KONVERGENSI PEREKONOMIAN DI BALI: INEQUALITY SEBAGAI PENYEBAB KEMISKINAN
on
KONVERGENSI PEREKONOMIAN DI BALI: INEQUALITY
SEBAGAI PENYEBAB KEMISKINAN
SURYA DEWI RUSTARIYUNI NI PUTU WIWIN SETYARI
Fakultas Ekonomi Universitas Udayana
email : [email protected]
ABSTRACT
This paper analyze convergenity in economic all of region in Bali. This research want to know are they convergentiy in Bali, the disequilibrium growth economic in Bali if see from disparity revenue, are they tourism give result for revenue all of region in Bali, another variable possible give contribution when convergenity economic happen, and calculate time also growth economcy for all of region to counter the revenue Badung. The method to get result have many step there are: for convergenity use regression model, to know speed of convergenity use revenue data with regression and calculate result β, to know disparity revenue all region use trend variant from log of revenue and use dummy to see tourism effect, later to calculate time need all region to counter Badung revenue use compound growth model. The result is convergenity doesn’t happen in Bali, use PDB real data and growth economy just Denpasar can counter Badung revenue as long as 2002-2009 later Jembrana, Karangasem with variation time. Badung and Denpasar become convergenity fastest beside another region and just Denpasar have ideal growth economy.
Keyword : convergent, growth economy, compound growth model, capita revenue
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Permasalahan kemiskinan menjadi hal yang paling menarik untuk dikaji.
Kemiskinan menjadi hal penting yang paling mudah untuk menilai keberhasilan atau kegagalan pemerintahan di sebuah negara. Kemiskinan pula yang menjadikan beberapa pemerintahan di beberapa negara tumbang dan menuntut rakyat untuk melakukan demonstrasi besar-besaran guna mencapai adanya perubahan yang signifikan. Banyak pemimpin negara yang harus rela turun karena permasalahan kemiskinan ini.
Kemiskinan menjadi permasalahan yang sangat klasik dan dihadapi hampir oleh seluruh negara di dunia, tetapi tidak ada pemerintahan manapun yang mampu
menyelesaikan masalah ini dengan baik dan memberikan nol persen penduduk miskin di dalamnya. Karenanya, welfare (kesejahteraan rakyat) adalah fokus penting dalam analisis ekonomi makro serta sering kali dikaitkan dengan pertumbuhan yang dapat dicapai oleh sebuah perekonomian.
Berbagai kebijakan dan program telah dilakukan yang bertujuan untuk menurunkan kesenjangan antar daerah. Namun, sangat sedikit bukti yang menyatakan bahwa masalah kesenjangan ini telah terselesaikan atau paling tidak bisa mengindikasikan adanya gap yang semakin kecil. Di tahun 2008 nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kalimantan Timur 21 kali lebih besar dibandingkan dengan Maluku Utara. Jika sektor minyak dan gas dikeluarkan, maka rasio PDRB antara DKI Jakarta (yang memiliki PDRB tertinggi) dengan Maluku Utara (dengan PDRB terendah) adalah sebesar 18 (Widodo, 2010).
Bali sebagai salah satu wilayah dengan sebaran yang cukup tinggi, juga mengalami ketidakmerataan dalam percepatan pembangunan antar wilayahnya. Pembangunan yang dilakukan di wilayah bertujuan tidak hanya untuk meningkatkan pendapatan per kapita masyarakatnya, namun juga untuk mengejar ketertinggalan pertumbuhan ekonomi dibandingkan dengan wilayah lainn, serta mampu mensejajarkan diri dengan daerah lain yang sering disebut konvergensi ekonomi. Terlebih lagi sejak adanya Undang-Undang Otonomi Daerah (Undang-Undang No. 25/1999) yang kemudian direvisi menjadi Undang-Undang No.3 Tahun 2004, yang menyerahkan otonomi sampai di tingkat kabupaten/kota. Kabupaten di seluruh Indonesia berusaha keras untuk membangun wilayahnya dengan menetapkan berbagai kebijakan dan program untuk mengejar ketertinggalan daerahnya dibandingkan dengan daerah lainnya.
Tabel 1. PDRB Per kapita Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Bali Atas Dasar Harga Konstan 2000 selama Tahun 1993 – 2006 (Dalam ribu Rp)
Tahun |
Jembrana |
Tabanan |
Badung |
Gianyar |
Klungkung |
Bangli |
K.asem |
Buleleng |
Denpasar |
Bali |
1993 |
3978 |
3383 |
8521 |
4356 |
4058 |
3209 |
2669 |
2887 |
3684 |
4593 |
1994 |
4199 |
3602 |
9048 |
4680 |
4340 |
3395 |
2826 |
3084 |
3868 |
4897 |
1995 |
4458 |
3848 |
9641 |
5038 |
4648 |
3618 |
3007 |
3298 |
4068 |
5243 |
1996 |
4775 |
4119 |
10295 |
5436 |
4983 |
3867 |
3213 |
3533 |
4286 |
5628 |
1997 |
5037 |
4153 |
10859 |
5220 |
5244 |
3679 |
3354 |
3831 |
6670 |
5772 |
1998 |
4801 |
3969 |
10059 |
5041 |
5078 |
3718 |
3242 |
3684 |
6161 |
5472 |
1999 |
4799 |
3972 |
9860 |
5087 |
5100 |
3716 |
3244 |
3691 |
6092 |
5442 |
2000 |
4929 |
4059 |
10100 |
5292 |
5213 |
3794 |
3309 |
3795 |
6141 |
5550 |
2001 |
5015 |
4119 |
10409 |
5447 |
5412 |
3848 |
3360 |
3894 |
6254 |
5640 |
2002 |
5104 |
4250 |
10601 |
5546 |
5650 |
3912 |
3426 |
4008 |
6420 |
5724 |
2003 |
4966 |
4234 |
9566 |
5506 |
5587 |
3829 |
3293 |
3921 |
7392 |
5674 |
2004 |
5189 |
6929 |
14582 |
5704 |
5847 |
3947 |
3436 |
4050 |
7594 |
5876 |
2005 |
5552 |
7423 |
15016 |
5939 |
6163 |
4162 |
3809 |
4273 |
7819 |
6224 |
2006 |
5730 |
7726 |
16697 |
6281 |
6473 |
4276 |
3958 |
4506 |
7569 |
6465 |
Sumber : BPS Provinsi Bali
Bila dilihat kontribusi sektor-sektor dalam PDRB, maka dapat dikatakan wilayah yang memiliki potensi pariwisata cenderung akan memiliki pertumbuhan ekonomi yang relatif lebih tinggi daripada daerah-daerah lainnya. Kesenjangan yang ditimbulkan juga relatif besar antarwilayah yang memiliki sektor pariwisata dengan yang tidak, terutama untuk wilayah Badung dan Denpasar dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten lainnya.
Data pada Tabel 1 menunjukkkan bahwa kondisi kesejahteraan tiap-tiap kabupaten/kota mengalami ketimpangan. Peringkat tertinggi dalam PDRB per kapita antar kabupaten/kota selama tahun 1993 sampai dengan tahun 2006 diperoleh Kabupaten Badung, disusul oleh Kota Denpasar. Dua wilayah tersebut memiliki PDRB per kapita di atas PDRB perkapita Provinsi Bali selama kurun waktu 1993-2006. Perbedaan yang sangat mencolok terlihat dari PDRB per kapita antara Badung (PDRB per kapita tertinggi) dengan Karangasem (PDRB per kapita terendah). Rentangan nilai perbedaannya sangat jauh antara kedua wilayah 3
tersebut sehingga tercermin suatu disparitas pendapatan antara daerah tertinggal (Karangasem) dengan daerah maju (Badung). Kontribusi setiap sektor dalam PDRB pada kabupaten/kota seluruh Bali, dapat dilihat pada lampiran.
Konvergensi adalah alat ukur yang sering digunakan untuk melihat trend laju pertumbuhan serta disparitas yang terjadi antar negara atau wilayah. Sebuah perekonomian dikatakan konvergen apabila daerah-daerah didalamnya cenderung menuju pada satu titik steady state yang sama sehingga kesenjangan pendapatan antar daerah menjadi semakin kecil. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan pemerataan kesejahteraan di bidang ekonomi dan mengurangi kemiskinan. Ada beberapa hal yang dipandang sebagai determinan konvergensi, diantaranya adalah faktor migrasi (Barro dan Martin, 2004). Penelitian tentang konvergensi yang dilakukan untuk negara-negara bagian di Amerika Serikat maupun antar provinsi di Jepang menunjukkan adanya konvergensi yang disebabkan oleh migrasi penduduk dari desa ke kota. Migrasi ini bisa disebabkan oleh banyak hal, seperti upah, kepadatan penduduk, dan lainnya. Selain itu pula, penelitian oleh Jamzani Sodik (2006) menunjukkan variabel PDRB perkapita, inflasi, ekspor netto, dan kepadatan penduduk menentukan proses konvergensi di Indonesia.
Menarik untuk dikaji apakah Kabupaten Badung akan tetap menjadi daerah dengan tingkat pertumbuhan tertinggi tanpa mampu disaingi oleh kabupaten lainnya. Pemikiran awal yang timbul bahwa mayoritas sektor pariwisata menyebabkan pertumbuhan ekonomi Badung lebih tinggi dibandingkan dengan kabupaten lainnya sehingga seringkali terjadi adanya alih fungsi lahan pertanian. Selama ini paradigma yang muncul adalah adanya kantong-kantong kemiskinan pada daerah-daerah yang berbasis pertanian. Upah yang rendah juga sering dikaitkan dengan sektor pertanian ini yang menyebabkan orang lebih tertarik bekerja di sektor lain dan meninggalkan pertanian, sehingga kontribusi sektor pertanian semakin menurun. Penurunan ini disertai dengan penurunan pertumbuhan ekonomi di wilayah-wilayah yang mengandalkan pertanian.
Rumusan Permasalahan
Berdasarkan latar belakang, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.
-
(1) Apakah terjadi konvergen dalam perekonomian antar kabupaten di Bali?
-
(2) Bagaimana disparitas yang terjadi antar kabupaten/kota?
-
(3) Adakah pengaruh sektor tersier dalam proses konvergensi ekonomi ini?
-
(4) Adakah pengaruh variabel-variabel lain dalam konvergensi ini?
-
(5) Berapa tahun dan tingkat pertumbuhan yang dibutuhkan tiap-tiap kabupaten lain untuk mengejar kesetaraan pertumbuhan ekonominya dibandingkan dengan Kabupaten Badung?
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
-
(1) untuk mengetahui terjadi tidaknya konvergensi dalam perekonomian kabupaten/kota di Bali sehingga mengetahui kesenjangan pertumbuhan perekonomian di Bali jika dilihat dari disparitas pendapatan per kapita antar kabupaten dan kota;
-
(2) untuk mengetahui adakah pengaruh pariwisata sehingga dapat dilihat apakah daerah dengan sektor pertanian dapat mengejar ketertinggalannya dibandingkan dengan daerah yang berbasis pariwisata;
-
(3) untuk mengetahui adanya pengaruh variabel-variabel lain yang mungkin memberikan kontribusi dalam terjadinya konvergensi ekonomi; dan
-
(4) menghitung waktu serta tingkat pertumbuhan yang dibutuhkan oleh setiap kabupaten/kota lain untuk mengejar ketertinggalan dan menyetarakan pertumbuhan perekonomian mereka dengan Badung.
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat untuk mengetahui konvergensi perekonomian antar wilayah kabupaten/kota di Bali sehingga harapan untuk meminimalkan kesenjangan dan menurunkan angka kemiskinan dapat tercapai.
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Kemiskinan
Kemiskinan merupakan permasalahan utama yang dihadapi hampir seluruh negara berkembang di dunia. Kemiskinan merupakan fenomena yang kompleks dan bersifat multidimensi. Menurut Ahmadi (2006) kemiskinan dapat dipengaruhi oleh luasnya wilayah suatu negara sehingga menciptakan karakteristik kemiskinan yang berbeda. Oleh karena itu, dibutuhkan strategi pengentasan kemiskinan yang berbeda pula pada tiap-tiap region. Kantong-kantong kemiskinan pada umumnya berada pada wilayah perdesaan dan daerah-daerah terisolir yang memiliki keterbatasan aksesbilitas, tinggal secara terpencar-pencar, pada umumnya memiliki keterbatasan modal, produksi dan pemasaran, kelompok usia produktif didominasi dengan rendahnya tingkat pendidikan dan tingkat kesehatan, dengan produktifitas dan enterpreunership yang rendah, serta memiliki daya saing yang lemah terutama dalam merebut peluang usaha, mengisi peluang kerja, dan memasarkan hasil produksi (Kompas, Maret 2009).
Secara umum ada beberapa definisi kemiskinan dan kriteria garis kemiskinan yang digunakan sehingga mengakibatkan perbedaan strategi penanggulangan kemiskinan yang dilakukan. Kemiskinan adalah suatu situasi atau kondisi yang dialami seseorang atau kelompok orang yang tidak mampu menyelenggarakan hidupnya sampai suatu taraf yang dianggap manusiawi (Bappenas, 2002). Kemiskinan meliputi dimensi politik, sosial budaya, psikologi, ekonomi, dan akses terhadap aset. Dimensi tersebut saling terkait dan saling mengunci/membatasi. Kemiskinan adalah ketidakberdayaan, terpinggirkan dan tidak memiliki rasa bebas (Ravallion, 2001 dalam Ashari, 2006).
Ciri masyarakat miskin adalah : 1) tidak memiliki akses ke proses pengambilan keputusan yang menyangkut hidup mereka (politik), 2) tersingkir dari institusi utama masyarakat yang ada (sosial), 3) rendahnya kualitas SDM termasuk kesehatan, pendidikan, ketrampilan yang berdampak pada rendahnya kualitas SDM seperti rendahnya etos kerja, berpikir pendek dan fatalisme (budaya/nilai), dan 5) rendahnya pemilikan aset fisik termasuk aset lingkungan hidup seperti air bersih dan penerangan. Kondisi tersebut menyebabkan tidak
terpenuhinya kebutuhan dasar manusia, seperti sandang, pangan, papan, afeksi, keamanan, identitas kultural proteksi, kreasi, kebebasan, partisipasi, dan waktu luang (Fernandez, 2000 dalam Ashari, 2006). Pengertian kemiskinan dapat didefinisikan sebagai berikut (Komite Penanggulangan Kemiskinan, 2002).
-
1. BPS: Kemiskinan adalah kondisi seseorang yang hanya dapat memenuhi makannya kurang dari 2100 kalori perkapita per hari
-
2. BKKBN: Kemiskinan adalah keluarga miskin prasejahtera tidak dapat melaksanakan ibadah menurut agamanya, tidak mampu makan 2 kali sehari, tidak memiliki pakaian berbeda untuk di rumah, bekerja dan bepergian, bagian terluas rumah berlantai tanah dan tidak mampu membawa anggota keluarga ke sarana kesehatan. Pengertian keluarga miskin ini didefinisikan lebih lanjut menjadi: 1) paling kurang
sekali seminggu keluarga makan daging/ikan/telur, 2) setahun sekali seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru, 3) luas lantai rumah paling kurang 8m2 untuk tiap penghuni
-
3. Keluarga miskin sekali adalah keluarga yang karena alasan ekonomi tidak dapat memenuhi kebutuhan salah satu atau lebih indikator yang meliputi: 1) pada umumnya seluruh anggota keluarga makan 2 kali sehari atau lebih, 2) anggota keluarga memiliki pakaian berbeda untuk di rumah, bekerja/sekolah dan bepergian, 3) bagian lantai yang terluas bukan dari tanah
-
4. Bank Dunia: Kemiskinan adalah tidak tercapainya kehidupan yang layak dengan penghasilan US $ 1 per hari
Pada umumnya definisi kemiskinan adalah pendapatan minimum yang dibutuhkan untuk memperoleh asupan kalori dasar (Sumedi dan Supadi, 2004). Salah satu pendekatan yang paling baik dan mengimplementasikan matriks keseluruhan dari kemiskinan adalah konsep kebutuhan dasar dari Philipina (ADB, 1999 dalam Sumedi dan Supandi, 2004) yang mendefinisikan dalam 3 tingkat hirarki kebutuhan, yaitu 1) survival: makanan/gizi, kesehatan, air bersih/sanitasi, pakaian, 2) security: rumah damai, pendapatan, pekerjaan, dan 3) enabling: pendidikan dasar, partisipasi, perawatan keluarga, psycho-sosial.
Mengukur Kesenjangan Kemiskinan
Studi Konvergensi Pertumbuhan
Studi kondisi makro ekonomi terhadap tingkat kemiskinan dapat dilihat dari konvergensi pertumbuhan ekonominya. Teori ekonomi neoklasik mengisyaratkan prediksi tentang terjadinya conditional convergence, sebuah konsep yang menyatakan bahwa pertumbuhan perekonomian berhubungan positif dengan jarak antara level pendapatan per kapita perekonomian tersebut dengan kondisi steady state (Barro dan Martin, 2004). Dimungkinkan untuk dua perekonomian mengalami conditional convergence dibandingkan dengan absolute convergence. Kedua konsep konvergen ini adalah identik jika kelompok perekonomian converge ke steady state yang sama.
Dalam teori pertumbuhan neoklasik, perekonomian dengan karakteristik dan teknologi yang hampir serupa akan konvergen pada titik yang sama sehingga dimungkinkan terjadinya absolute convergence “poor economies tend to grow faster than rich ones”. Dalam hal ini, analisis konvergensi dilakukan dengan melihat perilaku daerah-daerah dalam sebuah perekonomian. Perilaku masyarakat pada wilayah-wilayah yang berbeda dalam satu region yang sama cenderung sama dalam hal akses teknologi, selera, dan kesamaan budaya. Terlebih lagi, daerah ini memiliki pemerintahan, institusional, dan hukum yang sama. Kondisi yang relatif homogen ini dipercaya akan membawa mereka pada konvergensi ke steady state yang sama.
Ada dua konsep konvergen (Barro dan Martin, 2004) sebagai berikut.
-
a. konvergensi yang terjadi jika sebuah perekonomian dengan sumber daya yang lebih miskin mengalami kecenderungan untuk tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan daerah yang kaya. Karenanya daerah yang miskin akan mampu mengejar (catch up) daerah yang lebih kaya dalam hal pendapatan perkapitanya. Properti ini berhubungan dengan konsep β convergence (seringkali disebut “regression toward the mean”, dan
-
b. Konvergensi yang terjadi jika dispersi, yang diukur biasanya dengan standar deviasi dari logaritma pendapatan per kapita antar sekelompok negara atau region yang menurun sepanjang waktu. Konvergensi ini biasanya disebut proses dari σ convergence.
Konvergensi tipe pertama cenderung akan membentuk adanya konvergensi tipe kedua. Namun, proses ini bisa saja tidak terjadi jika ada variabel pengganggu lain yang membuat dispersi semakin besar. Hubungan antara kedua konsep konvergensi dapat digambarkan sebagai berikut.
-
Gambar 1. Teori Perilaku Dispersi
Sumber: Barro dan Martin, 2004
Perhitungan Kesenjangan Wilayah dengan Compound Growth Methode
Comission on Growth and Development (2006) memberikan metode alternatif untuk melihat kesenjangan antar negara/daerah dengan cara mengukur waktu yang dibutuhkan negara-negara berkembang untuk mengejar negara maju dalam hal pendapatan per kapita. (Widodo, 2010). Dengan metode ini, dapat dihitung pada tingkat pertumbuhan berapa yang harus dimiliki oleh sebuah wilayah untuk mengejar tingkat pendapatan per kapita yang sama dengan negara maju yang menjadi acuannya. Kelebihan dari penggunaan metode ini adalah kemampuan untuk menganalisis per individu daerah dibandingkan dengan daerah/wilayah yang menjadi benchmark. Selain itu, hasil perhitungannya menjadi lebih mudah dipahami dan dibayangkan oleh orang kebanyakan.
Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan
Simon Kuznets (dalam Todaro, 2006:253) mengatakan bahwa pada tahap awal pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan cenderung memburuk (ketimpangan membesar), tetapi pada tahap selanjutnya distribusi pendapatan akan membaik. Observasi inilah yang kemudian dikenal sebagai kurva Kuznets “U terbalik”.
Dalam hal ini, pembuktian hipotesis Kuznets dilakukan dengan grafik antara pertumbuhan dengan indeks ketimpangan (indeks Williamson). Jika kurva yang dibentuk oleh hubungan antara variabel tersebut menunjukkan kurva U-terbalik, maka hipotesis Kuznets terbukti bahwa pada tahap awal pertumbuhan ekonomi terjadi ketimpangan yang membesar dan pada tahap-tahap berikutnya ketimpangan menurun, tetapi pada suatu waktu ketimpangan akan menaik dan demikian seterusnya.
METODOLOGI PENELITIAN
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini mencakup sembilan kabupaten dan kota di Bali karena penelitian ini bertujuan untuk menganalisis apakah perekonomian daerah-daerah di Bali mengalami konvergensi dalam jangka panjang. Objek dalam penelitian ini adalah data PDRB seluruh kabupaten dan kota di Bali.
Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini seluruhnya menggunakan data sekunder yang telah dikumpulkan dan dipublikasi dari berbagai sumber. Data PDRB dengan berbagai komponennya akan diperoleh dari publikasi BPS.
Teknik Analisis Data
Penelitian ini akan menggunakan kombinasi antara teknik analisis kuantitatif dengan teknik analisis kualitatif untuk melengkapi deskripsi dari hasil perhitungan kuantitatif. Untuk menjawab berbagai masalah yang diajukan, maka dalam penelitian ini digunakan beberapa alat analisis terkait masing-masing rumusan masalah. Konvergensi antar daerah di Bali akan diukur menggunakan teknik regresi dengan model berikut (Jamzani Sodik, 2006 dan Widodo, 2010) :
⅛)∙^5f∕ytp) = ^- [(1~e βt)∕τ]∙l°a^ιo) + [(1~e pt)∕4⅝G^i)+aiαr
1)
Dimana: ui0.T mencerminkan efek dari error term antara periode 0 dan T
y* adalah steady state tingkat pendapatan
x adalah tingkat teknologi (diasumsikan sama untuk semua daerah)
PEMBAHASAN
Konvergensi Antar Kabupaten/Kota di Bali
Kajian untuk konvergensi dilakukan dalam dua tahapan, yaitu konvergensi absolut dan konvergensi kondisional. Konvergensi absolut dilakukan dengan mengestimasi model ekonometrika dimana initial condition merupakan satu-satunya model penjelas. Pengujian atas adanya konvergensi absolut ini dibutuhkan untuk mengetahui adanya konvergen semua kabupaten/kota di Bali.
Pertumbuhan PDRB untuk kabupaten dan kota di Bali secara signifikan menunjukkan peningkatan. Sepanjang tahun 2004 sampai dengan 2009 seluruh kabupaten/kota mengalami pertumbuhan positif dengan rata-rata pertumbuhan diatas 4% per tahun (Gambar 2).
Gambar 2. Rata-rata Pertumbuhan PDRB Riil Kabupaten/Kota di Bali 2004 – 2009 (dalam persentase)
Sumber : BPS Provinsi Bali
Hal ini tentu saja berimplikasi positif tidak hanya bagi kabupaten/kota tesebut, juga untuk wilayah Bali secara keseluruhan karena perkembangan di satu wilayah akan membawa perubahan ke wilayah lainnya. Apabila dilihat secara rata-rata, pertumbuhan Kota Denpasar menunjukkan angka tertinggi, bersaing dengan pertumbuhan Kabupaten Badung yang selama ini dipandang sebagai kabupaten dengan angka pertumbuhan tertinggi, sedangkan pertumbuhan terendah
adalah Kabupaten Bangli, pertumbuhan relatif rendah juga ditunjukkan oleh Jembrana dan Karangasem.
Secara struktural pembentuk PDRB di tiap kabupaten dan kota di Bali menunjukkan heterogenitas seperti yang terlihat pada Gambar 3. Kabupaten Badung dan Gianyar menunjukkan pertumbuhan rata-rata di sektor tersier jauh melebihi pertumbuhan di sektor primer dan sekunder. Terlihat juga bahwa Kabupaten Tabanan mengarah pada sektor yang sama. Perkembangan sektor sekunder secara rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan sektor primer di semua kabupaten/kota. Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan proses pembangunan antar ketiga sektor tersebut, yang berakibat pada semakin menurunnya pertumbuhan sektor pertanian. Walaupun demikian, perkembangan pertanian masih dikatakan cukup menggembirakan ditunjukkan oleh Tabanan, Karangasem, Bangli, dan Buleleng.
Menarik jika ditarik benang merah antara tingkat pertumbuhan tertinggi dengan sektor pembentuk PDRB di kabupaten/kota tersebut. Badung dan Gianyar yang didominasi sektor tersier memiliki tingkat pertumbuhan yang tinggi, masing-masing 6,16% dan 5,48%, sedangkan daerah dengan pertumbuhan relatif rendah seperti Bangli dan Karangasem masih memiliki pertumbuhan sektor primer yang tinggi. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah benar daerah-daerah yang mengandalkan sektor primer pertumbuhannya akan selalu tertinggal dengan daerah-daerah yang ditopang oleh sektor-sektor tersier?
Gambar 3. Pertumbuhan Rata-rata Sektor Pembentuk PDRB Kabupaten/Kota di Bali 2004-2009 (dalam persentase)
Sumber : BPS Provinsi Bali (data diolah)
Hipotesis konvergensi absolut menyatakan bahwa daerah dengan level produktifitas yang lebih rendah memberi potensi untuk maju lebih cepat (catch up effect). Secara lebih terpeinci dari proposisi ini adalah dalam perbandingan tingkat pertumbuhan antar negara atau daerah dalam jangka panjang terjadi kecenderungan adanya hubungan yang terbalik dengan level produktifitas di awal (Abramovitz, 1986). Konvergensi absolut pada dasarnya adalah pengujian hipotesis bahwa daerah dengan pendapatan perkapita yang lebih rendah (yang diukur dengan log pendapatan per kapita pada periode awal pengujian) akan dapat menyusul dan bahkan menyaingi daerah dengan pendapatan perkapita yang lebih tinggi. Dikatakan absolut karena dalam pengujiannya tidak dilakukan pengkondisian apapun terhadap karakteristik masing-masing perekonomian. Pengujian konvergensi absolut untuk kabupaten dan kota di Bali menunjukkan hasil sebagai berikut.
Tabel 2. Hasil Regresi Pendapatan Perkapita Antar Kabupaten/Kota di Bali
Periode |
Persamaan Dasar |
Persamaan dengan Sektoral Dummy | ||||||
b |
R2 ( s) |
β |
b |
R2 ( s) |
dummy β | |||
1987 – 1997 |
1.929*** |
0.229 |
- 0,0714 |
1.706*** |
0.297 |
1.329*** |
- 0,0768 | |
(0.606) |
(2.027) |
(0.588) |
(1.948) |
(0.480) | ||||
1997 – 2009 |
0.519** |
0.827 |
- 0,1071 |
0.517** |
0.831 |
0.420 |
- 0,1072 | |
(0.239) |
(1.186) |
(0.238) |
(1.177) |
(0.262) | ||||
1987 – 2009 |
0.968*** |
0.726 |
- 0,0441 |
0.918*** |
0.740 |
0.849*** |
- 0,0451 | |
(0.285) |
(1.661) |
(0.279) |
(1.621) |
(0.273) |
Catatan: *** sig. pada α 1%; ** sig. pada α 5%; * sig. pada α 10%
Sumber: Lampiran
Kecepatan konvergensi pada periode 1987--1997 adalah sebesar – 0,07147. Nilai negatif untuk estimasi β mengindikasikan tidak terjadinya konvergensi absolut antar kabupaten dan kota di Bali menuju satu titik steady state yang sama. Nilai koefisien dengan memasukkan variabel dummy sektoral dalam PDRB yang bernilai – 0,0768. Nilai estimasi untuk variabel dummy juga bernilai negatif dan signifikan mengindikasikan bahwa sektor tersier memberikan 13
pengaruh apapun dalam proses konvergensi ini. Daerah-daerah yang disokong oleh sektor tersier secara signifikan berbeda dengan daerah -daerah yang ditopang oleh sektor sekunder dan primer.
Pada periode kedua, 1997--2009, nilai estimasi β diperoleh sebesar -
0,10707 dan -0,10721 untuk nilai estimasi β dengan dummy. Nilai β yang juga
negatif menunjukkan tidak terjadinya konvergensi absolut pada periode tersebut. Hal ini dikuatkan dengan nilai dummy yang tidak signifikan, yang berarti sektoral tidak berpengaruh signifikan terhadap kecepatan konvergensi setiap wilayah.
Dalam pengamatan jangka panjang, 1987--2009, nilai estimasi β bernilai -
0,0441 dan - 0,0451 untuk estimasi β dengan variabel dummy. Hasil ini
menguatkan kondisi di setiap periode sebelumnya bahwa bahkan dalam jangka panjang konvergensi absolut tidak terjadi antar kabupaten dan kota di Bali. Sektor-sektor pendukung PDRB memberikan dampak positif dan signifikan, yang artinya Kabupaten Badung dan Gianyar akan tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan daerah lainnya.
Tabel 3. Hasil Regresi Pendapatan Perkapita Antar Kabupaten/Kota di Bali
Periode |
Persamaan Dasar |
Persamaan dengan Sektoral Dummy dan Struktural Variabel | ||||
b |
β |
Pengangguran |
Density |
R2 ( σ) | ||
1987 – 1997 |
- 0,07147 |
2.25** |
- 0,0648 |
- |
-0.000395 |
0.299 |
(1.09) |
(0.000679) |
(1.96) | ||||
1997 – 2009 |
- 0,10707 |
0.056 |
- 0,2047 |
3.69E-05 |
0.000121 |
0.83 |
(0.69) |
(3.62E-05) |
(0.000330) |
(1.27) | |||
1987 - 2009 |
- 0,0441 |
- |
- |
- |
- |
- |
Catatan: data untuk variabel pengangguran hanya tersedia pada periode 1997 – 2009
*** sig. pada α 1%; ** sig. pada α 5%; * sig. pada α 10%
Sumber: Lampiran
Ada tidaknya konvergensi absolut secara konsisten juga dapat diuji dengan memasukkan beberapa variabel struktural sebagai bagian shock yang dipercaya dapat mempengaruhi konvergensi antar wilayah. Variabel struktural yang dimasukkan pada periode penelitian antara 1987--1997 dan 1997--2009 sedikit
berbeda karena keterbatasan data. Pada periode pengamatan 1987--1997, nilai estimasi β tetap bernilai negatif dan signifikan, yang berarti konvergensi absolut memang tidak terjadi pada periode tersebut. Kepadatan penduduk sebagai variabel shocks tidak memberikan pengaruh signifikan. Artinya, kepadatan penduduk tidak membawa perubahan pertumbuhan yang signifikan dari daerah yang berpenduduk padat dengan daerah yang berpenduduk jarangt. Hal ini mengindikasikan migrasi antar daerah tidak berdampak pada konvergensi. Namun, tanda negatif pada koefisien mengkonfirmasikan kondisi suatu daerah yang memiliki tingkat kepadatan yang tinggi akan mengalami penurunan dalam kecepatan pertumbuhannya.
Model dasar pertumbuhan ekonomi selama ini mengkaitkan pertumbuhan suatu wilayah dengan sumber daya yang dimiliki oleh setiap daerah tersebut, yang terdiri dari kapital, tenaga kerja, dan teknologi. Karenanya, variabel pengangguran dimasukkan sebagai salah satu variabel shocks di sini sebagai proksi dari tenaga kerja. Menambahkan variabel pengangguran dan kepadatan penduduk menjadikan nilai estimasi β bernilai negatif dan tidak signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa konvergensi absolut tidak terjadi bahkan perekonomian menjadi divergen. Pengujian terhadap estimator kepadatan penduduk dan pengangguran juga menunjukkan hasil yang tidak signifikan. Kondisi ini berarti bahwa daerah dengan pendapatan yang rendah tidak akan pernah bisa menyusul daerah dengan pendapatan yang lebih besar karena kondisi konvergensi absolut tidak terpenuhi yang disebabkan karena daerah yang kaya memiliki tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi seperti yang terlihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Log Pendapatan per Kapita Riil (1997) dan Pertumbuhan Rata-rata (1997 – 2009)
Sumber: BPS Bali (data diolah)
Tidak terpenuhinya konvergensi absolut membawa pada pengujian konvergensi kondisional, yaitu konvergensi yang terjadi dengan mengkondisikan karakteristik yang berbeda dari setiap wilayah (tidak mengabaikan heterogenitas). Pengujian terhadap konvergensi kondisional dilakukan dengan melihat disparitas pendapatan antar wilayah. Gambar 5 menunjukkan trend disparitas pendapatan antar kabupaten dan kota di Bali selama periode 1989--2009. Disparitas pendapatan antar daerah menunjukkan trend yang meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini mengindikasikan kesenjangan pendapatan perkapita di Bali tetap terjadi. Antar daerah tidak akan dapat mencapai konvergensi, tetapi akan mencapai posisi steady state-nya masing-masing sesuai dengan heterogenitas sumber daya yang dimiliki oleh setiap daerah.
Gambar 5. Dispersi Pendapatan Antar Kabupaten/Kota di Bali (1987 – 2009)
Sumber: Lampiran (data diolah)
Ketimpangan Antar Daerah dengan Coumpound Growth
Pengujian konvergensi absolut dan konvergensi kondisional di wilayah regional Provinsi Bali membuktikan kondisi bahwa konvergensi tidak terjadi dan kesenjangan tetap tinggi. Variasi dispersi pendapatan bahkan menunjukkan angka yang semakin meningkat. Ketimpangan yang semakin tinggi juga terlihat dari nilai PDRB antar kabupaten/kota pada periode 2002 dan 2009. Tahun 2002 PDRB Kabupaten Badung hampir dua kali lipat daripada PDRB Kabupaten Karangasem, Jembrana, dan Tabanan serta hampir bernilai tiga kali lipat dibandingkan dengan Kabupaten Bangli dan Klungkung. Data tahun 2009 PDRB semua kabupaten tersebut bahkan tidak dapat menyamai setengah dari PDRB Badung. Hal ini mengindikasikan Badung tumbuh jauh lebih cepat dibandingkan dengan Kabupaten lainnya.
Gambar 6. PDRB Riil Kabupaten dan Kota di Bali (dalam Ribu Rupiah)
2009
2002
Sumber: BPS Bali
Pada Tabel 4, dari delapan kabupaten dan kota di Bali hanya Denpasar yang mampu untuk menyamakan PDRB perkapitanya dengan PDRB per kapita Kabupaten Badung, sedangkan sisanya tetap berada di belakang karena tingkat pertumbuhan mereka dibawah Badung. Kondisi yang dibutuhkan untuk terjadinya konvergensi adalah daerah yang terbelakang tersebut harus memiliki tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan benchmark (Widodo, 2010). Apabila sebuah daerah sudah dapat memenuhi syarat ini, akan ada dua faktor yang mempengaruhi kecepatan konvergensi, yaitu tingkat pertumbuhan dan jarak awal PDRBnya dengan PDRB benchmark.
Dari kedelapan kabupaten dan kota tersebut, bila diasumsikan mereka tumbuh secara konstan dengan level yang sama seperti pada periode 2002--2009, maka Denpasar hanya membutuhkan waktu selama 6 tahun untuk mensejajarkan diri dengan Badung, sedangkan daerah-daerah lain memberikan hasil negatif yang berarti mereka tidak akan pernah menikmati tingkat pendapatan yang sama dengan Badung apabila tingkat pertumbuhan mereka seperti sekarang.
Tabel 4. Waktu yang Dibutuhkan Untuk Konvergensi Kabupaten/Kota di Bali
No |
Kabupaten /Kota |
PDRB Per Kapita Riil Tahun 2002 (2000 = 100) (Ribu Rupiah |
Pertumbuhan Rata-rata PDRB Per Kapita Riil Tahun 2002 – 2009 (dalam persen) |
Waktu yang Dibutuhkan untuk Menyusul Badung (tahun) |
1. |
Jembrana |
5.104 |
4,48 |
(5) |
2. |
Tabanan |
4.250 |
5,23 |
(28) |
3. |
Gianyar |
5.546 |
5,02 |
(10) |
4. |
Klungkung |
5.650 |
4,91 |
(7) |
5. |
Bangli |
3.912 |
4,21 |
(5) |
6. |
Karangase |
3.426 |
4,61 |
(8) |
m | ||||
7. |
Buleleng |
4.008 |
5,32 |
(53) |
8. |
Denpasar |
6.420 |
6,01 |
6 |
Catatan: angka dalam kurung mengindikasikan hasil negatif
Simulasi kedua dilakukan untuk menghitung waktu yang dibutuhkan untuk setiap kabupaten dan kota agar dapat menyusul pendapatan per kapita di Kabupaten Badung apabila mereka dapat tumbuh dengan tingkat pertumbuhan tertinggi, seperti yang pernah mereka capai antara periode 2002--2009 dengan membandingkannya pertumbuhan raa-rata pendapatan per kapita Kabupaten Badung selama periode tersebut. Bila setiap kabupaten dan kota tersebut dapat menjaga tingkat pertumbuhannya pada level tertinggi yang pernah mereka capai, maka bukan hanya Kota Denpasar yang akan dapat mencapai konvergensi dengan pendapatan per kapita Kabupaten Badung, walaupun memang waktu yang dibutuhkan menjadi lebih singkat. Jembrana dan Karangasem menjadi dua 18
kabupaten yang tidak akan pernah mencapai konvergensi karena memang tingkat pertumbuhan tertinggi mereka maasih berada dibawah tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita rata-rata Kabupaten Badung. Disisi lain, untuk menghitung pada level pertumbuhan berapa yang dibutuhkan oleh kabupaten lain agar bisa menyusul Kabupaten Badung pada periode tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Pertumbuhan Per Tahun Tiap Kabupaten Untuk Konvergensi
No |
Kabupaten/Kota |
PDRB Per Kapita Riil Tahun 2002 (2000 = 100) Ribu Rupiah |
Pertumbuhan per Tahun yang Dibutuhkan untuk Menyusul Badung (dalam persen) |
1. |
Jembrana |
5.104 |
6,14 |
2. |
Tabanan |
4.250 |
6,33 |
3. |
Gianyar |
5.546 |
6,05 |
4. |
Klungkung |
5.650 |
6,03 |
5. |
Bangli |
3.912 |
6,41 |
6. |
Karangasem |
3.426 |
6,56 |
7. |
Buleleng |
4.008 |
6,39 |
8. |
Denpasar |
6.420 |
5,91 |
Berdasarkan perhitungan di atas, maka wajar apabila kabupaten lain tidak dapat menyusul (catch up effect) perkembangan di Kabupaten Badung karena tingkat pertumbuhan yang dimiliki oleh masing-masing kabupaten ini masih lebih rendah dari yang dibutuhkan untuk mencapai konvergensi dengan Kabupaten Badung. Terkecuali untuk Kota Denpasar yang tingkat pertumbuhan riilnya telah mencapai level yang dibutuhkan, sehingga konvergensi dapat terealisasi dalam waktu enam tahun.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Kesimpulan dari hasil penelitian untuk menjawab pertanyaan di awal adalah sebagai berikut.
-
1. Penggunaan konsep konvergensi absolut dari neo klasik dengan menggunakan pendekatan yang dikembangkan oleh Barro dan Martin menunjukkan bahwa konvergensi absolut dan kondisional tidak tampak terjadi di Bali dalam periode penelitian. Bahkan dalam jangka panjang (1987-2009) kondisi konvergensi absolut dan kondisional secara konsisten tidak ditunjukkan oleh perekonomian di tiap kabupaten dan kota di Bali.
-
2. Tidak terjadinya konvergensi absolut dan kondisional di Bali diperparah dengan naiknya variasi pendapatan per kapita antar kabupaten setiap tahunnya yang mengindikasikan meningkatnya ketimpangan pendapatan antar daerah.
-
3. Sektoral ternyata membawa pengaruh signifikan terhadap proses konvergensi ini. Daerah-daerah dengan sektor tersier sebagai sektor dominan dalam pembentuk PDRB-nya akan tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan daerah-daerah yang mengandalkan sektor primer dan sekunder.
-
4. Memasukkan variabel pengangguran dan kepadatan penduduk sebagai proksi input dalam proses produksi tidak memberikan hasil yang signifikan berbeda dengan sebelumnya dan tetap memberikan kesimpulan yang sama bahwa konvergensi absolut dan kondisional tidak terjadi.
-
5. Menggunakan data PDRB riil perkapita dan tingkat pertumbuhan per kabupaten sesuai dengan teknik perhitungan yang digunakan Bappenas menunjukkan periode yang dibutuhkan oleh setiap kabupaten untuk dapat catch up dengan Badung. Simulasi pertama dengan menggunakan rata-rata pertumbuhan selama periode 2002--2009 menunjukkan bahwa hanya Denpasar yang bisa menyusul pendapatan per kapita Badung, sedangkan simulasi kedua dengan menggunakan data pertumbuhan tertinggi yang pernah dicapai oleh masing-masing kabupaten terlihat bahwa, selain Denpasar,
kabupaten-kabupaten lain selain Jembrana dan Karangasem, dapat menysul Badung dengan waktu yang bervariasi. Konvergensi Denpasar dengan Badung akan tetap menjadi yang tercepat. Sedangkan untuk menjamin terjadinya konvergensi oleh setiap kabupaten simulasi menunjukkan hanya Denpasar yang telah mencapai tingkat pertumbuhan yang ideal.
Saran
Pengujian konvergensi di Bali, hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa konvergensi absolut tidak hanya menuntut homogenitas. Jurang atau perbedaan initial income antara Badung dengan kabupaten lainnya masih sangat jauh. Ukuran sumber daya yang digunakan disini, yaitu pengangguran juga masih sangat rancu karena tidak bisa menangkap kualitas, produktivitas, dan sektor produktifnya. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian yang lebih detail dan mendalam mengenai faktor-faktor lain dengan proksi dan variabel yang lebih kompleks.
Dalam kasus ini, Badung sebagai wilayah yang paling makmur masih tumbuh pada level yang relatif tinggi dan tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan daerah lainnya. Penjelasan yang paling mungkin disini adalah Badung masih jauh dari posisi steady state yang artinya masih banyak ruang investasi yang memberikan marginal rate of capital yang tinggi. Karenanya, pemerintah daerah harus lebih jeli membaca berbagai peluang yang dapat memberikan nilai tambah lebih dan tidak hanya bertumpu pada berbagai sumber pajak dan retribusi dalam sumber pendapatannya. Stimulasi yang diberikan pemerintah menjadi penting di sini untuk menjamin bahwa perkembangan di Badung tidak menarik orang-orang potensial di daerah lain pindah dan bekerja di Badung yang berarti meninggalkan pembangunan di daerah mereka sendiri.
Pada dasarnya pendapatan per kapita sebagai ukuran kesejahteraan masih menjadi perdebatan karena didalamnya tidak mencerminkan kesejahteraan riil dan kualitas hidup masyarakat. Program-program pemerintah yang pro rakyat, seperti jaminan kesehatan, bantuan operasional sekolah, tenaga medis, dan guru di daerah terpencil serta berbagai program lainnya dapat meningkatkan kualitas masyarakat dan mengarah pada peningkatan produktifitas. Peningkatan kualitas hidup ini
memberikan pengaruh positif pada kemampuan suatu daerah untuk memiliki kesejahteraan yang setara dengan daerah lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abramovitz, Moses. 1986. Catching Up, Forging Ahead, and Falling Behind. The Journal of Economic History, Vol. 46, No. 2, The Tasks of Economic History. (Jun., 1986), pp. 385-406. http://www.jstor.org/stable/2122171 .
Arsyad, Lincolin. 1990. Pengantar Perencanaan Pembangunan Ekonomi Daerah. Edisi Pertama. BPFE Yogyakarta.
Ayu Savitri Gama. 2007. “Disparitas dan Konvergensi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Per Kapita Antar Kabupaten/Kota di Provinsi Bali”. Jurnal Ekonomi dan Sosial. Input.Vol. 2 No. 1.
http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/input%202%5B1%5D-h38-48.pdf
Barro, Robert. J dan Xavier Sala-i Martin. 2004. Economic Growth: Second Edition. The MIT Press. London-England.
Emilia dan Imelia. 2006. Modul Ekonomi Regional. Fakultas Ekonomi Universitas Jambi.
Jamzani Zodik. 2006. “Pertumbuhan Ekonomi Regional: Studi Kasus Konvergensi Antar Propinsi di Indonesia”. Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 11. No. 1. April 2006. Hal: 21-32.
Kuncoro, Mudrajad, Ph.D. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah Reformasi, Perencanaan dan Peluang. Erlangga.
Tarigan, R. 2005. Teori Ekonomi Regional. Bumi Aksara Jakarta.
Todaro, P Michael. 2006. Pembangunan Ekonoi di Dunia Ketiga. Jakarta: Erlangga.
Widodo, Agung. 2010. Measuring Interregional Inequality and Convergence Using Compound Growth Methode. http://trialweb.bappenas.go.id/blog/wp-content/uploads/2010/12/formula5.png
LAMPIRAN
Dependent Variable: GROWTH?
Method: Pooled Least Squares
Date: 09/24/11 Time: 14:39
Sample: 1997 2009
Included observations: 13
Cross-sections included: 9
Total pool (balanced) observations: 117
Variable |
Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. |
C |
0.293757 1.688102 0.174016 0.8622 |
LOG(PDRB?) |
0.519086 0.239802 2.164641 0.0327 |
Fixed Effects (Period)
1997--C |
1.504274 |
1998--C |
-7.495726 |
1999--C |
-1.940171 |
2000--C |
-0.829060 |
2001--C |
-0.162393 |
2002--C |
0.059829 |
2003--C |
0.059829 |
2004--C |
1.170940 |
2005--C |
1.393162 |
2006--C |
1.059829 |
2007--C |
1.837607 |
2008--C |
1.615385 |
2009--C |
1.726496 |
Effects Specification
Period fixed (dummy variables)
R-squared |
0.827135 Mean dependent var 3.940171 |
Adjusted R-squared |
0.805318 S.D. dependent var 2.688708 |
S.E. of regression |
1.186334 Akaike info criterion 3.291484 |
Sum squared resid |
144.9610 Schwarz criterion 3.622001 |
Log likelihood |
-178.5518 Hannan-Quinn criter. 3.425670 |
F-statistic |
37.91093 Durbin-Watson stat 2.007500 |
Prob(F-statistic) |
0.000000 |
23
Discussion and feedback