang akurat adalah adanya paket bantuan perbaikan jalan lingkungan sepanjang 350 meter dalam rangka penataan pemukiman kumuh. Di desa tersebut tidak memiliki kantong pemukiman kumuh sehingga bantuan tersebut dibagi rata ke seluruh jalan lingkungan di desa tersebut secara merata. Akibatnya, setiap jalan lingkungan memperoleh bagian yang sangat minim mengingat bantuan yang digelontorkan terbatas sepanjang 350 meter. Tujuan program akhirnya tidak berjalan dengan tuntas dan realisasi bantuan yang “merata” tersebut juga tidak berdampak banyak bagi lingkungan secara keseluruhan karena bantuan tidak mencukupi untuk seluruh jalan lingkungan desa. Oleh karena itu, setiap program bantuan yang direalisasikan hendaknya sesuai dengan kebutuhan masyarakat serta diikuti dengan sistem monitoring dan evaluasi terhadap program tersebut sehingga capaian program pemerintah cepat terlihat efektivitasnya.

Dampak Program Bantuan Pemerintah Terhadap Pemberdayaan Masyarakat

Esensi dari realisasi berbagai program bantuan yang diberikan pemerintah kepada masyarakat adalah meningkatkan kualitas kehidupan baik secara lagnsung maupun tidak langsung utamanya masyarakat yang masih berada di bawah garis kemiskinan. Di masa yang akan datang diharapkan masyarakat tersebut bisa lebih berdaya untuk menolong dirinya sendiri keluar dari kemiskinan.

Hasil studi ini menunjukkan bahwa program bantuan yang diberikan sangat bermanfaat bagi masyarakat secara keseluruhan, khususnya masyarakat penerima bantuan. Dampak yang ditimbulkan bersifat spread effect dimana manfaat yang ditimbulkan tidak saja dirasakan oleh masyarakat penerima bantuan namun juga masyarakat lainnya. Hal ini terjadi karena bantuan yang diberikan telah dimanfaatkan secara optimal sehingga masyarakat penerima bantuan dapat meningkatkan kualitas kehidupannya dengan memberdayakan diri sendiri untuk keluar dari kesulitan yang dialami. Tidak berhenti pada capaian tersebut, meningkatnya kualitas kehidupan merupakan petunjuk bahwa masyarakat penerima bantuan akan lebih mampu untuk memberikan dorongan maupun dukungan bagi anggota masyarakat lainnya.

Berdayanya masyarakat berarti masyarakat mampu meningkatkan kepeduliannya terhadap lingkungan sekitar sehingga peningkatan kualitas kehidupan tidak saja terjadi pada individu/rumah tangga penerima bantuan namun juga lingkungan tempat tinggal. Ini merupakan indikator yang positif karena dampak bantuan berawal dari lingkup yang kecil kemudian menyebar ke lingkup yang lebih luas yakni lingkungan tempat tinggal sehingga tidaklah mengherankan jika nantinya dampak tersebut akan lebih meluas lagi.

Secara khususnya, dampak bantuan yang dirasakan oleh masyarakat Kabupaten Badung lebih terkait pada nilai ekonomis. Dampak seperti itu sangatlah wajar dengan alasan, bantuan bertujuan peningkatan kualitas hidup yang berhubungan erat dengan kesejahteraan. Ini akan mudah terukur dengan manfaat ekonomis yang dapat ditimbulkan oleh bantuan. Dampak bantuan secara langsung yang dirasakan oleh penerima bantuan adalah meningkatnya kemampuan dalam berusaha yang dapat dilihat dari semakin tingginya nilai produksi, lebih berani untuk melakukan ekspansi usaha sekaligus melakukan diversifikasi usaha serta lebih peduli dengan lingkungan sekitarnya. Dari sisi transfer pengetahuan juga semakin berkembang sehingga keterampilan (skill) yang dimiliki masyarakat menjadi lebih baik dan beradaptasi (adaptable) dengan perkembangan zaman. Seluruhnya terukur dengan mudah dalam nilai ekonomis dari hasil usaha yakni terjadinya peningkatan pendapatan masyarakat tanpa merusak adat dan tradisi yang telah tertanam dalam norma-norma masyarakat.

Berkembangnya usaha di bidang apapun akan mampu menarik tenaga kerja yang lebih banyak dari sebelumnya. Ini berarti terjadi peningkatan dalam penyerapan tenaga kerja atau dengan kata lain, telah terjadi pengurangan tingkat pengangguran secara alamiah. Dampak ini tentu saja merupakan dampak tidak langsug dari bantuan yang diterima masyarakat karena penyerapan tenaga kerja ditimbulkan sebagai dampak berkembangnya usaha. Secara makro, dampak tidak langsung sangat membantu proses pembangunan berkelanjutan di Kabupaten Badung. Berkurangnya masyarakat yang menganggur, bertambahnya masyarakat yang produktif akan mampu menghasilkan output daerah yang lebih besar sehingga nilai ekonomi secara makro meningkat sebagai salah satu indikasi bahwa telah terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Badung.

Dengan demikian, dampak bantuan secara keseluruhan telah mengaplikasikan 5 prinsip dasar pembangunan Kabupaten Badung yaitu penanggulangan kemiskinan (pro poor), produktivitas pertumbuhan (pro growth), lapangan pekerjaan (pro job), adat budaya (pro cultural) serta lingkungan (pro environment).

Peranan Lembaga Lokal dalam Pemberdayaan Masyarakat

Lembaga lokal yang dimaksud di sini adalah suatu organiasasi/lembaga yang dapat berfungsi sebagai perpanjangan tangan pemerintah di tingkat wilayah yang lebih rendah dari tingkat kabupaten. Lembaga di sini tidak saja lembaga formal secara administratif dibentuk oleh pemerintah namun juga lembaga-lembaga non formal yang memiliki visi dan misi seiring dengan program pemerintah termasuk di dalamnya lembaga adat dan lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Lembaga lokal dapat dioptimalkan peranannya dalam

pemberdayaan masyarakat terkait dengan programprogram bantuan pemerintah yang diterima di wilayah masing-masing lembaga. Lembaga-lembaga tersebut dapat bekerja sama serta berkoordinasi baik antar lembaga maupun antar lembaga dengan masyarakat lokal. Terkait dengan kendala yang dihadapi dalam realisasi bantuan seperti yang disampaikan sebelumnya yaitu tahap monitoring dan evaluasi realisasi bantuan, hendaknya dapat diambil alih oleh lembaga-lembaga lokal. Lembaga lokal akan dapat dengan mudah melakukan tahapan tersebut sekaligus bisa memberikan transfer pengetahuan dalam upaya pemberdayaan masyarakat. Hal ini memungkinkan mengingat lembaga lokal lebih memahami kondisi dari masyarakat dimana lembaga tersebut berada sehingga tata cara atau aturan yang diaplikasikan bisa lebih disesuaikan dengan karakteristik masyarakatnya.

Selama ini peranan lembaga lokal sudah cukup aktif dalam lingkaran tahapan pemberdayaan masyarakat terkait dengan bantuan pemerintah. Lembaga lokal yang paling menonjol berperan dalam pemberdayaan masyarakat di samping perangkat desa adminsitratif dan kecamatan adalah desa adat yang sekarang disebut desa pakraman serta perangkat di dalamnya seperti banjar. Banjar merupakan kelompok masyarakat terkecil pada lingkungan adat di Bali yang posisinya paling dekat dengan masyarakat khususnya penerima bantuan pemerintah. Keberadaan banjar sangat membantu implementasi bantuan pemerintah utamanya pada tahap monitoring dan evaluasi. Selain banjar juga masih terdapat satu lembaga milik desa pakraman yang dapat mendukung pemberdayaan masyarakat melalui bantuan yaitu Lembaga Perkreditan Desa (LPD). Lembaga ini merupakan lembaga keuangan mikro yang dikelola oleh krama desa pakraman. Kehadiran LPD dirasakan mempermudah kontrol terhadap bantuan khususnya bantuan yang bersifat bergulir. Tahap pengembalian dan pengguliran kembali bantuan dapat difasilitasi oleh lembaga ini. Namun demikian, lembaga lokal ini memiliki keterbatasn hanya boleh melayani krama desa adat setempat sedangkan masyarakat Kabupaten Badung adalah masyarakat yang pluralis dari berbagai suku dan agama sehingga tidak semua masyarakat tercakup dalam lembaga ini. Permasalahan tersebut seharusnya masih dapat diatasi dengan memaksimalkan peranan LSM. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan LSM belum terlibat secara aktif dalam implementasi bantuan pemerintah dalam tahap pemberdayaan masyarakat. Hal ini terjadi karena adanya kendala dalam aturan keterlibatan LSM pada tahapan implementasi bantuan pemerintah.

Kecenderungan yang ada LSM justru berdiri di luar lingkaran program pemerintah, berjalan dengan program serta aturan sendiri yang disesuaikan dengan visi dan misi LSM tersebut. Tentu sangat disayangkan keberadaan lembaga lokal yang seharusnya dapat mempercepat proses pemberdayaan belum dapat berbuat optimal karena adanya kendala-kendala teknis maupun non teknis. Oleh karena

itu, peranan lembaga-lembaga lokal perlu dioptimalkan dengan meminimalkan berbagai kendala yang dihadapi. Ini memerlukan koordinasi dari berbagai pihak tidak saja pemerintah dan lembaga lokal namun juga stakeholder lainnya.

SIMPULAN

Berbagai jenis program bantuan telah digulirkan oleh pemerintah kepada masyarakat Kabupaten Badung. Program-program bantuan tersebut dirasakan memberikan dampak yang positif bagi kesejahteraan masyarakat. Masyarakat sebagai penerima bantuan berharap bantuan-bantuan sejenis dapat berlanjut namun di sisi lain bantuan tersebut tidak membentuk masyarakat tergantung akan bantuan. Oleh karena itu, diperlukan bantuan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat sehingga pemanfaatan bantuan tersebut bisa optimal sesuai dengan sasaran program. Bantuan yang demikian adalah bantuan yang mampu mendorong masyarakat secara kolektif terlibat dalam proses pengambilan keputusan termasuk menanggulangi permasalahan yang dihadapi. Keberdayaan masyarakat ini ditandai dengan semakin meningkatnya kapasitas masyarakat dalam mengelola organisasi pembangunan secara mandiri.

SARAN

Pelaksanaan program-program bantuan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat yang masih berada di bawah garis kemiskinan. Keberadaan bantuan diharapkan mampu memberdayakan masyarakat sehingga masyarakat bisa mandiri dan mampu mengatasi permasalahan yang dihadapi. Percepatan proses tesebut dapat dilakukan dengan melakukan strategi-strategi sebagai berikut, pertama, strategi pertumbuhan berkualitas. Strategi ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang ditandai dengan menguatnya daya beli masyarakat yang didorong oleh terciptanya penghasilan dan meningkatkan kemandirian masyarakat. Program-program yang sesuai dengan strategi ini adalah program-program bantuan yang bersifat produktif seperti pemberian bantuan produksi pada kelompok-kelompok usaha bersama (KUBE). Kedua, strategi peningkatan akses pelayanan dasar. Strategi ini untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang ditandai dengan semakin meningkatnya kehadiran masyarakat pada fasilitas dan pelayanan kesehatan dasar, pendidikan, konsumsi pangan dan gizi bermutu dan sebagainya. Program yang sesuai dengan strategi ini adalah program bantuan sarana dan prasarana dasar untuk meningkatkan aksessibilitas masyarakat. Ketiga, strategi perlindungan sosial. Strategi in untuk meningkatkan perlindungan sosial kepada masyarakat utamanya masyarakat miskin yang ditandai dengan

semakin banyaknya masyarakat yang terjangkau sistem perlindungan sosial. Program yang sesuai dengan strategi ini adalah program-program yang bersifat subsidi ataupun bantuan berupa pemanfaatan fasilitas vital secara gratis. Strategi apapun yang digunakan oleh pemerintah dalam pencapaian target program sehingga masyarakat dapat diberdayakan secara baik, tetap harus memperhatikan kearifan lokal yang berlaku pada masyarakat sehingga program yang digulirkan pemerintah tidak mengalami benturan dengan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, Lincolin. 1999a. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah. Edisi Pertama. Yogyakarta: BPFE.

Arsyad, Lincolin. 1999b. Ekonomi Pembangunan. Edisi Keempat. Yogyakarta : STIE YKPN.

BPS Kabupaten Badung. 2010. Badung Dalam Angka. Denpasar : BPS.

Bradshaw. 2006. Teori-teori Kemiskinan dan Praktek Pemberdayaan Masyarakat

Chambers, R. 1983. Pembangunan Desa-Mulai Dari Belakang. Jakarta: LP3ES.

Chambers, R. 1996. PRA-Participatory Rural Appraisal Memahami Desa Secara Par Mubyarto.2001. Pemberdayaan ekonomi rakyat dan peranan ilmu-ilmu sosial. Yogyakarta : BPFE

Dinar, B. 2008. Analisis Sosial Ekonomi Rumah Tangga Kaitannya dengan Kemiskinan di Pedesaan, Studi Kasus di Kabupaten Tapanuli Tengah. Wahana Hijau, Volume 4 No 1: Medan

Faturochman, Marcelinus, M. 1994. Karakteritik Rumah Tangga Miskin di Daerah Istimewa Jogyakarta. Populasi Volume 7: Jogyakarta

Fidel, Horrison. 2010. Black Feminization of Poverty. The Journal of Developing Areas,. Vol. 44, Edisi 1; pg. 149, 18 pgs : Nashville.

Gregerius, S. 2005. Penanggulangan Kemiskinan Desa, Artikel Ekonomi Rakyat dan Kemiskinan: Yogyakarta

Hadi, Juli Harvie, Charlie. 2003. Regional SMEs and Competition in the Wake of the Financial and Economic Crisis us Mulyadi.1996. Pertumbuhan Ekonomi, Perubahan Struktural dan Perilaku Konsumen. Jurnal Ekonomi Indonesia.

Handoko. 2003. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan di Gunung Kidul. Yogyakarta : Universitas Gajah Mada

Ife, Jim dan Tesoriero, Frank. 2008. Community Development: Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.

Ismawan, Mudrajad. 2000. Pemberdayaan Orang Miskin: Refleksi Seorang Pegiat LSM. Ed: Chandra Gautama. Jakarta: Puspa Swara.

Kartasasmita, Ginandjar. 1996. Pembangunan Untuk rakyat; Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. Jakarta: PT. Pustaka Cidesindo.

Korten, David. C dan Sjahrir. 1988. Pembangunan Bedeminsi Kerakyatan. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Wrihatnolo, R.R. dan Dwidjowijoto, R.N. 2007. Manajemen Pemberdayaan. Sebuah Pengantar dan Panduan untuk Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta : Elex Media Com-putindo.

92

PIRAMIDA Jurnal Kependudukan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia