ANALISIS KEPUASAN MASYARAKAT TERHADAP WAJIB BELAJAR

SEMBILAN TAHUN DI PROVINSI BALI

Suwiti,NK1., Bendesa, IKG2., Sudibia,IK1., Suyana Utama,IM1., Budiarsa Suyasa,IW1.

1Badan Penjaminan Mutu, 2Pembantu Rektor I - Universitas Udayana E- mail : nksuwiti.yahoo.co.id

ABSTRACT

Compulsory education is the minimum educational programs must be followed by Indonesian citizen and the responsibility by local government. This program has been manifested in Government Regulation Republik of Indonesia Number 47 in 2008. The purpose of the study to analyze the public response to the implementation of nine-year compulsory education, especially in Bali Province. Research variables are : 1). Implementation of the educational curriculum 2) Teaching and learning process, 3). Learning facilities, 4). Realization of the program 5). Students learning outcomes. The research data were sourced from Denpasar, Badung, Karangasem and Buleleng regency, the number of samples are 400 persons. The results showed, that all of the variable in good category, Teaching and learning process variable have the better catagory, while getting the bad category are learning facilities variable. The analysis showed that the community satisfaction of the nine-year compulsory education did no association relationship on regency in Bali province, but positive associated with age of respondens. Results of this study can be input to governments, should be improvements in the implementation of nine-year compulsory education.

Key words : Nine-year Compulsory education, Bali Province, Educational curriculum.

PENDAHULUAN

Pendidikan mempunyai peranan penting dan strategis dalam pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas. Kemajuan pembangunan suatu negara ditentukan oleh sumber daya manusia (man power) yang berkualitas yang merupakan hasil dari pendidikan. Oleh karenanya, pendidikan yang bermutu merupakan kunci keberhasilan suatu negara. Dalam rangka membangun Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, pemerintah mewajibkan semua warga tanpa memandang agama, status sosial, etnis, dan gender mengikuti penyelenggaraan pendidikan dasar sembilan tahun dimulai sejak usia tujuh sampai dengan lima belas tahun. Pelaksanaannya telah dituangkan dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor 20, Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Penyelenggaraan program wajib belajar pendidikan dasar merupakan bagian dari kebijakan pendidikan di Indonesia dalam mencapai pendidikan untuk semua (education for all).

Wajib belajar (wajar) adalah program pendidikan minimal yang harus didikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah, hal ini telah dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 47, Tahun 2008 tentang Wajib Balajar. Pendananaanya diatur dalam PP No.48, tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan.

Wajib belajar berfungsi mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara Indonesia dan bertujuan untuk memberikan pendidikan minimal bagi warga negara Indonesia untuk dapat mengembangkan potensi dirinya agar dapat hidup mandiri di dalam masyarakat atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Pelaksanaannya dapat dilakukan melalui pendidikan formal, pendidikan nonformal, dan pendidikan informal. Penyelenggaraan wajib belajar pada jalur formal dilaksanakan minimal pada jenjang pendidikan dasar yang meliputi SD, MI, SMP, MTs, dan bentuk lain yang sederajat. Penyelenggaraan wajib belajar pada jalur pendidikan nonformal dilaksanakan melalui program paket A, program paket B, dan bentuk lain yang sederajat. Penyelenggaraan wajib belajar pada jalur pendidikan informal dilakukan melalui pendidikan keluarga dan pendidikan lingkungan.

Dalam kaitannya dengan pemerataan dan mutu, tantangan yang harus dihadapi tidaklah sedikit di antaranya, pertama terbatasnya dana, sarana dan prasarana yang tersedia untuk menunjang kegiatan wajib belajar 9 tahun. Tersedianya sarana dan prasarana pendidikan SLTP yang terbatas terutama di daerah-daerah pedesaan (Utsman, 1996), kurangnya guru untuk bidang studi tertentu, serta ketidak sesuaian antara latar belakang pendidikan guru dengan bidang studi yang diajarnya (Depdikbud, 1998) merupakan hambatan bagi upaya peningkatan pemerataan pendidikan. Kedua, kondisi sosial ekonomi dan aspirasi orang tua untuk menyekolahkan anak yang amat terbatas merupakan tantangan dan kendala yang juga tidak ringan (Latief, 1996; Ghoni, 1996; Markus 1996; Waspodo, 1998). Ketiga, perkembangan tingkat partisipasi anak usia 13-15 tahun pada pendidikan SLTP masih belum menggembirakan dibandingkan dengan partisipasi anak usia 7-12 pada pendidikan SD.

Biro Pusat Statistik (1998) mencatat bahwa partisipasi anak usia 13-15 tahun pada pendidikan SLTP baru mencapai 66,8% laki-laki dan 62,9% wanita. Sementara itu, di Jawa

Tengah hingga saat ini partisipasi anak usia 13-15 tahun pada pendidikan SLTP masih relatif rendah, yaitu baru mencapai 63,5%. Rendahnya partisipasi anak untuk mencapai jenjang pendidikan SLTP akan terus bertambah, mengingat bahwa angka putus sekolah pada tingkat SLTP masih cukup tinggi, yaitu masih mencapai 3,04% (Depdikbud, 1998).

Anggaran untuk Departemen Pendidikan Nasional telah dinaikkan, ini merupakan anggaran terbesar dibandingkan dengan anggaran departemen lainnya walaupun anggaran tersebut belum sesuai dengan Undang-Undang Sisdiknas No.20, tahun 203 (minimal 20% dari total RAPBN). Di balik keadaan tersebut muncul pertanyaan mampukah negara kita meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia?

Kurikulum wajar yang dirancang merupakan salah satu hal yang penting sebagai penentu kualitas dan kuantitas belajar. Kurikulum yang potensial bagi kegiatan belajar seharusnya lebih mengarah kepada kebutuhan masyarakat. Artinya, bukan semata menonjolkan aspek pengetahuan yang dianggap tidak bermakna, tetapi lebih berorientasi kepada kelangsungan hidup dan penghidupan mereka. Hal ini sangat perlu dilakukan karena (1) mereka akan tertarik belajar bila orientasi belajarnya mengarah pada pemecahan problem kehidupan, dan (2) mereka akan tertarik belajar bila materi yang diberikan sesuai dengan tuntutan tugas kehidupannya (Brokefield, 1986). Oleh karena itu, penyusunan kurikulum pun harus memperhatikan aspek-aspek seperti relevansi dengan kehidupan, efisiensi, efektifitas, dan kontinuitas.

Kini semua hendaknya menata ulang khususnya mengubah cara pandang, sikap, dan perilaku terhadap pendidikan Indonesia yang selalu berorientasi pada mencari pekerjaan (job seeker) dan bukan menciptakan lapangan pekerjaan (job creator). Semua pemangku kepentingan (masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah) wajib bekerja keras mengubah paradigma dunia pendidikan sehingga peserta didik benar-benar mengikuti proses pembelajaran dengan serius guna meningkatkan kualitas pengetahuan yang dimiliki. Sudah saatnya mulai menerapkan proses pembelajaran yang menerapkan kualitas soft skill (keterampilan) disamping terus menekankan asapek hard skill (ilmu pengetahuan).

Selain kurikulum, fasilitas belajar seperti gedung, alat peraga, buku teks, perpustakaan, laboratorium, dan alat-alat lain adalah instrumental input yang sangat penting artinya bagi kelangsungan proses belajar. Hampir semua ahli sepakat bahwa keberhasilan suatu proses pendidikan di antaranya sangat diwarnai oleh kelengkapan fasilitas belajar.

Dengan fasilitas belajar yang lengkap akan bisa menunjang terhadap kelangsungan proses belajar mengajar seperti yang diharapkan dalam kurikulum.

Oleh karena itu, evaluasi terhadap pelaksanaan wajib belajar sembilan tahun perlu dilaksanakan secara sistematis dengan mengumpulkan, menganalisis, dan menginterpretasikan informasi untuk mengetahui tingkat keberhasilan pelaksanaan program satuan pendidikan berdasarkan kriteria tertentu. Hal tersebut penting untuk keperluan pengambil keputusan dan untuk mengetahui efektifitas penyelenggaraan wajar. Selain itu, dapat berfungsi sebagai bentuk dari akuntabilitas publik sehingga masyarakat berhak mendapat informasi evaluasi penyelenggaraan program wajar tersebut.

METODE PENELITIAN

Pendekatan penelitian ini dilakukan secara kualitatif yang diarahkan pada latar dari fokus penelitian secara holistis, baik latar individu maupun kelembagaan sebagai suatu bagian yang utuh. Lokasi penelitian ini dilakukan pada empat kabupaten/kota di Provinsi Bali, yakni Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Buleleng, dan Karangasem. Kota Denpasar meliputi Kecamatan Denpasar Timur dan Barat. Kabupaten Badung dua lokasi, yakni Kecamatan Kuta Tengah dan Kuta Selatan, sedangkan Kecamatan Buleleng dan Banjar termasuk Kabupaten Buleleng. Di Kabupaten Karangasem ditentukan dua lokasi, yakni Kecamatan Abang dan Kubu. Total sampel yang digunakan 400 orang.

Subjek penelitian ini terdiri atas (1) Peserta didik/SMP (Sekolah Menengah Pertama; (2) Pendidik Sekolah Dasar/SD dan Sekolah Menengah Pertama/SMP; dan (3) Orang tua peserta didik, yang meliputi orang tua yang mempunyai anak di sekolah SD dan SMP. Kepuasan masyarakat terhadap wajib belajar sembilan tahun dalam penelitian ini dilihat dari lima aspek, yaitu pelaksanaan kurikulum pendidikan, potensi proses belajar mengajar, fasilitas pembelajaran, realisasi program, dan hasil belajar peserta didik. Dalam penelitian ini responden menilai pelaksanaan wajib belajar ini dengan memberikan nilai 4 apabila pelaksanaannya sangat baik, 3 apabila baik, 2 apabila cukup baik, dan 1 apabila tidak baik. Apabila dikaitkan dengan kepuasan masyarakat terhadap wajib belajar sembilan tahun, nilai 4 diberikan apabila sangat puas, 3 puas, 2 cukup puas, dan 1 tidak puas.

Teknik pengumpulan data penelitian ini menggunakan observasi dan wawancara mendalam. Observasi dilakukan guna memperoleh data yang lebih akurat sehingga

diperoleh data yang memiliki tingkat kredibilitas yang dapat dipertanggungjawabkan, demikian juga dalam pelaksanaan wawancara mendalam (indepth interview). Data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan analisis Varian (Anova). Sebelum dilakukan analisis hasil dilakukan pengujian realibilitas dan validitas terhadap instrumen pada 49 pertanyaan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Deskripsi Variabel Penelitian

Responden menurut kelompok umur terdiri atas responden peserta didik/siswa SMP sebanyak 80 orang (20%) dari total responden, sedangkan responden dewasa yang terdiri dari orang tua siswa SD dan SMP sebanyak 320 orang (80%) dari total responden. Jumlah responden yang diambil pada setiap kecamatan sama banyak, yaitu masing-masing 50 orang, demikian juga persentase anak-anak dan dewasa dengan perbandingan 20% dan 80 % (Tabel 1).

Tabel 1. Distribusi Responden Menurut Kelompok Umur

Kelompok Umur

Kecamatan

Satuan

Anak-anak

Dewasa

Total

Kuta Tengah

Orang

10

40

50

Persen

(20)

(80)

(100)

Kuta Selatan

Orang

10

40

50

Persen

(20)

(80)

(100)

Denpasar Timur

Orang

10

40

50

Persen

(20)

(80)

(100)

Denpasar Barat

Orang

10

40

50

Persen

(20)

(80)

(100)

Kec. Buleleng

Orang

10

40

50

Persen

(20)

(80)

(100)

Buleleng Banjar

Orang

10

40

50

Persen

(20)

(80)

(100)

Karangasem Abang

Orang

10

40

50

Persen

(20)

(80)

(100)

Karangasem Kubu

Orang

10

40

50

Persen

(20)

(80)

(100)

Orang

80

320

400

Total

Persen

(20)

(80)

(100)

Sumber: Hasil Penelitian

Responden menurut status sosial, responden dalam penelitian ini terdiri atas

orang tua siswa SD, orang tua siswa SMP, peserta didik (SD atau SMP), guru SD, dan guru

SMP. Masing-masing kelompok responden menurut status diambil sampel sebanyak 10 orang tiap-tiap kecamatan. Dengan demikian, total responden masing-masing kelompok adalah sebanyak 80 orang (Tabel 2).

Tabel 2. Distribusi Responden Menurut Status Sosial

Status Sosial Responden

Kecamatan

Satuan

Orang Tua SD

Orang Tua SMP

Peserta Didik

Guru SD

Guru SMP

Total

Kuta Tengah

Orang

10

10

10

10

10

50

Persen

(20)

(20)

(20)

(20)

(20)

(100)

Kuta Selatan

Orang

10

10

10

10

10

50

Persen

(20)

(20)

(20)

(20)

(20)

(100)

Denpasar Timur

Orang

10

10

10

10

10

50

Persen

(20)

(20)

(20)

(20)

(20)

(100)

Denpasar Barat

Orang

10

10

10

10

10

50

Persen

(20)

(20)

(20)

(20)

(20)

(100)

Kec. Buleleng

Orang

10

10

10

10

10

50

Persen

(20)

(20)

(20)

(20)

(20)

(100)

Buleleng Banjar

Orang

10

10

10

10

10

50

Karangasem

Persen

(20)

(20)

(20)

(20)

(20)

(100)

Abang

Orang

10

10

10

10

10

50

Karangasem

Persen

(20)

(20)

(20)

(20)

(20)

(100)

Kubu

Orang

10

10

10

10

10

50

Persen

(20)

(20)

(20)

(20)

(20)

(100)

Total

Orang

80

80

80

80

80

400

Persen

(20)

(20)

(20)

(20)

(20)

(100)

Sumber: Hasil Penelitian

Responden Menurut Jenis Kelamin, dalam penelitian ini jenis kelamin terdiri atas 44% responden perempuan dan 56% laki-laki. Persentase responden perempuan yang terkecil adalah di Kecamatan Banjar, yaitu sebanyak 28%, sedangkan yang terbesar adalah di Kecamatan Denpasar Barat, yaitu sebanyak 56% (Tabel 3).

Tabel 3 Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin per Wilayah Penelitian

Kecamatan

Satuan

Jenis kelamin

Perempuan

Laki

Total

Kuta Tengah

Orang

23

27

50

Persen

(46)

(54)

(100)

Kuta Selatan

Orang

20

30

50

Persen

(40)

(60)

(100)

Denpasar Timur

Orang

25

25

50

Persen

(50)

(50)

(100)

Denpasar Barat

Orang

28

22

50

Persen

(56)

(44)

(100)

Kec. Buleleng

Orang

25

25

50

Persen

(50)

(50)

(100)

Buleleng Banjar

Orang

14

36

50

Persen

(28)

(72)

(100)

Karangasem Abang

Orang

24

26

50

Persen

(48)

(52)

(100)

Karangasem Kubu

Orang

17

33

50

Persen

(34)

(66)

(100)

Total

Orang

176

224

400

Persen

(44)

(56)

(100)

Sumber: Hasil Penelitian

Kepuasan Masyarakat Terhadap Wajib Belajar Sembilan Tahun

Kajian mengenai aspek kurikulum pendidikan, masyarakat memberikan penilian terbaik (3,21) dalam hal bahan ajar dapat digunakan dalam kehidupan, kemudian bahan ajar dapat mengembangkan potensi dirinya agar dapat hidup mandiri di dalam masyarakat (3,18). Responden memberikan penilaian terendah terhadap pernyataan bahwa bahan ajar yang digunakan sesuai dengan kurikulum lokal. Secara umum masyarakat menyatakan kepuasannya terhadap aspek kurikulum pendidikan, walaupun dalam rentangan penilaian 2,50 sampai dengan 3,49 (Tabel 4).

No

Pelaksanaan Kurikulum Pendidikan

Skor Penilaian

Total

Nilai rata2

1

2

3

4

1.

Bahan ajar yang digunakan sesuai dengan kurikulum nasional

9

22

306

63

400

3,06

2.

Bahan ajar yang digunakan sesuai dengan kurikulum lokal.

8

78

272

42

400

2,87

3.

Bahan ajar yang digunakan mengarah kepada kebutuhan masyarakat

2

115

228

55

400

2,84

4.

Kurikulum yang digunakan menonjolkan aspek ilmu pengetahuan

3

25

273

99

400

3,17

5.

Kurikulum yang digunakan menonjolkan ketrampilan

11

73

262

54

400

2,90

6.

Bahan ajar yang digunakan mengarahkan pada pemecahan masalah

7

79

246

68

400

2,94

7.

Bahan ajar dapat mengembangkan potensi dirinya agar dapat hidup mandiri di dalam masyarakat

5

47

220

128

400

3,18

8.

Bahan ajar yang digunakan dapat digunaan dalam kehidupan .

0

26

264

110

400

3,21

Nilai rata-rata

3,02

Sumber: Hasil Penelitian

Temuan ini sesuai dengan pandangan Brokefield (1986) bahwa kurikulum harus disusun dengan baik karena (1) mereka akan tertarik belajar bila orientasi belajarnya mengarah pada pemecahan problem kehidupan, dan (2) mereka akan tertarik belajar bila materi yang diberikan sesuai dengan tuntutan tugas kehidupannya. Oleh karena itu, penyusunan kurikulum harus memperhatikan aspek relevansi dengan kehidupan, efisiensi, efektifitas, dan kontinuitas. Masyarakat menilai aspek proses belajar mengajar yang masih rendah karena kurangnya koordinasi dalam kegiatan pembelajaran antar guru setiap mulai mengajar. Pada penelitian ini terungkap bahwa guru bersikap santun dan berbusana rapi saat mengajar di kelas. Penilaian responden terhadap proses belajar mengajar dalam rangka wajib belajar sembilan tahun dalam kategori baik (Tabel 5).

No

Proses Belajar Mengajar

Skor Penilaian

Total

Nilai rata2

1

2

3

4

1.

Setiap mulai mengajar guru membuat rencana pembelajaran dengan baik

5

39

236

120

400

3,18

2.

Setiap mulai mengajar guru melakukan koordinasi dalam kegiatan pembelajaran dengan guru lainya.

10

73

241

76

400

2,96

3.

Setiap mulai mengajar guru menyiapkan fasilitas pembelajaran

10

52

233

105

400

3,08

4

Guru memahami kebutuhan belajar peserta didik

5

40

237

118

400

3,17

5

Guru mengelola proses pembelajaran dengan baik

0

37

265

98

400

3,15

6

Guru melakukan penilaian terhadap hasil belajar dengan obyektif

3

32

232

133

400

3,24

7.

Guru menciptakan suasana belajar yang baik untuk mendukung proses pembelajaran

6

23

222

149

400

3,29

8.

Guru memberikan wawasan yang lebih luas kepada anak didik tentang bagaimana cara belajar yang baik

7

29

221

143

400

3,25

9.

Guru memberikan inspirasi dan memotivasi peserta didik.

0

19

281

100

400

3,20

10.

Guru mengajar sesuai dengan waktu yang dijadwalkan.

2

28

243

127

400

3,24

11.

Guru bersikap santun dan berbusana rapi saat mengajar di kelas.

1

12

214

173

400

3,40

Nilai rata-rata

3,20

Sumber: Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Sudjana (1993) dan Knowles (1986) bahwa pengelola kegiatan belajar harus mampu menciptakan iklim belajar yang kondusif, mendiagnosis kebutuhan belajar, menyusun tujuan belajar, merancang pengalaman belajar, menyusun langkah-langkah pembelajaran, dan menilai hasil dan proses belajar (Tabel 6).

Tabel 6. Distribusi Responden Terhadap Penilaian Wajib Belajar Sembilan Tahun dari Aspek Fasilitas Pembelajaran

No

Fasilitas Pembelajaran

Skor Penilaian

Total

Nilai rata2

1

2

3

4

1.

Gedung sekolah disediakan dengan sangat baik

1

49

232

118

400

3,17

2.

Ruang kelas disiapkan dengan baik dan sangat memadai

5

64

230

101

400

3,07

3.

Jumlah murid dalam satu kelas sesuai dengan kapasitas ruangan

11

85

203

101

400

2,99

4.

Alat peraga dirancang dengan baik sehingga mendukung kompetensi.

8

81

229

82

400

2,96

5.

Peralatan laboratorium disiapkan dengan baik untuk mendukung kompetensi pelajaran.

17

98

192

93

400

2,90

6.

Kapasitas / ruang laboratorium disiapkan dengan baik dan sangat memadai.

16

120

191

73

400

2,80

7.

Peralatan dan bahan praktikum disediakan dengan baik untuk mendukung praktikum .

8

87

227

78

400

2,94

8.

Perpustakaan disediakan dengan baik.

12

39

234

115

400

3,13

9.

Buku di perpustakaan sangat mendukung proses pembelajaran.

9

54

225

112

400

3,10

10.

Fasilitas yang dimiliki sekolah mendukung kegiatan ekstra kurikuler

0

22

272

106

400

3,21

Nilai rata-rata

3,01

Sumbet: Hasil Penelitian

Dalam aspek fasilitas pembelajaran, penilaian tertinggi yang diberikan responden bahwa fasilitas yang dimiliki sekolah mendukung kegiatan ekstra kurikuler. Sedangkan kapastitas laboratorium untuk praktikum murid mendapatkan penilaian terendah. Hal ini berarti kapasitas ruang laboratorium perlu ditingkatkan dan memerlukan penangangan yang serius dalam rangka meningkatkan keterampilan siswa dan juga memudahkannya dalam memahami teori.

Hasil penelitian ini konsisten dengan pendapat Utsman (1996) yang menyatakan bahwa tersedianya sarana dan prasarana pendidikan yang terbatas terutama di daerah-daerah pedesaan menyebabkan hambatan bagi upaya peningkatan pemerataan pendidikan. Tersedianya sarana dan prasarana pendidikan yang baik dan memadai seperti gedung, alat peraga, buku teks, perpustakaan, laboratorium, dan alat-alat lain adalah instrumental input yang sangat penting artinya bagi kelangsungan proses belajar. Hampir semua ahli sepakat

bahwa keberhasilan suatu proses pendidikan di antaranya sangat diwarnai oleh kelengkapan fasilitas belajar. Dengan fasilitas belajar yang lengkap akan bisa menunjang terhadap kelangsungan proses belajar mengajar seperti yang diharapkan dalam kurikulum.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa program wajib belajar sembilan tahun sudah terealisasi dan berjalan dengan baik, tetapi masyarakat belum memahami standar pendidikan yang ditargetkan oleh pemerintah walaupun mereka setuju pelaksanaan wajib belajar sembilan tahun harus ada kerja sama masyarakat dengan pemerintah.

Tabel 7. Distribusi Responden Terhadap Penilaian Wajib Belajar Sembilan Tahun dari Aspek Realisasi Tujuan dan Manfaat Program

No

Persepsi terhadap Realisasi Tujuan dan Manfaat Program

Skor Penilaian

Total

Nilai rata2

1

2

3

4

1.

Responden memahami wajib belajar sembilan tahun yang diprogramkan pemerintah

2

56

262

80

400

3,05

2.

Responden memahami dengan jelas standar pendidikan pemerintah

13

81

255

51

400

2,86

3.

Responden memahami harus ada kerja sama masyarakat dengan pemerintah

1

17

266

116

400

3,24

4.

Responden mendapatkan informasi wajib belajar dari koran atau TV.

2

30

265

103

400

3,17

5.

Wajib belajar berfungsi mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara Indonesia.

6

70

237

87

400

3,01

6.

Saya mendapatkan banyak kemudahan dari wajib belajar 9 tahun

8

59

249

84

400

3,02

7.

Wajib belajar bertujuan memberikan pendidikan minimal bagi warga negara

3

20

277

100

400

3,19

8.

Wajar telah memberikan dampak didalam cara saya mendidik anak

5

44

297

54

400

3,00

9.

Wajar memberikan kesempatan anak saya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

0

35

238

127

400

3,23

Nilai rata-rata

3,09

Sumber: Hasil Penelitian

Dari aspek realisasi pelaksanaan program, responden memberikan penilaian baik. Nilai tertinggi diberikan pada pemerintah telah menyiapkan pendanaan yang cukup bagi peserta didik. Di lain pihak, masyarakat menilai pemerintah tidak mengorganisasikan

pelaksanaan wajar dengan baik. Hal ini berarti bahwa pemerintah masih perlu meningkatkan pengorganisasian wajib belajar dengan baik.

Masyarakat menilai dengan adanya program wajib belajar sembilan tahun hasil belajar peserta didik berpengaruh baik. Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan wajib belajar sembilan tahun di Provinsi Bali memberikan dampak positif terhadap peserta didik yang dilihat dari meningkatnya kemampuan peserta didik, memberikan kontribusi terhadap cara belajar siswa, dan meningkatnya kualitas belajar/prestasi peserta didik. Hasil penelitian ini sesuai harapan pemerintah dan masyarakat karena pendidikan mempunyai peranan penting dan strategis dalam pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas (Tabel 8).

Tabel 8. Distribusi Responden Terhadap Penilaian Wajib Belajar Sembilan Tahun dari Aspek Hasil Belajar Peserta Didik

No

Hasil Belajar Peserta Didik

Skor Penilaian

Total

Nilai rata2

1

2

3

4

1.

Wajar memungkinkan peserta didik mempunyai kemampuan lebih

0

46

286

68

400

3,06

2.

Wajar memberikan kontribusi terhadap cara belajar peserta didik

2

28

314

56

400

3,06

3.

Kualitas belajar/ prestasi peserta didik semakin meningkat

0

64

281

55

400

2,98

Nilai rata-rata

3,03

Sumber : Hasil Penelitian

Faktor yang berpengaruh terhadap kepuasan masyarakat

Kepuasan masyarakat terhadap suatu jasa pendidikan tidak bisa lepas dari aspek geografis dan demografis. Aspek geografis menyangkut di wilayah mana jasa pendidikan itu berlokasi. Sekolah yang berlokasi pada daerah yang sumber penerimaan daerahnya dan pendapatan perkapitanya kecil penyediaan sarana dan prasarana pembelajaran cederung kurang. Namun, dengan adanya Dana Alokasi Khusus bidang pendidikan dan juga dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) ketimpangan tersedianya sarana dan prasarana pembelajaran antar daerah menjadi berkurang.

Kepuasan masyarakat terhadap wajib belajar sembilan tahun diteliti berdasarkan persepsi responden terhadap program wajib belajar tersebut. Dengan demikian, karakteristik demografis kecil dapat mempengaruhi kepuasan masyarakat terhadap wajib belajar sembilan tahun. Variabel demografis yang dianalisis dalam penelitian ini adalah

kelompok umur responden, status sosial, dan jenis kelamin. Namun, semua variabel diatas tidak memberikan perbedaan penilaian yang nyata terhadap kepuasan masyarakat tentang program wajar di Bali.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Lima aspek yang digunakan sebagai dasar evaluasi untuk mengetahui kepuasan masyarakat terhadap pelaksanaan wajib belajar sembilan tahun di Provinsi Bali, yakni kurikulum pendidikan, proses belajar mengajar, fasilitas pembelajaran, realisasi program, dan hasil belajar siswa, semua dalam katagori kepuasan baik. Aspek yang mendapatkan penilaian terbaik adalah proses belajar mengajar, sedangkan aspek yang mendapatkan penilaian terendah adalah aspek fasilitas pembelajaran.

Kepuasan masyarakat terhadap wajar sembilan tahun di tiap-tiap kabupaten tidak menunjukkkan perbedaan yang nyata, tetapi ditemukan sedikit perbedaan mengenai kepuasan masyarakat antara kelompok umur anak-anak dan dewasa, walaupun secara statistik tidak berbeda nyata.

Kepuasan masyarakat terhadap wajar berdasarkan status sosial, guru SD memberikan penilaian terendah yang diikuti oleh peserta didik, sedangkan guru SMP memberikan penilaian tertinggi terhadap kelima aspek penilaian. Kepuasan responden laki-laki dan perempuan tidak berbeda nyata terhadap wajar yang semuanya memberikan nilai kepuasan dalam katagori baik.

Saran

Pelaksanaan wajib belajar sembilan tahun di Provinsi Bali berdasarkan analisis kepuasan masyarakat sudah dalam kategori penilaian baik. Walaupun demikian, perlu dilakukan perbaikan diberbagai bidang terutama dalam pendanaan. Diharapkan dengan tambahan dana tersebut masalah mengenai fasilitas sekolah yang mendapat penilaian kurang baik dari masyarakat segera dapat diperbaiki.

Rencana Pemprov Bali menggulirkan program wajib belajar 12 tahun untuk tahun anggaran 2010, disambut positif oleh masyarakat mengingat ada sekitar 5.000 orang lulusan SMP di seluruh Bali yang tidak mampu melanjutkan pendidikan ke SMA/SMK

(Disdikpora). Kebanyakan dari mereka tidak mampu melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi karena terganjal ketiadaan biaya pendidikan.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dirjen Pendidikan Tinggi cq. Departemen Pendidikan Nasional atas dana yang diberikan melalui Riset Unggulan Strategis Bidang Pendidikan dan kepada Bapak Prof. Dr. I Komang Gde Bendesa,M.A.D.E, selaku Pembantu Rektor Bidang Akademis, yang telah memberikan kesempatan dan dukungannya melaksanakan penelitian ini

DAFTAR PUSTAKA

Brokefiled, Stephen D. 1986. Understanding and Facilitating Adult Learning. Sans

Depdikbud (1998). Pembangunan Pendidikan dan Kebudayaan Menjelang Abad 21.

Goni, J. Hein dan Sampoel. P. (1996). Studi Evaluasi Keberhasilan Sistem Forum Pembangunan Pendidikan di Propinsi Sulawesi Utara. Manado: Universitas Sam Ratulangi.

Ghozali, Imam. 2001. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Biro Pusat Satatistik. (1997). Analsisis Pendidikan: Putus Sekolah di SD dan SLTP. Jakarta: BPS

Pendanaan Pendidikan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2008.

Knowles, Malcolm (1986) The Modern Practice of Adult Education. Andragogy versus Paedagogy. New York Association Press.

Latief, M. Adnan. (1996). Tantangan Perkembangan Pendidikan di Kabupaten Pasuruan dan Malang Propinsi Jawa Timur. Malang: Pusat Penelitian IKIP Malang.

Sudjana, H.D. 1993. Strategi Pembelajaran dalam Pendidikan Luar Sekolah. Bandung: Nusantara Press.

Utsman, 1996. Aspek-aspek Sosial Budaya yang Berpengaruh terhadap Penyelenggaraan Pendidikan tidak diterbitkan

Waspodo. (1996). Studi Tentang Pemahaman Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan dan Pengelolaan Sumber-sumber Pendidikan di Sumatera Selatan. Palembang: Universitas Sriwijaya.

Wajib Belajar. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2008

15