KAJIAN TENTANG PREVALENSI KONTRASEPSI KELUARGA BERENCANA CATATAN KECIL DALAM UPAYA PENCAPAIAN MDGs 2015 DI MALUKU

Felecia p. Adam

Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian UNPATTI

Anggota Pusat Studi Kependudukan dan Kesejahteraan Masyarakat UNPATTI [email protected]

Abstract

Some population indicatores that were reported by Indonesia Demographic and Health Survey in the year 2007 gave an apprehensive illustration about the population development in Moluccas, such as total fertility rate 3.7, contraceptive prevalence rate 34 percent, and unmetneed reached 22 percent. These three indicators were interaction and gave contribution to the others.

The objective of this study was to obtain the illustration of the low of contraceptive prevalence rate of current user, because this indicator was very significant in achieving MDGs in Moluccas, especially for the fifth goal.

This study was using the main data from Indonesia Demographic and Health Survey in the year 2007. The findng of this study that the low of the contraceptive prevalence rate of current user in Moluccas can be caused by some factors as well as : the low educated of women, the high birth rate of adolescent, the coverage of uncontrolled pregnancy health care, the tendency of current users to choose a low effective contraception, the high rate of unmetneed, the high rate of poverty, a hard to find contraception, a hard accesibility related to geographic factors which too much islands.

Keywords : contraceptive prevalence rate, current user, MDGs

PENDAHULUAN

Paradigma baru program Keluarga Berencana Nasional telah mengalami perubahan visi dari mewujudkan Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS) menjadi visi untuk mewujudkan “Keluarga Berkualitas tahun 2015”. Keluarga yang berkualitas adalah keluarga yang sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah anak yang ideal, berwawasan ke depan, bertanggung jawab, harmonis, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam paradigma baru program Keluarga Berencana (KB) ini, misinya sangat menekankan pentingnya upaya

menghormati hak-hak reproduksi, sebagai upaya integral dalam meningkatkan kualitas keluarga. Keluarga adalah salah satu diantara kelima matra kependudukan yang sangat mempengaruhi perwujudan penduduk yang berkualitas. Visi tersebut dijabarkan ke dalam enam misi, yaitu: 1) memberdayakan masyarakat untuk membangun keluarga kecil berkualitas, 2) menggalang kemitraan dalam peningkatan kesejahteraan, kemandirian, dan ketahanan keluarga, 3) meningkatkan kualitas pelayanan KB dan kesehatan reproduksi, 4) meningkatkan promosi, perlindungan dan upaya mewujudkan hak-hak reproduksi, 5) meningkatkan upaya pemberdayaan wanita untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender melalui program KB, dan 6) mempersiapkan sumber daya manusia berkualitas sejak pembuahan dalam kandungan sampai dengan lanjut usia. KB dirumuskan sebagai upaya peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui batas usia perkawinan, pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, peningkatan kesejahteraan keluarga untuk mewujudkan keluarga kecil bahagia dan sejahtera.

METODE PENELITIAN

Sumber data utama yang digunakan dalam penulisan ini bersumber dari hasil SDKI 2007, khusus untuk Provinsi Maluku. Sesuai dengan judul tulisan ini adalah “Kajian tentang Prevalensi Kontrasepsi Keluarga Berencana Catatan Kecil dalam Upaya Pencapaian MDGs di Maluku”, maka data yang dikumpulkan meluputi pemakaian kontrasepsi menurut latar belakang, kelahiran di kalangan remaja, usia persalinan pertama, cakupan perawatan kehamilan, dan kebutuhan KB yang tidak terpenuhi (unmetneed). Selanjutnya, teknik analisis data yang digunakan dalam penulisan ini adalah analisis deskriptif melalui tabel distribusi frekuensi tunggal, tabel silang, dan gambar-gambar.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Program KB di Indonesia telah dilaksanakan sejak tahun 1965 yang disponsori oleh Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI). Keluarga berencana (KB) merupakan salah satu pelayanan kesehatan preventif yang paling dasar dan utama bagi pria dan wanita. Untuk optimalisasi manfaat kesehatan KB, pelayanan tersebut harus disediakan dengan cara menggabungkan dan memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan reproduksi utama dan yang lain (Anonim, 1995).

Pada dasarnya prinsip pemilihan KB ini sangat penting karena tidak hanya mencakup pemakaian KB, tetapi juga metode pengendalian kelahiran yang paling sesuai dengan kondisi khusus dari pasangan. Pemilihan tersebut tidak dapat dilakukan sampai masing-masing mempunyai pengetahuan dasar mengenai setiap metode yang digunakan serta efek samping yang timbul akibat dari pemakaian KB suntik, seperti yang banyak dialami akseptor KB.

  • 1.    Pemakaian Kontrasepsi menurut Karakteristik Latar Belakang

Keberhasilan Program Keluarga Berencana di suatu wilayah dapat diukur dengan melihat tingkat pemakaian kontrasepsi (prevalensi kontrasepsi). Dengan demikian dapat dipahami betapa pentingnya informasi tentang pemakaian kontrasepsi, yang dapat digunakan juga untuk memperkirakan penurunan angka fertilitas akibat dari pemakaian kontrasepsi tersebut. Prevalensi kontrasepsi dapat didefinisikan sebagai proporsi wanita kawin umur 15--49 tahun yang pada waktu SDKI memakai salah satu alat/cara KB (BKKBN, 2009).

Di Provinsi Maluku pemakaian suatu alat/cara KB di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan di wilayah pedesaan (41 berbanding 32 persen). Perbedaan ini terlihat semakin nyata dalam hal pemakaian alat/cara KB modern. Persentase wanita perkotaan yang menggunakan alat/cara KB modern tercatat 36 persen, sementara persentase pemakaian di pedesaan adalah 27 persen. Selain itu, juga terdapat perbedaan dalam variasi alat/cara KB yang digunakan. Wanita perkotaan lebih mengandalkan pil, IUD, kondom, dan sterilisasi wanita. Sedangkan wanita pedesaan lebih mengandalkan alat/cara KB suntikan. Persentase pemakaian susuk KB terlihat sama antara wilayah perkotaan dan wilayah pedesaan (masing-masing 2 persen).

Di antara jenjang pendidikan wanita yang dapat dianalisis (tamat SD atau lebih tinggi), pemakaian alat/cara KB modern meningkat seiring dengan meningkatnya tingkat pendidikan responden. Sebanyak 22 persen wanita yang berpendidikan tamat SD menggunakan alat/cara KB modern, sementara pemakaian di kalangan wanita yang berpendidikan tamat SLTP atau lebih tinggi mencapai 39 persen.

Pemakaian alat/cara KB modern, seperti sterilisasi wanita, pil, IUD, susuk KB, dan kondom cenderung semakin tinggi seiring dengan meningkatnya jenjang pendidikan wanita. Kecuali untuk alat/cara KB suntikan yang terbanyak digunakan oleh 27 persen wanita yang berpendidikan SLTP tetapi tidak sampai tamat.

Pemakaian alat/cara KB modern juga terlihat meningkat pesat hingga wanita memiliki 3-4 anak masih hidup, yaitu dari 27 persen di kalangan wanita yang memiliki 1-2 anak, menjadi 43 persen di kalangan wanita yang telah memiliki 3--4 anak, namun selanjutnya mengalami penurunan yang sangat nyata hingga menjadi 23 persen di kalangan wanita yang telah memiliki anak banyak (lima anak atau lebih). Pemakaian alat/cara KB modern terlihat lebih tinggi di kalangan wanita yang berada pada indeks kekayaan kuantil menengah (43 persen), dibandingkan dengan rekan-rekannya yang berada pada indeks kekayaan kuantil terbawah (21 persen).

Ada kecenderungan bahwa semakin tinggi umur wanita dalam usia reproduksi, kesertaan KB makin meningkat. Hal ini jelas terlihat dari wanita yang berumur 15--19 tahun hanya 20 persen yang mengikuti KB dibandingkan dengan wanita yang berumur 30--39 tahun sebanyak 35 persen ikut KB. Kondisi ini berkorelasi positif dengan tingkat pendidikan, karena semakin tinggi jenjang pendidikan yang dimiliki wanita, semakin tinggi keikutsertaannya dalam KB. Survei menunjukkan bahwa 21 persen wanita yang tidak sekolah/tidak menamatkan SD dibandingkan dengan 43 persen wanita yang mengenyam dan menamatkan pendidikan SMP.

Indeks kesejahteraan memperlihatkan bahwa makin tinggi tingkat kesejahteraannya maka keikutsertaan wanita ber-KB akan meningkatkan. Indeks kesejahteraan dengan kategori termiskin dan miskin adalah 27 persen dibandingkan dengan kategori kaya-terkaya sebanyak 47 persen.

Sebagian besar wanita pernah kawin dan wanita berstatus kawin umur 15--49 tahun di Maluku tidak menggunakan alat KB (lebih dari 60 persen). Persentase yang tertinggi adalah pada kelompok umur 15--19 tahun (79,5 persen), kemungkinan karena pada kelompok ini terdapat pasangan yang baru menikah dan ingin mempunyai anak atau karena pengetahuan mereka masih terbatas dan belum memahami tentang resiko melahirkan di usia muda. Pada kategori umur 20-29 tahun dan 30--49 tahun masih terlihat ada yang tidak menggunakan alat kontrasepsi namun jumlahnya menurun yaitu 67,3 persen dan 64,8 persen. Penurunan ini bisa disebabkan karena beberapa hal diantaranya masih terbatasnya pengetahuan para ibu tentang KB atau juga karena usia yang semakin tinggi, menyebabkan mereka tidak menggunakan alat kontrasepsi.

Sebagian besar pasangan usia subur di provinsi ini cenderung menggunakan suntikan sebagai alat kontrasepsi. Rata-rata 20 persen wanita berstatus kawin menggunakan kontrasepsi tersebut. Hasil SDKI 2007 juga menunjukkan bahwa suntikan relatif merata digunakan pada

semua kategori umur masing-masing adalah 15--19 tahun 20,5 persen, 20--29 tahun 22,7 persen dan pada kategori umur 30--49 tahun menurun menjadi 16,2 persen. Hal ini dimungkinkan karena suntikan adalah cara yang mudah dilakukan dengan biaya yang murah.

Wanita kawin yang menggunakan pil berada pada persentase yang sama yaitu 4,3 persen masing-masing pada kategori umur 15--29 dan 20--29 tahun. Mereka yang menggunakan IUD sangat sedikit yaitu hanya 0,5 persen pada kategori umur 19--29 tahun, dan meningkat menjadi 1,7 persen pada kategori umur 30--49 tahun. Rendahnya persentase penggunaan IUD dapat disebabkan karena harga yang tidak terjangkau, kurangnya pengetahuan karena takut efek samping, dan pandangan tradisonal yang dianut oleh lingkungan sekitar. Pasangan usia subur yang menggunakan kondom dan MOW hanya dijumpai pada kategori umur 30--49 tahun masing-masing 0,9 persen dan 4,3 persen. Pantang berkala, senggama terputus, implan, jamu dan pijat dijumpai pada 2 kategori umur yaitu 20--29 tahun dan 30--49 tahun masing-masing kurang dari tiga persen.

Angka kesertaan wanita usia subur baik pada wilayah pedesaan maupun perkotaan masih tergolong rendah karena tidak mencapai setengah dari jumlah keseluruhan responden. Para ibu di pedesaan yang tidak menggunakan alat kontrasepsi persentasenya lebih besar jika dibandingkan dengan para ibu diperkotaan (68,2 persen dibanding 59,5 persen). Meskipun perbedaannya tidak terlalu menyolok, namun angka ini termasuk relatif tinggi karena lebih dari 50 persen para ibu tidak menggunakan alat kontrasepsi, padahal KB sudah menjadi program nasional lebih dari 30 tahun.

Persentase responden yang menggunakan alat kontrasepsi suntikan adalah yang tertinggi baik di daerah pedesaan maupun perkotaan, walaupun pada daerah pedesaan penggunaan alat kontrasepsi ini persentasenya lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah perkotaan. pada wilayah perkotaan tidak terdapat responden yang menggunakan alat/cara KB tradisional. Di daerah perkotaan, responden yang menggunakan alat kontrasepsi modern selain suntikan, yang menempati urutan tertinggi lainnya adalah pil dan sterilisasi wanita yaitu 9,2 dan 7,3 persen. Pada umumnya di daerah pedesaan tempat dan fasilitas pelayanan KB lebih sedikit dibandingkan dengan di perkotaan. Dengan demikian, responden lebih memilih suntikan daripada alat kontrasepsi modern lain yang terbatas persediaannya.

Rata-rata wanita kawin di pedesaan cenderung menggunakan suntikan untuk mengatur jarak kelahiran, karena bisa dilakukan oleh bidan desa dengan harga yang murah. Selain itu di

daerah pedesaan wanita usia subur juga lebih memilih alat kontrasepsi tradisional yang tersedia. Data menunjukkan bahwa jamu dan pijat merupakan pilihan cara kontrasepsi yang digunakan oleh para ibu dipedesaan dengan persentase yang sangat rendah yaitu 2,2 persen dan 0,5 persen. Secara umum data ini menunjukkan bahwa pentingnya penyediaan fasilitas pelayanan KB (fisik dan sumber daya manusia) baik diwilayah pedesaan, maupun perkotaan.

Pendidikan merupakan faktor penting yang sangat menentukan dalam keberhasilan program termasuk program KB di suatu wilayah. Penerapan suatu inovasi baru ataupun programprogram pembangunan pada suatu wilayah, pendidikan merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap penerimaan atau adopsi dari seseorang atau sekelompok orang terhadap program tersebut.

Semakin tinggi jenjang pendidikan yang dimiliki wanita, semakin tinggi pula keikutsertaannya dalam KB. Survei menunjukkan bahwa terdapat 21 persen wanita yang tidak sekolah/tidak menamatkan SD mengikuti program KB, dibandingkan dengan 43 persen wanita yang mengenyam pendidikan SMP. Data juga menunjukkan bahwa di antara jenjang pendidikan para responden dengan berbagai tingkat pendidikan, pemakaian alat/cara KB modern cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya tingkat pendidikan responden.

Sebagian besar wanita kawin di Maluku, dengan tingkat pendidikan yang berbeda, tidak menggunakan alat kontrasepsi. Bagian terbesar dari mereka ini, yaitu 78,8 persen berada pada kategori tidak sekolah hingga tidak tamat SD, tamat SD hingga tidak tamat SLTP ke atas menurun menjadi 67,5 persen, dan terus menurun pada kategori pendidikan SLTP ke atas yaitu 57,1 persen. Persentase ini cenderung menurun seiring dengan semakin tingginya tingkat pendidikan para ibu.

Meningkatnya pendidikan wanita kawin mempunyai korelasi positif dengan meningkatnya persentase penggunaan alat kontrasepsi, kecuali metoda suntikan dan senggama terputus yang agak menurun pada tingkat pendidikan tamat SLTP atau lebih tinggi. Kecenderungan ini mungkin disebabkan karena beberapa wanita usia subur beralih dari metoda-metoda tersebut kepada metoda kontrasepsi modern lainnya

Berdasarkan tingkat pendidikan dan jenis kontrasepsi yang digunakan, diperoleh gambaran bahwa penggunaan pil, IUD, MOW, pantang berkala dan implan juga mengalami kenaikan, meskipun dirasakan masih cukup lambat. Penggunaan kondom hanya pada kategori SLTP ke atas yaitu 1,9 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pada tingkat pendidikan yang lebih

tinggi dan pemahaman yang lebih luas para wanita akan semakin berani untuk memilih alat KB apa yang harus digunakan oleh dirinya maupun suaminya.

Hal lain yang positif adalah, meskipun persentase pemakaian kondom sangat kecil, namun telah menunjukkan pola berpikir yang kooperatif, bahwa tanggung jawab ber-KB tidak hanya harus dilakukan oleh kaum perempuan namun juga menjadi tanggung jawab para laki-laki. Cara tradisional seperti dengan jamu dan pijat makin tergeser karena hanya pada kategori pendidikan rendah, para wanita menggunakan cara ini. Dengan semakin meningkatnya pendidikan wanita usia subur pada provinsi ini, maka tingkat pemakaian alat kontrasepsi tradisional cenderung semakin menurun. Hal ini nampak pada persentase penggunaan jamu dan metoda pijat semakin menurun seiring dengan meningkatnya pendidikan responden

Hasil SDKI 2007 memberi gambaran yang menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat kesejahteraan responden, semakin besar kecenderungan untuk mengikuti program KB, terutama untuk memilih metode kontrasepsi modern. Terdapat 27 persen responden pada kelompok termiskin mengikuti program KB dibanding dengan 64 persen pada kelompok terkaya.

Survei juga menunjukkan bahwa pemakaian alat/cara KB modern terlihat lebih tinggi di kalangan wanita yang berada pada indeks kekayaan kuantil menengah bawah (43 persen), dibandingkan dengan rekan-rekannya yang berada pada indeks kekayaan kuantil terbawah (21 persen). Khusus untuk metoda modern, pada kelompok miskin dan termiskin tidak terdapat responden yang memakai alat kontrasepsi kondom, sterilisasi wanita, maupun dengan cara pantang berkala. Nampaknya semakin tinggi tingkat kesejahteraan responden, semakin kecil juga persentase responden yang memakai cara tradisional. Sebaliknya pada kelompok dengan tingkat kesejahteraan yang tinggi yaitu kelompok kaya dan terkaya cenderung memilih cara kontrasepsi modern. Hal ini mungkin disebabkan oleh ketidak-mampuan responden untuk membeli alat kontrasepsi modern. Data menunjukkan dengan jelas bahwa pada metoda senggama terputus, persentase pada kelompok miskin dan termiskin (2,8) lebih tinggi dari pada kelompok lainnya (2,6 dan 1,6 persen).

  • 2.    Kelahiran di Kalangan Remaja

  • a. Usia Kawin Pertama

Usia kawin pertama merupakan salah satu indikator sosial demografi yang penting karena usia kawin pertama mempunyai hubungan dengan seseorang wanita “kumpul” untuk pertama kalinya, dan hal ini berkaitan dengan kemungkinan resiko hamil. Umumnya wanita yang kawin

pada usia muda akan mempunyai waktu yang cukup panjang untuk beresiko hamil. Oleh karena itu pada wilayah yang sebagian besar jumlah wanitanya kawin pada usia muda angka kelahirannya cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah yang sebagian besar wanitanya kawin pada usia yang lebih tua (Mosley dan Chen, 1984)

Gambaran persentase penduduk wanita menurut status perkawinan, dan hasil survei menunjukkan bahwa secara total terdapat 18,6 persen wanita yang belum kawin dan sebesar 76 persen telah berstatus kawin. Sebaliknya pada kelompok usia muda yaitu kelompok usia 15-19 tahun, terdapat 78 persen wanita yang belum kawin dan sebanyak 22 persen telah berstatus kawin. Hal ini menunjukkan bahwa di Maluku terdapat persentase yang cukup besar pada wanita berusia muda yang berstatus kawin bila dibandingkan dengan Indonesia secara keseluruhan yang hanya berjumlah 12 persen. Hasil survei juga menunjukkan bahwa proporsi wanita yang belum menikah turun secara tajam dengan meningkatnya umur wanita, yakni dari 87 persen diantara wanita muda (15--19 tahun) menjadi 39 persen diantara wanita umur 20--24 tahun.

Hasil survei tentang usia kawin pertama menunjukkan bahwa proporsi wanita yang kawin pada usia muda di Maluku masih cukup tinggi. Wanita dengan usia perkawinan di bawah 15 tahun masih cukup banyak dan cenderung tidak terjadi perubahan pada setiap kohor kelompok umur. Hasil survei menunjukkan bahwa baik pada kelompok umur 40--49 tahun(7,9 persen) maupun pada kelompok umur yang lebih kecil tidak terjadi penurunan malah pada umur 20--24 persentase wanita yang kawin pada usia dibawah 15 tahun masih cukup tinggi yaitu 9,7 persen. Hal yang sama juga nampak pada wanita yang usia perkawinan pertama antara 15--19 tahun.

Di Maluku tidak terdapat perbedaan yang nyata tentang pola usia perkawinan pertama antara wanita di daerah pedesaan dengan wanita perkotaan, baik usia perkawinan di bawah 15 tahun maupun pada kelompok usia perkawinan pertama 15--19 tahun. Dengan kata lain, usia perkawinan pertama masih cenderung rendah (di bawah 19 tahun) baik di daerah pedesaan (46 persen) maupun perkotaan (31 persen). Walaupun demikian, masih terdapat sedikit perbedaan, yaitu pada wilayah pedesaan proporsi wanita yang kawin pada usia muda masih lebih rendah daripada di perkotaan.

Tingkat pendidikan tidak berpengaruh nyata terhadap peningkatan usia perkawinan pertama. Data menunjukkan bahwa proporsi wanita dengan usia perkawinan pertama antara 15-19 tahun masih cukup tinggi pada setiap jenjang pendidikan kecuali pada kelompok wanita yang tidak sekolah dan pendidikan di atas SLTP. Selain itu, proporsi wanita yang kawin pada usia di

bawah 15 tahun masih cukup tinggi pada setiap jenjang pendidikan, kecuali pada tingkat pendidikan SLTP ke atas.

Tidak ada pengaruh nyata dari naiknya tingkat kesejahteraan kuantil terhadap peningkatan usia perkawinan pertama. Hal ini nampak pada proporsi wanita pada hampir setiap kelompok usia perkawinan pertama relatif tidak mengalami perubahan dengan naiknya tingkat kesejahteraan kuantil. Kecuali pada wanita dengan usia perkawinan pertama dibawah 15 tahun, yakni dengan makin meningkatnya kesejahteraan kuantil maka proporsi wanita pada kelompok ini semakin menurun (dari 6,4 persen menjadi 0 persen).

  • 3.    Usia Persalinan Pertama

Usia persalinan pertama merupakan faktor penting dilihat dari segi kesehatan dan masalah sosial, terutama bila dikaitkan dengan fertilitas remaja. Anak yang dilahirkan oleh seorang ibu yang masih sangat muda mempunyai resiko kesakitan maupun kematian, baik terhadap ibu maupun sang bayi. Ibu muda yang berumur di bawah 18 tahun cenderung mengalami komplikasi kehamilan maupun kelahiran dibandingkan dengan ibu-ibu yang lebih tua. Dari segi sosial, ibu yang melahirkan pada usia muda mengurangi kesempatan mereka untuk melanjutkan studi maupun memperoleh kesempatan kerja.

Secara umum tidak terdapat pengaruh yang signifikan dari faktor tempat tinggal terhadap usia pertama persalinan. Namun, masih terdapat sedikit pengaruh faktor-faktor tersebut terutama faktor pendidikan dan kesejahteraan kuantil pada usia persalinan di bawah 15 tahun. Hasil survei menunjukkan bahwa meningkatnya tingkat pendidikan dan kesejahteraan kuantil, maka proporsi wanita yang melahirkan pada usia di bawah 15 tahun semakin menurun.

Dengan demikian, perlu adanya perhatian pemerintah dan stakeholders lainnya untuk menyediakan dan meningkatkan fasilitas pelayanan kesehatan serta menyiapkan tenaga medis dalam jumlah yang memadai dan meningkatkan kualitas tenaga medis yang telah tersedia terutama di wilayah pedesaan dalam mengatasi resiko kesakitan dan kematian akibat persalinan pada usia muda.

Proporsi wanita remaja (15--19 tahun) yang telah membina keluarga pada usia muda di Provinsi Maluku, dengan berasumsi bahwa mereka yang belum menikah dianggap tidak pernah hamil dan tidak pernah melahirkan. Data menunjukkan bahwa terdapat 10 persen wanita remaja yang telah melahirkan pada usia 17 tahun dan persentase ini cenderung menurun sampai dengan

usia 19 tahun (4,3 persen). Walaupun demikian, terdapat jumlah yang cukup besar yaitu 22 persen wanita remaja di Maluku sudah pernah melahirkan pada usia di bawah 19 tahun.

Survei juga menunjukkan kecenderungan yang memprihatinkan yaitu lebih kurang 24 persen wanita remaja di provinsi ini telah memilih untuk menjadi ibu pada usia dibawah 19 tahun. Secara sosial, kelompok ini telah membatasi malahan kehilangan kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi dan akses untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik.

Hasil survei menunjukkan bahwa wanita remaja pada wilayah pedesaan cenderung menikah pada usia muda. Wanita remaja di pedesaan lebih banyak yang mulai membina keluarga di usia muda dibandingkan dengan remaja di perkotaan (9 persen dibandingkan dengan 1 persen). Seiring dengan hal ini maka data juga menunjukkan bahwa proporsi wanita remaja di pedesaan yang sudah pernah melahirkan lebih besar daripada wanita remaja di perkotaan (8 persen dibandingkan dengan 1 persen).

Pendidikan wanita remaja mempunyai hubungan terbalik dengan saat mulainya seorang wanita untuk mulai menikah dan mempunyai anak. Proporsi wanita remaja berpendidikan SD yang telah melahirkan lebih besar (7 persen) dari pada wanita remaja yang telah berpendidikan SLTP ke atas (5 persen). Hal ini mungkin disebabkan karena pengaruh budaya setempat dan kurangnya pengetahuan mereka tentang resiko kematian dan kesakitan akibat kehamilan di usia muda. Dengan demikian perlunya perhatian pemerintah terhadap pendidikan di Maluku baik masalah fasilitas maupun biaya pendidikan.

Menurut tingkat kekayaan kuantil, proporsi wanita remaja yang sudah pernah melahirkan meningkat 7 persen di antara remaja yang tinggal pada keluarga termiskin menjadi 8 persen di antara remaja yang tinggal pada keluarga miskin. Namun, proporsi ini menurun menjadi 6 dan 0 persen pada remaja yang tinggal pada keluarga kaya dan terkaya. Meningkatnya kesejahteraan kuantil tidak berpengaruh nyata terhadap pengambilan keputusan wanita remaja untuk menikah dan mempunyai anak. Hal ini nampak pada proporsi wanita remaja yang sudah pernah melahirkan dan sedang mengandung anak pertama meningkat seiring dengan meningkatnya kesejahteraan, walaupun pada tingkat kesejahteraan terkaya nilainya adalah 0 persen. Fenomena ini menunjukkan bahwa ada kemungkinan faktor lain yang berpengaruh, misalnya kebudayaan atau nilai-nilai sosial lainnya.

  • 4.    Cakupan Perawatan Kehamilan (Antenatal Care)

Di Indonesia, pemeriksaan kehamilan didefinisikan sebagai pelayanan kesehatan yang berhubungan dengan kehamilan yang diberikan oleh tenaga medis profesional (dokter umum, dokter ahli kebidanan dan kandungan, perawat, bidan, atau bidan di desa). Jika ibu hamil mendapat pelayanan lebih dari satu jenis tenaga, untuk keperluan identifikasi kehamilan risiko tinggi, hanya tenaga medis profesional tertinggi yang disajikan.

Di antara 168 wanita pernah kawin umur 15-49 tahun yang diwawancarai dalam survei, 99 melahirkan bayi hidup dalam lima tahun sebelum survei. Tujuh puluh persen ibu mendapat pemeriksaan kehamilan dari tenaga kesehatan; 57 persen mendapat pemeriksaan dari perawat, bidan atau bidan di desa; 10 persen mendapat pemeriksaan dari dokter ahli kebidanan dan kandungan, dan tiga persen memperoleh pemeriksaan dari dokter umum. Enam dari sepuluh ibu berusia 20-34 tahun, diperiksa kehamilannya oleh perawat/bidan/bidan di desa, 10 persen diperiksa oleh dokter ahli kebidanan dan kandungan, dan tiga persen diperiksa oleh dokter umum. Sebanyak 63 persen ibu yang pernah melahirkan dua atau tiga kali mendapatkan pelayanan pemeriksaan kehamilan oleh perawat/bidan/bidan desa, 10 persen mendapat pelayanan pemeriksaan kehamilan oleh dokter ahli kebidanan dan kandungan, dan empat persen mendapat pemeriksaan kehamilan dari dokter umum.

Berdasarkan daerah tempat tinggal, 65 persen ibu di wilayah pedesaan yang melahirkan anak lahir hidup terakhir dalam lima tahun sebelum survei mendapat pelayanan pemeriksaan kehamilan dari tenaga medis profesional. Adapun tenaga medis profesional yang melakukan pemeriksaan kehamilan, secara bertut-turut adalah, 58 persen mendapatkan pemeriksaan dari perawat/bidan/bidan desa, empat persen dari dokter ahli kebidanan dan kandungan, dan empat persen dari dokter umum.

Secara umum, ibu yang berpendidikan SLTP atau lebih, cenderung lebih banyak mendapatkan pelayanan pemeriksaan kehamilan dari tenaga medis profesional dibandingkan dengan ibu yang berpendidikan lebih rendah. Sebagai gambaran, 63 persen ibu yang berpendidikan tamat SD, mendapatkan pelayanan pemeriksaan kehamilan dibandingkan dengan 85 persen ibu yang berpendidikan SLTP atau lebih tinggi.

Menurut indeks kekayaan kuantil, 58 persen ibu yang berada pada indeks kekayaan kwantil terbawah mendapatkan pelayanan pemeriksaan kehamilan dari tenaga medis profesional. Tenaga medis profesional yang melakukan pemeriksaan kehamilan adalah 53 persen

perawat/bidan/bidan desa, tiga persen dari dokter umum, dan dua persen dari dokter ahli kandungan dan kebidanan.

  • a.    Komponen Pemeriksaan Kehamilan

Di Indonesia, setiap ibu hamil dianjurkan mendapat pelayanan sebagai berikut. Pengukuran tinggi dan berat badan, pengukuran tekanan darah, pemberian pil zat besi, imunisasi tetanus toksoid, dan pemeriksaan tinggi fundus (Depkes, 2001a). Dalam setiap kunjungan pemeriksaan kehamilan, ibu harus dijelaskan tentang tanda-tanda komplikasi kehamilan, ditimbang berat badannya, diperiksa darah dan urinenya. Dalam kajian ini ditemukan bahwa pelayanan yang paling sering didapatkan selama kunjungan pemeriksaan kehamilan adalah pemeriksaan tinggi fundus (90 persen), pengukuran tekanan darah (69 persen), penimbangan berat badan (62 persen), pengukuran tinggi badan (28 persen), dan pemeriksaan urine (13 persen).

Secara umum, 16 persen ibu hamil mendapat penjelasan tentang tanda-tanda komplikasi kehamilan. Berdasarkan karakteristik latar belakang, sebanyak 17 persen ibu hamil berusia 20-34 tahun mendapatkan penjelasan tentang tanda-tanda komplikasi kehamilan. Satu dari lima ibu hamil pada urutan kehamilan anak yang ke dua atau ke tiga mendapatkan penjelasan tentang tanda-tanda komplikasi kehamilan, dan12 persen ibu hamil yang bertempat tinggal di wilayah pedesaan mendapatkan penjelasan mengenai tanda-tanda komplikasi kehamilan.

Di lain pihak, 27 persen Ibu hamil yang berpendidikan SLTP atau lebih tinggi memperoleh informasi tentang tanda-tanda komplikasi kehamilan. Sementara di kalangan ibu hamil yang berada pada indeks kekayaan kuantil terbawah tercatat hanya 7 persen yang memperoleh informasi mengenai tanda-tanda komplikasi kehamilan.

Penerimaan zat besi selama kehamilan juga terlihat beragam menurut karakteristik latar belakang wanita. Enam dari sepuluh ibu hamil berusia 20--34 tahun dengan kehamilan pertama, dan ibu hamil dengan urutan kehamilan ke dua atau ke tiga, 64 persen menerima zat besi selama kehamilan terakhir. Separoh dari jumlah ibu hamil di wilayah pedesaan (50 persen) menerima zat besi selama kehamilan terakhir. Ibu hamil yang berpendidikan tinggi, cenderung lebih banyak menerima zat besi selama kehamilan terakhir dibandingkan dengan ibu hamil yang berpendidikan lebih rendah. Sebagai gambaran, 49 persen ibu hamil berpendidikan tamat SD menerima zat besi selama kehamilan terakhir dibandingkan dengan 76 persen pada ibu hamil

yang berpendidikan SLTP atau lebih tinggi. Berdasarkan indeks kekayaan kuantil, tercatat hanya 41 persen ibu hamil yang berada pada indeks kekayaan kuantil terbawah yang menerima zat besi selama kehamilan anak terakhir.

  • b.    Jumlah Kunjungan Pemeriksaan Kehamilan dan Saat Kunjungan Pertama

Program kesehatan ibu di Indonesia menganjurkan agar ibu hamil melakukan paling sedikit empat kali kunjungan untuk pemeriksaan selama kehamilan, menurut jadwal sebagai berikut: paling sedikit sekali kunjungan dalam trimester pertama, paling sedikit sekali kunjungan dalam trimester kedua, dan paling sedikit dua kali kunjungan dalam trimester ketiga (Depkes RI, 2001a).

Terdapat 32 persen ibu memenuhi jadwal yang dianjurkan pemerintah yaitu paling sedikit sekali di trimester pertama, sekali di trimester kedua dan dua kali di trimester ketiga. Cakupan tersebut masih dibawah target program kesehatan ibu yaitu 90 persen (BPS dan ORC Macro, 2003). Lebih dari separoh (51 persen) ibu hamil di Maluku melakukan pemeriksaan kehamilan empat kali atau lebih selama kehamilannya (Gambar 1). Bila di lihat dari wilayah tempat tinggal, ibu hamil di perkotaan jauh lebih banyak yang melakukan pemeriksaan kehamilan empat kali atau lebih selama kehamilannya dibandingkan dengan ibu hamil di pedesaan (72 persen berbanding 44 persen).

4+ kunjungan


Tidak terjawab

0%


Tidak pernah 1 kunjungan 6%


2-3 kunjungan


29%


Gambar 1.Jumlah Kunjungan Pemeriksaan Kehamilan, Maluku, SDKI 2007

Secara keseluruhan, 42 persen ibu hamil mendapat pemeriksaan kehamilan pertama pada kehamilan trimester pertama. Separuh dari jumlah ibu hamil tersebut memeriksakan kehamilannya pada umur kehamilan 4,1 bulan. Ibu hamil di daerah perkotaan lebih awal melakukan pemeriksaan kehamilan dibanding ibu di daerah pedesaan , dengan median umur

kehamilan masing-masing 3,7 bulan dan 4,2 bulan. Jumlah pemeriksaan kehamilan dan umur kehamilan saat kunjungan pertama dapat dilihat pada Gambar 2.

6-7 bulan 11%


8+ bulan 5%


Tidak terjawab 0%


Tidak diperiksa 14%


4-5 bulan 28%

< 4 bulan 42%


Gambar 2. Usia Kandungan Saat Pemeriksaaan Kehamilan Pertama, Maluku, SDKI 2007

Masih terdapat 10,7 persen ibu di perkotaan yang tidak pernah melakukan kunjungan pemeriksaan kehamilan, di pedesaan angka ini meningkat hingga 15, 3 persen. Kunjungan pemeriksaan ini tidak hanya dilakukan satu kali, tetapi ada juga yang memeriksakan kehamilannya hingga lebih dari 4 kali. Kondisi ini banyak dijumpai pada ibu yang tinggal di perkotaan dibandingkan di pedesaan (71,7 dan 44,0 persen). Total kunjungan pemeriksaan kehamilan 2--3 kali kunjungan adalah 28,8 persen dan lebih dari empat kali adalah 50,7 persen. Keadaan ini cukup menggembirakan karena setengah dari para ibu sudah memeriksakan kehamilannya.

Jika dilihat dari umur kehamilan saat pertama kali ibu memeriksakan kehamilannya, maka jelas terlihat bahwa para ibu di perkotaan yang memeriksakan kehamilannya di bawah 4 bulan lebih tinggi persentasenya daripada para ibu dari di pedesaan (51,6 dan 38,9 persen). Angka ini dapat menjelaskan bahwa para ibu di perkotaan sudah semakin mengerti pentingnya memeriksakan kehamilan secara dini, tidak saja untuk menghindari kematian bayi dan ibu. Namun, yang terpenting adalah perkembangan janin dapat terpantau setiap saat.

Pemeriksaan kehamilan untuk pertama kalinya bagi para ibu yang tinggal di pedesaan baru dilakukan saat kehamilan menginjak usia 4--5 bulan dan 6--7 bulan dengan presentase 28,3 persen 12,5 persen. Jika ke-2 kategori ini digabungkan maka memiliki angka yang cukup tinggi yaitu 40,8 persen. Keadaan ini dapat menjelaskan bahwa para ibu ini masih belum memiliki pengetahuan dan pemahaman yang mendalam tentang pentingnya pemeriksaan pada saat awal kehamilan. Para ibu ini harus didorong agar secara rutin memeriksakan kehamilannya setiap

bulan sehingga kondisi kehamilan dapat dipantau setiap saat. Jika hal ini berjalan dengan baik maka resiko kematian bayi dan ibu saat melahirkan dapat diatasi. Hal ini tidak saja menjadi tanggung jawab pemerintah dalam hal ini BKKBN, namun harus menjadi tanggung jawab bersama seluruh masyarakat. Penyuluhan kesehatan melalui lembaga-lembaga swadaya di masyarakat mungkin akan mejadi sarana yang efektif untuk dilaksanakan hingga mereka mandiri menentukan apa yang terbaik yang seharusnya mereka lakukan pada saat kehamilannya.

Perawat/bidan/bidan desa masih menjadi pilihan terbanyak bagi para ibu yang memeriksakan kehamilannya, tetapi kenaikannya semakin menurun seiring dengan bertambahnya umur para ibu. Alasan mendasar dari mereka adalah bahwa tenaga medis ini dapat dijumpai dengan mudah dengan biaya yang murah dan mereka lebih berpengalaman. Dukun juga masih menjadi pilihan pada setiap kategori umur, namun meningkat seiring dengan pertambahan usia ibu. Dokter umum dan dokter kandungan sudah menjadi pilihan para ibu, namun dalam persentase yang cukup kecil. Dokter umum lebih banyak menjadi pilihan para ibu yang berumur < 20 tahun yaitu 10,8 persen dan pilihan ini semakin menurun seiring pertambahan umur ibu. Dokter kandungan menjadi pilihan terbanyak bagi para ibu yang berumur 20--34 tahun yaitu 10,4 persen. Akan tetapi masih ada juga para ibu pada semua kategori yang tidak pernah memeriksakan kehamilannya pada tenaga medis yang tersedia, dengan persentase yang semakin tinggi seiring dengan pertambahan umur ibu.

Bagian terbesar dari mereka ini berada pada kategori umur 35--49 tahun, mereka ini termasuk golongan umur tua yang memang masih menutup diri terhadap teknologi dan pelayanan kesehatan yang tersedia. Dukun juga masih menjadi pilihan terbanyak bagi para ibu yang berumur 35--49 tahun yaitu 21,2 persen, ibu yang berumur < 20 tahun hanya 6,5 persen dan ibu yang berumur 20--34 tahun yang memilih dukun adalah 14,7 persen.

Masih juga terlihat ada ibu yang tidak memeriksakan kehamilannya yaitu 9,2 persen yaitu pada ibu yang berumur < 20 tahun, dan 12,6 persen pada ibu yang berumur 20-34 tahun, meningkat menjadi 21,0 persen pada ibu yang berumur 35-49 tahun. Bagian ini diharapkan akan mengalami pergeseran ke tenaga kesehatan lainnya, jika secara optimal dan kontinyu diberikan penyuluhan.

Berdasarkan tempat tinggal, jelas terlihat bahwa perawat bidan/bidan desa masih tetap menjadi pilihan bagi para ibu hamil untuk memeriksakan kehamilannya. Di perkotaan mencapai angka 53,7 persen dan di pedesaan persentasenya meningkat mencapai angka 58,2 persen. Hal

ini cukup menggembirakan karena dapat mengindikasikan bahwa para ibu sudah mulai terbuka terhadap tenaga medis kualitas menengah yang tersedia. Mereka merasa lebih aman dan nyaman karena dari sisi kesehatan mereka terlayani dan juga dari sisi pembiayaan tidak terlalu mahal. Dokter umum menjadi pilihan yang efektif bagi para ibu di perkotaan maupun pedesaan. Tenaga dokter umum di pedesaan adalah memang sangat diperlukan, tidak hanya bagi ibu hamil, tetapi juga masyarakat lebih luas. Program dokter umum masuk desa hendaknya menjadi prioritas utama sehingga kesehatan masyarakat yang mayoritas mendiami daerah pedesaan dapat ditingkatkan.

Tingkat pendidikan ibu sangat berpengaruh terhadap pemilihan tenaga pemeriksa kehamilan yang di datanginya. Semakin tinggi tingkat pendidikannya, ibu hamil akan memilih tenaga pemeriksa kehamilan yang lebih profesional. Dalam kajian ini ditemukan bahwa para ibu yang memilih dokter umum adalah mereka berpendidikan SD hingga tidak tamat SLTP sebanyak 3,9 persen dan SLTP ke atas sebanyak 4,0 persen. Mereka yang memilih dokter spesialis 4,3 persen berpendidikan SD hingga tidak tamat SLTP, dan melonjak dengan tajam hingga 22,9 persen pada mereka yang berpendidikan SLTP ke atas. Perawat/bidan/bidan desa masih tetap menjadi pilihan terbanyak bagi para ibu dengan alasan klasik yang telah dikemukakan pada penjelasan sebelumnya. Kelompok tenaga medis ini memegang peranan sangat penting dalam memberikan pemahaman dan menumbuhkan rasa percaya pasiennya agar terbuka dalam memanfaatkan tenaga maupun peralatan kesehatan. Kelompok tenaga medis ini banyak dijumpai di pedesaan maupun di perkotaan.

Pemilihan terhadap dukun makin berkurang seiring dengan meningkatnya jenjang pendidikan ibu. Ibu yang tidak sekolah & tidak tamat SD sebanyak 32,1 persen, SD & tidak tamat SLTP 15,3 persen dan semakin menurun menjadi 5,6 persen pada kategori SLTP tamat. Meskipun telah banyak ibu yang memanfaatkan tenaga medis untuk memeriksakan kehamilannya namun masih juga terdapat ibu yang tidak memeriksakan kehamilannya pada tenaga medis yang tersedia, walaupun dalam jumlah yang kecil yaitu umur kurang dari 20 tahun 28,8 persen, TS-tidak tamat SD 15,3 persen dan SLTP tamat + 5,6 persen.

Angka-angka ini menunjukkan penurunan seiring dengan meningkatnya jenjang pendidikan ibu. Kelompok umur kurang dari 20 tahun merupakan bagian terbesar yang tidak memeriksakan kehamilannya. Hal ini dapat disebabkan karena usia yang masih terlalu muda, sehingga mereka malu berhubungan dengan pihak lain tentang kehamilannya, mereka ini

menjadi tertutup dan tidak menggunakan fasilitas kesehatan yang tersedia. Kelompok ini cenderung bergantung pada orang tua terutama ibunya dengan pengalaman terdahulu yang dimilikinya.

Para ibu yang tergolong kaya dan terkaya banyak memanfaatkan tenaga medis yang lebih prosfesional yaitu sebanyak 5,4 persen memilih dokter umum, dan 42,7 persen memilih dokter kandungan, perawat/bidan/bidan desa dipilih oleh 47,4 persen ibu hamil, golongan ini tidak ada yang memilih dukun, dan yang tidak memeriksakan kehamilannya hanya 4,5 persen. Mereka yang berada pada tingkat kekayaan menengah, tidak ada yang memilih dokter umum, 10,5 persen memilih dokter kandungan, persentase terbanyak yaitu 72,7 persen memilih perawat/bidan/bidan desa, 8,8 persen memilih dukun dan 8,0 tidak memeriksakan kehamilannya. Golongan miskin dan termiskin yang memilih dokter umum, 3,5 persen, dokter kandungan 1,8 persen, perawat bidan/bidan desa 56,3 persen, dukun 20,8 persen dan tidak memeriksakan kehamilan 17,6 persen.

Besar kecilnya persentase ibu memilih kepada siapa dia harus memeriksakan kehamilannya sangat tergantung pada tingkat kekayaan yang dimilikinya. Semakin kaya, para ibu akan memiliki peluang yang sangat besar untuk memilih tenaga kesehatan yang lebih profesional karena menyangkut biaya yang lebih mahal. Bagian terbesar menunjukkan pilihannya terhadap perawat/bidan/bidan desa, mengindikasikan juga bahwa sebagain besar para ibu memiliki tingkat kekayaan menengah, sehingga mereka memilih tenaga kesehatan (pemeriksa kehamilan) yang bisa dibayar murah. Dukun tidak lagi menjadi pilihan pada para ibu yang tergolong kaya dan terkaya, pilihannya telah bergeser pada tenaga profesional lainnya seperti dokter umum, dokter kandungan dan perawat/bidan/ bidan desa.

  • 5.    Kebutuhan Keluarga Berencana yang Tidak Terpenuhi (Unmet need)

  • a. Unmet need menurut Karakteristik

Kebutuhan pelayanan KB yang tidak terpenuhi (unmet need) didefinisikan sebagai persentase wanita kawin yang tidak ingin punya anak lagi atau ingin menjarangkan kelahiran berikutnya, tetapi tidak menggunakan alat/cara kontrasepsi.Wanita yang memerlukan KB dengan

tujuan untuk menjarangkan kelahiran termasuk juga wanita yang kehamilannya tidak diinginkan waktu itu, dan wanita lain yang tidak sedang hamil atau belum haid setelah melahirkan dan tidak memakai kontrasepsi tetapi ingin menunggu dua tahun atau lebih sebelum kelahiran berikutnya. Yang termasuk dalam kelompok ini juga adalah wanita yang belum memutuskan apakah ingin anak lagi tapi belum tahu kapan.

Westoff dan Ochoa (1991) mendefinisikan kebutuhan terhadap pelayanan KB sebagai jumlah dari prevalensi kontrasepsi (termasuk wanita yang sedang hamil atau belum haid sesudah melahirkan, yang kelahiran terakhirnya disebabkan oleh kegagalan kontrasepsi) dan kebutuhan KB yang tidak terpenuhi. Pasangan usia subur di Maluku yang mengikuti program KB dan kebutuhan akan kontrasepsinya terpenuhi (baik untuk menjarangkan maupun membatasi kelahiran) adalah sebesar 34 persen. Sedangkan yang tidak terpenuhi adalah sebesar 22 persen. Kebutuhan pelayanan KB yang tidak terpenuhi bervariasi menurut umur wanita kawin. Kelompok wanita dengan usia muda cenderung butuh ber KB untuk menjarangkan kelahiran sedangkan pada kelompok wanita tua cenderung untuk membatasi kelahiran.

Kebutuhan ber KB yang tidak terpenuhi (unmet need) di pedesaan cenderung sama dengan unmetneed di perkotaan. Namun demikian wanita kawin di perkotaan akan lebih terpenuhi kebutuhan ber KB dibanding wanita kawin yang tinggal di pedesaan. Pada umumnya proporsi wanita usia kawin yang berkeinginan untuk ber-KB di wilayah perkotaan lebih besar daripada di pedesaan. Proporsi wanita kawin yang membutuhkan pelayanan KB untuk maksud penjarangan kelahiran tetapi tidak terpenuhi (unmet need) pada kelompok berusia 20--29 lebih besar dari pada yang berada pada kelompok umur 30--49 tahun. Proporsi terbesar wanita kawin yang bertujuan untuk membatasi kelahiran berada pada kelompok umur muda (15--19 tahun) dan kelompok umur tua (30--49 tahun). Hal ini menunjukkan bahwa pembatasan kelahiran umumnya dilakukan oleh wanita yang berusia relatif muda dan tua, sedangkan kelompok umur menengah biasanya lebih pada penjarangan kelahiran.

Keinginan untuk segera mempunyai anak yang tertinggi proporsinya adalah pada kelompok usia muda (65%) di bandingkan dengan kelompok usia yang lebih tinggi. Proporsi kelompok wanita kawin yang tidak subur atau telah memasuki masa menopause pada umumnya tertinggi pada kelompok umur yang lebih tua (29 %) daripada pada kelompok umur yang dibawahnya.

Unmet need di propinsi Maluku berdasarkan wilayah tempat tinggal menunjukkan bahwa khusus untuk tujuan penjarangan, proporsi wanita kawin yang tidak terlayani lebih besar di wilayah perkotaan dibanding dengan yang tinggal pada wilayah pedesaan. Sebaliknya wanita kawin yang mengikuti KB dengan tujuan pembatasan dan tidak terlayani, proporsinya lebih besar pada daerah pedesaan.

Proporsi wanita peserta program KB yang terlayani lebih besar di daerah perkotaan dibanding daerah pedesaan. Data menunjukkan juga bahwa pelayanan KB didaerah perkotaan lebih baik dari pada daerah pedesaan. Keinginan wanita kawin untuk segera mempunyai anak dan proporsi wanita kawin yang tidak subur atau telah memasuki masa menopause cenderung lebih besar di daerah pedesaan dibanding perkotaan.

Pendidikan merupakan faktor yang yang sangat berpengaruh terhadap pengambilan keputusan seseorang. Keputusan untuk mengikuti program KB dari wanita kawin yang telah mengikuti KB berbanding lurus dengan meningkatnya pendidikan. Namun, demikian data menunjukkan bahwa khusus bagi wanita kawin yang ingin ber-KB dengan tujuan penjarangan namun tak terlayani, proporsinya cenderung menurun seiring dengan meningkatnya pendidikan. Bila dibandingkan antar tingkat pendidikan, ternyata wanita kawin yang ingin segera mempunyai anak adalah pada kelompok dengan tingkat pendidikan SLTP ke atas.

Untuk setiap tingkat kesejahteraan, proporsi wanita kawin yang memakai alat kontrasepsi menduduki proporsi yang tertinggi. Hal ini membuktikan bahwa kesadaran akan pentingnya ber-KB telah dirasakan oleh semua pasangan usia subur pada setiap strata masyarakat, dengan kata lain tidak tergantung pada tingkat kesejahteraan atau kekayaan kuantil. Hasil SDKI 2007 juga menunjukkan bahwa seiring dengan naiknya tingkat kekayaan, maka proporsi wanita kawin yang menggunakan kontrasepsi juga mengalami kenaikan (dari 27 persen menjadi 47 persen). Hal ini membuktikan bahwa meningkatnya kekayaan akan membuat para wanita kawin dapat memenuhi kebutuhan ber-KB dengan cara membeli sendiri alat kontrasepsi.

Kelompok wanita kawin yang termasuk pada unmet need, baik untuk tujuan penjarangan maupun untuk pembatasan kelahiran, proporsinya cenderung lebih besar pada kelompok dengan tingkat kesejahteraan termiskin dan miskin. Hal ini menunjukkan bahwa pelayanan KB terhadap kelompok tersebut perlu ditingkatkan mengingat masalah akses mereka terhadap pusat-pusat pelayanan kesehatan dan KB. Selain itu, kelompok wanita pada tingkat kekayaan termiskin dan miskin perlu diprioritaskan, karena kemampuan ekonomi mereka yang sangat kurang.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Hasil analisis data SDKI 2007, tentang tingkat penggunaan kontrasepsi, tingkat kelahiran remaja, penolong persalinan oleh tenaga profesional, angka persalinan dengan bedah Caesar, tempat persalinan pada fasilitas kesehatan, pemeliharaan kehamilan, alasan tidak menggunakan alat kontrasepsi, dan kebutuhan KB yang tidak terpenuhi (unmet need), memberikan beberapa kesimpulan sebagai berikut.

  • 1.    Sebagian besar anak di Provinsi Maluku yang lahir dalam kurun waktu lima tahun sebelum SDKI 2007, dilahirkan di rumah (87 persen).

  • 2.    Keterlibatan dukun bayi dalam pertolongan persalinan ibu hamil di Maluku masih sangat tinggi.

  • 3.    Tempat tinggal sangat signifikan terhadap pemilihan penolong persalinan. Penduduk yang tinggal di perkotaan terbuka terhadap informasi dan teknologi kesehatan dan memiliki sumber pendapatan yang memadai, akan memanfaatkan tenaga kesehatan untuk kepentingannya.

  • 4.    PUS yang menjadi akseptor KB hanya 34 persen dan selebihnya 66 persen tidak menjadi akseptor KB.

  • 5.    Sebagian besar PUS di provinsi ini cenderung untuk menggunakan suntikan sebagai alat kontrasepsi baik di daerah pedesaan maupun perkotaan,

  • 6.    Usia persalinan pertama pada usia remaja masih rendah, namun demikian masih terdapat sedikit faktor pendidikan dan kesejahteraan kwantil pada usia persalinan di bawah 15 tahun, yaitu dengan meningkatnya tingkat pendidikan dan kesejahteraan kuantil, maka proporsi wanita yang melahirkan pada usia dibawah 15 tahun semakin menurun.

  • 7.    Proporsi wanita remaja di pedesaan yang telah membina keluarga lebih besar daripada wanita remaja di perkotaan. Seiring dengan hal ini maka proporsi wanita remaja di pedesaan yang sudah pernah melahirkan juga lebih besar daripada wanita remaja di perkotaan.

  • 8.    Pemeriksaan kehamilan wanita kawin oleh tenaga medis profesional, persentase terbesar dilakukan oleh perawat, bidan atau bidan desa dan diikuti secara berturut-turut oleh dokter umum dan kemudian oleh dokter ahli kebidanan dan kandungan.

  • 9.    Baik di wilayah pedesaan maupun perkotaan, jelas terlihat bahwa tenaga medis profesional tetap menjadi pilihan bagi para ibu hamil untuk memeriksakan kehamilannya. Hal ini mengindikasikan bahwa para ibu sudah mulai terbuka terhadap tenaga medis profesional yang tersedia. Tenaga dokter umum di pedesaan adalah memang sangat diperlukan, tidak hanya bagi ibu hamil, tetapi juga masyarakat lebih luas.

  • 10.    Kebutuhan ber KB yang tidak terpenuhi (unmet need) di pedesaan cenderung sama dengan unmetneed di perkotaan. Namun demikian kebutuhan ber-KB wanita kawin di perkotaan lebih terpenuhi dibandingkan dengan wanita kawin yang tinggal di pedesaan.

  • 11.    Kelompok wanita kawin yang termasuk pada unmet need, baik untuk tujuan penjarangan maupun untuk pembatasan kelahiran, proporsinya cenderung lebih besar pada kelompok dengan tingkat kesejahteraan termiskin dan miskin. Hal ini menunjukkan bahwa pelayanan KB terhadap kelompok tersebut perlu ditingkatkan mengingat masalah akses mereka terhadap pusat-pusat pelayanan.

Saran

Berdasarkan atas kesimpulan-kesimpulan tersebut di atas, maka berbagai saran yang dapat dikemukakan kepada berbagai stakeholders sebagai berikut.

  • 1.    Pemerintah diharapkan dapat menyediakan fasilitas kesehatan yang memadai, terutama di daerah pedesaan, serta infrastruktur transportasi yang baik mengingat Provinsi Maluku adalah wilayah kepulauan.

  • 2.    Peran dukun yang tinggi dalam menolong persalinan perlu mendapat perhatian dari para pengelola program. Hendaknya para dukun ini dibekali dengan peralatan medis yang memadai dan juga pelatihan-pelatihan yang memenuhi standar kesehatan, sehingga resiko yang terjadi saat persalinan berlangsung dapat dicegah atau dikurangi.

  • 3.    Penyuluhan dan penyebarluasan informasi tentang kesehatan dan program KB perlu ditingkatkan terutama di wilayah pedesaan.

  • 4.    Untuk mengatasi rendahnya usia perkawinan dan persalinan pertama pada wanita remaja, maka perlu ditingkatkan program pendidikan formal maupun informal terutama di wilayah pedesaan.

  • 5.    Tenaga medis profesional perlu disediakan dalam jumlah yang memadai, dan kualitas fasilitas kesehatan perlu ditingkatkan terutama di wilayah pedesaan. Hal ini merupakan prioritas utama mengingat permintaan terhadap pelayanan kesehatan semakin meningkat.

  • 6.    Peningkatan pelayanan KB di Provinsi Maluku perlu ditingkatkan baik sumber daya manusianya maupun perangkat keras, terutama di pedesaan dengan aksesibilitasnya yang relatif sulit.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1995. Kantor Menteri Negara Kependudukan/Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. Jakarta

Anonim, 1998. Badan Pusat Statistik (BPS) dan ORC Macro. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 1997. Calverton, Maryland, USA: BPS and ORC Macro.

-----------, 2004. Badan Pusat Statistik (BPS) dan ORC Macro. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2002-2003. Calverton, Maryland, USA: BPS and ORC Macro.

-----------, 2008. Badan Pusat Statistik (BPS) dan ORC Macro. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2007. Calverton, Maryland, USA: BPS and ORC Macro.

-----------, 2009. Puslitbang KB dan Kesehatan Reproduksi BKKBN. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2007 Provinsi Maluku.BKKBN Jakarta

Mosley, W.H., dan L.C. Chen. 1984. An analytical framework for the study of child survival in developing countries. In Child survival: Strategies for research, ed. W.H. Mosley dan Lincoln C. Chen, 25-45. Population and development review 10, Supplement. New York: The Population Council.

Westoff, C.F., dan L.H. Ochoa. 1991. Unmet need and demand for family planning. DHS Comparative Studies No. 5. Columbia, Maryland: Institue for Resource Development.

22