KECENDERUNGAN POLA DAN DAMPAK MIGRASI PENDUDUK DI PROVINSI BALI PERIODE 1980-2005*

I Ketut Sudibia

Pusat Penelitian Kependudukan dan Pengembangan SDM Universitas Udayana email : [email protected]

ABSTRACT

The objective of this study are to know (1) the population migration pattern in the Province of Bali during the period 1980 to 2005; (2) the main stream of the population migration in the Province of Bali during the period 1980 to 1990; and (3) the impact of population migration on the economic and social life in the Province of Bali. The result of this study will be expected not only for academic but also for practice purposes.

All of data that were used for this study was obtained from the Central Board of Statistic of the Province of Bali, the Development Planning Board of the Province of Bali, and other publications related to this study. The most important data that were analyzed for this study was migration data, especially lifetime migration and recent migration. Then, the technique of analysis that were used for this study was descriptively by using cross tabulation.

Some findings from this study are as follows: (1) The lifetime in-migration patterns before and after Reformation Era are still relatively the same, and dominantly determined by the in-migrants from East Java. But, on the other hand the lifetime outmigration patterns from Bali are dominantly determined by the out-migrants to some places of destination of transmigration program. (2) The recent in-migration pattern from one to another periods are almost the same, a big partly of them come from East Java. On the contrary, the recent out-migration pattern are not having the same pattern from one to another period. With the exception of 1980, the recent out-migration patterns from Bali are not dominantly determined by the transmigration program, but a big partly of them also go to East Java. (3) The main stream of lifetime migration until the year 2000 is still described by the transmigration program. (4) Since the year 1990, the main stream of recent migration has shown a positive sign, and then its become higher until the year 2005. (5) The impact of the increasing of in-migration to Bali are increasing (a) the available of the migrant workers with the cheaper wage; (b) the population density; (c) the informal sector; (d) the unemployment (e) slum area and environment degradation; and (f) some cases of criminality.

Key words: lifetime and recent migration, main stream of migration, migration impact.

PENDAHULUAN

Berdasarkan pengamatan selama lima dasawarsa terakhir (1961-2010), jumlah penduduk Provinsi Bali menunjukkan perkembangan yang semakin meningkat. Hal ini dapat diamati dari perubahan jumlah penduduk yang dikumpulkan melalui sensus penduduk yang satu ke sensus penduduk berikutnya. Pada waktu sensus penduduk pertama kali dilaksanakan sejak Indonesia merdeka, yaitu pada tahun 1961; jumlah penduduk Provinsi Bali mencapai 1.782.529 orang. Selanjutnya pada Sensus Penduduk (SP) tahun 1971 diperoleh bahwa jumlah penduduk Provinsi Bali sudah di atas dua juta jiwa atau tepatnya sebesar 2.120.091 orang. Pada periode berikutnya (SP 1980 dan SP 1990) atau pada sensus penduduk yang ketiga dan keempat, ditemukan bahwa jumlah penduduk Provinsi Bali masing-masing sebesar 2.469.724 orang dan 2.777.356 orang. Perkembangan berikutnya (hasil SP 2000) menunjukkan kecenderungan yang lebih menarik, karena jumlah penduduk Provinsi Bali sudah menginjak angka di atas tiga juta orang atau tepatnya 3.146.999 orang, dan menurut hasil sensus penduduk yang terakhir (SP 2010) jumlahnya naik semakin pesat sehingga mencapai 3.890.757 orang.

Meskipun jumlah penduduk Provinsi Bali selalu menunjukkan peningkatan pada setiap periode sensus, namun tidak demikian halnya apabila diperhatikan laju pertumbuhan penduduknya. Laju pertumbuhan penduduk Provinsi Bali selama periode di atas memberikan gambaran yang menarik; terutama apabila dibandingkan antara keadaan sebelum dan sesudah Era Reformasi. Sebelum Era Reformasi, yaitu selama periode 19611990 laju pertumbuhan penduduk Provinsi Bali cenderung mengalami penurunan, yaitu dari 1,75 persen (1961-1971) menjadi 1,71 persen pada periode 1971-1980, dan menjadi 1,18 persen per tahun (1980-1990). Periode berikutnya, yaitu setelah Era Reformasi justru memberikan gambaran yang sebaliknya. Laju pertumbuhan penduduk Provinsi Bali menunjukkan kecenderungan meningkat, yaitu dari 1,26 persen (periode 1990-2000) menjadi 2,14 persen per tahun (periode 2000-2010).

Laju pertumbuhan penduduk Provinsi Bali pada periode terakhir (2000-2010), ternyata melebihi angka nasional yang besarnya 1,49 persen per tahun pada periode yang sama. Bahkan jika dikaitkan dengan sejarah sensus penduduk yang pernah dilakukan di

Provinsi Bali, nampaknya laju pertumbuhan penduduk pada periode 2000-2010 adalah paling tinggi yang pernah dicapai oleh Provinsi Bali.

Salah satu komponen dinamika kependudukan yang sangat berperan dalam mengerem laju pertumbuhan penduduk Provinsi Bali selama periode 1971-1980 dan 1980-1990 adalah komponen kelahiran, selain komponen migrasi melalui program transmigrasi dan komponen mortalitas melalui program kesehatan. Pada tahun 1971 angka fertlitas total (total fertility rate disingkat TFR) penduduk Provinsi Bali mencapai 5,96 per perempuan usia reproduksi, selanjutnya pada tahun 1980 TFR Provinsi Bali turun menjadi 3,97 dan pada tahun 1990 turun lagi menjadi 2,28 per perempuan usia reproduksi (BPS Indonesia, 2001). Penurunan fertilitas yang dicapai Bali jauh melebihi target yang direncanakan pemerintah pusat yang mencanangkan penurunan fertilitas 50 persen dalam kurun waktu kurang lebih 20 tahun (1971-1990). Tajamnya penurunan fertilitas di Provinsi Bali selama periode di atas tidak terlepas dari keberhasilan Bali dalam melaksanakan progam keluarga berencana (KB), melalui pendekatan lembaga tradisional banjar sehingga terkenal dengan KB sistem banjar. Keberhasilan ini tercermin dari pesatnya peningkatan proporsi KB aktif, yaitu dari 35,08 persen pada periode 1976/1977 meningkat menjadi 46,01 persen periode 1979/1980, dan 84,82 persen pada periode 1989/1990 (Laporan tahunan BKKBN Provinsi Bali). Selanjutnya, pada Era Reformasi ditemukan bahwa TFR penduduk Provinsi Bali stagnan pada angka 2.10.

Di pihak lain, perkembangan angka kematian yang ditunjukkan oleh salah satu indikator kematian yaitu angka kematian bayi (infant mortality rate disingkat IMR) juga mengalami kecenderungan menurun dari satu periode ke periode berikutnya. Pada tahun 1971, IMR Provinsi Bali mencapai 130 kematian per 1000 kelahiran hidup, tahun 1980 dapat ditekan menjadi 92 kematian per 1000 kelahiran hidup, dan tahun 1990 turun lagi menjadi 51 kematian per 1000 kelahiran hidup. Setelah Era Reformasi IMR Provinsi Bali turun lagi menjadi 36 kematian per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2000 dan menurut hasil SDKI tahun 2007 ditemukan bahwa IMR Provinsi Bali sebesar 21 kematian per 1000 kelahiran hidup (Sudibia dkk, 2009). Menurunnya IMR Provinsi Bali tidak terlepas dari semakin meningkatnya kesadaran masyarakat, dan tersedianya pusat-pusat pelayanan kesehatan masyarakat yang jumlah dan mutunya semakin memadai.

Pembahasan komponen fertilitas dan mortalitas penduduk hanyalah mengupas satu aspek pertumbuhan penduduk, yaitu dari aspek pertambahan alamiah (natural increase). Aspek lain yang turut menentukan laju pertumbuhan penduduk suatu daerah adalah tingkat migrasi neto, yaitu selisih antara migrasi masuk dengan migrasi keluar. Dari segi pertambahan alamiah dapat diketahui dengan jelas pengaruhnya terhadap laju pertumbuhan penduduk Provinsi Bali. Karena komponen fertilitas dan mortalitas samasama mengalami penurunan dan keduanya sudah berada pada taraf yang rendah, maka dapat dipastikan bahwa pengaruhnya juga kecil terhadap laju pertumbuhan penduduk.

Memperhatikan kondisi di atas, maka dapat diduga bahwa tingginya laju pertumbuhan penduduk Provinsi Bali akhir-akhir ini lebih banyak ditentukan oleh aspek migrasi neto. Migrasi masuk menuju Provinsi Bali cenderung lebih besar daripada migrasi keluarnya. Kecenderungan ini tentu tidak dapat dilepaskan dari perkembangan sektor pariwisata yang merupakan motor penggerak (prime mover) perekonomian Bali. Perkembangan sektor pariwisata memberikan imbas terhadap perkembangan sektor-sektor ekonomi lainnya, baik ke depan maupun ke belakang (forward and backward linkage). Misalnya, dengan berkembangnya sektor pariwisata akan mendorong permintaan akan jasa transportasi, jasa hotel dan restoran, jasa kesenian, industri kecil dar kerajinan. Demikian pula, dengan meningkatnya kedatangan wisatawan akan mendorong pula permintaan akan bahan-bahan makanan yang dihasilkan oleh sektor pertanian, seperti sayur-sayuran, buah-buahan, telur, daging, dan ikan.

Meningkatnya aktivitas ekonomi di berbagai sektor sebagai dampak dari perkembangan sektor pariwisata, sekaligus juga berarti semakin bertambahnya peluang atau kesempatan kerja di Provinsi Bali. Kondisi ini tentu tidak hanya menarik bagi tenaga kerja lokal, namun juga bagi para pekerja migran yang berasal dari luar Bali. Hal ini sejalan dengan pendapat Titus (1990), Todaro dan Smith (2006), Sudibia (2004) yang menyebutkan bahwa faktor ekonomi adalah motif utama terjadinya migrasi penduduk. Artinya akan terjadi arus migrasi dari daerah yang kesempatan ekonominya kurang menuju daerah yang memberikan kesempatan ekonomi lebih banyak.

Pengamatan secara kasat mata menunjukkan bahwa banyak para migran yang masuk ke Bali bergerak di sektor informal. Pekerjaan di sektor informal umumnya kurang terjamin kontinyuitasnya dengan tingkat pendapatan yang relatif rendah. Kondisi

seperti ini berpotensi memunculkan pemukiman kumuh (slum area) dan dampak sosial negatif lain seperti pencurian, perampokan, penjambretan, dan lain-lain. Menurunnya keamanan dan ketertiban akan berpengaruh besar terhadap perkembangan sektor pariwisata, padahal di pihak lain sektor pariwisata memiliki pengaruh yang besar terhadap perekonomian Bali.

Bertolak dari uraian di atas, dapat dikemukakan rumusan masalah yang akan dipecahkan dalam kajian ini, yaitu: (1) Bagaimanakah kecenderungan pola migrasi penduduk di Provinsi Bali selama periode 1980-2005? (2) Bagaimanakah arus utama migrasi penduduk di Provinsi Bali selama periode 1980-2005? (3)Bagaimanakah dampak migrasi penduduk terhadap kehidupan ekonomi dan sosial di Provinsi Bali?

Selanjutnya tujuan dari kajian ini adalah untuk mengetahui (1) kecenderungan pola migrasi penduduk di Provinsi Bali selama periode 1980-2005; (2) arus utama penduduk di Provinsi Bali selama periode 1980-2005; dan (3) dampak migrasi penduduk terhadap kehidupan ekonomi dan sosial di Provinsi Bali. Kajian tentang migrasi penduduk ini diharapkan dapat dimanfaatkan tidak hanya dari aspek akademis namun juga dari aspek praktis, yaitu (1) untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan khususnya tentang migrasi penduduk di Provinsi Bali; dan (2) sebagai bahan masukan kepada instansi pembuat kebijakan dalam rangka pengendalian laju pertumbuhan penduduk melalui kebijakan administrasi kependudukan.

KAJIAN PUSTAKA

Pengertian Mobilitas Penduduk

Sebelum mengupas lebih jauh tentang migrasi penduduk, pada uraian ini akan diawali dengan membahas pengertian mobilitas penduduk. Secara umum dibedakan antara mobilitas penduduk secara horizontal dan mobilitas penduduk secara vertikal. Mobilitas penduduk yang akan dibahas pada uraian berikut ini ditekankan pada mobilitas penduduk secara horizontal atau geografis, yang meliputi semua gerak penduduk yang melintasi batas wilayah tertentu dalam periode waktu tertentu pula (Mantra, 2003). Batas wilayah yang dimaksud di sini adalah batas wilayah administrasi yaitu provinsi, kabupaten, kecamatan, desa/kelurahan, atau dusun. Bentuk-bentuk mobilitas dibedakan

menjadi mobilitas penduduk permanen atau migrasi dan mobilitas penduduk nonpermanen atau mobilitas sirkuler. Migrasi penduduk adalah perpindahan penduduk yang bersifat menetap di daerah tujuan. Sementara itu mobilitas nonpermanen adalah gerak penduduk dari satu tempat ke tempat lain dengan tidak ada niat untuk menetap di daerah tujuan.

Secara operasional, migrasi penduduk dapat diukur menurut ruang dan waktu, seperti yang digunakan dalam Sensus Penduduk. Dalam Sensus Penduduk, seseorang disebut sebagai migran, apabila orang tersebut melintasi batas wilayah provinsi dan lamanya bertempat tinggal di daerah tujuan minimal 6 bulan. Mengenai batas wilayah ini, sejak Sensus Penduduk (SP) tahun 2000 dikembangkan pula batas wilayah kabupaten. Namun demikian, dalam kajian ini karena ada maksud untuk membandingkan dan melihat kecenderungan pola dan arah migrasi penduduk, batas wilayah yang digunakan adalah batas wilayah provinsi.

Determinan Mobilitas Penduduk

Untuk meningkatkan pemahaman tentang mobilitas penduduk berikut ini akan disoroti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi mobilitas penduduk, yang selanjutnya disebut determinan mobilitas penduduk. Salah satu teori determinan mobilitas penduduk yang dikemukakan oleh Wolpert (dalam Mantra, 2003) menggunakan pendekatan teori kebutuhan (need and stress). Dalam teori tersebut dikemukakan bahwa setiap individu mempunyai bermacam-macam kebutuhan, seperti kebutuhan ekonomi, sosial, budaya, dan psikologis. Apabila kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi di daerah tempat tinggal mereka, terjadilah tekanan atau stres. Besar kecilnya stres yang dialami seseorang berbanding terbalik dengan pemenuhan kebutuhan. Stres yang dialami seseorang mempunyai dua akibat, yaitu (1) apabila besarnya stres masih dalam batas-batas toleransi, seseorang tidak akan pindah dari tempat itu, tetapi menyesuaikan kebutuhannya dengan lingkungan yang ada; dan (2) apabila besarnya stres sudah di luar batas-batas toleransinya, orang tersebut akan pindah ke daerah lain tempat kebutuhannya dapat terpenuhi.

Selanjutnya menurut Todaro dan Smith (2006) yang menggunakan pendekatan ekonomi menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya migrasi dari daerah pedesaan ke perkotaan adalah (1) adanya perbedaan upah riil yang diharapkan

dengan perbedaan aktual upah riil antara daerah perkotaan dan pedesaan; dan (2) kemungkinan berhasil mendapatkan pekerjaan di sektor modern di perkotaan. Kemungkinan mendapat pekerjaan di perkotaan berbanding lurus dengan tingkat kesempatan kerja di perkotaan, atau berbanding terbalik dengan tingkat pengangguran di perkotaan.

Berbeda dengan pendapat Wolpert serta Todaro dan Smith, Lee (1970) mengemukakan bahwa ada empat faktor yang mempengaruhi seseorang mengambil keputusan bermigrasi yaitu (1) faktor-faktor yang terdapat di daerah asal; (2) faktor-faktor yang terdapat di daerah tujuan; (3) penghalang antara; dan (4) faktor individu. Lee berpendapat bahwa di masing-masing daerah, baik di daerah asal maupun di daerah tujuan terdapat keanekaragaman kondisi fisik, ekonomi, maupun sosial yang dapat dikatagorikan positif (+), negatif (-), dan faktor-faktor netral (0). Faktor positif adalah faktor yang memberikan nilai menguntungkan kalau bertempat tinggal di daerah tersebut, misalnya tersedianya kesempatan kerja, fasilitas pendidikan anak-anak, atau iklim yang baik. Faktor negatif adalah faktor yang memberikan nilai negatif pada daerah yang bersangkutan sehingga seseorang ingin pindah dari tempat tersebut. Faktor netral (0) adalah faktor yang tidak berpengaruh sama sekali pada ada tidaknya niat berpindah dari seseorang. Faktor berikutnya adalah penghalang antara, bukan hanya dalam artian fisik (seperti tembok Berlin di masa lampau), namun tersedia tidaknya biaya untuk berpindah juga memegang peranan penting. Faktor yang terakhir (ke empat) adalah faktor individu, bahwa penilaian positif, negatif, atau netral terhadap faktor-faktor tersebut sangat ditentukan oleh individu yang bersangkutan.

Teori migrasi dari Everett S. Lee, selanjutnya dilengkapi oleh Norris (1972) dengan menambahkan tiga komponen migrasi, yaitu (1) kesempatan antara; (2) migrasi paksaan; dan (3) migrasi kembali. Sebetulnya perbedaan antara model Everett S. Lee dengan model Norris terletak pada kesempatan antara (intervening opportunities). Berbeda dengan penghalang antara yang cenderung menghambat terjadinya migrasi, maka kesempatan antara justru mendorong seseorang untuk bermigrasi; tempat tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya dibelokkan ke tempat tersedianya kesempatan antara. Dalam hal ini Mantra (2003) memberikan contoh bahwa Kabupaten Sidoarjo dapat menjadi wilayah kesempatan antara yang terletak antara Kabupaten Pasuruan dengan

Kota Surabaya. Dalam meningkatkan pembangunan industrinya, Surabaya terbentur pada masalah kekurangan lahan, sehingga untuk pembangunan beberapa industri meluber ke Kabupaten Sidoarjo. Terkait dengan luberan tersebut telah menimbulkan alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan industri, tempat pemukiman, dan prasarana kota. Kesempatan antara yang terjadi di Sidoarjo menjadi sasaran pertama dari pekerja migran yang berasal dari daerah burit seperti dari Pasuruan dan daerah sekitarnya. Jika mereka sudah mapan dalam artian sudah dapat memupuk modal, maka mereka akan melompat ke kota yang lebih besar, yaitu tempat memperoleh peluang usaha yang lebih luas.

METODOLOGI

Jenis Data yang Dibahas

Secara keseluruhan jenis data yang dibahas dalam kajian ini berasal dari sumber sekunder. Data pokok yang akan dibahas meliputi (1) data migrasi semasa hidup; dan (2) migrasi risen. Data migrasi semasa hidup adalah seseorang yang dicacah di provinsi bukan merupakan provinsi tempat lahirnya. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa migrasi semasa hidup adalah apabila seseorang dicacah berbeda dengan provinsi tempat lahirnya. Orang yang dicacah berbeda dengan provinsi tempat lahirnya disebut migran semasa hidup. Di pihak lain, migrasi risen adalah seseorang yang dicacah di provinsi tempat tinggal sekarang berbeda dengan provinsi tempat tinggal 5 tahun yang lalu.

Selain dua jenis data yang diungkapkan di atas, dalam kajian ini dikumpulkan pula data sekunder lainnya seperti data jumlah penduduk, pertumbuhan penduduk, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), pertumbuhan ekonomi, dan tindak kejahatan. Jenis-jenis data yang dikumpulkan diharapkan dapat lebih menjelaskan persoalan yang terkait dengan migrasi penduduk.

Sumber Data

Sumber data utama dalam melakukan kajian migrasi penduduk di Provinsi Bali berasal dari hasil SP 1980, SP 1990, SP 2000, SUPAS 2005. Sayangnya hasil SP 2010 belum terbit sehingga dari interval waktu akan berbeda. Selain sumber data yang disebutkan di atas, juga dikumpulkan data sekunder yang berasal dari Bappeda Provinsi Bali yang diterbitkan secara rutin yang diberi judul Bali Membangun, data lainnya dari Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, dan publikasi-publikasi lain yang menunjang.

Teknik Analisis Data

Data yang telah dikumpulkan, kemudian diolah, dan selanjutnya dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan menggunakan tabel-tabel silang. Data sekunder seperti ciriciri demografi, ekonomi, maupun data migrasi semasa hidup dan migrasi risen setelah disajikan dalam tabel-tabel silang selanjutnya diinterpretasikan secara deskriptif kualitatif dan dikaitkan dengan teori dan temuan-temuan penelitian sebelumnya.

HASIL KAJIAN DAN PEMBAHASAN

Volume dan Arah Migrasi Penduduk

Dalam kajian ini tidak semua jenis migrasi dibahas, melainkan dibatasi pada migrasi semasa hidup dan migrasi risen. Migrasi semasa hidup adalah seseorang yang dicacah di suatu provinsi yang bukan provinsi kelahirannya. Selanjutnya yang termasuk jenis migrasi risen adalah seseorang yang dicacah di suatu provinsi tempat tinggal sekarang berbeda dengan provinsi tempat tinggal 5 tahun yang lalu.

Migrasi Semasa Hidup

Pembahasan migrasi semasa hidup yang masuk dan yang keluar dari Provinsi Bali akan dipilah menjadi dua, yaitu (1) menurut hasil SP 1980 dan SP 1990; dan (2) menurut hasil SP 2000 dan SUPAS 2005. Alasan yang dijadikan dasar untuk membedakan pembahasan di atas adalah (1) agar dapat dibandingkan keadaan sebelum dan sesudah otonomi daerah dan (2) adanya pemekaran wilayah provinsi, seperti yang terjadi di Riau, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Sulawesi Utara, dan Maluku. Dengan adanya pemekaran wilayah ini, pada hasil SUPAS 2005 dijumpai tambahan provinsi baru, seperti Kepulauan Riau (KEPRI), Bangka Belitung (BABEL), Banten, Gorontalo, dan Maluku Utara.

Selanjutnya, gambaran tentang migran semasa hidup yang masuk (disingkat MSHM) dan migran semasa hidup yang keluar (disingkat MSHK) di Provinsi Bali dapat diikuti pada Lampiran 1. Dari Lampiran 1 akan dapat diketahui tentang pola dan arah migrasi, terutama migrasi semasa hidup yang akan dibahas berikut ini.

Dari Lampiran 1 dapat diperoleh informasi secara umum bahwa jumlah migran semasa hidup yang masuk selama periode 1980-1990 mengalami kenaikan dari 65,2 ribu orang pada tahun 1980 menjadi 114,9 ribu orang pada tahun 1990. Daerah asal yang paling menonjol dari migran semasa hidup yang masuk ke Provinsi Bali adalah Jawa

Timur. Lebih dari separuh migran semasa hidup yang ada di Provinsi Bali menurut hasil SP 1980 berasal dari Jawa Timur. Tempat kedua diduduki oleh migran semasa hidup yang berasal dari Jawa Tengah, yang besarnya sekitar 12 persen dari seluruh migran semasa hidup yang masuk pada waktu itu. Nusa Tenggara Barat sendiri yang letaknya relatif lebih dekat dibandingkan dengan Jawa Tengah, hanya memberikan kontribusi sekitar 5 persen dari seluruh migran semasa hidup yang masuk pada tahun 1980.

Menonjolnya jumlah migran semasa hidup yang masuk dari Provinsi Jawa Timur ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu (1) jarak yang relatif dekat; (2) tersedianya sarana dan prasarana transportasi yang relatif memadai; dan (3) adanya ketimpangan ekonomi. Provinsi Jawa Timur mempunyai jarak yang relatif dekat dengan Provinsi Bali, sehingga secara logis biaya yang dikeluarkan untuk mencapai tempat tujuan relatif lebih murah. Hal ini sesuai pula dengan hukum migrasi yang menyebutkan bahwa jarak memiliki korelasi negatif dengan jumlah orang yang bermigrasi. Faktor berikutnya adalah tersedianya sarana dan prasarana transportasi yang relatif memadai antara Bali dan Jawa Timur. Meskipun dewasa ini sudah dikenal telepon genggam (handphone), namun tampaknya komunikasi secara fisik atau tatap muka langsung dengan keluarga migran di daerah asal tetap dirasakan lebih penting. Tersedianya sarana transportasi bus antar provinsi dengan jumlah dan mutu sangat memadai sehingga menunjang kelancaran arus transportasi Jawa-Bali, dan ditambah pula dengan tersedianya angkutan penyeberangan seperti kapal-kapal fery yang membantu penyeberangan dari Ketapang ke Gilimanuk, dan sebaliknya. Namun demikian, sarana saja tidak cukup, mesti dibantu pula oleh kondisi prasarana angkutan seperti kondisi jalan raya dan fasilitas pelabuhan untuk menjamin kelancaran penyeberangan dari Ketapang ke Gilimanuk. Faktor berikutnya adalah ketimpangan ekonomi antar wilayah yang tercermin dari perbedaan tingkat upah antara satu provinsi dengan provinsi lainnya. Selain untuk mendapatkan peluang kerja, salah satu motivasi seseorang melakukan migrasi adalah untuk mendapatkan upah lebih tinggi dari daerah asalnya. Dengan memperoleh upah yang lebih tinggi, para migran berharap dapat memperbaiki tingkat hidupnya. Selain itu, kehadiran migran di Provinsi Bali sangat ditentukan oleh migran terdahulu karena mereka itulah yang memberikan informasi tentang kondisi ekonomi atau kemajuan yang ada di Bali. Di samping itu, migran terdahulu sering menjadi tempat persinggahan pertama, sebelum para migran baru ini

mendapatkan tempat tinggal. Bahkan kadang-kadang migran terdahulu dengan suka rela memberikan tempat tinggal dan makan secara gratis sebelum migran baru memperoleh pekerjaan.

Uraian berikutnya adalah menyoroti migran semasa hidup yang masuk pada tahun 1990. Ditinjau dari segi polanya, tampak bahwa migran semasa hidup yang masuk ke Provinsi Bali pada tahun 1990 memiliki pola yang tidak berbeda dengan keadaan pada tahun 1980. Bahkan persentase migran semasa hidup yang berasal dari Jawa Timur tambah mencolok, yaitu hampir mencapai 58 persen dari seluruh migran semasa hidup yang masuk pada waktu itu. Posisi kedua tetap digambarkan oleh daerah asal dari Jawa Tengah, dengan persentase yang hampir sama.

Ilustrasi yang dipaparkan di atas terbatas pada pembahasan pola migrasi semasa hidup yang masuk ke Provinsi Bali, dan sama sekali belum menyentuh pembahasan tentang migran semasa hidup yang keluar dari Provinsi Bali. Dalam kaitan ini juga akan dibicarakan mengenai arah dan pola migrasi semasa hidup yang keluar Bali. Daerah tujuan migran semasa hidup yang berasal dari Bali pada tahun 1980 tampaknya tidak terfokus pada satu daerah tujuan tertentu. Hal ini dapat diamati dari besarnya persentase migran yang menuju daerah tujuan di luar Bali, yaitu Sulawesi Tengah, yang besarnya mencapai 22,5 persen dari seluruh migran semasa hidup yang keluar, disusul oleh Lampung sebesar 13,7 persen, Nusa Tenggara Barat 13,0 persen, dan Jawa Timur sebesar 12,9 persen. Kecuali Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat yang lebih banyak ditentukan oleh kedekatan jarak, daerah tujuan Sulawesi Tengah dan Lampung terutama disebabkan oleh program pemerintah, yaitu program transmigrasi.

Program transmigrasi memiliki berbagai tujuan yang antara lain untuk mengatasi ketimpangan persebaran penduduk, kesenjangan pembangunan antar daerah, pemukiman kembali, dan sebagainya. Provinsi Sulawesi Tengah dan Lampung adalah daerah tujuan transmigrasi yang telah banyak dikenal sejak tahun 1950-an, yaitu pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. Pada waktu itu nama-nama daerah tujuan transmigrasi seperti Metro (di Lampung) dan Parigi (di Sulawesi Tengah), sudah dikenal luas oleh masyarakat Bali sampai ke pelosok-pelosok pedesaan. Bahkan pada masa Orde Baru program transmigrasi mendapat perhatian lebih serius sehingga terencana secara teratur

dan terarah melalui rencana pembangunan lima tahun yang lebih populer dengan sebutan “REPELITA”.

Berikutnya, jika diperhatikan migran semasa hidup yang keluar Bali pada tahun 1990, ternyata polanya tidak berubah dibandingkan dengan keadaan pada tahun 1980. Daerah tujuan utama para migran semasa hidup asal Bali masih digambarkan oleh Sulawesi Tengah pada posisi pertama, dan Lampung menduduki tempat kedua, masing-masing dengan persentase yang hampir sama dengan keadaan tahun 1980. Salah satu hal menarik yang dijumpai pada migrasi semasa hidup yang keluar Bali tahun 1990 adalah tempat ketiga digambarkan oleh daerah Sulawesi Selatan yang besarnya hampir mencapai 12 persen dari seluruh migran semasa hidup yang keluar pada tahun 1990. Hal ini mengindikasikan bahwa program transmigrasi mempunyai andil yang cukup besar untuk menggambarkan besarnya persentase migran semasa hidup yang keluar pada tahun 1990.

Setelah mengupas migrasi semasa hidup yang masuk dan yang keluar Bali sebelum Era Reformasi (tahun 1980 dan 1990), maka pada uraian berikut ini akan difokuskan pada pembahasan migrasi semasa hidup setelah Era Reformasi. Artinya substansi yang dibahas sama, namun dalam kurun waktu yang berbeda. Dalam membahas migrasi semasa hidup pada Era Reformasi akan dilakukan secara bertahap, yang dimulai dengan menyoroti keadaan migran semasa hidup tahun 2000, kemudian disusul oleh pembahasan migran semasa hidup pada tahun 2005. Perubahan ini disebabkan oleh adanya perbedaan nama-nama provinsi antara tahun 2000 dan tahun 2005 sebagai akibat terjadinya pemekaran provinsi di beberapa wilayah provinsi di Indonesia.

Gambaran tentang pola migrasi semasa hidup menurut hasil SP 2000, baik yang menuju ataupun keluar Bali dapat diikuti pada Lampiran 2. Secara keseluruhan jumlah migran semasa hidup yang masuk ke Provinsi Bali pada tahun 2000 mencapai 180 ribu orang, sementara yang keluar dari Bali jauh lebih besar, yaitu sekitar 239 ribu orang. Pola migrasi semasa hidup yang masuk menuju Bali pada tahun 2000 sama dengan pola migrasi semasa hidup yang masuk pada tahun 1990. Daerah asal yang dominan bagi migrasi semasa hidup yang masuk ke Bali tahun 2000 juga ditunjukkan oleh Jawa Timur, yang mencakup sekitar 59 persen dari seluruh migrasi semasa hidup yang masuk pada tahun yang sama, sementara tempat kedua dan ketiga masing-masing diduduki oleh migran semasa hidup dari Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Barat.

Pada pihak lain, gambaran tentang pola migrasi semasa hidup yang keluar Bali pada tahun 2000 tampaknya juga tidak berbeda jauh dengan keadaan pada tahun 1990. Migrasi semasa hidup yang keluar Bali pada tahun 2000 tetap didominasi oleh program transmigrasi. Dalam kaitan ini, daerah tujuan transmigrasi yang paling menonjol adalah menuju daratan Sulawesi yang mencakup sekitar 55 persen dari seluruh migrasi semasa hidup yang keluar pada waktu itu. Secara rinci hal ini dapat digambarkan sebagai berikut, menuju Sulawesi Tengah sebesar 27,38 persen, Sulawesi Selatan 16,30 persen, Sulawesi Tenggara 10,39 persen, dan Sulawesi Utara 1,52 persen. Menonjolnya daerah tujuan di Pulau Sulawesi, disebabkan oleh kultur tanah dan dukungan pengairannya sangat cocok untuk mengembangkan pertanian. Hal ini tentu sangat sesuai dengan keahlian yang dimiliki oleh transmigran asal Bali, yang umumnya memiliki latar belakang pertanian. Berdasarkan pengamatan dan informasi keluarga transmigran yang masih berada di Bali, para transmigran tersebut umumnya sudah berhasil di daerah tujuan. Bahkan diantaranya ada yang mengajak kembali kerabatnya di Bali untuk ikut bertransmigrasi ke Sulawesi.

Selain menuju daerah transmigrasi, sebagian lagi adalah mereka yang bermigrasi jarak dekat seperti menuju Nusa Tenggara Barat dan Jawa Timur. Sisanya terdistribusi menuju berbagai provinsi lainnya di wilayah Nusantara. Namun jika dibagi berdasarkan dikotomi antara Jawa dan luar Jawa, maka dapat dibedakan bahwa migran semasa hidup yang keluar Bali menuju luar Jawa digambarkan oleh daerah tujuan Sulawesi, sedangkan pola kedua yang bukan bertransmigrasi kebanyakan menuju Pulau Jawa. Kemungkinan besar mereka itu adalah tenaga kerja atau karyawan, baik pemerintah maupun swasta yang memang kelahirannya di Bali tetapi sekarang bekerja dan bertempat tinggal di Jawa. Selain yang disebutkan di atas, ada kemungkinan kepergian migran semasa hidup ke Jawa diawali dengan menempuh pendidikan di Jawa. Dilihat dari segi pendidikan jelas Jawa lebih maju daripada Bali; perguruan-perguruan tinggi ternama baik negeri maupun swasta banyak dijumpai di Pulau Jawa. Ini juga menjadi faktor penarik mengapa para migran memilih Jawa sebagai tempat melanjutkan pendidikan. Bahkan bukan tidak mungkin setelah menyelesaikan pendidikannya para migran tadi juga memilih Jawa sebagai tempat bekerja.

Bagian akhir dari pembahasan migrasi semasa hidup, baik yang menuju ataupun yang keluar Bali didasarkan pada hasil SUPAS 2005. Dari Lampiran 3 diperoleh

informasi bahwa jumlah migran semasa hidup yang masuk ke Provinsi Bali tahun 2005 adalah sekitar 250 ribu orang, sementara yang keluar adalah sebanyak 248 ribu orang. Sumber utama migran semasa hidup yang masuk ke Bali pada tahun 2005 adalah Jawa Timur, yaitu sekitar 60 persen dari seluruh migran semasa hidup yang masuk pada waktu itu. Sisanya yang menonjol adalah mereka yang berasal dari Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Jawa Tengah, dan sebagian kecil lainnya berasal dari berbagai provinsi lainnya di wilayah Nusantara. Namun demikian, secara umum tampak bahwa polanya tidak berbeda jauh dengan pola tahun-tahun sebelumnya.

Pada pihak lain, penelusuran terhadap migrasi semasa hidup yang keluar Bali tahun 2005, tampaknya juga menggambarkan pola yang tidak berbeda dengan keadaan pada periode-periode sebelumnya. Sebagian besar migrasi semasa hidup yang keluar Bali digambarkan oleh daerah-daerah tujuan program transmigrasi, seperti yang terdapat di Pulau Sulawesi dan Pulau Sumatera. Di Sulawesi yang menonjol adalah Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara, sedangkan di Sumatera yang paling menonjol adalah Lampung. Hal penting yang dapat disimpulkan dari analisis migrasi semasa hidup, baik yang menuju Bali maupun yang keluar Bali adalah terdapat kesamaan pola migrasi dengan periode-periode sebelumnya. Kesamaan pola ini kemungkinan besar disebabkan oleh sifat yang dimiliki oleh migrasi semasa hidup yaitu bersifat kumulatif. Artinya orang yang sama akan muncul kembali dalam pencacahan pada periode-periode berikutnya, sepanjang orang yang bersangkutan belum meninggal atau tidak kembali ke daerah asalnya.

Migrasi Risen

Untuk menghindari sifat kumulatif yang dimiliki oleh migrasi semasa hidup, mulai SP 1980 digunakan pula pendekatan baru dalam pencacahan migrasi, yang dikenal dengan migrasi risen. Sesuai dengan konsep migrasi risen, apabila seseorang yang tempat tinggalnya sekarang berbeda dengan provinsi tempat tinggal 5 tahun yang lalu maka yang bersangkutan dicacah sebagai migran risen. Dengan pendekatan baru ini akan diperoleh data migrasi yang lebih up to date karena mencakup perpindahan-perpindahan yang terjadi selama 5 tahun yang lalu.

Keadaan migrasi risen sebelum Era Reformasi dapat diperoleh dari hasil SP 1980 dan SP 1990 (Lampiran 4). Jumlah migran risen dari hasil SP 1980 diperoleh dari data

migrasi selama periode 1975-1980, sedangkan jumlah migran risen dari hasil SP 1990 diperoleh dari migrasi pada periode 1985-1990. Jumlah migrasi risen yang masuk ke Bali pada tahun 1980 adalah sebesar 37,2 ribu orang, sedangkan yang masuk ke Bali menurut hasil SP 1990 adalah 65,9 ribu orang. Selanjutnya, ditinjau dari persebaran migrasi risen yang masuk ke Bali pada tahun 1980, peringkat pertama adalah dari Jawa Timur, tempat kedua diduduki oleh DKI Jakarta, ketiga adalah Nusa Tenggara Barat. Daerah lainnya yang turut memberikan andil penting terhadap migrasi risen yang masuk ke Bali pada periode 1975-1980 adalah Jawa Tengah, Jawa Barat, Jambi, dan Sumatera Utara.

Selanjutnya berdasarkan data migrasi risen 1985-1990 (hasil SP 1990) diperoleh informasi bahwa polanya tidak berbeda jauh dengan pola migrasi risen yang menuju Bali pada tahun 1980. Hanya saja jika diperhatikan angkanya, ternyata lebih dari 50 persen dari seluruh migran risen yang masuk pada tahun 1990 digambarkan oleh Jawa Timur. Daerah lainnya yang menonjol setelah Jawa Timur adalah migran risen yang berasal dari Jawa Jawa Tengah, Jawa Barat, DKI Jakarta, dan DI Yogyakarta. Secara keseluruhan Pulau Jawa menyumbang 73 persen migran risen yang masuk ke Bali pada tahun 1990. Di luar Pulau Jawa yang menonjol adalah migran risen yang berasal dari Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, dan sisanya berasal dari berbagai provinsi di Indonesia. Selain itu dari data migrasi risen tahun 1990, juga diperoleh informasi yang menarik bahwa migran risen dari luar negeri meningkat dari 1,0 persen tahun 1980 menjadi 1,7 persen pada tahun 1990.

Besarnya persentase migran risen yang berasal dari Pulau Jawa dan bahkan dari luar negeri tidak dapat dilepaskan dari kemajuan yang dicapai oleh Provinsi Bali melalui pengembangan sektor pariwisata sebagai motor penggerak perekonomian Bali. Kondisi itulah tampaknya menjadi penarik para migran risen dari luar Bali untuk memperoleh pekerjaan atau berusaha di Bali. Apalagi jika dikaitkan dengan pemodal bisnis pariwisata yang ada di Bali, sebagian besar berasal dari luar Bali dan bukan tidak mungkin mereka juga mempekerjakan pekerja yang tergolong migran risen dengan daerah asal yang sama dengan para pemodal.

Gambaran mengenai migrasi risen yang dipaparkan di atas masih terbatas pada migrasi risen yang menuju Bali dan sama sekali belum mengupas tentang daerah tujuan migrasi risen asal Bali. Data yang digunakan untuk membahas masalah yang disebut

terakhir masih didasarkan pada data pada Lampiran 4. Jumlah migran risen yang keluar Bali pada tahun 1980 mencapai 52,4 ribu orang dan tahun 1990 meningkat menjadi 56,1 ribu orang. Ditinjau dari segi polanya, ternyata migrasi risen yang keluar Bali tidak memiliki pola yang sama dengan migrasi risen yang masuk ke Bali. Daerah tujuan yang menonjol dari migran risen asal Bali pada tahun 1980 dapat dibagi menjadi dua pola yaitu (1) pola I digambarkan oleh migran risen yang menuju daerah transmigrasi seperti Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Lampung, dan beberapa daerah lainnya; (2) pola II digambarkan oleh migran risen yang bukan menuju daerah transmigrasi seperti menuju Jawa Timur, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat, dan sebagian menuju daerah lainnya. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pada tahun 1980 pola dengan daerah tujuan transmigrasi jauh lebih menonjol daripada pola bukan menuju daerah transmigrasi.

Lebih jauh, apabila ditelusuri keadaan pada tahun 1990, tampak bahwa terdapat pola yang berbeda dengan keadaan tahun 1980. Pada tahun 1990 justru diperoleh gambaran yang sebaliknya, pola II lebih menonjol daripada pola I. Artinya, migran risen yang menuju bukan daerah transmigrasi persentasenya lebih besar daripada yang menuju daerah transmigrasi. Apakah ini merupakan suatu petunjuk bahwa program transmigrasi kurang diminati, ataukah peluang kerja yang mereka harapkan sudah diperoleh di Bali?

Pada Lampiran 5 disajikan data tentang migrasi risen masuk dan keluar Bali menurut hasil SP 2000. Dari Lampiran 5 terungkap bahwa jumlah migran risen yang menuju Bali pada periode 1995-2000 berjumlah 76,6 ribu orang, sementara yang keluar Bali pada periode yang sama mencapai 54,8 ribu orang. Selanjutnya jika diperhatikan pola migrasi risen yang masuk pada periode 1995-2000, yang paling menonjol adalah yang berasal dari Jawa Timur sekitar 47 persen, disusul oleh DKI Jakarta di tempat kedua yang besarnya hampir mencapai 8 persen. Provinsi Nusa Tenggara Barat menduduki tempat ketiga, Nusa Tenggara Timur di tempat keempat, Jawa Barat di tempat kelima, dan provinsi-provinsi lainnya menduduki peringkat lebih rendah. Sementara itu migran risen yang berasal dari luar negeri hampir mencapai 5 persen dari seluruh migran risen yang masuk pada periode 1995-2000.

Menarik untuk dibahas adalah migran risen yang berasal dari DKI Jakarta pada periode 1995-2000. Kemungkinan besar mereka itu merupakan eksodus, sebab pada

periode tersebut terjadi kerusuhan besar di Jakarta dan diakhirinya kekuasaan Orde Baru dan dimulainya pemerintahan Orde Reformasi. Demi keamanan para eksodus tersebut memilih Bali sebagai tempat tujuan; bahkan untuk itu mereka umumnya tidak menawar lagi sewa atau harga rumah yang ditawarkan kepadanya oleh pemilik rumah.

Berkaitan dengan migran risen keluar dari Provinsi Bali pada periode 1995-2000, dapat diketahui bahwa polanya hampir sama dengan migran risen yang keluar Bali pada periode 1985-1990. Gambaran tentang migrasi risen keluar Bali pada tahun 2000 tidak lagi didominasi oleh program transmigrasi, melainkan cenderung menuju provinsi-provinsi yang terletak di Pulau Jawa, yang hampir mencapai 70 persen. Dominannya daerah tujuan migran risen ke Jawa mengindikasikan bahwa mereka itu adalah para mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan di kota-kota di Pulau Jawa. Perguruan-perguruan tinggi negeri maupun swasta yang terkenal yang memiliki berbagai bidang studi sangat banyak ditemukan di Pulau Jawa sehingga dapat menarik minat para calon mahasiswa untuk belajar di sana. Setelah mereka menyelesaikan studi, kemungkinan besar mereka tidak kembali ke daerah asalnya, melainkan berusaha meraih peluang kerja di kota-kota besar seperti di Jakarta, Bandung, maupun Surabaya.

Setelah menyoroti migrasi risen berdasarkan hasil SP 1980, SP 1990, dan SP 2000, berikut ini dibahas migrasi risen berdasarkan hasil SUPAS 2005 (Lampiran 6). Data migrasi yang dikumpulkan melalui SUPAS 2005 mencakup perpindahan-perpindahan yang terjadi selama periode 2000-2005. Dari data yang dikumpulkan, terungkap bahwa jumlah migran risen yang masuk ke Bali jauh melebihi dari yang keluar Bali, yaitu 76,6 ribu orang berbanding 39 ribu orang. Ditinjau dari daerah asalnya, peringkat pertama digambarkan oleh migran risen dari Jawa Timur, disusul oleh migran risen asal Nusa Tenggara Barat di tempat kedua, sedangkan peringkat ketiga dan keempat kembali digambarkan oleh migran risen dari Pulau Jawa (Jawa Tengah dan Jakarta), dan peringkat kelima dari Nusa Tenggara Timur. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa alasan utama seseorang melakukan perpindahan adalah bersifat ekonomi, seperti memperoleh pekerjaan, meningkatkan pendapatan, atau meningkatkan taraf kehidupan. Dengan perkataan lain tujuan utama mereka melakukan migrasi adalah untuk bekerja dan menghasilkan pendapatan. Oleh karena itu dugaan kuat bahwa kehadiran migran dari berbagai wilayah di Indonesia adalah untuk bekerja atau berusaha pada lapangan-

lapangan pekerjaan yang tersedia. Sisanya tentu masih ada pula motif lain seperti keinginan untuk meningkatkan pendidikan, sehingga pada akhirnya akan dapat meraih peluang kerja yang menuntut kompetensi lebih tinggi.

Selanjutnya, ditinjau dari daerah tujuan migran risen asal Bali, tampak bahwa polanya tidak berbeda jauh dengan keadaan migrasi risen keluar pada tahun 2000. Di sini peranan program transmigrasi hampir tidak kelihatan, karena selama periode 2000-2005 Pemerintah Daerah Provinsi Bali sangat membatasi pengiriman transmigran mengingat daerah-daerah tujuan banyak yang rawan konflik. Sebaliknya daerah tujuan yang menonjol bagi para migran risen asal Bali adalah provinsi-provinsi tujuan di Pulau Jawa, yang didominasi oleh Jawa Timur, sementara Jawa Tengah dan DI Yogyakarta masing-masing berada diurutan kedua dan ketiga. Satu hal yang menarik selama periode 20002005 adalah besarnya persentase migran risen asal Bali yang menuju DI Yogyakarta. Memperhatikan kondisi ini, tampaknya sulit disangkal bahwa sebetulnya tujuan utama dari migran risen asal Bali ke Pulau Jawa pada umumnya dan ke DI Yogyakarta pada khususnya adalah untuk meningkatkan pendidikan.

Arus Utama Migrasi Penduduk

Untuk menentukan arus utama migrasi penduduk dapat dilakukan dengan cara menghitung besarnya migrasi neto, yaitu selisih antara migrasi masuk dengan migrasi keluar. Apabila tandanya positif berarti arus migrasi masuk yang dominan, sebaliknya jika tandanya negatif berarti arus migrasi keluar yang dominan. Dari data migrasi semasa hidup tahun 1980 dapat diketahui bahwa arus utama migrasi semasa hidup adalah keluar Bali sebab tandanya negatif sebesar -52.557 orang (Lampiran 7). Pola yang sama juga dijumpai pada migrasi semasa hidup tahun 1990, yaitu sebesar -106.680 orang.

Besarnya arus migrasi semasa hidup yang keluar Bali selama periode 1980-1990 merupakan dampak dari realisasi program transmigrasi menuju daerah-daerah di luar Bali, misalnya menuju Lampung, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara. Lebih jauh, penelusuran terhadap pola migrasi semasa hidup tahun 2000 dan 2005 dapat diikuti pada Lampiran 8.

Tampaknya hasil SP 2000 masih memberikan pola yang serupa dengan tahun 1990, karena peranan program transmigrasi masih relatif menonjol. Kondisi yang digambarkan di atas tampaknya sudah berbeda dengan hasil SUPAS 2005. Dalam

SUPAS 2005 sudah ditemukan arus migrasi semasa hidup yang positif, yaitu arus migrasi yang menuju Bali semakin banyak. Pembahasan berikutnya berkaitan dengan migrasi risen neto, yang dapat diamati dari Lampiran 9 dan 10. Dari Lampiran 9 diperoleh migrasi risen neto -15.150 orang, yang berarti bahwa pengaruh program transmigrasi masih cukup menonjol. Pada tahun 1990 polanya sudah berubah, arus migrasi menuju Bali lebih besar daripada yang keluar Bali.

Migrasi risen neto positif yang terjadi pada tahun 1990, tampaknya terjadi pula pada hasil SP 2000 dan SUPAS 2005, karena pada periode 2000-2005 Pemerintah Daerah Provinsi Bali tidak melakukan pengiriman transmigran. Dasar pertimbangan yang dipakai mengirim transmigran adalah karena daerah-daerah tujuan program transmigrasi rawan konflik.Pada Era Reformasi, pelaksanaan program transmigrasi mengalami banyak hambatan, sebab dengan adanya otonomi daerah program transmigrasi bukan lagi semata-mata diatur oleh pusat, namun pemerintah daerah kabupaten/kota di daerah tujuan juga ikut menentukan. Artinya, bahwa kebutuhan akan tenaga kerja transmigran ini harus memperhatikan kepentingan daerah kabupaten/kota di daerah tujuan.

Dampak Migrasi Penduduk Terhadap Kehidupan Ekonomi dan Sosial

Memperhatikan hasil pembahasan migrasi semasa hidup maupun migrasi risen pada bagian sebelumnya, ditemukan adanya kecenderungan semakin menurunnya jumlah migran yang keluar dan sebaliknya jumlah migran masuk ke Bali semakin meningkat. Hal ini dapat diamati dari semakin besarnya jumlah migran risen neto yang bertanda positif, dari +21.871 orang tahun 2000 menjadi +37.630 orang pada tahun 2005. Dampak yang ditimbulkan oleh semakin meningkatnya arus migrasi masuk menuju Provinsi Bali dapat dilihat dari dua aspek, baik yang bersifat positif maupun negatif. Secara rinci dampak migrasi penduduk terhadap kehidupan ekonomi dan sosial di Provinsi Bali adalah sebagai berikut:

  • 1)    Dapat mengatasi kesulitan tenaga kerja

Para pengguna tenaga kerja seperti kontraktor dapat memperoleh tenaga kerja dengan upah yang relatif murah sejalan dengan meningkatnya arus pekerja migran yang masuk ke Bali. Apalagi diketahui bahwa pekerja lokal (Bali), cenderung memilih-milih pekerjaan sesuai dengan aspirasinya. Lebih-lebih jika dikaitkan

dengan semakin meningkatnya pendidikan penduduk di Provinsi Bali, tentu saja mereka menginginkan pekerjaan dengan kualifikasi atau keahlian lebih tinggi.

  • 2)    Meningkatnya kepadatan penduduk di daerah tujuan

Meningkatnya arus migrasi masuk menuju Bali tidak hanya meningkatkan laju pertumbuhan penduduk, akan tetapi juga memicu semakin tingginya kepadatan penduduk Provinsi Bali dari 558 orang menjadi 690 orang per km2 selama periode 2000-2010. Hal ini terlihat jelas terutama kepadatan penduduk di perkotaan; seperti yang dialami oleh Kota Denpasar yang kepadatannya meningkat dari 4.167 orang menjadi 6.171 orang per km2 selama periode 2000-2010.

  • 3)    Semakin meningkatnya angka pengangguran

Meningkatnya arus migrasi masuk, khususnya menuju daerah perkotaan akan menyebabkan tidak seimbangnya penawaran dan permintaan tenaga kerja. Kelebihan tenaga kerja yang disebabkan oleh terbatasnya permintaan tenaga kerja akan mendorong semakin bertambahnya jumlah penduduk yang menganggur, baik yang tergolong pengangguran terbuka maupun setengah pengangguran. Hal ini tentu tidak kondusif dengan pembangunan ekonomi, karena sebagian tenaga kerja tidak dapat dimanfaatkan secara optimal.

  • 4)    Semakin menjamurnya kegiatan usaha sektor informal

Sebagian diantara mereka yang tidak tertampung di pasar tidak kerja, tidak menunggu untuk mendapatkan pekerjaan, melainkan menciptakan usaha sendiri, atau usaha dibantu oleh anggota rumah tangga. Umumnya mereka berusaha dengan modal kecil, baik pada aktivitas produksi maupun penjualan berbagai jenis makanan, minuman, dan jajanan. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan membuka warung tenda, pedagang kaki lima, atau pedagang keliling menjual bakso, es, rujak, krupuk, dan sebagainya. Kegiatan inilah yang digolongkan sebagai usaha sektor informal.

  • 5)    Bertambahnya pemukiman kumuh dan terjadinya degradasi lingkungan.

Arus migrasi masuk yang semakin besar ikut memacu semakin banyaknya kaum migran yang menggeluti usaha sektor informal, yang umumnya memiliki penghasilan rendah. Kondisi ini menyebabkan mereka berupaya hidup hemat dan

memilih tempat tinggal di pemukiman kumuh. Kondisi seperti ini tentu akan memicu terjadinya pencemaran lingkungan.

  • 6)    Meningkatnya berbagai kasus tindak kejahatan

Arus migrasi masuk yang tidak seimbang dengan kesempatan kerja mendorong meningkatnya angka pengangguran. Bertambahnya pengangguran berarti semakin sulitnya kehidupan, sehingga hal ini memicu terjadinya berbagai tindak kejahatan, seperti pencurian, pembunuhan, penganiayaan, penculikan, dan sebagainya.

PENUTUP

Simpulan

Bertolak dari hasil pembahasan yang telah dipaparkan di atas dapat ditarik beberapa simpulan penting, yaitu sebagai berikut.

  • 1)    Pola migrasi semasa hidup yang masuk ke Bali sebelum dan sesudah Era Reformasi masih relatif sama; yaitu dominan ditentukan oleh daerah asal Jawa Timur. Sebaliknya migrasi semasa hidup yang keluar Bali dominan menuju daerah transmigrasi, seperti menuju Provinsi Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara di daratan Sulawesi dan Provinsi Lampung di daratan Sumatera.

  • 2)    Pola migrasi risen yang masuk ke Bali dari periode ke periode berikutnya cenderung menunjukkan pola yang sama, terutama digambarkan oleh migran yang berasal dari Jawa Timur dan daerah-daerah yang dekat dengan Bali seperti Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Sebaliknya migrasi risen yang keluar Bali, ternyata tidak memiliki pola yang sama dari satu periode ke periode berikutnya. Kecuali pada tahun 1980, pola migrasi risen yang keluar Bali bukan lagi dominan ditentukan oleh program transmigrasi, melainkan sebagian besar menuju Pulau Jawa dan paling dominan adalah Jawa Timur.

  • 3)    Arus utama migrasi semasa hidup sampai tahun 2000 masih digambarkan oleh migrasi keluar terutama menuju daerah tujuan transmigrasi, sedangkan pada tahun 2005 sudah menunjukkan angka migrasi neto yang positif. Artinya, migrasi masuk cenderung lebih besar daripada migrasi yang keluar.

  • 4)    Sejak tahun 1990 arus utama migrasi risen sudah menunjukkan tanda positif, dan angka ini terus bertambah besar sampai tahun 2005. Hal ini berkontribusi positif terhadap semakin meningkatnya laju pertumbuhan penduduk Provinsi Bali.

  • 5)    Dampak dari meningkatnya arus migrasi masuk adalah (1) tersedianya tenaga kerja dengan tingkat upah relatif murah; (2) meningkatnya kepadatan penduduk; (3) menjamurnya usaha sektor informal; (4) meningkatnya angka pengangguran; (5) bertambahnya pemukiman kumuh dan degradasi lingkungan; dan (6) semakin meningkatnya berbagai kasus tindak kejahatan.

Implikasi Kebijakan

  • 1)    Pemerintah Provinsi Daerah Bali atau Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Bali perlu menjalin kerja sama dengan daerah-daerah tujuan atau daerah penerima program transmigrasi, karena pada Era Desentralisasi kebutuhan akan tenaga transmigran baik jenis dan kualifikasinya lebih banyak ditentukan oleh demand (permintaan) daerah tujuan/penerima program transmigrasi. Dalam kaitan ini Pemerintah Pusat perlu mendukung dan membantu Pemerintah Kabupaten/Kota daerah tujuan/penerima program transmigrasi untuk meningkatkan pembangunan daerah dengan cara pembangunan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi, yang akhirnya dapat berperan sebagai magnet/penarik bagi para migran. Hal ini tidak hanya memberikan daya tarik kepada para transmigran asal Bali, namun juga para transmigran daerah lainnya. Dengan demikan secara tidak langsung akan dapat membelokkan arus migrasi penduduk menuju daerah-daerah di luar Bali.

  • 2)    Mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di daerah burit (kota-kota kecil sebelum menjangkau kota besar). Misalnya pembangunan Kota Tabanan atau kota kecil lainnya sebelum menjangkau Kota Denpasar. Pembangunan kota-kota kecil atau daerah burit akan dapat mengerem laju pertumbuhan penduduk yang langsung menuju kota-kota besar seperti Denpasar. Secara tidak langsung hal ini akan mengurangi terkonsentrasinya penduduk di kota besar tertentu. Pembangunan ekonomi menjadi lebih tersebar, kesenjangan pembangunan antarwilayah dapat diatasi, sehingga pada gilirannya kesenjangan kesempatan kerja dan pendapatan juga dapat dipecahkan.

  • 3)    Mewujudkan tertib administrasi kependudukan bagi semua warga masyarakat, tidak terbatas pada penduduk pendatang, namun juga bagi penduduk lokal, yang diikuti dengan pemberian sanksi yang tegas kepada setiap orang yang melanggar sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Ujung tombak pelaksanaan administrasi kependudukan adalah desa/kelurahan, yang dibantu oleh kepala dusun/lingkungan. Karena itu kualitas administrasi kependudukan sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia pengelola administrasi kependudukan pada tingkat desa/kelurahan.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik Indonesia. .2001. Penduduk Indonesia Hasil Survei Modul Kependudukan Tahun 2000. Jakarta : Badan Pusat Statistik.

------------. 2006. Penduduk Indonesia Hasil Survei Penduduk Antar Sensus 2005. Jakarta : Badan Pusat Statistik.

Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. 2010. Hasil Sensus Penduduk 2010 untuk Provinsi Bali. Denpasar: Badan Pusat Statistik.

Badan Pusat Statistik Kota Denpasar. 2010. Hasil Sensus Penduduk 2010 untuk Kota Denpasar. Denpasar: Badan Pusat Statistik.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Badung. 2010. Hasil Sensus Penduduk 2010 untuk Kabupaten Badung. Denpasar Badan Pusat Statistik.

Bappeda Provinsi Bali. 2000. Data Bali Membangun 1999. Denpasar: Bappeda Provinsi Bali.

------------. 2003. Data Bali Membangun 2002. Denpasar: Bappeda Provinsi Bali. ------------. 2011. Data Bali Membangun 2010. Denpasar: Bappeda Provinsi Bali.

Dayuh Rimbawan, I Nyoman. 1984. “Analisa Migrasi Pulau Bali Berdasarkan Data Sensus Penduduk Tahun 1971 dan 1980”, dalam Ida Bagoes Mantra dan Kasto (penyunting), Analisa Migrasi Indonesia Berdasarkan Data Sensus Penduduk 1971 dan 1980. Jakarta : BPS.

Kantor Statistik Propinsi Bali. 2001. Penyusunan Karakteristik Demografi Propinsi Bali Tahun 2000. Denpasar: Kantor Statistik Propinsi Bali.

Lee, Everett S. 1970. “A Theory of Migration”, in George J. Demko, Harrold M. Rose, and George A. Schnell (eds), Population Geography: A Reader. 228-298.

Manning, Chris. 1990. Kegiatan Ekonomi Angkatan Kerja di Indonesia: Sebuah Pengantar Analisa dan Interpretasi Data Sensus. Yogyakarta : Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada.

Mantra, Ida Bagoes. 2003. Demografi Umum. Edisi kedua. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Norris, Robert E. 1972. ”Migration as spatial interaction”, Journal of Geography, 71 (5): 291-301.

Sudibia, I Ketut. 1992. Penduduk Indonesia Selama Pembangunan Jangka Panjang Tahap I, Bali. Jakarta: Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup.\

------------.1993.Analisa Perkembangan Kependudukan Menurut Sensus Penduduk 1990 : Dinamika Mobillitas, Bali-Nusa Tenggara. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan UGM.

------------. 2004. Kebutuhan Pekerja Migran Non-Permanen di Sektor Pertanian Pada Masa Panen dan di Industri Genteng di Daerah Pedesaan Kabupaten Tabanan-Bali. Disertasi Doktor Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta : Tidak dipublikasikan.

Sudibia, I Ketut; I Made Riyanto; dan I Wayan Sundra. 2009. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2007: Provinsi Bali. Jakarta: Penerbit KB dan Kesehatan Reproduksi BKKBN.

Titus, Milan J. 1995. Migrasi Antar Daerah di Indonesia. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada.

Todaro, Michael P dan Stephen C. Smith, 2006. Perkembangan Ekonomi Indonesia. Edisi Kesembilan Jilid 1. Jakarta: Penerbit Erlangga.

* Telah diseminarkan pada “Seminar Hasil-Hasil Penelitian” yang diikuti oleh Pusat – Pusat Penelitian Kependudukan seluruh Indonesia di BKKBN Pusat Jakarta bulan November 2011

Lampiran 1

Distribusi Migran Semasa Hidup Masuk (MSHM) dan Migran Semasa Hidup Keluar (MSHK) di Provinsi Bali Berdasarkan Hasil SP 1980 dan SP 1990 (dalam persen)

Provinsi

MSHM

MSHK

SP 1980

SP 1990

SP 1980

SP 1990

1. DI ACEH

0,8

0,2

0,1

0,0

2. SUMATERA UTARA

2,0

1,2

0,7

0,4

3. SUMATERA BARAT

1,0

0,9

0,9

0,1

4. RIAU

0,4

0,5

0,2

0,3

5. JAMBI

2,8

0,4

0,2

0,1

6. SUMATERA SELATAN

0,9

0,7

0,3

2,5

7. BENGKULU

0,1

0,0

2,1

0,3

8. LAMPUNG

0,4

0,3

13,7

15,8

9. DKI JAKARTA

3,3

3,1

6,3

4,1

10.JAWA BARAT

7,6

6,7

3,3

4,2

11.JAWA TENGAH

11,9

11,2

1,7

1,5

12.DI YOGYAKARTA

1,3

1,5

1,7

1,1

13.JAWA TIMUR

50,8

57,6

12,9

7,3

14.BALI

-

-

-

-

15.NUSA TENGGARA BARAT

5,4

5,2

13,0

7,3

16.NUSA TENGGARA TIMUR

3,8

3,5

1,7

1,7

17.TIMOR TIMUR*)

0,2

0,4

-

1,4

18.KALIMANTAN BARAT

0,0

0,2

1,6

0,2

19.KALIMANTAN TENGAH

0,3

0,3

0,8

0,9

20.KALIMANTAN SELATAN

0,4

0,5

0,2

3,8

21.KALIMANTAN TIMUR

0,4

0,4

0,2

1,7

22.SULAWESI UTARA

1,0

0,8

5,0

3,3

23.SULAWESI TENGAH

0,3

0,5

22,5

22,7

24.SULAWESI SELATAN

1,4

1,3

6,7

11,6

25.SULAWESI TENGGARA

0,0

0,3

3,9

7,0

26.MALUKU

0,4

0,4

0,2

0,2

27.IRIAN JAYA

0,2

0,1

0,1

0,5

28.LUAR NEGERI

1,3

1,8

-

-

TIDAK TERCATAT

1,6

-

-

-

TOTAL (%):

RIBUAN ORANG:

100,0 65,2

100,0

114,9

100,0

117,8

100,0

221,6

Sumber: Sudibia (1993).

*) Masih bergabung dengan Indonesia.

Lampiran 2

Distribusi Migran Semasa Hidup Masuk (MSHM) dan Migran Semasa Hidup Keluar (MSHK) di Provinsi Bali Berdasarkan Hasil SP 2000 (dalam persen)

Provinsi

MSHM

MSHK

1. DI ACEH

0.17

-

2. SUMATERA UTARA

1.22

0.28

3. SUMATERA BARAT

0.57

0.20

4. RIAU

0.45

0.39

5. JAMBI

0.08

0.03

6. SUMATERA SELATAN

1.16

2.20

7. BENGKULU

0.12

0.66

8. LAMPUNG

0.63

3.76

9. DKI JAKARTA

4.00

2.18

10.JAWA BARAT

4.33

6.59

11.JAWA TENGAH

9.39

2.75

12.DI YOGYAKARTA

2.05

0.47

13.JAWA TIMUR

58.68

9.47

14.BALI

-

-

15.NUSA TENGGARA BARAT

6.79

9.40

16.NUSA TENGGARA TIMUR

3.84

2.52

17.KALIMANTAN BARAT

0.71

0.20

18.KALIMANTAN TENGAH

-

0.32

19.KALIMANTAN SELATAN

0.76

2.43

20.KALIMANTAN TIMUR

0.38

0.28

21.SULAWESI UTARA

0.77

1.52

22.SULAWESI TENGAH

0.30

27.38

23.SULAWESI SELATAN

1.48

16.30

24.SULAWESI TENGGARA

0.05

10.39

25.MALUKU

0.36

-

26.IRIAN JAYA

0.06

0.29

27.LUAR NEGERI

1.65

-

TOTAL (%):

RIBUAN ORANG:

100,0

180,1

100,0

238,8

Sumber: Badan Pusat Statistik Indonesia (2001).

Lampiran 3

Distribusi Migran Semasa Hidup Masuk (MSHM) dan Migran Semasa Hidup Keluar (MSHK) di Provinsi Bali Berdasarkan Hasil SUPAS 2005 (dalam persen)

Provinsi

MSHM

MSHK

1

NANGROE ACEH DARUSSALAM

-

-

2

SUMATERA UTARA

1.15

0.30

3

SUMATERA BARAT

0.47

-

4

RIAU

0.40

-

5

JAMBI

0.25

0.25

6

SUMATERA SELATAN

0.57

3.80

7

BENGKULU

-

1.39

8

LAMPUNG

0.69

18.89

9

BANGKA BELITUNG

-

0.05

10

KEPULAUAN RIAU

0.49

0.51

11

DKI JAKARTA

2.60

1.93

12

JAWA BARAT

4.92

4.14

13

JAWA TENGAH

7.74

1.29

14

DI YOGYAKARTA

0.85

1.13

15

JAWA TIMUR

60.09

7.64

16

BANTEN

0.12

0.47

17

BALI

-

-

18

NUSA TENGGARA BARAT

8.30

5.51

19

NUSA TENGGARA TIMUR

5.17

1.11

20

KALIMANTAN BARAT

0.42

0.50

21

KALIMANTAN TENGAH

-

1.80

22

KALIMANTAN SELATAN

0.46

3.28

23

KALIMANTAN TIMUR

0.62

3.72

24

SULAWESI UTARA

0.89

3.05

25

SULAWESI TENGAH

0.08

15.47

26

SULAWESI SELATAN

1.02

12.84

27

SULAWESI TENGGARA

0.07

9.39

28

GORONTALO

0.19

1.02

29

MALUKU

1.25

0.15

30

MALUKU UTARA

-

0.01

31

PAPUA

0.25

0.35

32

LUAR NEGERI

0.93

-

TOTAL (%):

100,0

100,0

Sumber: Badan Pusat Statistik Indonesia (2006).

Lampiran 4

Distribusi Migran Risen Masuk (MRM) dan Migran Risen Keluar (MRK) di Provinsi Bali Berdasarkan Hasil SP 1980 dan SP 1990 (dalam persen)

Provinsi

MRM

MRK

SP 1980

SP 1990

SP 1980

SP 1990

1. DI ACEH

0,3

0,2

0,2

0,1

2. SUMATERA UTARA

5,2

0,8

0,6

0,3

3. SUMATERA BARAT

0,2

0,6

0,5

0,4

4. RIAU

0,0

0,3

0,2

0,2

5. JAMBI

7,5

0,1

1,5

0,4

6. SUMATERA SELATAN

1,3

1,3

0,5

0,8

7. BENGKULU

-

0,1

0,3

0,2

8. LAMPUNG

0,5

0,7

10,3

4,0

9. DKI JAKARTA

9,4

5,3

5,8

4,6

10.JAWA BARAT

7,9

6,8

3,3

7,4

11.JAWA TENGAH

7,3

8,0

2,5

3,6

12.DI YOGYAKARTA

1,0

2,0

2,4

2,6

13.JAWA TIMUR

38,3

50,9

11,2

24,5

14.BALI

-

-

-

-

15.NUSA TENGGARA BARAT

8,9

7,1

14,2

11,5

16.NUSA TENGGARA TIMUR

4,4

3,1

2,8

4,2

17.TIMOR TIMUR*)

0,4

1,6

-

4,0

18.KALIMANTAN BARAT

0,4

0,2

0,6

0,2

19.KALIMANTAN TENGAH

0,6

0,6

0,9

0,7

20.KALIMANTAN SELATAN

0,0

1,3

0,1

3,9

21.KALIMANTAN TIMUR

0,7

0,9

0,1

1,5

22.SULAWESI UTARA

0,2

0,7

2,2

4,1

23.SULAWESI TENGAH

0,4

1,9

28,3

6,8

24.SULAWESI SELATAN

1,5

1,3

6,5

8,2

25.SULAWESI TENGGARA

-

1,7

2,7

4,5

26.MALUKU

0,2

0,5

0,2

0,3

27.IRIAN JAYA

0,5

0,3

0,1

1,0

28.LUAR NEGERI

1,0

1,7

-

-

TIDAK TERCATAT

1,9

-

-

-

TOTAL (%):

RIBUAN ORANG:

100,0 37,2

100,0 65,9

100,0 52,4

100,0 56,1

Sumber: Sudibia (1993).

*) Masih bergabung dengan Indonesia.

Lampiran 5

Distribusi Migran Risen Masuk (MRM) dan Migran Risen Keluar (MRK) di Provinsi Bali Berdasarkan Hasil SP 2000 (dalam persen)

Provinsi

MRM

MRK

1. DI ACEH

-

-

2. SUMATERA UTARA

0.51

-

3. SUMATERA BARAT

0.90

1.81

4. RIAU

0.92

1.38

5. JAMBI

0.06

-

6. SUMATERA SELATAN

1.45

-

7. BENGKULU

-

1.15

8. LAMPUNG

1.72

0.24

9. DKI JAKARTA

7.94

3.87

10.JAWA BARAT

5.89

14.70

11.JAWA TENGAH

3.84

7.43

12.DI YOGYAKARTA

1.98

2.40

13.JAWA TIMUR

46.96

40.76

14.BALI

-

-

15.NUSA TENGGARA BARAT

7.62

12.12

16.NUSA TENGGARA TIMUR

7.17

1.07

17.KALIMANTAN BARAT

2.18

0.57

18.KALIMANTAN TENGAH

0.12

0.73

19.KALIMANTAN SELATAN

0.18

0.66

20.KALIMANTAN TIMUR

2.18

1.27

21.SULAWESI UTARA

0.73

0.47

22.SULAWESI TENGAH

0.89

5.49

23.SULAWESI SELATAN

0.63

1.71

24.SULAWESI TENGGARA

0.35

1.98

25.MALUKU

0.74

-

26.IRIAN JAYA

0.12

0.19

27.LUAR NEGERI

4.93

-

TOTAL (%):

RIBUAN ORANG:

100,0 76,6

100,0 54,8

Sumber: Badan Pusat Statistik Indonesia (2001).

Lampiran 6

Distribusi Migran Risen Masuk (MRM) dan Migran Risen Keluar (MRK) di Provinsi Bali Berdasarkan Hasil SUPAS 2005 (dalam persen)

Provinsi

MRM

MRK

1

NANGROE ACEH DARUSSALAM

-

-

2

SUMATERA UTARA

1.69

1.40

3

SUMATERA BARAT

0.21

0.59

4

RIAU

0.97

-

5

JAMBI

0.19

0.16

6

SUMATERA SELATAN

0.65

-

7

BENGKULU

0.35

0.09

8

LAMPUNG

0.18

4.99

9

BANGKA BELITUNG

-

-

10

KEPULAUAN RIAU

0.36

-

11

DKI JAKARTA

6.89

-

12

JAWA BARAT

5.17

5.01

13

JAWA TENGAH

8.28

8.54

14

DI YOGYAKARTA

1.26

8.02

15

JAWA TIMUR

46.02

39.45

16

BANTEN

-

-

17

BALI

-

-

18

NUSA TENGGARA BARAT

13.73

4.54

19

NUSA TENGGARA TIMUR

6.22

5.22

20

KALIMANTAN BARAT

0.16

2.92

21

KALIMANTAN TENGAH

-

0.75

22

KALIMANTAN SELATAN

0.59

2.72

23

KALIMANTAN TIMUR

2.19

1.84

24

SULAWESI UTARA

-

1.78

25

SULAWESI TENGAH

-

2.86

26

SULAWESI SELATAN

2.63

4.90

27

SULAWESI TENGGARA

0.21

3.11

28

GORONTALO

-

0.15

29

MALUKU

0.87

0.59

30

MALUKU UTARA

-

0.09

31

PAPUA

0.19

0.26

32

LUAR NEGERI

0.99

-

TOTAL (%):

100,0

100,0

RIBUAN ORANG:


76.6


39.0


Sumber: Badan Pusat Statistik Indonesia (2006).

Lampiran 7

Distribusi Migrasi Semasa Hidup Neto di Provinsi Bali

Berdasarkan Hasil SP 1980 dan SP 1990 (orang)

Provinsi

Migrasi Semasa Hidup Neto

SP 1980

SP 1990

1. DI ACEH

394

89

2. SUMATERA UTARA

450

596

3. SUMATERA BARAT

459

784

4. RIAU

53

-65

5. JAMBI

1601

123

6. SUMATERA SELATAN

240

-4808

7. BENGKULU

-2421

-517

8. LAMPUNG

-15845

-34559

9. DKI JAKARTA

-5285

-5492

10.JAWA BARAT

1001

-1604

11.JAWA TENGAH

5682

9587

12.DI YOGYAKARTA

-1106

-727

13.JAWA TIMUR

17903

50111

14.BALI

-

-

15.NUSA TENGGARA BARAT

-12446

-10129

16.NUSA TENGGARA TIMUR

492

227

17.TIMOR TIMUR*)

93

-2709

18.KALIMANTAN BARAT

-1881

-253

19.KALIMANTAN TENGAH

-739

-1638

20.KALIMANTAN SELATAN

-26

-7974

21.KALIMANTAN TIMUR

-11

-3257

22.SULAWESI UTARA

-5178

-6414

23.SULAWESI TENGAH

-26323

-49719

24.SULAWESI SELATAN

-7048

-24288

25.SULAWESI TENGGARA

-4533

-15066

26.MALUKU

43

-54

27.IRIAN JAYA

-32

-944

28.LUAR NEGERI

856

2020

TIDAK TERCATAT

1050

-

TOTAL (orang):

-52557

-106680

Sumber: Sudibia (1993).

*) Masih bergabung dengan Indonesia.

Lampiran 8

Distribusi Migrasi Semasa Hidup Neto di Provinsi Bali Berdasarkan Hasil SP 2000 dan SUPAS 2005 (orang)

Provinsi

Migrasi Semasa Hidup Neto

SP 2000

SUPAS 2005

1. DI ACEH/NAD

300

-

2. SUMATERA UTARA

1515

2121

3. SUMATERA BARAT

552

1177

4. RIAU

-117

1003

5. JAMBI

72

3

6. SUMATERA SELATAN

-3162

-8017

7. BENGKULU

-1355

-3447

8. LAMPUNG

-7837

-45122

9. BANGKA BELITUNG

-

-125

10.KEPULAUAN RIAU

-

-28

11.DKI JAKARTA

2004

1708

12.JAWA BARAT

-7951

2016

13.JAWA TENGAH

10346

16148

14.DI YOGYAKARTA

2568

-684

15.JAWA TIMUR

83070

131106

16. BANTEN

-

-884

17.BALI

-

-

18.NUSA TENGGARA BARAT

-10201

7076

19.NUSA TENGGARA TIMUR

889

10170

20.KALIMANTAN BARAT

793

-192

21.KALIMANTAN TENGAH

-766

-4464

22.KALIMANTAN SELATAN

-4440

-6997

23.KALIMANTAN TIMUR

7

-7661

24.SULAWESI UTARA

-2233

-5341

25.SULAWESI TENGAH

-64834

-38170

26.SULAWESI SELATAN

-36257

-29310

27.SULAWESI TENGGARA

-24718

-23135

28. GORONTALO

-

-2054

29.MALUKU

649

2755

30.MALUKU UTARA

-

-36

31.IRIAN JAYA/PAPUA

-572

-229

32.LUAR NEGERI

2966

2333

TOTAL (orang)

-58712

1720

Lampiran 9

Distribusi Migrasi Risen Neto di Provinsi Bali Berdasarkan Hasil SP 1980 dan SP 1990 (orang)

Provinsi

Migrasi Risen Neto

SP 1980

SP 1990

1. DI ACEH

-7

45

2. SUMATERA UTARA

1611

139

3. SUMATERA BARAT

-199

196

4. RIAU

-81

116

5. JAMBI

2033

-160

6. SUMATERA SELATAN

219

435

7. BENGKULU

-143

-33

8. LAMPUNG

-5088

-1774

9. DKI JAKARTA

533

869

10.JAWA BARAT

1252

344

11.JAWA TENGAH

1470

3256

12.DI YOGYAKARTA

-870

-199

13.JAWA TIMUR

8460

19832

14.BALI

-

-

15.NUSA TENGGARA BARAT

-4008

-1812

16.NUSA TENGGARA TIMUR

212

-312

17.TIMOR TIMUR*)

139

-1192

18.KALIMANTAN BARAT

-174

21

19.KALIMANTAN TENGAH

-215

-16

20.KALIMANTAN SELATAN

-48

-1361

21.KALIMANTAN TIMUR

195

-244

22.SULAWESI UTARA

-1049

-1862

23.SULAWESI TENGAH

-15425

-2476

24.SULAWESI SELATAN

-3810

-3734

25.SULAWESI TENGGARA

-1391

-1394

26.MALUKU

-21

117

27.IRIAN JAYA

133

-346

28.LUAR NEGERI

383

1115

TIDAK TERCATAT

739

-

TOTAL (orang):

-15150

9570

Sumber: Sudibia (1993).

*) Masih bergabung dengan Indonesia.

Lampiran 10

Distribusi Migran Risen Neto di Provinsi Bali Berdasarkan Hasil SP 2000 dan SUPAS 2005 (orang)

Provinsi

Migrasi Risen Neto

SP 2000

SUPAS 2005

1. DI ACEH/NAD

-

-

2. SUMATERA UTARA

394

747

3. SUMATERA BARAT

-299

-67

4. RIAU

-53

746

5. JAMBI

47

81

6. SUMATERA SELATAN

1113

496

7. BENGKULU

-632

231

8. LAMPUNG

1181

-1805

9.BANGKA BELITUNG

-

-

10. KEPULAUAN RIAU

-

274

11. DKI JAKARTA

3963

5274

12.JAWA BARAT

-3538

2004

13.JAWA TENGAH

-1121

3014

14.DI YOGYAKARTA

207

-2157

15.JAWA TIMUR

13666

19881

16. BANTEN

-

-

17.BALI

-

-

18.NUSA TENGGARA BARAT

-802

8749

19.NUSA TENGGARA TIMUR

4905

2730

20.KALIMANTAN BARAT

1362

-1015

21.KALIMANTAN TENGAH

-308

-292

22.KALIMANTAN SELATAN

-227

-608

23.KALIMANTAN TIMUR

971

961

24.SULAWESI UTARA

306

-695

25.SULAWESI TENGAH

-2323

-1116

26.SULAWESI SELATAN

-454

109

27.SULAWESI TENGGARA

-815

-1049

28. GORONTALO

-

-59

29.MALUKU

564

433

30.MALUKU UTARA

-

-36

31.IRIAN JAYA/PAPUA

-14

43

32.LUAR NEGERI

3778

756

TOTAL (orang):

21871

37630

Sumber : Sumber: Badan Pusat Statistik Indonesia (2001,2006)

34