PIRAMIDA Vol. V No.1

ISSN : 1907-3275

PERBEDAAN FERTILITAS ANTARA

PENDUDUK PENDATANG DAN PENDUDUK LOKAL: SEBUAH STUDI KASUS DI DAERAH PERKOTAAN

DI KOTA DENPASAR

Ida Putu Mudita

BKKBN Provinsi Bali

Email : [email protected]

ABSTRACT

Discourse on migrants are frequent in Bali. In addition to several social effects, such as civil order, crimes, slums, domintaion in informal sectors and so on, caused by them, discussions on migrants also related to family planning program. There are opinions that point to migrants as the non or less cooperative social groups to the program.

This research asses the level of participation of migrants in family planning program in Tegal Kertha Village, West Denpasar, in Denpasar City. The topic brought up is the type of participation in family planning; the factors that have caused some migrant choose not to use contraception, and the impact and meaning of their participation in family program.

This research aim to determin the participation level of migrants in family planning program, factors causing unmet need and the impact and meaning of their participation. Its uses the combination of both qualitative and quantitative methods. The data we used both primary and secondary data. The theory applied in this research are The Theory of Participation, The Theory of Feminism, and The Theory of Hegemony.

There are six type of participation researched with the following result as follow: (1) first marital age of migrant female is 20.6 years old, the highest is found on Batak ethnic group and the lowest is in Sasak ethnic group; (2) the average number of amount of person in a family in temporary resident is 3.1, while the number in permanent migrant is 4.3. The highest number is found in Java ethnic families and the lowest is in Madura families; (4)the number of active FP participant for temporary resident significantly lower compared to the those among permanent migrants; (5) the number of temporary resident that uses long term contraception is only nine percent, rises to twenty two percent among permanent migrant. The percentage of Bali is fourty three percent; (6) The percentage for male contraception among temporary resident is very low only one percent, but it is higer among permanent migrants. The unmet need rate for temporary resident is at a very high nineteen percent and decreased to eight percent among permanent migrants.

Keywords: participation, migrant, and family planning program.

PENDAHULUAN

Masih segar dalam ingatan kita ketika program Keluarga Berencana (KB) menjadi salah satu isu strategis dalam debat Capres putaran ke-3 pada Juni 2009 yang baru lalu serta disiarkan secara langsung melalui media televisi. Apresiasi semua kandidat terhadap program KB sangat positif. Semua berjanji jika mereka terpilih nanti akan melakukan revitalisasi program KB. Pemilihan KB menjadi tema yang dilontarkan oleh moderator tentu bukan suatu kebetulan saja, tetapi memang disadari adanya kemunduran pelaksanaan program KB.

Program KB yang bertujuan untuk mengendalikan LPP melalui pengaturan kelahiran, serta sebagai salah satu program peningkatan kualitas SDM, diapresiasi oleh masyarakat sebagai program yang “terpingirkan” dalam era reformasi. Implikasinya pencapaian KB dalam sepuluh tahun terakhir hasilnya adalah stagnan. Secara nasional angka kelahiran total tahun 2007 berdasarkan hasil SDKI adalah 2,6 anak, masih sama dengan keadaan tahun 1997. Kondisi ini tentu dikhawartirkan oleh banyak pihak, oleh karena penduduk yang terlalu banyak dengan kualitas SDM yang kurang akan menjadi beban pembangunan.

Lalu bagaimana dengan masalah kependudukan dan program KB di Bali? Hasilnya tidak jauh berbeda dengan pencapaian secara nasional atau terjadi stagnasi. Bahkan beberapa indikator seperti Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) dari tahun ketahun terus mengalami peningkatan. LPP pada periode 1980-1990 mencapai 1,18 %, naik lagi menjadi 1,26 % pertahun pada periode 1990-2000, dan naik lagi menjadi 1,43 % pertahun pada periode 2000-2005 (BPS, 2005). Diyakini tingginya LPP di Provinsi Bali lebih disebabkan karena adanya migrasi netto, selain adanya sumbangan angka kelahiran.

Isu menarik yang sering muncul di media massa tentang masalah kependudukan dan KB di Bali selain arus pendatang yang banyak menyerbu Bali, adalah adanya kecurigaan bahwa penduduk pendatang banyak yang tidak ber-KB seperti penduduk lokal. Memang diskursus tentang penduduk pendatang sering dilakukan dalam masyarakat Bali. Tidak saja implikasi permasalahan sosial yang ditimbulkan oleh penduduk pendatang yang sangat kompleks, seperti masalah ketertiban penduduk, stereotif sebagai pelaku pencurian, penyebab kekumuhan, dominasi penguasaan sektor informal dan sebagainya. Terhadap dugaan ini ada beberapa elemen masyarakat yang menghawatirkan bahwa penduduk pendatang akan semakin banyak sementara penduduk lokal akan semakin sedikit karena terus disuruh ber-KB. Sinyalemen ini pernah ditulis melalui media massa bebeberapa tahun yang lalu, sebagai berikut.

Siapa Melestarikan Tradisi Bali. Bukan jaminan punya anak dua kualitas hidup masyarakat meningkat. KB di Bali sukses tahun 80-an. Apakah SDM Bali benar berkualitas?. Saya berencana ingin punya anak empat, karena sekarang baru dua, supaya tidak hilang “Ketut”-nya. Ini masalah menjaga tradisi. Persoalan mampu atau tidak mengurusi anak itu urusan kami bukan urusan negara. Buktinya mertua saya punya anak lima dan mampu kelimanya sekolah sampai SMA. Jika program KB mau digalakkan, silahkan itu merupakan program pemerintah. Pemerintah Bali jangan sampai meminimilisasi tingkat kelahiran, keluarga kita menjadi sedikit namum keluarga lain yang masuk ke Bali banyak. Akhirnya orang Bali disuruh bertransmigrasi. Lantas siapa yang disuruh melestarikan budaya Bali, jika bukan orang Bali (Kak Nges, Denpasar dalam Tokoh: 16-22 Juli 2007:2).”

Kondisi tersebut sebenarnya telah melahirkan adanya sumber konflik baru di masyarakat, walaupun baru pada tahap konflik kognitif dan afektif akibat kecurigaan penduduk pendatang yang kurang berpartisipasi dalam program KB. Menurut pandangan psikologi, konflik dapat dibagi menjadi tiga taraf, yaitu: (1) konflik kognitif yaitu konflik yang berhenti sampai pada pemikiran; (2) konflik afektif yaitu konflik yang melibatkan keberpihakan emosional; dan (3) konflik konatif yaitu konflik yang meniscayakan tindakan kekerasan (Jatman, 1996:122).

Selain LPP yang semakin naik, angka kelahiran total (TFR) juga mengalami peningkatan dari 1,89 pada tahun 2000 berdasarkan hasil Sensus Penduduk naik menjadi 2,1 pada tahun 2007 berdasarkan hasil SDKI 2007. Yang menarik adalah adanya stagnasi TFR pada periode 2002 dan 2007 berdasarkan hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) yang tetap yaitu 2,1 walaupun sebenarnya prevalensi KB aktif dapat ditingkatkan dari 61,2% (2002) menjadi 69,4% (2007). Terhadap fenomena tersebut diduga penyebabnya antara lain.

Pertama, terjadinya penurunan pemakaian Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) berdasarkan hasil SDKI dari 42,8% (1997), 31,6% (2002) dan 28,0% (2007). Secara teori tingkat kegagalan MKJP lebih rendah jika dibandingkan dengan non-MKJP. Jenis alat kontrasepsi yang termasuk MKJP adalah Vasektomi, Tubektomi, IUD dan Implant, sedangkan yang termasuk non-MKJP antara lain suntik KB, Pil, dan Kondom.

Menurut Hatcher (1984) rata-rata angka kegagalan berbagai kontrasepsi pada tahun pertama, yaitu: 1) Tubektomi 0,04%; 2) Vasektomi 0,15%; 3) Suntikan KB 0,25 % ; 4) Pil kombinasi 2,0%; 5) Pil progestin 2,50%; 6) IUD 5,0%, 6) Kondom 10%; 7) Senggama terputus 23%; 9) Pantang berkala 24% dan 10) tidak memakai kontrasepsi tingkat kegagalannya 90% (Singarimbun, 1996:14). Jadi kurang signifikan naiknya prevalensi peserta KB aktif sementara kualitas pemakaian kontrasepsi menurun. Penduduk pendatang diduga banyak yang tidak memakai MKJP.

Kedua, terjadinya peningkatan kontrasepsi tradisional dari 2,0% (1997), 2,4% (2002) dan 4,0% (2007). Kontrasepsi tradisional yang

dimaksudkan antara lain Pantang Berkala, Senggama Terputus atau jamu-jamuan. Kontrasepsi tradisional juga memiliki angka kegagalan yang sangat tinggi, sehingga kurang efektif untuk mencegah kehamilan.

Ketiga, kemungkinan banyaknya migrasi masuk dari kelompok pasangan usia subur (PUS) dengan paritas tinggi yang terkonsentrasi di daerah perkotaan (BKKBN, 2008:4).

Data dan informasi mengenai partisipasi penduduk pendatang dalam program KB atau fertilitas penduduk pendatang memang tidak tersedia dalam sistem pencatatan dan pelaporan pengendalian program KB. Dalam sistem pencatatan dan pelaporan KB memang tidak ada variabel perbedaan identitas penduduk dan keluarga berdasarkan daerah asal, etnis maupun agama, baik dalam Register Pendataan Keluarga maupun Pencatatan dan Pelaporan Pengendalian Lapangan Program KB. Untuk itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian studi kasus partisipasi penduduk pendatang dalam program KB di daerah perkotaan yang penduduknya terdiri dari multi etnis.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah: (1) bagaimanakah bentuk partisipasi penduduk pendatang dalam program KB; (2) apakah faktor-faktor yang menyebabkan penduduk pendatang tidak ber-KB; dan (3) bagaimanakah dampak dan makna partisipasi penduduk pendatang dalam Program KB di Desa Tegal Kertha Kecamatan Denpasar Barat Kota Denpasar.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui partisipasi bentuk penduduk pendatang dalam program KB, memahami faktor-faktor yang menyebabkan penduduk pendatang tidak ber-KB, dan menginterpretasi dampak dan makna partisipasi penduduk pendatang dalam Program KB di Desa Tegal Kertha.

Penelitian ini diharapkan bermanfaat, baik secara teoretis maupun praktis. Secara teoretis hasil temuan penelitian ini dapat memberikan kontribusi untuk menambah khasanah pengetahuan bagi pengembangan keilmuan di Universitas Udayana, serta tersedianya data dan informasi tentang tingkat kesertaan ber-KB, permasalahan unmet need di daerah perkotaan, Secara praktis temuan hasil penelitian ini diharapkan: (1) dapat dipakai sebagai bahan

advokasi kepada stakeholder untuk meningkatkan akses pelayanan KB terutama bagi keluarga miskin di daerah perkotaan; (2) dapat dipakai sebagai bahan referensi untuk menajamkan strategi operasional pelayanan KB di daerah perkotaan; (3) dapat dipakai sebagai bahan masukan untuk memperbaiki stragei pelayanan penyuluhan dan konseling KB di daerah perkotaan.

KAJIAN PUSTAKA

Penduduk Pendatang

Penduduk pendatang adalah setiap warga negara Republik Indonesia yang datang dari luar daerah dan bermaksud diam sementara di daerah (Pasal 1 ayat 2 Perda Kota Denpasar No. 5 Tahun 2000). Di lapangan sulit untuk menetapkan penduduk yang dikategorikan penduduk pendatang jika mengacu pada definisi Penduduk Pendatang sesuai dengan Perda Kota Denpasar Nomor 5 Tahun 2000 terutama yang menyangkut pengertian “bermaksud diam sementara” di daerah.

Sehubungan dengan hal tersebut, dalam penelitian ini ada dua konsep penduduk pendatang yang dipakai sebagai definisi operasionbal, sesuai dengan sumber data yang tersedia serta dapat diolah dan dianalisis yaitu: (1) Penduduk Tinggal Sementara (PTS), dan (2) Penduduk Pendatang Tetap. Penduduk Tinggal Sementara (PTS) adalah penduduk pendatang yang bermukin di wilayah Kota Denpasar tetapi belum memiliki kartu tanda penduduk (KTP) Kota Denpasar. Mereka belum dicatat dalam Register Pendataan Keluarga (R/I/KS), tetapi dicatat dalam Register Pendataan Penduduk Tinggal Sementara (R/I/TP/2007). Penduduk Pendatang Tetap adalah setiap warga negara Republik Indonesia yang datang dari luar daerah Kota Denpasar dan sudah memiliki KTP Denpasar. Penduduk pendatang yang sudah menetap sudah dimasukkan dalam Register Pendataan Peluarga (R/I/KS/2008) yang dilaksanakan oleh kepala dusun setempat.

Kebijakan pengaturan masalah penduduk pendatang yang diterapkan di Desa Tegal Kertha sangatlah ketat, seperti yang diungkapkan oleh Kelian Banjar Adat Mertha Gangga mengatakan.

“Hasil “perarem” untuk pengaturan penduduk pendatang menetapkan bahwa penduduk pendatang agar bisa mendapatkan KIPP di Banjar Mertha Gangga adalah mereka yang sudah memiliki tanah dengan menunjukkan sertifikat/akte jual beli tanah, atau mereka yang akan mengontrak tanah/kamar/rumah minimal dalam jangka waktu 5 (lima) tahun dengan memperlihatkan surat kontrak. Selain itu, mereka juga harus membawa surat keterangan penduduk pindah dari daerah asal serta Surat Kelakuan Baik (SKB) dari daerah asal. Setelah persyaratan itu lengkap mereka baru dapat dicatat dalam pegister penduduk masuk di kantor desa sebagai penduduk tambahan dan selanjutnya dapat diproses untuk mendapatkan KK dan KTP di Kantor Catatan Sipil Kota Denpasar”

Kebijakan dalam pelaksanaan program KB, bahwa hasil Pendataan Keluarga digunakan sebagai peta kerja oleh petugas lini lapangan, sebagai data evaluasi dan perencanaan program KB secara nasional. Dengan demikian, jika ada penduduk/keluarga yang tidak masuk dalam Register Pendataan Keluarga, maka “kemungkinan” mereka tidak menjadi sasaran pelayanan KB.

Oleh karena disinyalir banyaknya penduduk pendatang yang tidak bisa masuk dalam Register Pendataan Keluarga karena berbagai alasan di lapangan, maka BKKBN Provinsi Bali telah mengembangkan Register Penduduk Tinggal Sementara (R/I/PTS/2007) yang diujicobakan di Kota Denpasar di desa/kelurahan tertentu, untuk mendata keluarga yang tidak bisa masuk dalam Register Pendataan Keluarga. Dengan adanya dua data ini akan terkumpul data penduduk dan keluarga secara menyeluruh mengenai data demografi, KB dan Tahapan Keluarga Sejahtera di suatu desa/kelurahan secara lengkap. Desa Tegal Kertha yang merupakan lokasi penelitian telah memiliki hasil Pendataan Penduduk Tinggal Sementgara (R/I/PTS/2007).

Program KB

Menurut definisi ICPD 1994 Program KB adalah suatu program yang dimaksudkan untuk membantu para pasangan dan perorangan dalam mencapai tujuan reproduksi mereka, mencegah kehamilan yang tidak diinginkan dan mengurangi insiden kehamilan beresiko tinggi,

kesakitan dan kematian, membuat pelayanan bermutu, terjangkau, diterima dan mudah diperoleh bagi semua orang yang membutuhkan; meningkatkan mutu nasihat, komunikasi, edukasi dan informasi, konseling dan pelayanan KB, dan meningkatkan pemberian ASI untuk penjarangan kehamilan (BKKBN, 2006:5). Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera program KB mempunyai empat dimensi, yaitu: pendewasaan usia perkawinan, pengaturan kelahiran, peningkatan ketahanan keluarga dan peningkatan kesejahteraan keluarga. Program KB sebenarnya memiliki domain yang luas seperti definisi tersebut di atas, dan tidak hanya berkaitan dengan kontrasepsi saja seperti yang banyak dimaknai oleh masyarakat secara luas.

Teori-teori yang dipakai sebagai landasan dalam penelitian ini adalah: (1) Teori Partisipasi dipakai untuk membahas bentuk partisipasi penduduk pendatang; (2) Teori Feminisme dipakai untuk membahas faktor-faktor yang menyebabkan penduduk pendatang tidak ber-KB; dan (3) Teori Hegemoni untuk membahas dampak dan makna partisipasi penduduk pendatang dalam Program KB. Namun demikian, teori-teori tersebut dapat pula menjadi landasan untuk menjelaskan fenomena-fenomena sosial dari ketiga aspek yang menjadi pokok bahasan penelitian.

METODE PENELITIAN

Penelitian dirancang dengan menggunakan metode kualitatif dan didukung metode kuantitatif dalam upaya untuk memperkaya data dan lebih memahami fenomena sosial yang diteliti (Singarimbun, 1989:9). Metode kualitatif menurut Bogdan dan Taylor dalam Moleong (1991:3) didefinisikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa data tertulis dan lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati, sedangkan data kuantitatif bersumber dari data primer dan sekunder.

Penelitian dilaksanakan di Desa Tegal Kertha Kecamatan Denpasar Barat Kota Denpasar dilakukan dengan pertimbangan bahwa di desa tersebut mempunyai proporsi penduduk pendatang yang tinggi dari berbagai etnis dan agama.

Jenis data menggunakan data kualitatif yang bersumber dari data primer dan data kuantitatif yang bersumber dari data primer dan sekunder. Data kualitatif bersumber dari hasil observasi di lapangan dan wawancara dengan informan dengan menggunakan pedoman wawancara. Data kuantitatif bersumber dari : (1) Registrasi Pendataan Keluarga Penduduk Tinggal Sementara (R/I/TP/07), (2) Hasil Pendataan Keluarga Tahun 2008, dan (3) Penyebaran kuestioner.

Penentuan informan dan responden dilakukan dengan teknik purposive sampling, yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2003:78). Pertimbangan tertentu yang dimaksudkan adalah dengan mengambil orang-orang terpilih serta memiliki cici-ciri spesifik seperti; jabatan dalam organisasi kemasyarakatan, aktif dalam kegiatan sosial, sebagai peserta KB dan bukan peserta KB dan sebagainya (Mantra, 2004:121).

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan alat (instrumen) berupa pedoman wawancara. Pedoman wawancara adalah alat yang dipergunakan dalam komunikasi yang berbentuk sejumlah pertanyaan lisan yang diajukan oleh peneliti sebagai pencari informasi yang dijawab pula oleh informan (Nawawi, 1992:69). Pedoman wawancara yang disusun hanya berupa garis-garis besar permasalahan yang akan ditanyakan, sehingga wawancara merupakan wawancara yang tidak terstruktur, oleh karena tidak ada pertanyaan-pertanyaan yang disiapkan alternatif jawabannya (Sugiyono, 2003:132). Untuk itu, wawancara dilaksanakan secara mendalam (in-depth interview) untuk mengetahui alasan yang sebenarnya dari informan mengambil keputusan seperti itu (Mantra, 2003:86).

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara deskriptif kualitatif dan analisis satu variabel tabel frekuensi. Analisis deskriptif kualitatif dilakukan untuk menganalisis data kualitatif yang dihasilkan melalui observasi dan wawancara, sedangkan analisis satu variabel tabel frekuensi dilakukan untuk menganalisis data kuantitatif. Analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretarsikan. Setelah data dianalisis dan informasi yang lebih sederhana diperoleh, maka langkah selanjutnya dilaksanakan interpretasi untuk mencari makna I Volume V No.1 Juli 2009

dan implikasi yang lebih luas dari hasil-hasil penelitian (Singarimbun, 1989:263).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Seperti diketahui bersama bahwa terjadinya fertilitas dipengaruhi oleh berbagai faktor. Menurut Davis dan Blake (1956) ada 11 variabel antara yang mempengaruhi fertilitas. Variebel-variebel tersebut digolongkan menjadi tiga, yaitu: 1) Variabel hubungan seks yang terdiri dari : (a) usia kawin; (b) proporsi yang tidak pernah kawin; (c) perpisahan pada usia kawin karena cerai, ditinggal dan menjada; (d) abstinensia sukarela; (e) abstinensia karena terpaksa; (f) frekuensi hubungan seks; 2) Variebel konsepsi yang terdiri dari : (a) kesuburan biologis; (b) pemakaian kontrasepsi; (c) kemandulan disengaja; dan 3) Variebel gestasi yang terdiri dari : (a) keguguran yang tidak disengaja; (b) pengguguran yang disengaja (Singarimbun, 1996:5)

Variabel-variabel tersebut tidak semuanya dijadikan pendekatan untuk pengendalian kelahiran di Indonesia. Adapun variabel-variabel yang dijadikan pendekatan untuk pengendalian kelahiran melalui program KB, yaitu: 1) usia kawin melalui promosi pendewasaan usia perkawinan; 2) pemakaian kontrasepsi; dan 3) kemandulan disengaja melalui vasektomi dan tubektomi.

Pendewasaan Usia Perkawinan

Tujuan pendewasaan usia perkawinan selain untuk mengendalikan kelahiran, oleh karena semakin tua usia orang kawin berarti semakin sedikit waktu masa reproduktif yang dimiliki oleh Pasangan Usia Subur (PUS), juga bermanfaat untuk mengurangi resiko kehamilan. Resiko yang mungkin dapat terjadi pada ibu yang yang telalu muda untuk hamil antara lain: keguguran, tekanan darah tinggi, keracunan kehamilan, timbulnya kesulitan persalinan, bayi berat lahir rendah, membesarnya air seni ke vagina, keluarnya gas dan feses ke vagina atau bisa kanker leher rahim (BKKBN, 2006:2). Anjuran melalui program KB yang disarankan dalam pendewasaan usia perkawinan adalah meningkatkan batas usia perkawinan minimal usia 20 tahun untuk perempuan dan minimal usia 25 tahun untuk pria (BKKBN, 1992;21).

Median umur kawin pertama wanita merupakan indikator yang digunakan untuk melihat pendewasaan usia perkawinan. Dari Tabel 4.1 diperoleh gambaran rata-rata usia kawin pertama wanita penduduk pendatang telah mencapai 20,6 tahun. Jika dilihat peretnis ada dua yaitu Etnis Sasak dan Etnis Madura masih berada di bawah 20 tahun usia kawin pertama wanitanya. Etnis Batak rata-rata usia kawin pertama wanita paling tinggi yang mencapai 22,6 tahun, disusul Etnis Cina 22, 3 tahun, Etnis Bali 21,3 tahun dan Etnis Jawa 20,8 tahun. Data secara rinci seperti pada Tabel1

Tabel 1 Rata-rata Usia Kawin Pertama Wanita Penduduk Pendatang Berdasarkan Etnis di Desa Tegal Kertha Tahun 2009

No

Etnis

Rata-rata Usia Kawin

Pertama Wanita

1

Bali

21,3 Th

2

Jawa

20,8 Th

3

Cina

22,3 Th

4

Sasak

18,0 Th

5

Madura

18,6 Th

6.

Batak

22,6 Th

Rata-Rata

20,6 Th

Sumber : Data R/I/KS/2008

Hasil penelitian mencatat bahwa penduduk pendatang yang kawin di bawah umur 20 tahun, umumnya melangsungkan perkawinan semasih tinggal di daerah asal, seperti dari Jawa dan Madura, sebelum melakukan migrasi ke Bali. PUS yang usia kawin pertama wanitanya di bawah 20 tahun tingkat pendidikan mereka rata-rata hanya tamat SD dan bahkan dari mereka yang bersekolah hanya sampai kelas 3 atau 4 SD. Sebagian besar mereka mengaku dijodohkan oleh orang tua dan bukan atas dasar cinta atau keinginan sendiri. Tetapi penduduk pendatang yang melangsungkan perkawinan di Bali pada umumnya rata-rata usia kawin pertama wanitanya sudah di atas 20 tahun. Hal itu disebabkan antara lain karena pengaruh lingkungan, atau lebih mementingkan pekerjaan agar bisa mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya, atau mungkin karena tidak adanya intervensi dari orang tuanya yang masih tinggal di Jawa. Seperti yang disampaikan oleh Kahira penduduk pendatang asal Desa Jenggawa Kabupaten Jember Jawa Timur yang tinggal di

Banjar Manut Negara menuturkan sebagai berikut:

“Saya kawin pada usia 13 tahun. Setelah tamat SD saya langsung dijodohkan oleh orang tua tanpa ada rasa cinta dengan suami. Pada saat itu saya belum mendapatkan haid. Untuk dapat dicatat di KUA terpaksa bapak mencuri umur dan mengatakan saya berumur 15 tahun. Kebiasaan kawin muda sampai saat ini masih tetap berlangsung, karena memang itu sudah menjadi budaya di daerah saya. Bahkan ada keponakan saya di Jawa yang dikawinin pada umur 7 tahun, tetapi sifatnya masih nikah siri”

Dapat disimpulkan bahwa ada beberapa faktor-faktor yang menyebabkan usia kawin pertama wanita penduduk pendatang meningkat saat melangsungkan perkawinan di Bali jika dibandingkan usia kawin pertama wanita yang melangsungkan perkawinan di daerah asal, antara lain: (1) kemiskinan; (2) hidup di daerah yang padat; dan (3) pengaruh lingkungan. Faktor-faktor tersebut sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Michael Thomas Sadier seorang penganut Teori Fisiologis yang menyatakan bahwa “jika kepadatan penduduk tinggi, maka daya reproduksi manusia cenderung menurun, sebaliknya jika kepadatan penduduk rendah, maka daya reproduksi manusia akan meningkat” (Mantra, 2003:59).

Pengaturan Kelahiran

Pengaturan jarak kelahiran antara anak pertama dengan anak kedua dan seterusnya selain bertujuan untuk mengendalikan tingkat kelahiran melalui penjarangan kehamilan, juga bertujuan untuk mengurangi resiko negatif terhadap bayi dan ibu yang jarak kehamilannya terlalu dekat. Resiko-resiko yang bisa terjadi bila kehamilan terlalu dekat antara lain: keguguran, anemia pada ibu, payah jantung, bayi bisa lahir sebelum waktunya, bayi bisa lahir dengan berat badan rendah, bayi bisa cacat bawaan, serta tidak optimalnya tumbuh kembang balita. Akan sangat beresiko lagi jika kehamilan yang terlalu dekat terjadi di kalangan keluarga miskin, yang tidak mampu untuk mencukupi gizi pada saat ibu sedang hamil. Jarak kelahiran yang ideal yang dianjurkan melalui program KB minimal 2-3 tahun, sehingga untuk kehamilan anak yang kedua secara fisik dan psikhologis siibu lebih siap (BKKBN, 2006:3).

Pada Tabel 2 memberikan gambaran bahwa rata-rata jarak kelahiran penduduk pendatang sudah lebih tinggi yang mencapai 3,7 tahun. Rata-rata tertinggi dicapai oleh penduduk pendatang dari Etnis Batak yaitu 5,2 tahun, disusul Etnis Bali 3,9 tahun, Etnis Jawa 3,7 tahun, Etnis Sasak 3,3 tahun dan Etnis Cina dan Madura masing-masing 3,0 tahun. Data secara rinci seperti pada Tabel 2.

Tabel2 Rata-rata Jarak Kelahiran Anak Penduduk PendatangBerdasarkan Etnis di Desa Tegal Kertha

No

Etnis

Rata-rata jarak kelahiran

1

Bali

3,9 tahun

2

Jawa

3,7 tahun

3

Cina

3,0 tahun

4

Sasak

3,3 tahun

5

Madura

3,0 tahun

6.

Batak

5,2 tahun

Rata-rata

3,7 tahun

Sumber : Data R/I/KS, 2008

Hasil wawancara dengan beberapa penduduk pendatang terutama di kalangan PUS keluarga miskin, faktor ekonomi menjadi salah satu alasan untuk menunda kelahiran anak yang kedua, seperti penuturan Maisaroh asal Madura yang baru memiliki 1 (satu) anak umur 5,5 tahun mengatakan sebagai berikut:

“Saya berkeinginan untuk nambah anak lagi 1 (satu), tetapi kalau anak saya ini sudah sekolah SD dan sekarang masih TK serta ekonomi sudah membaik. Soalnya beaya hidup di sini serba mahal lain dengan di Jawa, Jadi enggak berani nambah anak banyak apalagi saya tinggal di rumah kontrakan yang sempit”.

Demikian pula penuturan Ade yang berasal dari Kupang yang tinggal di Banjar Mertha Gangga, faktor ekonomi juga menjadi alasan untuk mengatur jarak kelahiran berikutnya.

“Umur anak saya sekarang baru berumur satu tahun delapan bulan, pingin sih punya dua anak, tetapi ekonomi masih susah dan serba mahal, terutama beaya melahirkan. Suami hanya kerja sebagai pegawai toko. Rencananya pingin nambah anak lagi tetapi setelah anak saya umur lima tahun. Jadi anggak terlalu repot

untuk mengurusnya. Masak hanya punya anak satu yah minimal dua”

Rata-Rata Jumlah Jiwa dalam Keluarga

Rata-rata jumlah jiwa dalam keluarga di kalangan penduduk pendatang yang dikategorikan Penduduk Tinggal Sementara (PTS) adalah 3,1 jiwa. Tercatat penduduk pendatang asal Sulawesi paling tinggi rata-ratanya jika dibandingkan dengan penduduk pendatang dari daerah lain yaitu 4 jiwa, disusul pendatang dari NTT 3,4 jiwa, Jawa 3,1 jiwa, Bali luar Denpasar 3,1 jiwa, Madura 3,0 jiwa, Sumatra 2,7 jiwa dan Nusa Tenggara Barat 2,6 jiwa. Data secara rinci seperti pada Tabel 3.

Tabel 3 Rata-rata Jumlah Jiwa dalam Keluarga Penduduk Tinggal Sementara Berdasarkan Daerah Asal di Desa Tegal Kertha Tahun 2007

No

Daerah Asal

Jumlah KK

Jumlah Jiwa dlm Keluarga

Rata-rata Jumlah Jiwa dlm keluarga

1

Bali luar Dps.

182

563

3.1

2

Jawa

348

1.087

3,1

3

Madura

8

24

3,0

4

Sumatra

7

19

2,7

5

Sulawesi

1

4

4,0

6

NTB

7

18

2,6

7

NTT

5

17

3,4

Jumlah

558

1.732

3,1

Sumber: Data R/I/PTS, 2007


Rata-rata jumlah jiwa di kalangan penduduk pendatang yang sudah menjadi penduduk tetap sesuai dengan hasil Pendataan Keluarga Tahun 2008 mencapai 4,3 anak. Etnis Jawa rata-rata jumlah jiwa dalam keluarga paling tinggi yaitu mencapai 4,5 orang. Selanjutnya, rata-rata jumlah jiwa peretnis adalah Etnis Bali 4,3 orang, Etnis Kupang 4.0 orang, Etnis Batak 3,8 orang, Etnis Cina 3,5 orang, Etnis Sasak 3,3 orang dan Etnis Madura 3,0 orang.

Data yang cukup signifikan untuk bisa dibandingkan karena diwakili oleh jumlah KK yang cukup banyak adalah perbandingan antara rata-rata jumlah jiwa dalam keluarga di kalangan Etnis Jawa dan Etnis Bali. Hasil Pendataan

Keluarga mencatat ternyata rata-rata jumlah jiwa dalam keluarga di kalangan Etnis Jawa lebih besar lagi 0,2 orang jika dibandingkan dengan Etnis Bali. Hal ini menandakan bahwa jumlah anak yang dimiliki oleh keluarga dari Etnis Jawa lebih besar jika dibandingkan keluarga dari Etnis Bali. Terhadap hal ini berarti sinyalemen yang ada di masyarakat yang mengatakan bahwa penduduk pendatang dari Jawa lebih banyak punya anak adalah benar adanya walaupun perbedaannya sangat tipis. Sinyalemen inilah yang sering dilontarkan oleh kelompok masyarakat yang menekan program KB, baik disampaikan melalui media massa maupun radio.

Etnis-etnis lainnya seperti Cina, Sasak, Madura, Batak dan Kupang rata-rata jumlah jiwa dalam keluarga lebih kecil jika dibandingkan dengan Jawa dan Bali, walaupun keterwakilannya dalam KK belum signifikan dari segi jumlah pembanding KK dibandingkan dengan Etnis Jawa dan Etnis Bali. Data secara rinci rata-rata jumlah jiwa dalam keluarga di kalangan penduduk pendatang yang sudah menetap seperti pada Tabel 4.

Tabel 4.Rata-rata Jumlah Jiwa dalam Keluarga Berdasarkan EtnisHasil Pendataan Keluarga di Desa Tegal Kertha Tahun 2008

No

Etnis

Jumlah KK

Jumlah Jiwa dlm Keluarga

Rata-rata

Jumlah Jiwa dlm keluarga

1

Bali

774

3352

4,3

2

Jawa

653

2930

4,5

3

Cina

40

139

3,5

4

Sasak

23

76

3,3

5

Madura

82

242

3,0

6

Batak

27

103

3,8

7

Kupang

7

28

4,0

8

Lainnya

25

71

2,5

Jumlah

1.631

6.931

4,3

Sumber: Data R/I/KS, 2008

Hal yang menarik penulis dapatkan di lapangan bahwa keluarga dari kalangan Etnis Cina dan Batak rata-rata ekonominya lebih mampu jika dibandingkan dengan penduduk pendatang dari etnis lainnya. Hal tersebut terlihat dari rumah tempat tinggalnya yang umumnya lebih baik, Namun rata-rata jumlah anggota keluarganya relatif kecil. Dengan

demikian dapat disimpulkan pula bahwa keluarga yang ekonominya lebih baik atau pendapatnnya tinggi ada kecenderungan memiliki jumlah anak sedikit. Hal tersebut sesuai dengan teori yang disampaikan oleh Doubleday yang berpendapat bahwa “dalam golongan masyarakat yang berpendapatan rendah seringkali terdiri dari keluarga besar, sebaliknya orang yang mempunyai kedudukan atau pendapatannya tinggi biasanya jumlah keluarganya kecil” (Mantra, 2003:60).

Namun demikian, secara umum teori tersebut tidak berlaku seratus persen jika melihat keadaan keluarga miskin di Desa Tegal Kertha. Mereka cenderung mengupayakan keluarga kecil justru karena faktor ekonomi atau kemiskinan. Mereka sadar hidup di daerah perantauan dan tinggal di rumah kontrakan yang sempit serta beaya hidup yang mahal di Kota Denpasar mendorong mereka untuk memiliki jumlah anak yang sedikit. Walaupun dalam kasus-kasus tertentu memang masih ada penduduk pendatang termasuk juga penduduk lokal yang ekonominya lemah, akan tetapi memiliki jumlah anak yang relatif banyak. Masih ingat berita yang menghebohkan di Radar Bali pada periode Maret 2008 yang memberitakan seorang ibu yang bernama Halimah (44 tahun) penduduk pendatang asal jawa yang memiliki anak sebanyak 20 orang.

Prevalensi Peserta KB Aktif

Prevalensi peserta KB aktif penduduk pendatang di kalangan PTS hanya mencapai 57,4%, jadi cukup rendah jika dibandingkan dengan prevalensi peserta KB aktif Bali hasil SDKI 2007 yang mencapai 69,4%. Penduduk pendatang asal Jawa prevalensinya hanya mencapai 56,3% atau masih lebih rendah jika dibandingkan dengan penduduk pendatang asal Bali yang mencapai 58,2%. Data secara rinci seperti pada Tebel 5.

Tabel 5 Pvalensi Peserta KB Aktif Penduduk Tinggal Sementara Berdasarkan Daerah Asal di Desa Tegal Kertha Tahun 2007

Sumber: Data R/I/PTS, 2007

Salah satu penyebab rendahnya prevalensi peserta KB aktif di kalangan penduduk pendatang kategori PTS karena tingginya unmet need yang tercatat 18,6%. PUS Unmet need adalah pasangan usia subur yang tidak terlayani KB yang sebenarnya mereka menginginkan anak tetapi ditunda atau mereka yang sudah tidak menginginkan anak lagi. Kelompok unmet need dalam program KB menjadi prioritas utama sasaran pelayanan KB. Akan tetapi karena mereka tidak tercatat dalam Register Pendataan Keluarga, sehingga mereka kurang mendapatkan akses pelayanan baik KIE/konseling KB maupun pelayanan kontrasepsi secara gratis bagi keluarga yang miskin.

Penduduk pendatang yang sudah menjadi penduduk tetap berdasarkan hasil Pendataan Keluarga Tahun 2008 di Desa Tegal kertha peserta KB aktifnya mencapai 83,2%. Jika dilihat berdasarkan etnis, maka PUS dari Etnis Madura peserta KB aktifnya paling tinggi yang mencapai 97,6%, sedangkan yang paling rendah adalah Etnis NTT 57,1%. Data secara rinci seperti pada Tabel 6

Tabel 6 Prevalensi Peserta KB Aktif Penduduk Tinggal Sementara Berdasarkan Etnis di Desa Tegal Kertha Tahun 2008

No

Etnis

Jumlah PUS

Jumlah

Peserta KB

Persen

1

Bali

591

491

83,1

2

Jawa

467

381

75,2

3

Cina

31

25

80,7

4

Sasak

22

17

77,3

5

Madura

82

80

97,6

6

Batak

25

22

88,0

7

NTT

7

4

57,1

8

Lainnya

25

20

80,0

Jumlah

1250

1040

83,2

Sumber: Data R/I/KS, 2008

Pemakaian Jenis Kontrasepsi

Jenis kontrasepsi penduduk pendatang yang dikategorikan PTS tercatat yang memakai metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP) hanya 9,3%. MKJP terdiri dari tubektomi, vasektomi, IUD dan implant. Jika dibandingkan dengan persentase pemakaian jenis kontrasepsi

No

Daerah Asal

Jumlah PUS

Jumlah

Peserta KB

Persen

1

Bali luar Dps.

184

107

58,2

2

Jawa

311

175

56,3

3

Madura

8

7

87,5

4

Sumatra

7

2

28,6

5

Sulawesi

1

1

100,0

6

NTB

7

5

71,4

7

NTT

5

3

60,0

8

Lainnya

0

0

0,0

Jumlah

520

300

57,4

secara umum di Bali tentu kualitas kontrasepsi yang dipakai oleh PTS kurang efektif. Jenis alat kontrasepsi yang dipakai oleh penduduk pendatang yang sudah menetap berdasarkan hasil Pendataan Keluarga di tiga lokasi penelitian tercatat MKJP persentasenya mencapai 22,0%. Jadi masih lebih baik dibandingkan dengan penduduk pendatang yang dikategiorikan PTS. Etnis Bali paling banyak memakai jenis kontrasepsi MKJP yaitu sebesar 32,2%.

Partisipasi KB Pria

Partisipasi KB pria di kalangan penduduk yang dikategorikan PTS hanya mencapai 1%. Etnis dari NTT prevalensi KB prianya paling tinggi yang mencapai 25,0%, sedangkan Etnis Madura dan Batak tidak ada yang memakai KB Pria. Dibandingkan dengan hasil SDKI 2007 yang mencapai 3%, maka partisipasi KB pria di kalangan penduduk PTS sangat rendah, sedangkan penduduk pendatang yang sudah menjadi penduduk tetap mencapai 3,9%.

Jawaban responden terhadap penyebab rendahnya partisipasi pria dalam ber-KB di kalangan penduduk pendatang yaitu: (1) menganggap urusan KB adalah urusan perempuan (43,3%); (2) suami tidak mau (26,7%); (3) tidak tahu ada kontrasepsi pria (20,0%); (4) takut kondom disalahgunakan suami (3,3%); (5) kondom tidak bagus (3,3%); dan (5) yang menjawab tahunya hanya KB perempuan (3,3%). Persepsi yang menganggap KB adalah urusan perempuan harus dihilangkan melalui peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat. Urusan KB bukan urusan perempuan, tetapi merupakan urusan berdua suami isteri. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa masih adanya hegemoni laki-laki terhadap perempuan karena tidak mau memakai alat kontrasepsi. Kesetaraan dan

keadilan gender dalam KB dan kesehatan reproduksi agar terus disosialisasikan.

Unmet Need

Persentase unmet need di kalangan penduduk tinggal sementara (PTS) mencapai 18,6%. Jika dilihat berdasarkan daerah asal tercatat PUS asal Sumatra dan NTB persentase unmet need-nya paling tinggi yang mencapai 28,6%. Namun demikian, data unmet need PTS asal Sumatra dan NTB kurang signifikan dapat mewakili keadaan yang sebenarnya, oleh karena jumlah data PUS PTS kedua daerah asal tersebut relatif sedikit jika dibandingkan dengan PUS PTS asal Jawa maupun Bali Luar Denpasar. Rangking selanjutnya unmet need berturut-turut adalah NTT 20,0%, Bali 19,0%, Jawa 18,0%, dan Madura 12,5%. Distribusi unmet need di kalangan PTS seperti pada Tabel 7.

Tabel 7 Distribusi Unmet Need di Kalangan Penduduk Tinggal Sementara Berdasarkan Daerah Asal di Desa Tegal Kertha Tahun 2007

No

Daerah Asal

Jml PUS

Jml PA

IAT

Unmet Need

%

TIA

%

Total

%

1

Bali Luar Dps.

184

107

15

8,5

20

19,0

35

19,0

2

Jawa

311

175

25

8,1

31

18,0

56

18,0

3

Madura

8

7

1

12,5

0

12,5

1

12,5

4

Sumatra

7

2

2

28,6

0

28,6

2

28,6

5

Sulawesi

1

1

0

0,0

0

0,0

0

0,0

6

NTB

7

5

0

0,0

2

28,6

2

28,6

7

NTT

5

3

0

0,0

1

20,0

1

20,0

8

Maluku

0

0

0

0,0

0

0,0

0

0,0

Jumlah

523

300

43

8,2

54

10,3

97

18,6

Sumber: Data R/I/PTS, 2007


Persentase unmet need di kalangan penduduk pendatang yang sudah menetap berdasarkan hasil Pendataan Keluarga tahun 2008 tercatat 7,7%. Jika dilihat berdasarkan etnis tercatat Etnis NTT persentase unmet need-nya paling tinggi yang mencapai 14,3%, disusul Etnis Cina 9,7%, Etnis Sasak 9,1%, Etnis Jawa 8,8%, Etnis Batak 8,0%, dan yang paling rendah adalah Etnis Bali yang mencapai 7,6%.

Dibandingkan dengan unmet need hasil SDKI 2007di Provinsi Bali yang mencapai 5,8 (BKKBN, 2008:87), maka proporsi unmet need di kalangan penduduk pendatang yang sudah menetap masih lebih tinggi atau selisihnya sebesar 1,9%. Untuk itu, PUS unmet need di

kalangan penduduk pendatang perlu lebih mendapatkan perhatian, terlebih PUS unmet need di kalangan PTS yang proporsinya cukup tinggi. Penanganan unmet need merupakan sasaran yang potensial dalam upaya untuk meningkatkan pencapaian peserta KB di Provinsi Bali.

Hasil penelitian dapat penulis simpulkan bahwa faktor-faktor penyebab unmet need dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu faktor internal dan faktor eksternal.

Faktor internal yang dimaksudkan adalah faktor-faktor yang melekat pada diri pribadi PUS unmet need itu sendiri, seperti: (1) Faktor pengetahuan dan pemahaman KB dan kesehatan reproduksi yang kurang, yang mengakibatkan mereka takut efek samping kontrasepsi karena mungkin mereka hanya mendengarkan rumor; karena baru melahirkan/masih menyusui sehingga merasa tidak perlu untuk ber-KB, karena merasa tidak subur dan sebagainya; (2) Faktor yang berkaitan dengan perilaku atau sikap mereka, seperti takut ber-KB karena alasan kesehatan, jarang kumpul, beaya mahal, tidak nyaman pakai alat kontrasepsi.

Faktor eksternal yang dimaksudkan adalah faktor-faktor yang berada di luar pengetahuan, sikap dan perilaku PUS unmet need itu sendiri. Faktor-faktor tersebut antara lain : (1) Kurangnya komitmen pemerintah Kota Denpasar untuk melayani unmet need terutama PUS PTS; (2) Mekanisme operasional pelayanan KB di lapangan yang belum menjangkau PUS unmet need di kalangan PTS; (3) Kurangnya akses pelayanan KIE/konseling KB yang diterima oleh PUS unmet need baik penduduk pendatang yang sudah menjadi peenduduk tetap maupun PTS; (4) Hambatan akibat adanya “perarem” desa adat/desa pakraman setempat yang tidak bisa memasukkan seluruh penduduk yang sudah tinggal 6 bulan di Desa Tegal Kertha terdaftar dalam Pendataan Keluarga, sehingga mereka

menjadi kurang memiliki akses untuk mendapatkan pelayanan KB secara gratis.

SIMPULAN DAN SARAN

Usia kawin pertama wanita (UKPW) di kalangan penduduk pendatang mencapai 20,6 tahun. Penduduk pendatang yang usia kawin pertama wanitanya di bawah 20 tahun umumnya berlangsung di daerah asal, sedangkan yang melangsungkan perkawinan di Bali rata-rata usia kawin pertama wanitanya sudah di atas 20 tahun. Kesiapan mental dan ekonomi serta pengaruh lingkungan menjadi faktor pendorong perempuan pendatang untuk melangsungkan perkawinan di atas 20 tahun. Selanjutnya, rata-rata jarak kelahiran anak 3,7 tahun, faktor ekonomi menjadi salah satu faktor pendorong untuk mengatur jarak kelahiran.

Rata-rata jumlah jiwa di kalangan penduduk tinggal sementara (PTS) 3,1 anak. Penyebabnya karena sebagian besar dari mereka merupakan PUS muda. Di kalangan penduduk pendatang yang sudah menjadi penduduk tetap rata-rata jumlah jiwa dalam keluarga mencapai 4,3 anak. Etnis Jawa rata-ratanya paling besar 4,5 orang, dan yang paling kecil adalah Etnis Madura 3,0 orang.

Prevalensi peserta KB aktif di kalangan PTS tercatat 57,4%., sementara di kalangan penduduk pendatang yang sudah menjadi penduduk tetap prevalensinya tercatat 83,2%. Etnis Madura peserta KB aktifnya paling tinggi yang mencapai 97,6%, dan terendah Etnis Kupang 57,1%.

Persentase pemakaian MKJP di kalangan PTS tercatat hanya 9,3% Di kalangan penduduk pendatang yang sudah menetap persentasenya lebih tinggi yang mencapai 22,0%. Etnis Bali persentasenya tercatat paling tinggi 32,2%, sedangkan paling rendah Etnis Batak 9,1%. Dibandingkan dengan persentase MKJP di Bali Tahun 2008 yang mencapai 35,0% (Hasil Mini Survei Peserta KB Aktif), maka kualitas kontrasepsi yang dipakai oleh PTS maupun penduduk pendatang yang sudah menetap tentu kurang efektif. Partisipasi KB pria di kalangan PTS sangat rendah yang mencapai 1%, sedangkan penduduk pendatang yang sudah menjadi penduduk tetap 3,5%. .

PUS unmet need di kalangan PTS sangat tinggi 18,8%, sementara di kalangan penduduk pendatang yang sudah menetap tercatat 7,7%.

Dibandingkan unmet need Provinsi Bali hasil SDKI 2007 yang hanya 5,8%, maka unmet need di kalangan PTS dan penduduk pendatang yang sudah menetap cukup tinggi.

Saran

  • 1.    Pelayanan KB secara gratis melalui KKB agar diberikan kepada semua penduduk miskin termasuk penduduk pendatang, oleh karena tingkat partisipasi KB-nya lebih rendah jika dibandingkan dengan penduduk lokal.

  • 2.    Pelaksanaan Pendataan Keluarga agar mencatat semua penduduk baik yang sudah memiliki KTP maupun belum, asal mereka sudah dikategorikan penduduk atau sudah tinggal minimal selama 6 (enam) bulan di suatu wilayah, sehingga semua penduduk/keluarga diketahui keadaan KB-nya.

  • 3.    Pelayanan kontrasepsi secara gratis melalui mobil pelayanan KB keliling agar menjangkau daerah-daerah konsentrasi pendatang di daerah perkotaan, oleh karena tingkat unmet need di daerah-daerah tersebut sangat tinggi terutama di kalangan penduduk pendatang yang dikategorikan PTS.

  • 4.    Perlu dilaksanakan penelitian kualitas mutu pelayanan KB di dokter dan bidan praktek swasta apakah sudah sesuai Standar Operasional Presedur (SOP) Pelayanan Kontrasepsi atau tidak. Disinyalir banyak yang tidak melaksanakan SOP, seperti pemberian konseling KB kepada klien yang tidak jujur dan transparan dan terlalu mengarahkan kontrasepsi jenis tertentu yang lebih menguntungkan dari segi bisnis, serta mengabaikan hak-hak kesehatan reproduksi.

  • 5.    Podusen alat kontrasepsi agar mengiklankan produknya secara berimbang, jangan hanya mengiklankan PIL-KB dan Suntik KB melalui televisi. Demikian pula agar pelayanan KIE MKJP diintesifkan dengan menjangkau daerah-daerah yang pemakaian MKJP-nya rendah, Daerah konsentrasi penduduk pendatang di daerah perkotaan agar lebih mendapat perhatian karena kualitas pemakaian kontrasepsi khususnya MKJP sangat rendah.

DAFTAR PUSTAKA

Adian Donny Gahral. 2005. Percik Pemikiran Kontemporer, Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.

Agger, Ben. 2007. Teori Sosial Kritis, Kritik, Penerapan dan Implikasinya. Yogyakarta: Kreasi Wacara Yogyakarta.

Azyumardi Azra. 2002. Konflik Baru Antar Peradaban. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Barker, Chris. 2005. Cultural Studies: Theory dan Praktek. Yogyakarta: PT Bentang Pustaka.

Bintaro, R. 1986. Urbanisasi dan Permasalahannya. Jakarta: Ghalian Indonesia.

BKKBN. 2008. Indonesia Demodgraphic and Health Survey 2007. Jakarta.

Bocock, Robert. 1986. Pengantar Komprehensif untuk Memahami Hegemoni, Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra.

Daldjoeni, N. 1992. Seluk Belum Masyarakat Kota (Pusparagam Sosiologi Kota dan Ekologi Sosial. Bandung: Alumni.

Ehrlich, Paul R. 1982. Ledakan Penduduk. Jakarta: PT Gramedia.

Gugler Josef dan Alan Gilbert. 1996. Urbanisasi dan Kemiskinan di Dunia Ketiga. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana.

Hanington, P. Huntington. 2003. Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia. Yogyakarta: CV. Qalam.

Haris, Abdul dan Nyoman Andika. 2002. Dinamika Kependudukan dan Pembangunan di Indonesia: Dari Persfektif Makro ke Realitas Mikro. Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam.

Jatman, Darmato. 1996. Perilaku Kelas Menengah Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.

Mansour, Fakih. 2003. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Ofsset.

Mantra, Ida Bagoes. 2004. Filsafat Penelitian dan Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Mantra, Ida Bagus dan Sukaya Sukawati, ed. 1993. Bali Masalah Sosial Budaya dan Modernisasi. Denpasar: Upada Sastra

May, Larry, Dkk. 2001. Etika Terapan I Sebuah Pendekatan Multikultural. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana.

Muluk Khairul. 2005. Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah. Malang: Bayumedia Publishing dan Center for Indonesian Reform.

Munir, Rozy dan Prijono Tjiptoherijanto. 1981. Penduduk dan Pembangunan Ekonomi. Jakarta: Bina Aksara.

Raho, Bernard. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher.

Sahur, Ahmad. 1988. Migrasi, Kolonisasi, Perubahan Sosial. Jakarta: PT Pustaka Grafika Kita.

Singarimbun, Masri dan D.H. Penny. 1984. Penduduk dan Kemiskinan . Jakarta: PT. Bhatara Karya Aksara.

PIRAMIDA Jurnal Kependudukan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia