PERAN HAMBATAN STRUKTURAL TERHADAP TINGKAT KEBERDAYAAN PEREMPUAN BALI DALAM JABATAN ESELON DI PROVINSI BALI

Anak Agung Istri Ngurah Marhaeni

Pusat Penelitian Kependudukan dan Pengembangan SDM Universitas Udayana Fakultas Ekonomi Universitas Udayana

Email: [email protected]

ABSTRACTS

Females were empowered as workforce and significantly gave contribution for people’s live and economic advance of family and nation. Increasing of Female Labourforce Participation Rate (TPAK) occurred both in national level as well as in Bali Province.. The development of female empowerment in economic subject was not always followed by development of their welfare and power to achieve through salary they earned. This was related to job position or their position in their jobs.

The high percentage of females who were working in the informal sectors became a reflection of low female empowerment in economic subjects. Similarly, the average wage earned by female workers was lower than male worker average wage also became reflection of low female economic empowerment. Female economic empowerment that was lower than males was also reflected by female percentage was successful holding echelon position in Bali Province was only 22.3 percent from the available positions in 2008, with a relatively high variation according to a regency or a town.

The objective of this research was to learn based on models developed on influence or dynamics factors of direct or indirect structural obstacle factors through organisational culture towards Balinese females empowerment in echelon positions. The result from data processing that structural obstacle was negatively affected to female empowerment grade. This result research was suitable with Davidson’s (1996) statement that obstacle in an organization faced by females in their efforts to develop females in workplace was obstacles related to attitude and structural obstacles. Structural obstacle could include procedure, personnel policy, and practises in the organization. Organizational policy and practice could create obstacles to female career development (Bielby, 2000). Discrimination experienced by females in personnel policy could include recruitment process, promotional evaluation system, and training’s opportunity.

Key words: Structural obstacle, empowerment, echelon positions

Pendahuluan

Saat ini partisipasi perempuan dalam pembangunan terlihat di berbagai bidang, salah satunya adalah pemberdayaan mereka di bidang ekonomi. Hall (1991) mengatakan bahwa perempuan sedang membuat terobosan dan memainkan peranan baru sebagai jawaban atas

tuntutan yang berubah dalam masyarakat masa kini. Perempuan diberdayakan sebagai tenaga kerja dan secara signifikan memberikan kontribusi bagi kehidupan masyarakat dan kemajuan ekonomi keluarga maupun bangsa. Perempuan telah masuk pasar kerja dan menempati posisi manajemen serta mereka meraih manajemen puncak atau posisi dewan pengurus (Schruijer, 2006). Ini adalah sebuah bukti lain dari kemajuan yang telah dicapai oleh perempuan. Peluang dan kesempatan tersebut ditunjang oleh perubahan pandangan tentang citra perempuan di berbagai bidang kehidupan masyarakat (Motik, 1991).

Kesempatan perempuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan menjadi lebih terakomodir dengan keluarnya Instruksi Presiden RI No. 9 Tahun 2000, tentang Pengarusutamaan Gender dalam pembangunan nasional. Konsep pengarusutamaan gender merupakan strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi suatu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan serta evaluasi terhadap program pembangunan nasional (Sarjana, 2006: Silawati, 2006). Peraturan tersebut sangat diharapkan berdampak pada peningkatan kesetaraan gender untuk memperoleh kesempatan dalam berpartisipasi pada berbagai kegiatan, sehingga pemberdayaan dan keberdayaan mereka juga akan meningkat.

Salah satu pemberdayaan penting dari perempuan yang mengalami peningkatan pesat adalah di bidang kegiatan ekonomi. Hal ini dapat dilihat dari 2 hal yaitu pertama meningkatnya secara signifikan partisipasi perempuan dalam angkatan kerja khususnya di Propinsi Bali, salah satunya dengan menggunakan indikator Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK). Berdasarkan data dari beberapa periode waktu terlihat bahwa TPAK perempuan di Propinsi Bali terus meningkat dan selalu lebih tinggi daripada TPAK perempuan secara nasional, seperti terlihat pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1 : Perkembangan TPAK perempuan, laki-laki tahun 2000-2010 di Propinsi Bali dan Nasional (%)

No

Tahun

Perempuan Bali

Laki-laki Bali

Perempuan Nasional

1

2000

63,06

86,56

43,98

2

2005

66,80

86,12

48,41

3

2007

67,78

84,78

49,54

4

2009

68,27

83,51

51,77

5

2010

70,16

84,64

51,76

Sumber: BPS, berbagai publikasi *)

*) Sensus Penduduk tahun 2000, Supas 2005

Sakernas tahun 2007, 2009, dan 2010

Jika dilihat Tabel 1 baik TPAK perempuan di Propinsi Bali maupun secara nasional terus mengalami kenaikan. Kenaikan ini juga merupakan cermin bahwa telah terjadi peningkatan pemberdayaan perempuan di bidang ekonomi. Data Tabel 1 tersebut juga memberikan indikasi bahwa aktivitas ekonomi perempuan di Bali jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan secara nasional. Kondisi ini juga tidak terlepas dari persoalan budaya (agama) di Bali yang memandang bekerja adalah sebuah Dharma atau kewajiban yang harus dilakukan baik oleh laki-laki maupun perempuan. Namun demikian jika dibandingkan dengan TPAK laki-laki, TPAK perempuan masih lebih rendah pada semua periode waktu. Kondisi ini juga dapat menjadi cermin bahwa keberdayaan ekonomi perempuan lebih rendah daripada laki-laki.

Selain itu peningkatan juga terjadi pada jumlah bidang pekerjaan yang dapat dimasuki oleh perempuan (Abdullah, 2001). Bidang pekerjaan yang sebelumnya hanya dipegang oleh laki-laki, sekarang secara perlahan sudah dimasuki oleh perempuan, salah satunya seperti di bidang politik dengan munculnya keanggotaan perempuan di parlemen. Peningkatan keterlibatan perempuan secara kuantitatif di bidang ekonomi dapat dikatakan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berkaitan satu dengan yang lainnya. Seperti yang dikatakan oleh Abdullah (2001), adanya kesadaran baru pada diri perempuan, yang didukung oleh pergeseran sistem nilai yang memungkinkan perempuan untuk bekerja di luar rumah.

Meningkatnya pemberdayaan perempuan dalam bidang ekonomi, tidak serta merta akan diikuti oleh meningkatnya kesejahteraan atau keberdayaan mereka yang dicapai melalui tingkat upah yang diperoleh. Hal ini tidak terlepas dari jenis pekerjaan atau posisi perempuan dalam pekerjaannya. Untuk Propinsi Bali pada tahun 2005, sebanyak 70,97 persen perempuan bekerja di sektor informal, dan data terakhir tahun 2010 mengalami kenaikan menjadi 73,04 persen. Dengan demikian pada tahun 2010 hanya sekitar 26,96 persen dalam status formal. Di sisi lain persentase laki-laki yang bekerja di sektor informal jauh lebih rendah yaitu hanya 58,63 persen pada tahun 2005, dan menjadi 60,29 persen tahun 2010, sehingga pada tahun 2010 sekitar 39,71 persen laki-laki bekerja pada status formal (Menneg PP, 2006; BPS, 2010). Banyaknya perempuan yang terserap di sektor informal akan berdampak terhadap upah rata-rata yang diterima oleh pekerja perempuan. Di Propinsi Bali pada tahun 2005 di semua tingkat pendidikan rata-rata upah yang diterima oleh perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Secara total rasio upah perempuan terhadap laki-laki 71,88 persen. Semakin tinggi pendidikan perempuan semakin tinggi pula rasio upah yang diterima. Pada tingkat pendidikan di bawah SD, rasio upah perempuan terhadap laki-laki 64,71 persen, dan pada tingkat perguruan tinggi sebesar 79,61 persen (Menneg PP & BPS, 2006). Dengan demikian dapat dikatakan perempuan juga lebih rendah keberdayaan ekonominya dibandingkan dengan laki-laki.

Bidang-bidang pekerjaan penting dan berupah tinggi cenderung dikerjakan oleh laki-laki, dan diskriminasi ini terjadi tidak hanya karena kapasitas yang dimiliki perempuan, namun juga karena faktor ideologi (Abdullah, 2001). Perempuan cenderung mempunyai pengalaman profesional yang lebih sedikit dan juga kemungkinan yang lebih rendah untuk derajat pendidikan tinggi, yang dapat menghambat pengembangan perempuan ke dalam posisi puncak di bidang administrasi (Whitford,et al, 2007).

Isu-Isu dan Perumusan Masalah Penelitian

Dari berbagai informasi atau data yang telah disampaikan sebelumnya, semua menunjukkan masih terjadi perbedaan keberdayaan pada berbagai kondisi menurut jenis kelamin di Propinsi Bali. Dengan demikian masih terjadi ketimpangan gender pada berbagai bidang, termasuk pada jabatan eselon di Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang akan dikaji selanjutnya. Dari data yang berhasil dikumpulkan persentase perempuan yang memegang jabatan eselon di Propinsi Bali hanya 21,75 persen dan sisanya laki-laki 78,25 persen pada tahun 2005, sedangkan dari data terakhir tahun 2008 persentase perempuan yang menjabat sebanyak 22,33 persen, meskipun telah terjadi peningkatan, namun masih tetap sangat timpang. Dari data pada tahun yang sama persentase perempuan yang menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) sekitar 31,3 persen, dan laki-laki 68,7 persen (Kem Neg. PP dan BPS, 2006). Di sini dapat dijelaskan bahwa persentase perempuan yang memegang jabatan eselon belum menjadi representasi dari PNS perempuan yang ada. Apalagi bila berbicara mengenai representasi PNS perempuan dibandingkan dengan jumlah penduduk perempuan, yang mencapai 49,46 persen dari total penduduk pada tahun 2005, terlihat kondisinya lebih timpang.

Isu-isu yang ada selama ini yang sering dihubungkan dengan rendahnya proporsi perempuan dalam jabatan di birokrasi antara lain berkaitan dengan aspek human capital, variabel sosiopsikologikal, dan variabel sistemik seperti yang disampaikan oleh Newman (1994). Hasil penelitian Zafarullah (2000) di Bangladesh, menyimpulkan bahwa laki-laki yang mendominasi manajemen personalia sektor publik, dan karena persepsi dan sikapnya mempengaruhi kebijakan pengembangan personel yang bias laki-laki. Dengan kebijakan yang dibuat tersebut perempuan mengalami diskriminasi dalam berbagai hal seperti dalam penarikan atau rekrutmen, penempatan, pengembangan, mobilitas maupun kesempatan untuk training. Diskriminasi

subyektif seperti ini menjadi penghalang perempuan dalam jalur karir mereka, seperti promosi yang cenderung bersifat subyektif. Seperti dikatakan oleh Mainiero (1986) terjadi segregasi struktural dari kekuasaan akibat perbedaan mekanisme dalam evaluasi kinerja antara laki-laki dan perempuan, demikian pula perbedaan dalam praktek rekrutmen pegawai. Isu-isu yang senada, juga telah disampaikan oleh Naff dan Thomas (1994) yang menyatakan bahwa rendahnya proporsi perempuan di birokrasi federal terkait dengan beberapa hal. Salah satunya berkaitan dengan faktor-faktor institusional yang secara umum dipandang sebagai isu glass ceiling dalam pengembangan jabatan perempuan di birokrasi. Berdasarkan data yang telah disampaikan dan isu-isu yang berkaitan, maka dapat disampaikan rumusan masalah penelitiannya adalah bagaimana peran hambatan struktural terhadap tingkat keberdayaan perempuan Bali dalam jabatan eselon di Provinsi Bali, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui budaya organisasi. Dengan demikian tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peran hambatan struktural terhadap tingkat keberdayaan perempuan Bali dalam jabatan eselon.

Metode Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini utamanya adalah pendekatan kuantitatif atau positivisme dengan menggunakan teori-teori tertentu yang sudah ada dan hasil-hasil penelitian yang relevan. Meskipun pendekatan utama dalam penelitian ini adalah kuantitatif, namun dalam usaha memberikan makna dibalik data atau fenomena yang dihadapi, juga digunakan penjelasan secara deskriptif dari hasil pengumpulan informasi melalui wawancara mendalam terhadap orang-orang yang dipandang relevan dalam penelitian ini.

Penelitian ini dilakukan di seluruh Pemerintah Daerah (Pemda) kabupaten/kota dan pemda Provinsi Bali, dengan jumlah responden secara keseluruhan sebanyak 310 orang. Sebaran

jumlah responden menurut wilayah tergantung dari jumlah populasi di setiap wilayah. Pengambilan sampel dilakukan dengan Stratified Random Sampling tepatnya Proportionate Stratified Random Sampling. Proporsional di sini berkaitan dengan jumlah sampel yang akan diambil di semua kabupaten/kota, dan di Pemda Provinsi Bali, sesuai dengan jumlah populasinya, dalam arti semakin sedikit jumlah populasi pejabat perempuan di suatu kabupaten/kota, maka semakin sedikit juga jumlah sampelnya, demikian sebaliknya. Responden dalam penelitian ini adalah perempuan Bali yang memegang jabatan eselon IV, III, dan II. Selain itu untuk pengambilan sampel pejabat perempuan, maupun informan lainnya yang diwawancarai secara mendalam atau indepth interview, digunakan metode non probability sampling yaitu tepatnya purposive sampling (sampling bertujuan).

Data dikumpulkan melalui observasi, wawancara, dan wawancara mendalam yang dilakukan terhadap beberapa responden dan juga informan lain yang dipandang perlu untuk memberikan makna yang lebih mendalam mengenai hasil penelitian ini. Untuk menjawab tujuan penelitian atau menguji hipotesis penelitian, teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Model Persamaan Struktural/Structural Equations Models (SEM). Model ini merupakan teknik statistik yang memungkinkan pengujian suatu rangkaian hubungan yang relatif kompleks secara simultan. Hubungan yang kompleks dapat dibangun antara satu atau beberapa variabel dependen dengan satu atau beberapa variabel independen. Uji Model yang dilakukan ada 2 yaitu uji untuk model pengukuran dan uji model persamaan struktural.

Variabel tingkat keberdayaan dibentuk dari 7 indikator yaitu kesejahteraan, akses dalam pekerjaan, kesadaran kritis, partisipasi terdiri atas 2 indikator, dan kontrol terhadap sumber daya juga menggunakan 2 indikator. Variabel hambatan struktural terdiri atas 6 indikator yaitu keraguan terhadap kapabilitas perempuan, persepsi pengambil keputusan terhadap

kekurangefisienan kerja perempuan, diskriminasi pada promosi perempuan, masalah gender dalam penempatan, kecenderungan pandangan negatif atasan atau pengambil keputusan terhadap perempuan, dan diskriminasi kepercayaan atasan atau pengambil keputusan terhadap perempuan. Faktor budaya organisasi dibentuk oleh 5 indikator yaitu penunjukan perempuan untuk proyek yang menantang, pandangan negatif terhadap persaingan/ketegasan perempuan, komitmen untuk kesetaraan gender, persepsi organisasi tentang keterikatan perempuan dalam bekerja, dan tujuan pengangkatan perempuan untuk sebuah jabatan.

Hasil dari penelitian ini (tulisan ini) merupakan bagian kecil dari sebuah hasil penelitian yang lebih besar yang melibatkan banyak variabel laten dan indikator-indikator yang membentuk variabel laten tersebut. Dalam tulisan ini hanya diambil satu variabel eksogen, satu variabel endogen dan variabel antara, demikian pula hasil dari analisis SEM yang telah dilakukan untuk variabel keseluruhan, hanya diambil hasil dari variabel yang dianalisis dalam tulisan ini.

Hasil dan Pembahasan

Measurement model adalah proses pemodelan dalam penelitian yang diarahkan untuk menyelidiki unidimensionalitas dari indikator-indikator yang menjelaskan sebuah faktor atau sebuah varibel laten (Ferdinand, 2002). Indikator-indikator yang diteliti atau diamati akan dikonfirmasi melalui sebuah tehnik confirmatory factor analysis atau tehnik analisis faktor konfirmatori. Model pengukuran ini akan digunakan terlebih dahulu guna menganalisis indikator-indikator pada semua faktor atau variabel laten telah yang dirumuskan. Sebagai contoh disampaikan model pengukuran untuk variabel laten hambatan struktural seperti berikut.

UJI HIPOTESIS

Chi-Square =16.969

Probability =.049

CMIN/DF =1.885

GFI =.982

TLI =.986

CFI =.991

RMSEA =.054

AGFI =.959

Gambar 1: Model pengukuran variabel hambatan struktural

Dengan melihat nilai loading factor atau lambda dari variabel hambatan struktural seperti terlihat pada Gambar 1, yang semuanya lebih besar atau sama dengan 0,4 dan nilai CR yang lebih besar atau sama dengan 2, yaitu masing-masing 12,943; 14,444; 12,088; 13,661; dan 14,464 maka dapat disimpulkan semua indikator berdimensi sama dengan indikator lainnya yang membentuk atau menjelaskan variabel laten hambatan struktural.

Selain uji signifikansi bobot faktor seperti yang telah dijelaskan sebelumnya dengan menggunakan nilai loading factor dan nilai CR, ada satu lagi uji untuk model pengukuran adalah uji kesesuaian model (Goodness of fit Test) dengan melihat nilai-nilai dari indeks-indeks kesesuaian model beserta besaran nilai yang dipersyaratkan seperti yang tercantum pada Tabel 2.

Tabel 2: Indeks kesesuaian (goodness of-fit index) variabel hambatan struktural

No

Goodness of-fit index

Cut off value

Hasil

1

Chi square (X2)

Diharapkan kecil

16,97

2

Probability

0,05

0,05

3

RMSEA

0,08

0,05

4

GFI

0,90

0,98

5

AGFI

0,90

0,96

6

CMIN/DF

2,00

1,88

7

TLI

0,95

0,99

8

CFI

0,95

0,99

Sumber: Hasil pengolahan data primer

Dengan memperhatikan nilai-nilai yang dipersyaratkan dan hasil yang diperoleh dari pengolahan data yang dilakukan seperti yang tercantum dalam Tabel 2, maka model pengukuran yang telah dibuat dapat diterima karena semua nilai yang dipersyaratkan untuk indeks-indeks kesesuaian dapat dipenuhi oleh model yang dibuat. Dengan kata lain semua indikator yang dibuat dapat mencerminkan variabel laten hambatan struktural yang dianalisis. Demikian pula untuk variabel laten tingkat keberdayaan dan budaya organisasi semua memenuhi nilai-nilai yang dipersyaratkan sehingga semua indikator yang digunakan untuk ke dua variabel laten tersebut masing-masing berdimensi sama dengan indikator lainnya yang membentuk atau menjelaskan variabel laten masing-masing. Setelah dilakukan uji model pengukuran selanjutnya dilakukan uji hipotesis untuk variabel hambatan struktural terhadap tingkat keberdayaan seperti berikut.

Variabel hambatan struktural ini dapat dikatakan sebagai variabel eksternal yang berada di luar diri perempuan tepatnya di lingkungan kerja dimana perempuan tersebut bekerja. Hambatan struktural ini merupakan hambatan dalam organisasi untuk pengembangan perempuan di tempat kerja, yang meliputi kebijakan personalia, prosedur, dan praktek-praktek organisasi (Davidson, 1996). Seperti yang dikatakan oleh Davidson selanjutnya walaupun secara umum diskriminasi terang-terangan dalam kebijakan personalia dan prakteknya telah berkurang, namun berbagai bentuk diskriminasi secara tidak langsung masih ada. Diskriminasi dalam praktek personalia juga

ditemukan dalam rekrutmen, sistem penilaian promosi, dan peluang untuk training khususnya untuk perempuan yang bekerja pada jabatan non tradisonal. Dikatakan juga para pengusaha juga kecil kemungkinannya untuk membiayai training pegawai perempuan di luar tempat kerja dibandingkan dengan pekerja laki-laki. Selain itu laki-laki muda juga lebih besar kemungkinannya daripada perempuan muda untuk mendapatkan pelatihan yang baru. Pengusaha-pengusaha juga sering enggan untuk mentraining kembali perempuan yang masuk lagi ke pasar kerja setelah berhenti, meskipun mereka telah memiliki beberapa tahun masa kerja. Dari beberapa pandangan yang disampaikan oleh Davidson tahun 1996 tersebut, dapat dikatakan terjadi diskriminasi terhadap perempuan atau terdapat perlakuan yang berbeda yang diterima oleh perempuan di tempat kerja.

Dengan perbedaan perlakuan seperti ini sangat besar kemungkinannya pengembangan perempuan di tempat kerja akan terhambat. Dampak selanjutnya dapat diperkirakan perempuan akan lebih rendah kemungkinannya untuk meraih peluang jabatan yang ada. Dengan memperhatikan hal tersebut dapat dikatakan bahwa praktek-praktek personalia yang dilakukan oleh pengambil kebijakan dengan kewenangan yang dimiliki serta berada dalam struktur tertentu di sebuah organisasi dapat dipandang sebagai sebuah hambatan struktural yang dihadapi oleh perempuan dalam hubungannya dengan pengembangan karirnya. Berdasarkan pemahaman tersebut dapat dirumuskan hipotesisnya sebagai berikut.

Ho: Tidak ada pengaruh negatif variabel hambatan struktural terhadap tingkat keberdayaan perempuan Bali dalam jabatan eselon, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui budaya organisasi

Hi: Ada pengaruh negatif variabel hambatan struktural terhadap tingkat keberdayaan perempuan

Bali dalam jabatan eselon, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui budaya

organisasi

Dengan mengambil sebagian gambar dari model lengkap yang telah dibangun pada penelitian yang lebih besar (penelitian dengan seluruh variabel) dapat disampaikan pengaruh atau dinamika variabel hambatan struktural terhadap tingkat keberdayaan perempuan Bali dalam jabatan eselon, seperti pada Gambar 2.

Variabel hambatan struktural ini yang dihipotesiskan berpengaruh negatif terhadap tingkat keberdayaan perempuan Bali, dalam analisis SEM hasilnya bertanda positif, namun tidak mengubah makna dari pengaruh hambatan struktural tersebut. Pernyataan yang dirancang dalam instrumen untuk variabel hambatan struktural ini sesuai dengan makna hambatan yaitu berbentuk atau memiliki arti negatif, namun dengan membalikkan skor untuk masing-masing alternatif jawaban yang ada maka arah pengaruhnya menjadi positif.

Gambar 2 : Pengaruh hambatan struktural terhadap tingkat keberdayaan baik secara langsung maupun tidak langsung

Dari hasil analisis SEM yang dibuat diperoleh nilai dari regression weight bertanda

positif (0,166) dengan probabilitas 0,000 yang lebih rendah daripada 0,05. Dengan menggunakan

nilai CR 4,364 yang lebih besar daripada 2, juga memberikan makna bahwa variabel hambatan struktural berpengaruh signifikan terhadap tingkat keberdayaan perempuan Bali dalam jabatan eselon. Selain pengaruh langsung tersebut variabel hambatan struktural berpengaruh juga secara tidak langsung terhadap tingkat keberdayaan melalui variabel budaya organisasi. Hasil nilai probabilitas yang diperoleh sebesar 0,000 dengan nilai CR 3,703 dari pengaruh variabel hambatan struktural terhadap variabel budaya organisasi. Untuk melihat besarnya pengaruh dari masing-masing variabel laten yang diteliti terhadap tingkat keberdayaan digunakan data yang distandarisasi. Berdasarkan data tersebut direct effect dari variabel hambatan struktural terhadap tingkat keberdayaan 0.255 dengan indirect effect sekitar 0.065 sehingga total effect-nya sebesar 0,320. Nilai ini menunjukkan bahwa variabel hambatan struktural berpengaruh siginifikan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui variabel antara budaya organisasi terhadap tingkat keberdayaan perempuan Bali dalam jabatan eselon.

Dengan menggunakan salah satu indikator yang telah dirancang sebagai contoh dalam analisis dengan arah pengaruh positif adalah tentang perasaan ragu dari atasan/pengambil keputusan laki-laki terhadap kapabilitas kerja perempuan. Dengan membalikkan skor yang dibuat untuk analisis dalam SEM, hasil pengaruh positif yang diperoleh dapat diartikan semakin tinggi rasa ketidakraguan atasan/pengambil keputusan laki-laki terhadap kapabilitas kerja perempuan, maka akan semakin tinggi pula tingkat keberdayaan perempuan Bali dalam jabatan eselon. Dengan memberikan makna lebih lanjut dimana rasa ketidakraguan yang semakin tinggi dapat diartikan sebagai hambatan struktural yang semakin rendah, maka selanjutnya dapat dimaknai semakin rendah hambatan struktural, maka akan semakin tinggi tingkat keberdayaan perempuan Bali dalam jabatan eselon. Demikian sebaliknya semakin tinggi hambatan struktural yang ada, maka akan semakin rendah tingkat keberdayaan perempuan Bali dalam jabatan eselon.

Dengan interpretasi ini dapat dimaknai selanjutnya bahwa dalam penelitian ini variabel hambatan struktural berpengaruh negatif signifikan terhadap tingkat keberdayaan perempuan Bali. Dengan melihat hasil statistik yang telah dijelaskan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa hipotesis yang menyatakan bahwa variabel hambatan struktural berpengaruh negatif signifikan terhadap tingkat keberdayaan perempuan Bali dalam jabatan eselon baik secara langsung maupun tidak langsung melalui budaya organisasi dapat diterima atau terbukti dalam penelitian ini. Hasil wawancara mendalam tentang faktor ini dapat disampaikan sebagai berikut.

Saya sangat yakin dan setuju bahwa informal network berperan besar dalam pengangkatan pegawai dalam jabatan. Meskipun seorang pegawai merasa mampu, persyaratan sudah memenuhi, namun dia tidak dikenal oleh pimpinan atau dengan kata lain dia tidak memiliki informal network kepada pengambil kebijakan maka tidak mungkin dia akan dipilih sebagai pejabat terutama pada jabatan strategis. Perempuan memiliki banyak keterbatasan dalam masuk ke dalam informal network, misalnya masuk dalam organisasi- organisasi olah raga misalnya sehingga laki-laki yang akan lebih banyak masuk dalam jaringan tersebut. Sering kata-kata yang muncul sebagai cermin dari pentingnya jaringan informal adalah orang ini tidak pernah kelihatan (ye soalne sing taen ngenah), karena dia tidak ikut di sini dan tidak ikut di sana (wawancara tanggal 29 Juli 2009).

Pernyataan dari responden tersebut mencerminkan bahwa seseorang dikenal atau tidak oleh pemegang kebijakan atau oleh seseorang yang memiliki akses kepada pengambil kebijakan memiliki peran penting dalam meningkatkan keberdayaan perempuan. Jika seseorang sudah dikenal maka cenderung dapat menghapuskan keraguan dari penentu kebijakan terhadap kemampuan seseorang.

Hambatan struktural dapat meliputi prosedur, kebijakan personalia, dan praktek-prakteknya dalam organisasi. Kebijakan dan praktek organisasi dapat menciptakan hambatan untuk pengembangan karier perempuan (Bielby, 2000). Diskriminasi yang dialami oleh perempuan pada kebijakan personalia dapat meliputi proses rekrutmen, sistem penilaian promosi, dan kesempatan untuk training. Organisasi masih ada yang menggunakan interview non standar untuk proses seleksi yang kemungkinan akan terjadi bias terhadap calon minoritas seperti

perempuan. Kebijakan dan praktek organisasi juga dapat menjadi sumber sistematis dari bias dan diskriminasi terhadap minoritas termasuk pada perempuan.

Dari hasil penelitian ini faktor hambatan struktural dengan menggunakan 6 indikator secara rata-rata adalah sekitar 57,4 persen yang merasa tidak mengalami hambatan struktural di tempat kerjanya. Indikator hambatan struktural yang paling tinggi dirasakan oleh responden adalah atasan/pengambil keputusan laki-laki mempersepsikan perempuan kurang efesien daripada laki-laki dalam bekerja yaitu sekitar 44,5 persen yang merasakan seperti itu. Persentase yang paling rendah yaitu sekitar 40,7 persen responden merasa bahwa masalah gender menjadi faktor dalam menempatkan perempuan dalam posisi tertentu. Responden yang merasa tidak mengalami hambatan struktural dengan persentase rata-rata yang lebih tinggi daripada yang merasakannya, dapat dimaknai bahwa budaya organisasi yang cenderung paternalistik di birokrasi telah berubah menjadi semakin egaliter.

Individu dan kelompok yang dominan secara sistematis dan dengan sengaja mengeluarkan minoritas dan perempuan dari jabatan tertentu seperti tulisan Green (2003) di Amerika Serikat, meskipun hal ini telah berkurang karena ada undang-undang anti diskriminasi. Green (2003) juga menyampaikan temuannya bahwa manajer perempuan dengan human capital yang sama dengan laki-laki kolega mereka seperti training dan pengalaman, namun secara terus menerus menerima upah yang lebih rendah. Stereotipe dapat menyebabkan diskriminasi karena adanya bias pengambil kebijakan dalam memproses informasi mengenai orang lain termasuk tentang kepercayaan pengambil kebijakan mengenai peranan sosial seseorang. Lebih lanjut Green (2003) menyatakan bahwa ketika seorang perempuan yang agresif tidak dipromosikan disebabkan pengambil kebijakan untuk promosi berpikir bahwa perempuan harus sopan dan berkata lemah lembut atau bahwa perempuan harus menghabiskan waktunya dengan keluarga

mereka. Ini adalah diskriminasi berbasis jenis kelamin. Stereotipe normatif dari pengambil keputusan mengenai cara-cara bagaimana perempuan harus berperilaku dan peran mereka yang semestinya di masyarakat telah mempengaruhi persepsi dan evaluasinya tentang calon/kandidat yang telah memotivasi keputusannya untuk menghindari promosi bagi perempuan. Fenomena ini oleh Green (2003) disebut sebagai a structural disparate treatment theory atau teori perlakuan yang berbeda secara struktural yang dimungkinkan terjadi dan bahkan didorong oleh struktur, praktek-praktek, dan dinamika dari organisasi dan kelompok-kelompok dalam kerja individu. Seperti yang dikatakan oleh Romanienko (2000) dari hasil penelitiannya bahwa jenis atau struktur pekerjaan juga dapat menghambat mobilitas pekerjaan yang dialami oleh perempuan.

Hoobler, dkk (2009) dengan menggunakan Teori Peranan Sosial (Social Role Theory) pada penelitian dengan responden manajer dan bawahan di US, menemukan gender mempengaruhi mobilitas ke atas bagi perempuan melalui persepsi atasan terhadap konflik keluarga-kerja dan persepsi tentang kecocokan. Teori Peranan Sosial menyatakan manajer perempuan terjepit dalam 2 keadaan yaitu: 1) tidak berhubungan dengan manajemen yang efektif, dan 2) berhubungan dengan pengasuhan atau pemeliharaan, serta peran sosial komunal. Stereotipe yang berhubungan dengan perempuan secara spesifik adalah peranan pemeliharaan, karena tanggung jawab untuk melahirkan menyebabkan perempuan kurang komitmennya untuk karier mereka.

Peranan pemeliharaan tidak dihargai di pasar kerja dan di organisasi serta tidak cocok dengan peran kepemimpinan. Secara khusus ditemukan bahwa atasan cenderung menganggap perempuan mengalami konflik keluarga-kerja yang lebih besar. Kondisi ini mempengaruhi persepsi atasan tentang kococokan dan kinerja dengan pandangan pekerja perempuan kurang cocok dengan organisasi dan kerja mereka, dan pada akhirnya persepsi ini secara langsung

mempengaruhi promosi perempuan. Meskipun pekerja perempuan secara aktual mengalami konflik keluarga-kerja lebih rendah daripada pekerja laki-laki kolega mereka, namun atasan masih atau tetap mempersepsikan mereka memiliki konflik keluarga-kerja yang lebih besar, dan persepsi tersebut secara signifikan mempengaruhi pengembangan perempuan dalam organisasi. Perempuan diistilahkan mengalami glass ceiling di tempat kerja. Istilah ini dipopulerkan tahun 1980-an dan merujuk pada hambatan-hambatan yang dialami perempuan untuk mobilitas ke atas dalam organisasi. Afza & Newas (2008) menyatakan kiasan kaca (glass) menunjuk pada hambatan-hambatan yang tidak kentara dimana riset pada fenomena ini difokuskan pada identifikasi praktek-praktek organisasi dan bias interpersonal yang menghambat pengembangan perempuan. Lyness & Thompson (2000) menyatakan glass ceiling lebih membatasi pengembangan perempuan daripada kurangnya kualifikasi perempuan (Tai & Sims, 2005).

Perlakuan yang berbeda atau diskriminasi juga terjadi jika terjadi suatu kondisi dimana perempuan akan dipromosikan apabila lebih baik daripada laki-laki. Jadi perempuan harus memiliki prestasi kerja yang lebih baik daripada laki-laki agar dapat dipromosikan. Dengan hasil SEM pada nilai regression weight memberikan makna bahwa semakin tidak ada pandangan bahwa perempuan harus lebih baik daripada laki-laki agar dapat dipromosikan (hambatan struktural semakin rendah), maka akan semakin tinggi tingkat keberdayaan perempuan Bali dalam jabatan eselon. Makna ini juga berarti bahwa hambatan struktural memberikan pengaruh negatif terhadap tingkat keberdayaan perempuan Bali dalam jabatan eselon. Hasil ini didukung oleh pernyataan seorang responden yang memegang jabatan eselon II di Pemerintah Daerah Provinsi Bali yang menyatakan hal berikut.

Dari pengalaman yang saya miliki, saya merasa bahwa perempuan untuk dapat dipromosikan, apalagi untuk jabatan yang strategis misalnya eselon II, perempuan harus memiliki prestasi yang melebihi laki-laki. Jika tidak demikian perempuan tidak akan dilirik, prestasi kerja yang sama saja dengan laki-laki perempuan tidak akan diberi

kesempatan apalagi jika prestasi kerjanya lebih rendah. Seperti dikatakan oleh responden lainnya bahwa perempuan agar dipilih memegang jabatan harus memiliki prestasi yang demikian cemerlang, sedangkan laki-laki belum tentu berprestasi tetapi nyatanya dipilih (wawancara 16 Juli 2009).

Pernyataan dari salah seorang responden pejabat perempuan tersebut memperkuat hasil kuantitatif yang telah diperoleh dimana memang masih terjadi diskriminasi terhadap perempuan dalam rangka meraih jabatan eselon terutama untuk jabatan eselon II yang dipandang sebagai jabatan yang strategis karena mengepalai dinas, badan atau kantor. Walaupun diskriminasi tidak secara terang-terangan di sampaikan secara verbal, namun mereka dapat merasakan bahwa masih terjadi diskriminasi yang sudah tentu mereka tidak harapkan.

Simpulan

Dari hasil analisis yang dilakukan terlihat bahwa variabel hambatan struktural berpengaruh signifikan terhadap tingkat keberdayaan perempuan Bali dalam jabatan eselon. Hal ini memberi makna bahwa variabel ini masih menjadi kendala bagi para perempuan di birokrasi dalam usaha meningkatkan status atau jabatan mereka. Disinilah peran besar atau komitmen tinggi dibutuhkan khususnya bagi pengambil kebijakan tertinggi untuk memberi kesempatan pada perempuan, sehingga kesetaraan gender di bidang jabatan di birokrasi dapat diwujudkan.

Secara umum arah pengaruh semua variabel yang dihipotesiskan sesuai dengan temuan yang diperoleh dalam penelitian ini. Demikian pula hasil penelitian sebelumnya hampir semua mendukung atau sesuai dengan temuan ini. Hal ini berarti temuan penelitian ini memperkuat hasil-hasil penelitian sebelumnya dengan wilayah riset yang berbeda. Salah satu temuan spesifik di sini adalah budaya organisasi menjadi variabel antara dalam mempengaruhi keberdayaan perempuan.

Khusus untuk jabatan eselon II, perempuan yang berhasil memegang jabatan ini demikian timpang jika dibandingkan dengan eselon lainnya. Hal ini ditunjukkan selain dari data sekunder

juga berdasarkan jumlah responden pejabat perempuan yang memegang jabatan eselon II pada penelitian ini. Jumlah dan persentase perempuan yang berada pada eselon II sangat sedikit jika dibandingkan dengan eselon-eselon yang lainnya, maka sangat dibutuh program affirmative Action (diskriminasi positif) untuk sementara waktu guna mempercepat peningkatan keberdayaan perempuan Bali dalam jabatan eselon II tersebut mengingat persyaratannya dapat dipenuhi oleh perempuan berdasarkan informasi dari hasil wawancara mendalam. Sampai saat ini belum ada program Affirmative Action di wilayah Provinsi Bali, baik di tingkat kabupaten/kota maupun di tingkat provinsi. Di sini tetap dibutuhkan peran kementrian pemberdayaan perempuan untuk mengakomodir kebijakan ini dengan melakukan pendekatan ke pemerintah daerah.

Banjar adat maupun desa pekraman dapat berperan dalam meningkatkan keterlibatan perempuan sebagai anggotanya, utamanya dalam rapat-rapat (peparuman) yang diadakan secara berkala oleh lembaga-lembaga tersebut. Peran perempuan dalam hal ini dapat lebih ditingkatkan untuk pengambilan keputusan bagi kepentingan banjar maupun desa pekraman tersebut. Hal ini dimungkinkan mengingat sudah ada banjar adat di wilayah-wilayah tertentu yang melakukan peparuman jangkep (rapat yang dihadiri oleh laki-laki dan perempuan). Pada umumnya peparuman jangkep ini dilakukan untuk hal-hal yang nantinya melibatkan perempuan dalam pelaksanaannya misalnya dalam kaitannya dengan pelaksanaan upacara adat dan agama yang akan dilaksanakan oleh banjar atau desa pekraman tersebut. Dengan demikian kemungkinan untuk meluaskan lagi jangkauan peran perempuan dalam peparuman-peparuman tersebut khususnya dalam pengambilan keputusan di bidang lainnya dapat dilakukan.

Daftar Pustaka

Abdullah, Irwan. 2001. Seks, Gender & Reproduksi Kekuasaan. Yogyakarta: Tarawang Press

Afza, S.R, dan Newas, M.K. 2008. Factors Determining The Presence of Glass Ceiling and Influencing Women Career Advancement in Bangladesh. BRAC University Journal, Vol. V, No. 1, 85-92.

Bielby, W. T. 2000. Minimizing Workplace Gender and Racial Bias. Contemporary Sociologi. Vol 29, No. 1, 120-129.

BPS. 2001. Penduduk Bali, Hasil Sensus Penduduk Tahun 2000, Jakarta : BPS

BPS. 2006. Penduduk Provinsi Bali, Hasil Survei Penduduk Antar Sensus 2005. Jakarta: BPS

BPS. 2007. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia Februari 2007. Jakarta: BPS

BPS. 2009. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia Februari 2009. Jakarta: BPS

BPS. 2011. Keadaan Pekerja di Indonesia Agustus 2010. Jakarta: BPS

Davidson, M J. 1996. Women and Employment. dalam Peter Warr (ed): Psychology at work. London: Penguin Group.

Green, Tristin. K. 2003. Discrimination in Workplace Dynamics: Toward a structural account of Disparate Treatment Theory. Harvard Civil Rights-Civil Liberties Law Review. Vol. 38, 91-158.

Hall, Ingrid M. 1991. Perempuan Karir : Sebuah Ilustrasi dari Kanada, dalam Milly G Tan (ed) : Perempuan Indonesia Perempuan Masa Depan?. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.

Hoobler, JM, S J Wayne, dan Grace Lemon. 2009. Bosses’ Perception of Family-Work Conflict and Women’s Promotability: Glass Ceiling Effects. Academy of Management Journal . Vol. 52, No. 5, 939-957.

Ferdinand, A. 2002. Structural Equation Modeling Dalam Penelitian Manajemen. Semarang : BP UNDIP.

Kementerian Negara PP dan BPS. 2006. Statistik Gender dan Analisis Provinsi Bali Tahun 2006. Denpasar : BPS.

Mainiero, Lisa A. 1986. Coping With Powerlessness: The Relationship of Gender and Job Dependency to Empowerment Strategy Usage. Administrative Science Quarterly. Volume 31. 633-653.

Motik, Dewi. 1991. Kiat Sukses Perempuan Pengusaha. dalam Mily G Tan (ed) : Perempuan Indonesia Perempuan Masa Depan?. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.

Naff, Katherine C dan Sue Thomas. 1994. The Glass Ceiling Revisited: Determinants of Federal Job Advancement. Policy Studies Review. Vol. 13: 3/4, 249-272.

Newman, M A. 1994. Gender and Lowi’s Thesis: Implications for Career Advancement. Public Administration Review. Vol. 54 No. 3, 277-284.

Romanienko, L. A. 2000. Structural Impediments to Managerial Mobility in Industrialised Nations. Women In Management Review. Vol. 15, No. 8, 415-428.

Sarjana. 2006. Partisipasi Perempuan dalam Pengembangan Agrowisata di Dusun Dukuh, di Desa Sibetan Karangasem. Srikandi, Jurnal Studi Gender. Vol. VI No 2 Denpasar : PSW Unud.

Silawati, Hartian. 2006. Pengarusutamaan Gender: Mulai Dari Mana. Jurnal Perempuan. No. 50, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

Schruijer, S.G.L. 2006. Do Women Want to Break the Glass Ceiling? A Study of their Career Orientations and Gender Identity in Netherlands. Management Review. Vol. 17, Issue 2, 143-154.

Tai, An-Ju R, Randi L. Sims. 2005. The Perception of The Glass Ceiling in High Technology Companies. Journal of Leadershipand Organizational Studies. Vol.12, No.1, 16-23.

Whitford, A B, Wilkins C M, dan Ball M G. 2007. Descriptive Representation and Policymaking Authority: Evidence from Women in Cabinets and Bureaucracies. An International Journal of Policy, Administration, and Institutions, Vol. 20, No.4, 559 – 580.

Zafarullah, Habib. 2000. Through the Brick Wall, and The Glass Ceiling: Women in the Civil Service in Bangladesh. Gender, Work and Organization. Volume 7, No.3, 197-209.

21