PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KEGIATAN EKONOMI ANGKATAN KERJA DI PROVINSI BALI

Nyoman Dayuh Rimbawan

Pusat Penelitian Kependudukan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Universitas Udayana- Denpasar email: [email protected]

Abstract

Economic growth is one of macroeconomics indicators. In every development process, economic growth always becomes an important target, even though it is not a good indicator to determine development success. A relatively high economic growth is not identical with increase of welfare. Therefore other indicators are needed, such as poverty index, unemployment index, income distribution, and so on.

During the period of 2005-2009 Bali economic growth fluctuated with trend to decrease. It grew at of 5.61 percent in average, while nationally reached above 6.00 percent. Job opportunities increased, but this was due to half-employment (work less than 35 hours/week) and unpaid employment.

Poverty index also decreased, but it was not the case in rural areas. This might be caused by a huge worker productivity gap among job fields. For instance, productivity per worker in agriculture ranks eight out of nine job fields.

All facts mentioned above show that Bali economics growth has not been optimum, in which 50 percent was contributed by household consumption and less than 10 percent by investment. Optimum growth will be achieved if most activities are pushed by investment.

Keywords : growth, employment, poverty

PENDAHULUAN

Kegiatan ekonomi angkatan kerja menjadi salah satu indikator penting keberhasilan pembangunan baik lingkup nasional, provinsi, kabupaten ataupun kota. Pembangunan mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat baik dilihat dari aspek ekonomi ataupun sosial. Salah satu sasaran pembangunan adalah menciptakan kesempatan kerja sebanyak-banyaknya agar angkatan kerja dapat terserap dalam kegiatan ekonomi. Dengan perkataan lain proses pembangunan harus dapat menekan angka pengangguran. Terlibatnya angkatan kerja dalam berbagai kegiatan ekonomi berimplikasi luas terhadap aktivitas perekonomian secara keseluruhan. Hal ini mudah dipahami, karena makin banyak angkatan kerja yang bekerja berimplikasi pada meningkatnya daya beli masyarakat yang kemudian mendorong perusahaan-perusahaan untuk meningkatkan produksi atau membuka usaha baru sesuai kebutuhan masyarakat. Penambahan produksi dan atau penambahan usaha baru identik dengan perluasan kesempatan kerja.

Harus diakui bahwa kesempatan kerja bukanlah satu-satunya indikator keberhasilan pembangunan. Indikator lain yang tidak kalah penting adalah menurunnya angka kemiskinan dan meningkatnya pendapatan masyarakat yang disertai oleh makin meratanya distribusi pendapatan antar kelompok masyarakat. Peningkatan pendapatan masyarakat akan mempermudah mereka untuk mengakses berbagai fasilitas pelayanan kesehatan dan

pendidikan serta memenuhi kebutuhan sandang dan pangan yang lebih berkualitas. Semuanya ini akan bermuara pada semakin membaiknya kualitas masyarakat sebagai subyek pembangunan. Proses pembangunan memerlukan kualitas SDM yang semakin baik agar tujuan pembangunan lebih cepat dapat dicapai.

Tulisan berikut akan menyoroti pertumbuhan ekonomi dan kegiatan ekonomi angkatan kerja di Provinsi Bali untuk kurun waktu 2005 – 2009. Uraian tersebut dapat juga dipakai sebagai dasar evaluasi pencapain pembangunan yang selama ini sudah dilaksanakan oleh Pemda Provinsi Bali.

KAJIAN TEORITIS

Kebutuhan manusia bersifat tak terbatas dan disisi lain keterdiaan alat pemuas terbatas. Ini berarti manusia untuk memenuhi kebutuhannya harus memilih. Artinya kebutuhan mana yang menjadi prioritas dan yang mana bukan prioritas. Kebutuhan manusia dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu kebutuhan primer, skunder dan tertier. Kemampuan manusia untuk memenuhi ketiga kebutuhan tersebut sangat bervariasi. Malahan tidak sedikit diantara mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan primer dalam jumlah dan kualitas yang memadai. Hal ini salah satunya sangat tergantung pada sejauh mana mereka dapat terlibat dalam berbagai aktivitas perekonomian. Banyak sedikitnya partisipasi masyarakat (baca: angkatan kerja) dalam aktivitas perekonomian salah satunya tergantung pada kebijakan atau strategi yang diambil pemerintah dalam proses pembangunan.

Pada mulanya upaya pembangunan di negara yang sedang berkembang, identik dengan upaya meningkatkan pendapatan perkapita atau populer dengan sebutan strategi pertumbuhan ekonomi. Dengan meningkatnya pendapatan per kapita secara otomatis masalah-masalah seperti kemiskinan, pengangguran dan distribusi pendapatan dapat terpecahkan sebagai akibat dampak menetes kebawah (trickle down effect). Tetapi mulai akhir dasawarsa 1960-an banyak negara sedang berkembang menyadari bahwa pertumbuhan (growth) tidak identik dengan pembangunan. Negara-negara sedang berkembang pada tahap awal pembangunan mereka memang mengalami pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi tetapi masalah-masalah seperti pengangguran, kemiskinan, dan distribusi pendapatan yang timpang belum terpecahkan. Fakta ini nampaknya memperkuat keyakinan bahwa dalam proses pembangunan, pertumbuhan ekonomi merupakan syarat yang diperlukan (necessary) tetapi tidak mencukupi atau sufficient (Kuncoro, 2000). Pertumbuhan ekonomi hanya mencatat peningkatan produksi barang dan jasa, sedangkan pembangunan berdemensi lebih luas dari hanya sekedar peningkatan pertumbuhan ekonomi semata. Dengan kata lain pembangunan ekonomi tidak lagi memuja pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) atau PDRB (Produk Domestik Regional Bruto), namun yang tidak kalah penting adalah kualitas pertumbuhan itu sendiri. Pertumbuhan ekonomi yang berkualitas jika pertumbuhan tersebut sejalan dengan menurunnya pengangguran, kemiskinan dan semakin meratanya distribusi pendapatan diantara penduduk.

Jika proses pembangunan dikaitkan dengan tiga kebutuhan manusia (primer, skunder dan tersier) maka sasaran pembangunan tidak hanya sekedar pertumbuhan ekonomi yang lebih berkualitas, tetapi jauh lebih luas. Todaro (dalam Tri Widodo, 2006) menyebutkan proses pembangunan yang dilakukan haruslah memiliki tiga nilai inti dan tiga tujuan. Tiga nilai inti pembangunan yang dimaksud adalah sebagai berikut. Pertama, kemampuan untuk memenuhi kebutuan dasar. Semua individu memiliki kebutuhan dasar yang menyebabkan dia bertahan hidup. Kebutuhan dasar meliputi sandang, pangan, papan, kesehatan dan proteksi. Kedua, manusia terhormat. Semua orang dalam masyarakat mencari bentuk dasar harga diri seperti misalnya keaslian, identitas, kehormatan, penghargaan atau kemasyuran. Ketiga, kebebasan. Kebebasan disini dipahami sebagai kebebasan yang terkait dengan emansipasi, kepedulian, penderitaan dll. Sedangkan tiga tujuan pembangunan yang dimaksudkan oleh

Todaro adalah: (1) peningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi barang kebutuhan pokok. Barang yang dimaksud berupa kebutuhan sandang, pangan dan papan serta kebutuhan lain yang mendukung seperti kesehatan, pendidikan hingga keamanan. (2) Peningkatan standar hidup. Tidak hanya mencakup peningkatan pendapatan semata namun juga harus meliputi penyediaan lapangan kerja, perbaikan kualitas pendidikan dan kehidupan masyarakat baik secara material maupun menumbuhkan jati diri setiap individu sebagai suatu bangsa. (3) Perluasan pilihan ekonomi dan sosial bagi setiap individu. Perluasan kesempatan ini mencakup pembebasan masyarakat dari sifat menghamba kepada sesorang serta kepada segala sesuatu yang mungkin merendahkan martabat kehidupan masyarakat tersebut.

Demikian luasnya dimensi dari pembangunan, tetapi dalam tulisan berikut hanya menyoroti dari sisi ketenagakerjaan dalam lingkup Provinsi Bali selama kurun waktu 2005 – 2009. Tenaga kerja adalah salah satu komponen penting dalam proses pembangunan. Tenaga kerja adalah pelaku pembangunan dan sekaligus bersama-sama dengan anggota masyarakat yang lain juga sebagai obyek pembangunan.

KAJIAN EMPERIS

Kegiatan Ekonomi Angkatan Kerja

Badan Pusat Statistik (BPS) dalam perhitungan PDB Nasional (Produk Domistik Bruto) atau PDRB provinsi atau kabupaten/kota (Produk Domistik Regional Bruto), membagi kegiatan ekonomi menjadi sembilan lapangan usaha yaitu (1) Pertanian dalam arti luas, (2) Pertambangan dan Penggalian, (3) Industri Pengolahan, (4) Listrik, Gas dan Air Minum, (5) Konstruksi, (6) Perdagangan, Rumah Makan dan Hotel, (7) Pengangkutan dan Komunikasi, (8) Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan, serta (9) Jasa-Jasa. Sembilan lapangan usaha tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga sektor, yaitu Primer, Skunder dan Tertier.

Penyajian data kegiatan ekonomi dari aspek penyerapan pekerja menurut lapangan usaha/sektor dapat menggambarkan struktur perekonomian suatu wilayah. Penyajian seperti ini akan menunjukkan apakah perekonomian suatu wilayah masih berorientasi pada Sektor Primer atau sudah bergeser ke Sektor Skunder atau Tertier. Pengalaman negara-negara maju dalam proses pembangunannya selalu diikuti oleh berubahnya struktur perekonomian mereka dari Sektor Primer ke Skunder dan atau Tertier. Negara-Negara sedang berkembangpun mengharapkan terjadinya perubahan seperti ini. Hal ini disebabkan karena secara umum pendapatan pekerja yang terserap pada Sektor Primer lebih rendah dibandingkan dengan dua sektor yang lain.

Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa perekonomian Provinsi Bali sudah beralih ke Sektor Tertier (Jasa). Tahun 2009 sektor ini menyerap pekerja paling banyak yaitu sekitar 45 persen, kemudian disusul oleh Sektor Primer dan Skunder masing-masing 33 persen dan 21 persen. Tetapi jika dilihat menurut lapangan usaha, strutur perekonomian Provinsi Bali masih berorientasi pada Pertanian, karena lapangan usaha ini menyerap pekerja paling banyak yaitu lebih dari 33 persen. Proporsi besar kedua yaitu 23,3 persen terserap pada Lapangan Usaha Perdagangan, Restoran & Hotel. Sedangkan proporsi besar ketiga yaitu masing-masing sekitar 15 persen diserap oleh Lap. Usaha Jasa-Jasa dan Industri Pengolahan. Lima lapangan usaha yang lain menyerap berkisar antara 0,3 – 6,0 persen.

Tabel 1 Distribusi penyerapan angkatan kerja yang bekerja menurut sektor/lapangan usaha,

Provinsi Bali, 2005 – 2009

Sektor/Lapangan Usaha

2005

2009

Orang

Persen

Orang

Persen

PRIMER:

620.630

31,9

681.078

33,4

Pertanian

608.692

31,3

673.928

33,0

Pertambangan dan Penggalian

11.938

0,6

7.150

0,4

SKUNDER:

476.537

24,5

434.956

21,2

Industri Pengolahan

344.904

17,7

304.728

14,9

Listrik, Gas dan Air Bersih

5.253

0,3

6.807

0,3

Bangunan

126.380

6,5

123.421

6,0

TERTIER:

848.428

43,5

925.273

45,3

Perdagangan, Restoran dan Hotel

442.248

22,7

472.840

23,2

Angkutan, Pergudangan dan Komunikasi

92.198

4,7

86.399

4,2

Keuangan, Asuransi dan Usaha Persewaan

37.708

1,9

53.087

2,6

Jasa-Jasa

276.274

14,2

312.977

15,3

J U M L A H

1.945.595

100,0

2.041.337

100,0

Sumber: Bali Dalam Angka 2006 dan 2010.

Tabel 1 juga menunjukkan bahwa selama periode 2005-2009 struktur perekonomian Provinsi Bali sedikit mengalami perubahan. Peran Sektor Primer dalam menyerap pekerja bukan menurun tetapi meningkat dari 31,9 persen menjadi 33,4 persen. Sektor Skunder yang perannya diharapkan meningkat, justru menunjukkan keadaan sebaliknya yaitu menurun dari 24,5 persen menjadi 21,2 persen. Yang sesuai dengan harapan hanya Sektor Tertier. Sektor ini kemampuannya menyerap pekerja meningkat dari 43,5 persen menjadi 45,3 persen.

Sektor Primer terutama Lapangan Usaha Pertanian jumlah pekerjanya bertambah lebih dari 65.000 orang. Padahal luas areal pertanian di Provinsi Bali dari waktu-kewaktu semakin berkurang karena terjadi alih fungsi menjadi berbagai fasilitas sosial dan ekonomi seiring dengan makin betambahnya jumlah penduduk. Dalam kurun waktu 2000-2010 penduduk Provinsi Bali tumbuh rata-rata 2,15 persen per tahun. Bertambahnya jumlah pekerja pada Lap. Usaha Pertanian tetapi disisi lain luas areal pertanian makin menyusut, merupakan indikasi banyak pekerja pada lapangan usaha ini berstatus sebagai setengah pengangguran. Misalnya pada tahun 2006, Lap. Usaha Pertanian menyerap pekerja lebih dari 660.000 orang. Dari jumlah ini sekitar 45 persen merupakan pekerja setengah pengangguran. Relatif banyaknya pekerja setengah pengangguran yang terserap pada Lap. Usaha Pertanian merupakan salah satu indikasi bahwa produktivitas per pekerjanya relatif rendah. Harapan bahwa dalam proses pembangunan terjadi penurunan penyerapan pekerja pada Lap. Usaha Pertanian tidak terwujud, justru yang terjadi jumlah pekerjanya semakin banyak baik secara absolut ataupun persentase.

Sektor Skunder yang diharapkan mampu menyerap pekerja makin banyak, justru menunjukkan keadaan sebaliknya. Selama periode 2005-2009 kemampuannya menyerap pekerja menurun rata-rata 2,3 persen per tahun. Dari tiga lapangan usaha yang termasuk dalam Sektor Skunder, yang paling banyak menyerap pekerja adalah Industri Pengolahan (70 persen), kemudian disusul berturut-turut Lap. Usaha Bangunan dan Listrik, Gas & Air Bersih masing-masing 28,3 persen dan 1,6 persen. Berkurangnya jumlah pekerja pada Sektor Skunder terutama pada Industri Pengolahan mungkin disebabkan industri yang ada kebanyakan merupakan industri kerajinan skala kecil dimana kemampuannya menyerap

pekerja memang relatif sedikit. Produk industri kerajinan kebanyakan berkaitan dengan sektor pariwisata sehingga perkembangan industri ini sangat tergantung pada fluktuasi kunjungan wisman dan wisnu yang datang ke Bali. Tahun 2005 dan 2006 kunjungan wisman ke Bali menurun, tetapi tahun-tahun berikutnya mulai meningkat. Hanya saja peningkatan ini nampaknya belum mampu menggerakkan secara signifikan usaha industri kerajinan. Sektor Skunder terutama usaha Industri Pengolahan dan Bangunan juga tidak terhindar dari pekerja setengah pengangguran. Tahun 2006, kedua usaha ini mempunyai pekerja setengah pengangguran lebih dari 63.000 orang ( 16,4 persen dari seluruh pekerja pada Sektor Skunder).

Dari Tabel 1 juga terlihat bahwa kemampuan Sektor Tersier menyerap pekerja bertambah lebih dari 77.000 orang sehingga tahun 2009 sektor ini menyerap pekerja lebih dari 925.000 orang (45 persen dari total pekerja). Angka-angka ini sepintas mengesankan bahwa Sektor Tersier dari aspek penyerapan pekerja sudah berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Tetapi jika ditelusuri lebih jauh, ternyata sektor ini juga tidak bebas dari pekerja setengah pengangguran. Tahun 2006, di sektor ini terdapat lebih dari 150.000 orang pekerja setengah pengangguran (18 persen dari seluruh pekerja yang terserap didalamnya). Jumlah ini melebihi pertambahan pekerja pada sektor ybs selama kurun waktu 2005-2009. Tidak tertutup kemungkinan tambahan kesempatan kerja pada Sekor Tertier ini lebih banyak terdiri dari pekerja setengah pengangguran.

Pertumbuhan Ekonomi dan Kesempatan Kerja

Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator untuk melihat keberhasilan pembangunan nasional ataupun daerah. Dalam proses pembangunan selalu diupayakan pertumbuhan ekonomi adalah setinggi mungkin. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi identik dengan pendapatan per kapita yang tinggi pula. Pertumbuhan ekonomi tahun tertentu (t) diperoleh dengan melihat kenaikan PDB (PDRB) dua periode secara berturutan (PDBt – PDBt-1) dibagi dengan PDB(t-1) (PDRB(t-1)). Sedangkan pendapatan per kapita merupakan hasil bagi antara PDB (PDRB) tahun tertentu dengan jumlah penduduk pada periode yang sama. Ini berarti setiap orang (tampa memandang umur) dianggap mempunyai pendapatan yang sama. Padahal dalam kenyataan tidak semua penduduk mempunyai pendapatan. Sedangkan yang mempunyai pendapatan, ada penduduk yang pendapatan tinggi, rendah atau sedang. Jadi dalam kenyataan pendapatan antar penduduk sangat bervariasi. Demikian juga pertumbuhan ekonomi, akan berbeda antar sektor atau lapangan usaha tergantung pada potensinya masing-masing. Akibatnya orang-orang yang terlibat pada lapangan usaha yang berbeda pendapatannya akan berbeda. Jangankan antar lapangan usaha, pekerja yang bekerja pada lapangan usaha yang sama pendapatannya bisa juga berbeda. Gambaran ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi ataupun pendapatan per kapita yang tinggi tidak identik dengan semua penduduk mempunyai pendapatan yang tinggi. Dalam hal ini perlu dilihat kualitas dari pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Pertumbuhan ekonomi dikatakan berkualitas jika pertumbuhannya relatif tinggi dan diiringi oleh distribusi pendapatan yang semakin merata, bertambahnya kesempatan kerja, menurunnya angka kemiskinan dan pengangguran serta meningkatnya pendapatan penduduk secara signifikan dari waktu kewaktu.

Tabel 2 Perkembangan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita, Provinsi Bali, 2005-2009 (menurut harga konstan 2000)

Tahun

Pertumbuhan ekonomi (%)

Pendapatan per kapita (Rp jutaan)

2005

5,56

6,14

2006

5,28

6,46

2007

5,92

6,75

2008

5,97

7,08

2009

5,33

7,39

Sumber: Bali Dalam Angka 2006 dan 2010.

Dalam kurun waktu 2005-2009 pertumbuhan ekonomi Provinsi Bali bervariasi antara 5,28 – 5,97 persen (rata-rata 5,61 persen per tahun) dengan kecendrungan menurun. Selama periode 2000-2010 rata-rata pertumbuhan penduduknya 2,15 persen per tahun. Ini berarti kesejahteraan ekonomi penduduk Provinsi Bali meningkat sekitar 3,46 persen (5,61 persen – 2,15 persen)

. Secara makro angka-angka diatas menggembirakan, karena pendapatan per kapita terus meningkat dibawah kondisi pertumbuhan ekonomi yang cendrung menurun. Bagi sekelompok masyarakat tertentu bisa jadi pendapatannya memang meningkat pesat, tetapi kelompok-kelompok masyarakat yang lain bisa saja pertumbuhannya lambat, tidak meningkat, atau bahkan ada yang menurun. Hal ini sangat tergantung pada peluang dan intensitas keterlibatan angkatan kerja dalam berbagai aktivitas perekonomian. Berikut akan diuraikan berbagai aspek yang berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi untuk menjawab apakah pertumbuhan ekonomi Provinsi Bali dalam kurun waktu 2005-2009 berkualitas atau tidak.

Angkatan Kerja dan Pekerja

Saat ini strategi pembangunan yang ditempuh pemerintah adalah pro-job, pro-growth dan pro-poor. Pro job berarti proses pembangunan harus diarahkan agar mampu menciptakan kesempatan kerja sebanyak-banyaknya guna menekan angka pengangguran. Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa tahun 2005 jumlah angkatan kerja yang bekerja mencapai 1.945.595 orang dan tahun 2009 meningkat menjadi 2.041.337 orang. Ini berarti dalam lima tahun terakhir terjadi penambahan kesempatan kerja hampir 96.000 orang atau tumbuh rata-rata 1,21 persen per tahun. Padahal seperti disebutkan sebelumnya pada periode yang sama pertumbuhan ekonomi berfluktuasi dengan kecendrungan menurun.

Peningkatan jumlah pekerja dalam kurun waktu 2005-2009 hampir mencapai 96.000 orang sebenarnya bersifat semu. Karena peningkatan tersebut bukan semuanya terdiri dari pekerja dengan jam kerja normal, tetapi banyak diantaranya merupakan pekerja setengah menganggur, yaitu mereka yang bekerja kurang dari jam kerja normal (< 35 jam per minggu). Ada kecendrungan makin pendek jam kerja penghasilan yang diperoleh semakin rendah.

BPS mendefinisikan angkatan kerja adalah penduduk usia kerja (umur 15 tahun atau lebih) dimana pada saat pencacahan dilakukan yang bersangkutan berstatus sedang bekerja, mencari pekerjaan, atau mempunyai pekerjaan namun sementara tidak bekerja seperti menunggu panen, mogok, sakit, cuti dsbnya. Penduduk usia kerja yang berstatus sedang mencari pekerjaan tergolong penduduk yang menganggur (pengangguran terbuka). Sedangkan penduduk usia kerja yang sedang sekolah, mengurus rumah tangga atau seperti pensiunan, orang-orang yang cacat jasmani (buta, bisu, dan sebagainya) yang tidak melakukan sesuatu pekerjaan seminggu yang lalu bukan termasuk angkatan kerja.

Data pada Tabel 3 menyajikan perkembangan ketenagakerjaan di Provinsi Bali dalam kurun waktu 2005-2009. Dari tabel tersebut terlihat bahwa jumlah angkatan kerja meningkat rata-rata 0,41 persen per tahun, sedangkan angkatan kerja yang berstatus bekerja peningkatanya lebih tinggi yaitu 0,70 persen. Ini berimplikasi pada menurunnya tingkat pengangguran terbuka dari 4,03 persen menjadi 2,93 persen. Makin banyaknya angkatan kerja yang berstatus bekerja dan disisi lain diiringi oleh tingkat pengangguran yang semakin menurun menunjukkan proses pembangunan terkesan sudah berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Untuk menjelaskan ini perlu dilihat batasan atau definisi dari “bekerja” itu sendiri.

Tabel 3 Perkembangan ketenagakerjaan di Provinsi Bali, 2005-2009

Uraian

Februari 2005

Februari 2009

Pertumbuhan (% per tahun)

1. Penduduk usia kerja (orang)

2 564 168

2 714 341

1,43

2. Angkatan kerja (orang)

2 027 343

2 060 858

0,41

3. Bekerja (orang)

1 945 595

2 000 453

0,70

4. Mencari pekerjaan (orang)

81 748

60 405

(-) 7,85

5. Tingkat partisipasi angkatan kerja (%)

79,06

75,92

-

6. Tingkat pengangguran terbuka(%)

4,03

2,93

-

Sumber: Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia Februari 2005 dan Februari 2009.

Menurut BPS “bekerja” adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan seseorang dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan, paling sedikit satu jam (tidak terputus) dalam seminggu yang lalu. Kegiatan tersebut termasuk pula kegiatan pekerja tak dibayar yang membantu dalam suatu usaha/kegiatan ekonomi. Berdasarkan definisi tersebut angkatan kerja yang bekerja dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu pekerja penuh dan setengah pengangguran. Pekerja penuh adalah angkatan kerja yang bekerja sesuai dengan jam kerja normal yaitu 35 jam atau lebih per minggu. Sedangkan kalau kurang dari 35 jam tergolong sebagai setengah pengangguran. Lama jam kerja berkaitan dengan upah yang diperoleh oleh pekerja. Dapat dikatakan makin lama jam kerja, upah yang diterima pekerja semakin tinggi. Ini berarti pekerja dengan jam kerja pendek akan menerima upah lebih rendah.

Tabel 4 menunjukkan bahwa pola perkembangan pekerja setengah pengangguran di Provinsi Bali dalam kurun waktu 2005-2009 tidak menunjukkan perubahan. Hal ini tercermin dari pekerja setengah pengangguran proporsinya tidak berubah yaitu tetap sekitar 27 persen. Tetapi secara absolut terjadi peningkatan jumlah pekerja setengah pengangguran lebih dari 37.000 orang (2005: 519.366 orang dan 2009: 556.753 orang). Kondisi diatas merupakan indikasi makin banyak pekerja yang menerima upah relatif rendah. Uraian diatas menunjukkan bahwa kendatipun proses pembangunan mampu meningkatkan perluasan kesempatan kerja, tetapi dari seluruh kesempatan kerja yang tercipta sekitar 27 persen adalah pekerja dengan jam kerja pendek (< 35 jam/minggu). Ini berarti salah satu masalah penting yang dihadapi Provinsi Bali dibidang ketenagakerjaan adalah jumlah pekerja setengah pengangguran yang semakin banyak dan proporsinya mencapai 27 persen dari pekerja. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan angka pengangguran terbuka (angkatan kerja yang sedang mencari pekerjaan) yang proporsinya relatif rendah dan sudah semakin menurun dari 4,03 persen (2005) menjadi 2,93 persen (2009).

Tabel 4 Perkembangan angkatan kerja yang bekerja menurut lama jam kerja, Provinsi Bali, 2005-2009.

Jam kerja (jam/minggu)

20051)

20092)

Orang

Persen

Orang

Persen

0*)

2 449

0,13

33 203

1,61

1- 9

61 746

3,26

37 835

1,83

10 - 24

196 461

10,36

221 813

10,78

25 – 34

258 710

13,64

263 902

12,82

35 – 44

451 653

23,82

441 785

21,48

45 – 59

697 536

36,79

750 693

36,49

>= 60

227 186

11,98

307 887

14,97

Jumlah

1 895 741

100,00

2 057 118

100,00

Sumber: 1) Bali Dalam Angka 2006

2)Bali Dalam Angka 2010 Catatan: *) Sementara tidak bekerja.

Pekerja Tak Dibayar

Masalah kedua yang dihadapi Provinsi Bali berkaitan dengan ketenagakerjaan adalah semakin banyaknya angkatan kerja yang bekerja tetapi ybs tidak mendapat upah. Kelompok ini disebut dengan istilah “pekerja tak dibayar”, yaitu seseorang yang bekerja membantu orang lain yang berusaha dengan tidak mendapat upah atau gaji baik berupa uang ataupun barang.

Tabel 5 Perkembangan jumlah pekerja tak dibayar menurut desa-kota, Provinsi Bali, 2005 -2009

Daerah

2005

2009

Orang

*) Persen )

Orang

*) Persen )

Desa

248.730

24,54

287.267

27,43

Kota

95.666

10,26

133.737

13,46

Desa + Kota

344.396

17,70

421.004

20,62

Sumber: Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia, Februari 2005 dan Februari 2009.

Catatan: *) Persentase terhadap angkatan kerja yang bekerja per daerah.

Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 5, selama periode 2005-2009 jumlah pekerja tak dibayar bertambah lebih dari 76.000 orang atau tumbuh rata-rata 5,15 persen per tahun. Tahun 2009 jumlah pekerja tak dibayar mencapai 20 persen dari seluruh angkatan kerja yang bekerja. Padahal tahun 2005 proporsinya hanya 17,70 persen. Jika dilihat menurut daerah tahun 2009 misalnya, sekitar 68 persen dari seluruh pekerja tak dibayar berada di pedesaan. Kuat dugaan kebanyakan dari mereka terserap pada Lap. Usaha Pertanian. Makin banyaknya jumlah pekerja yang tak dibayar merupakan indikasi lain dari pertumbuhan ekonomi yang kurang berkualitas.

Produktivitas Pekerja

Uraian mengenai produktivitas per pekerja menjadi sangat penting berkaitan dengan relatif banyaknya pekerja setengah menganggur dan pekerja tak dibayar. Produktivitas per

pekerja yang rendah identik dengan penghasilan yang rendah pula. Pengukuran produktivitas per pekerja per lapangan usaha akan memberikan gambaran besarnya penghasilan senyatanya yang diterima pekerja pada masing-masing lapangan usaha. Berbeda dengan pendapatan per kapita yang menggambarkan rata-rata pendapatan yang diterima penduduk tampa memperhatikan umurnya. Dalam kasus ini semua penduduk satu wilayah dianggap mempunyai pendapatan. Pendapatan per kapita tidak menggambarkan bagaimana distribusi pendapatan antar kelompok-kelompok masyarakat. Sedangkan produktivitas per pekerja paling tidak dapat menggambarkan pendapatan per pekerja menurut lapangan usaha. Produktivitas per pekerja diperoleh dengan membagi nilai tambah yang tercipta pada masing-masing lapangan usaha pada satu tahun tertentu dengan banyaknya pekerja yang terserap didalamya pada tahun yang sama. Pada Tabel 6 terlihat dalam kurun waktu 2005-2009 produktivtas per pekerja rata-rata meningkat 3,63 persen per tahun. Tetapi jika dilihat per lapangan usaha angka peningkatannya bervariasi antara 0,69-19,40 persen. Malahan pada Lapangan Usaha Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan menurun 1,82 persen. Tetapi walaupun demikian produktivitas per pekerja pada lapangan usaha ini menempati urutan besar kedua setelah Listrik, Gas & Air Bersih. Produktivitas per pekerja antar lapangan usaha memang sangat bervariasi. Tahun 2009 misalnya variasinya antara Rp 6,9 juta (Bangunan) sampai Rp 59,4 juta (Listrik, Gas dan Air Bersih). Ini berarti produktivitas per pekerja pada Lap. Usaha Listrik, Gas dan air Bersih hampir sembilan kali lipat produktivitas pada Lap. Usaha Bangunan. Hal ini menunjukkan terjadi kesenjangan pendapatan yang relatif besar antar kelompok pekerja. Pekerja pada Lapangan Usaha Bangunan produktivitasnya hanya Rp 575.000,- per bulan. Jika rumah tangga pekerja ini terdiri dari empat orang, maka rata-rata pendapatan per kapitanya kurang dari Rp 145.000,- Jumlah ini jauh dibawah angka garis kemiskinan Provinsi Bali Maret 2009 sebesar Rp 196.466,- Dengan cara yang sama dapat dihitung rata-rata pendapatan per kapita untuk pekerja pada lapangan usaha yang lain. Ternyata yang angkanya dibawah batas garis kemiskinan adalah pekerja yang berada pada Lapangan Usaha Pertanian dan Industri Pengolahan yaitu masing-masing sekitar Rp 154.000,- dan Rp 185.000,- Jadi sisi negatif lain yang berkaitan dengan ketenagakerjaan disamping setengah pengangguran, juga adanya kesenjangan produktivitas per pekerja yang relatif besar antar lapangan pekerjaan.

Tabel 6 Perkembangan produktivitas per pekerja menurut lapangan usaha, Provinsi Bali, 2005-2009 (menurut harga konstan 2000).

Lapangan usaha

Produktivitas (Rp juta /pekerja)

Pertumbuhan (% per tahun)

2005

2009

1. Pertanian

7,2

7,4

0,69

2. Pertambangan dan Penggalian

9,3

18,9

19,40

3. Industri Pengolahan

6,4

8,9

8,59

4. Listrik, Gas dan Air Bersih

57,6

59,4

0,77

5. Bangunan

5,8

6,9

4,44

6. Perdagangan, Hotel dan Restoran

15,6

17,3

2,62

7. Pengangkutan dan Komunikasi

26,1

34,3

7,07

8. Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan

43,2

40,2

(-)1,82

9. Jasa-Jasa

11,1

12,8

3,63

Semua lapangan usaha

11,1

12,8

3,63

Sumber: Bali Dalam Angka 2005 dan 2010 (data diolah).

Penduduk Miskin

Kemiskinan mempunyai banyak wajah. Ia tidak hanya sekedar menunjukkan pendapatan yang rendah, tetapi juga merefleksikan kondisi pendidikan dan kesehatan yang buruk, kemerosotan dalam ilmu pengetahuan dan komunikasi, ketidakmampuan menegakkan hak-hak azasi manusia dan politik, serta tidak adanya kehormatan, kepercayaan dan harga diri.

Penentuan penduduk miskin oleh BPS didahului oleh penetapan Garis Kemiskinan (GK), yaitu sebagai besaran nilai pengeluaran yang dibutuhkan penduduk untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non-makanan. Selanjutnya penduduk miskin ditentukan berdasarkan posisi rata-rata pengeluaran per kapita per bulan terhadap GK. Penduduk tergolong miskin jika rata-rata pengeluaran per kapita per bulannya dibawah GK. Maret 2009 GK Provinsi Bali senilai Rp 196.466,- (Kota: Rp 211.461,- dan Desa Rp 176.003,-). Tahun-tahun sebelumnya GK ditetapkan lebih rendah. Selama periode 2005-2009 GK di Provinsi Bali naik rata-rata 6,6 persen per tahun. Tahun 2009 rata-rata kurs US$1 = Rp 10.305, ini berarti GK Provinsi Bali kurang dari US$1 per kapita per hari, padahal PBB menetapkan GK setara dengan pengeluaran US$ 2 per kapita per hari.

Tabel 7 Perkembangan jumlah penduduk miskin menurut desa-kota, Provinsi Bali, 2005-2009

Tahun

Jumlah penduduk miskin (ribuan orang)

Persentase penduduk miskin

Kota

Desa

Kota+Desa

Kota

Desa

Kota+Desa

2005

105,9

122,5

228,4

5,40

8,51

6,72

2006

127,4

116,0

243,5

6,40

8,03

7,08

2007

119,8

109,3

229,1

6,01

7,47

6,63

2008

115,1

100,6

215,7

5,70

6,81

6,17

2009

92,1

89,7

181,7

4,50

5,98

5,13

Sumber: Bali Dalam Angka 2010.

Dengan GK kurang dari Rp 200.000,- penduduk miskin di Provinsi Bali periode 2005-2009 baik secara absolut ataupun persentase jumlahnya menurun (Tabel 7). Trend ini menunjukkan bahwa pembangunan di Provinsi Bali dalam kurun waktu 2005-2009 telah mampu menekan angka kemiskinan. Pemahaman tentang kemiskinan tidak hanya terbatas pada berapa jumlah dan persentase penduduk miskin. Dimensi lain yang perlu diperhatikan adalah tingkat kedalaman dan tingkat keparahan dari kemiskinan itu sendiri. Proses pembangunan semestinya disamping dapat menekan jumlah dan persentase penduduk miskin, tetapi sekaligus juga mengurangi tingkat kedalaman dan keparahan dari kemiskinan tersebut. Dalam kurun waktu Maret 2009 – Maret 2010 Indeks Kedalaman dan Keparahan kemiskinan di Provinsi Bali angkanya menurun (Tabel 8). Ini berarti pengeluaran penduduk miskin semakin mendekati GK dan ketimpangan di antara mereka semakin menyempit. Tetapi jika dilihat menurut desa-kota trend kedua angka indeks tersebut arahnya berlawanan. Di pedesaan angka indeksnya semakin besar, sedangkan di perkotaan semakin kecil. Hal ini mengindikasikan bahwa di pedesaan pengeluaran penduduk miskin semakin menjauhi GK dan ketimpangannya semakin lebar. Sebaliknya di perkotaan menunjukkan keadaan sebaliknya. Dengan kata lain dapat disebutkan bahwa tingkat kemiskinan di pedesaan lebih parah dibandingkan dengan di perkotaan.

Tabel 8 Perkembangan Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) menurut desa-kota, Provinsi Bali, Maret 2009 – Maret 2010.

Indeks Kemiskinan

Kota

Desa

Kota-Desa

Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1)

  •    Maret 2009

  •    Maret 2010

0,77

0,52

0,70

0,96

0,74

0,71

Indeks Keparahan Kemiskina (P2)

  •    Maret 2009

  •    Maret 2010

0,20

0,09

0,13 0,22

0,17

0,14

Sumber: Berita Resmi Statistik (2010)

Kendatipun pembangunan sudah mampu menekan jumlah penduduk miskin baik secara absolut ataupun persentase, tetapi kemiskinan dipedesaan justru semakin parah. Ini merupakan indikasi bahwa penyebaran pembangunan kurang merata antara desa dan kota. Hal ini juga dapat dilihat pada Tabel 7 dimana penduduk miskin di pedesaan proporsinya selalu lebih tinggi dibandingkan dengan di perkotaan.

PENUTUP

Dari segi besaran angka dan trend, selama periode 2005-2009 pertumbuhan ekonomi Provinsi Bali kurang mengesankan. Tahun 2005 pertumbuhannya mencapai 5,56 persen dan tahun 2006 turun menjadi 5,28 persen. Dua tahun berikutnya pertumbuhannya terus meningkat sehingga tahun 2008 menjadi 5,97 persen. Tetapi tahun 2009 menurun lagi menjadi 5,33 persen. Ini berarti selama periode 2005-2009 ekonomi Provinsi Bali tumbuh rata-rata 5,61 persen per tahun. Capaian ini jauh dibawah target yang ditetapkan dalam RPJMD Provinsi Bali dimana tahun 2009 ditentukan sebesar 6,65 persen. Di samping tidak mencapai target, pertumbuhan ekonomi Provinsi Bali juga masih dibawah angka nasional. Tahun 2007 dan 2008 ekonomi nasional tumbuh lebih dari 6,0 persen.

Pertumbuhan ekonomi yang kurang mengesankan tersebut berimplikasi pada beberapa indikator kesejahteraan penduduk. Dalam periode yang sama kesempatan kerja memang bertambah, tetapi pertambahan tersebut seiring dengan makin banyaknya pekerja setengah pengangguran dan pekerja tak dibayar. Angka kemiskinan memang mampu ditekan, tetapi di pedesaan angka kemiskinan makin parah dan terjadi variasi yang cukup besar dalam hal pendapatan pekerja yang bekerja pada lapangan pekerjaan yang berbeda. Semuanya ini mencerminkan bahwa pertumbuhan ekonomi Provinsi Bali dalam kurun waktu 2005-2009 tidak berkualitas. Hal ini terjadi karena pertumbuhan ekonomi tahun 2009 misalnya, hampir 50 persen merupakan kontribusi dari pengeluaran konsumsi rumah tangga. Sedangkan yang berasal dari investasi (Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto) menempati proporsi besar ketiga yaitu hanya 9,2 persen setelah eksport (37,2 persen). Sisanya merupakan kontribusi dari Pengeluaran konsumsi pemerintah dan lembaga swasta serta perubahan inventori. Pertumbuhan ekonomi yang sehat dan berkelanjutan jika sebagian besar ditopang oleh kegiatan investasi. Rendahnya peran investasi dalam mendorong pertumbuhan ekonomi mengakibatkan kemampaun menciptakan lapangan pekerjaan relatif terbatas. Kalaupun terjadi pertambahan kesempatan kerja sebagian mungkin hanya untuk pekerja yang tak dibayar dan atau bukan pekerja penuh (setengah pengangguran).

DAFTAR PUSTAKA

--------------. Bali Dalam Angka 2005. Denpasar: Badan Pusat Statistik Provinsi Bali

--------------. Bali Dalam Angka 2009. Denpasar: Badan Pusat Statistik Provinsi Bali

--------------. Bali Dalam Angka 2010. Denpasar: Badan Pusat Statistik Provinsi Bali

--------------. Berita Resmi Statistik, 1 Juli 2010. Denpasar: BPS Provinsi Bali

--------------. Keadaan Angkatan Kerja Di Indonesia, Februari 2005: Jakarta: Badan Pusat Statistik

--------------. Keadaan Angkatan Kerja Di Indonesia, Februari 2009: Jakarta: Badan Pusat Statistik

Lincolin Arsyad. 1999. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah. Yogyakarta: BPFE

Mudrajad Kuncoro. 2000. Ekonomi Pembangunan, Teori, Masalah dan Kebijakan.Yogyakarta: UPP STIM YKPN

Tri Widodo. 2006. Perencanaan Pembangunan: Aplikasi Komputer. Yogyakarta: UPP STIM YKPN