PERAN MODAL SOSIAL DALAM PEMBERDAYAAN INDUSTRI KERAJINAN DI PROVINSI BALI

Ni Nyoman Yuliarmi

Fakultas Ekonomi Universitas Udayana email: [email protected]

ABSTRACT

The aims of this research determine : the effect of social capital on handicraft industry empowerment. The population in this research are all SMEs actor at districts/county in Bali Province. To determine the sample, it is used purposive sampling method, based on the largest business units from their respective districts. The number of sample units represented by this population in each district is selected by stratified random sampling method. The number of samples obtained at least 204 people. This research uses quantitative analysis approach; the technique used is Structural Equation Modeling (SEM) using variance-based calculation process. The calculation is assisted by Partial Least Square (PLS), a SmartPLS software version 2.0 M3.

The research results showed that: Social capital is not proven able to affect handicraft industry empowerment directly. The custom traditional institutions could become mediating variable (full mediation) between social capital and the role of government towards the SMEs empowerment in Bali Province.

Keyword: Social Capital, Empowerment

PENDAHULUAN

Aplikasi kebijakan perekonomian yang bercorak kerakyatan dalam jangka pendek di fokuskan pada tujuan untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran, mengurangi kesenjangan yang terjadi antardaerah, meningkatkan kualitas hidup manusia yang tercermin dari terpenuhinya hak-hak sosial masyarakat, adanya peningkatan mutu lingkungan hidup dan terkelolanya sumber daya alam serta dukungan infrastruktur yang memadai.

Upaya-upaya ke depan untuk memberantas kemiskinan dapat lebih terfokus ke arah pengembangan aset ekonomi produktif bagi kaum miskin. Ini dapat dilakukan dengan cara membantu masyarakat miskin yang memiliki usaha kecil dengan

semangat berwirausaha tinggi diupayakan bantuan permodalan dalam bentuk modal secara fisik, modal manusia dalam bentuk meningkatkan keterampilan untuk berusaha, maupun meningkatkan peran modal sosial.

Badan Pusat Statistik (BPS, 2009) menginformasikan sekitar 99,9 persen dari total jumlah usaha yang ada di Indonesia adalah jumlah usaha kecil dan menengah yang mampu menyerap tenaga kerja sekitar 99,4 persen dari total angkatan kerja. Kontribusi dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) cukup besar mencapai 56,7 persen dan sumbangan terhadap penerimaan devisa negara melalui kegiatan ekspor 19,9 persen dari total nilai ekspor (Ramli, 2010).

Keberdayaan usaha kecil dan menengah juga diperkuat oleh unsur-unsur dari luar, sehingga diharapkan mampu menciptakan daya saing dengan produk sejenis lainnya. Namun dilihat dari peran usaha kecil dan menengah terhadap kegiatan ekspor masih relatif kecil dibandingkan dengan usaha besar. Ini mengindikasikan bahwa usaha kecil dan menengah sepertinya belum sepenuhnya mempunyai keunggulan terhadap daya saing produk sejenis yang dihasilkan negara lain.

Struktur industri akan kuat bila ada dukungan kuat pemerintah pusat dan daerah untuk menghilangkan praktek-praktek yang menciptakan ekonomi biaya tinggi, komitmen untuk memajukan potensi lokal, konsistensi program dan infrastruktur yang mendukung. Untuk itu semua diperlukan kesamaan pandang guna memecahkan berbagai persoalan yang dialami industri nasional, terutama tidak bersifat parsial dan berjangka pendek tetapi sistemik dan berjangka panjang (Primiana, 2005).

Peningkatan pembinaan kemampuan pengusaha kecil menjadi pengusaha menengah untuk memperkuat perekonomian nasional, dapat dilakukan melalui pemberdayaan Industri Kecil dan Menengah (IKM) di setiap daerah, sebagai ujung tombak pembangunan tanpa kecuali Provinsi Bali. Keunggulan serta potensi lokal yang menonjol pada setiap kabupaten/kota di Provinsi Bali adalah industri kecil dan menengah utamanya industri kerajinan, sebagai penunjang sektor pariwisata. Sektor ini mampu menggeser struktur perekonomian Provinsi Bali, yang awalnya memiliki

keunggulan di sektor pertanian sebagai sektor primer, bergeser ke sektor sekunder dan tersier. Malahan struktur ekonomi Provinsi Bali mengalami lompatan dari pertanian ke jasa atau dari primer ke tersier (Suyana, 2006).

Pada kenyataannya sebagaimana yang sering dikemukakan bahwa upaya-upaya pemberdayaan masyarakat lebih menekankan pada kehadiran dari modal keuangan, modal sumberdaya manusia, modal alam, maupun inovasi teknologi. Kehadiran variabel tersebut yang diyakini sangat berperanan dalam meningkatkan produktivitas. Tingginya tingkat produktivitas usaha sering dijadikan dasar interpretasi dari kemampuan masyarakat untuk meningkatkan keberdayaannya. Dengan terfokusnya faktor tersebut sebagai indikator input untuk menghasilkan suatu produk tertentu sering mengabaikan variabel modal sosial sebagai input yang sesungguhnya sangat berperan secara ekonomi untuk meningkatkan produktivitas usaha dan efisiensi (Coleman, 1988).

Pentingnya peranan modal sosial juga dikemukakan oleh Mawardi (2007), bahwa dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat (ekonominya) di banyak negara termasuk di Indonesia terlalu menekankan pentingnya peranan modal alam (natural capital) dan modal ekonomi (economic capital) modern seperti barang-barang modal buatan manusia, teknologi dan manajemen, dan sering mengabaikan pentingnya modal sosial seperti kelembagaan lokal, kearifan lokal, norma-norma dan kebiasaan lokal.

World Bank (1998) dalam Syahyuti (2008), memberikan perhatian yang sangat tinggi terhadap peranan modal sosial khususnya dalam negara sedang berkembang yang diimplementasikan untuk mengentaskan kemiskinan. Paham yang dikemukakan tersebut didasakan pada asumsi (a) modal sosial terkait dengan ekonomi, sosial dan politik serta hubungan sosial mempengaruhi bagaimana pasar dan negara bekerja dan sebaliknya, pasar dan negara juga akan membentuk bagaimana modal sosial di masyarakat; (b) hubungan yang stabil antar aktor dapat mendorong keefektifan dan efisiensi baik perilaku kolektif maupun individual; (c) modal sosial dalam suatu masyarakat dapat diperkuat namun membutuhkan

dukungan sumber daya tertentu untuk memperkuatnya; (d) agar tercipta hubungan sosial dan kelembagaan yang baik maka anggota masyarakat mesti mendukungnya.

Norma melalui tradisi sejarah yang terbangun dari tata cara dan perilaku seseorang atau suatu kelompok masyarakat akan muncul modal sosial yang dapat mengatur kepentingan pribadi maupun kelompok. Norma-norma ini secara informal dapat mengatur hubungan antar satu individu dengan individu lainnya atau kelompok sehingga menimbulkan kepercayaan diantara sesamanya. Secara kriteria ekonomi atas dasar kepercayaan maka suatu kegiatan ekonomi dapat berlangsung secara produktif, efisien dan ekonomis. Berdasarkan pada fakta tersebut dimunculkan pertanyaan penelitian “bagaimana pengaruh modal sosial terhadap pemberdayaan industri kerajinan di Propinsi Bali”?

KAJIAN PUSTAKA

Pemberdayaan Sebagai Suatu Pendekatan Konsep

Pemberdayaan berasal dari bahasa lnggris, empowerment. Power dapat diartikan sebagai kekuasaan (seperti dalam executive power), atau kekuatan (seperti pushing power), atau daya (seperti horse power). Dengan pemahaman mengenai hakekat power seperti itu, bahwa untuk memajukan secara nyata mereka yang tertinggal, yang berada di lapisan yang paling bawah dalam suatu kondisi ketimpangan, adalah dengan membangkitkan keberdayaan mereka, sehingga memiliki bagian dari power, yang memungkinkan memperbaiki kehidupannya di atas kekuatannya sendiri. lnilah konsep empowerment atau pemberdayaan. Kata power dalam empowerment diartikan "daya" sehingga empowerment diartikan sebagai pemberdayaan. Daya dalam arti kekuatan yang berasal dari dalam, tetapi dapat diperkuat dengan unsur-unsur penguatan yang diserap dari luar. Pemberdayaan bertujuan dua arah. Pertama, melepaskan belenggu kemiskinan dan keterbelakangan. Kedua, memperkuat posisi lapisan masyarakat dalam struktur kekuasaan. Kedua-

duanya harus ditempuh, dan menjadi sasaran dari upaya pemberdayaan (Kartasasmita, 1996).

Pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada program-program pemberian (charity). Karena pada dasarnya setiap apa yang dinikmati, harus dihasilkan atas usaha sendiri (yang hasilnya dapat dipertukarkan dengan pihak lain). Dengan demikian, tujuan akhirnya adalah memandirikan masyarakat dan membangun kemampuan untuk memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik secara sinambung. Oleh karena pemberdayaan menyangkut perubahan bukan hanya kemampuan, melainkan juga sikap, maka pemberdayaan adalah sebuah konsep kebudayaan. Menurut pandangan itu maka pemberdayaan masyarakat tidak hanya akan menghasilkan emansipasi ekonomi dan politik masyarakat di lapisan bawah, tetapi juga akan menjadi wahana transformasi budaya. Melalui pemberdayaan, masyarakat akan memiliki keyakinan yang lebih besar akan kemampuan dirinya. Ia tidak lagi harus menyerah kepada nasib, bahwa kemiskinan adalah bukan takdir yang tidak dapat diatasi. Menanamkan nilai-nilai budaya modern seperti kerja keras, hemat, disiplin, keterbukaan, dan kebertanggungjawaban adalah bagian pokok upaya pemberdayaan ini. Pemberdayaan masyarakat membuka pintu pada proses akulturasi, yaitu perpaduan nilai-nilai baru dengan nilai-nilai lama yang menggambarkan jati diri. Nilai lama yang relevan dapat tetap dipertahankan, karena diyakini tidak perlu mengganggu proses modernisasi yang berlangsung dalam dirinya. Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu warga masyarakat, melainkan juga pranata-pranatanya. Demikian pula pembaharuan institusi-institusi sosial dan pengintegrasiannya ke dalam kegiatan pembangunan serta peran masyarakat di dalamnya. Melalui proses budaya itu pula keberdayaan masyarakat akan diperkuat dan diperkaya, dan dengan demikian akan makin kuat pula aksesnya kepada sumber power. Melaui proses spiral itu, maka akan tercipta masyarakat yang berkeadilan, karena konstelasi kekuasaan sudah dibangun di atas landasan pemerataan (Kartasasmita, 1996).

Nauman et al ( 2009), dalam tulisannya mengutip beberapa pemahaman tentang empowerment dari beberapa penulis sebelumnya. Pemberdayaan seringkali didefinisikan sebagai aksi memberi orang-orang kesempatan untuk membuat keputusan-keputusan di tempat kerja dengan memperluas otonomi pengambilan keputusan mereka. Nielsen dan Christian (2003) menjelaskan bahwa empowerment mungkin memasukkan penyebaran informasi, memberikan pengetahuan dan mengganjar kinerja seluruh elemen-elemen yang dibutuhkan bagi semuanya: jika pegawai dibijaksanai untuk bertindak secara tepat pada pertemuan layanan mereka maka manajemen sangat penting memberi mereka keahlian, informasi dan ganjaran yang dibutuhkan.

Kelembagaan dalam Perspektif Aturan dan Perilaku

Dalam analogi proses ekonomi dengan game, ekonom telah menganggap institusi sama dengan pemain game, aturan main, atau hasil (ekulibrium) dari game. Ketika orang-orang biasanya berbicara tentang percakapan sehari-hari, mereka biasanya berbicara tentang pembentukan organisasional, seperti pemerintah, universitas, korporasi, yayasan, organisasi keagamaan dan sebagainya. Cara bagaimana institusi berubah mencerminkan kepercayaan yang dimiliki orang-orang; dan kepercayaan yang dibutuhkan orang-orang yang dipahami sebagai bagaimana orang belajar, apa yang mereka pelajari, mengapa mereka mempelajari apa yang dilakukan, dan mengapa mereka percaya (North,1998).

Institusi bisa dipandang dari perspektif perilaku atau perspektif aturan. Menurut Ismail, (2003) sebagaimana yang dijelaskan Nabli dan Nugent (1989), bahwa pada aspek perilaku, institusi dapat diartikan sebagai norma perilaku yang kompleks dan berlaku dalam jangka waktu tertentu yang berlaku sebagai rujukan nilai secara kolektif. Tetapi bila dipandang dari perspektif aturan (rule), institusi adalah aturan-aturan yang berlaku di masyarakat atau organisasi yang memungkinkan individu-individu melakukan koordinasi melalui keyakinan adanya kesamaan harapan

diantara mereka. Dilihat dari perspektif manapun institusi memiiliki fungsi yang sama yaitu sebagai pedoman dalam aturan bermain.

Menurut Yustika (2008), pendefinisian dapat dipandang sebagai suatu proses dan tujuan. Sebagai suatu proses, maka kelembagaan merujuk pada upaya untuk mendesain pola interaksi antar pelaku ekonomi sehingga mereka bisa melakukan kegiatan transaksi. Jika berhubungan dengan tujuan, maka kelembagaan berkonsentrasi untuk menciptakan efisiensi ekonomi berdasarkan struktur kekuatan ekonomi, politik, dan sosial antar pelakunya.

Budaya dan Fenomena Ekonomi

Brooks (2008), menjelaskan bahwa, seluruh penulis setuju bahwa budaya harus ada sebagai fungsi dari alat-alat kognitif. Ini menunjukkan bahwa ada elemen-elemen budaya ideal, di mana bermacam-macam dari elemen tersebut menunjukkan nilai, sikap, kepercayaan atau kadang-kadang merupakan suatu norma.

Budaya memiliki banyak makna, namun secara sederhana budaya dapat dikatakan sebagai pandangan hidup masyarakat, atau sebagai system simbul dan nilai yang berlaku di masyarakat. Meskipun budaya merupakan bagian dari institusi tetapi para ekonom kelembagaan sering mengesampingkan persoalan budaya, termasuk new institutional economics, sekalipun. Bagi ekonom pada umumnya apapun alirannya, sangat tidak tertarik untuk membahas peranan budaya dalam ekonomi. Mereka mengasumsikan budaya sebagai variabel yang konstan. Dalam realitas banyak kebijakan yang gagal diwujudkan karena diadopsi dari tempat lain yang berbeda budayanya (Ismail, 2003).

Budaya dapat dikaitkan dengan semangat kerja seseorang. Budaya yang menghargai tinggi bekerja dan menghargai rendah menganggur, selalu menghasilkan semangat kerja yang sangat tinggi dengan demikian orang itu dikatakan memiliki keunggulan lebih dibandingkan orang lain. Orang juga bisa memiliki sifat jujur dan dapat dipercaya. Jujur serta menghargai tinggi bekerja bukan aspek ekonomi, tetapi persoalan yang terkait dengan pandangan hidup. Jadi pandangan hidup yang dimiliki

seseorang melahirkan nilai ekonomi yang bisa digunakan sebagai modal untuk melakukan kegiatan ekonomi (Leksono, 2009).

Jadi dapat diringkas bahwa budaya melibatkan elemen-elemen fisik, yang secara beragam ditunjukkan sebagai aksi, reaksi, praktek, dan konvensi bagaimana untuk bertindak. Elemen tersebut menunjukkan nilai, sikap, kepercayaan atau kadang-kadang merupakan suatu norma, yang merupakan suatu pandangan hidup yang berlaku di masyarakat. Jadi pandangan hidup yang dimiliki seseorang melahirkan nilai ekonomi yang bisa digunakan sebagai modal untuk melakukan kegiatan ekonomi.

Organisasi Sosial Masyarakat

Organisasi sosial masyarakat pada umumnya mengacu kepada masyarakat geografis lokal, umumnya tetangga. Organisasi sosial masyarakat mengacu kepada kemampuan struktur masyarakat untuk merealisasikan nilai umum dari penduduknya dan mempertahankan kontrol sosial yang efektif. Aplikasi kumpulan sumber daya dibutuhkan masyarakat untuk merealisasikan keunggulan kolektif melalui aktivitas interlocking dari sekumpulan jaringan formal dan informal, institusi dan organisasi secara lokal. Faktor-faktor masyarakat kontekstual meliputi status makroekonomi masyarakat, ukuran populasi dan kepadatan, dan level mobilitas penduduk, heterogenitas etnis, urbanisasi dan gangguan keluarga. Dimensi intervening organisasi sosial berfokus kepada kemampuan masyarakat untuk mengawasi dan mengontrol kelompok remaja, jaringan persahabatan lokal informal, dan partisipasi lokal dalam organisasi formal dan sukarela (Voydanoff, 2001).

Jaringan Sosial

Konsep jaringan sosial berhubungan erat dengan organisasi sosial masyarakat. Konseptualisasi Freudenberg (1986) dalam Voydanoff (2001) tentang kepadatan persahabatan pada level masyarakat, sementara dikembangkan dalam kerangka kerja organisasi sosial masyarakat, adalah serupa dengan keragaman jaringan seperti yang

diformulasikan dalam teori jaringan sosial. Konsep jaringan sosial menekankan kepada elemen-elemen struktural, sementara organisasi sosial masyarakat berfokus kepada proses kolektif seperti pencapaian nilai masyarakat dan kriteria relasional, sementara organisasi sosial masyarakat menggunakan sebuah kerangka referensi teritorial.

Voydanoff (2001), mengutip pernyataan dari Leington, bahwa ketika masyarakat dibahas dalam pengertian jaringan, ini didefinisikan sebagai unit dari organisasi sosial yang terdiri dari jaringan personal tumpang tindih dari masyarakat yang ditunjukkan oleh ikatan sosial tahan lama di mana secara rutin menunjukkan level interaksi sosial tinggi yang dikarakteristikkan oleh aliran sumber daya. Sebuah jaringan adalah sekumpulan hubungan spesifik di antara sekumpulan orang-orang tertentu. Analisis jaringan sosial dimulai dengan sekumpulan anggota jaringan dan ikatan yang menghubungkan anggota satu dengan anggota lainnya. Struktur sosial dipandang sebagai pola jaringan organisasi anggota dan hubungan mereka (Wellman, 1999 dalam Voydanoff, 2001). Dalam cara ini, analisis jaringan dapat mengkaji bagaimana jaringan dihubungkan kepada institusi tunggal dan bagaimana divisi tenaga kerja skala besar mempengaruhi organisasi dan isi dari ikatan interpersonal. Analisis jaringan sosial berpusat-ego atau masyarakat personal berfokus kepada beberapa atribut jaringan. Ukuran jaringan adalah jumlah individual di mana menggunakan sebuah ikatan anggota jaringan. Komposisi jaringan mengacu kepada proporsi individual dalam jaringan yang mempunyai hubungan spesifik dengan individual.

Modal Sosial

Modal sosial memiliki cakupan dimensi yang sangat luas dan komplek. Para ahli memberikan pengertian tentang modal sosial sangat bervariasi, sesuai dengan sudut pandang serta dimensi yang dijadikan sebagai rujukan untuk memaknai modal sosial. Berbeda dengan modal manusia, yang lebih merujuk ke dimensi individu terkait dengan daya serta keahlian yang dimiliki seorang individu. Pada modal sosial

lebih menekankan pada potensi individu maupun kelompok dan hubungan antar kelompok dalam suatu jaringan sosial, norma, nilai, dan kepercayaan antar sesama yang lahir dari anggota kelompok dan menjadi norma kelompok.

Hughes dan Robert (2010), mengutip pendapat Inkpen dan Tsang (2005) tentang modal sosial. Modal sosial menampilkan kemampuan perusahaan untuk mendapatkan keuntungan dari jaringan. Keuntungan ini dapat meliputi akses kepada pengetahuan, sumberdaya, teknologi, pasar, dan kesempatan bisnis. Sebuah ikatan jaringan seperti yang terbentuk dalam kontrak persediaan antara satu perusahaan dengan lainnya menciptakan sumberdaya modal sosial. Ketika interaksi di dalam hubungan antar perusahaan naik, modal sosial menjadi lebih baik, sehingga secara potensial meningkatkan keuntungan. Level kepercayaan dan ketergantungan rasional antara perusahaan dalam sebuah hubungan khusus adalah indikator kualitatif dimensi relasional. Kepercayaan satu perusahaan kepada lainnya menciptakan kepercayaan, dan seberapa besar perusahaan berpartisipasi aktif dalam hubungan tersebut semakin meningkatkan kepercayaan (Hughes et al. 2007 dalam Hughes dan Robert, 2010).

Bourdieu (1986) dalam Adhikari, 2009), mendefinisikan modal sosial sebagai kumpulan sumberdaya yang dibutuhkan oleh individual atau kelompok sehingga dapat memiliki jaringan hubungan institusional yang lebih tahan lama agar saling mengakui dan menghargai. Bourdieu (1986) menyatakan bahwa kekuatan dan konflik adalah elemen-elemen penting tentang hubungan sosial dan volume modal sosial yang dimiliki oleh agen tergantung kepada ukuran jaringan hubungan yang dapat dimobilisasi secara efektif. Definisi berpengaruh lainnya tentang modal sosial menghubungkan modal sosial dalam menciptakan hasil pendidikan dan modal manusia (Coleman 1990 dalam Adhikari, 2009).

Menurut Putnam (1995) dalam Adhikari (2009), bahwa modal sosial mengacu kepada ciri organisasi sosial, seperti jaringan, norma dan kepercayaan yang memfasilitasi koordinasi dan kinerja agar saling menguntungkan. Dia melihat modal sosial sebagai bentuk barang publik berbeda dengan pengaruhnya terhadap kinerja ekonomi dan politik pada level kolektif. Dia menekankan bahwa partisipasi orang-

orang dalam kehidupan asosiasional menghasilkan institusi publik lebih efektif dan layanan lebih baik.

Modal sosial, dalam pengertian ekonomi terdiri dari present value dari hubungan aktor dengan aktor lain. Membangun hubungan dengan aktor lain membutuhkan sunk investment dalam hubungan sosial. Pertama, modal sosial adalah sebuah hubungan relasional, dimiliki bersama-sama oleh pihak yang melakukan hubungan. Tidak ada aktor yang mempunyai hak eksklusif terhadap modal sosial. Kedua, modal sosial berhubungan dengan rate of return dari fungsi produksi aktor. Melalui hubungan dengan kolega, teman dan klien datang kesempatan untuk mentransformasi keuangan dan modal manusia menjadi keuntungan (Burt 1992, dalam Furubotn dan Rudolf, 2005).

Didasarkan pada tulisan James Coleman, Fukuyama, Putnam dan lainnya, menyampaikan bahwa modal sosial, khususnya kepercayaan, berkembang melalui norma dan timbal balik serta kerjasama sukses dalam jaringan sipil. Kepercayaan memainkan peranan penting dalam mendorong kemakmuran ekonomi dan membuat demokrasi bekerja. Modal sosial adalah penting bagi kemakmuran, tetapi konsekuensi penting mungkin tidak dirasakan dalam ekonomi sebagaimana dalam kehidupan sosial dan politik. Dengan cara yang sama, Putnam menyatakan bahwa untuk stabilitas politik, untuk efektivitas pemerintah dan bahkan untuk kemajuan ekonomi, modal sosial mungkin bahkan lebih penting dibandingkan dengan modal fisik atau modal manusia (Fukuyama,1995, Putnam,1990 dalam Quigley, 1996).

Fukuyama (1995) dalam Quddus et al. (2000) menyatakan bahwa level kepercayaan yang melekat pada budaya nasional dapat berdampak kepada pengembangan ekonomi negara atau dengan menurunkan transaksi tinggi, di mana menghasilkan ekonomi lebih makmur dengan mendorong efisiensi pasar. Sebaliknya, level saling percaya lebih rendah atau modal sosial tidak memadai menyebabkan transaksi tinggi lebih tinggi dalam masyarakat, di mana membatasi aktivitas pasar dan membatasi perdagangan dalam sebuah masyarakat.

Satu alasan bagi popularitas buku Fukuyama (1995) adalah banyaknya contoh dampak modal sosial terhadap ekonomi nasional. Modal sosial adalah sebuah konsep yang semakin menarik perhatian dalam bidang akademis, seperti ekonomi, manajemen dan kebijakan publik. Ini aslinya digunakan untuk menunjukkan pentingnya hubungan dalam mengembangkan pertanggungjawaban individual dalam masyarakat (Jacob 1981 dalam Quddus et al. 2000).

Coleman (1988) menjelaskan, berbeda dengan bentuk lainnya, modal sosial melekat pada struktur hubungan antara aktor dan di antara aktor. Ini tidak berada dalam aktor itu sendiri atau dalam implementasi produksi fisik. Karena tujuan organisasi dapat menjadi aktor (actor corporate) hanya seperti yang dapat dilakukan orang, hubungan di antara aktor corporate dapat membentuk modal sosial untuk diri mereka sendiri. Namun, dalam hal ini, contoh dan area aplikasi yang ingin dijadikan perhatian adalah modal sosial sebagai sumber bagi orang.

Kesimpulan yang disampaikan Coleman (1988) tentang modal sosial, berusaha memperkenalkan konsep teori sosial, bahwa modal sosial, sejalan dengan konsep modal keuangan, modal fisik dan modal manusia, tetapi membentuk hubungan di antara orang-orang. Ini adalah bagian strategi teoritis yang melibatkan penggunaan paradigma aksi rasional tetapi tanpa asumsi elemen-elemen atomistis yang ada dalam hubungan sosial. Dalam menjelaskan konsep modal sosial, tiga bentuk diidentifikasi: kewajiban dan harapan, di mana tergantung kepada kepercayaan lingkungan sosial, kapabilitas aliran informasi dari struktur sosial, dan norma disertai oleh sangsi. Sebuah properti yang disebar oleh sebagian besar bentuk modal sosial yang membedakannya adalah aspek kebaikan publik: aktor yang menghasilkan modal sosial biasanya menangkap hanya sebagian kecil keuntungan, sebuah fakta yang menghasilkan investasi rendah pada modal sosial.

Modal sosial adalah informasi, kepercayaan, dan norma dari timbal balik yang melekat dalam jaringan sosial (Woolcock 1998, dalam Voydanoff 2001). Modal sosial mengacu kepada ciri-ciri organisasi sosial seperti jaringan, norma dan kepercayaan yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama saling menguntungkan.

Modal sosial juga menambahkan elemen-elemen subyektif, proses budaya seperti kepercayaan dan norma dari timbal balik yang memfasilitasi aksi sosial. Perbedaan ini menunjukkan hubungan timbal balik di antara modal sosial, organisasi sosial masyarakat, dan jaringan sosial. Jaringan sosial dan organisasi sosial masyarakat memberikan sumber daya yang dapat digunakan untuk memfasilitasi aksi. Modal sosial pada gilirannya menghasilkan sumber daya lebih lanjut yang memberikan kontribusi kepada organisasi sosial masyarakat dan sumber daya jaringan sosial. Dalam hal ini aspek subyektif dari modal sosial ditekankan, yaitu norma dan kepercayaan (Voydanoff 2001).

Kasus modal sosial yang bertumpu pada kepercayaan dan ekspektasi, seseorang yang dianggap jujur dan memiliki reputasi bagus akan lebih mudah memperoleh penghargaan dari pada individu yang tidak memiliki kredibilitas, misalnya dalam hal mendapatkan kredit. Dalam masyarakat tradisional, hubungan transaksi ekonomi yang selalu berulang dan menghasilkan pencapaian yang bagus, dalam jangka panjang mempunyai ekspektasi untuk bertahan ketimbang relasi ekonomi yang dipenuhi dengan manipulasi. Modal sosial dalam bentuk ekspektasi dan kepercayaan inilah yang bisa ditransformasikan menjadi keunggulan untuk memperoleh benefit ekonomi (Yustika, 2008).

METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan pada industri kerajinan di Provinsi Bali di kabupaten/kota yang memiliki unit usaha terbanyak. Dari data Disperindag tahun 2008, jumlah unit usaha terbanyak ada pada empat kabupaten yaitu Kabupaten Gianyar, Bangi, Karangasem dan Klungkung. Kota Denpasar, juga dipilih sebagai lokasi penelitian karena menyediakan pelayanan khusus untuk usaha kecil dan menengah. Dari masing-masing kabupaten dipilih satu-dua desa yang menghasilkan jenis kerajinan relatif homogen.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pelaku Industri Kecil dan Menengah pada kabupaten/kota di Provinsi Bali. Untuk menentukan kabupaten yang

terpilih digunakan metode Purposive Sampling berdasarkan pada jumlah unit usaha terbanyak dari masing-masing kabupaten. Jumlah unit sampel yang akan dipilih mewakili populasi ini pada masing-masing kabupaten/kota terpilih, menggunakan metode Stratified Random Sampling. Untuk menentukan jumlah sampel digunakan rumus Slovin (Simamora dalam Husain, 2008), diperoleh sebanyak 204 orang.

Penelitian ini menggunakan pendekatan analisis kuantitatif dengan teknik analisis Structural Equation Modeling (SEM) dengan proses perhitungan dibantu program aplikasi Partial Least Square (PLS), yang berupa perangkat lunak SmartPLS versi 2.0 M3. Salah satu langkah dalam teknik analisis PLS berkaitan dengan konversi diagram Path dalam model struktural yang terdiri atas konversi diagram path model struktural ke dalam model matematika dan konversi diagram path model pengukuran ke dalam model matematika. Mengkonstruksi diagram jalur, yaitu perancangan inner model dan outet model selanjutnya dinyatakan dalam diagram jalur (Ghozali, 2008).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis menunjukan modal sosial secara langsung belum mampu meningkatkan pemberdayaan industri kerajinan di Provinsi Bali. Modal sosial yang diukur dari indikator norma, kepercayaan, jaringan maupun ekspektasi secara langsung belum membuat pengajin mandiri, walaupun arah hubungan antara modal sosial dengan pemberdayaan industri kerajinan positif. Hubungan positif antara modal sosial dengan pemberdayaan industri kerajinan berarti ada kaitan yang saling mendukung antara indikator modal sosial dengan pemberdayaan industri kerajinan. Semakin tinggi persepsi yang diberikan untuk menilai indikator modal sosial maka semakin tinggi juga penilaian yang diberikan untuk menilai indikator pemberdayaan industri kerajinan, yang artinya semakin tinggi modal sosial pengrajin semakin tinggi keinginan mereka untuk mandiri. Modal sosial yang mengacu kepada ciri-ciri organisasi sosial yang meliputi jaringan, norma dan kepercayaan dapat memfasilitasi koordinasi dan kerjasama saling menguntungkan.

Tingginya modal sosial yang diaktualisasikan dengan elemen subyektif yang merupakan proses budaya seperti kepercayaan dan norma dapat meningkatkan aksi sosial yang diwujudkan dalam perilaku saling menghargai antar individu maupun kelompok dalam ikatan kegiatan usaha yang ada pada kelompok usahanya. Walaupun ikatan kekeluargaan yang mencerminkan perilaku saling menghargai dan menghormati antara sesama pengrajin telah terjalin dalam hubungan tersebut ternyata secara langsung belum mampu meningkatkan keberdayaan usaha yang dilakukan, oleh karena diperlukan ikatan sumber daya yang berasal dari pihak lain.

Studi ini mendukung konsep pemberdayaan Kartasasmita (1999), bahwa daya dalam pemberdayaan artinya kekuatan yang berasal dari dalam, tetapi dapat diperkuat dengan unsur-unsur penguatan yang diserap dari luar. Studi ini mendukung teori yang telah dikemukakan Coase (1998), North (1998), Menard dan Mary (2005) yang merujuk North (1990) dan Williamson (2000) menekankan, bahwa institusi adalah aturan tertulis dan tidak tertulis, norma dan tekanan yang digunakan manusia untuk mengurangi ketidakpastian dan mengontrol lingkungannya. Institusi merupakan suatu aturan yang mengikat anggota dalam kelompok yang dibentuknya. Aktivitas kelompok yang didasari oleh suatu aturan baik terulis maupun tidak tertulis dapat dijadikan sebagai pijakan penting terhadap keberlanjutan suatu aktivitas tertentu. Terjalin hubungan baik antar mereka dalam suatu ikatan organisasi sosial kemasyarakatan seperti lembaga adat akan membentuk suatu kepercayaan bahwa ikatan tersebut dapat terjalin secara berkesinambungan dalam jangka panjang sehingga ada keterikatan yang saling menguntungkan. Kuatnya jalinan kelompok yang didasari oleh suatu aturan dan dipercayai akan berkesinambungan dalam jalinan ikatan kekeluargaan mencerminkan kuatnya modal sosial dari pelaku yang membentuknya. Kuatnya modal sosial dalam suatu jalinan yang dibentuk menunjukkan tingginya aset dalam suatu aktivitas usaha. Namun, apabila tidak mampu untuk dimanfaatkan sebagai suatu aset yang kuat maka belum tentu secara otomatis akan mampu untuk meningkatkan kegiatan usaha yang dilakukan. Maka dari itu, disini diperlukan adanya suatu jalinan yang kuat sehingga modal sosial akan kuat

dan diharapkan mampu untuk memperkuat meningkatkan keberdayaan usaha. Jalinan yang kuat dapat terjalin dari adanya hubungan yang baik serta berkelanjutan atar pengrajin dengan sumber daya lainnya dalam suatu jalinan kerjasama yang saling menguntungkan sehingga dapat meningkatnya keberdayaan kegiatan usahanya.

Kata kunci terpenting untuk mampu meningkatkan modal sosial adalah waktu (Syahyuti, 2008). Maka dari itu, modal sosial yang dimiliki harus berkembang seiring waktu dan diupayakan untuk terjalin hubungan dengan pihak lain yang memang siap untuk membantu, apabila ada permasalahan terutama tentang keuangan. Inilah yang perlu diperhatikan manakala modal sosial yang telah ada harus diperkuat oleh dukungan dari pihak lain sehingga mampu untuk meningkatkan keberdayaan dari usaha yang ditekuni. Dukungan terhadap permodalan bisa bersumber dari penyedia pendanaan baik pemerintah, swasta maupun lembaga adat. Tingginya modal sosial belum tentu secara otomatis akan berdampak pada peningkatan keberdayaan industri kerajinan, oleh karena masih memerlukan pihak lain untuk mendukungnya.

Studi ini mendukung pernyataan Portes (1998) menjelaskan penekanan Bourdieu bahwa melalui modal sosial aktor dapat memperoleh akses langsung terhadap sumber daya ekonomi, mereka dapat meningkatkan modal budaya melalui kontak dengan ahli atau individual untuk melakukan perbaikan, atau alternatif lain, mereka dapat bergabung dengan institusi yang menyampaikan nilai penting (misalnya modal budaya institusional).

Keterlibatan instansi terkait dalam memberikan bantuan dari aspek keuangan untuk meningkatkan keberdayaan usaha sangat diperlukan pengrajin. Terpenuhinya sumber daya keuangan pengrajin dapat meningkatkan keberdayaan usaha pengrajin. Sebagaimana penelitian yang dilakukan Tae, H. M. dan So, Y. S, (2005), yang menjelaskan bahwa untuk mendukung keberlanjutan SME di Korea selama 19982001 diperlukan dana stabilitas manajemen, dana dukungan usaha provinsi, dana bisnis koperasi dan dana likuiditas aset, yang masing-masing mempunyai tujuan untuk mendukung usaha kecil dan menengah.

Tingginya modal sosial dalam suatu masyarakat menunjukkan tingginya dukungan dari masyarakat yang bersangkutan terhadap hubungan sosial yang terjalin dalam lingkungannya. Pengrajin yang berada pada lingkungan masyarakat yang mendukung hubungan sosial kemasyarakatan juga menunjukkan tingginya modal sosial, walaupun secara otomatis belum mampu mencerminkan pengaruh terhadap keberdayaan industri kerajinan. Modal sosial yang terbentuk dari adanya ikatan suatu jaringan dapat memudahkan seseorang ataupun kelompok untuk mendapatkan bantuan permodalan dengan cara meminjam secara informal disaat suatu bantuan formal dari pemerintah menjadi sangat terbatas. Modal sosial yang dimiliki kelompok masyarakat secara informal tersebut dapat menciptakan nilai ekonomi bagi dirinya maupun kelompok lain yang memanfaatkan. Termanfaatkannya modal sosial tersebut bagi kelompok yang memerlukan akan meningkatkan aktifitas secara ekonomi, dengan demikian, seharusnya mampu meningkatkan keberdayaan usaha.

Modal sosial selama ini selalu didominasi dengan cara pandang yang terlalu positif. Artinya, menempatkan modal sosial sebagai variabel yang dapat memberikan manfaat bagi kemaslahatan bersama, misalnya dalam pembangunan ekonomi. Padahal, modal sosial bisa menimbulkan implikasi negatif, misalnya alokasi kegiatan ekonomi (Yustika, 2008). Ekses negatif dari modal sosial ini bisa saja membatasi pihak luar untuk melakukan akses untuk memperoleh peluang yang sama dalam melakukan kegiatan ekonomi. Apabila suatu anggota kelompok terhalangi dalam melakukan suatu aktivitas yang terkait dengan usaha yang dilakukan akan menghambat aktivitas usaha dari pengrajin. Ini dapat saja menjadi penghambat dari upaya kemandirian yang dilakukan oleh para pengajin. Adanya keegoisan dari suatu anggota kelompok pengrajin yang memiliki informasi lebih besar terhadap aktivitas usaha yang dilakukan bisa saja menghambat proses kemandirian usaha pengrajin.

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan analisis dan pembahasan yang telah dikemukakan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut. 1) Modal sosial secara langsung belum mampu memperkuat pemberdayaan industri kerajinan di Provinsi Bali. Tingginya modal sosial secara langsung belum mengakibatkan tingginya keberdayaan industri kerajinan. Jadi, modal sosial yang tinggi belum mampu secara langsung dan otomatis meningkatkan pemberdayaan industri kerajinan. Pengrajin untuk bisa berdaya ternyata tidak cukup hanya berbekal keyakinan tinggi dari modal sosial, tetapi tetap memerlukan unsur-unsur penguatan yang diserap dari luar. 2) Tingginya modal sosial pengrajin ternyata harus diperkuat oleh kemampuan secara terus-menerus dalam jangka panjang untuk melakukan interaksi dengan sumber modal lainnya sehingga mampu mempertinggi kemandirian usaha kerajinan yang dilakukan. 3) Peran modal sosial terhadap keberdayaan industri kerajinan ternyata dimediasi oleh peran lembaga adat (full mediation) antara modal sosial dan peran pemerintah terhadap pemberdayaan industri kerajinan di Provinsi Bali.

Berdasarkan hasil pembahasan sebelumnya maka disarankan: 1) Keharmonisan hubungan yang telah terjalin selama ini dapat dijadikan sebagai modal untuk medapatkan pembinaan secara berkesinambungan, mendapatkan informasi tentang adanya kredit tanpa anggunan untuk meningkatkan modal usaha bagi pengrajin yang memerlukan. 2) Tetap mempertahankan modal sosial yang kuat dari pengrajin dengan cara menjunjung tinggi perilaku yang baik, menjalin hubungan baik dengan sesama pengrajin, mempekerjakan karyawan yang berasal dari lingkungan desa adat, memberikan kepercayaan dan saling mempercayai dengan orang yang diajak bertransaksi, tidak melanggar aturan awig-awig yang telah disepakati bersama dan mempunyai perasaan takut untuk melanggar. Menjunjung tinggi kejujuran, memperkuat jaringan dengan pihak lain sehingga dalam jangka panjang diharapkan mampu meningkatkan kemandirian usaha yang dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA

Adhikari, Krishna Prasad. 2009. Social Capital and its “Downside”; The Impact on Sustainability of Induced Community-Based Organization Nepal. World Development Volume 38 No (2): pp.184-194.

Brooks, Benjamin. 2008. The natural selection of organizational and safety culture within a small to medium sized enterprise (SME). Journal of Safety Research 39: 73-85

Coase, Ronald H. 1998. The New Institutional Economics. Editor by Menard Claude. 2000. Edward Eigar Publishing Limited.

Coleman, James S. 1988. Social Capital in the Creation of Human Capital. The American Journal of Sociology , Supplement: Organizations and Institution: Sociological and Economic Approaches to the Analysis of Social Structure 94:95-120.

Elmes, Michael B, Diane M. Strong and Olga Volkoff. 2005. Panoptic empowerment and reflective conformity in enterprise systems-enabled organizations. Journal of Information and Organization 15: 1–37.

Furubotn, Eirik G dan Rudolf Richter. 2005. Institutions and Economic Theory, The Contribution of the New Institutional Economics. Second Edition. The university of Michigan Press.

Fukuyama Francis. 1995. Trust : The Social Virtues and the Creation of Prosperity, London: Penguin Books.

Gozali, Imam. 2008. Structural Equation Modeling: Metode Alternatif dengan Partial Least Square (PLS), Badan Penerbit Undip, Edisi 2. Semarang,

Husain, Umar 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. Gramedika Pustaka Jakarta.

Hughes, Mathew and Robert K. Perrons. 2010. Shaping and re-shaping social capital in buyer–supplier relationships. Journal of Business Research: 2-8.

Ismail, Munawar. 2003. Emansipasi Nilai Lokal, Ekonomi dan Bisnis Pascasentralisasi Pembangunan, Banyumedia Publishing, Malang.

Kartasasmita, Ginandjar. 1996. Power dan Empowerment: Sebuah Telaah Mengenai Konsep Pemberdayaan Masyarakat. http:// www.google.com.

Khan, Nisar A and Saghir Ahmad Ansari. 2008. Application of New Institutional Economics to the Problems of Development: A Survey, Abstracts Journal of Social and Economic Developmen 10 (1): 1-32.

Leksono, S. 2009. Runtuhnya Modal Sosial Pasar Tradisional. Perspektif Emic Kualitatif. Penerbit Percetakan CV Citra Malang.

Mawardi, M.J. 2007. Peranan Social Capital Dalam Pemberdayaan Masyarakat. Komunitas 2, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam,

Menard, Claude and Mary M Shirly. 2005. Editor. Handbook of New Institutional Economics. Springer the Netherlands.

Nauman, Shazia, Azhar Mansyur Khan and Nadeem Ehsan. 2009. Patterns of empowerment and leadership style in project environment. International Journal of Project Management: 2-12.

Nielsen, John Flohr Nielsen and Christian Preuthun Pedersen. 2003. The consequences and limits of empowerment in financial services. Scandinavian Journal of Management 19: 63–83.

North, Douglass. C. 1998. Understanding Institutions. Editor by Menard Claude. 2000. Edward Eigar Publishing Limited.

North, Douglass.C. 2004. Understanding the Process of Economic Change. Princeton, NJ: Princeton University Press.

Primiana, Ina. 2005. Pertegas Kewenangan Pemberdayaan UKM untuk Mendorong Industri Nasional. Menggerakkan Sektor Riil UKM dan Industri. Sumbangan Pemikiran 2003-2009. Penerbit Alfabeta, Bandung.

Portes, Alejandro. 1998. Social Capital: Its Origins and Applications in Modern Sociology, Annu. Rev. Sociol. 1998. 24:1.24. Department of Sociology, Princeton University, Princeton, New Jersey 08540.

Quddus, Munir, Michel Goldsby, Mahmud Farooque. 2000. Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity. A review Article. Eastern Economic Journal, 26, (1): 87-98.

Quigley, Kevin F.F. 1996. Human Bonds and Social Capital. Review Essays. Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity. By Francis Fukuyama. Free Press, 1995, 457, New York: 333-341.

Ramli, H. Nachrowi. 2010. Ketua Dewan Koperasi Indonesia. Keberdayaan UKM. Kementrian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia, Jakarta, http:// www.google.com.

Suyana, Utama I Made. 2006. Pengaruh Perkembangan Pariwisata Terhadap Kinerja Perekonomian dan Perubahan Struktur Ekonomi Serta Kesejahteraan Masyarakat di Provinsi Bali. Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya.

Syahyuti. 2008. Peran Modal Sosial (Social Capital) Dalam perdagangan Hasil Pertanian. (The Role Social Capital In Agricultural Trade). Forum Penelitian Agro Ekonomi Vol 26 No 1: 32-43. Bogor.

Tae, Hee Moon, and So Young Sohn. 2005. Intelligent approach for effective management of governmental funds for small and medium enterprises. Expert System with Applications 29: 566–572.

Voydanoff, Patricia. 2001. Conceptualizing community in the context of work and family. Community, Work and Family 4 (2): 133-156.

Yang, Shu-Cen and Cheng-Kiang Farn. 2009. Social capital, behavioral control, and tacit knowledge sharing—A multi-informant design. International Journal of Information Management 29: 210–218.

Yustika, Ahmad Erani. 2008. Ekonomi Kelembagaan, Definisi, Teori dan Strategi. Banyumedia Publishing, Malang.