TREN URBANISASI DI INDONESIA
on
1
TREN URBANISASI DI INDONESIA
Felecia P. Adam
Program Studi Agrobisnis Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Email : [email protected]
ABSTRACT
Urbanization always give negative and positive influences to the development in any sectors. Impact that has been occurred from this process is not only be implicated to the aspect of spacing, but also to social, economy, and cultural aspect. The consequences of urbanization flow rapidly to urban area will cause the slum settlements spread widely, and the micro informal sectors are mushrooming. Informal sector is really developed rapidly and profitable, but it has a consequence to the increasing of poverty. This condition will disturb the urban structure because buffer area like “DAS” will be the target of settlement. The increasing of labor force which could not be involved in the industry are able to bring about internal conflict in the sector of manpower, like unemployment. Social and services facilities became increasingly as a reaction of user demand, however the benefit does not spread evenly because of high cost operating.
The analysis of secondary data in this article/writing will try to show the urbanization condition in Indonesia and its developments.
Key words: trend, urbanization, Indonesia.
I PENDAHULUAN
Urbanisasi merupakan salah satu bagian dari proses mobilitas penduduk yang menarik untuk diperbincangkan selain fertilitas dan mortalitas. Ketiga komponen ini selalu bekerja dalam setiap proses penduduk. Akhir-akhir ini studi tentang urbanisasi menjadi topik yang hangat diperbincangkan karena ternyata urbanisasi memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pembangunan pada hampir semua sektor kehidupan. Kita bisa melihat dengan sangat jelas pada sektor ekonomi informal. Sektor ini ternyata dapat bertahan dalam badai ekonomi yang menghantam negeri ini pada pada akhir tahun 1990-an. Perusahaan dengan nilai investasi besar dan mendapat dukungan penuh dari pemerintah ternyata hancur lebur dan menimbulkan banyak masalah yang sampai saat ini tidak terselesaikan. Sebut saja, kasus lumpur panas di Sidoarjo dan penutupan IPTN di Bandung, dua kasus yang hingga saat ini masih menjadi PR besar buat
pemerintah dan berdampak luas terhadap sektor lainnya. Dampak yang sangat jelas terasa adalah jumlah pengangguran makin meningkat.
Kasto, 2002 menjelaskan bahwa faktor ekonomi merupakan determinan mobilitas penduduk yang utama, yang berkaitan dengan kekuatan sentripetal dan sentrifugal di daerah asal. Kekuatan ini mempunyai daya dorong yang cukup besar dan sulit dibendung. Oleh karena itu migrasi desa kota (urbanisasi) selalu berkaitan dengan masalah kemiskinan dan pengangguran di perkotaan serta masalah perkembangan daerah pinggiran kota.
Tulisan ini akan mencoba menyajikan secara umum tentang urbanisasi dan trend perkembangannya di Indonesia.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui proses dan tren urbanisasi di Indonesia. Selanjutnya, manfaat penelitian adalah untuk memberikan (1) pencerahan bagi semua pihak dalam memahami urbanisasi secara komprehensif; dan (2) masukan bagi pemerintah dalam hubungannya dengan kebijakan kependudukan dan tata ruang wilayah.
II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
Tjiptoherijanto (1999) menyatakan bahwa secara umum urbanisasi diartikan sebagai perpindahan penduduk dari pedesaan menuju perkotaan, namun pengertian ini tidak selalu benar merujuk pada kondisi kontekstual. Urbanisasi yang sesungguhnya adalah proporsi penduduk yang tinggal di perkotaan (urban area). Perkotaan (urban area) tidak sama dengan kota (city). Yang dimaksud dengan perkotaan (urban) adalah daerah atau wilayah yang memenuhi tiga persyaratan, yaitu sebagai berikut.
-
1. Kepadatan penduduk 5000 orang atau lebih per km persegi.
-
2. Jumlah rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian sebesar 25 % atau kurang.
-
3. Memiliki 8 atau lebih jenis fasilitas perkotaan.
Pertambahan penduduk yang tinggal di perkotaan tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu sebagai berikut.
-
(1) pertumbuhan alamiah yang terjadi di daerah tersebut;
-
(2) perpindahan penduduk baik dari kota lainnya maupun dari pedesaan;
-
(3) anexasi; dan
-
(4) reklasifikasi.
Urbanisasi tidak semata-mata dipandang sebagai fenomena kependudukan, namun lebih daripada itu, urbanisasi harus dipandang sebagai fenomena politik, sosial, budaya dan ekonomi. Dari berbagai studi memperlihatkan bahwa semakin maju tingkat perekonomian suatu daerah, semakin tinggi pula tingkat urbanisasinya. Dengan demikian, urbanisasi merupakan fenomena alamiah sejalan dengan perkembangan ekonomi dan tingkat kesejahteraan penduduk di suatu daerah. Hal yang harus diperhatikan atau dihindari dalam kaitannya dengan urbanisasi adalah adanya konsentrasi penduduk yang tinggi atau berlebihan di suatu wilayah sehingga menimbulkan apa yang disebut dengan aglomerasi atau primacy.
Urbanisasi di Indonesia meningkat dengan sangat cepat. Hasil penelitian Soegijoko dan Bulkin,1994 (dalam Tjiptoherijanto, 1999) membuktikan bahwa pada tahun 1920, proporsi penduduk perkotaan hanya 5,8 persen dari seluruh penduduk yang ada. SUPAS 1995 menunjukkan bahwa pada tahun tersebut, tingkat urbanisasi di Indonesia telah mencapai 35,91 persen.
Laju pertumbuhan penduduk perkotaan pada dua dasawarsa terakhir menunjukkan peningkatan yang sangat pesat. Pertumbuhan penduduk perkotaan pada periode 1971-1980 mencapai 4,60 persen per tahun, yang kemudian meningkat menjadi 5,36 persen per tahun pada perode 1980-1990. Laju pertumbuhan penduduk perkotaan pada periode 1980-1990 adalah dua setengah kali lebih daripada laju pertumbuhan penduduk secara keseluruhan, yang besarnya hanya 1,97 persen per tahun. UN melaporkan bahwa pertambahan penduduk perkotaan di Indonesia sekitar 65 persen disebabkan oleh migrasi dan reklasifikasi. Dan sisanya hanya 35 persen disebabkan oleh pertumbuhan alamiah penduduk kota itu sendiri.
Tabel 1. Proyeksi Tingkat Urbanisasi di Indonesia, 1960-2025
Tahun |
Penduduk Perkotaan |
Tingkat Urbanisasi |
2000 |
87.577,1 |
41,80 |
2005 |
102.534,1 |
46,01 |
2010 |
116.481,0 |
49,55 |
2015 |
129.245,3 |
52,60 |
2020 |
140.309,9 |
55,19 |
2025 |
150.052,0 |
57,39 |
Sumber : Firman, 1996 dalam Tjiptoherijanto, 1999
Proyeksi yang dilakukan hingga tahun 2025 memperlihatkan bahwa penduduk perkotaan di Indonesia pada tahun itu akan mencapai 57,39 persen (Tabel 1). Lebih lanjut penduduk perkotaan diperkirakan akan menjadi dua kali lipat dari jumlah yang ada pada saat ini dalam 69 tahun mendatang (dihitung sejak tahun 1990).
III METODE PENELITIAN
Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersumber dari Biro Pusat Statistik antara lain SP 1990, SUPAS 2000 dan Proyeksi Penduduk 2005.
Beberapa definisi operasional dan pengukuran variabel yang digunakan adalah sebagai berikut.
-
1. Secara umum urbanisasi biasanya didefinisikan sebagai perpindahan penduduk desa ke kota di dalam teori migrasi klasik, perpindahan ini disebabkan oleh dua faktor utama yaitu faktor pendorong (push factor) dari daerah asal dan faktor penarik (pull factor) dari daerah tujuan. Perpindahan ini dikarenakan nilai kefaedahan dari dua wilayah yang berbeda.
-
2. Dalam perkembangan selanjutnya definisi urbanisasi mengalami perubahan yang lebih luas, tidak saja berbicara tentang perpindahan secara fisik, tetapi urbanisasi merupakan konsep multidimensional (Poungsomlee & Ross, 1992 dalam Keban, 1995) bahwa urbanisasi harus dipahami dari beberapa pendekatan yaitu pendekatan demografis, proses ekonomi-politik, modernisasi dan legal administrasi.
-
3. Pengukuran terhadap variabel urbanisasi menggunakan metode proyeksi penduduk.
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Secara umum urbanisasi biasanya didefinisikan sebagai perpindahan penduduk desa ke kota. Di dalam teori migrasi klasik, perpindahan ini disebabkan oleh dua faktor utama yaitu faktor pendorong (push factor) dari daerah asal dan faktor penarik (pull factor) dari daerah tujuan. Perpindahan ini dikarenakan nilai kefaedahan dari dua wilayah yang berbeda.
Dalam perkembangan selanjutnya definisi urbanisasi mengalami perubahan yang lebih luas, tidak saja berbicara tentang perpindahan secara fisik, tetapi urbanisasi merupakan konsep multidimensional (Poungsomlee & Ross, 1992 dalam Keban, 1995) bahwa urbanisasi harus dipahami dari beberapa pendekatan yaitu pendekatan demografis, proses ekonomi-politik, modernisasi dan legal administrasi. Pendekatan demografis diartikan sebagai peningkatan konsentrasi penduduk pada daerah perkotaan, sehingga proporsi penduduk perkotaan secara keseluruhan mengalami peningkatan. Dari sisi pendekatan ekonomi politik, urbanisasi dapat didefinisikan sebagai transformasi ekonomi dan sosial yang timbul sebagai akibat dari pengembangan dan ekspansi kapitalisme. Definisi ini sering dipandang sebagai akar dari permasalahan urbanisasi karena kapitalisme internasional dituduh sebagai pemicunya. Dalam proses modernisasi, urbanisasi dipandang sebagai perubahan dari orientasi tradisional ke orientasi modern dimana terjadi difusi modal, teknologi, nilai-nilai, pengelolaan kelembagaan dan orientasi politik dari dunia modern ke masyarakat yang lebih tradisional. Tidak hanya proses difusi, tetapi juga proses intensifikasi pada beragam etnis, suku, agama dan mata pencaharian.
Beberapa pendekatan seperti pendekatan ekologi, neoklasik, perilaku, struktural dan demografis, dapat membantu lebih mendalam memahami urbanisasi. Pendekatan ekologi memberikan tekanan pada hasil interaksi komponen ekologi seperti populasi, organisasi, lingkungan dan teknologi. Dari pendekatan ini urbanisasi dipandang sebagai “adaptasi respons organisasional” yaitu interaksi terhadap perubahan yang datang dari penduduk, teknologi dan lingkungan. Pendekatan neoklasik merupakan usaha memaksimalkan “profit dan utility” yang dilakukan oleh organisasi pengusaha ataupun keluarga. Para bisnismen sering mementingkan aspek efisiensi, yaitu memaksimalkan keuntungan (profit maximization) bagi perusahaan, dan bagi keluarga sering memaksimalkan kegunaan. Hal ini akan memberikan dorongan bagi pengusaha maupun keluarga untuk mencari lokasi yang tepat, sehingga kota sering menjadi tujuannya karena dianggap sangat efisien. Pendekatan perilaku, merupakan keputusan individu yang secara agregat membentuk pola-pola spasial dan proses sosial tertentu. Persepsi individual dan keputusannya merupakan fokus dari pendekatan struktural karena keduanya sangat mempengaruhi proses urbanisasi. Pendekatan struktural, didasarkan atas aspek sejarah dan politik. Meningkatnya proporsi penduduk yang bertambah di perkotaan sejak jaman penjajahan di sebagian besar negara-negara Asia Tenggara seperti yang disimpulkan oleh Koyano (1996), dikarenakan pembentukan kota-kota baru sebagai pusat ekonomi, perdagangan dan pemerintahan
karena tempat-tempat ini memiliki nilai khusus yang berfungsi untuk mengumpulkan hasil bumi. Aktivitas ini memberikan pengaruh positif terhadap terbentuknya proses perdagangan, ekonomi dan pemerintahan. Dalam perkembangan selanjutnya urbanisasi sangat ditentukan oleh faktor politik yang mencerminkan hubungan antar elit domestik secara internal maupun secara eksternal dengan dunia internasional yang berdampak pada penciptaan infrastruktur yang sangat mempercepat urbanisasi.
Pada dasarnya ubanisasi menimbulkan dampak negatif maupun dampak positif. Keban, (1995) mencoba menjelaskan pandangan Arthur Lewis dan Myrdal tentang dampak yang bertolak belakang tersebut. Menurut Lewis, sektor modern yang terdapat di daerah perkotaan jauh lebih produktif dari pada sektor tradisional yang biasanya terdapat di pedesaan. Untuk kepentingan makro, dalam rangka meningkatkan pendapatan nasional, Lewis menyarankan agar tenaga kerja yang kurang produktif/tidak produktif di daerah pedesaan harus pindah ke kota dan bekerja pada sektor modern. Secara agregat, semua tenaga kerja ini akan menyumbang terhadap total pendapatan nasional. Sebaliknya, Myrdal kemudian mencoba memberikan pemahaman tentang dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh urbanisasi bahwa daerah pedesaan (daerah belakang) akan kehilangan tenaga kerja, dengan demikian sektor pertanian akan terhambat, karena kesulitan mencari tenaga kerja di pedsaan. Kondisi ini akan mempengaruhi produktivitas pertanian semakin menurun. Dampak yang lebih luas, juga akan mempengaruhi industri yang berkembang di kota yang membutuhkan produk pertanian pedesaan. Jika pengaruhnya besar bagi industri, maka pertumbuhan GNP akan menurun. Kedua pendapat ini penting, karena dengan demikian urbanisasi harus dikendalikan. Jika tidak, urbanisasi akan mendatangkan masalah besar yang menghambat jalannya proses pembangunan.
Salim (2006) mengemukakan bahwa selama ini Indonesia menerapkan kebijaksanaan urbanisasi melalui dua pendekatan. Pertama, mengembangkan daerah-daerah pedesaan agar lebih maju dengan memiliki ciri-ciri sebagai daerah perkotaan yang dikenal dengan “urbanisasi pedesaan”. Kedua, mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru yang dikenal dengan “daerah penyangga pusat pertumbuhan”. Pendekatan pertama berupaya untuk “mempercepat” tingkat urbanisasi tanpa menunggu pertumbuhan ekonomi, yaitu dengan melakukan beberapa terobosan yang bersifat non-ekonomi. Perubahan tingkat urbanisasi tersebut
diharapkan akan memacu tingkat pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian daerah-daerah pedesaan didorong pertumbuhannya agar memiliki ciri-ciri kekotaan. Penduduk desa tersebut dapat dikategorikan sebagai "orang kota" walaupun sebenarnya mereka masih tinggal di suatu daerah yang memiliki warna pedesaan. Hal ini sejalan dengan istilah wisata pantai atau kota pantai, desa wisata agribisnis, dan lain-lain. Kebijaksanaan kedua adalah mengembangkan kota-kota kecil dan sedang yang selama ini telah ada untuk mengimbangi pertumbuhan kota-kota besar dan metropolitan.
Dari kebijakan umum seperti di atas, nampak bahwa selama ini pola pengembangan kota masih didasarkan pada konsep pengembangan yang menekankan pada aspek ekonomi semata, yang ditunjukkan dengan pembangunan mall dan hipermarket dan pembangunan sarana sosial yang modern seperti pusat rekreasi dan sebagainya. Hal ini diakibatkan karena kemampuan pemerintah dalam mengelola kebijakan ekonomi dirasakan masih sangat terbatas dan sektor swasta diberikan kesempatan luas untuk berperan aktif dalam hal ini. Dengan demikian pendekatannya hanya menekankan pada aspek ekonomi, padahal pertumbuhan ekonomi tidak mampu membawa hasil maksimal. Strategi pembangunan pedesaan seperti pembangunan pusat-pusat pertumbuhan (growth center) maupun program kawasan terpadu seperti membentuk konsep desa kota ternyata kurang efektif dalam mencegah arus migrasi yang masuk ke kota. Karena mau tidak mau tren urbanisasi di Indonesia hingga sekarang ini masih terjadi pada tataran perpindahan penduduk dari desa ke kota dengan harapan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik di kota (Yunus, 2005)
Kota dengan segala keunggulan fasilitas, teknologi dan aksesibilitas menjadi pusat jaringan global. Perkembangan teknologi dan modernisasi medorong daerah yang tadinya merupakan basis mulai berubah menjadi daerah yang dikuasai oleh industri dan jasa. Pola konsumsi masyarakat mulai berubah yang sangat dipengaruhi oleh selera dan iklan yang merangsang kebutuhan baru. Banyak studi empiris membuktikan bahwa semakin majunya suatu daerah/kawasan/kota/negara akan semakin tinggi pula tingkat urbanisasinya.
Hasil proyeksi penduduk 2005, jumlah penduduk Indonesia sebesar 219.898.300 jiwa dengan distribusi penduduk urban 106.364.193 jiwa (48,3 persen) dan penduduk rural 113.600.604 (51,6 persen). DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten dan DI Yogyakarta mempunyai kepadatan yang cukup tinggi yaitu >1000 jiwa/km². Dengan demikian pulau Jawa menjadi wilayah terpadat di Indonesia. Kepadatan yang cukup tinggi di luar Jawa terlihat di Bali yaitu
600 jiwa/km². Di Sumatera kepadatan tertinggi adalah di Lampung yaitu 206 jiwa/km², diikuti Sumatera Utara 169 jiwa/km², dan Sumatera Barat 103 jiwa/km². NTB cukup padat dengan jumlah 216 jiwa/km². Di Sulawesi, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan menunjukkan kepadatan yang cukup tinggi masing-masing 140 jiwa/km² dan 136 jiwa/km². Wilayah yang tingkat kepadatannya masih rendah adalah Papua sebesar 7 jiwa/km², diikuti oleh Kalimantan Timur 14 jiwa/km², Maluku dan Maluku Utara masing-masing 25 jiwa/km².
Tingginya kepadatan di daerah-daerah tertentu (Jawa-Bali) mengindikasikan telah terjadi pergerakan/aliran penduduk menuju pusat-pusat pertumbuhan ekonomi, sosial dan politik walaupun secara absolut pertumbuhan penduduk alami yang diakibatkan oleh fertilitas semakin menurun seperti ditunjukkan oleh estimasi TFR yang mencapai 2,2 pada 2005. Jika kondisi ini terus dibiarkan maka akan berdampak pada kapasitas tampung wilayah yang akan mengalami kejenuhan karena jumlah penduduk yang semakin besar, seperti 1) daerah perkotaan akan terus menarik pergerakan penduduk dalam jumlah yang semakin besar, 2) penduduk yang terkonsentrasi itu akan mengalami kesulitan dalam memanfaatkan lapangan pekerjaan dan kesempatan kerja yang tersedia karena akan terjadi kompetisi yang ketat 3) semakin besar potensi konflik yang ada. Wilayah pedesaan akan mengalami kerugian karena semakin banyak kehilangan sumberdaya manusianya yang lebih produktif. Secara lebih luas akan sangat mengganggu pertumbuhan kota-kota kecil dan menengah terutama di luar Jawa, pertumbuhan akan berjalan lambat dan semakin mengalami ketertinggalan. RPJMN telah memberikan gambaran yang jelas bahwa pertumbuhan perkotaan yang tidak seimbang seperti ini ditambah dengan adanya kesenjangan pembangunan antar wilayah menimbulkan urbanisasi yang tidak terkendali. Secara fisik hal ini ditunjukkan oleh 1) meluasnya wilayah perkotaan karena pesatnya perkembangan dan meluasnya fringe area terutama di kota-kota besar dan metropolitan; 2) meluasnya perkembangan fisik perkotaan di kawasan sub-urban yang telah mengintegrasi kota-kota yang lebih kecil disekitar kota intinya dan membentuk konurbasi yang tidak terkendali; 3) meningkatnya jumlah desa-kota; 4) terjadinya reklasifikasi (perubahan daerah rural menjadi daerah urban, terutama di Jawa); 5) kecenderungan pertumbuhan penduduk kota inti di kawasan metropolitan menurun dan sebaliknya di daerah sekitarnya mengalami peningkatan (proses pengkotaan pada kawasan pedesaan).
Kecenderungan perkembangan semacam ini berdampak negatif terhadap perkembangan kota-kota menengah dan kecil di wilayah lain antara lain 1) terjadinya eksploitasi yang
berlebihan terhadap sumberdaya alam di sekitar kota-kota besar dan metropolitan untuk mendukung dan meningkatkan peetumbuhan ekonomi; 2) secara kontinyu terus terjadi konversi lahan pertanian produktif menjadi kawasan pemukiman, perdagangan dan industri; 3) menurunnya kualitas lingkungan fisik kawasan perkotaan akibat terjadinya perusakan lingkungan dan semakin besar skala polusi; 4) menurunnya kualitas hidup masyarakat perkotaan karena permasalahan sosial-ekonomi dan penurunan kualitas pelayanan kebutuhan dasar perkotaan. Dampak negatif lain yang ditimbulkan terhadap kota-kota di wilayah lain yaitu 1) over consentration penduduk kota di Jawa (Jabotabek 20 persen dari total penduduk perkotaan Indonesia); 2) tidak optimalnya fungsi ekonomi perkotaan terutama kota menengah-kecil dalam menarik investasi dan tempat penciptaan lapangn kerja; 3) tidak optimalnya peranan dan fungsi kota dalam mendukung perwujudan sistem kota-kota nasional. Hingga kini kegiatan ekonomi di wilayah perkotaan masih banyak yang tidak sinergis dengan kegiatan ekonomi di wilayah pedesaan, akibatnya peran kota yang diharapkan dapat memberikan trickle down effect justru menimbulkan dampak negatif bagi pertumbuhan pedesaan. Pada gilirannya hal ini dapat membuat masyarakat pedesaan semakin jauh mengalami ketertinggalan.
Dari jumlah penduduk 219 juta jiwa lebih hasil proyeksi penduduk 2005, angkatan kerja yang tersedia di perkotaan sebesar 43.695.516 orang dan di daerah pedesaan 62.161.745 orang. Angka ini menjelaskan bahwa bagian terbesar angkatan kerja masih mendiami daerah pedesaan dibandingkan perkotaan.
Dari jumlah tersebut, mereka yang terserap di sektor pertanian perkotaan adalah 4.584.875 orang (10 persen), manufaktur sebanyak 10.383.762 orang (24 persen) dan jasa sebanyak 22.512.463 (52 persen). Berdasarkan lapangan pekerjaan utama, penduduk perkotaan yang bekerja di sektor formal dan informal masing-masing sebanyak 19.112.598 (18 persen) dan 17.966.715 (17 persen).
Ini menunjukkan bahwa perkembangan sektor jasa di perkotaan semakin meningkat dengan tajam. Sektor ini menyerap separuh dari jumlah angkatan kerja yang tersedia. Sejalan dengan makin berkembangnya proses pengkotaan daerah sekitar kota, maka penyerapan angkatan kerja di sektor pertanian pun mengalami penurunan. Faktor yang paling besar kontribusinya dalam hal ini adalah konversi lahan pertanian produktif menjadi lahan pemukiman, industri dan rekreasi. Konsekuensinya adalah tenaga kerja pertanian akan beralih ke sektor manufaktur dan sektor jasa. Pada kenyataannya sektor jasa menjadi sektor yang cukup diminati
dibandingkan dengan sektor manufaktur. Akan tetapi sektor formal dan informal menunjukkan angka yang tidak mencolok.
Untuk daerah pedesaan, mereka yang terserap di sektor pertanian 36.674.901 orang (58 persen), manufaktur sebanyak 7.231.460 (11 persen) dan jasa sebanyak 17.430.901 (28 persen). Sektor formal menyerap 9.764.644 (9 persen) dan sektor informal menyerap 46.712.643 (41 persen). Daerah pedesaan masih didominasi oleh sektor pertanian dan informal. Selain dari lapangan kerja dan kesempatan kerja yang tersedia, hal ini sangat berkaitan erat dengan keadaan psikososial maupun sosial ekonomi dari masyarakat pedesaan seperti struktur masyarakatnya yang sederhana, mata pencaharian homogen, kekerabatan yang tinggi, non materialis, kindship, organisasi sosialnya sederhana, dan mobilitas rendah.
Pengangguran terbuka perkotaan mencapai 6.214.808 orang (3 persen) dan di daerah pedesaan masih terdapat 5.684.458 orang (2 persen). Jumlah total pengangguran di Indonesia pada 2005 adalah 11.899.266 orang (5 persen), dengan angka pengangguran terbuka (APT) sebesar 11,24 persen, APT urban =14 persen dan APT rural = 9,14 persen. Tingginya pengangguran terbuka hingga mencapai lebih dari 11 juta orang memberikan indikasi negatif bagi masalah ketenagakerjaan di Indonesia. Hal ini disebabkan, antara lain karena krisis ekonomi yang menghantam dunia secara luas dan Indonesia mengalami dampak yang cukup besar dari persitiwa ini. Hingga 2005 pemulihan dari krisis masih terus dibenahi dengan berbagai kebijakan lintas sektor tetapi kelihatannya mengalami perlambatan. Beberapa faktor yang cukup berpengaruh signifikan terhadap tingginya pengangguran diantaranya menciutnya lapangan kerja formal di perkotaan maupun pedesaan, para pekerja yang bekerja di lapangan kerja yang ada kurang produktif, perbedaan upah yang semakin lebar antara pekerja formal dan informal, menurunnya produktifitas industri pengolahan dan meningkatnya penganggur terbuka usia muda.
Masalah klasik yang dihadapi berkaitan dengan urbanisasi selalu pada “urbanisasi tidak terkendali”. Ini terjadi sebagai akibat dari praktek sistem ekonomi yang terlalu mementingkan modernisasi industri di kota dan telalu mengutamakan sektor modern di kota. Akibatnya tidak mampu menyediakan pemenuhan kebutuhan dasar bagi penduduk kota maupun penduduk desa. Arus urbanisasi yang pesat juga merupakan kelemahan masyarakat yang tidak mampu menciptakan pasaran dalam negeri yang memadai untuk mendorong produksi (baik pertanian maupun industri). Bagi banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, kebijakan
pembangunan yang mengabaikan sektor pertanian telah menimbulkan tidak memadainya pertumbuhan pendapatan di daerah pedesaan. Di sisi lain, kebijakan mengimpor teknologi padat modal secara besar-besaran untuk mencapai industrialisasi dengan segera telah menyebabkan pertumbuhan kesempatan kerja di kota tidak sesuai dengan jumlah orang yang mencari pekerjaan. Ribuan petani di pedesaan kehilangan tanah karena mekanisasi pertanian yang belum waktunya, alih fungsi lahan yang semakin terus meningkat menimbulkan gejala baru yang menyebabkan petani harus berpindah ke kota-kota yang tumbuh dengan pesat, tetapi apa yang diharapkan mereka ternyata tidak terwujud.
Keurbanan suatu wilayah berdasarkan definisi dalam sensus penduduk di Indonesia berubah-ubah sejak SP 1961 hingga SP 2000. Pada SP 1961 klasifikasi urban ditentukan dari karakteristik suatu unit atau kawasan yaitu desa yang memenuhi persyaratan 1) terletak di kotamadya, 2) merupakan bagian dari ibukota kabupaten, 3) > 80 persen penduduknya bekerja di luar pertanian. SP 1971 pengertian urban makin diperluas, dengan persyaratan 1) 50 persen aatu lebih penduduknya bekerja di luar pertanian dan 2) minimal memiliki 3 fasilitas kota yaitu rumah sakit atau klinik, sekolah dan listrik. SP 1980 konsep urban tidak lagi menggunakan batasan kota secara fisik, tetapi didefinisikan secara fungsional yaitu lebih cenderung pada variabel karakteristik kepadatan penduduk, pola okupasi dan ketersediaan prasarana kota; 1) kepadatan penduduknya adalah 5000 orang atau lebih per kilometer persegi, 2) 25 persen atau lebih dari seluruh rumah tangga di desa bekerja di luar pertanian, 3) memiliki 8 fasilitas kota. SP 1990 dan 2000 tidak mengalami perubahan definisi, masih tetap menggunakan definisi SP 1980. Akan tetapi pada SP 1990 dengan menggunakan definisi urban seperti di atas, maka kemungkinan yang terjadi adalah desa mengalami perubahan klasifikasi, dikarenakan 1) desa mengalami penambahan fasilitas publik, 2) ada kecenderungan pergeseran mata pencaharian penduduk desa dari pertanian ke non pertanian, 3) mobilitas penduduk desa semakin meningkat karena jalur-jalur transportasi semakin terbuka, 4) pemukiman yang padat.
Berdasarkan data SP 1990, SUPAS 1995 dan Proyeksi Penduduk 2005, maka dapat dihitung proporsi tingkat keurbanan di Indonesia dilihat dari persentase penduduk perkotaan yang secara relatif terus mengalami peningkatan. Secara nasional berturut-turut adalah 30,9 persen pada tahun 1990, meningkat 34,3 persen pada 1995 dan menjadi 48,3 persen pada tahun
2005. Sepuluh tahun terakhir, peningkatan presentase penduduk kota mencapai lebih dari 163 persen secara nasional, yaitu dari jumlah penduduk kota 32,845 juta jiwa pada tahun 1990 menjadi 86,40 juta jiwa pada tahun 2000 atau secara proporsi dari 22,3 pada 1980 menjadi 48,3 pada tahun 2005.
Peningkatan proporsi menurut provinsi, dominan terjadi di perkotaan wilayah Jawa yang rata-rata mencapai 8,57 persen dalam waktu sepuluh tahun terakhir, sedangkan wilayah luar Jawa relatif kecil, yaitu rata-rata hanya 3,37 persen dalam waktu yang sama. Hal ini menggambarkan, terdapat ketimpangan peningkatan wilayah perkotaan di Jawa dengan di luar Jawa secara signifikan yang disebabkan beberapa penyebab, antara lain masih cukup banyaknya arus migrasi spontan ke Jawa dibandingkan ke luar Jawa karena faktor pertumbuhan ekonomi di Jawa lebih dominan, natural increase (pertumbuhan alami) atau selisih kelahiran dan kematian serta tidak memperhatikan angka migrasi yang masih cukup besar di Jawa karena kepadatan penduduk Jawa yang memang lebih tinggi dibandingkan dengan kepadatan penduduk luar Jawa dan penyebab lainnya seperti faktor sosial budaya dari masyarakat Jawa.
Tren perkembangan penduduk daerah perkotaan di Indonesia menurut provinsi juga telah diproyeksikan oleh BPS (Tabel 1), dengan membuat asumsi untuk ketiga faktor, yaitu faktor pertumbuhan alami penduduk daerah perkotaan, migrasi dari daerah perdesaan ke daerah perkotaan, dan reklasifikasi desa perdesaan menjadi desa perkotaan, tetapi berdasarkan perbedaan laju pertumbuhan penduduk daerah perkotaan dan daerah perdesaan (Urban Rural Growth Difference/URGD). Tingkat urbanisasi menurut provinsi dari tahun 2000 hingga 2025 yang dihitung oleh BPS mencapai 68 persen pada tahun 2025 untuk beberapa provinsi, terutama di Jawa dan Bali. Untuk Sumatera; Riau 71,1 persen, di Jawa; Jakarta 100 persen, Jawa Barat 81,4 persen, Jawa Tengah 73,8 persen, DIY 82,8, Jawa Timur 73,7, Banten 81,5, Bali 81,5 persen, dan Kalimantan Timur 75,9 persen. Bahkan persentase penduduk perkotaan pada 4 provinsi di Jawa pada tahun 2025 lebih dari 80 persen. Keadaan ini memperkuat asumsi umum bahwa tingginya persentase ini disebabkan karena pusat-pusat pertumbuhan (sosial dan ekonomi) terkonsentrasi di perkotaan menjadi faktor penarik yang dominan bagi pergerakan penduduk ke perkotaan. Hal ini juga memberikan gambaran bahwa pengembangan pusat-pusat ekonomi baru pada kota menengah dan kecil belum memperlihatkan hasil yang maksimal.
Tabel 2. Presentase Penduduk Daerah Perkotaan per Provinsi, 2000-2025 | ||||||
Provinsi |
2000 |
2005 |
2010 |
2015 |
2020 |
2025 |
1 Nangro Aceh Darusallam |
23.6 |
28.8 |
34.3 |
39.7 |
44.9 |
49.9 |
2. Sumatera Utara |
42.4 |
46.1 |
50.1 |
54.4 |
58.8 |
63.5 |
3. Sumatera Barat |
29.0 |
34.3 |
39.8 |
45.3 |
50.6 |
55.6 |
4. Riau |
43.7 |
50.4 |
56.6 |
62.1 |
66.9 |
71.1 |
5. Jambi |
28.3 |
32.4 |
36.5 |
40.6 |
44.5 |
48.4 |
6. Sumatera Selatan |
34.4 |
38.7 |
42.9 |
47.0 |
50.9 |
54.6 |
7. Bengkulu |
29.4 |
35.2 |
41.0 |
46.5 |
51.7 |
56.5 |
8. Lampung |
21.0 |
27.0 |
33.3 |
39.8 |
46.2 |
52.2 |
9. Kepulauan Bangka Belitung |
43.0 |
47.8 |
52.2 |
56.5 |
60.3 |
63.9 |
10. DKI Jakarta |
100.0 |
100.0 |
100.0 |
100.0 |
100.0 |
100.0 |
11. Jawa Barat |
50.3 |
58.8 |
66.2 |
72.4 |
77.4 |
81.4 |
12. Jawa Tengah |
40.4 |
48.6 |
56.2 |
63.1 |
68.9 |
73.8 |
13. D I Yogyakarta |
57.6 |
64.3 |
70.2 |
75.2 |
79.3 |
82.8 |
14. Jawa Timur |
40.9 |
48.9 |
56.5 |
63.1 |
68.9 |
73.7 |
15. Banten |
52.2 |
60.2 |
67.2 |
73.0 |
77.7 |
81.5 |
16. Bali |
49.7 |
57.7 |
64.7 |
70.7 |
75.6 |
79.6 |
17. Nusa Tenggara Barat |
34.8 |
41.9 |
48.8 |
55.2 |
61.0 |
66.0 |
18. Nusa Tenggara Timur |
15.4 |
18.0 |
20.7 |
23.5 |
26.4 |
29.3 |
19. Kalimantan Barata |
24.9 |
27.8 |
31.1 |
34.8 |
39.0 |
43.7 |
20. Kalimantan Tengah |
27.5 |
34.0 |
40.7 |
47.2 |
53.3 |
58.8 |
21. Kalimantan Selatan |
36.2 |
41.5 |
46.7 |
51.6 |
56.3 |
60.6 |
22. Kalimantan Timur |
57.7 |
62.2 |
66.2 |
69.9 |
73.1 |
75.9 |
23. Sulawesi Utara |
36.6 |
43.4 |
49.8 |
55.7 |
61.1 |
65.7 |
24. Sulawesi Tengah |
19.3 |
21.0 |
22.9 |
24.9 |
27.3 |
29.9 |
25. Sulawesi Selatan |
29.4 |
32.2 |
35.3 |
38.8 |
42.6 |
46.7 |
26. Sulawesi Tenggara |
20.8 |
23.0 |
25.6 |
28.5 |
31.8 |
35.5 |
27. Gorontalo |
25.4 |
31.3 |
37.0 |
42.8 |
48.2 |
53.2 |
28. Maluku |
25.3 |
26.1 |
26.9 |
27.9 |
28.8 |
29.9 |
29. Maluku Utara |
28.9 |
29.7 |
30.6 |
31.5 |
32.5 |
33.6 |
30. Papua |
22.2 |
22.8 |
23.5 |
24.3 |
25.1 |
26.0 |
INDONESIA |
42,0 |
48,3 |
54,2 |
59,5 |
64,2 |
68,3 |
Sumber: Ringkasan Proyeksi Penduduk Indonesia, 2005 |
Tabel 2 menunjukkan bahwa sekalipun terjadi peningkatan jumlah penduduk, tetapi pada daerah-daerah tertentu terjadi pertumbuhan negatif. Tingginya tingkat urban tidak dengan otomatis menaikkan pertumbuhan penduduk di kota. Hal ini disebabkan karena sekalipun daerah pinggiran telah berkembang dengan ciri kekotaan tetapi secara administratif daerah pinggiran (desa) belum berubah status administratifnya. Penyebab lainnya adalah terjadinya pemekaran wilayah, konflik dan bencana, yang juga membawa perubahan besar dalam pertumbuhan penduduk dalam periode 1990-2005
Urbanisasi menjadi fenomena yang kuat di negara-negara berkembang termasuk Indonesia (Baiquni, 2004) Kota besar dan pusat-pusat industri menjadi tujuan kaum muda untuk mencari pekerjaan. Fenomena ini berkaitan dengan daya tarik petumbuhan ekonomi yang pesat dan lapangan pekerjaan yang terbuka dengan dibangunnya industri dan jasa di perkotaan. Faktor daya tarik kota lainnya adalah tersedianya sarana pendidikan yang lebih tinggi, kehidupan modern yang menyenangkan dan beragamnya fasilitas hiburan. Kehidupan kota menimbulkan mimpi tentang kemajuan dan kesejahteraan bagi kalangan muda untuk mengadu nasib. Faktor daya dorong urbanisasi berkaitan dengan involusi pertanian di pedesaan Jawa dan perubahan pada sektor pertanian akibat modernisasi. Lapangan kerja di pedesaan mulai menyempit dan pekerjaan ini tidak lagi menarik bagi kaum muda. Seperti telah dijelaskan pada awal tulisan ini bahwa persoalan urbanisasi tidak hanya menjadi persoalan demografis tetapi lebih luas daripada itu. Capital brain dan brain drain adalah sebuah fenomena yang harus diwaspadai. Jika hal ini dibiarkan maka desa akan mengalami pengurasan sumber daya.
V SIMPULAN DAN SARAN
Dari uraian di atas beberapa hal yang bisa disimpulkan adalah sebagai berikut.
-
1. Urbanisasi dapat menimbulkan dampak negatif maupun positif
-
2. Urbanisasi terjadi karena keinginan setiap individu/sekelompok masyarakat menginginkan perubahan yang lebih di dalam hidupnya.
-
3. Pada daerah/wilayah yang perkonomiannya maju, biasanya memiliki tingkat urbanisasi yang tinggi pula.
-
4. Urbanisasi kebanyakan terjadi pada daerah/wilayah yang menjadi pusat ekonomi, sosial, budaya dan pemerintahan.
-
5. Pulau Jawa masih mendominasi tingkat urbanisasi di Indonesia.
-
1. Perlu kebijakan baru tentang kependudukan yang dapat mengatur proses migrasi dan urbanisasi tanpa mengurangi hak-hak dari mereka sebagai warga negara.
-
2. Salah satu upaya untuk mengurangi tingkat urbanisasi adalah menciptakan lapangan pekerjaan baru di wilayah pedesaan
DAFTAR PUSTAKA
Baiquni., M, 2004., Membangun Pusat-Pusat di Pinggiran-Otonomi di Wilayah Kepulauan. Ide As dan PKPEK, Yogyakarta.
BKKBN, 2005., Ringkasan Proyeksi Penduduk Indonesia 2000-2005, Hasil Kerjasama BPS-BAPPENAS-UNFPA Untuk Intern BKKBN, Jakarta.
Darwin M dan Tukiran, 1991, Penggunaan Hasil Sensus Untuk Estimasi Urbanisasi, Populasi 1 (2), 1991, PSKK UGM, Yogyakarta
Kasto, 2002. Mobilitas penduduk dan dampaknya Terhadap Pembangunan Daerah dalam Mobilitas Penduduk Indonesia; Tinjauan Lintas Disiplin. PSKK UGM, Yogyakarta
Kayona Shogo, 1996, Pengkajian Tentang Urbanisasi di Asia Tenggara, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
Keban, Yeremias, 1995 ; Urbanisasi-Konsep, Teori dan Kebijakan, materi Pelatihan Mobilitas Penduduk, PPK UGM, Yogyakarta.
Manning, Chris dan Effendi Tadjuddin Noer, 1985., Urbanisasi, Pengangguran dan Sektor Informal di Kota, Gramedia, Jakarta
Mantra, Ida Bagoes, 2000. Teori Migrasi Everett S. Lee. PSKK UGM Yogyakarta
Salim, Fahruddi, 2006, Urbanisasi, Desa-Kota, Pusat Pertumbuhan, dalam http://www.sinarharapan.go.id/ diakses tanggal 22 mei 2007
Tjiptoherijanto, Prijono., 1999. Urbanisasi dan Pengembangan Kota di Indonesia. Populasi-Buletin Penelitian Kebijakan Kependudukan Volume 10 Nomor 2 Tahun 1999. PPK UGM, Yogyakarta
Yunus, Hadi Sabari, 2005., Megapolitan ; Konsep, Problematika dan Proses, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Discussion and feedback