KONSTRIBUSI STRATEGI BERTAHAN HIDUP RUMAH TANGGA PASCA-TRAGEDI BOM BALI I PADA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MATERI: MENGGUNAKAN DATA PANEL RUMAH TANGGA
on
KONSTRIBUSI STRATEGI BERTAHAN HIDUP RUMAH TANGGA PASCA-TRAGEDI BOM BALI I PADA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MATERI: MENGGUNAKAN DATA PANEL RUMAH TANGGA
N.W. Suriastini
SurveyMETER Yogyakarta Email: [email protected]
ABSTRACT
This research is aimed to know the contribution of the household survival strategies in terms of medium welfare improvements after the Bali bombing I, 2003-2005, based on the data of National Social Economic Survey (SUSENAS) 2002 and the data panel of the Study Economics Social Transition in Bali (EST-Bali) 2003, 2004, and 2005 which are specially collected to explore the socio economic impacts of Bali bombing 1. The data of SUSENAS and ESST-Bali are analysed in a descriptive way and use multinominal logistic. The result of the analysis is confirmed with the qualitative data from six different locations. Not all household survival strategies are able to improve the welfare of the household.
Keywords: bomb, coping, welfare, survival, consolidation, accumulation
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Tragedi bom Bali 1, pada tahun 2002, menyebabkan pariwisata yang menjadi leading sector perekonomian Bali dalam tiga warsa terakhir sebelum tragedi mengalami kemerosotan selama beberapa waktu. Kejadian bom Bali 1 memberikan sinyal pada wisatawan bahwa keamanan tidak terjamin di Bali. Penurunan jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Bali beberapa saat setelah tragedi sampai awal tahun 2004, tidak bisa dihindari. Jumlah wisatawan asing yang berkunjung ke Bali turun drastis setelah tragedi dan belum tampak pulih kembali sebelum bulan Januari 2004. Lebih dari 38 persen penduduk Bali tergantung pada kegiatan yang bergerak dalam bidang pariwisata (BPS, 2003), menyebabkan tragedi bom Bali 2002 berpotensi besar memberikan tekanan berat pada perekonomian Bali.
Rumusan Masalah
Dengan menggunakan data panel pada tingkat rumah tangga dan individu, Suriastini (2010) mengungkapkan bahwa drama tragedi bom Bali 2002 dalam periode jangka pendek adalah secara 1
signifikan terjadi penurunan upah nyata yang mencapai 22 persen dan secara total rumah tangga mengalami penurunan pendapatan sebesar 26 persen. Sejalan dengan teori strategi bertahan hidup Morduch (1995), Alderman dan Paxson (1994) serta UNDP (2001) hasil penelitian ini juga menunjukkan penurunan konsumsi rumah tangga 4-8 bulan setelah tragedi lebih kecil dari pada penurunan pendapatan. Pengeluaran rumah tangga pada periode ini hanya turun 9 persen karena rumah tangga mengambil sejumlah strategi bertahan hidup untuk melindungi kesejahteraanya. Selain melakukan penurunan konsumsi, tiga strategi terbanyak yang dipilih oleh rumah tangga adalah ada anggota rumah tangga berganti status pekerjaan, ada anggota rumah tangga berganti lapangan/status pekerjaan dan menambah jam kerja anggota rumah tangga. Permasalahan yang diangkat dalam artikel ini adalah bagaimana kesejahteraan rumah tangga dalam jangka menengah dan strategi apa yang berperanan penting dalam meningkatkan kesejahteraan jangka jangka menengah?
Tujuan
Tujuan dari artikel ini adalah untuk mengetahui kontribusi strategi bertahan hidup rumah tangga pada kesejahteraan rumah tangga dalam jangka pendek dan menengah.
Manfaat
Walaupun tampak terjadi peningkatan aksi teroris di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia, namun masih sedikit penelitian tentang respon dari rumah tangga dalam menghadapi kejadian ini terutama dalam bidang ekonomi. Salah satunya disebabkan karena sulitnya mendapatkan data yang bersifat sebelum kejadian dan setelah kejadian (pretest dan posttest). Data SUSENAS 2002 bersama-sama dengan data EST-Bali 2003, 2004, 2005 bisa dijadikan sebagai penelitian yang bersifat sebelum dan sesudah kejadian pada tingkat individu dan rumah tangga. Diketahuinya kontribusi dari strategi yang diadopsi pada peningkatan kesejahteraan di masa pemulihan, studi ini ikut berkontribusi dalam pengambilan keputusan dan penetapan kebijaksanaan menentukan kelompok/target yang perlu di intervensi dan bentuk-bentuk intervensi dan penanggulangan yang perlu dilakukan ketika terjadi suatu krisis ekonomi sebagai akibat dari peristiwa seperti pemboman Bali. Apa saja dan bagaimana sebaiknya upaya dari setiap rumah tangga dalam mengurangi risiko pengurangan pendapatan merupakan informasi penting yang diperlukan untuk menuntun rancangan kebijakan.
KAJIAN PUSTAKA
Strategi Rumah Tangga
Dalam menghadapi perubahan pendapatan yang terjadi secara tiba-tiba dan bersifat sementara, rumah tangga melakukan penyesuaian untuk mempertahankan utilitas marginal dari konsumsi (Mankiw, 2002). Cara-cara yang diambil oleh rumah tangga untuk mengurangi dampak dari fluktuasi pendapatan sementara, seperti akibat dari krisis ekonomi disebut coping (strategi bertahan hidup). Menurut Morduch (1995), coping dilakukan lewat keputusan yang berkaitan dengan produksi dan pekerjaan. Coping yang terkait dengan risiko dapat dibagi dalam dua tahap: pertama, rumah tangga menyesuaikan pendapatan, yang sering dicapai dengan membuat produksi yang konservatif atau pilihan pekerjaan dan diversifikasi aktivitas ekonomi. Lewat cara ini, rumah tangga mengambil langkah untuk melindungi dirinya dari goncangan penurunan pendapatan sebelum terjadi. Langkah kedua, rumah tangga menyesuaikan konsumsi seperti lewat kredit dan simpanan, pengurangan aset dan akumulasi aset yang bukan merupakan aset finansial, menyesuaikan penawaran tenaga kerja, asuransi formal dan informal. Mekanisme ini, biasanya diadopsi setelah terjadi guncangan yang melindungi pola konsumsi dari variasi pendapatan. Alderman dan Paxson (1994) juga memiliki pandangan yang sama dengan Morduch (1995), namun menggunakan istilah yang berbeda.
Demikian juga dengan UNDP (2001) membagi strategi rumah tangga menjadi dua strategi yaitu strategi jangka pendek dan strategi jangka panjang. Strategi jangka panjang sering dikenal dengan sebutan strategi reproduksi (reproduction strategy) mencakup sejumlah aktivitas yang terdiri dari aktifitas ekonomi dan non ekonomi ditujukan untuk menjamin kelangsungan reproduksi jangka panjang dan kesejahteraan rumah tangga dan anggotanya. Apa yang disebut oleh Morduch (1995) sebagai strategi sebelum terjadinya krisis, oleh Alderman dan Paxson (1994) disebut sebagai risk management dapat digolongkan masuk dalam definisi strategi reproduksi (reproduction strategy) UNDP (2001). Strategi jangka pendek yang dikenal dengan sebutan survival coping strategy (strategi survival atau coping) oleh UNDP (2001) merupakan respon jangka pendek terhadap goncangan dan krisis ekonomi yang terjadi. Strategi ini diadopsi untuk mengatasi goncangan ekonomi baik yang
terduga maupun yang tidak terduga. Strategi ini sejalan dengan definisi strategi setelah krisis dari Morduch (1995) atau risiko coping oleh Alderman dan Paxson (1994).
Indikator Kesejahteraan
Secara garis besar ada dua cara yang dapat dipergunakan untuk mengukur kesejahteraan materi yaitu pertama menggunakan data pendapatan dan kedua menggunakan data konsumsi. Data pendapatan lebih tersedia dalam survai dengan jumlah sampel yang banyak sehingga memberikan lebih banyak power, kekuatan dalam menguji hipotesis. Dalam analisis data pendapatan banyak dipergunakan di negara maju seperti Amerika Serikat. Namun sejumlah literatur menunjukkan bahwa pengumpulan data pendapatan memiliki lebih banyak error di negara-negara berkembang. Hal ini terutama diakibatkan lebih banyaknya pekerjaan formal yang tersedia di negara maju dibandingkan dengan negara berkembang, oleh karena itu di negara-negara berkembang data konsumsi adalah alat pengukuran standar bagi pengukuran kesejahteraan materi. Konsumsi lebih baik dilaporkan dibandingkan pendapatan dan lebih sedikit bias under-reporting dan tidak ada jawaban. Konsumsi selain menggambarkan pedapatan jangka panjang juga merefleksikan transfer dari luar rumah tangga, kredit, pengaruh harga dan aktivitas-aktivitas ilegal lainnya. Secara konseptual dan ekonomi data konsumsi lebih tepat digunakan untuk mengukur kesejahteraan dibandingkan dengan data pendapatan karena konsumsi merupakan pengukuran yang lebih langsung dari kesejahteraan (Mayer dan Sullivan, 2003; Anand dan Harris, 1994, Fergusson et al., 1981).
Aspek nonmateri kesejahteraan biasa dilihat dari sisi pendidikan dan juga kesehatan. Kesehatan diukur baik secara fisik maupun secara mental emosional. Dalam literatur tentang kualitas hidup dan standar kehidupan penggunaan indikator subjektif yang berkaitan dengan aspek nonmateri, berkembang banyak dalam dua-tiga dekade ini. Pengukuran status kesehatan diukur dari berbagai dimensi seperti pertanyaan tentang pengukuran kesehatan secara umum, penyakit berdasarkan pelaporan responden maupun pengukuran secara medis, pengobatan yang dijalani, aktivitas fisik, hubungan sosial dan kesehatan psikologi/mental/emosional seperti tentang sulit tidur, perasaan
takut/gelisah dan pertanyaan tentang kebahagiaan. (Moore et al, 2004; Easterlin, 2001; Hawthorne et al., 1999).
METODE
Data
Artikel ini menggunakan data panel pada tingkat rumah tangga dengan data base data SUSENAS 2002 yang dikumpulkan delapan bulan sebelum tragedi bom Bali 1 beserta data studi followup-nya yaitu Studi Ekonomi Sosial Transisi di Bali (EST-Bali) 2003, 2004 dan 2005. EST-Bali merupakan studi panel dimana SUSENAS 2002 merupakan data dasarnya yang sengaja dikumpulkan untuk mengetahui dampak sosial dan ekonomi dari tragedi bom Bali 2002 dalam jangka pendek dan menengah. Resurvai EST-Bali 2003 dilakukan setelah 4-8 bulan tragedi (Pebruari - Juni 2003), EST-Bali 2004 dilakukan 16-20 setelah tragedi (Januari - Juli 2004) dan di tahun 2005 dilakukan setelah 2832 bulan setelah stragedi (Januari-Juli 2005). Penjelasan hasil utama analisis data survai didalami dengan data kwalitatif studi kasus di enam lokasi. Studi kualitatif untuk masing-masing kategori dilakukan di dua lokasi dimana satu berlokasi di daerah pedesaan dan satu lagi berlokasi di daerah perkotaan. Total dari enam lokasi ini, tiga merupakan daerah pedesaan dan tiga lokasi merupakan daerah perkotaan.
Metode Analisis
Pengkategorian keberhasilan kesejahteraan materi jangka menengah memakai istilah yang dipakai oleh White (1991) dalam mengkategorikan keberhasilan petani di Jawa Timur dalam meningkatkan kesejahteraannya setelah diversifikasi pertanian menjadi 3 kelompok yaitu: kelompok akumulasi, rumah tangga yang berhasil memenuhi kebutuhan dasarnya secara berlebihan sehingga mampu melakukan investasi; kelompok konsolidasi, rumah tangga mampu memenuhi kebutuhan dasar dan mampu menghadapi fluktuasi perubahan pendapatan sewaktu-waktu dan kelompok survival, rumah tangga yang belum bisa mencukupi kebutuhan dasarnya. Kesejahteraan diukur dengan data konsumsi. Ketiga istilah strategi yang dipakai oleh White (1991): survival, konsolidasi dan akumulasi dipakai sebagai label dalam mengkategorikan keberhasilan dari rumah tangga dalam meningkatkan kesejahteraannya dalam periode recovery, jangka menengah dengan perubahan definisi sebagai berikut:
-
1. Kategori survival: kuantil 1 dalam keberhasilan meningkatkan kesejahteraan dalam periode recovery, konsumsi 2005 masih lebih kecil dari 2002.
-
2. Kategori konsolidasi: kuantil 2 dan 3 dalam keberhasilan meningkatkan kesejahteraan dalam periode recovery. Konsumsi 2005 ada yang masih lebih kecil dari 2002 namun banyak yang telah melebihi konsumsi 2002.
-
3. Kategori Akumulasi: kuantil 4 dalam keberhasilan meningkatkan kesejahteraan dalam periode recovery. Konsumsi 2005 semuanya lebih besar dari 2002.
Pengkatagorian ini dipilih karena (1) mata pencaharian sampel tidak semuanya dalam bidang pertanian; (2) sejumlah variabel yang dipergunakan oleh White (1991) dalam mengidentifikasikan keberhasilan rumah tangga seperti ukuran usaha dan kemampuan melakukan investasi tidak ada dalam data SUSENAS 2002 dan EST-Bali (BPS, 2002a; BPS, 2002b); (3) konsumsi merupakan variabel yang sudah biasa dipergunakan untuk menentukan keberhasilan rumah tangga dalam bidang ekonomi diantaranya dipergunakan untuk menentukan garis kemiskinan (Frankenberg, et al., 1999; Suryahadi dan Sumarto, 2001); (4) seperti yang diungkapkan oleh Pradhan et al. (2001), dalam menentukan garis kemiskinan, peneliti memulai dengan keyakinan awal tentang tingkat kemiskinan dan menggunakan range percentile/kuantil (seperti 20th-30th atau 30th-40th) sebagai group referensi.
Dalam tahap pertama analisis dilakukan secara diskriptif bivariate tentang keadaan kesejahteraan masyarakat Bali dalam jangka menengah setelah tragedi bom Bali 1. Dalam tahap kedua dilakukan analisis secara multivarate untuk melihat kontribusi dari strategi rumah tangga pada katagori kesejahteraan jangka menengah. Untuk ini dilakukan analisis multinomial logistic dengan dependen variabel kategori dengan nilai 1, 2 dan 3. Dimana 1 adalah rumah tangga yang masuk dalam kategori survival, 2 merupakan rumah tangga yang masuk dalam kategori konsolidasi dan 3 adalah rumah tangga – rumah tangga yang masuk dalam kategori akumulasi. Independen variabel adalah strategi rumah tangga yang dinteraksikan dengan besaran goncangan yang dihadapi pada periode 2002-2003, dikontrol dengan keadaan demografi, ekonomi dan sosial rumah tangga.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kesejahteraan pada Masa Pemulihan
Tabel 1 memperlihatkan keadaan kesejahteraan materi dan non materi pada periode jangka menengah. Kesejahteraan dilihat dari dua sisi, sisi materi dan juga dari sisi nonmateri (Hill, 2000;
Diener dan Suh,1999). Kesejahteraan materi dilihat dari indikator “konsumsi per kapita rumah tangga” (Mayer dan Sullivan, 2003; Anand dan Harris, 1994; Fergusson et al., 1981) dan indikator subjektif (Dainer, 1984; Easterlin, 2001) yang dalam hal ini didekati dengan persepsi responden individu tentang jenjang kehidupan rumah tangganya. Pertanyaan subjektif kesejahteraan materi ini ditanyakan lewat pertanyaan “Apabila Ibu/Bapak/Sdr membayangkan enam jenjang, dimana jenjang pertama adalah jenjang orang-orang yang paling miskin dan jenjang enam adalah yang paling kaya. Kira-kira keadaan Ibu/Bapak/Sdr sekarang ini berada pada jenjang keberapa?”. Pilihan responnya adalah 1-6. Pertanyaan ini merupakan tambahan yang baru ditanyakan pada tahun 2003 dan kemudian ditanyakan kembali pada tahun 2004 dan 2005. Pertanyaan ini ditanyakan pada setiap individu yang berumur 15 tahun atau lebih. Tabel 1 menampilkan rata-rata dari konsumsi per-kapita rumah tangga, sedangkan untuk indikator subjektif tentang jenjang keadaan rumah tangga ditampilkan persentase individu yang melaporkan jenjang kualitas hidupnya adalah di jenjang 3, 4, 5 atau 6 (sedang sampai paling kaya).
Kesejahteraan nonmateri yang biasanya dipakai adalah indikator dalam bidang pendidikan dan kesehatan (Moor et al, 2004; Easterlin, 2001; Hawthorne et al., 1999). Dalam artikel ini kesejahteraan nonmateri yang akan dilihat adalah kesejahteraan dari sisi kesehatan saja. Dalam artikel ini dua indikator yang dipilih untuk melihat kesejahteraan nonmateri anggota rumah tangga setelah kejadian Bom Bali adalah (1) persepsi responden tentang keadaan kesehatan fisiknya secara umum; (2) persepsi responden tentang keadaan kesehatan mental emosinya secara umum relatif dengan keadaan sebelum bom bali. Persepsi keadaan kesehatan fisik subjektif diambil dari jawaban responden atas pertanyaan “Secara umum, bagaimana keadaan kesehatan I/B/S saat ini?” dengan opsi jawaban 5 buah yaitu: sangat sehat sekali (1), sehat sekali (2), sehat (3), kurang sehat (4), tidak sehat (5). Pertanyaan ini merupakan pertanyaan tambahan sejak tahun 2003. Keadaan kesehatan fisik responden yang dilaporkan Tabel 1 merupakan persentase responden yang melaporkan keadaan kesehatan fisiknya: sehat, sehat sekali atau sangat sehat sekali. Sementara itu keadaan kesehatan metal emosional diambil dari data jawaban responden atas pertanyaan “Dibandingkan dengan keadaan emosional (perasaan, pikiran) Ibu/Bapak /Sdr. sebelum pemboman Kuta, 12 Oktober 2002, empat bulan yang lalu,
bagaimana keadaan kesehatan emosional Ibu/Bapak/Sdr. sekarang, apakah sangat lebih baik, lebih baik, sama, lebih buruk atau sangat lebih buruk?” untuk jawaban dari pertanyaan ini diberikan lima opsi pilihan yaitu: sangat lebih baik (1), lebih baik (2), sama (3), lebih buruk (4) dan sangat lebih buruk (5). Sama halnya dengan pertanyaan tentang kesehatan fisik, pertanyaan tentang kesehatan emosional ini ditanyakan sejak tahun 2003. Tabel 1 menampilkan persentase dari individu yang melaporkan keadaan emosinya relatif dengan keadaan pada tahun 2002: sama, lebih baik atau sangat lebih baik.
Tabel 1
Kesejahteraan Pada Masa Pemulihan
Jenis Kesejahteraan |
2002 |
2003 |
2004 |
2005 |
N |
Kesejahteraan Materi | |||||
Mean konsumsi per kapita (dalam ribuan) |
1.039 |
944 |
821 |
1.076 |
1.397 |
% Jenjang kualitas hidup, sedang-paling kaya |
- |
63,3 |
47,7 |
65,6 |
2.873 |
Kesejahteraan Nonmateri | |||||
% Kesehatan fisik, sehat-sangat sehat sekali |
- |
92,0 |
94,2 |
93,2 |
3.593 |
% Kesehatan emosional dibandingkan sebelum bom Bali, sama - sangat lebih baik |
- |
91,0 |
98,0 |
96,7 |
3.593 |
Sumber: SUSENAS Modul 2002 dan EST-Bali 2003, 2004, 2005
Kesejahteraan materi, baik dari sisi indikator objektif yang didekati dengan pendekatan konsumsi maupun dari sisi subjektif dengan melihat data jenjang kualitas hidup, secara umum memberikan gambaran yang hampir sama, keadaan kesejahteraan pada tahun 2004 lebih buruk dibandingkan dengan keadaan pada tahun 2003 dan kemudian menunjukkan adanya kenaikan di tahun 2005. Untuk konsumsi, kondisi pada tahun 2005 juga menunjukkan keadaan yang lebih baik dibandingkan dengan keadaan pada tahun 2002. Berbeda dengan keadaan kesejahteraan materi, kesejahteraan nonmateri menunjukkan keadaan yang berbeda. Relatif dengan keadaan pada tahun 2003 keadaan kesejahteraan nonmateri baik kesehatan secara fisik maupun kesehatan secara emosional
pada tahun 2004 menunjukkan adanya peningkatan dan pada tahun 2005 memperlihatkan adanya sedikit penurunan dibandingkan dengan keadaan pada tahun 2004.
Kontribusi Strategi Rumah Tangga pada Kelompok Kesejahteraan Jangka Menengah
Strategi rumah tangga yang dievaluasi adalah strategi bekerja rumah tangga, tindakan-tindakan yang sifatnya membatasi, penyesuaian konsumsi antar waktu, berbagi risiko dengan rumah tangga dalam komuniti dan meminimalkan risiko dalam rumah tangga. Dependen variabel kategori dengan nilai 1, 2 dan 3. Dimana 1 adalah rumah tangga yang masuk dalam kategori survival, 2 merupakan rumah tangga yang masuk dalam kategori konsolidasi dan 3 adalah rumah tangga – rumah tangga yang masuk dalam kategori akumulasi. Tabel 2 merupakan hasil regresi multinomial logistik ini yang nilai estimasinya relatif dengan keadaan rumah tangga yang masuk dalam kategori konsolidasi dengan Independen variabel adalah strategi rumah tangga yang dinteraksikan dengan besaran goncangan yang dihadapi pada periode 2002-2003, dikontrol dengan keadaan demografi, ekonomi dan sosial rumah tangga.
Rumah Tangga Kelompok Survival
Hasil analisis untuk rumah tangga kategori survival diperlihatkan pada Tabel 2. kolom 1-3. Dalam analisis multivariate ini, setiap strategi diintegrasikan dengan besarnya goncangan pada tahun 2002–2003 yang dapat diartikan sebagai kontribusi dari strategi terhadap goncangan yang terjadi terhadap masuknya rumah tangga dalam kategori survival relatif dengan masuknya rumah tangga dalam kategori konsolidasi. Tambahan jam kerja anggota rumah tangga yang bekerja pada tahun 2005 meningkatkan peluang rumah tangga 1,7 kali masuk dalam kategori survival relatif dengan masuknya rumah tangga dalam kategori konsolidasi. Strategi pergantian lapangan pekerjaan yang dilakukan oleh rumah tangga pada tahun 2004 dan 2005 cenderung membawa rumah tangga masuk dalam kategori survival 1,7-1,8 kali. Keadaan ini didukung oleh analisis sebelumnya baik dalam analisis kontribusi strategi jangka pendek maupun jangka menengah. Perubahan lapangan pekerjaan berkontribusi negatif pada perubahan kesejahteraan jangka pendek dan jangka menengah. Fallon dan Lucas (2002) juga menemukan hal yang sama. Demikian juga halnya dengan strategi menjual aset yang dilakukan pada tahun 2003, membawa rumah tangga masuk ke dalam kelompok survival 2,1 kali lebih banyak. Ini dapat diartikan, semakin cepat rumah tangga melakukan tindakan penjualan aset dari waktu mulainya
krisis, semakin vulnerable rumah tangga tersebut. Waktu mulainya aset dijual berkorelasi dengan volume dari aset yang dijual. Moser (1996) juga mengidentifikasikan hal yang senada. Semakin banyak rumah tangga kehilangan asetnya semakin vulnerable rumah tangga tersebut.
Ini menandakan strategi yang secara signifikan membawa rumah tangga masuk dalam kategori survival adalah strategi penambahan jam kerja yang dilakukan pada tahun 2005, berganti lapangan pekerjaan pada tahun 2004 dan 2005, serta menjual aset pada tahun 2003. Sebaliknya, strategi melakukan peminjaman, menerima transfer dan menjual aset yang dilakukan rumah tangga pada tahun 2005 menurunkan peluang rumah tangga masuk dalam kategori survival 0,6 kali dan 0,7 kali serta 0,3 kali relatif dengan masuknya rumah tangga dalam kategori konsolidasi. Ini bisa diartikan bahwa relatif dengan keadaan rumah tangga yang masuk dalam kelompok konsolidasi, rumah tangga-rumah tangga yang masuk dalam kelompok survival lebih sedikit melakukan strategi meminjam, menerima transfer dan menjual aset pada tahun 2005.
Variabel kontrol yang berperanan. Rumah tangga yang berada di bawah median pendapatan, penambahan pendapatan pada tahun 2002 berkorelasi positif dengan masuknya rumah tangga dalam kategori survival. Hal yang sama juga terjadi pada rumah tangga yang berpendapatan di atas median pada tahun 2002 namun dalam skala yang lebih kecil. Hasil ini sejalan dengan temuan Fallon dan Lucas (2002) yang menemukan rumah tangga miskin kurang mampu menyesuaikan konsumsi pada saat krisis terjadi. Lebih-lebih ketika semua rumah tangga dalam komunitas mengalami krisis. Semakin banyak anggota rumah tangga yang berumur 0-9 tahun semakin besar kemungkinan rumah tangga tersebut masuk dalam kategori survival. Penambahan umur kepala rumah tangga di atas umur 35 tahun berkorelasi negatif dengan masuknya rumah tangga pada kelompok survival. Penambahan pendidikan kepala rumah tangga menurunkan peluang rumah tangga masuk kelompok survival hal ini lebih kuat pada rumah tangga yang berpendidikan di bawah 6 tahun. Sejalan dengan temuan Frankenberg et al. (2003), yang menemukan semakin tinggi pendidikan kepala rumah tangga, semakin bisa rumah tangga tersebut menyesuaikan konsumsinya. Rumah tangga yang tinggal di perkotaan berkorelasi negatif dengan masuknya rumah tangga ini ke dalam kategori survival.
Dari studi kualitatif lewat wawancara mendalam mendukung temuan analisis data survai, juga menemukan beberapa ciri tambahan dan penegasan karakteristik rumah tangga yang masuk dalam kategori survival.
-
(1) Rumah tangga menjual aset usaha di awal periode krisis. Bagi sebuah rumah tanga miskin, apapun alasan dari penjualan sebuah aset usaha, baik karena kekurangan dana, rusak dan lain-lain berakibat buruk bagi peningkatan pendapatan rumah tangga. Penjualan aset usaha ini menyebabkan 10
rumah tangga tidak lagi memiliki sebuah usaha. Dia menjadi berubah status menjadi buruh dengan pendapatan yang sangat turun. Seperti kasus dari Pak Wayan Tantra, hidup di rumah tangga yang terdiri dari empat anggota keluarga. Dalam periode tahun 2002-2005 jumlah yang bekerja di rumah tangga ini hanya satu orang, yaitu Pak Wayan Tantra sendiri. Sebelum bom 2002, dia bekerja sebagai nelayan dan memiliki perahu motor tua, namun kira-kira dalam 2 tahun setelah bom (tahun 2004) perahunya dia jual karena rusak dan tidak memiliki modal untuk memperbaiki. Setelah perahunya dijual dia bekerja sebagai buruh nelayan dengan pendapatan yang kecil. Berikut ini adalah penuturan Bapak Tantra ketika ditanyai tentang pekerjaannya saat diwawancarai untuk data kualitatif:
“buruh nelayan, sebelum bom jadi nelayan sekarang setelah bom saya berhenti, sebelum bom punya perahu sendiri setelahnya buruh nelayan. Perahu rusak, mesin abis dijual makanya jadi buruh” (Bapak Tantra)
Pendapatan Pak Tantra sebagai nelayan sejak sebelum terjadi pemboman sangat tergantung pada musim dan keadaan di laut, sehingga pendapatannya tidak tentu, seperti penuturan Bapak Tantra ketika ditanyai kenapa pendapatannya berfluktuasi:
“Ombak besar, angin keras ten [tidak] meburuh” (Bapak Tantra)
Ketika tidak lagi memiliki perahu, keadaan pendapatan rumah tangga makin sulit ditingkatkan karena dia sekarang hanya menjadi buruh nelayan saja. Malahan pada tahun 2005, Bapak Wayan Tantra pernah menganggur tidak ke laut sampai 1,5 tahun, keadaan ini mengakibatkan rumah tangga tidak memiliki sumber pendapatan yang pasti dari bekerja dan berusaha di tahun 2005. Berikut ini petikan penuturan Pak Tantra pada saat ditanyai apakah pernah menganggur dan bagiamana pendapatannya setelah mesin perahunya dijual:
”sempat setahun setelah bom, 1,5 tahun ga ke laut” (Bapak Tantra); ”ga pernah menghasilkan, susah, soalnya meburuh” (Bapak Tantra)
-
(2) Bekerja sebagai buruh industri kerajinan yang bekerja berdasarkan pesanan serta jumlah produksinya tergantung pada jumlah wisatawan mancanegara. Menurunnya jumlah wisatawan mancanegara ke Bali mengakibatkan banyak industri kerajinan mengalami penurunan pesanan misalnya kerajinan perak, patung, ukiran layangan dan krincingan, seperti dituturkan oleh informan kunci dan para pengrajin di Gianyar:
”dampaknya jelas terasa terhadap kehidupan masyarakat kami disini yang kebanyakan sebagai pengrajin, ada pengrajin patung, lukisan, anyam-anyaman, dengan adanya bom Bali yang pertama terutama memang banyak dampaknya,
kalau biasanya ditingkat seni patung yang dulunya laris sekarang mulai merosot, kalaupun laku harganya merosot” (Bapak Muna)
”Ordernya sudah mulai sedikit, uangnya juga agak macet” (Ibu Yani)
”kalau sebelum bom kita biasanya sampai nolak order, karena kewalahan tenaga, tetapi kalau sekarang pas-pasan, pas habis ada order, kadang-kadang tidak ada, kalau lagi tidak ada order kita bikin barang sendiri untuk stok.” (Bapak Ketut Karna)
Tabel 2
Multinomial Logistik
Keberhasilannya Meningkatkan Kesejahteraan Materi Jangka Menengah Dengan Strategi Bertahan Hidup Rumah Tangga (Rasio Risiko Relatif (RRR) Terhadap Kategori Konsolidasi)
Independen Variabel |
Kategori Suvival |
Kategori Akumulasi | ||||
2003 |
2004 |
2005 |
2003 |
2004 |
2005 | |
Interaksi besarnya goncangan ekonomi rumah tangga (RT) tahun 2002-2003 dengan strategi: 1. # ART yang bekerja di RT bertambah |
1,155 |
1,544 |
0,674 |
1,458 |
1,455 |
1,324 |
2. # Total jam kerja ART bertambah |
1,070 |
0,775 |
1,661** |
1,563** |
1,075 |
1,658** |
3. Ada ART berganti lapangan pekerjaan |
1,293 |
1,764** |
1,876*** |
0,751 |
0,772 |
0,844 |
4. Melakukan peminjaman |
1,283 |
0,862 |
0,573*** |
1,217 |
0,977 |
0,879 |
5. Menerima transfer uang/barang |
0,670 |
1,441 |
0,691* |
0,698 |
1,319 |
0,965 |
6. Menggunakan Tabungan |
1,117 |
0,837 |
1,195 |
0,764 |
1,012 |
1,295 |
7. Menjual aset |
2,112* |
0,485 |
0,286** |
1,100 |
1,357 |
2,553** |
8. Variasi dalam lapangan pekerjaan ART |
1,054 |
0,973 |
1,318 |
0,845 |
1,116 |
1,198 |
Ln(PCE 2002) spline Di bawah median |
1701,889*** |
1999,262*** |
2020,079*** |
1,628 |
1,755 |
1,296 |
Di atas median |
28,034*** |
40,476*** |
40,990*** |
1,310 |
1,347 |
0,863 |
Komposisi ART (anggota rumah tangga) # ART umur 0- 4 th |
1,264 |
1,391** |
1,803*** |
0,634*** |
0,522*** |
0,410*** |
# ART umur 5-9 th |
1,309* |
1,324* |
1,468** |
0,705** |
0,800 |
0,697** |
# ART umur 10-14 th |
0,983 |
1,075 |
1,114 |
0,817 |
0,702** |
0,554*** |
# ART umur 15-24 th |
0,932 |
1,032 |
1,089 |
0,972 |
1,044 |
0,872 |
# ART umur 25-64 th |
0,998 |
1,050 |
1,062 |
0,944 |
0,898 |
0,807** |
# ART umur > =65 |
1,273 |
1,237 |
1,235 |
1,013 |
1,021 |
0,838 |
Umur kepala rumah tangga spline 15 -35 tahun |
0,943 |
0,954 |
0,967 |
0,998 |
1,010 |
1,034 |
> 35 tahun |
0,968*** |
0,960*** |
0,967*** |
1,007 |
1,000 |
1,006 |
Pendidikan kepala rumah tangga spline 0-6 tahun |
0,879*** |
0,774*** |
0,846*** |
1,028 |
0,975 |
1,088* |
> 6 tahun |
0,900*** |
0,933*** |
0,903*** |
1,076*** |
1,069*** |
1,062*** |
Dummy kepala rumah tangga laki-laki |
1,688 |
1,416 |
1,793 |
1,703 |
1,273 |
2,049** |
Dummy tinggal di perkotaan |
0,596*** |
0,536*** |
0,558*** |
1,344* |
1,451** |
1,355* |
chi2 |
541,600 |
573,970 |
659,410 |
541,600 |
573,970 |
659,410 |
Log likelihood |
-1019,79 |
-1003,61 |
-960,88 |
-1019,79 |
-1003,61 |
-960,88 |
Pseudo R2 |
0,210 |
0,222 |
0,256 |
0,210 |
0,222 |
0,256 |
N |
1.245 |
1.245 |
1.245 |
1.245 |
1.245 |
1.245 |
Catatan:
Juga dikontrol dengan tempat tinggal responden apakah di WP Bali Selatan atau Timur
Referensi adalah kelompok konsolidasi
*** signifikan pada p < 0,01; ** signifikan pada p < 0,05; * signifikan pada p < 0,10
Hal ini menyebabkan pendapatan rumah tangga mengalami penurunan terus. Menghadapi situasi seperti ini pada umumnya rumah tangga tidak hanya mengandalkan satu sumber pendapatan yaitu sebagai pekerja industri kerajinan saja tapi responden juga memiliki sejumlah pekerjaan sampingan lain seperti mengelola sawah atau memelihara ternak atau berjualan, seperti yang dituturkan oleh sejumlah informan:
”Kalau lagi tidak ada order saya buat canang untuk dijual” (Ibu Yani)
”mengalihkan pekerjaanya untuk mengisi kekosongan, jadi disamping sebagai pematung juga sebagai petani penggarap. Ya…pekerjaan tambahan, kalau patungnya tidak bisa dijual otomatis dia ada penghasilan lain” (Bapak Muna)
”[pas lagi tidak ada order ] saya memelihara babi sebagai pekerjaan sampingan” (Bapak Made Danu)
Pekerjaan sampingan ini bisa menjadi mata pencaharian utama pada saat tidak ada pesanan atau order kerajinan. Strategi lain yang rumah tangga lakukan adalah menjual aset pribadi seperti perhiasan dan melakukan peminjaman untuk memenuhi keperluan pendidikan yang cukup besar dan kebutuhan sehari-hari. Berikut penuturan Pak Danu di Gianyar ketika ditanya ”Kalau tidak ada pendapatan bagaimana caranya memenuhi kebutuhan sehari-hari?” ”Apakah pernah menggunakan tabungan atau menjual barang berharga?”:
“Kalau tidak dapat jual babi [yang informan pelihara], saya minjam dulu; Kalau pas banyak order saya nabung, kalau ga ada order ngambil tabungan dan kalau masih kurang saya minjam; Dulu setelah bom pernah jual cincin.” (Bapak Danu)
-
(3) Bekerja sebagai buruh serabutan (bukan di sektor yang terkait dengan pariwisata) yang pekerjaan tidak tetap, bekerja kalau ada pekerjaan dengan upah yang sangat kecil. Jam kerja dan lapangan pekerjaanya tidak menentu. Pada tahun-tahun setelah tahun 2002 kesempatan kerja bagi responden semakin kecil. Pada saat ada pekerjaan seperti menjadi buruh tani seperti panen semua anggota rumah bekerja untuk beberapa jam. Pada saat tidak ada pekerjaan, menganggur, dan hidup dari pinjaman yang dibayar pada saat bekerja. Memasuki tahun 2004 pendapatannya mengalami penurunan drastis. Seperti Pak Gatra, yang memiliki dua orang istri dan satu orang anak yang baru menginjak dewasa. Pak Gatra sejak sebelum bom adalah buruh nelayan, karena cuaca dan juga berkurangnya nelayan yang memiliki perahu di tahun 2003 Pak Gatra semakin jarang melaut. Kalau ada permintaan pada saat tidak melaut dia isi waktunya dengan menjadi buruh bangunan atau buruh tani. Namun
waktunya tidak menentu serta tidak penuh waktu. Memasuki tahun 2004 kesempatan bekerja itu semakin langka bagi Pak Gatra. Kedua istrinya juga bekerja sebagai buruh tani, pada saat ada permintaan yang jumlahnya maksimal 10 hari dalam satu bulan. Dimana kalau mereka bekerja satu orangnya mendapatnya upah kira-kira 12-15 ribu rupiah per hari. Anaknya ikut membantu sedikit-sedikit orang tuanya menjadi pekerja tidak di bayar misalnya dengan mengangkut hasil panen ke rumah pemilik sawah. Berikut adalah cuplikan penuturan Pak Gantra tentang pekerjaannya dan upayanya memenuhi keperluan konsumsi:
”Kalau ada yang mengajak baru meburuh, kalau ga ya ga ada. Pernah minjam buat makan. Dari teman, tetangga.” (Bapak Wayan Gatra)
-
(4) Pada Tahun 2002 rumah tangga melakukan pengeluaran yang tidak rutin seperti melakukan perbaikan rumah, ada anggota keluarga yang sakit dan memerlukan rawat inap atau ada anggota keluarga yang baru masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Keadaan ini yang menyebabkan pengeluaran pada tahun-tahun berikutnya termasuk pengeluaran pada tahun 2005 menjadi lebih kecil disamping juga rumah tangga mengalami sedikit fluktuasi dalam bidang pendapatan. Contoh kasusnya adalah rumah tangga ibu Gusti Marni. Pada tahun 2002 keluarga Ibu Marni memperbaiki salah satu bagian dari rumahnya.
Rumah Tangga Kelompok Konsolidasi
Hasil analisis multivariate yang diperlihatkan dalam Tabel 2 memperlihatkan nilai relatif terhadap kelompok konsolidasi sehingga pembahasannya sudah secara langsung disampaikan pada saat membahas hasil analisis multivariate untuk kelompok survival dan akumulasi.
Sejumlah temuan dalam studi kualitatif menguatkan hasil analisis multivatiate data survai. (1) Rumah tangga terlindungi konsumsinya dengan transfer uang/barang dari keluarga yang tinggal di luar rumah tangga. Berikut adalah cuplikan penuturan informan ketika ditanya tentang upayanya memenuhi kebutuhan sehari-hari:
”Ya itu anak-anak saya yang kasi kiriman-kiriman Yang Ketut masih bujang kerja di hotel, Komang (perempuan) di luar desa, ikut suami, orang dari sini yang ngambil. Ya, anak-anak saya, ponakan saya yang inget” (Ibu Luh Tari)
”Dari anak ada kerja jadi supir dia bantu dikit. [Yang bayar hutang] Putra yang kerja diluar” (Bapak Made Sudi)
Keadaan ekonomi dan pekerjaan rumah tangga kelompok konsolidasi pada periode 2003 – 2005 tidak jauh beda dengan keadaan rumah tangga dari rumah tangga yang tergolong dalam kelompok survival. Bahkan sejumlah rumah sama sekali tidak mempunyai sumber pendapatan atau dengan kata lain mulai dari tahun 2004 tidak bekerja lagi. Kesejahteraan dalam pengertian konsumsi dari rumah tangga ini terlindungi karena adanya transfer, pemberian dari anggota keluarga yang tinggal di luar rumah tangga. Seperti yang dialami oleh Ibu Luh Tari yang tinggal seorang diri sejak suaminya meninggal di penghujung tahun 2002. Sejak tahun 2002 dia tidak jualan lagi karena sakit katarak. Segala keperluan sehari-hari diberikan oleh anak-anak dan keponakannya.
-
(2) Rumah tangga melakukan peminjaman untuk modal usaha. Berikut penuturan salah satu informan tentang pinjamannya:
”Kadang-kadang kalo bapak ga dapat uang, pinjem. Pernah satu juta untuk beli babi setelah itu untuk makan, modal” (Ibu Ketut Sasa)
Rumah tangga yang termasuk dalam kategori ini tidak hanya melakukan peminjaman untuk keperluan konsumsi tetapi juga menggunakan uang pinjaman untuk modal usaha. Dengan dipergunakannya pinjaman sebagai modal usaha menyebabkan uang pinjaman ini bisa berputar sehingga bermanfaat untuk peningkatan kesejahteraan. Ibu Ketut Sasa meminjam sebanyak 1 juta sebagai modal membeli bibit Babi sebagai sumber pendapatan tambahan rumah tangga. Pada awalnya hanya suaminya yang bekerja sebagai seorang penyuluh pertanian. Demikian juga dengan Pak Made Sudi yang melakukan pinjaman untuk membeli mobil L300 yang dia pergunakan sebagai sarana mencari nafkah yaitu mengangkut penumpang.
-
(3) Rumah tangga terlindungi konsumsinya karena adanya penjualan aset yang bernilai tinggi pada tahun 2005. Berikut penuturan seorang informan tentang penjualan asetnya:
”Tahun 2004 baru beli L 300. Ya sekarang udah dijual, sekarang ga kerja ngempu cucu aja.” (Bapak Made Sudi)
”[Setelah bom Bali] Macet 1 tahun. Ga ada kerja sama sekali. Ga, nongkrong, sama sekali ga kerja. Apa yang dipunya itu yang dijual, punya sepeda motor 2.
[dijual tahun] 2005 dan 2006 (dua motor). [yang tahun 2005] Pertengahan [tahun], laku 8 juta.” (Bapak Nyoman Arta)
Penjualan aset berharga yang dilakukan oleh rumah tangga pada tahun 2005 sangat membantu peningkatan kesejahteraan konsumi rumah tangga konsolidasi walaupun penjulan aset berharga ini tidak diperuntukkan secara langsung untuk keperluan konsumsi. Rumah tangga pak Made Sudi 15
menjual mobil L300 yang dibeli dengan pinjaman karena berhenti bekerja sebagai sopir. Demikian juga dengan yang dilakukan oleh Pak Nyoman Arta yang pada tahun 2005 menjual satu sepeda motornya seharga 8 juta yang sebagian diantaranya dipergunakan untuk membayar utang usaha sebagai pengrajin pengukir pasir hitam.
Rumah Tangga Kelompok Akumulasi
Hasil analisis multivariate ditampilkan pada Tabel 2 kolom tiga terakhir. Analisis multivariate strategi rumah tangga diinteraksikan dengan besarnya goncangan ekonomi yang dihadapi pada periode tahun 2002-2003. Hasil interaksi ini menggambarkan kemampuan dari strategi tersebut memasuki katagori kelompok akumulasi seperti ditampilkan dalam tiga kolom terakhir Tabel 2. Hasil yang ditampilkan disini adalah hasil relatif terhadap kelompok konsolidasi.
Hanya ada dua strategi yang secara signifikan menyebabkan responden masuk dalam kelompok akumulasi. Strategi tersebut adalah strategi penambahan jam kerja dan penjualan aset. Penambahan jam kerja anggota rumah tangga pada tahun 2003 dan 2005 meningkatkan peluang rumah tangga masuk dalam kelompok akumulasi masing-masing sebesar 1,6 kali dan 1,7 kali. Penambahan jam kerja memberikan pengaruh negatif pada kesejahteraan jangka pendek tetapi dalam jangka menengah memberikan pengaruh yang positif (Suriastini, 2010). Keadaan ini yang menyebabkan penambahan jam kerja pada tahun 2003 meningkatkan peluang rumah tangga masuk dalam kelompok akumulatif dan penambahan jam kerja pada tahun 2005 menyebabkan rumah tangga masuk dalam kelompok survival dan juga akumulatif. Demikian juga halnya dengan penjualan aset yang dilakukan pada tahun 2005 meningkatkan peluang rumah tangga masuk dalam kelompok akumulasi 2,6 kali. Sejalan dengan temuan Daton (Alderman dan Paxson, 1994) yang menemukan penjualan aset meningkatkan kemampuan rumah tangga menyesuaikan konsumsi.
Variabel kontrol yang berpengaruh. Komposisi rumah tangga sangat menentukan masuk tidaknya rumah tangga dalam kategori akumulasi. Semakin sedikitnya jumlah anak-anak, anggota rumah tangga usia 0-14 tahun menyebabkan semakin mudahnya rumah tangga tersebut masuk kategori akumulasi. Hal ini tampak dengan adanya korelasi negatif antara jumlah anggota rumah tangga umur 0-14 pada semua tahun dengan masuknya rumah tangga dalam kategori akumulasi. Sejalan dengan temuan Moser (1996) yang menyimpulkan semakin tingginya angka ketergantungan, semakin banyaknya anggota rumah tangga berumur di bawah 15 tahun atau di atas 65 tahun menyebabkan rumah tangga tersebut sulit menyesuaikan konsusmi sehingga menyulitkan rumah tangga ini masuk dalam kategori akumulasi.
Pendidikan di atas 6 tahun berperanan dalam meningkatkan peluang masuknya rumah tangga ke dalam kategori akumulasi. Penambahan pendidikan bagi kepala rumah tangga yang berpendidikan di atas 6 tahun meningkatkan kemungkinan rumah tangga tersebut masuk dalam kategori akumulasi. Mengkonfirmasi temuan Frankenberg et al., (2003), semakin baik tingkat pendidikan kepala rumah tangga semakin bisa menyesuaikan konsumsi sehingga memudahkan rumah tangga masuk kategori akumulasi. Tinggal di daerah perkotaan pada tahun 2003, 2004 dan juga 2005 berkorelasi positif dengan peluang masuknya rumah tangga dalam kategori akumulasi. Ini sejalan dengan hasil review Fallon dan Lucas (2002) yang menemukan setelah krisis Asia jumlah mereka yang miskin di daerah pedesaan lebih banyak dibandingkan dengan di daerah perkotaan. Hal ini yang menyebabkan rumah tangga di daerah perkotaan lebih banyak cenderung masuk kategori akumulasi.
Terdapat sejumlah tambahan karakteristik rumah tangga yang masuk dalam kelompok akumulasi dari analisis studi kualitatif. (1) Responden bekerja di sektor formal yang tidak terkait dengan industri pariwisata seperti menjadi anggota ABRI dan ada tambahan anggota rumah tangga yang bekerja atau tambahan jam kerja dari anggota rumah tangga. Berikut penuturan Ibu Titi dalam upayanya melindungi kesejahteraan:
”Saya ga mau diem, kayanya tambah susah sih [mendapatkan penghasilan], tapi saya ga mau minta-minta sama suami, bagaimana saya mempertahankan dengan gaji suami yang segini, apa yang dikasi saya terima jadi sekuat tenaga saya, saya berusaha yang penting halal, buka salon bukan hanya sekedar motong tapi nyanggul, facial, rias penganten, semuanya, saya bisa jahit juga saya jahit baju-baju kebaya terus saya sewakan, anak-anak UNUD yang mau wisuda banyak yang nyewa disini, masalahnya anak saya yang kecil aja uang jalannya 5 ribu sekali jalan, belum olahraga ke Renon perlu ongkos 5 ribu belum renang di Kepaon juga 5 ribu pakai ongkos ke sana, jadi bisa 15 ribu seharinya. Saya juga terima pesenan nasi bungkus, nasi boks, ada yang pesan kue saya buat kue, orang mau jahit baju juga saya ambil” (Ibu Titi)
Bekerja sebagai anggota ABRI atau pegawai negeri cenderung memiliki pendapatan yang relatif konstan dibandingkan dengan mereka yang bekerja di sektor lainnya. Penambahan kesejahteraan yang signifikan terjadi ketika ada anggota rumah tangga lain yang ikut bekerja. Dimana mereka ini baru bekerja pada masa pemulihan krisis dalam periode 2003-2005 seperti yang dialami oleh rumah tangga Pak Asman atau anggota rumah tangga melakukan penambahan jam kerja seperti yang dilakukan oleh rumah tangga ibu Titi. Penambahan kesejahteraan yang terjadi di keluarga Pak Asman pada periode pemulihan ini karena Pak Asman yang anggota ABRI ini menikah pada tahun 2005. Dimana Istri dari Pak Asman juga bekerja sebagai anggota ABRI. Sementara itu ibu Titi sebagai istri dari anggota ABRI
sejak sebelum bom memiliki salon dalam periode krisis. Ibu Titi meningkatkan pendapatannya dengan menerima catering dan suaminya juga memiliki usaha tambahan.
(2) Petani memiliki pekerjaan sampingan industri kerajinan dan melakukan penambahan jam kerja pada periode recovery. Petani kerap mengalami fluktuasi dalam pendapatannya. Petani yang mampu mengisi waktu antara musim tanam dan panen dengan kegiatan-kegiatan produktif seperti menerima order industri kerajinan. Mereka bekerja sangat keras dengan menambah jam kerja dan jeli dalam memanfaatkan kekayaan alam sekitarnya. Mereka ini yang mampu membuat pendapatan stabil bahkan bisa mengalami peningkatan seperti yang dialami oleh rumah tangga Bapak Ketut Yasa dan Nengah Sandi. Kedua rumah tangga ini adalah petani yang tinggal di atas bukit yang mengerjakan anyaman ate disamping sebagai petani dan peternak. Pada masa-masa permintaan berhenti karena krisis responden memanfaatkan waktu yang ada dengan lebih banyak bekerja memanfaatkan keadaan alam yang diberikan sekitarnya sebagai tambahan penghasilan seperti mencari kayu bakar. Kestabilan dan penambahan penghasilan yang terjadi pada masa pemulihan setelah tragedi bom bali ikut dibantu karena jumlah order anyaman ate sudah mulai ada dan stabil sejak tahun 2004. Berikut beberapa cuplikan penuturan informan:
”Kalau lagi tidak nganyam ya jual kayu bakar. Tidak rutin, pas kalau sempat saja atau kalau lagi tidak ada uang maka berusaha dengan jalan cari kayu bakar untuk dijual.” (Bapak Nengah Sandi)
”Sesudah ada bom, sesudah bom kan atenya macet. Tamunya [wisatawan mancanegara] kan ga ada yang ke Bali takut dia, yang beli ini kan cuma tamu saja. Tahun 2003, enam bulan setelah bom baru ada lagi ordernya, karena sudah mulai ada tamu sedikit demi sedikit.” (Bapak Ketut Yasa)
SIMPULAN DAN REKOMENDASI
Simpulan
Kesejahteraan pada masa pemulihan, recovery. Kesejahteraan materi pada tahun 2004 lebih buruk dibandingkan dengan keadaan pada tahun 2003 dan mulai menunjukkan adanya perbaikan pada tahun 2005. Kesejahteraan nonmateri menunjukkan keadaan yang berbeda. Relatif dengan keadaan pada tahun 2003 kesejahteraan nonmateri baik kesehatan fisik maupun kesehatan emosional pada tahun 2004 menunjukkan perbaikan tetapi pada tahun 2005 memperlihatkan adanya sedikit penurunan dibandingkan dengan keadaan pada tahun 2004.
Waktu adopsi strategi menentukan apakah suatu rumah tangga masuk dalam kelompok survival (belum mampu meningkatkan kesejahteraan seperti sebelum tragedi) atau akumulasi (berhasil
meningkatkan kesejahteraan melebihi keadaan sebelum tragedi). Strategi yang secara signifikan membawa rumah tangga masuk dalam katagori survival adalah strategi penambahan jam kerja yang dilakukan pada tahun 2005, berganti lapangan pekerjaan pada tahun 2004 dan 2005, serta menjual aset pada tahun 2003. Relatif dengan keadaan rumah tangga yang masuk dalam kelompok konsolidasi, rumah tangga-rumah tangga yang masuk dalam kelompok survival lebih sedikit melakukan strategi meminjam, menerima transfer dan menjual aset pada tahun 2005. Dua strategi yang secara signifikan menyebabkan responden masuk dalam kelompok akumulasi. Strategi tersebut adalah strategi penambahan jam kerja dan penjualan aset. Penambahan jam kerja anggota rumah tangga pada tahun 2003 dan 2005 berkorelasi positif dengan masuknya rumah tangga dalam kelompok akumulasi. Demikian juga halnya dengan penjualan aset pada tahun 2005 berkorelasi positif dengan masuknya rumah tangga dalam kelompok akumulasi.
Rekomendasi
Goncangan/krisis ekonomi setiap saat bisa terjadi baik yang disebabkan karena bencana alam maupun ulah manusia. Di masa mendatang rumah tangga tidak hanya akan menghadapi dampak krisis ekonomi yang bersifat lokal dan nasional tapi juga yang bersifat global, mendunia. Oleh karena itu setiap rumah tangga perlu bersiap menghadapi suatu goncangan/krisis ekonomi. Hasil studi ini menunjukkan strategi yang termasuk dalam katagori penyesuaian konsumsi antara waktu seperti menjual aset secara signifikan berkontribusi dalam melindungi kesejahteraan jangka pendek atau menengah rumah tangga. Bentuk kesiapan rumah tangga menghadapi suatu krisis ekonomi dapat dilakukan melalui gerakan menabung baik dalam bentuk tunai atau dalam bentuk barang yang memiliki nilai tambah.
DAFTAR PUSTAKA
Alderman, H. and Christina, H.Paxson. 1994. “Do the Poor Insure? A Synthesis of the Literature on Risk and Consumption in Developing Countries”. in Economics in a Changing World, ed. E. Bacha, 48-78. St. Martin’s Press, New York.
Anand, S and Harris, C. 1994. “Choosing a Welfare Indicator”. The American Economic Review, 84(2): 226-231.
Badan Pusat Statistik Propinsi Bali. 2003. “Bali Dalam Angka, 2002”. Badan Pusat Statistik Propinsi Bali, Denpasar.
------------. 2002a. Pedoman IIA SUSENAS (Survai Sosial Ekonomi Nasional 2002) Pedoman Pencacah Kor. Badan Pusat Statistik, Jakarta-Indonesia.
------------. 2002b. Pedoman IIA SUSENAS (Survai Sosial Ekonomi Nasional 2002) Pedoman Pencacah Modul Konsumsi. Badan Pusat Statistik, Jakarta-Indonesia.
Diener, E., dan Suh, E. M. (1999). National differences in subjective well-being. In E. Kahneman, E. Diener, & N. Schwarz (Eds.), Well-being: The foundations of hedonic psychology (pp. 434450). New York: Russell Sage Foundation.
Diener, E. 1984. “Subjectif Well Being” , Psychological Bulletin, Vol. 95 (3), 542-575
Easterlin, R. 2001. “Income and Happiness: Towards a Unified Theory”. The Economic Journal, 111 (473), 465-484.
Fallon, Peter R. dan Lucas, Robert E. B., 2002. "The Impact of Financial Crises on Labor Markets, Household Incomes, and Poverty: A Review of Evidence," World Bank Research Observer, Oxford University Press,17 (1), 21-45.
Fergusson, D. M. L.J. Horwood, A.L.Beautrais. 1981. “The Measurement of Family Material Well Being. Journal of Marriage and the Family, 43(3): 715-725.
Frankenberg, Elizabeth, Duncan Thomas and Kathleen Beegle (1999). “The Real Cost of Indonesia’s Economic Crisis: Preliminary Findings from the Indonesia Family Life Surveys”. mimeo.
Frankenberg, E., J. P. Smith and D. Thomas 2003. "Economic Shocks, Wealth and Welfare", Journal of Human Resources, 38(2):280-321.
Hawthorne,G. J. Richardson, R. Osborne. 1999. “The Assessment of Quality of Life (AQoL) Instrument: A Psychometric Measure of health-Related Quality of Life”. Quality of Life Research, 8 (3): 209-224.
Hill, R. 2000. “Real Income, Unemployment and Subjective Well-Being: Revisiting the Costs and Benefits of Inflation Reduction in Canada”. Canadian Public Policy, 26 (4): 399-414.
Mankiw, N.G. 2002. “Macroeconomics. Fifth Edition. ”Worth Publishers, New York.
Meyer, B. dan Sullivan, J, 2003. "Measuring the Well-Being of the Poor Using Income and Consumption," The Journal of Human Resources, 38 (Special Issue on Income Volatility and Implications for Food Assistance Programs) 1180-1220.
Moore, K.A., L. Lippman, B. Brown. 2004. “Indicator of Child Well-Being: The Promise for Positive Youth Development”. Annals of the American Academy of Political and Social Science, 591:125-145.
Morduch, Jonathan. 1995. “Income Smoothing and Consumption Smoothing”, The Journal of Economic Perspective, 9 (3), 103-114.
Moser, Caroline, O.N. 1996. “Confronting Crisis, a Comparative study of Household Responses o Poverty and Vulnerability in Four Poor Urban Communities”. The World Bank, Washington.
Pradhan. M., A. Suryahadi dan S. Sumarto. 2001. Eating Like Which “Joneses?” an Iterative Solution to the Choice of a Poverty Line “Reference Group”. Review of Income and Wealth, Series 47, Number 4, December 2001.
Suryahadi, A. dan S. Sumarto. 2001. The Chronic Poor, the Transient Poor, and the Vulnerable in Indonesia Before and After Crisis. Semeru Working Paper, Jakarta.
Suriastini, N.W. 2010. Bertahan Hidup di Tengah Krisis: Studi Dampak Jangka Pendek dan Menengah Tragedi Bom Bali 1, 2002 -2005. Disertasi untuk memperoleh derajat Doktor dalam Ilmu Studi Kependudukan pada Universitas Gadjah Mada.
UNDP. 2001. Choices for the Poor: Lessons from National Poverty Strategies. UNDP
White, B., Boomgaard, P. dan Alexander, P. (Editor). 1991. In the Shadow of Agriculture, Non-farm Activities in the Javanese Economy, Past and Present. Royal Tropical Institute. Amsterdam.
21
Discussion and feedback