1

PEREMPUAN BERPELUH YANG TAK MENGELUH: STUDI TENTANG

PEREMPUAN PEDAGANG SAYUR DI PASAR BATURITI, TABANAN, BALI

Ni Made Wiasti

Fakultas Sastra Universitas Udayana

ABSTRACT

Trade business has become an important attraction to women because it is appropriate with their physical ability and skill in bargaining activity as an essential element in trading.

The involvement of women in trade business offers several advantages. Among others, they can earn their own income so they have contribution to the household economy. Women traders are also able to meet their social obligations as members of village communities such as by giving donation during religious ceremonies and customary-related activities. In the pattern of decision making, they also gain autonomy within the household to decide the daily household interests as well as to show off their very important role in the household economy. Socially and culturally, women traders also earn a place in society as well as find a new status and network of relationships to other people who are not known before. As a result, they can improve their knowledge and broaden their perspective.

Keywords: Women traders, household economy, decision-making

Pendahuluan

Banyak julukan yang diberikan kepada sosok perempuan Bali, mulai dari perempuan tangguh, pekerja keras, tidak pilih-pilih pekerjaan, sampai pada pekerja kasar. Bahkan dalam sebuah diskusi perkuliahan ada seorang mahasiswa S3 berasal dari luar Bali menyatakan keheranannya melihat perempuan Bali bekerja di pasar sejak pagi sampai sore, sore sampai malam, dan malam sampai pagi begitu seterusnya. Sementara yang lain (tetap berasal dari luar Bali) berujar “kalau menurut saya roda perekonomian Bali sesungguhnya sepenuhnya dikendalikan oleh kaum perempuan”, begitu katanya. Mungkin karena tidak tahan lalu seorang mahasiswa asli Bali angkat bicara juga. Begini katanya:

......”apa yang dikatakan oleh bapak-bapak tadi memang benar adanya. Seperti saudara saya, setiap jam lima sore dia ngantar istrinya untuk berjualan daging ayam di pasar Badung, dan esok hari jam 9 pagi dia jemput istrinya kembali,

begitu seterusnya. Bagi perempuan Bali bekerja adalah untuk membantu suami dan menambah ekonomi keluarga, begitu katanya”.

Ungkapan-ungkapan semacam itu adalah representasi dari sebuah citra atau image tentang perempuan Bali. Seorang Antropolog Cliford Geetz yang cukup lama melalukan penelitian di Bali pun mencitrakan laki-laki Bali sebagai tukang sabung ayam dan perempuannya yang bekerja keras. Meskipun realitas sesungguhnya tidaklah persis seperti itu.

Secara historis sesungguhnya keterlbatan perempuan Bali sudah dimulai semenjak manusia mengenal sistem bercocok tanam. Kehidupan masyarakat Bali yang bercirikan masyarakat agraris, dalam lingkungan sosial budaya yang dilatarbelakangi pilosofi Agama Hindu, dan kondisi ekologis setempat memberikan corak yang khas terhadap masyarakat Bali. Sebagai daerah agraris, Lapangan kerja tertua yang ditekuni perempuan selain pekerjaan rumah tangga adalah di bidang pertanian.

Seiring dengan menyempitnya lahan pertanian mengakibatkan menurunnya kesempatan tenaga kerja perempuan di bidang pertanian. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya peralihan pekerjaan dari sektor pertanian ke nonpertanian. Salah satu bagian dari pekerjaan di sektor yang banyak menyerap tenaga kerja adalah sektor perdaganagn yang menjual hasil-hasil pertanian. Sektor perdagangan di pedesaan merupakan sektor ekonomi yang mudah dimasuki oleh perempuan karena tidak banyak menuntut persyaratan yang ketat (easy entry sector).Usaha ini bersumber dari sumber lokal (hasil-hasil pertanian), usaha berbentuk perorangan atau keluarga dan dapat dimasuki oleh perempuan yang berpendidikan rendah (Syahrir dalam Effendi, 1996). Akibatnya sektor perdagangan di pasar-pasar pedesaan dengan menjual hasil-hasil pertanian didominasi oleh kaum perempuan, seperti yang terjdi di pasar Baturiti, Tabanan Bali

Adalah pasar Baturi yang memiliki lokasi sangat strategis yang berfungsi sebagai pintu gerbang keluar masuk hasil-hasil pertanian. Pasar Baturiti tergolong jenis pasar permanen nonperiodik, yakni pasar yang mempunyai skala kegiatan relatif besar dan berlangsung setiap hari. Komuditi barang-barang dagangan yang tersedia bervariasi dari jenis sayur-mayur, buah-buahan, peralatan kebutuhan rumah tangga,

dan peralatan pertanian tersedia di pasar Baturiti. Di pasar inilah terdapat banyak perempuan yang melakukan aktivitas perdagangan, terutama pedagang sayur mayur.

Masuknya perempuan ke sektor ekonomi sebagai pedagang sayur sangat menarik untuk dikaji karena kondisi ini menegaskan telah terjadi pergeseran makna terkait dengan ideologi gender tentang oposisi binier bahwa perempuan simbol domestik dan laki-laki simbol publik. Untuk itu, tulisan ini akan mengkaji hubungan gender perempuan pedagang sayur di pasar (publik) dan dalam keluarga dan masyarakat (domestik). Kajian akan dibagi menjadi tiga bagian: pertama diawali dengan pembahasan tentang kondisi pasar dan keberadaan perempuan pedagang sayur di dalamnya, kedua dilanjutkan dengan pembahasan tentang ativitas perempuan pedagang sayur dan relasi-relasi yang terjadi tidak saja menunjukan hubungan bisnis tetapi juga seperti sebuah keluarga, sehingga keberadaan pasar bermakna sebagai dunia publik sekaligus dunia domestik, ketiga diakhiri dengan pembahasan tentang implikasi keterlibatan perempuan sebagai pedagang dalam ruamh tangga dan masyarakat.

Pasar Sebuah Dunia Perempuan Pedagang Sayur

Kehadiran pasar di desa Baturiti tidak hanya bermnanfaat besar bagi mereka yang terlibat dalam aktivitas pasar tetapi juga bagi masyarakat sekitarnya. Peluang kerja dan peningkatan kesejahteraan penduduk merupakan satu aspek yang tampak dari proses ini. Pasar pada umumnya masih mengandalkan tenaga manusia dalam aktivitas operasionalnya sehingga menyerap tenaga kerja. Keberadaan pasar di Desa Baturiti mempunyai beberapa keuntungan. Pertama, menciptakan peluang kerja. Secara umum penyerapan tenaga kerja perempuan lebih banyak dibandingkan tenaga kerja laki-laki karena jenis pekerjaan yang tersedia bagi laki laki relatif lebih sedikit dibandingkan dengan perempuan. Tidak sedikit dari laki-laki terutama dari golongan muda yang semula bekerja sebagai petani, kemudian memilih berganti pekerjaan sebagai pelayan toko dan restoran, clening service di Mal, dan buruh bangunan di Denpasar. Pilihan ini didasarkan pada kenyataan bahwa pekerjaan tersebut memungkinkan mereka untuk menerima upah yang lebih tinggi dan pekerjaan tersebut dipandang lebih baik dari bertani. Di pihak lain,

pada tenaga kerja perempuan terutama yang sudah berkeluarga justru sebaliknya. Banyak perempuan yang semula bekerja di pertanian, kemudian memilih bekerja sebagai pedagang sayur karena di sektor pertanian kesempatan pekerjaan semakin berkurang akibat jumlah penduduk yang semakin meningkat.

Hal ini juga terjadi pada sebagian besar dari masyarakat desa Baturiti mengembangkan sektor pertanian, terutama pertanian sayur mayur, sehingga komuditi ini sangat mudah diperoleh dan dengan harga yang relatif murah. Selain itu, letak pasar Baturiti yang berada dekat dengan kaki gunung Bedugul yang dikelilingi oleh perkebunan sayur mayur dan berada di tepi jalan utama. Posisi seperti ini sangat menguntungkan pasar Baturiti dalam kaitannya dengan perdagangan sayuran antar wilayah dan sebagai distribusi komuditi sayuran untuk daerah perkotaan.

Keterlibatan perempuan sebagai pedagang sayur di pasar Baturiti sangat dominan. Hal ini disebabkan selain tergeserya pekerjaannya perempuan di sektor pertanian, kondisi nini juga pertanda pembagian jenis pekerjaan berdasarkan jenis kelamin, yakni laki-laki di bidang pertanian dan perempuan di bidang perdagangan. Pekerjaan berdagang dianggap lebih cocok bagi perempuan karena pekerjaan ini sesuai dengan simbol-simbol keperempuanan, seperti fisik yang lemah, sifat telaten dan sabar. Berbeda dengan pekerjaan di bidang pertanian yang membutuhkan kemampuan fisik yang lebih besar dan yang secara alamiah tidak dimiliki oleh perempuan, seperti membajak sawah. Namum perempuan masih bisa terlibat dalam sektor pertanian seperti membersihkan gulma, menanam padi dan memanen padi. Pada saat tenaga kerja perempuan kurang dibutuhkan pada sektor pertanian dan kesempatan kerja semakin terbatas kehadiran pasar di Desa Baturiti merupakan peluang kerja yang baik dalam mengurangi pengangguran di pedesaan.

Kedua, meningkatan kesejahteraan penduduk. Pasar di Desa Baturiti selain memberikan alternatif pekerjaan juga dapat memberikan sumber penghasilan bagi masyarakat, baik sebagai penghasilan pokok, maupun sampingan. Sebagian besar dari perempuan pedagang berasal dari keluarga ekonomi lemah, yang suaminya memiliki tanah pertanian dengan luas sekitar 0,23 Ha. Hasil tersebut kurang mencukupi untuk kebutuhan makan sehari hari. Hasil-hasil dari pertanian ini baru dapat dinikmati sesuai dengan masa panen yang berkisar antara tiga atau empat bulan. Untuk memenuhi

kebutuhan sehari hari perempuan juga harus mampu memperoleh penghasilan dan salah satu alternatif adalah melalui berdagang sayur. Hal ini terbukti dari sebagian besar keluarga petani, salah satu anggota keluarganya, terutama perempuan sebagai istri memiliki profesi sebagai pedagang sayur di pasar.

Perempuan apapun statusnya dalam perkawinan adalah pengelola rumah tangga. Oleh karena itu, merekalah yang paling merasakan bagaimana sulitnya mempertahankan ekonomi rumah tangga. Mereka harus pandai-pandai mengatur pengeluaran rumah tangga dan terpaksa harus mempertimbangkan sumber-sumber yang dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga (Wiasti, 1998). Sebagai pedagang sayur, perempuan memperoleh penghasilan rata-rata sebesara Rp 40.000,00-Rp.50.000,00 perhari. Hal ini sangat berarti bagi penyangga ekonomi rumah tangga mereka. Tujuan perempuan untuk berdagang sayur adalah dapat membeli barang-barang keperluan rumah tangga sehari-hari. Setelah habis berdagang biasanya mereka membeli segala kebutuhan rumah tangga, seperti kopi, gula, garam, minyak goreng, sabun mandi, pasta gigi, dan lain-lain.

Sebagai bagian dari komunitas Bali yang mayoritas penduduknya beragama Hindu, upacara merupakan kegiatan yang wajib dilakukan. Berbagai macam upacara yang dilakukan baik ditingkat keluarga maupun komunitas tentu memerlukan anggaran biaya yang tidak sedikit. Untuk itu sumbangan perempuan sangat berarti terutama, untuk upacara yang sifatnya rutin. Sementara upacara yang lebih besar seperti perkawinan, potong gigi, galungan, dan kuningan menjadi tanggung jawab suami dan istri bersama. Dengan demikian, kehadiran pasar di Desa Baturiti memberikan manfaat yang cukup berarti bagi laki-laki dan perempuan. Mereka bukan saja memperoleh manfaat secara ekonomis, tetapi juga manfaat sosial karena dapat menjalankankan perannya sebagai pekerja nafkah dengan baik.

Ranah Domestik dan Publik bagi Perempuan Pedagang Sayur di Pasar

Dini hari sekitar pukul 05.00 ditambah udaya yang dingin di pasar Baturiti telah berlangsung aktivitas perdagangan yang cukup ramai. Pasar Baturiti yang berada di tepi jalan utama menuju kota Singaraja yang melalui objek pariwisata Bedugul, tampak dari jalan kerumunan perempuan di antara kabut pagi yang dingin sedang membawa

keranjang di atas kepalanya berlalu lalang di areal pasar. Suasana pasar tampak hiruk pikuk oleh suara-suara penghuninya yang didominasi oleh perempuan, baik pembeli maupun penjualnya. Wajah mereka tampak lusuh dengan dandanan yang awut awutan. Dalam udara yang sangat dingin, tidak ada seorang pun yang memakai jaket anti dingin, namun hanya berselimutkan kain dan handuk. Mereka seakan-akan tegar dan perkasa menghadapi suasana, bahkan untuk mencuci muka pun tampaknya mereka tidak sempat karena yang terpenting harus segera bangun pagi dan pergi menuju pasar untuk mencari nafkah. Itu berarti ia telah bangun sekitar tengah malam, lalu mengepak barang-barang dagangan ke dalam keranjang dan diangkut ke pasar yang berjarak dua sampai tiga kilometer secara bertahap dengan berjalan kaki dan baru kembali kerumahnya siang hari sekitar pukul 12.30 setelah berhasil menjual barang dagangannya di pasar.

Itulah sedikit gambaran tentang perempuan pedagang sayur yang berupaya mencukupi kebutuhan rumah tangga dengan turut terlibat dalam kegiatan perdagangan. Bagi mereka hidup keseharian adalah sebuah perjalan panjang yang harus diisi dengan kerja dan usaha.Tidak ada hari tanpa kerja; berhenti bekerja berarti tidak makan. Setiap peluang harus diisi dengan upaya dan usaha tanpa memikirkan kondisi dirinya baik siang maupun malam hari. Demi mencukupi kebutuhan dan paling tidak untuk menyediakan makan untuk suami dan anak-anaknya, perempuan pedagang sayur rela dan pasrah terhadap aturan yang ada. Mereka tidak pemah berpikir untuk melakukan protes terhadap kesulitan yang mereka hadapi, baik terhadap kebijakan harga yang ditetapkan sepihak oleh penguasa pasar dan pungutan liar, maupun terhadap kondisi dalam rumah tangganya. Bepergian jauh dengan beban berat di malam hari bukan tidak disadari oleh perempuan pedagang mengandung banyak resiko, namum mereka tidak mempunyai pilihan. Suami pun tidak berusaha mengantarkan mereka ke pasar.

Mencermati kehidupan perempuan pedagang sayur di Desa Baturiti menghantarkan kepada suatu pemahaman bahwa dunia perdagangan yang keras harus dihadapi. Beban kerja adalah resiko bagi perempuan yang harus bergelut dengan kehidupan pedagang, sedangkan untung dan rugi selalu ditempatkan dalam konsep "Cakra Manggilingan", yaitu pandangan bahwa hidup ini terus berputar, yang dalam perputarannya kadang-kadang di atas dan terkadang di bawah. Namun mereka tampak pasrah, tetapi tidak mengeluh dalam menghadapi hidup (Kutanegara, 1997).

Anggapan tentang dunia perdagangan yang mempunyai nilai rendah karena penuh dengan tipu muslihat (Abdullah, 1997), tampaknya kurang berlaku pada masyarakat Bali. Perempuan Bali juga tidak mengenal konsep pekerjaan halus atau pekerjaan kasar. Bagi mereka, bekerja tidak hanya memiliki makna ekonomis tetapi secara filosophy bekerja adalah swadharma (kewajiban), sesuai dengan ajaran agama Hindu yang dianutnya. Karena itu, selama masih bisa bekerja mereka wajib untuk melakukan pekerjaan apa saja asal tidak bertentangan dengan norma kesusilaan.

Berganti jenis dagangan bukan hal yang mudah dialkukan oleh para pedagang, karena hal ini terkait dengan konsep " jodoh ". Dalam pikiran para pedagang, konsep ”jodoh” ini menunjuk kepada kesesuaian tempat dirinya dalam lingkungan yang harus ditempati oleh seorang pedagang. Jika seorang pedagang sayur merasa berjodoh dengan jenis usahanya, maka mereka tidak akan mengganti jenis barang dagangannya dengan jenis barang dagangan yang lain, selama barang tersebut masih mungkin untuk diperoleh. Plattner dalam (Kutanegara, 1997).mengatakan bahwa pola hubungan antara pedagang di pasar selain bersifat impersonal juga bersifat personal. Perempuan pedagang sayur datang ke pasar tidak hanya didasarkan pada dorongan-dorongan ekonomi semata-semata, tetapi juga sebagai suatu wahana pemenuhan berbagai kebutuhan mereka seperti saling tukar menukar informasi dan menjalin huhungan sosial. Di pasar, perempuan pedagang sayur mempunyai kebebasan untuk mengekspresikan kemampuannya dalam bentuk tawar menawar dengan pembeli. Terkadang kepuasan yang diperolehnya bukan kepada besarnya keuntungan yang diperoleh, tetapi pada proses tawar menawar sampai akhirnya ia dapat meyakinkan pembelinya. Keadaan ini dapat dibandingkan dengan sabung ayam atau tajen yang digemari laki-laki, bahwa kepuasan yang diperoleh bukan kepada kemenangan dan banyaknya uang yang diterima, tetapi sabung ayam juga berfungsi sebagai wahana untuk menunjukan kekuatan atas keperkasaan laki-laki terhadap lawannya (Geertz, 1992).

Ada kalanya perempuan pedagang menempatkan laki-laki pada posisi yang bodoh dalam proses tawar menawar harga barang. Hal ini terjadi pada kasus berikut. Ada seorang laki laki (pegawai hotel di Denpasar) yang membeli sayur mayur dengan harga yang mahal. Namun laki laki tersebut menganggap sayuran yang dibelinya sangat murah. Kasus ini menjadi suatu obrolan dikalangan perempuan pedagang sayur tentang

kebodohan laki laki tersebut. Ucapan dengan nada cemooh akhirnya terlontar dari si perempuan pedagang " kalau sering dapat pembeli seperti itu, saya bisa cepat sewa kios ". Fenomena ini menunjukan bahwa perempuan pedagang memang menganggap bahwa pasar dan perdagangan adalah dunia mereka. Kalau ada laki laki yang masuk kedalamnya sebagai pembeli dipandang sebagai orang asing (the other) yang bisa diperdaya. Mereka merasa puas dengan keberhasilan memperdaya laki laki, tampaknya fenomena ini merupakan simbol keberhasilan perempuan untuk mendobrak otoritas laki laki yang biasanya sangat kuat di masyarakat. Dengan kata lain, melalui dunia perdagangan, perempuan pedagang sayur mendapat kesempatan untuk mengekpresikan kekuatan dan kekuasaannya terhadap laki laki. Kenyataan ini menegaskan pula bahwa konstruksi gender bersifat dialektis dan tergantung pada dimensi ruang dan waktu. Akibatnya ketidakadilan gender memungkinkan terjadi pada kaum perempuan dan laki-laki.

Dalam perdagangan sayur mayur, etika penawaran dipatuhi oleh setiap pedagang. Tawar menawar diawali sebagai penentu harga awal untuk kemudian dilanjutkan oleh pembeli sebagai penentu harga penawaran pertama. Kesepakatan harga terjadi setelah pembeli dan penjual menaikan dan menurunkan harga barang sebanyak dua atau tiga kali. Tawar menawar memerlukan proses waktu dan keadaan rumit dan sering terjadi sebelum harga terakhir tercapai (Alexander, dalam Abdullah, 1991). Penawaran pertama kira kira separuh harga (50 persen) dari harga yang disebutkan penjual. Setiap barang dagangan umumnya bisa dibeli dengan harga 75 persen dari harga yang diminta oleh pedagang pada awal transaksi. Penawaran yang dimulai dari separuh harga merupakan etika yang harus dipatuhi schingga pelanggaran terhadap etika ini biasanya menimbulkan kemarahan pedagang.

Pasar bagi perempuan pedagang adalah sebuah dunia yang di dalamnya terdapat aturan dan sistem sosial budaya (Geertz, 1982). Oleh karena itu, keterlibatan perempuan pedagang di pasar telah menempatkan perempuan pada satu struktur baru di luar struktur yang dikenal dalam masyarakat, seperti keluarga inti, keluarga luas dan masyarakat. Masuknya perempuan ke dalam struktur baru ini telah memberikan suatu kebebasan untuk mengekpresikan dirinya dan keluar dari struktur subordinasi yang mengekang kebebasannya. Dengan kata lain, pasar telah memberikan suatu pemenuhan terhadap fantasi perempuan tentang posisi mereka di masyarakat luas. Fungsi pasar dalam hal ini

bahkan dapat dianggap sebagai alat pemenuhan terhadap kerinduan perempuan akan dunia yang bebas dari kungkungan laki laki. Seperti yang diungkapkan oleh seorang pedagang yang bernama Ibu Made sebagai berikut:

" Saya kalau di rumah tidak bisa bebas seperti di pasar, karena dirumah semua selalu diatur oleh suami. Sedangkan di pasar, saya merasa bebas, bisa bertemu teman lama, bebas dari anak dan saya bisa membeli keperluan rumah tangga atau pakaian tanpa terlebih dahulu minta ijin suami.

Hal senada juga diakui oleh Ibu Ketut bahwa ”di pasar tidak ada aturan aturan yang ketat seperti di desa, misalnya jika keluar rumah di waktu malam hari dianggap tidak pantas bagi seorang perempuan.". Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan oleh Alexander (dalam Abdullah, 1992) bahwa sebuah pasar mirip dengan sebuah keluarga, sehingga kecerian antar pedagang kadang-kadang bisa berubah menjadi konflik dalam waktu yang singkat. Mereka memandang pedagang lain sebagai teman dan juga sebagai lawan. Hubungan kekerabatan dan daerah asal mendorong mereka untuk saling membantu saudaranya. Pedagang yang menjual jenis komoditas yang sama dengan kerabatnya sangat lumrah untuk saling membantu menjualkan barang-barang dagangan saudaranya. Apabila ada pembeli yang memerlukan jenis sayuran tertentu, sementara ia tidak memiliki jenis tersebut, maka ia akan mengambil barang dagangan temannya untuk dijualkan. Gejala semacam ini, bertujuan untuk saling tolong menolong, juga dimaksudkan untuk tetap menjaga performen di mata pembeli terutama langganan.

Dalam dunia perdagangan, persaingan dengan pedagang sebelahnya selalu muncul, walaupun demikian mereka selalu mengatakan tidak pemah ada persaingan. Menurut mereka untuk apa bersaing karena semua pedagang dianggap teman dan semuanya telah memiliki rejeki masing-masing. Nasib dan rejeki orang sudah diatur Idha Sanghyang Widhi, jadi manusia harus bisa menerimanya, begitu anggapan mereka.

Sesungguhnya persaingan yang terjadi dalam dunia perdagangan terutama antar pedagang yang menjual jenis komuditi yang sama selalu muncul, seperti kecemburuan oleh seorang pedagang apabila ada teman seprofesinva yang berhasil dalam usahanya dan sanggup menyewa kios untuk menampung barang dagangannya dengan kuantitas yang lebih besar. Terkadang persaingan itu juga muncul dalam bentuk menjelekkan produksi komuditi sayuran temannya melalui peniberitahuan kepada langganannya agar ia tidak membeli jenis sayuran pada orang lain.

Dalam kenyataannya gosip dan cerita-cerita tentang kesuksesan salah seorang pedagang selalu mewamai dunia perdagangan di pasar. Pedagang yang selalu ramai dikunjungi pembeli merupakan sasaran empuk gosip dikalangan mereka. Upaya untuk menjadlkan barang dagangan menjadi laris dalam aktivitas berjualan dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya adalah mencari penglaris. Penglaris ini diperoleh dari orang pintar dengan sebutan balian. Mereka biasanya diberi benda-benda tertentu yang harus dibawa dalam melakukan aktivitas perdagangan di pasar dan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhinya. Para pedagang biasanya sudah mengetahui di mana mereka harus mencari penglaris dan kapan harus memperbaharuinya kembali, karena penglaris mempunyai masa berlaku tertentu. Pengaruh penglaris dalam kehidupan pedagang tampaknya telah mendorong meraka untuk memenuhi syarat-syarat yang diperlukan. Berkembangnya tempat tempat "petilasan " seperti pura kelenteng di Kintamani, pura Tanah Kilap, dan tempat-tempat suci lain erat berkaitan dengan hal itu.

Dari Subordinasi ke Pemberdayaan Perempuan Pedagang Sayur

Pekerjaan sebagai pedagang sayur merupakan kebanggaan bagi perempuan yang terlibat di dalamnya. Di Desa Baturiti, para pedagang sayuran mempunyai status yang lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan yang lain, seperti perempuan yang bekerja di sawah atau perempuan yang tidak bekerja. Mereka merasa lebih banyak mempunyai kesempatan melihat dunia luar, lebih banyak berhubungan dengan orang lain dan merasa lebih beruntung karena setiap hari selalu memegang uang. Mereka juga merasa sebagai orang pilihan, karena menjadi pedagang sayur tidak semua perempuan desa bisa menggelutinya. Hal ini diungkapkan oleh Ibu Made, sebagai berikut.

" Semua perempuan desa bisa menjadi pedagang sayur di pasar kalau mereka mempunyai modal, tetapi tidak semua pedagang sayur akan memperoleh keberhasilan, karena kesuksesan dalam berdagang sayur di pasar bukan ditentukan oleh banyaknya modal saja akan tetapi juga oleh nasib yang ditakdirkan oleh Ida Sanghyang Widhi untuk menjadi pedagang ".

Perempuan pedagang sayur cenderung lebih mandiri dibandingkan dengan perempuan yang bekerja di sawah atau tegalan dan perempuan yang tidak bekerja.

Mereka mempunyai otonomi untuk memutuskan persoalan-persoalan rumah tangganya tanpa terlalu banyak campur tangan suami (ketergantungan kepada suami). Sebagai seseorang yang mempunyai jabatan ”bendahara” dalam rumah tangga, setiap keperluan dan kesulitan keuangan sangat dirasakan oleh seorang perempuan. Oleh karena itu, mereka akan berusaha agar di rumahnya selalu tersedia uang dalam jumlah tertentu. Perempuan pedagang sayur cenderung lebih merasa aman hidupnya dibandingkan dengan perempuan tani atau perempuan yang tidak bekerja. Mereka merasa lebih tenang kalau sewaktu-waktu ada keperluan keuangan mendadak seperti upacara, anak sakit dan sebagainya. Biaya tersebut dirasakan lebih berat bagi keluarga perempuan petani. Petani tidak selalu memiliki uang kontan karena penghasilan mereka sangat dipengaruhi oleh musim. Petani sering harus berhutang untuk memenuhi kewajiban-kewajiban tersebut. Perempuan pedagang berbeda dengan perempuan petani, selalu memegang uang kontan sehingga dapat mengalokasikan sebagian uangnya untuk memenuhi kewajiban-kewajiban sosial tersebut dengan mudah.

Dalam pembagian kerja kerumahtanggaan masih tetap terjadi klasifikasi jenis-jenis pekerjaan khas laki-laki dan perempuan atau pemisahan antara arena domestik dan publik. Namun demikian, pada keluarga perempuan pedagang sayur menunjukkan tentang penegasan tanda dari proses pergeseran dalam beberapa hal, termasuk pola pembagian kerja rumah tangga. Beberapa jenis pekerjaan yang dulunya dianggap pekerjaan khas perempuan seiring dengan keterlibatan perempuan di luar rumah yakni sebagai pedagang sayur di pasar mulai dianggap pekerjaan laki-laki yang wajar dilakukan oleh mereka, begitu pula sebaliknya. Jenis-jenis pekerjaan tertentu yang dulunya dianggap pekerjaan khas laki-laki, kini mulai diambil alih oleh perempuan. Hal ini menandakan telah terjadi proses negosiasi peran perempuan.

Di samping berpengaruh terhadap pola pembagian kerja rumah tangga, keterlibatan perempuan pedagang sayur di pasar, juga membawa pengaruh terhadap pola pengambilan keputusan di dalam rumah tangga. Pada keluarga perempuan pedagang sayur pola pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kepentingan seluruh keluarga biasanya melibatkan suami, istri dan anak-anak dewasa. Begitu pula keputusan yang diambil merupakan kesepakatan bersama. baik itu menyangkut keputusan yang diambil, maupun yang berhak menentukan keputusan terakhir. Dalam hal ini tampak suara

perempuan (istri) pedagang sayur cukup didengar, bahkan untuk keputusan tertentu, terutama terkait dengan kebutuhan rumah tangga otoritas penuh pada perempuan (istri). Kenyataan ini menjadi tanda penting jika dikaitkan dengan status dan peran perempuan di dalam rumah tangga. Karena pola pengambilan keputusan atau decision making dalam suatu keluarga menggambarkan bagaimana pola kekuasaan dan struktur dalam keluarga (Lestari, 1986). Pola pengambilan keputusan juga merupakan proses perwujudan dari proses yang terjadi dalam keluarga dan merupakan hasil interaksi di antara suami, istri dan anak-anak untuk saling mempengaruhi yang sekaligus menunjuk pada struktur kekuasaan pada keluarga tersebut.

Dalam menjalankan perannya sebagai anggota masyarakat terutama terkait dengan masalah keagamaan dan keadatan, perempuan pedagang sayur sesusungguhnya memperoleh hak-hak yang cukup istimewa. Hal ini terbukti dari pranata yang ada di desa pakraman. Di balik awig-awig dan perarem yang terkesan kaku dan hegemonik, sesungguhnya masih ada celah untuk bernegosiasi, sehingga menghasilkan kompromitas-kompromitas tertentu, yang akhirnya memunculkan pranata-pranata baru untuk melengkapi pranata yang sudah ada. Pranata-pranata adat ini sebagai bentuk toleransi bagi perempuan yang bekerja, yang disebut dengan berbagai istilah seperti minta ijin (mapuangkid), menukar waktu ngayahang, dan mengkompensasi tugas dan kewajiban ngayahang dengan sejumlah uang (meli ayahan). Perempuan pedagang sayur juga mampu untuk nyumbang (mapunia) dalam bentuk uang maupun benda material lain ketika ada upacara keagamaan, baik di tingkat banjar atau desa, maupun kepada keluarga yang melakukan upacara.

Simpulan

Keterlibatan perempuan dalam perdagangan membawa beberapa keuntungan bagi keluarganya. Perempuan pedagang dapat memenuhi kebutuhan harian meskipun pendapatan yang diperoleh terbatas. Perempuan pedagang juga mempereroleh otonomi atau posisi tawar cukup tinggi dalam ruamh tangga. Mereka memperleh kekuatan untuk memutuskan kepentingan-kepentingan rumah tangga sehari-hari dan sekaligus menunjukan peranan mereka yang sangat penting dalam ekonomi rumah tangganya.

Perempuan pedagang sayur juga memiliki status yang relatif tinggi jika dibandingan dengan perempuan lain yang tidak berdagang karena mereka merasa mengenal dunia luar dengan baik, memiliki pengalaman lebih luas, di samping secara ekonomi rumah tangga mereka lebih baik daripada rumah tangga petani umumnya.

Perempuan lain pun banyak yang tertarik sebagai pedagang karena secara sosial budaya memperoleh tempat dalam masyaraat, menemukan status baru, dan dapat memainkan peranan dalam masyarakat. Selain itu, mereka menemukan jaringan hubungan dengan orang-orang lain yang tidak mereka kenal sebelumnya, dan mereka juga merasa menemukan dunia lain di luar desa yang menunjukkan suasana berbeda dengan keadaan sehari-hari di desanya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Irwan, 1991. Wanita Pedagang Bakul di Pedesaan Jawa. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada.

_______________ 1996. ” Dari Domestik ke Publik : Jalan Panjang Pencarian Identitas Perempuan”, dalam Irwan Abdullah (ed). Sangkan Paran Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal 1-28.

Effendi, Tadjuddin Noer, 1996. Struktur Pekekrjaan, Sektor Informal dan Kemiskinan di Kota. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada.

Geertz, Clliford, 1992. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

______________1982. “Perubahan Sosial dan Modernisasi Ekonomi di dua Kota di Indonesia”, dalam Taufik Abdullah (ed), Agama Etos Kerja, dan Perkembangan Ekonomi. Jakarta: LP3ES, hal 154-186.

Heriyanto, Bambang, 1999. Kehidupan Wanita Pedagang Sayur: Studi Kasus di Pasar Baturiti , Kabupaten Tabanan, Bali (Skripsi S1) Antropologi Universitas Udayana.

Kutanegara, Pande Made, 1996. ”Perdagangan: Kosmologi dan Konstruksi Dunia Wanita”, dalam Irwan Abdullah (ed) Sangkan Paran Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Saftari, Ratna, 1997. Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial: Sebuah Pengantar Studi Perempuan. Jakrta: Kalyanamitra.

Wiasti, Ni Made, 1998. Konstruksi Gender pada Masyarakat Bali: Studi Kasus Wanita Pekerja Kerajinan Bambudi Banjar Kebon, Desa Blega, Gianyar (Tesis S2) Antropologi Universitas Gadjah Mada.