KEMISKINAN DI BALI

Wayan Yogi Swara I Made Jember Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Udayana

ABSTRACT

Millennium development goals (MDGs) has become an important reference for the development in Indonesia. In reducing poverty requires a sustainable and equitable economic growth sustainable. The size of the successful achievement of national development, one of them can be seen from the Human Development Index (HDI). HDI can be described by three indicators of the Life Expectancy Index, Knowledge Index and Income Index. Through research on the value Gross Dosmestic Product (GDP), life expectancy, and the Human Development Index will be a portrait of the poverty level in a region/country. This study was conducted to see the extent of poverty in the province of Bali seen from the review of the value GDP, life expectancy, and the Human Development Index during the period 2005 to 2009.

Through this research can be seen how far the realization of millennium development goals (MDGs) can be accomplished. This study uses secondary data, using descriptive analysis techniques. From the results of the analysis is known that the Human Development Index of Bali Province of 69.10 in 2004, whereas in 2009, a 71.52 this puts the Province of Bali is ranked sixteenth for IPM in Indonesia. Judging from the life expectancy indicate that the province of Bali was in fourth position in Indonesia. Overall economic performance of Bali Province in the year 2009 has been changed into positive from per capita GDP. In 2009 the number of poor people in Bali both rural and urban areas only 181.7 thousand inhabitants or 5.13 percent. The number of poor families in the province of Bali, in 2009 as many as 134,804 families are scattered in nine districts/cities. Suggestion put forward is the development policy should be adapted to local conditions, and design development between top down-bottom up should be conducted in stages. In addition, implementation of development programs should focus on programs involving many people's lives especially those that can alleviate poverty.

Key words: Poverty, GDP, life expectancy, Human Development Index

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Indonesia sebenarnya pernah mengalami masa keemasan dalam pemberantasan kemiskinan. Pada periode puncak pertumbuhan ekonomi 19761996, perekonomian mencatat pertumbuhan rata-rata sekitar 7,5 persen. Meski pemberantasan kemiskinan secara eksplisit belum masuk agenda prioritas pembangunan hingga awal 1990-an, pertumbuhan ekonomi yang terjadi saat itu dinilai sangat pro-poor. Ditopang oleh devisa dari minyak, pemerintah orde baru mengkombinasikan target pertumbuhan ekonomi tinggi dengan berbagai program anti kemiskinan. Artinya menyerang kemiskinan dari dua arah, hasilnya selama kurun itu angka kemiskinan berhasil diturunkan lebih dari separuhnya dari 40,1 persen (1976) menjadi 11,3 persen (1996).

Namun, sebagai akibat krisis 1997, angka kemiskinan kembali melonjak menjadi 17,6 persen (1997) dan 23,4 persen (1996). Pasca krisis, Indonesia masih belum mampu keluar dari perangkap pertumbuhan ekonomi rendah, padahal pertumbuhan ekonomi merupakan prasyarat terciptanya lapangan kerja dan pengurangan angka kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi pasca krisis rata-rata hanya 5,15 persen per tahun atau sekitar 70,0 persen dari rata-rata pertumbuhan sebelum krisis. Selama itu, angka kemiskinan hanya turun dari 18,23 persen (2002) menjadi 14,22 persen (2009) dan 13,3 persen (2010) atau 4,0 persen dari laju angka kemiskinan sebelum krisis.

Kemiskinan merupakan konsep multi dimensi tentang kesejahteraan manusia yang meliputi berbagai ukuran tradisional tentang kemakmuran misalnya pendapatan, kesehatan, dan keamanan. Disisi lain jebakan kemiskinan yang membelenggu penduduk miskin sebagai akar segala ketidakberdayaan telah menggugah perhatian masyarakat dunia, sehingga isu kemiskinan menjadi salah satu isu sentral dalam Millenium Development Goals (MDGs) yang dideklarasikan oleh PBB pada tahun 2000. PBB mengharapkan seluruh negara yang menjadi anggotanya dapat mengurangi jumlah penduduk miskin dan kekurangan pangan dimasing-masing negara hingga 50 persen pada tahun 2015.

Tujuan pembangunan milenium (MDGs) telah menjadi referensi penting bagi pembangunan di Indonesia, mulai dari tahap perencanaan seperti yang tercantum pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) hingga pelaksanaannya. Dalam mengurangi kemiskinan yang berkelanjutan dan adil memerlukan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan peningkatan produktivitas dikalangan pekerja miskin dalam rangka memfasilitasi pendapatan yang lebih tinggi. Hal ini dirasakan sangat penting sekali, mengingat kemiskinan akan tetap berada pada lingkarannnya apabila tidak ada upaya riil yang dilakukan.

Pada Tabel 1 terlihat bahwa hampir disemua provinsi angka kemiskinan mengalami laju pertumbuhan negatif, kecuali DKI Jakarta. Artinya, hampir di semua provinsi telah terjadi penurunan laju pertumbuhan tingkat kemiskinan. Selanjutnya, kondisi akan terlihat berbanding terbalik dengan periode tahun 2006, dengan demikian akan menjadikan fenomena yang menarik untuk dikaji dan dianalisis kembali.

Terkait dengan masalah kemiskinan tersebut, penyebab kemiskinan harus tetap dipandang dari sisi ekonomi. Kemiskinan itu muncul karena adanya ketidak samaan pola kepemilikan sumber daya yang menyebabkan distribusi pendapatan mengalami ketimpangan. Oleh karena itu dalam setiap upaya untuk mengurangi kemiskinan hendaknya mengacu dan mengatasi faktor penyebabnya. Keberhasilan pencapaian pembangunan suatu negara dapat dilihat dari sejumlah komponen dasar kualitas hidup atau disebut dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).

IPM menggambarkan tiga indeks pengukuran capaian pembangunan, yaitu Indeks Harapan Hidup, Indeks Pengetahuan dan Indeks Pendapatan. Indeks harapan hidup digambarkan melalui data angka harapan hidup, sedangkan indeks pendapatan digambarkan melalui kemampuan daya beli masyarakat terhadap sejumlah kebutuhan pokok yang dilihat dari rata-rata besarnya pengeluaran perkapita sebagai pendekatan pendapatan yang mewakili capaian pembangunan untuk hidup layak.

Tabel 1. Tingkat Kemiskinan dan Laju Pertumbuhan pada 30 Provinsi di Indonesia Tahun 2006-2008

No

Nama Provinsi

Tingkat Kemiskinan

Laju Pertumbuhan (%)

Tingkat Kemiskinan 2008

Laju Pertumbuha n (%)

2006 (%)

2007 (%)

1

Nanggroe Aceh Darusalam

28,28

26,65

-5,76

23,53

-11,7

2

Sumatera Utara

15,01

13,9

-7,39

12,55

-9,71

3

Sumatera Barat

12,5

11,9

-4,87

10,67

-10,33

4

Riau

11,85

11,2

-5,48

10,63

-5,08

5

Jambi

11,37

10,27

-9,67

9,32

-9,25

6

Sumatera Selatan

20,99

19,15

-8,76

17,73

-7,41

7

Bengkulu

23

22,13

-3,78

20,64

-6,73

8

Lampung

22,77

22,19

-2,54

20,98

-5,45

9

Kep.Bangka Belitung

10,91

9,54

-12,55

8,58

-10,06

10

DKI Jakarta

4,57

4,61

0,87

4,92

-6,94

11

Jawa Barat

14,49

13,55

-6,48

13,01

-3,98

12

Jawa Tengah

22,19

20,43

-7,93

19,23

-5,87

13

D.I Yogyakarta

19,15

18,99

-0,83

18,32

-3,52

14

Jawa Timur

21,09

19,98

-5,26

18,51

-7,35

15

Banten

9,79

9,07

-7,35

8,15

-10,14

16

Bali

7,08

6,63

-6,35

6,17

-6,93

17

Nusa Tenggara Barat

27,17

21,99

-8,02

23,81

-4,72

18

Nusa Tenggara Timur

29,34

27,51

-6,23

25,65

-6,76

19

Kalimantan Barat

15,24

12,91

-15,28

11,07

-14,25

20

Kalimantan Tengah

11

9,38

-14,72

8,71

-7,14

21

Kalimantan Selatan

8,32

7,01

-15,74

6,48

-7,56

22

Kalimantan Timur

11,41

11,04

-3,24

9,51

-13,85

23

Sulawesi Utara

11,54

11,42

-1,03

10,1

-11,55

24

Sulawesi tengah

23,63

22,42

-5,12

20,75

-7,44

25

Sulawesi Selatan

14,57

14,11

-3,15

13,34

-5,45

26

Sulawesi tenggara

23,37

21,33

-8,72

19,53

-8,43

27

Gorontalo

29,13

27,35

-6,11

24,88

-9,03

28

Maluku

33,03

31,14

-5,72

29,66

-4,75

29

Maluku Utara

12,73

11,97

-5,97

11,28

-5,76

30

Papua

41,52

40,78

-1,78

37,08

-9,29

Sumber: Data Statistik Indonesia, diolah

Pertumbuhan ekonomi dewasa ini telah menjadi fenomena hampir disemua negara di dunia, karena dengan melihat tinggi rendahnya laju pertumbuhan ekonomi akan dapat diketahui apakah suatu pemerintahan telah berhasil atau tidak. Lebih lanjut tinggi rendahnya laju pertumbuhan akan terlihat pada tinggi rendahnya tingkat out put dan pendapatan nasional (Todaro, 2005).

Kemiskinan di suatu daerah juga sangat dipengaruhi oleh kondisi kesehatan dari masyarakatnya. Semakin bagus tingkat kesehatan masyarakatnya berarti tingkat pendapatannya juga akan bagus, lebih lanjut semakin sedikit pula dijumpai orang miskin di daerah tersebut. Tingkat kesehatan suatu masyarakat biasanya tercermin pada angka harapan hidupnya. Lebih lanjut angka harapan hidup ini

sering dipergunakan sebagai suatu indikator untuk mengevaluasi kinerja pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraaan masyarakat pada umumnya.

Angka harapan hidup di hanpir seluruh provinsi di Indonesia dari tahun 2004 sampai dengan 2006, mengalami peningkatan secara terus menerus. Angka harapan hidup tertinggi dimiliki oleh Provinsi DI Yogyakarta, yaitu sebesar 73 tahun, dengan laju pertumbuhan 0,13 persen. Menyusul kemudian DKI Jakarta sebesar 72 tahun dengan laju pertumbuhan yang sama. Sedangkan provinsi Bali menduduki peringkat ke tiga sebesar 70 tahun dengan rata-rata laju pertumbuhannnya 0,14 persen lebih tinggi dibandingkan dengan Yogyakarta dan DKI Jakarta. Kondisi ini mencerminkan pemerintah telah mampu meningkatkan tingkat kesehatan masyarakatnya melalui suatu kegiatan program pembangunan.

Bali sebagai salah satu provinsi di Indonesia seperti halnya provinsi lainnnya di Indonesia, Bali juga tidak luput dan terlepas dari masalah kemiskinan. Maka dari itu diperlukan kajian yang lebih mendalam pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Bali dengan melakukan analisis terhadap PDRB per kapita dan angka harapan hidup pada masing-masing kabupaten yang ada di Provinsi Bali.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka pokok masalahnya adalah Bagaimanakah tingkat kemiskinan di Bali dilihat dari analisis Indeks Pembangunan Manusia (IPM).

Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian adalah untuk memperoleh gambaran tentang kemiskinan di Bali dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM),

Manfaat Penelitian

Dengan mengetahui sejauh mana tingkat keberhasilan pencapaian pembangunan nasional, maka akan mendapatkan gambaran sejauh mana pencapaian target MDGs dapat direalisasikan.

KAJIAN PUSTAKA

Pengertian Kemiskinan

Menurut Hall dan Midgley (2004), pengertian kemiskinan beraneka ragam dan dapat diukur dari banyak sudut pandang. Beberapa pendapat mengartikan bahwa kemiskinan adalah ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan konsumsi dasar. Pendapat lain memasukkan dimensi-dimensi sosial sebagai tambahan ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar tersebut, misalnya: sikap, budaya hidup dan lingkungan tertentu. Umumnya ketika orang berbicara kemiskinan adalah material, dengan konsep ini maka seseorang di kategorikan miskin apabila tidak mampu memenuhi standar kebutuhan pokoknya.

Menurut Tadaro (2000) kemiskinan adalah rendahnya pendapatan per kapita dan lebarnya kesenjangan distribusi pendapatan. Salah satu generalisasi yang paling sahih mengenai penduduk miskin adalah bahwasanya mereka pada umumnya bertempat tinggal di daerah-daerah pedesaan, dengan mata pencaharian pokok di bidang pertanian dan kegiatan-kegiatan lainnya yang erat hubungannya dengan sektor ekonomi tradisional. Para ahli ekonomi pembangunan mulai mengukur tingkat kemiskinan di dalam suatu negara dan kemiskinan relatif antar negara dengan cara menentukan suatu batasan yang lazim disebut sebagai garis kemiskinan. Lingkaran kemiskinan yang lain juga menyangkut keterbelakangan manusia dalam pengembangan sumber daya alam. Pengembangan sumber daya alam di suatu daerah tergantung pada kemampuan produktif manusianya. Jika penduduknya terbelakang dan buta huruf, maka kemampuan teknik, pengetahuan dan efektifitas kewirausahaan rendah, sehingga sumber daya alam akan terbengkalai, kurang dan bahkan disalahgunakan.

Menurut Bappenas (2002), kemiskinan adalah suatu situasi dan kondisi yang dialami seseorang atau sekelompok orang yang tidak mampu menyelenggarakan hidupnya sampai suatu taraf yang dianggap manusiawi. Bank Dunia (2006) mendefinisikan kemiskinan sebagai tidak tercapainya kehidupan yang layak dengan penghasilan di bawah US$ 2 per hari. Sedangkan Badan Pusat Statistik menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs

approach) dalam mengukur tingkat kemiskinan. Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.

Faktor-Faktor Penyebab Kemiskinan

Menurut Greetz (1974) dalam Tadjuddin (1995) menyatakan bahwa kemiskinan pedesaan Jawa muncul sebagai akibat dari adanya pertanian. Greetz berpendapat bahwa struktur pemilikan tanah yang timpang berati mencerminkan ketidaksamaan penghasilan masyarakat pedesaan. Dia berpendapatan bahwa adanya mekanisme pembagian penghasilan dengan melanggar derajat homogenitas sosial ekonomi.

Menurut Zadjuli (1995) makin ramainya pembahasan masalah kemiskinan dewasa ini, maka perlu diberikan berbagai analisis tentang jenis dan faktor penyebab kemiskinan di dunia termasuk di Indonesia sebagai berikut, (1) kemiskinan karena kolonialisme, (2) kemiskinan karena tradisi sosial cultural, (3) kemiskinan karena isolasi, dan (4) kemiskinan structural.

Indikator Kemiskinan

Menurut Prihatini (2006), indikator kemiskinan bisa ditinjau dari lima sudut, yaitu persentase penduduk miskin, pendidikan (khususnya angka buta huruf), kesehatan (angka kematian bayi dan anak balita kurang gizi), ketenagakerjaan dan ekonomi (konsumsi per kapita). Untuk menentukan seseorang dapat dikatakan miskin atau tidak maka diperlukan tolok ukur yang jelas. Berbagai pendekatan atau konsep digunakan sebagai bahan perhitungan dan penentuan batas-batas kemiskinan. Menurut Bappenas (2006), indikator utama kemiskinan adalah, (1) terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, (2) terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan, (3) terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan, (4) terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha, (5) lemahnya perlindungan terhadap asset usaha dan perbedaan upah, (6) terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi, (7) terbatasnya akses terhadap air bersih, (8) lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah, (9) memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumber daya alam, serta terbatasnya akses masyarakat

terhadap sumber daya alam, (10) lemahnya jaminan rasa aman, (11) lemahnya partisipasi, (12) besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga, (13) tata kelola pemerintahan yang buruk menyebabkan inefisiensi dan inefektivitas dalam pelayanan publik.

Indeks Pembangunan Manusia ( IPM )

Pembangunan menempatkan manusia sebagai titik sentral, sehingga mempunyai ciri dari, untuk, dan oleh rakyat. Oleh karena itu pembangunan ditujukan untuk meningkatkan partisipasi rakyat dalam semua proses dan kegiatan pembangunan. Tercapainya tujuan tersebut pemerintah daerah harus melakukan upaya peningkatan kualitas penduduk sebagai sumber daya, baik aspek fisik (kesehatan), aspek intelektual (pendidikan), dan aspek kesejahteraan ekonomi (berdaya beli), serta aspek moralitas (iman dan ketaqwaan).

Model pembangunan manusia menurut UNDP (1990), ditujukan untuk memperluas pilihan yang dapat dicapai melalui upaya pemerdayaan penduduk. Pemerdayaan penduduk ini dapat dicapai melalui upaya yang menitik beratkan pada peningkatan kemampuan dasar manusia yaitu meningkatnya derajat kesehatan, pengetahuan dan keterampilan agar dapat dipergunakan untuk mempertinggi partisipasi dalam kegiatan ekonomi produktif, sosial budaya dan politik. UNDP melakukan pengukuran kinerja pembangunan manusia melalui suatu ukuran tunggal, sederhana yang diberi nama Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Indeks tersebut memuat tiga aspek, yaitu aspek kesehatan, pendidikan dan keterampilan, serta mempunyai pendapatan yang memungkinkan untuk hidup layak. Penggunaan indeks ini cukup memadai, karena dapat merefleksikan sampai sejauh mana upaya dan kebijaksanaan yang dilakukan dalam kerangka pembangunan manusia. IPM hanya suatu ukuran komprehensif dari pembangunan manusia.

Secara konseptual IPM merupakan suatu Indeks komposit yang dihitung sebagai rata-rata sederhana dari indeks harapan hidup, indeks pendidikan (melek huruf dan rata-rata lama sekolah). Kemudian Kuncoro (2001) mencoba meranking nilai IPM ke dalam skala 0 sebagai tingkat pembangunan manusia tertinggi, atau dapat juga diranking dari 0 sampai 100, dengan rincian sebagai berikut : (1)

daerah dengan pembangunan manusia rendah , IPM antara 0,00 sampai 50,0. (2) daerah dengan pembangunan manusia menengah IPM antara 51,0 sampai 79,0 (3) daerah dengan membangunan manusia tinggi, IPM antara 80,0 sampai 100,0 Angka Harapan Hidup

Angka harapan hidup adalah rata-rata perkiraan banyak tahun yang dapat ditempuh oleh seseorang selama hidup. Angka harapan hidup dihitung dengan pendekatan tak langsung (indirect estimation). Ada dua jenis data yang digunakan dalam perhitungan angka harapan hidup, yaitu anak lahir hidup dan anak masih hidup. Besarnya nilai maksimum dan minimum untuk masing-masing komponen ini merupakan nilai besaran yang telah disepakati oleh semua negara. Data komponen angka harapan hidup, angka tertinggi sebagai batas atas untuk perhitungan indeks dipakai 85 tahun dan terendah adalah 25 tahun. Angka ini diambil dari data standar UNDP. Dalam penelitian ini angka harapan hidup merupakan data sekunder tahun 2005--2009 yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik tahun 2010.

METODE PENELITIAN

Lokasi Penelitian

Penelitian ini mengambil lokasi di Provinsi Bali, karena diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran yang lebih luas tentang masalah kemiskinan yang terjadi di Provinsi Bali.

Objek Penelitian

Adapun yang menjadi objek penelitian ini adalah kemiskinan yang terjadi di Provinsi Bali pada kurun waktu 2005--2009. Dalam penelitian ini lebih menekankan pentingnya pembangunan dalam bidang ekonomi, sehingga diharapkan terjadinya pertumbuhan dalam bidang ekonomi, yang pada akhirnya akan menurunkan tingkat kemiskinan yang telah terjadi.

Identifikasi dan Definisi Operasional Variabel

Masing masing variabel dalam penelitian ini secara operasional didefinisikan sebagai berikut.

  • 1.    Tingkat kemiskinan dalam penelitian ini adalah persentase penduduk miskin terhadap jumlah penduduk provinsi Bali. Data kemiskinan yang digunakan adalah distribusi jumlah penduduk miskin meliputi tahun 2005--2009. Variabel ini menggunakan satuan persen.

  • 2.    Indeks Pembangunan Manusia merupakan tingkat pencapaian secara keseluruhan untuk ketiga dimensi pokok pembangunan manusia yaitu umur panjang, pengetahuan, dan standar kehidupan yang layak. Data IPM yang digunakan meliputi kurun waktu 2005--2009 dimana menggunakan rentang nilai 0 sampai dengan 100 sesuai standar dari UNDP.

  • 3.    Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam wilayah dan periode tertentu yang dihitung dalam satuan rupiah. Dalam penelitian ini PDRB yang digunakan adalah dengan harga konstan tahun dasar 2000, selama kurun waktu 2005--2009.

  • 4.    Angka Harapan Hidup pada suatu umur x adalah rata-rata tahun hidup yang masih akan dijalani oleh seseorang yang telah berhasil mencapai umur x, pada suatu tahun tertentu, dalam situasi mortalitas yang berlaku di lingkungan masyarakat (BPS, 2010). Data angka harapan hidup yang digunakan adalah angka harapan hidup yang dimulai dari tahun 2006 sampai dengan 2008. Kondisi ini disebabkan karena ketidak tersediaan data, data angka harapan hidup setiap Kabupaten dan Kota di Provinsi Bali diasumsikan konstan untuk tahun 2007 sampai 2008. Adapun variabel ini memiliki satuan tahun.

Jenis dan Sumber data

Penelitian ini menggunakan dua jenis data, yaitu data kualitatif dan data kuantitatif. Data kuantitatif tersebut berupa data PDRB Provinsi Bali, angka harapan hidup, dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) selama tahun 2005 – 2009. Sedangkan data kualitatif adalah berupa regulasi pemerintah serta beberapa hasil penelitian sebelumnya yang terkait dengan penelitian ini, dipergunakan sebagai pembanding.

Seluruh data dalam penelitian ini adalah data sekunder yang merupakan hasil publikasi instansi-instansi terkait. Data sekunder dalam penelitian ini dalam

bentuk runtut waktu (time series) yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Provinsi Bali dalam berbagai bentuk laporan serta dalam beberapa terbitan.

Teknik Analisis Data

Metode analisis yang dipergunakan adalah deskriptif, artinya menjelaskan angka-angka yang terdapat pada suatu tabel, untuk kemudian dilakukan interpretasi terkait dengan pembahasan dalam penelitian ini, dimana tingkat kemiskinan dikaitkan dengan Indeks Pembangunan Manusia yang terdapat di Provinsi Bali.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Daerah Penelitian

Pulau Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari pegunungan dan berbukit-bukit membujur dari Barat ke Timur. Selebihnya adalah berupa tanah datar yang dibagian selatannya lebih luas daripada bagian utara.

Seperti provinsi lainnnya di Indonesia, Bali juga tidak luput dan terlepas dari masalah kemiskinan. Adapun jumlah keluarga miskin di Provinsi Bali sebanyak 134.804 KK, yang tersebar di Sembilan kabupaten dan kota. Lebih lanjut diketahui Kabupaten Buleleng mempunyai Rumah Tangga Miskin (RTM) terbesar yaitu, 45.187 KK terdiri atas 2.856 KK sangat miskin, 16.172 KK miskin dan 26.159 KK hampir miskin. Sedangkan kabupaten/kota yang terendah adalah Denpasar sebesar 3.571 KK. Terdiri atas 275 KK sangat miskin, 1236 miskin dan 77, 406 KK hampir miskin.

Kemiskinan tidak hanya berbicara masalah pendapatan yang rendah, tetapi juga menyangkut berbagai persoalan seperti pemukiman yang buruk, rendahnya pembangunan. Dalam mengatasi masalah kemiskinan tersebut , pemerintah Provinsi Bali sudah melakukan berbagai upaya. Adapun upaya-upaya tersebut antara lain, Program Inpres Desa Tertinggal (IDT), Program Kelompok Usaha Bersama (KUBE), Program Subsidi Langsung Tunai (SLT), Kelompok Belajar Usaha (KBU), Kredit Usaha Keluarga Sejahtera (KUKESRA), Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat -

Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (PNPM-P2KP) dan terakhir lagi gencar dilakukan oleh pemerintah adalah Program Commuinity Based (CBD).

Produk Domestik Regional Bruto Per Kapita di Provinsi Bali

PDRB per Kapita merupakan suatu indikator untuk memberikan gambaran tentang seberapa besar nilai tambah yang diciptakan/diterima tiap-tiap penduduk, sehingga secara tidak langsung akan mengggambarkan tingkat kesejahteraan penduduk di daerah/wilayah bersangkutan. Dalam konteks penelitian ini terlihat laju pertumbuhan PDRB yang melambat ternyata juga memperlambat PDRB per Kapita yang tercipta. PDRB per Kapita Provinsi Bali atas dasar konstan mengalami peningkatan sebesar 4,29 persen, dari 7,08 juta rupiah pada tahun 2008 menjadi 7,39 juta pada tahun 2009. Selama periode 2004-2009, rata-rata PDRB per Kapita Provinsi Bali atas dasar harga konstan mencapai 6,78 juta rupiah per tahun.

Tabel 2. Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten/Kota se-Bali Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun 2005-2009 (dalam persen)

No

Kabupaten/Kota

2005

2006

2007

2008

2009

Rata-rata

1

Jembrana

5,00

4,52

5,11

5,05

4,82

4,90

2

Tabanan

5,96

5,25

5,76

5,22

5,44

5,38

3

Badung

5,61

5,03

6,85

6,91

6,39

6,16

4

Gianyar

5,47

5,20

5,89

5,90

5,93

5,68

5

Klungkung

5,41

5,03

5,54

5,07

4,92

5,19

6

Bangli

4,46

4,25

4,48

4,02

5,71

4,58

7

Karangasem

5,13

4,80

5,20

5,07

5,01

5,04

8

Buleleng

5,60

5,35

5,82

5,84

6,10

5,74

9

Denpasar

6,05

5,88

6,60

6,83

6,53

6,38

Provinsi Bali

5,56

5,28

5,92

5,97

5,33

5,61

Sumber: BPS Provinsi Bali, 2010

BerdasarkanTabel 2 terlihat enam kabupaten/kota yang laju pertumbuhan ekonominya berada di atas angka pertumbuhan ekonomi Provinsi Bali tahun 2009. Ke enam kabupaten/kota tersebut adalah kota Denpasar 6,53 persen; Badung 6,39 persen; Buleleng 6,10 persen; Gianyar 5,93 persen; Bangli 5,71 persen dan Tabanan 5,44 persen. Sebaliknya ada tiga kabupatan yang laju pertumbuhan ekonominya berada dibawah angka Provinsi Bali, yakni Kabupaten Karangasem 5,01 persen; Klungkung 4,29 persen dan Jembrana 4,82 persen.

Namun bila dibandingkan dengan tahun 2008, terlihat hanya Kabupaten Badung, yang laju pertumbuhan ekonominya diatas laju pertumbuhan ekonomi provinsi. Sedangkan Kabupaten/kota lainnya semua berada dibawah angka provinsi. Kondisi ini tentunya sangat besar artinya, bahwa naiknya laju pertumbuhan ekonomi ini diharapkan bisa mengatasi atau mengurangi tingkat kemiskinan masyarakat Bali.

Lebih lanjut perkembangan PDRB per kapita kabupaten/kota se-Bali disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Perkembangan PDRB Per Kapita Kabupaten/Kota se-Bali Atas

Dasar Harga Berlaku Tahun 2006-2009 (dalam ribuan rupiah)

No

Kab/Kota

2006

Pert( %)

2007

Pert (%)

2008

Pert (%)

2009

Pert (%)

1

Jembrana

8.883,06

7,73

9.745,54

9,71

11.282,67

15,77

12.678,72

12,37

2

Tabanan

7.636,75

9,10

8.470,19

10,91

9.802,08

15,72

10.886,70

11,07

3

Badung

19.312,32

7,41

21.560,05

11,64

25.176,70

16,77

30.350,42

20,55

4

Gianyar

9.787,60

9,41

11.008,64

12,48

12.769,23

15,99

14.553,39

13,79

5

Klungkung

9.976,42

8,88

11.050,50

10,77

12.821,88

16,03

14.532,69

13,34

6

Bangli

6.819,15

7,12

7.475,90

9,63

8.492,14

13,59

9.665,62

13,62

7

Karangasem

6.372,27

8,89

7.114,92

11,65

8.272,79

16,27

9.477,31

14,56

8

Buleleng

7.354,09

9,11

8.105,85

10,22

9.352,00

15,37

10.569,76

13,02

9

Denpasar

11.995,32

9,64

13.410,21

11,80

15.702,56

17,09

17.709,73

12,78

10

Prov. Bali

10.895,40

9,60

12.166,39

11,67

14.198,73

16,70

16.214,90

14,20

Sumber : BPS Provinsi Bali, 2010

Berdasarkan Tabel 3 terlihat bahwa pada tahun 2009 pencapaian pertumbuhan PDRB per Kapita tertinggi diraih Kabupaten Badung sebesar 20,55 persen. Sebaliknya terendah terjadi di Kabupaten Tabanan sebesar 11,07 persen. Lebih jauh lagi, jika membahas masalah ketimpangan antar wilayah, dimana pada tahun 2006 peringkat tertinggi tetap berdada di Kabupaten Badung sebesar Rp 19.312.32; sementara itu terendah dimiliki oleh Kabupaten Karangasem Rp 6.372.27. Bahkan Kabupaten Badung berada diposisi lebih tinggi dari Provinsi Bali sebesar Rp 10.895.40. Demikian juga di tahun 2007, baik Kabupaten Badung maupun Karangasem masih tetap menduduki posisi yang sama, selanjutnya kondisi ini juga masih tetap terlihat pada tahun 2008. Ini berarti telah memberikan gambaran bahwa masih terjadi ketimpangan pada tingkat kemakmuran masyarakat antar daerah di Bali.

Jika dilihat perbandingan PDRB per kapita kabupaten/kota dengan PDRB per Kapita Provinsi Bali, seperti terlihat pada Tabel 4, hanya Kabupaten Badung dan Kota Denpasar yang memiliki PDRB per Kapita diatas angka Provinsi Bali. Hal ini mencerminkan bahwa tingkat kemakmuran masyarakat dikedua daerah tersebut relatif lebih baik dibandingkan kabupaten lainnya. Dugaan ini tentu didasarkan pada asumsi bahwa distribusi pendapatan masyarakat tiap-tiap kabupaten/kota adalah sama. Satu hal yang perlu diperhatikan di sini adalah pada Kabupaten Jembrana, Klungkung dan Karangasem, dimana pada ketiga kabupaten ini memiliki laju pertumbuhan ekonomi dan PDRB per Kapita dalam katagori rendah atau berada di bawah angka provinsi. Dengan demikian pada ketiga kabupaten tersebut perlu mendapatkan porsi perhatian lebih dari pemerintah, terutama porsi pembangunan di Bali, agar ketertinggalan secara relatif dapat diatasi. Secara tidak langsung juga akan membawa pengaruh kepada keberadaan penduduk miskinnya.

Tabel 4. Laju Pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga Konstan Tahun

2000 dan PDRB Per Kapita Kabupaten/Kota Se-Bali Tahun 2009

No

Kabupaten/Kota

Laju Pertumbuhan PDRB (%)

PDRB Per Kapita Harga Berlaku

%

Kriteria

Ribu Rupiah

Kriteria

1

Jembrana

4,82

Rendah

12.678,72

Rendah

2

Tabanan

5.44

Tinggi

10.886,70

Rendah

3

Badung

6.39

Tinggi

30.350,42

Tinggi

4

Gianyar

5,93

Tinggi

14.553,39

Rendah

5

Klungkung

4,92

Rendah

14.532,69

Rendah

6

Bangli

5,71

Tinggi

9.665,62

Rendah

7

Karangasem

5,01

Rendah

9.477,31

Rendah

8

Buleleng

6,10

Tinggi

10.569,76

Rendah

9

Denpasar

6,53

Tinggi

17.709,73

Tinggi

Provinsi Bali

5,33

16.214,90

Sumber: BPS Provinsi Bali, 2010

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Provinsi Bali

IPM dibangun melalui pendekatan tiga dimensi dasar. Dimensi tersebut mencakup umur panjang dan sehat; pengetahuan dan kehidupan yang layak. Ketiga dimensi tersebut memiliki pengertian yang sangat luas karena terkait banyak faktor. Mengukur dimensi kesehatan digunakan angka harapan hidup. Selanjutnya untuk mengukur dimensi pengetahuan digunakan gabungan indikator

angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah. Adapun untuk mengukur dimensi hidup layak digunakan indikator kemampuan daya beli. Untuk lebih jelasnya IPM masing-masing kabupaten/kota disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Nilai IPM Masing-Masing Kabupaten/Kota di Provinsi Bali

Tahun 2005--2009

No

Kabupaten/Kota

Nilai IPM

2005

2006

2007

2008

2009*)

1

Jembrana

70,40

70,70

71,40

72,02

72,49

2

Tabanan

72,30

72,40

73,11

73,03

74,24

3

Badung

71,60

72,70

73,64

74,12

74,47

4

Gianyar

70,80

71,10

71,66

72,00

72,41

5

Klungkung

68,70

68,90

69,01

69,66

70,17

6

Bangli

68,70

68,90

69,46

69,72

70,18

7

Karangasem

63,30

64,30

65,11

65,46

65,88

8

Buleleng

68,10

68,40

69,15

69,67

70,24

9

Denpasar

75,20

75,70

76,59

77,18

77,53

Provinsi Bali

69,80

70,10

70,53

70,92

71,52

Keterangan:*) angka sementara Sumber: BPS Provinsi Bali, 2010

Pada Tabel 5 terlihat bahwa dari tahun 2005 sampai 2009 semua kabupaten/kota di Bali termasuk katagori pembangunan manusia menengah (IPM berkisar 51-79). Pembangunan manusia di Bali sudah cukup baik, namun tetap harus ditingkatkan lagi sehingga tercapai katagori pembangunan manusia tinggi. Lebih lanjut kalau diperhatikan secara lebih saksama terlihat bahwa dari tahun 2005-2009, nilai IPM Provinsi Bali selalu bergerak kearah positif. Pada awal 2005, IPM Bali tercatat 69,80. Nilai tersebut setiap tahunnnya terus meningkat sehingga mencapai 71,52 di tahun 2009. Ini memperlihatkan kualitas pembangunan di Provinsi Bali semakin meningkat sejalan dengan membaiknya kondisi perekonomian Bali. Namun demikian sangat disayangkan peringkatan IPM Provinsi Bali di skala nasional masih tetap berada di peringkat 16 (enam belas) seperti tahun-tahun sebelumnya.

Apabila dilihat secara rinci, nampak bahwa dari tahun 2005 sampai dengan 2009, Kabupaten Karangasem tetap tercatat sebagai Kabupaten dengan nilai IPM terendah. Hal ini dapat dimaklumi karena dari segi ekonomi Karangasem merupakan daerah paling tertinggal, sehingga potensi untuk membangun manusia juga menjadi berkurang dibandingkan dengan daerah lainnya. Sementara itu

peringkat tertinggi IPM selalu dicapai oleh kota Denpasar. Hal ini juga dapat dipahami mengingat Denpasar sebagai ibukota Provinsi Bali, merupakan daerah dengan sentra ekonomi penting. Hal ini tentunya didukung dengan berbagai infrastruktur yang relatif lebih maju serta mampu mendukung kinerja pembangunan manusia secara lebih baik. Demikian juga halnya dengan daerah maju lainnya seperti Kabupaten Badung, yang juga menunjukkan nilai IPM cukup tinggi jika dibandingkan dengan daerah lainnya. Fenomena ini menun jukkan suatu pola bahwa kemajuan ekonomi suatu daerah akan diikuti oleh kemajuan sosial terutama pembangunan manusianya

Disisi lain, Kabupaten Jembrana dan Tabanan menunjukkan suatu fenomena yang menarik pula, walaupun kedua daerah ini tidak termasuk daerah maju di Provinsi Bali, namun pembangunan manusianya tergolong baik jika dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya. Hal ini ditunjukan dari nilai IPM kedua kabupaten ini berada diatas nilai provinsi sejak tahun 2005--2009. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tingkat pembangunan sosial suatu daerah tidak selalu tergantung pada tingkat perekonomian daerah tersebut. Dengan kata lain, suatu daerah yang maju dalam bidang ekonomi akan diikuti dengan kemajuan dalam pembangunan manusianya. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa daerah kurang majupun dapat menghasilkan kualitas pembangunan manusia yang baik pula.

Angka Harapan Hidup di Provinsi Bali

Pada tingkat makro, angka harapan hidup dipakai sebagai salah satu indikator keberhasilan pembangunan dalam bidang kesehatan. Peningkatan umur harapan hidup memberikan indikasi kompleks berbagai bidang secara lintas sektor. Peningkatan itu memberikan gambaran membaiknya kondisi sosial ekonomi penduduk, kesehatan dan lingkungan. Demikian pula sebaliknya, bila terjadi penurunan kondisi sosial ekonomi penduduk dalam satu periode berakibat penurunan umur harapan hidup.

Hasil perhitungan angka harapan hidup di Provinsi Bali tahun 2007 menunjukkan nilai relatif baik yaitu 70,60. Berdasarkan kecepatan perkembangan umur harapan hidup maka dari tahun 2005 ke 2007 peningkatan angka harapan

hidup Bali mencapai 1,17 persen per tahun. Dengan kecepatan seperti itu berarti bahwa diperlukan waktu 12 tahun untuk masyarakat Bali agar bisa mencapai angka harapan hidup yang ideal, yaitu 85 tahun. Keadaan ini juga diikuti oleh hampir semua kabupaten/kota di Bali. Kabupaten Jembrana mengalami 1,30; Tabanan 1,04; sedangkan Badung 1,32; Gianyar 1,20; dan Kabupaten Klungkung 0,96; Karangasem 0,98; Kabupaten Buleleng 1,63, dan Denpasar 1,12.

Tabel 6. Angka Harapan Hidup Provinsi Bali Menurut Kabupaten/ Kota

Provinsi Bali Tahun 2005 – 2009

No

Kabupaten/Kota

Angka Harapan Hidup

2005

2006

2007

2008

2009

1

Jembrana

71,40

71,50

71,63

71,70

71,73

2

Tabanan

74,20

74,20

74,32

74,30

74,38

3

Badung

71,40

71,60

71,69

71,70

71,75

4

Gianyar

71,80

71,90

71,99

72,00

72,06

5

Klungkung

68,80

68,90

68,95

69,00

69,05

6

Bangli

71,30

71,30

71,40

71,50

71,56

7

Karangasem

67,60

67,70

67,77

67,80

67,85

8

Buleleng

68,20

68,40

68,65

66,80

68,96

9

Denpasar

72,80

72,80

72,85

72,90

71,96

Provinsi Bali

70,40

70,50

70,60

70,60

70,67

Sumber: BPS Provinsi Bali, 2010

Berdasarkan Tabel 6 secara umum angka harapan hidup masyarakat Bali relatif baik karena berada diatas rata rata angka harapan hidup provinsi Bali, kecuali Kabupaten Karangasem, Klungkung, dan Buleleng berada dibawah angka rata-rata Bali, pada tahun 2004. Demikian juga pada tahun 2009 masih tetap berada dibawah angka rata-rata Bali. Namun, telah terjadi kenaikan angka harapan hidup dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

Kemiskinan di Provinsi Bali

Kemiskinan terus menjadi masalah dan fenomena di semua negara termasuk Indonesia. Kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya tabungan, dan tidak adanya investasi, kurangnya akses kepelayanan publik, kurangnya lapangan pekerjaan, kurangnya jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga, menguatnya arus urbanisasi serta lebih parahnya lagi kemiskinan telah menyebabkan jutaan rakyat dalam memenuhi kebutuhan pangan, sandang, dan papan sangat terbatas.

Konsep tentang kemiskinan sangat beragam, mulai dari sekedar ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan, kurangnya kesempatan berusaha, hingga pengertian yang lebih luas termasuk aspek sosial dan moral. Tetapi, ketika membicarakan masalah kemiskinan, yang dimaksud adalah kemiskinan material sehingga jika seseorang masuk dalam katagori miskin apabila tidak dapat memenuhi standar kebutuhan minimum akan kebutuhan pokoknya.

Membicarakan masalah kemiskinan tidak bisa dan tidak dapat dituntaskan secara singkat karena masalah kemiskinan merupakan masalah pokok yang bersifat multisektoral, yang menyangkut berbagai sektor kehidupan masyarakat mulai dari sektor kesehatan, pendidikan, sampai dengan ketenagakerjaan, sehingga diperlukan kebijaksanaan yang komprehensif untuk menanggulangi kemiskinan tersebut. Tiga program pokok pemerintah saat ini diantaranya adalah pengentasan kemiskinan melalui kebijakan yang dikenal dengan pro poor. Namun demikian, ada kesan bahwa kebijakan dan program yang dilaksanakan pemerintah belum menampakkan hasil yang memadai. Masih dijumpai adanya beberapa kesenjangan antara perencanaan dengan tujuan karena kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan masih banyak yang berorientasi pada program sektoral sehingga untuk itu diperlukan suatu strategi penanggulangan kemiskinan yang terpadu, terintegrasi, dan sinergis.

Tabel 7. Jumlah dan Persentase Perubahan Penduduk Miskin di Bali

Tahun 2004 – 2009

Tahun

Jumlah Penduduk Miskin (ribu jiwa)

Persentase Penduduk Miskin

Kota

Desa

Kota+Desa

Kota

Desa

Kota+Desa

2004

87,0

144,9

231,9

5,05

8,71

6,85

2005

105,9

122,5

228,4

5,40

8,51

6,72

2006

127,4

116,0

243,5

6,40

8,03

7,08

2007

119,8

109,2

229,0

6,01

7,47

6,63

2008

115,1

100,7

215,7

5,70

6,81

6,17

2009

92,1

89,7

181,7

4,50

5,98

5,13

Sumber: BPS Provinsi Bali, data Susenas, 2010

Tabel 7 menggambarkan jumlah penduduk miskin desa dan kota tahun 2004 sebesar 231,9 ribu jiwa atau 6,85 persen, kemudian sampai tahun 2009 penduduk miskin desa dan kota sebesar 181,7 ribu jiwa atau sebesar 5,13 persen. Sama

dengan data tingkat nasional, pertumbuhan penduduk miskin di Bali terparah pada tahun 2006 yaitu sebesar 243,5 ribu jiwa atau 7,08 persen, sampai akhirnya mengalami penurunan secara terus menerus sampai pada tahun 2009, hanya saja tingkat kemiskinan di daerah pedesaan masih relatif tinggi.

Secara absolut penduduk miskin di Bali telah mengalami penurunan setiap tahunnya. Hal ini disebabkan oleh keberhasilan pemerintah dalam upaya mengentaskan kemiskinan di daerahnya. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi merupakan salah satu yang menyebabkan kemiskinan di Bali mengalami penurunan.

Hal yang umum dilakukan untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan masyarakat (kemiskinan relatif) suatu daerah adalah dengan melakukan pendekatan kriteria Bank Dunia dan Koeffisien Gini (Gini Ratio). Tabel 8. Distribusi Pendapatan Penduduk dan Gini Ratio di Bali Tahun

2004 – 2009

Tahun

PDRB Berlaku (Juta Rupiah)

PDRB Per

Kapita (Rp)

Distribusi Pendapatan Penduduk

Gini Ratio

40 % Rendah

40 % Sedang

20 % Tinggi

2004

28.986.595,66

8.532.322,77

23,11

39,96

36,94

0,267

2005

33.946.467,53

10.032.730,95

20,13

37,66

42,20

0,328

2006

37.388.484,90

10.895.398,16

21,52

37,99

40,49

0,305

2007

42.336.424,40

12.166.390,85

22,82

38,94

38,24

0279

2008

49.922.604,45

14.198.733,34

21,36

37,86

40,77

0,310

2009

57.579.254,27

16.241.899,56

22,15

38,75

38,10

0,291

Sumber: BPS Provinsi Bali, 2010

Pada Tabel 8 selama periode 2004 – 2009 pendapatan yang diterima oleh 40 persen penduduk dalam kelompok berpendapatan terendah di Provinsi Bali cenderung berfluktuasi. Namun demikian, secara umum selama lima periode terakhir Provinsi Bali masih tergolong pada tingkat ketimpangan rendah karena 40 persen penduduk dalam kelompok berpendapatan terendah menerima lebih dari 20 persen total pendapatan. Pendapatan yang diterima oleh 40 persen penduduk dalam kelompok terendah mengalami fluktuatif dari tahun 2004-2009. Di tahun 2004 pendapatan yang diterima oleh kelompok penduduk tersebut tercatat 23,11 persen. Setelah mengalami fluktuasi, nilai tersebut tercatat menurun di tahun 2009 menjadi 22,15 persen. Namun, kondisi ini masih lebih baik dari tahun sebelumnya yang hanya 21,36 persen. Kondisi ini mencerminkan bahwa pembangunan di Bali

dan distribusi pendapatannya sudah relatif merata, meskipun mengalami degradasi pemerataan dibandingkan dengan beberapa periode sebelumnya yaitu tahun 2004.

Selain distribusi pendapatan versi Bank Dunia tersebut, indikator lain yang dipergunakan untuk menunjukkan tingkat pemerataan pendapatan masyarakat tersebut adalah pendekatan “Koeffisien Gini Ratio“. Sebagaimana halnya distribusi pendapatan, angka gini ratio Provinsi Bali selama periode 2004 – 2009 juga berfluktuasi. Di tahun 2004 angka gini rationya sebesar 0,267 dan meningkat di tahun 2005 menjadi 0,328, kemudian menurun di tahun 2006 dan 2007, yaitu masing masing sebesar 0,305 dan 0,297, dan meningkat lagi menjadi sebesar 0,310 pada tahun 2008 dan di tahun 2009 menurun lagi menjadi 0,291, lebih rendah dari gini ratio pada tahun 2007. Namun, sesuai dengan teori tentang gini ratio ini dikatakan bahwa gini ratio Provinsi Bali ditahun 2009 sudah relatif merata karena angka gini ratio berada diantara 0,200 sampai dengan 0,350, yaitu sebesar 0,291. Kondisi ini menunjukkan bahwa pembangunan yang dilakukakan oleh Provinsi Bali sudah mengenai sasaran, tetapi masih perlu ditingkatkan di tahun-tahun mendatang.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Pada dasarnya pembangunan tersebut bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di berbagai bidang ekonomi dan sosial, termasuk mengurangi tingkat kemiskinan yang terjadi dalam masyarakat. Hasil pembangunan ini bisa diamati melalui berbagai indicator, seperti bidang pendidikan, kesehatan, pendapatan masyarakat, dan lainnya. Khusus untuk menilai atau mengukur tingkat keberhasilan pemerintah meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, atau mengurangi jumlah kemiskinan dapat dilihat melalui indikator Indek Pembangunan Manusia.

Indeks pembangunan manusia Provinsi Bali pada tahun 2004 sebesar 69,10, sedangkan tahun 2009 menjadi 71,52. Hal ini telah menempatkan Provinsi Bali berada diposisi ke enam belas untuk IPM di Indonesia. Namun, dilihat dari angka harapan hidup menunjukkan bahwa Provinsi Bali berada di posisi keempat di

Indonesia. Demikian juga telah menempatkan kota Denpasar pada posisi keempat di Indonesia, yaitu sebesar 72,96.

Secara umum Provinsi Bali kinerja perekonomiannya mengalami perubahan yang positif dilihat dari PDRB perkapita baik dari harga berlaku maupun konstan mengalami peningkatan di tahun 2009. PDRB perkapitanya meningkat 14,20 persen dari tahun sebelumnya, yakni dari Rp 14.198,73 ribu ditahun 2008 menjadi Rp 16.214,94 ribu di tahun 2009. Gini Ratio sebesar 0,291 berarti telah terjadi tingkat kemerataan pendapatan yang relatif merata.

Pada tahun 2009 jumlah penduduk miskin di Bali, baik di pedesaan dan perkotaan hanya 181,7 ribu jiwa atau 5,13 persen. Dibandingkan sebelumnya tahun 2008 jumlah penduduk miskin baik di pedesaan maupun perkotaan sebesar 215,7 ribu jiwa atau sebesar 6,17 persen. Jumlah keluarga miskin di Provinsi Bali tahun 2009 sebanyak 134.804 KK yang tersebar di sembilan kabupaten/kota. Jumlah terbanyak terdapat di Kabupaten Buleleng sebesar 45.187 KK atau 25,53 persen, sedangkan terendah terdapat kota Denpasar sebesar 3.571 KK atau sebesar 3,16 persen.

Saran

Adanya perbedaan nilai IPM dan rangking yang dimiliki antara kabupaten/kota di Bali menunjukkan hasil pembangunan tidak merata. Banyak faktor yang mempengaruhi perbedaan tersebut, mulai dari sumber daya manusianya, sumber daya alamnya, dan dana yang dimiliki. Di samping itu, kebijakan pembangunan di masa lalu yang cenderung sentralistik dan seragam turut pula mewarnai hasil yang dicapai pada tingkat bawah. Mengatasi kondisi tersebut, hendaknya kebijaksanaan pembangunan disesuaikan dengan kondisi daerah setempat. Rancangan pembangunan antara top down-bottom up dilaksanakan secara berjenjang dan pembangunan hendaknya difokuskan pada program program yang menyangkut kehidupan masyarakat banyak terutama yang bisa mengentaskan kemiskinan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2008. Indeks Pembangunan Manusia 2006 – 2007. Badan Pusat

Statistik. Jakarta

_______.2008. Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Gini Ratio dan Distribusi Pendapatan Bali 2007. Kerjasama Bappeda Provinsi Bali dan Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. Bali

_______.2007. Model Pertumbuhan Ekonomi Regional Jangka Panjang Provinsi Bali Tahun 2007. Kerjasama Bank Indonesia dengan Komite Kerjasama Fakultas Ekonomi Universitas Udayana. Bali

_______,2010. Data Membangun Bali. Badan Pusat Statistik Provinsi Bali

_______,2010. Statistik Indonesia, Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Abdurachim, Iih. 1986. Pengantar Masalah Penduduk, Bandung, Alumni.

Arsyad Lincolin. 2004. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah. Yogyakarta: PT. BPFE Yogyakarta

Kuta. 2004. Efektifitas Program Kelompok Belajar Usaha Dalam Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Karangasem. Tesis, Magister Ekonomi Pembangunan Pasca Sarjana Universitas Udayana, Denpasar

Lison. 2003. Efektifitas Penanggulangan Kemiskinan Terhadap Keluarga Pra Sejahtera di Kabupaten Badung. Tesis, Magister Ekonomi Pembangunan Pasca Sarjana Universitas Udayana, Denpasar

Prihartini, Diah Aryati. 2006. Perbandingan Total Kemiskinan Versi Pemerintah Indonesia dan Bank Dunia dengan Peran Strategis dari Usaha Mikro untuk Pengentasan Kemiskinan. Jurnal Fakultas Ekonomi Universitas Gunadarma, Depok

Tadjuddin, Noer Effendi. 1995. Sumber Daya Manusia Peluang Kerja dan Kemiskinan. Cetakan 11. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogyakarta.

______,1998. Kesempatan Kerja Sektor Informal di Daerah Perkotaan, Indonesia (Analisis Pertumbuhan dan Peranannya), dalam Majalah Geografi Indonesia. Th 1, No.2, September 1988, hal 1-10

Todaro. Michael P. 2000. Pembangunan Ekonomi, Edisi Kelima, Jakarta: Erlangga

Zadjuli, Imam Suroso. 1995. Penanggulangan Kemiskinan, Problem dan Strategi Pengentasannya. Surabaya: Universitas Airlangga

22