PERANAN PEREMPUAN DALAM PENINGKATAN KUALITAS PENDIDIKAN ANAK DI PROVINSI BALI

Ni Made Tisnawati

Fakultas Ekonomi Universitas Udayana

Email: [email protected]

ABSTRACT

Balinese woman are still have many weakness, in their economic problem and the participation in public decision process. The data in 2006, showed that there are 74,8 percent women are unpaid worker. To increase the human development, the roles of woman are need. This aims of this research are to find out the roles of women in children education in Province of Bali. This research is using depth interview method. The result of this research shown that the roles of women are important in increasing the quality of their children education. The rural development policy must be based on the women and children welfare.

Keywords : education development, the roles of women, economics contribution

PENDAHULUAN

Salah satu tujuan utama pembangunan millenium (Millenium Development Goals) adalah mencapai pendidikan dasar yang universal bagi semua anak perempuan dan laki-laki. Diharapkan tidak ada lagi diskriminasi bagi perempuan untuk mencapai pendidikan, minimal pendidikan dasar. Beberapa hambatan bagi perempuan untuk menempuh pendidikan seperti ekonomi, letak geografis, maupun sosial budaya diharapkan dapat dihilangkan. Pendidikan dasar diharapkan menjadi jembatan emas perempuan untuk memperoleh kesempatan dan mau memanfaatkan kesempatan yang selama ini telah ada untuk mendorong kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan.

Provinsi Bali yang ekonominya relatif kecil membutuhkan bahkan mengharuskan untuk menempatkan pembangunan manusia sebagai sasaran yang amat strategis. Untuk membangun manusia, pengembangan pendidikan menjadi sangat strategis, bukan dari segi besaran kuantitatif saja namun juga peningkatan kualitas. Pendidikan menjadi semakin penting, apabila ditempatkan pada kecenderungan global abad 21, dimana industri utama pada abad 21 adalah

industri yang didasarkan otak. Thurow dalam Bendesa (2008 : 6), mengemukakan industri kunci meliputi mikroelektronik, bioteknologi, telekomunikasi, penerbangan, robot, peralatan mesin serta perangkat lunak dan keras komputer. Pada era ini, industri terbesar adalah pariwisata dimana lebih dari 11 persen dari penduduk dunia diserap oleh sektor pariwisata.

Banyak tantangan yang dihadapi Provinsi Bali terutama tekait dengan masalah penguasaan atas ilmu pengetahuan. Bali yang mendasarkan pembangunan ekonominya pada pertanian, industri, dan pariwisata dengan dukungan budayanya yang kaya masih menghadapi persoalan-persoalan yang mendasar. Akan tetapi, sebagian besar penduduk masih berpendidikan formal yang rendah. Kelompok penduduk ini umumnya petani, sebagian besar perempuan, akses ke informasi terbatas, mobilitas rendah, tidak mempunyai dana pensiun, dan tidak memperoleh jaminan sosial.

Posisi dan kondisi perempuan di Provinsi Bali masih sangat perlu diperhatikan, mengingat peranan perempuan dalam berbagai keberhasilan program pembangunan pendidikan dasar sangat penting. Tabel 1 dan 2 menjadi penting untuk dicermati terlebih dahulu untuk melihat gambaran keberadaan peran perempuan dalam perekonomian Provinsi Bali.

Tabel 1. Penduduk 15 tahun Bekerja Tahun 2006 (orang)

Lapangan Usaha

Laki-laki

Perempuan

Total

Pertanian, Perkebunan, Kehutanan dan

361. 136

301.880

663.016

Perikanan

Pertambangan dan Penggalian

770

1487

2257

Industri Pengolahan

135.760

114.853

250.613

Listrik dan air

7866

852

8718

Bangunan

110.434

17.136

127.570

Perdagangan, rumah makan dan hotel

175.786

227.826

403.612

Angkutan, pergudangan dan komunikasi

63.263

10.866

74.129

Keuangan, asuransi dan usaha persewaan

41.637

27.785

69.422

Jasa   kemasyarakatan,   sosial dan

163.054

107.897

270.951

perseorangan

1.059.706

810.582

1.870.288

Sumber : BPS (2007: 63), hasil Sakernas 2006

Jika dilihat dari jenis lapangan usahanya, maka perempuan bekerja memiliki posisi yang berimbang dengan laki-laki. Kecuali di lapangan usaha

listrik dan air, serta bangunan. Perempuan yang bekerja di dua lapangan usaha tersebut masing-masing hanya 9,7 persen dan 13,4 persen dari total tenaga kerja yang terserap. Tabel 1 dengan ringkas menunjukkan tingginya kontribusi perempuan dalam perekonomian Provinsi Bali, terutama dalam lapangan usaha yang memerlukan persyaratan pendidikan formal, seperti keuangan, asuransi dan usaha persewaan.

Akan tetapi, jika dilihat dari status perempuan dalam pekerjaan utama, maka mulai terlihat lemahnya peranan perempuan dalam perekonomian di Provinsi Bali. Kondisi ini tercermin jika dilihat dalam Tabel 2.

Tabel 2. Penduduk 15 tahun ke atas Bekerja Menurut Status dalam Pekerjaan Utama Tahun 2006

Status dalam Pekerjaan Utama

Laki-laki

Perempuan

Jumlah

Berusaha Sendiri

189.868

146.660

336.528

Berusaha dibantu Buruh Tidak Tetap

261.564

127.265

388.829

Berusaha dibantu Buruh Tetap

31.050

9376

40.426

Buruh/Karyawan

399.635

231.805

631.440

Pekerja Bebas Pertanian

29.967

24.639

54.606

Pekerja Bebas non-pertanian

65.662

35.304

100.966

Pekerja Tak Dibayar

81.960

235.533

317.493

1.059.706

810.582

1.870.288

Tabel 2 menunjukkan bahwa hanya sebanyak 34,95 persen perempuan yang memiliki status “mandiri dan kuat”, yaitu berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak tetap, dan berusaha dibantu buruh tetap. Sisanya berstatus buruh/karyawan, pekerja bebas pertanian, pekerja bebas non-pertanian, dan pekerja tak dibayar. Perempuan yang statusnya sebagai pekerja tak dibayar mencapai 74,18 persen dari total tenaga kerja yang berstatus pekerja tak dibayar. Kondisi ini menunjukkan tingginya peranan perempuan dalam perekonomian yang tidak dinilai secara ekonomis. Misalnya perempuan yang dengan sukarela merawat anak dalam satu keluarga, namun tidak dibayar (ikatan kekeluargaan).

Lemahnya posisi perempuan di Provinsi Bali juga terlihat dalam

peranannya sebagai penentu kebijakan publik. Kondisi ini tercermin dalam Tabel

3.

Tabel 3. Banyaknya anggota DPRD Kabupaten/Kota Provinsi Bali Hasil Pemilu Tahun 2006

Kabupaten/Kota

Laki-laki

Perempuan

Jumlah

Jembrana

28

2

30

Tabanan

39

1

40

Badung

39

1

40

Gianyar

40

0

40

Klungkung

25

0

25

Bangli

28

2

30

Karangasem

33

2

35

Buleleng

43

2

45

Denpasar

42

3

45

DPRD Kab/Kota

317

13

330

Jumlah anggota DPRD Provinsi Bali

51

4

55

Sumber : BPS (2007 : 42)

Dalam penentuan kebijakan publik, perempuan masih berada dalam posisi minoritas di DPRD. Ironisnya kondisi ini terjadi di seluruh wilayah Indonesia. Secara politis, peranan perempuan memang sangat lemah. Sehingga peranan perempuan terutama dalam melahirkan kebijakan yang mengutamakan peningkatan kualitas keluarga menjadi sangat rendah. Padahal secara biologis dan psikologis, perempuanlah yang menjadi tulang punggung dan ‘perawat’ keluarga sehari-hari.

Keberadaan perempuan dalam pendidikan formal juga masih lemah. Jika dilihat pada Tabel 4, secara langsung menunjukkan masih minimnya perempuan yang memperoleh kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pascasarjana (S2) atau S3. Persyaratan pendidikan formal menyebabkan masih minimnya perempuan yang menjadi tenaga edukasi di perguruan tinggi di Provinsi Bali, sebagaimana terlihat dalam Tabel 4.

Tabel 4. Jumlah Tenaga Edukasi Perguruan Tinggi

di Provinsi Bali (orang)

Tahun

Laki-laki

Perempuan

Jumlah

2003

1166

387

1553

2004

1655

555

2210

2005

2007

745

2752

2006

2009

775

2784

Sumber : Bali Membangun (2007: VI-32)

Tabel 4 menunjukkan bahwa perempuan yang menjadi tenaga edukasi di perguruan tinggi di Provinsi Bali hanya 27,84 persen pada tahun 2006. Jumlah ini mengalami peningkatan hanya sebesar 2,93 persen dari tahun 2003.

Setelah mengidentifikasi kelemahan peran perempuan dalam perekonomian, kebijakan publik dan pendidikan formal (perguruan tinggi) tersebut, timbul pertanyaan peranan apa yang bisa diberikan perempuan dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan di Provinsi Bali. Kajian sederhana ini mencoba untuk mengetahui bagaimana peran perempuan di Provinsi Bali dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan. Peranan perempuan perlu dilakukan terutama dalam upaya peningkatan indeks pembangunan Indonesia (IPM), yang menurut laporan PBB tahun 2009, berada di posisi 111 dari 187 negara. Tulisan ini disajikan dengan menganalisa data sekunder dan menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif. Teknik wawancara mendalam (depth interview) dilakukan terhadap empat responden terpilih sebagai bahan kajian awal yang bersifat deskriptif kualitatif.

Manfaat Potensial Pendidikan

Pendidikan dan kesehatan yang baik akan mampu meningkatkan kemampuan kaum miskin untuk menghadapi perubahan dalam lingkungan mereka. Pendidikan dan kesehatan yang baik juga memungkinkan mereka berganti pekerjaan dan menyediakan suatu perlindungan terhadap penurunan ekonomi dan krisis finansial.

Investasi dalam modal manusia, bila terdistribusikan dengan baik dan diarahkan kepada kaum miskin, dapat menfasilitasi inklusi sosial. Pelayanan pendidikan dan kesehatan yang lebih baik bagi kelompok-kelompok yang rentan, yang kerap kali diabaikan, seperti mereka yang buta huruf, cacat, berusia lanjut, menderita penyakit kronis, atau terpisah karena hambatan bahasa, dapat

membantu mereka mengatasi hambatan-hambatan sosial dan meningkatkan produktifitas mereka.

Melakukan investasi dalam diri manusia mungkin juga dapat membantu melindungi lingkungan. Perempuan yang berpendidikan lebih baik akan memiliki anak-anak yang lebih sehat dan lebih sedikit, sehingga secara tidak langsung mengurangi tekanan demografis terhadap sumber daya alam dan lingkungan. Melakukan investasi dalam diri manusia akan memperbaiki hak-hak asasi manusia dan keadilan sosial, yang memberikan kepuasan langsung. Pendidikan dasar memungkinkan kaum miskin untuk mempelajari hak-hak sipil dan hak-hak politik mereka; belajar menggunakan hak-hak tersebut dengan memberikan suara memilih atau ikut berkompetisi mendapatkan posisi; dan untuk menyuarakan keprihatinan mereka, mencari kompensasi hokum, dan melaksanakan pengawasan public. Ini membantu untuk membangun institusi, memperbaiki pemerintahan, dan memerangi korupsi, World Bank Report (2000 : 61).

Dengan mempergunakan data panel dari 20 negara yang sedang berkembang, Lopez, Thomas, dan Wang dalam World Bank Report, 2000 : 79, memperlihatkan asosiasi negatif di antara distribusi pendidikan dan pertumbuhan ekonomi. Ketika suatu bagian besar dari populasi tidak mendapatkan pendidikan, produktivitas yang rendah dari angkatan kerja tentu mengendurkan investasi dalam modal fisik, dan akibatnya pertumbuhan ekonomi juga terganggu.

Distribusi pendidikan juga mempunyai implikasi kuat terhadap dampak pertumbuhan yang mengurangi kemiskinan. Ravallion dan Datt dalam World Bank Report, 2000 : 79, meneliti di beberapa Negara bagian India. Hasilnya, asosiasi pertumbuhan yang mengurangi kemiskinan bervariasi menurut kondisi-kondisi awal: pertumbuhan memberikan kontribusi yang lebih sedikit terhadap pengurangan kemiskinan di Negara-negara bagian yang sejak semula tingkat melek hurufnya, produktivitas pertaniannya, dan standar hidup pedesaannya lebih rendah dibandingkan dengan wilayah perkotaan.

Permintaan atas Tingkat Pendidikan

Todaro (2000 : 396) menjelaskan bahwa ada empat variabel yang mempengaruhi permintaan seseorang akan pendidikan. Antara lain; selisih pendapatan atau upah, besar kecilnya kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan di sektor modern, biaya-biaya langsung pendidikan individual, dan biaya-biaya pendidikan yang bersifat tidak langsung atau biaya oportunitas.

Selisih pendapatan atau upah. Yang dimaksudkan di sini adalah perbedaan tingkat upah antara pekerjaan-pekerjaan yang ada di sektor modern dan sektor-sektor lain di luar sektor modern. Semakin besar perbedaan penghasilan antara sektor modern dengan sektor tradisional, akan semakin besar pula permintaan terhadap pendidikan.

Biaya-biaya langsung pendidikan individual adalah segenap biaya moneter (uang) yang harus dipikul oleh siswa dan keluarganya untuk membiayai pendidikan. Biaya-biaya ini meliputi uang iuran sekolah, buku-buku, pakaian seragam, serta ongkos-ongkos lainnya. Dapat diduga dengan segera bahwa tingkat permintaan terhadap pendidikan berbanding terbalik dengan besarnya ongkos-ongkos yang bersifat langsung ini. Artinya semakin tinggi biaya uang sekolah dan ongkos-ongkos lainnya, tingkat permintaan individual terhadap pendidikan akan semakin rendah, dengan asumsi hal-hal lainnya tetap atau konstan (ceteris paribus). Bagi penduduk yang berpenghasilan rendah, biaya-biaya langsung dari penyelenggaraan pendidikan tingkat dasar saja sudah merupakan beban berat yang menghabiskan sejumlah besar pendapatan riil mereka.

Biaya-biaya pendidikan yang bersifat tidak langsung atau biaya oportunitas pendidikan (Oportunity cost of education). Investasi dalam pendidikan seorang anak bukan hanya meliputi biaya langsung ataupun biaya-biaya moneter (uang) yang harus dikeluarkan secara nyata, akan tetapi juga biaya-biaya yang berupa pendapatan potensial yang harus dikorbankan, apalagi jika si anak sudah mencapai umur di mana ia mulai dapat memberikan sumbangan produktifnya kepada penghasilan keluarga. Diduga bahwa bentuk hubungan antara biaya oportunitas dengan permintaan terhadap pendidikan adalah berbanding terbalik, yaitu semakin besar biaya oportunitas, tingkat permintaan terhadap pendidikan akan semakin kecil.

Peranan Perempuan dalam Pendidikan

Keluarga responden pertama dengan penghasilan Rp 2,7 juta sebulan harus mengalokasikan 14,81 persen pendapatannya untuk biaya pendidikan anak-anak. Anak sulung yang menempuh pendidikan SMP rata-rata menghabiskan biaya Rp 250 ribu per bulan. Sedangkan adiknya yang masih duduk di bangku SD rata-rata menghabiskan biaya langsung pendidikan Rp 150 ribu sebulan. Tahun ajaran baru, saat si sulung baru diterima di SMP negeri, pengeluaran mereka bahkan meningkat menjadi 74 persen dari total pendapatan yang diterima. Peran ibu dalam keluarga ini yang bekerja sebagai PNS (guru SD) tidak hanya menjadi pencari nafkah, namun juga menjadi pendidik informal dalam mendukung pendidikan formal anak-anak. Waktu yang diberikan sang ibu untuk dua anaknya sangat singkat. Setelah menunaikan tugas sebagai guru SD dari jam 07.00-14.00 Wita, sang ibu hanya sempat tiga jam bersama anak-anaknya. Jam 17.00-20.00 Wita, tuntutan profesi membuatnya harus melanjutkan pendidikan S1 di sebuah perguruan tinggi keguruan. Untuk menambah penghasilan keluarga, ibu berjualan makanan camilan. Uang tambahan dipergunakan untuk membelikan anaknya seperangkat computer bekas dan buku panduan computer. Meskipun keuangan terbatas (suami bekerja sebagai satpam di sebuah villa), ibu selalu aktif mencarikan anaknya informasi SMK yang berkualitas dan memiliki prospek cerah untuk anaknya. “Kalau untuk memenuhi biaya pendidikan anak, saya sudah biasa meminjam di koperasi desa dan sekolah. Yang penting untuk saya adalah anak-anak mau belajar” tekad ibu Y (40 tahun) yang berdomisili di Kabupaten Klungkung ini. (Wawancara 14/5/2010)

Keluarga responden ke-2 memiliki tanggungan dua anak yang kini menempuh pendidikan di perguruan tinggi negeri dan SMU negeri. Pendapatan keluarga ini mencapai Rp 5 juta sebulan, harus dialokasikan rata-rata 31 persen untuk biaya langsung pendidikan. Bahkan untuk masuk perguruan tinggi negeri, keluarga ini menghabiskan dana Rp 6,8 juta, sedangkan masuk SMU menghabiskan dana Rp 2,25 juta. Peran ibu dalam keluarga ini yang berprofesi sebagai pedagang harus mampu mengatur dan menutupi biaya sehari-hari

keluarga mereka. Pagi hari menjelang pukul 06.00 Wita, ibu ditemani suami yang seorang PNS Kabupaten berkeliling mengantar nasi bungkus, kue basah, buatan sendiri. Siang hari hingga sore hari berjualan kelontong di pasar desa. Modal yang dikumpulkan, diputar untuk dijadikan kredit usaha bagi pedagang lain. “Saya tidak membedakan anak perempuan dan laki-laki. Anak perempuan saya bercita-cita menjadi bidan. Saya sudah siapkan modal pendidikannya” terang Ibu D (50 tahun) berdomisili di Kabupaten Karangasem. Responden kedua ini mengaku tidak ingin nasib anak perempuannya seperti dirinya yang hanya tamat SMA. “Saya keluarga besar. Meskipun saya sangat ingin bersekolah tinggi, namun harus mengalah demi adik-adik. Orang tua mengutamakan pendidikan saudara laki-laki saya” (Wawancara 14/5/2010).

Responden ketiga memiliki dua anak. Keduanya kini duduk di SMP negeri. Jarak kelahiran anak pertama dan kedua hanya setahun. Keluarga ketiga ini berprofesi sebagai petani. Sang ayah mencari tambahan dengan menjadi tukang ukir pesanan. Ibu menambah penghasilan keluarga dengan menjadi pekerja lepas non pertanian. Mulai dari mengangkut pasir, batu pilah, buruh bangunan, hingga membantu tetangga yang berjualan banten (upakara) tertentu. Di rumah, ditambah dengan usaha peternakan babi dan bebek yang merupakan bantuan dari program pemerintah. Meskipun pasangan suami-istri ini hanya tamatan SMP, namun sang ibu bertekad agar anak-anaknya bisa menikmati pendidikan formal setinggi mungkin. Untuk mengirit biaya pendidikan, sang ibu tidak lupa menyiapkan bekal makan siang untuk anak-anaknya. Menunya pun sangat sederhana, lebih banyak sayuran yang ditanam sendiri di kebun. Beruntung, keluarga ini memiliki tetangga dan saudara yang sangat perhatian. Berbagai bantuan dan dukungan diberikan. Mulai dari mencarikan beasiswa hingga meminjamkan motor. Anak-anaknya dididik untuk mandiri dan kreatif. Anak perempuan memiliki tanggung jawab menyiapkan makanan ternak dan merawat kebersihan rumah. Anak laki-lakinya sudah dilatih mengukir dan bermain alat music tradisional gender sebagai bekal keahlian menambah penghasilan tambahan. “Saya tetap meminta mereka untuk mengutamakan belajar. Mereka belajar mencari uang untuk membeli keperluan sekolahnya. Saya yakin, kalau

mau berusaha, anak-anak pasti bisa kami sekolahkan” tegas ibu N (35 tahun) berdomisili di Kabupaten Gianyar. (Wawancara 1/6/2010)

Keluarga keempat memiliki tiga anak. Anak pertama dan kedua perempuan. Sedangkan si bungsu laki-laki. Penghasilan keluarga ini hanya mengandalkan hasil pertanian. Terkadang memperoleh tambahan penghasilan dengan menjadi tukang cat tembok atau tempat suci (merajan/sanggah) tetangga. Sang ibu dan ayah juga memiliki tanggung jawab khusus di komunitasnya, yaitu menjadi pemimpin agama (pemangku) di sebuah Pura. Anak pertama menamatkan pendidikan hingga SMP. Anak kedua hingga SMA. Dari segi akademis, anak pertama dan kedua sangat cemerlang. Anak kedua mampu melanjutkan pendidikan hingga SMU dengan beasiswa yang diterima. Meskipun sangat ingin melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi, namun keterbatasan biaya menjadi kendala. “Saya meminta kakaknya mengalah, karena adiknya masih harus menamatkan pendidikannya di SMK yang memerlukan biaya yang sangat besar” tutur ibu M (60 tahun) yang berdomisili di Kabupaten Gianyar ini. Anak pertama akhirnya memilih menikah dan menjadi pengrajin perak. Anak kedua bekerja di sebuah art shop sambil mengikuti kursus komputer dan akuntansi. “Saya tetap bersyukur dengan segala keterbatasan kami, anak-anak bisa kami sekolahkan. Beruntung kami mempunyai tetangga yang banyak membantu. Mulai dari mencarikan beasiswa hingga membelikan buku-buku dan pakaian” tambah ibu yang hanya mengenyam pendidikan di sekolah dasar ini (Wawancara 1/6/2010).

Dari keempat responden ini dapat dilihat dan diidentifikasi kondisi yang dihadapi keluarga pedesaan di Provinsi Bali. Semua responden mengaku memiliki masalah pemenuhan biaya langsung pendidikan anak-anaknya. Namun di tengah keterbatasan keuangan, ketiga responden tidak menyerah untuk berusaha memenuhi biaya pendidikan putra putrinya. Peranan ibu menjadi sangat penting. Tidak hanya sebagai pencari nafkah keluarga, namun juga menjadi pendidik anak-anaknya. Antara lain melalui melatih tanggung jawab, disiplin, hidup sederhana, ketabahan, kreatifitas, kejujuran, dan semangat berusaha.

Faktor pendidikan formal yang pernah diikuti ibu ternyata tidak terlalu berpengaruh terhadap peranan dalam mendukung pendidikan formal anak-

anaknya. Responden ketiga yang hanya tamatan SMP, justru sangat bersemangat berusaha agar anak-anaknya mengenyam pendidikan setinggi mungkin.

Kuatnya ikatan kekerabatan dan lingkungan sekitar di pedesaan nampaknya menjadi modal sosial yang sangat penting dalam meningkatkan peranan perempuan dalam mendukung pendidikan formal anak-anaknya. Responden pertama, ketiga dan keempat mendapat bantuan beasiswa, informasi dan bantuan lain yang sangat membantu dalam menjaga keberlangsungan pendidikan formal anak-anaknya. Kuatnya tradisi dan tingginya frekwensi upacara adat secara langsung memberikan rasa memiliki dan saling menolong antar warga di pedesaan. Perempuan yang menjadi pelaku utama dalam upacara agama dan adat, berinteraksi satu dengan yang lain hingga membentuk jaringan. Perempuan yang secara materi dan pendidikan lebih tinggi, sangat memerlukan bantuan perempuan yang menjadi pekerja lepas pertanian dan non pertanian, dan memiliki pendidikan formal yang lebih rendah untuk membantu dalam menyiapkan upacara (nguopin). Sebaliknya perempuan pedesaan yang sebagian besar berada dalam posisi ekonomi lemah (diwakili responden ketiga dan keempat), sangat memerlukan bantuan dalam pemenuhan biaya langsung pendidikan anak-anaknya.

Mengingat sebagian besar perempuan yang berada di pedesaan, memiliki keterbatasan memenuhi biaya langsung pendidikan anaknya, maka perlu dilakukan peningkatan pembangunan pedesaan. Peningkatan kualitas pembangunan pedesaan perlu dilakukan. Tidak hanya mengutamakan peningkatan pertumbuhan sektor pertanian dan kemajuan-kemajuan ekonomi saja. Adapun sasaran yang harus dijangkau antara lain ; penciptaan kesempatan kerja produktif yang lebih banyak, baik itu pada sektor pertanian maupun sektor nonpertanian, pemerataan kepemilikan lahan subur di pedesaan, distribusi pelayanan kesehatan, gizi, dan perumahan yang lebih merata. Perlu diberikan pendidikan alternatif yang menyentuh langsung keahlian yang diperlukan untuk pembangunan di pedesaan.

Untuk meningkatkan kualitas generasi muda di pedesaan, perlu diberikan beberapa pendidikan informal semacam home schooling. Keberadaan Home schooling perlu ditingkatkan peranannya untuk mengatasi pengangguran dan meningkatkan kreatifitas siswa terutama siswa putus sekolah. Model

pendidikannya bisa mengacu pada beberapa komunitas pegiat home schooling; Homeschooling Kak Seto, Morning Star Academy, Komunitas Homeschooling Berkemas, KerLip (Keluarga Peduli Pendidikan). Konsep dari model pendidikan itu adalah mengedepankan perkembangan potensi, bakat, dan minat anak secara spesifik. Tidak harus memerlukan biaya tinggi dan sudah dilindungi UU 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Beberapa bidang ilmu formal, elektronik, lingkungan, menjadi pilihan dari komunitas ini untuk dijadikan bahan pelajaran siswa. Lulusan sekolah ini diakui setelah lulus dari ujian nasional setara SD, SMP, SMU.

Seto Mulyadi (2007 : 20) menegaskan kekuatan persekolahan di rumah adalah lebih memberikan kemandirian dan kreatifitas bagi anak, meningkatkan peluang untuk mencapai kompetensi individual secara maksimal, terlindungi dari penyakit sosial seperti narkoba, konsumerisme, pergaulan menyimpang dan tawuran, serta memungkinkan anak siap menghadapi kehidupan nyata dengan lingkup pergaulan yang lebih luas, serta mempercepat tercapainya masyarakat belajar yang merupakan salah satu ciri masyarakat madani. Yang terpenting adalah peranan perempuan menjadi lebih dapat ditingkatkan. Ini dibuktikan dari sebagian besar pendidik dan pegiat home schooling adalah perempuan.

Peranan perempuan terutama sebagai seorang ibu perlu ditingkatkan dalam menunjang keberhasilan pendidikan formal anak di sekolah. Beberapa tokoh dunia seperti Thomas Alfa Edison berhasil menjadi penemu besar justru lewat didikan dasar dari sang ibu. Tokoh besar ini dianggap gagal menempuh pendidikan formal, akan tetapi justru berhasil lewat didikan ibunya yang mendidik dengan tekun di rumah. Begitu juga dengan tokoh dunia yang lain. Seperti Gandhi yang memiliki jiwa besar dan kejujuran berkat didikan sang ibu. Banyak kasus membuktikan keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan intelektual (IQ) saja, namun banyak kecerdasan lain yang lebih banyak dikembangkan oleh lingkungan sekitar terutama ibu sebagai pendidik dasar kepribadian anak.

SIMPULAN DAN SARAN

Keberadaan perempuan di Provinsi Bali masih dalam posisi lemah, jika dilihat dari data status pekerjaan perempuan, proporsi jumlah perempuan dalam pendidikan formal dan keterwakilan dalam dunia politik. Meskipun demikian, peranan perempuan ternyata masih sangat penting dalam usaha melakukan investasi pendidikan anak-anaknya. Kondisi ini tercermin dalam wawancara keempat responden dalam kajian sederhana ini.

Peningkatan kebijakan publik yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan perempuan, terutama perempuan yang memiliki anak usia balita perlu ditingkatkan. Mengingat anak-anak balita yang ada saat ini sangat menentukan kualitas penduduk pada masa mendatang. Antara lain melalui peningkatan penyaluran kredit mikro khusus perempuan, yang bisa dilakukan dengan meniru keberhasilan Grameen Bank di Bangladesh, yang dilakukan oleh kaum perempuan pedesaan.

DAFTAR PUSTAKA

Bappeda. 2007. Data Bali Membangun 2007. Bappeda Provinsi Bali

Bendesa. 2008. Pembangunan Sumberdaya Manusia Sebagai Landasan Menuju Ekonomi Berbasis Pengetahuan, makalah seminar internasional BKFE Unud ke-41 12 September 2008

BPS.2007. Bali Dalam Angka 2007. Badan Pusat Statistik Provinsi Bali

Mulyadi, Seto. 2007. Persekolahan di Rumah dalam Home-schooling Rumah Kelasku, Dunia Sekolahku. KOMPAS. Jakarta

Todaro. 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Edisi ke-7. Erlangga, Jakarta.

World Bank Report, 2000. The Quality of Growth, Kualitas Pertumbuhan. Gramedia, Jakarta.

13