EFEK PUBLIKASI NEGATIF TERHADAP SIKAP DAN PERILAKU KARYAWAN
on
EFEK PUBLIKASI NEGATIF TERHADAP
SIKAP DAN PERILAKU KARYAWAN
Putu Saroyeni Piartrini
Fakultas Ekonomi Universitas Udayana Email : [email protected]
ABSTRACT
Organizations spent a considerable effort and time to build positive image and organization commitment. This article explore whether negative information about the labor practices of an organization and unethical conduct of part of the employee of the organization affect employees’ attitude and behavior. Based on social identity theory and relevant research findings, this article explores the potential effects of negative publication of employees behavior or organizational practices on employees’ attitude toward organization and their commitment toward organization.
Organizations needs to build effective and intensive communication mechanism to build and improve employee identification toward organization. High employee identification toward organization will moderate the impact of negative organization publication on employee attitude and employee commitment.
Keyword: Negative publication, organization identification, employee’s attitude, employee’s commitment.
PENDAHULUAN
Akhir-akhir ini, paparan informasi negatif beberapa organisasi, baik organisasi pemerintah maupun organisasi swasta, meningkat intensitasnya. Satu organisasi dipublikasikan karena sebagian oknum karyawannya telah melakukan praktek korupsi yang memalukan, sementara organisasi lain dipublikasikan melakukan praktek penempatan sumber daya manusia tanpa melalui prosedur yang lasim. Bagaimana pengaruh paparan informasi negatif organisasi tersebut terhadap perilaku karyawannya? Apakah publikasi negatif berkaitan dengan kebijakan
maupun praktek dalam organisasi mempengaruhi citra organisasi yang pada akhirnya mempengaruhi perilaku karyawannya?
Citra organisasi merupakan aset yang tidak ternilai dan menjadi modal dasar untuk menarik individu potensial dan mempertahankan keryawan terbaik yang diharapkan dapat mengungkit kinerja dimasa mendatang secara berkelanjutan. Namun sebagai objek yang beroperasi dilingkungan yang dinamik, organisasi mengalami pasang surut gelombang komunikasi dan publikasi berkaitan dengan kebijakan dan praktek pengelolaaan kegiatan yang dilakukannya, yang mempengaruhi citranya dimata publik dan karyawannya. Citra positif suatu organisasi adalah modal dasar untuk menarik calon karyawan potensial dan menumbuhkan loyalitas karyawan terbaik yang ada dalam organisasi.
Loyalitas merupakan konsep yang menjelaskan niat individu karyawan untuk tetap bergabung dengan organisasi dimana mereka manjadi bagiannya, bersedia berkorban untuk pencapaian tujuan organisasi dan berperan sebagai komunikator untuk mewartakan hal positif berkaitan dengan organisasi dan praktek pengelolaaan. Loyalitas adalah sasaran organisasi dalam fungsi pemeliharaan sumber daya manusia terbaik yang dimilikinya guna mempertahankan dan meningkatkan nilai tambah organisasi. Publikasi negatif potensial mencederai citra organisasi dimata pihak internal maupun pihak eksternal. Dampak publikasi negatif pada pihak luar adalah membentuk citra negatif bagi organisasi dan pada pihak internal dapat mempengaruhi level identifikasi diri karyawan terhadap organisasi. Dengan demikian setiap organisasi harus mengantisipasi dan menyikapi bila suatu saat terjadi peristiwa yang dapat mencederai citra positif organisasi yang telah dibangun dengan susah payah selama beberapa waktu sebelumnya.
Dalam beberapa studi pada ranah perilaku konsumen, citra merek suatu produk berhubungan dengan level identifikasi konsumen pada merek produk tersebut ( Aaker et al., 2003; Golden dan Irwin, 2001). Meskipun temuan ini hanya mengungkapkan aspek ekonomi hubungan antara merek produk dengan konsumen, namun bermanfaat untuk digunakan sebagai salah satu acuan bagi pengelola organisasi untuk mengantisipasi efek publikasi informasi negatif berkaitan dengan organisasi terhadap sikap karyawan di lingkungan kerjanya, kususnya pengaruh terhadap level identifikasi karyawan pada organisasi.
Konsep identifikasi sosial diturunkan dari teori kategori sosial (Turner, 1970) merupakan persepsi individu terhadap kuat atau lemahnya hubungan antara individu dengan kelompok sosial dimana individu menjadi bagiannya, yang membentuk rasa memiliki dan rasa senasib sepenanggungan. Identifikasi sosial terbentuk karena persepsi kesamaan karakteristik antara individu, merupakan bagian dari organisasi suatu perusahaan dan organisasi tersebut. Persepsi kesamaan dapat meliputi antara lain kesamaan nilai, tujuan, dan visi. Identifikasi individu terhadap organisasi terjadi sebagai akibat interaksi intensif antara organisasi dengan individu. Melalui interaksi terjadi sosialisasi dan internalisasi nilai, tujuan, dan visi organisasi pada individu karyawan. Konsep identitas sosial dianggap sebagai konsep sentral dalam ranah perilaku organisasi dan manajemen sumber daya manusia ( Gioia et al., 2000). Konsep ini telah diteliti oleh peneliti pada disiplin psikososial maupun sosiologis yang kemudian diadopsi oleh peneliti perilaku organisasi untuk menjelaskan perilaku karyawan di lingkungan kerjanya dan perilaku interpersonal dalam organisasi. Penelitian pada kelompok organisasi bertujuan mencari laba maupun bukan pencari laba yang menggunakan perspektif teori identitas sosial (Tajfel dan Turner, 1975; Bhattacharya et al., 1995; Arnett et al., 2003).
Berdasarkan perspektif teori identitas sosial dijelaskan bahwa dalam mengekspresikan dirinya, individu melakukannya dengan menonjolkan identitas diri dan identitas kelompok sosial. Salah satu identitas kelompok sosial yang dapat ditonjolkan untuk mengartikulasikan dirinya adalah keanggotaaan dalam organisasi tertentu. Temuan penelitian yang menerapkan perspektif teori identitas sosial pada perilaku karyawan dalam organisasi mengungkapkan bahwa perasaan berharga individu sebagian dibentuk oleh keanggotaan dalam kelompok tertentu. Bila identitas individu dibentuk oleh keanggotaan dalam kelompok akan menumbuhkan ikatan emosional yang menurunkan perasaan senasib dan sepenanggungan antara individu dan organisasi (identifikasi sosial tinggi) sehingga mempengaruhi perilaku nyata yang bermanfaaat bagi kedua belah pihak yaitu individu dan organisasi, bahkan tidak jarang dibarengi dengan kerelaaan berkorban demi pencapaian tujuan organisasi, karena menganggap dirinya menjadi bagian dari organisasi. Ketika level identifikasi individu pada organisasi tertentu relatif tinggi, maka individu tersebut cenderung mendefinisikan dirinya sesuai dengan karakteristik organisasi dan membedakan dirinya dari karyawan organisasi lain untuk membangun perasaan berharga (self esteem). Berdasarkan temuan penelitian tersebut, kita dapat melihat pentingnya organisasi meningkatkan level identifikasi karyawan pada organisasi.
Identitas Karyawan dan Identifikasi Karyawan pada Organisasi
Identifikasi karyawan pada organisasi pada dasarnya merupakan persepsi kesatuan antara individu dengan organisasi dan orang-orang didalamnya (Asforth dan Mael, 1989), atau dengan kalimat lain dinyatakan sebagai seberapa kuat hubungan individu dengan organisasi dimana dimana mereka bekerja yang ditunjukkan dengan seberapa banyak kesamaan karakteristik antar
organisasi dengan individu tersebut. Dalam konteks ini organisasi dianggap sebagai organisme yang memiliki karakter dan kepribadian sebagaimana individu karyawan. Individu cenderung mengelompokkan dirinya dan menghubungkan dirinya dengan organisasi atau kelompok yang memiliki karakteristik serupa sehingga persepsi keanggotaan individu pada organisasi tertentu dapat digunakan untuk meramalkan perilaku nyata individu tersebut ( Billig dan Tajfel, 1973; Turner, 1975). Derajat identifikasi karywan dipengaruhi oleh prestise organisasi, kepuasan kerja, kualitas komunikasi dalam organisasi.
Bagaimanakah pengaruh publikasi negatif suatu organisasi mempengaruhi prestise organisasi ? Prestise adalah persepsi pemangku kepentingan bahwa suatu organisasi disegani, dihargai, dan dikenal luas (Bergami dan Bagozzi, 2000). Bila organisasi dinilai bermakna, dihargai dan diakui oleh pemangku kepentingan maka karyawan cenderung akan membangun ikatan emosional yang lebih kuat dengan organisasinya (level identifikasi karyawan tinggi) untuk meningkatkan perasaan berharga/self esteem (Campbell et al., 2004). Semakin tinggi prestise suatu organisasi, maka semakin kuat level identifikasi karyawan pada organisasi dimana mereka bekerja (Arnett et al., 2003; Battacharya dan Bergami dan Bagozzi, 2000). Prestasi yang diraih oleh organisasi berkorelasi positif dengan level identifikasi karyawan pada organisasi tersebut (Arnett et al., 2003; Smidts et al., 2001). Karena prestise organisasi dianggap sebagai lambang keberhasilan maka identifikasi karyawan pada organisasi yang prestisius dapat meningkatkan self esteem individu karyawan. Dengan demikian paparan informasi negatif yang dipublikasikan berkaitan dengan kebijakan dan praktek yang berlaku dalam suatu organisasi dapat mempengaruhi level identifikasi individu karyawan pada organisasi karena dapat berdampak pada citra dirinya. Publikasi negatif berkaitan dengan organisasi akan melemahkan identifikasi karyawan pada organisasi yang bersangkutan.
Kepuasan Kerja dan Identifikasi Karyawan pada Organisasi
Sebagian orang menganggap kepuasan kerja adalah konsep yang nisbi kalau bukan konsep yang maya, karena beranggapan mustahil memuaskan karyawan yang memiliki berbagai harapan yang berbeda satu sama lain sementara sumber daya organisasi demikian terbatas. Oliver (1980) mengungkapkan bahwa kepuasan kerja merupakan konsep utama yang menjadi prasyarat terbentuknya hubungan antara karyawan dengan organisasi. Kepuasan kerja adalah respon kognitif maupun emosional individu karyawan terhadap lingkungan kerjanya yang meliputi kebijakan dan praktek penarikan karyawan, pengembangan karyawan, penggajian karyawan, pemeliharaan karyawan, komunikasi dalam organisasi maupun pemutusan hubungan kerja. Arnett et al.,(2003) mengungkapkan bahwa kepuasan karyawan terhadap lingkungan kerjanya mempengaruhi level identifikasi karyawan pada organisasi dimana mereka bekerja. Arnett et al.(2003) mengungkapkan bahwa kepuasan kerja karyawan memainkan peran penting dalam membentuk identifikasi karyawan terhadap organisasi universitas. Battacharya et al.(1995) mengungkapkan bahwa dalam lingkungan pengunjung museum, bahwa semakin puas pengunjung pada sajian/koleksi museum makin kuat level identifikasi pengunjung pada museum. Kepuasan kerja merupakan prasyarat bagi identifikasi individu karyawan pada organisasi ( Arnett et al., 2003; Asforth dan Mael, 1n 2003). Mengacu pada temuan tersebut dapat diduga bahwa dalam lingkungan organisasi yang tidak memuaskan karyawan cenderung memiliki level identifikasi yangg lebih rendah dibandingkan dalam lingkungan kerja yang memuaskan.
Komunikasi Manajerial
Telah disadari bahwa proses komunikasi internal dalam pengelolaaan organisasi memegang peran penting dalam membentuk identifikasi karyawan pada organisasi, meskipun aspek ini belum memperoleh perhatian memadai dari para praktisi manajemen ( Smidth, et al.,2001). Anderson dan Narus (1990) mengartikan komunikasi korporasi sebagai proses distribusi informasi antar perusahaan, baik secara formal maupun informal. Smidths (2001) mengungkapkan temuan penelitiannya bahwa penyajian informasi yang relevan secara memadai menciptakan iklim komunikasi positif dan meningkatkan level identifikasi individu karyawan pada organisasi. Beech dan Huxham (2003) memperkuat temuan ini bahwa proses komunikasi dapat secara tidak langsung mempengaruhi pembentukan identitas. Semakin tinggi intensitas komunikasi antara organisasi dengan anggota organisasi maka makin kuat level identifikasi terhadap organisasi tersebut (Battacharya et al., 1995), sebagaimana dinyatakan oleh Kleine et al., (1993) bahwa makin tinggi intensitas paparan organisasi maka secara positif meningkatkan level identifikasi individu pada organisasi. Peran media komunikasi sangat penting dalam pembentukan identifikasi individu terhadap suatu organisasi. Organisasi yang secara intensif melakukan komunikasi dengan karyawannya dan para pemangku kepentingan lainnya memiliki peluang membangun identifikasi diri yang lebih kuat dibandingkan organisasi yang melakukan komunikasi dengan intensitas komunikasi yang lebih rendah.
Hubungan Publikasi Negatif, Identifikasi Karyawan pada Organisasi dengan Sikap dan Perilaku Karyawan
Studi sebelumnya membuktikan bahwa publikasi negatif organisasi mempengaruhi reaksi pihak internal organisasi maupun pihak eksternal organisasi. Scott Brenton dan Lotte Ten
Hacken (2006) mengungkapkan bahwa publikasi negatif organisasi produsen mampu menumbuhkan reaksi emosional yang negatif konsumen, meskipun belum cukup kuat untuk mendorong melakukan pemboikotan terhadap produk yang dihasilkan perusahaan. Pengaruh publikasi negatif terhadap pihak internal kelompok/organisasi, dijelaskan berdasarkan perspektif teori identitas sosial (Tajfel & Turner, 1986), bahwa setiap individu selalu berupaya menciptakan citra diri yang positif. Citra diri sebagaian dibentuk oleh citra kelompok sosial dimana individu menjadi anggotanya. Dengan demikian individu akan berusaha mengembangkan identifikasi dengan organisasi yang prestisius, karena organisasi yang prestisius dinilai positif oleh lingkungan. Identitas sosial memenuhi kebutuhan individu akan rasa memiliki atau kebutuhan sosial. Seberapa besar pengaruh identitas sosial dalam membentuk identitas individu/citra individu dipengaruhi oleh nilai emosional yang dirasakan oleh individu. Individu cenderung memelihara hubungan emosional dan afiliasi dengan organisasi yang memiliki citra positif di lingkungannya. Publikasi suatu organisasi meningkatkan saliansi identitas kelompok bagi individu anggotanya yang mendorong melakukan komperasi antar kelompok. Bila komperasi antar kelompok menghasilkan posisi yang tidak menguntungkan akan menimbulkan rasa tidak nyaman pada anggota kelompok tersebut (Wright&Tropp, 2002). Posisi ini disebut sebagai identitas sosial negatif (Mummenday et al., 1999) yang mempengaruhi sikap anggota kelompok/organisasi yang dipublikasikan. Dikenal 3 reaksi yang mungkin timbul sebagai akibat publikasi negatif suatu kelompok atau organisasi yaitu reaksi mobilitas sosial, reaksi kreativitas sosial dan reaksi tindakan sosial.
Reaksi mobilitas sosial adalah reaksi individu dalam bentuk upaya menjaga jarak dengan kelompok/organisasi atau menyamarkan identitas kelompok/organisasi dari pandangan publik. Perilaku yang ditunjukkan sebagai reaksi mobilitas sosial serupa dengan perilaku individu yang
tidak loyal terhadap kelompok/organisasi. Seorang karyawan yang menyembunyikan nama organisasi tempatnya bekerja atau menutupi/menyamarkan atribut organisasi dari pandangan masyarakat luas merupakan bentuk reaksi mobilitas sosial. Bila menungkinkan memperoleh pekerjaan baru pada organisasi lain, individu tersebut akan mengundurkan diri dari organisasi tersebut. Sebagai reaksi terhadap identitas sosial negatif, adakalanya mendorong kreativitas sosial individu. Proses kreativitas soial tergolong reaksi psikologis yang melibatkan terjadinya perubahan persepsi. Reaksi ini meliputi upaya penemuan elemen baru sebagai variabel pembanding antar kelompok dan memilih kelompok acuan/pembanding yang baru untuk memperoleh posisi banding yang lebih positif. Pada saat yang sama upaya ini dibarengi dengan upaya membangun pembenaran agar elemen pembentuk identitas negatif dapat ditoleransi. Kompetisi sosial adalah reaksi individu terhadap identitas sosial yang melibatkan tindakan sosial yang bertujuan meningkatkan status. Tindakan sosial/kolektif ditujukan agar kelompok dapat diterima oleh kelompok mayoritas atau publik secara luas. Dalam penelitian lain dibuktikan bahwa, level identifikasi individu berkorelasi positif dengan rekomendasi positif yang diberikan individu (Mael dan Ashforth, 1992; Bhattacharya dan Sen, 2003; Bergami dan Bagozzi, 2000; Ahearne et al., 2005). Rekomendasi positif yang diberikan oleh individu yang memiliki identifikasi tinggi pada organisasi bermanfaat untuk menciptakan publikasi positif bagi organisasi dilingkungan para pemangku kepentingan.
Mengacu pada temuan-temuan penelitian sebelumnya bagi organisasi sedang mengalami ancaman publikasi negatif berkaitan dengan kebijakan dan praktek pengelolaan yang diterapkannya atau perilaku sebagian oknum karyawannya yang potensial menumbuhkan citra dan identitas negatif perlu mengantisipasi reaksi individu karyawan melalui beberapa makanisme yaitu meningkatkan intensitas dan kualitas komunikasi internal dan eksternal. Komunikasi
organisasi ditujukan untuk meningkatkan frekuensi kontak dengan anggota organisasi dan pemangku kepentingan agar informasi berkaitan dengan fakta dan peristiwa dapat disampaikan secara akurat dan efektif. Peningkatan frekuensi tatap muka/kontak antara organisasi dengan anggota organisasi maupun para pemangku kepentingan diharapkan meningkatkan frekuensi kontak antara karyawan dengan manajemen. Komunikasi demikian memungkinkan dialog dua arah tercipta sehingga menciptakan kedekatan dan kesepahaman diantara anggota organisasi, manajemen dan pemangku kepentingan lain. Intensitas komunikasi yang memadai mempercepat terjalinnya ikatan emosional antara anggota organisasi, para pemangku kepentingan dengan manajemen melalui sosialisasi dan internalisasi visi dan misi, tantangan serta hambatan yang dihadapi organisasi dalam mencapai tujuannya. Proses komunikasi yang intensif juga merefleksikan pengakuan dan penghargaan manajemen terhadap keberadaan karyawan dan para pemangku kepentingan sebagai bagian dari organisasi. Kondisi ini akan mendorong identifikasi individu karyawan dan para pemangku kepentingan sehingga memahami keadaan organisasi dan bersedia memberikan dukungan dukungan gunan mempertahankan citra dan kredibilitas organisasi. Melengkapi peningkatan intensitas dan kualitas proses komunikasi, organisasi juga perlu memperhatikan aspek lingkungan kerja yang memempengaruhi kepuasan kerja karyawan. Diawali dengan melakukan upaya memperoleh informasi umpan balik persepsi karyawan dan pemangku kepentingan berkaitan dengan kebijakan dan praktek pengelolaaan yang diterapkan, hasil survey tersebut tersebut akan menjadi masukan yang sangat berharga bagi organisasi untuk melakukan perbaikan dan penyempurnaan kebijakan dan praktek pengelolaan. Tindakan ini juga merefleksikan kepedulian organisasi pada hal-hal yang dibutuhkan dan dinilai penting oleh karyawan dan pemangku kepentingan. Diharapkan upaya ini akan memberikan sinyal bahwa organisasi masih berharga untuk dipertahankan dan diberikan dukungan karena memiliki niat
untuk berubah menjadi lebih baik, sesuai harapan karyawan dan para pemangku kepentingan.
Persepsi ini berharga untuk mengantisipasi reaksi mobilitas sosial maupun rekomendasi negatif yang diberikan para karyawan sebagai anggota organisasi kepada pihak eksternal sebagai akibat ketidakpuasan dan melemahnya identifikasi karyawan pada organisasi. Kegagalan dalam menindaklanjuti publikasi negatif organisasi dapat menimbulkan penurunan kepuasan kerja, penurunan semangat kerja, peningkatan jumlah karyawan yang mengundurkan diri dan kemudian mencapai puncak pada penurunan produktivitas dan kualitas hasil kerja karyawan.
Dinamika lingkungan adalah peristiwa alami yang merupakan tantangan bagi setiap
organisasi yang beroperasi didalamnya. Pemahaman tentang sifat dan dampak publikasi negatif terhadap sikap dan perilaku karyawan maupun para pemangku kepentingan lain akan membantu organisasi mengendalikan dampak negatif yang ditimbulkan terhadap kepuasan kerja, semangat kerja, pengunduran diri karyawan, produktivitas kerja dan kualitas kerja serta fungsi organisasi secara maksimal.
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan temuan penelitian berkaitan dengan anteseden dan efek identifikasi diri karyawan pada organisasi, dapat disimpulkan bahwa publikasi negatif berkaitan dengan organisasi mempengaruhi citra organisasi dan sikap serta penilaku karyawan organisasi yang bersangkutan. Publikasi negatif dapat menurunkan citra organisasi dan mempengaruhi citra diri karyawan sebagai anggota organisasi. Efek potensial publikasi negatif organisasi terhadap sikap dan perilaku dapat dikendalikan melalui identifikasi karyawan pada organisasi. Dengan demikian setiap organisasi perlu membangun identifikasi karyawan yang kuat, agar karyawan memiliki ikatan emosional dengan organisasi dan merasa senasib sepenanggungan. Ikatan dan hubungan emosional semacam ini diharapkan dapat mendorong tumbuhnya rasa pengabdian karyawan yang ditunjukkan dengan memberikan kontribusi secara maksimal demi pencapaian tujuan organisasi. Identifikasi karyawan pada organisasi dapat dibangun melalui pembangunan prestise
oraganisasi, kepuasan kerja karyawan dan komunikasi yang intensif dan efektif antara organisasi dengan pemangku kepentingan.
Dalam upaya membangun identifikasi karyawan manajemen perlu membangun prestise yang berpijak budaya kerja berorientasi pada transparansi dan akuntabilitas sebagai nilai sosial yang dihargai bukan saja oleh karyawan dan manajemen, tapi juga pemangku kepentingan yang lain, sehingga dapat meningkatkan kepuasan kerja karyawan dan membangun mekanisme komunikasi yang efektif dengan karyawan dan pemangku kepentingan lain. Dalam membangun prestise organisasi hendaknya manajemen menciptakan lingkungan kerja yang kondusif, dengan memasukkan nilai-nilai budaya kerja yang mendorong peningkatan produktivitas dan kreativitas karyawan. Organisasi dapat merumuskan nilai-nilai budaya organisasi dengan mengikutsertakan karyawan agar nilai-nilai yang kelak dibakukan merupakan nilai bersama dan dapat diterima oleh semua pihak. Penerimaan ini diharapkan akan meningkatkan komitmen dalam penerapannya oleh seluruh komponen organisasi. Perumusan visi, misi dan tujuan organisasi dilakukan dengan melibatkan karyawan. Keterlibatan karyawan dalam perumusan nilai organisasi juga merupakan wujud pengakuan keberadaan dan kemampuan karyawan oleh manajemen yang dapat mendorong pencapaian sasaran organisasi yang merupakan elemen penting prestise organisasi.
Kepuasan karyawan hendaknya menjadi salah satu sasaran penting dalam proses perencanaan strategik organisasi. Manajemen dapat mengawalinya dengan melakukan survei kepuasan karyawan untuk menjaring informasi umpan balik kinerja fungsi manajemen sumber daya manusianya yang meliputi kebijakan penarikan karyawan, pelatihan dan pengembangan karyawan, penempatan karyawan, pemberian imbalan dan pemeliharaan karyawan. Masukan dan survei dapat digunakan sebagai titik awal upaya peningkatan kepuasan karyawan. Kepedulian manajemen terhadap karyawannya secara berkelanjutan ditunjukkan dengan pelaksanaan survei kepuasan karyawan secara periodik sebagaimana dilakukan terhadap para pelanggannya.
Identifikasi karyawan hanya dapat dibangun bila sistem informasi dan komunikasi organisasi berfungsi efektif dan dilakukan secara intensif. Komunikasi intensif merupakan syarat utama pembentukan hubungan antara manajemen dengan organisasi, dengan demikian organisasi perlu meningkatkan frekuensi komunikasi internal antara manajemen puncak dengan pelaksana. Bagi organisasi yang memiki hierarki komunikasi formal yang panjang perlu menciptakan mekanisme komunikasi yang lebih pendek dan bersifat informal. Dalam jalur komunikasi yang pendek distorsi persepsi pesan yang disampaikan dapat diminimalkan dan dalam suasana
komunikasi informal pesan lebih mudah diterima dan dicerna oleh komunikan. Dalam mengatasi kondisi krisis akibat publikasi negatif, mekanisme komunikasi yang intensif dan efektif juga akan bermanfaaat dalam memberikan klarifikasi kepada karyawan tentang peristiwa tersebut sehingga pemahaman lebih cepat terbangun, harga diri (self esteem) karyawan terpelihara dan loyalitas karyawan tetap kuat pada organisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Boninger, D.S., Krosnick,J.A. and Berent, M. A. 1995. The causes of attitude importance: Self interest, social identification and values. Journal of Personality and Social Psychology.
American Reed 11. 2002. Social identity as useful perspective for self concept based consumer research Psychology & marketing. Vol. 19. Iss. 3. 235
Boninger, D.S., Krosnick,J.A. and Berent, M. A. 1995. The causes of attitude importance: Self interest, social identification and values. Journal of Personality and Social Psychology
Scott Brenton, Lotte ten Hacken, Ethical Consumerism: Are Unethical Labour Practices Important, 2006.
Fisher, R.J., Wake K. 1998. Factors leading to group identification: A field study of winners and losers, Psychology & Marketing. 5. 23-40.
Hogg, Michael A and Tery, Deborah. 2000. Social identity and sSelf categorization processes in organizational contexts. Academy of Management Review. 25. 1 12 1-140.
_____, Abrams, D. 1988. social identification: A social psychology of intergroup relation and group processes. London.
Rachel S. Shinnar, Coping With Negative Social Identity: The Case of Mexican Immigrants,The Journal of Social Psychology, 2008.
13
Discussion and feedback