KETERIKATAN KARYAWAN MERUPAKAN ALTERNATIF, KETIKA KEPUASAN KERJA DAN KOMITMEN TIDAK CUKUP UNTUK MENINGKATKAN KINERJA ORGANISASI

Putu Saroyeni Piartrini Fakultas Ekonomi Universitas Udayana Email: [email protected]

Abstract

Management is challenged by effeciency and quality to stay in competition. Building efficiency and quality based on employee satisfaction and employee commitment is not sufficient today. Management needs Employee engagement to improve its efficiency and quality of its operation sustainably. Employee engagement is relatively new construct in employee behavior research, because it is found by practitioner. It is defined as The harnessing of organization members selves to their work roles. In engagement people employee and exprese themselves physically, cognitively and emotionally during role performance.

Employee engagement is neither similar to Organizational Citizenship nor Employee Commitment. It is different on its role on relationship between job satisfaction and organization citizenship behavior and intention to quit. Having reveiwed related articles, among effect of job characteristics, Justice and organization support, employee engagement significantly influenced by justice and organization support and leadership.

To stimulate employee engagement, Management have to develop participative leadership style, support their employee sufficiently and implement justice policy spesifically procedural justice in consisten way for every aspect of its functional manajemen. Employee engagement has positif relationship with Organization performance.

Keyword: Employee Engegement, Citizenship behavior, Job satisfaction, Organization Commitment and Organization Performance.

Latar belakang

Ketika organisasi dituntut untuk dapat menyelenggarakan kegiatan secara lebih efisien dan efektif, dan menyerahkan produk/jasa tanpa cacad kepada pelanggannya, manajemen menghadapi tantangan bagaimana meningkatkan kinerja secara berkelanjutan. Dengan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi banyak organisasi menerapkan konsep Total Quality Management (TQM) maupun Business Process

Engineering (BPE) untuk meningkatkan kinerja organisasi dan mengendalikan kualitas keluaran.

Terobosan yang didukung kemajuan teknologi informasi dan teknologi memungkinkan perusahaan mencapai peningkatan kinerja yang signifikan namun memerlukan ketersediaan sumber daya manusia yang menguasai teknologi yang dan memiliki sikap kerja positif. Bagi manajemen setiap organisasi perlu disadari bahwa pengembangan sumber daya manusia untuk membangun kompetensi dan sikap kerja positif tidak dapat dilakukan dalam pola pengelolaaan sumber daya manusia yang konvensional.

Sumber daya manusia yang kompeten baik secara intelektual, maupun emosional lebih menyukai tugas yang memiliki derajat otonomi yang lebih luas, lingkungan kerja yang memuaskan dan status. Selama ini para akademisi dan praktisi menganggap bahwa produktivitas dan efisiensi kerja individual karyawan maupun karyawan berpangkal pada kepuasan kerja dan komitmen individu pada organisasi yang kemudian dijabarkan pada perumusan kebijakan penempatan karyawan yang sesuai dengan latar belakang kompetensi teknikal atau latar belakang pendidikan dan kemudian ditindaklanjuti dengan kebijakan imbalan dan pengakuan yang sesuai dengan karakteristik kebutuhan karyawan berdasarkan kebijakan evaluasi kinerja yang cenderung mengacu pada peningkatan produktivitas, kepuasan kerja dan komitmen pada organisasi. Namun kemudian dibuktikan bahwa ternyata keterikatan individu pada pekerjaaan merupakan kunci keberhasilan dan profitabilitas organisasi (Ott, 2007), Keterikatan karyawan meliputi keterikatan individu dengan, kepuasan individu terhadap dan hasrat pada pekerjaan (Robbins dan Judge, 2009). Dengan demikian perhatian manajemen perlu mengarahkan perhatiannya pada upaya bagaimana meningkatkan komitmen dan kemampuan karyawan. Namun kemudian disadari bahwa dengan menumbuhkan keterikatan karyawan (Employee engagement) organisasi dapat meningkatkan kualitas, produktivitas dan efisiensi operasional lebih tinggi.

Keterikatan Karyawan (Employee engagement)

Referensi berkaitan dengan Employee engagement yang kemudian dalam artikel ini disebut keterikatan karyawan merupakan konsep baru bagi dunia akademik karena konsep ini diawali oleh temuan para konsultan dari area pemecahan masalah produktivitas dan kualitas kerja. Beberapa artikel yang membahas konsep ini masih terbatas (Raffery, Maben, West dan Robinson, 2005; Ellis dan Sorensen, 2007). Pada dasarnya konsep keterikatan karyawan dibentuk oleh dua konsep yang telah dikenal dalam ranah akademik yaitu komitmen organisasi dan Citizenship behavior yaitu perilaku individu karyawan yang bersedia melakukan kegiatan melebihi tugas dan fungsi pokoknya untuk mewujudkan produktivitas dan kualitas kerja (Perryman dan Hayday, 2004). Hasil penelitian mengungkapkan bahwa kedua konsep ini berhubungan dan serupa dengan konsep keterikatan karyawan. Komitmen karyawan dioperasionalkan sebagai hubungan positif dan kesediaaan berupaya melebihi dari yang dibutuhkan oleh uraian tugas pokok dan kebanggaan sebagai anggota organisasi. Sementara organizational citizenship diartikan sebagai perilaku dilingkungan organisasi yang dicirikan oleh upaya dan prakarsa yang secara proaktif diabdikan untuk mencapai sasaran organisasi melebihi dari apa yang diharapkan. Kedua konsep tersebut secara bersama-sama mendefinikan keterikatan individu namun secara terpisah konsep tersebut tidak cukup mendefinisikan konsep keterikatan individu secara memadai. Rafferty, et.al.,(2005) mengungkapkan perbedaaan komitmen dan citizenship behavior dengan keterikatan individu karena komitmen dan citizenship behavior merupakan reaksi searah dari individu karyawan terhadap organisasi sementara keterikatan individu merupakan hasil proses interaksi dua arah antara manajemen dan karyawan.

Perrin’s Global Workforce Study (2003) mendefinisikan keterikatan karyawan sebagai kesediaan dan kemampuan individu karyawan untuk mewujudkan keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuan, dengan cara memberikan kontribusi pemikiran dan upaya berkelanjutan. Berdasarkan studi dinyatakan bahwa keterikatan individu karyawan dengan organisasi dibentuk oleh keterikatan emosional dan faktor rasional yang berhubungan dengan pengalaman kerja dan lingkungan kerja.

Organisasi “Gallup” mendefinisikan keterikatan karyawan sebagai keterikatan individu pada organisasi dan semangat kerja, serupa dengan Dernoysek (2008) menghubungkan keterkatan karyawan dengan ikatan emosional positif antara individu dengan organisasi dan komitmen individu pada organisasi.

Robinson et.al., (2004) mendefinisikan keterikatan karyawan Sebagai sikap positif individu karyawan terhadap organisasi dan nilai organisasi. Seorang karyawan yang memiliki tingkat keterikatan tinggi pada organisasi memiliki pemahaman dan kepedulian terhadap lingkungan operasional organisasi, mampu bekerja sama untuk meningkatkan pencapaian unit kerja/organisasi melalui kerja sama antara individu karyawan dengan manajemen.

Pengertian keterikatan individu karyawan tersebut menegaskan perbedaannya dengan kepuasan kerja yang selama ini diyakini oleh kalangan akademisi maupun praktisi manajemen sebagai faktor penting untuk meningkatkan pencapaian kinerja organisasi. Fernandez (2007) menunjukkan bahwa kepuasan kerja individu berbeda dengan keterikatan individu dalam pekerjaannya. Kepuasan kerja dibangun diatas landasan hubungan transaksional antara individu karyawan dan manajemen. Manajemen menggunakan sumber daya organisasi untuk mendorong upaya individu kearah pencapaian sasaran kerja tertentu seperti pencapaian volume penjualan tertentu atau waktu penyerahaan jasa standar dan kemudian menjanjikan imbalan yang sesuai dengan kebutuhan atau harapan individu karyawan tersebut. Saat ini dengan dinamika lingkungan persaingan yang ketat dan ketersediaan sumber daya organisasi yang makin terbatas. Tren restrukturisasi organisasi dalam kerangka peningkatan efisiensi beban operasional mengakibatkan jumlah jabatan struktural yang tersedia pada struktur organisasi makin terbatas dan penggabungan fungsi dalam struktur menjadi sarana untuk menjamin bahwa tugas terbagi habis. Kondisi ini menuntut kapasitas individu pemangku jabatan yang makin besar tapi tidak menjanjikan imbalan yang secara proporsional lebih besar searah dengan peningkatan beban kerja dan tanggung jawab. Keterikatan individu berbeda dengan komitmen individu terhadap organisasi yang dikenal selama ini karena dalam pelaksanaan pekerjaan individu yang memiliki keterikatan tinggi cenderung melibatkan komitmen intelektual dalam pelaksanaan tugas

dan tanggung jawab ( Baumruk, 2004; Richman, 2006; Shaw, 2005) Dengan demikian manajemen tidak bisa mengandalkan kepuasan kerja individu sebagai dasar mendorong dan memelihara kinerja individu karyawan yang terbaik.

Keterikatan individu karyawan adalah suatu hasrat, niat dan komitmen untuk menginvestasikan waktu, kemampuan disertai dengan kesediaan untuk mengorbankan sebagian kepentingan pribadi individu pada pencapaian sasaran dan tujuan organisasi di masa yang akan datang melebihi upaya untuk mewujudkan kepuasan individu dan menunjukkan loyalitas pada organisasi (Blessing, White, 2008; Erickson, 2005; Macey dan Schinieder, 2008). Stephen Young, salah seorang eksekutif konsultan Towers dan Perrin (Human Resources, 2007) mengungkapkan bahwa keterikatan individu karyawan merupakan prediktor kinerja individu yang lebih kuat dibandingkan dengan kepuasan kerja individu. Bagaimana hubungan keterikatan individu karyawan dengan kinerja unit kerja atau organisasi secara keseluruhan?

Keterikatan individu karyawan juga merupakan suatu proses dimana individu memusatkan perhatian dan upaya baik yang bersifat pisikal maupun emosional untuk mewujudkan sasaran unit kerja atau organisasi. Beberapa studi menunjukkan bahwa keterikatan individu berkorelasi positif dengan pencapaian kinerja unit kerja/organisasi, tingkat retensi karyawan, profitabilitas, kepuasan pelanggan, loyalitas pelanggan, keamanan pelanggan dan daya saing organisasi dalam industri (Coffman, 2000; Ellis and Sorensen, 2007; Towers Perrin Talent Report, 2003; Hewitt associate, 2004; Heintzman dan Marson, 2005; Coffman dan Gonzalez- Molina, 2002). Karyawan yang memiliki keterikatan tinggi pada pekerjaaannya menunjukkan perilaku positif sebagai berikut yaitu; menyatakan hal yang positif tentang visi, misi dan kegiatan organisasi pada calon karyawan potensial dan calon pelanggan potensial; memutuskan untuk bergabung dengan organisasi tertentu dengan mengabaikan kesempatan berkarya dan mengekploitasi kemampuan yang ditawarkan oleh organisasi lain; secara berkelanjutan berjuang dengan mengerahkan kemampuan dan potensi untuk mencapai sasara kerja dan bersedia melakukan kerja lembur, dan prakarsa baru dalam mengatasi masalah yang dihadapi unit kerja/organisasi. Kondisi ini adalah kondisi kerja yang mengisi mimpi sebagaian besar pimpinan organisasi, yang masih sulit untuk diwujudkan dalam dunia

nyata. Sebagian besar pimpinan organisasi masih berjuang untuk meminimalkan perilaku karyawan yang cenderung menunjukkan rendahnya keterikatan mereka pada pekerjaan yang dicirikan dengan perilaku memboroskan waktu kerja untuk kegiatan yang tidak berhubungan dengan pencapaian sasaran kerja organisasi dan melakukan tindakan yang tidak konsisten dengan sasaran kerja sehingga berdampak pada penurunan pencapaian kinerja organisasi. Meere (2004) mengungkapkan bahwa data 360.000 karyawan dari 41 perusahaan yang berlokasi di sepuluh Negara dengan kondisi ekonomi kuat, keterikatan karyawan yang rendah menurunkan pencapaian margin operasi. Sementara hasil studi Financial News, Maret , 2001 sebagaimana dilaporkan oleh Accord Mangement Systems (2004) menyatakan bahwa keterikatan karyawan yang rendah antara lain ditunjukkan oleh tingkat absensi rata-rata 3,5 hari per tahun. Bagaimana upaya manajemen untuk meningkatkan keterikatan individu karyawan pada pekerjaannya?

Menumbuhkan Keterikatan Individu Karyawan

Keterikatan karyawan adalah perilaku yang menunjukkan bahwa individu karyawan melaksanakan perannya sesuai jabatan dalam organisasi secara penuh dan menanggalkan peran lain yang disandangnya selama berada dalam lingkungan kerja dan pelaksanaan tugas jabatannya (Khan, 1990). Dengan demikian dimaknai bahwa keterikatan karyawan memiliki beberapa dimensi yaitu dimensi pisikal, kognitif dan emosional. Seorang karyawan yang memiliki keterikatan tinggi menunjukkann ciri-ciri sebagai berikut antara lain ; memikirkan pekerjaaan dan tanggung jawab pencapaian hasil kerja tidak saja ketika berada di kantor, tapi juga ketika berada di luar kantor dan tidak dalam jam kerja; Memikirkan alternative pemecahan masalah yang dihadapi unit kerja/organisasi secara ekstensif dan intensif dengan menggunakan kemampuan dan kompetensi teknis yang dimiliki; Bersedia mencurahkan waktu dan perhatian melebihi standar minimal yang dipersyaratkan oleh jabatan; dalam kondisi tertentu, untuk mempertahankan pencapaian bersedia mengorbankan kepentingan pribadi dan mendahulukan pencapaian organisasi melebihi ketakutan akan ancaman hukuman dari atasan ataupun penyesalan terhadap kegagalan atau penundaaan pencapaian

kepentingan kelompok maupun kepentingan individu .( Harter, et.al., 2002; Goddrd, 1999; Schaufeli et. al.,2002; Robinson et.al., 2004; Macey & Scheneider, 2008).

Dalam upaya menumbuhkan keterikatan individu karyawan, manajemen dapat menerapkan beberapa strategi yang diterapkan pada fungsi pengelolaaan sumber daya manusia yang berbeda yaitu; strategi seleksi, strategi pasca seleksi sumber daya manusia.

Strategi menumbuhkan keterikatan individu pada tahapan seleksi sumber daya manusia adalah menetapkan level self esteem individu calon karyawan sebagai salah satu kriteria seleksi individu calon calon karyawan. Stimulasi keterikatan individu pada pekerjaaan dan tanggung jawab sebagaian dipengeruhi oleh faktor individu yaitu aspek kepribadian individu karyawan. Kepribadian berfungsi sebagai lensa dalam melihat dan menilai realita (Hart, 1999). Individu yang fokus pada hal-hal negative akan cenderung memiliki Kepuasan hidup (Live satisfaction) yang lebih rendah dibandingkan dengan individu yang fokus pada hal-hal yang positif. Hubungan yang positif antara kepribadian positif individu dengan beberapa aspek pekerjaaan yaitu bahwa individu yang memiliki kepribadian positif memiliki motivasi kerja yang lebih tinggi dan mencapai prestasi yang lebih tinggi sehingga mencapai kepuasan kerja dan evaluasi diri yang lebih positif dibandingkan individu yang memiliki kepribadian negatif ( Negativity Affection). Individu yang berkepribadian positif memiliki self esteem positif, self efficacy relative tinggi, locus control internal dominan dan stabilitas emosi yang lebih baik dibandingkan individu berkepribadian negatif. Lebih jauh lagi kemudian Janssen. et.al.,(1999) melaporkan hubungan yang positif antara self esteem dengan keterikatan individu karyawan pada pekerjaan. Karyawan yang memiliki self esteem tinggi menyatakan hidup lebih bahagia dan melihat realita cenderung dari sisi positif dibandingkan karyawan yang memiliki self esteem rendah. Hubungan ini ditegaskan lagi oleh Sorbaji, Mesar dan Karkoulian( 2011) bahwa kelompok individu karyawan yang memiliki skor self esteem tinggi melaporkan tingkat keterikatan pada pekerjaan yang lebih tinggi dibandingkan kelompok karyawan yang melaporkan skor self esteem yang lebih rendah. Temuan ini tentunya menjadi pedoman bagi manajemen bahwa dengan merekruit individu yang memiliki tingkat self esteem relatif tinggi berpeluang mancapai

kinerja individu atau unit kerja yang lebih tinggi. Kususnya organisasi yang bergerak dalam bidang penyerahan jasa maka peran self esteem akan sangat bermanfaaat dalam mengendalikan variasi kualitas jasa, kepuasan pelanggan dan retensi pelanggan, mengingat faktor individu pelaksana pelayanan sangat signifikan dalam mempengaruhi kualitas jasa yang diserahkan pada pelanggan.

Pada tahapan pasca seleksi karyawan, manajeman dapat menstimulasi keterikatan individu karyawan dengan mengaitkan kebijakan evaluasi kinerja unit kerja dan individu dengan daya saing yang dibangun organisasi; Pemberdayaan karyawan individu, mendorong mekanisme kerja kolaboratif dalam tim, memberikan peluang pengembangan diri individu karyawan dan memberikan dukungan kerja dan kebijakan pengakuan yang berbasis indikator kinerja yang verifikatif dan transparan.

Manajemen mengaitkan indikator pencapaian dan prestasi kerja unit kerja dengan individu karyawan melalui penetapan indikator pencapaian kinerja yang relevan dan dapat dikendalikan oleh individu karyawan. Misalnya menetapkan ketepatan waktu penyelenggaraan promosi produk sebagai indikator prestasi kerja bagian promosi, sementara keputusan waktu pencairan dana promosi merupakan kewenangan bagian keuangan yang ditentukan oleh ketersediaan dana operasional . Kondisi ini ditambah dengan ketiadaaan kebijakan umum yang secara formal menetapkan skala prioritas dan indeks alokasi dana yang tersedia untuk kegiatan operasional organisasi pada suatu periode tertentu. Bila Indikator prestasi kerja tidak dalam batas kewenangan individu karyawan maka karyawan akan merasa diperlakukan tidak adil karena hasil kerja yang dicapai bukan merupakan fungsi dari upaya, kompetensi dan pengorbanan individu. Kondisi kerja semacam ini akan menimbulkan persepsi bahwa kontroabilitas individu karyawan rendah, relevansi rendah dan rendahnya validitas indikator kinerja karena tidak signifikan menumbuhkan peningkatan keterikatan individu pada pekerjaaannya.

Dalam banyak situasi kebanyakan organisasi dalam merekruit calon karyawan menggunakan kriteria seleksi kompetensi teknikal sesuai dengan kualifikasi jabatan yang telah ditentukan sehingga bila terjadi penugasan yang sifatnya lintas fungsi memerlukan ketrampilan dan pengetahuan tambahan untuk membentuk kemampuan

yang memadai agar efektif dalam penugasan baru tersebut. Individu yang memiliki keterikatan rendah pada pekerjaan dapat diberikan pelatihan atau pembekalan singkat tentang pengetahuan yang sesuai dengan tugas baru yang dihadapi. Pemberdayaan individu juga dapat berupa pemberian sarana kerja yang memudahkan pelaksanaan tugas atau akses informasi yang diperlukan dalam pengambilan keputusan seperti perumusan dokumen standar biaya pelaksanaan aktivitas sehingga individu memiliki pedoman dalam pelaksanaan tugasnya dan memiliki persepsi bahwa manajemen peduli dan berperan aktif dalam mengatasi masalah individu.

Mekanisme kerja dalam tim merupakan suatu upaya yang dapat meningkatkan keterikatan individu pada pekerjaan. Dalam lingkungan kerja dimana tugas yang satu memiliki ketergantungan dengan tugas lain manajemen perlu menetapkan tim kerja yang bekerja kolaboratif dengan indikator prestasi kerja yang mendorong peningkatan kualitas kerja sama individu dalam tim. Dalam suatu unit kerja yang menangani fungsi perkreditan, indikator prestasi kerja nilai kredir macet merupakan refleksi dari kerja sama bagian evaluasi kelayakan aplikasi kredit baru oleh nasabah dan bagian pembinaan nasabah karena terjadinya kredit macet sebagian dapat disebabkan oleh kealpaan bagian evaluasi kelayakan aplikasi kredit dan rendahnya efektivitas proses pemeliharaaan dan pembinaan nasabah kredit. Komunikasi yang efektif antara kedua bagian dapat mengendalikan potensi pertambahan kredit macet pada periode berikutnya karena bagian evaluasi kelayakan akan menenrima informasi terkini yang sahih dari bagian pemeliharaaan dan pembinaaan sebelum memutuskan pencairan tambahan plafon kredit nasabah yang mengalami masalah operasional. Penetapan nilai kredit macet semata-mata sebagai indikator prestasi kerja bagian pemeliharaan dan pembinaaan nasabah perlu dikaji kembali karena sifat dan karakter kegiatan yang berhubungan nilai kredit macet merupakan dapat ditetapkan sebagai indikator unit kerja yang menjalankan fungsi perkreditan untuk mendorong peningkatan komunikasi dan keterikatan individu karyawan melalui kerja sama tim yang efektif.

Individu yang memiliki self esteem relatif tinggi biasanya memiliki rekam jejak prestasi yang positif dan bekerja bukan semata-mata untuk mempertahankan hidup dan memenuhi kebutuhan sebagai manusia, tapi juga mn memiliki tujuan bekerja untuk

mengisi hidup karena kepuasan kerja tidak ditentukan oleh seberapa mampu manajemen memberikan imbalan untuk kontribusi yang dilakukan bagi organisasi. Karakteristik individu yang demikian mendorong manajemen untuk merumuskan kebijakan yang mampu memenuhi kebutuhan akan perhargaaan sebagai imbalan kontribusi individu karyawan. Kebijakan organisasi untuk memenuhi kebutuhan ini tidak harus bersifat finansial. Individu yang memiliki self esteem tinggi dengan rekam jejak positif memiliki nilai pasar dan dengan rekam jejak yang dimiliki memiliki peluang untuk berkarya di dalam organisasi lain yang menjanjikan pemenuhan kebutuhan lebih baik. Bila organisasi hanya mengandalkan kebijakan pemeliharaan karyawan yang bersifat finasial akan memicu niat keluar dan mengakhiri masa bakti bagi individu yang potensial, yang berkinerja diatas pencapaian kinerja rata-rata karyawan pada umumnya. Kebijakan pengembangan diri melalui promosi jabatan dengan tanggung jawab yang lebih luas adalah salah satu pilihan untuk menstimulasi keterikatan individu yang lebih tinggi pada pekerjaaannya dan mendorong kinerja yang lebih baik di masa mendatang.

Simpulan

Dalam menjawab tantangan akan produktivitas dan kualitas kerja yang makin tinggi, manajemen tidak dapat lagi bertumpu pada kebijakan pengelolaaan sumber daya manusia yang berorientasi pada kepuasan karyawan atau komitmen karyawan pada organisasi. Untuk mengatasi persaingan dan menjawan tantangan lingkungan organisasi maka manajemen memerlukan karyawan yang memiliki keterikatan tinggi pada pekerjaaannya. Keterikatan individu yang memungkinkan individu mengembangkan hubungan emosional dengan organisasi dimana mereka bekerja, merasa senasib dan sepenanggungan dalam mewujudkan keberhasilan mencapai tujuan melalui investasi perhatian, kompetensi emosional, teknikal dan intelektual secara berkelanjutan. Pemahaman terhadap lingkungan bisnis, kemampuan komunikasi dan stabilitas emosional individu karyawan akan memberikan kontribusi positif pada proses transformasi untuk mewujdukan visi organisasi sehingga mereka dapat menjadi agen perubahan yang efektif dalam mendorong kearah kondisi yang diharapkan.

Manajemen dapat menerapkan beberapa strategi untuk menumbuhkan keterikatan individu pada pekerjaaan. Strategi tersebut dapat diterapkan pada tahapan

seleksi calon karyawan dan strategi yang diterapkan pada tahapan pasca seleksi karyawan yaitu setelah karyawan bergabung dengan organisasi. Untuk menumbuhkan keterikatan individu karyawan perusahaan/manajemen dapat menetapkan tingkat self esteem individu sebagai salah satu criteria seleksi melengkapi kriteria hasrat berprestasi individu karena self esteem mewakili rekam jejak masa lalu yang mempengaruhi cara pandang individu pada realita dan lingkungan kerja sementara hasrat berprestasi merupakan predictor standar pencapaian individu di masa yang akan datang. Kedua indikator ini terbukti mempengaruhi kinerja individu.

Pada tahapan pasca seleksi individu manajemen dapat menerapkan strategi yang berkaitan dengan perumusan kebijakan manajemen kinerja yang menjabarkan kontribusi individu pada pencapaian unit kerja dan daya saing organisasi dengan dilengkapi indikator kinerja yang bersifat transparan, dapat dikendalikan individu dan verifikatif yang merefleksikan keadilan dan tanggung jawab unit kerja maupun individu. Keterikatan individu yang ditunjukkan oleh pencapaian kemudian hendaknya dihargai secara layak tidak saja dalam bentuk finansial namun juga dalam bentuk pemberian tanggung jawab dan kepercayaan yang lebih besar pada individu sehingga mendorong pencapaian individu yang lebih tinggi dan daya saing organisasi yang lebih kuat.

DAFTAR PUSTAKA

Ferris, D., Lian, H., Brown, D., Pang, F., & Keeping, L.(2010). SELF-ESTEEM AND JOB PERFORMANCE:   THE MODERATING ROLE OF SELF-ESTEEM

CONTINGENCIES.Personnel Psychology, 63(3), 561-593. Retrieved June 20, 2011,

Funk, D., Filo, K., Beaton, A., & Pritchard, M.. (2009). Measuring the Motives of Sport Event Attendance: Bridging the Academic-Practitioner Divide to Understanding Behavior. Sport Marketing Quarterly, 18(3), 126-138.

Glavas, Ante, Piderit, Sandi Kristin, (2009), How Does Doing Good Matter? Effect of Corporate Citizenship on Employees, The Journal of Co, 36.

Holland, R., Wennekers, A., Bijlstra, G., Jongenelen, M., & van Knippenberg, A. (2009). SELF-SYMBOLS AS IMPLICIT MOTIVATORS. Social Cognition, 27(4), 579-600.

John Lane, Andrew M Lane, & Anna Kyprianou. (2004). SELF-EFFICACY, SELFESTEEM AND THEIR IMPACT ON ACADEMIC PERFORMANCE. Social Behavior and Personality, 32(3), 247-256.

Judy P Strauss. (2005). Multi-source perspectives of self-esteem, performance ratings, and source agreement. Journal of Managerial Psychology, 20(5/6), 464-482

Leon, L., & Matthews, L.. (2010). Self-esteem Theories: Possible Explanations for Poor Interview Performance for People Experiencing Unemployment. Journal of Rehabilitation, 76(1), 41-50.

Lesiuk, T.. (2010). The Effect of Preferred Music on Mood and Performance in a High-Cognitive Demand Occupation. Journal of Music Therapy, 47(2), 137-54

Massimo Bergami, & Richard P Bagozzi. (2000). Self-categorization, affective commitment and group self-esteem as distinct aspects of social identity in the organization. The British Journal of Social Psychology,4 39, 555-77.

Michelle K Duffy, Jason D Shaw, & Eric M Stark. (2000). Performance and satisfaction in conflicted interdependent groups: When and how does self-esteem make a difference? Academy of Management Journal, 43(4), 772-782.

Rollin L Astra, & Sangeeta Singg. (2000). The role of self-esteem in affiliation. The Journal of Psychology, 134(1), 15-22.

Schüler, J., Job, V., Fröhlich, S., & Brandstätter, V. (2008). A high implicit affiliation motive does not always make you happy: A corresponding explicit motive and corresponding behavior are further needed. Motivation and Emotion, 32(3), 231242.

Shurbaji, Rania,Mesarra, Erika (2011), Core Self Evaluation: Predictor of Employee Engagement, The Business Review Cambrige, Vol 17, Num.1.

12