STRATEGI PEDAGANG KAKI LIMA TERHADAP PERDA NO. 3 TAHUN 2000 (Studi Kasus di Lapangan Puputan Margarana Denpasar)

Maria Sri Rahayu

Fakultas Pendidikan IPS Jurusan Sejarah IKIP PGRI Denpasar email : [email protected]

ABSTRACT

Vendors or in Indonesian, PKL (Pedagang Kaki Lima) is one of modes in city transformation which is not separable from economic system of the city. Vendors are one of businesses which have high spirit of entrepreneurship but this sector often encounters difficulties. Policy of the government tends to marginalize this sector. Rukmana (2005) said that vendors fenoment in economic system of the city isn’t the unsucess social group of the suburb economic system. The social group is not the component of suburb economic which is to be responsibility of city development.

This location of this research is the area of Lapangan Puputan Margarana that is to be called Lapangan Renon, Denpasar. The location choised is based on some reasons, such as 1) the area is prohibited for vendors and 2) the area is not far from the center of city goverment.

From the research, it could be concluded that vendors who remain in the area does not mean that they oppose the government by violating the regulation but that act (strategy) is done by rational factors. They have to do that because they have to fight for life, either it is economically, socially and culturally.

Keywords : strategy, government, vendors (PKL)

PENDAHULUAN

Bali merupakan salah satu daerah tujuan wisata di Indonesia baik oleh wisatawan domestik maupun mancanegara. Penduduk Bali memberi kesan tersendiri bagi para pendatang di Pulau Dewata ini. Keindahan alam, aneka seni dan budaya, serta semaraknya berbagai acara ritual agama Hindu yang melingkupi kehidupan sehari-hari penduduk menjadi pemandangan mengagumkan bagi wisatawan.

Kondisi demikian membuat Bali menjadi salah satu daerah tujuan bagi kaum migran untuk datang berbondong-bondong ke daerah ini. Denpasar telah menjadi kota yang menjanjikan kesuksesan. Konsekuensi dari keadaan ini adalah kian padatnya kota dengan makin bertambahnya jumlah penduduk. Terlebih saat suhu politik negeri ini memanas, Denpasar yang relatif aman menjadi salah satu pilihan. Kota ini memang sudah lama menjadi daya tarik bagi pendatang. Data dari hasil registrasi penduduk tahun 2000 menunjukkan jumlah pendatang mencapai 12.929 orang. Tahun 2001 meningkat lebih dari dua kali lipatnya, menjadi 30.264 orang. Para pendatang ini berasal dari luar Bali maupun dari kabupaten lain di Bali yang ingin mengadu nasib di Denpasar. Sebagian besar migran umumnya bekerja di sektor informal, menjadi buruh ataupun pedagang. Denpasar kian terasa sesak dan sempit (Kompas, Jum’at 10 Mei 2002).

Peningkatan jumlah penduduk yang ada di kota Denpasar dibandingkan dengan kota yang lainnya memang cukup menonjol. Hal ini terlihat dari tingginya kepadatan dan pertumbuhan penduduk kota Denpasar dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten lainnya di Propinsi Bali akan terlihat pada tabel berikut ini.

Tabel 1

Pertumbuhan Penduduk di Bali

No

Kabupaten/ Kota

Luas

Wilayah (km2)

Jumlah Penduduk

Kepadatan Penduduk per km2

Laju Pertumbu han Penduduk (%)

SP 2000

SUPAS

2005

2000

2005

1.

Jembrana

841,80

231.806

247.102

275

293

1,29

2.

Tabanan

839,33

376.030

398.386

448

475

1,16

3.

Badung

418,52

345.863

388.548

426

928

2,35

4.

Gianyar

368,00

343.155

421.067

932

1.144

4,17

5.

Klungkung

315,00

155.262

163.291

493

518

1,01

6.

Bangli

520,81

193.776

208.508

372

400

1,48

7.

Karangasem

839,54

360.486

376.711

429

449

0,88

8.

Buleleng

1.365,88

558.181

599.866

409

439

1,45

9.

Denpasar

127,78

532.440

574.610

4.167

4.497

1,54

Bali

5 636,66

3.146.999

3.378.092

558

599

1,43

Sumber : Diolah dari Data BPS Kota Denpasar dan Bali, Tahun 2008

Fenomena meningkatnya perpindahan penduduk dari desa ke kota atau yang lebih dikenal dengan urbanisasi terjadi karena masing-masing kota mempunyai daya tarik tersendiri bagi para migran. Urbanisasi merupakan suatu fenomena yang wajar dalam proses pembangunan ekonomi, baik di negara maju maupun sedang berkembang. Ada perbedaan dalam proses urbanisasi antara negara maju dan negara sedang berkembang. Di negara maju industrialisasi mendahului urbanisasi, dalam arti para pekerja umumnya terserap di sektor industri sedangkan di negara sedang berkembang proses urbanisasi tidak sejalan dengan industrialisasi. Keadaan itu cenderung memunculkan masalah tenaga kerja, baik pengangguran maupun setengah pengangguran di desa disertai dengan meluasnya kegiatan sektor informal di kota (Effendi, 1992: 41).

Fenomena sektor informal merupakan fenomena yang sangat umum terjadi terjadi di negara-negara berkembang. Persentase sektor informal di negara-negara Dunia Ketiga seperti Amerika Latin, Sub Sahara Afrika, Timur Tengah dan

Afrika Utara, dan Asia Selatan berkisar antara 30-70 persen dari total tenaga kerja. Di Indonesia, menurut data Indikator Ketenagakerjaan dari Badan Pusat Statistik (2003), 64,4 persen penduduk bekerja di sektor informal. Di pedesaan sektor informal didominasi oleh sektor pertanian (80,6 persen), sementara di perkotaaan didominasi oleh sektor perdagangan (41,4 persen) (Rukmana, 2005).

Keterbatasan pendidikan dan keterampilan yang dimiliki oleh para pendatang menyebabkan mereka lebih memilih pada jenis kegiatan usaha yang tidak terlalu menuntut pendidikan dan keterampilan yang tinggi. Pilihan mereka jatuh pada sektor informal yaitu pedagang kaki lima atau sebagai pedagang asongan.

Dalam pandangan Rachbini (1991), para pedagang kaki lima (PKL) yang menjajakan barang dagangannya di berbagai sudut kota sesungguhnya adalah kelompok masyarakat yang tergolong marjinal dan tidak berdaya. Dikatakan marjinal sebab mereka rata-rata tersisih dari arus kehidupan kota dan bahkan ditelikung oleh kemajuan kota itu sendiri. Dikatakan tidak berdaya, karena mereka biasanya tidak terjangkau dan tidak terlindungi oleh hukum, posisi tawar (bargaining position) mereka lemah dan acapkali menjadi obyek penertiban dan penataan kota yang tak jarang bersikap represif (dalam Alisjahbana, 2006: 1-2).

Denpasar merupakan salah satu kota yang menjadi sasaran urbanisasi baik yang berasal dari kabupaten lain di Provinsi Bali maupun bagi mereka yang berasal dari luar daerah Bali misalnya Jawa, Lombok, NTT, Minangkabau dan beberapa daerah lain di Indonesia. Tingginya minat para migran untuk datang ke kota ini selain karena Denpasar merupakan ibukota provinsi sebagai pusat pemerintahan juga karena potensi Denpasar sebagai kota yang dianggap mampu memberikan peluang ekonomi bagi masyarakat pendatang (migran) khususnya mereka yang terjun di sektor informal dan salah satunya adalah pedagang kaki lima (PKL).

Ada beberapa tempat di kota Denpasar yang menjadi lokasi kegiatan PKL. Salah satunya adalah kawasan Lapangan Puputan Margarana atau yang lebih terkenal dengan Lapangan Renon Denpasar. Kawasan ini merupakan lokasi yang strategis bagi PKL karena di samping letaknya di pusat kota, lapangan Renon juga

dijadikan sebagai tempat untuk olahraga, tempat santai, tempat rekreasi untuk melepaskan lelah bagi mereka yang sekedar ingin jalan-jalan menikmati sejuknya pemandangan dan udara segar, sebagai arena bermain bagi anak-anak, dan bahkan juga dijadikan sebagai sarana “pertemuan” maupun melakukan “transaksi” bagi mereka yang mempunyai “kepentingan-kepentingan” tertentu.

Kondisi ini menyebabkan kawasan lapangan ini tidak pernah sepi dari pengunjung dan hal inilah membuat kawasan ini sebagai lahan yang sangat menguntungkan bagi pedagang kaki lima (PKL) yang sedang menjajakan barang dagangan makanan baik berupa bakso, mie ayam, siomay, es kelapa muda, sate, dan berbagai jenis makanan yang lainnya misalnya jagung bakar, minuman atau makanan ringan seperti buah, kacang, telur, kerupuk, dan lainnya. Para pedagang kaki lima sangat terbantu dengan ramainya para pengunjung yang datang ke lapangan Renon karena banyak pengunjung yang memanfaatkan jasa para PKL yaitu membeli makanan dan minuman yang mereka jajakan.

Kehidupan ekonomi para PKL menjadi meningkat dan tingkat usaha mereka juga semakin pesat dengan semakin ramainya pedagang yang datang dan menjajakan barang dagangannya di kawasan ini baik pagi, siang, sore maupun malam hari. PKL menjadi pilihan bagi para pendatang sehingga sektor ini mampu menyerap dan memberikan lapangan pekerjaan di tengah persaingan kehidupan ekonomi perkotaan. Ditinjau dari modal usaha yang dimiliki, PKL yang di satu sisi sering dipandang sebelah mata tetapi mereka mampu dan mempunyai jiwa wirausaha dan tingkat kemandirian yang tinggi.

Namun demikian, ternyata keberadaan para PKL menjadi tidak nyaman manakala pemerintah kota sudah mulai menerapkan beberapa kebijakan yang menyangkut masalah tata kota dan keindahannya. Stigma negatif tentang keberadaan sektor informal dalam hal ini PKL semakin kental manakala muncul wacana “keindahan kota” karena kalau dilihat dari segi estetika lingkungan keberadaan PKL ini terkesan semrawut dan kumuh serta dianggap mengganggu keindahan kota, sehingga keberadaan PKL di kawasan lapangan Renon perlu digusur ke tempat lain.

Pemerintah Kotamadya Denpasar melalui kebijakan-kebijakannya yang dikeluarkan berusaha untuk membatasi ruang gerak PKL yang semakin hari semakin tumbuh subur di kawasan lapangan ini. Petugas-petugas Satpol PP sebagai pengontrol dari kebijakan tersebut yang langsung turun ke lapangan dan berhadapan langsung dengan para PKL pun akhirnya harus selalu siap siaga dan tidak jarang menghadapi berbagai reaksi dari para PKL.

Upaya pemerintah kota dalam menata keberadaan PKL memang selalu mengundang reaksi dari para PKL yang akan ditertibkan, bahkan jauh sebelum pelaksanaan penertiban dilakukan. Bagi para PKL, operasi penertiban, penggusuran, dan penggarukan sesungguhnya bukan merupakan hal yang sama sekali baru sehingga alih-alih untuk menaati, mereka cenderung melakukan resistensi atau mencoba menyiasati situasi dan bahkan mereka tidak jarang “kucing-kucingan” dengan para petugas keamanan dan ketertiban (Trantib).

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut.

  • 1.    Bagaimana bentuk pengendalian pemerintah terhadap pedagang kaki lima?

  • 2.    Bagaimana strategi pedagang kaki lima dalam menghadapi pelarangan dari pemerintah (Perda)?

METODE

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan penelitian kualitatif yang berawal dari fenomena sosial, ekonomi, dan budaya. Masalah-masalah yang dikaji tidak dipandang sebagai hubungan sebab akibat atau faktor-faktor yang berdiri sendiri, tetapi dikaji dalam satuan holistik dengan analisis yang lebih difokuskan pada kedalaman informasi serta lebih bermakna. Teknik wawancara dilakukan secara mendalam (indepth interview) terhadap para informan yang terdiri dari para pedagang kaki lima (PKL) serta petugas Satpol PP.

HASIL DAN PEMBAHASAN

PERDA Nomor 3 Tahun 2000

Visi pembangunan Kota Denpasar tahun 2005-2010 adalah terciptanya kota Denpasar berwawasan budaya dengan keharmonisan dalam keseimbangan secara berkelanjutan. Tujuan pembangunan berkelanjutan adalah menumbuhkembangkan jati diri masyarakat, pemberdayaan masyarakat berdasarkan kebudayaan Bali dan kearifan lokal, mewujudkan pemerintah yang baik melalui penegakan supremasi hukum, membangun pelayanan publik dan mempercepat pertumbuhan dan memperkuat ketahanan ekonomi melalui sistem ekonomi kerakyatan.

Selain di kota Jakarta, Surabaya, Medan, Makasar, Semarang, Yogyakarta, dan beberapa kota yang lainnya yang selalu memberikan berita tersendiri mengenai keberadaan PKL yang cenderung mempunyai stigma negatif terutama bila berkaitan dengan segi hukum khususnya dalam proses penertiban kawasan usaha, fenomena maraknya PKL juga dialami wilayah perkotaan di Denpasar terutama kawasan lapangan Puputan Margarana atau yang lebih dikenal dengan sebutan Lapangan Renon. Kawasan ini merupakan wilayah yang strategis bagi pertumbuhan kelompok pekerja informal (PKL) karena memiliki beberapa daya dukung yang menunjang kegiatan perekonomian di kawasan ini.

Dalam menghadapi PKL pemerintah Kota Denpasar menerapkan berbagai cara untuk menanggapi kehadiran mereka. Pemerintah berusaha melakukan pengendalian kepada PKL dan kebijakan tersebut tertuang dalam berbagai cara antara lain pertama, mengeluarkan Peraturan Daerah dan kedua, memberi wewenang kepada Petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) untuk mengontrol kebijakan tersebut.

Atas pertimbangan Kota Denpasar sebagai kota budaya yang merupakan pusat kegiatan pemerintahan, perdagangan/perekonomian, pendidikan, serta sebagai pusat pengembangan pariwisata maka perlu diupayakan peningkatan kenyamanan dan ketentraman bagi setiap orang atau penduduk. Untuk mencapai peningkatan kenyamanan dan ketentraman tersebut maka pemerintah dalam hal ini pemerintah daerah mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Kotamadya Daerah

Tingkat II Denpasar No. 15 tahun 1993 yang berisi tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum Di Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar. Dalam perkembangan selanjutnya dan untuk lebih menyesuaikan dengan keadaan yang ada maka Perda tersebut disempurnakan lagi sehingga lahirlah Peraturan Daerah Kota Denpasar (Perda) Nomor 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum Di Kota Denpasar.

Pasal-pasal yang menyatakan pelarangan terhadap PKL terlihat dalam pasal 35 dan pasal 37 berikut.

Pasal 35 ayat (5) berbunyi sebagai berikut :

  • (5)    Dilarang melakukan kegiatan usaha pedagang kaki lima (K5) menggunakan mobil, gerobak dorong-gerobak dorong, pemulung, becak dan kendaraan roda tiga lainnya di jalan, emper, toko, pekarangan rumah, jalur hijau, taman dan tempat-tempat umum lainnya.

Pasal 37 ayat (1) berbunyi sebagai berikut :

  • (1)    Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal-pasal dari Bab II sampai dengan Bab X dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 bulan atau denda paling banyak Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah).

Kalau ditinjau dari Perda tersebut jelas sekali bahwa kegiatan PKL yang ada di lapangan Renon merupakan kegiatan yang melanggar Perda. Selain dalam bentuk sosialisasi secara lisan keberadaan Perda juga disampaikan secara tulisan. Pemerintah Daerah secara jelas menuliskan pelarangan tersebut pada sebuah papan yang dipasang di sebelah sisi barat dan sisi selatan lapangan yang bertuliskan peringatan sebagai berikut.

PEMERINTAH KOTA DENPASAR

DINAS TRANTIB DAN SATPOL PP DILARANG BERJUALAN DI SEKITAR TEMPAT INI PERDA KOTA DENPASAR NOMOR 3 TAHUN 2000

Ditinjau dari pasal 35 ayat (5) memang lapangan Renon termasuk dalam kawasan taman atau jalur hijau. Hal ini bisa dilihat dalam pengertian jalur hijau yang terdapat pada pasal 1 point (g) dan taman pada pasal 1 point (h).

  • (g)    Jalur hijau adalah suatu garis hamparan tanah yang luas dan menghijau yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah sebagai daerah yang tidak boleh dibangun;

  • (h)    Taman adalah kebun yang ditanami dengan bunga-bungaan dan pepohonan sebagai tempat yang nyaman dan indah.

Berdasarkan pasal-pasal tersebut tidak bisa dipungkiri bahwa segala macam bentuk kegiatan usaha jual beli terutama pedagang kaki lima (PKL) adalah terlarang di kawasan lapangan Renon, sehingga keberadaan Perda ini pemerintah daerah mempunyai dasar hukum yang jelas untuk melakukan pelarangan mengambil beberapa tindakan terhadap beberapa oknum yang dianggap telah melakukan pelanggaran terhadap Perda tersebut. Untuk selanjutnya sanksi terhadap pelanggaran Perda tersebut telah dinyatakan dalam Pasal 37 ayat (1), dimana sanksinya dapat berupa pidana kurungan paling lama 3 bulan atau denda paling banyak Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah).

Denda yang cukup berat tersebut terutama untuk golongan PKL yang secara ekonomi merupakan golongan menengah ke bawah dianggap sangat memberatkan sehingga dengan adanya denda yang cukup memberatkan tersebut diharapkan menimbulkan efek jera bagi kegiatan yang dilakukan PKL di kawasan ini.

Di tinjau secara yuridis, keberadaan PKL di kawasan ini jelas sangat melanggar hukum yang telah diterapkan oleh pemerintah daerah kota Denpasar. Dalam pengontrolan Perda tersebut pemerintah memberikan wewenang kepada kepada salah satu dinas untuk menangani ketertiban dan menegakkan peraturan yaitu Satuan Polisi Pamong Praja. Pemberian wewenang tersebut berdasar pada (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja; (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 2005 Tentang Pedoman Prosedur Tetap Operasional Satuan Polisi Pamong Praja; dan (3) Keputusan Gubernur Bali Nomor 58 tahun 2001

yang berisi tentang Uraian Tugas Kantor Polisi Pamong Praja Daerah Gubernur Bali.

Dalam Peraturan Pemerintah RI No. 32 Tahun 2004 Pasal (4) disebutkan bahwa :

Satuan Polisi Pamong Praja adalah perangkat pemerintah daerah dalam memelihara dan menyelenggarakan ketentraman dan ketertiban umum serta menegakkan peraturan daerah.

Dijelaskan pula dalam Lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri No. : 26

Th. 2005, tanggal : 17 Juni 2005 bahwa :

Petugas Satpol PP berwenang untuk melakukan tindakan respresif non yustisial terhadap warga masyarakat atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah.

Dari kedua kutipan di atas bisa dilihat bahwa petugas Satpol PP secara yuridis mempunyai dasar yang sangat kuat untuk melaksanakan tugas dalam proses pengontrolan pelaksanaan Perda. Walaupun dalam kenyataan di lapangan petugas juga sering mendapat perlawanan dan juga reaksi dari para PKL. Berikut salah satu ungkapan petugas Satpol PP.

“Kalau ribut, dimaki, dan dicerca oleh para PKL sudah biasa. Tapi mau bagaimana lagi kami juga menjalankan tugas dari kantor. Memang itu sudah resiko dari pekerjaan kami. Sering kami dianggap tidak manusiawi dan sangat kejam, tapi masalahnya kami kan harus menertibkan peraturan yang berlaku. Kalau tidak begitu nanti kami dianggap tidak menjalankan tugas kami. Kami juga mengerti para PKL tetap nekad karena memang itu pekerjaan mereka, tapi masalahnya mereka berada pada wilayah yang terlarang.” (Bapak Nyoman, 3 Desember 2008)

Walaupun berkaitan langsung dengan kehidupan PKL, lahirnya Perda ini

menurut PKL tidak pernah melibatkan keterlibatan PKL padahal secara nyata Perda ini berkait langsung dengan kehidupan PKL. PKL sama sekali tidak pernah diajak untuk mendiskusikan tentang Perda tahu-tahu sudah dibuat tapi malah merugikan PKL. Hal ini memang dianggap hal yang biasa bagi mereka karena pemerintah merupakan pihak yang berkuasa dan mempunyai wewenang untuk mengatur kehidupan masyarakat. Walaupun PKL merasa hal ini tidak adil tetapi mereka terpaksa menerima keadaan ini.

Berikut ungkapan informan yang mengatakan hal berikut.

“Mana pernah pemerintah mengajak kami berunding, kami tidak tahu apa-apa. Tapi yang kami tahu, tiba-tiba ada peraturan yang melarang kami berjualan di sini (baca: di lapangan Renon). Yang lebih menjengkelkan lagi peraturan itu malah melarang dan merugikan kami, tidak boleh jualan padahal tempat di sini bagus. Semua teman-teman bisa jualan karena pengunjung ramai sehingga kalau dagang di sini cepat laku.”

(Sarnam, 5 Agustus 2008)

Dari ungkapan tersebut terlihat jelas bahwa memang kehadiran Perda tersebut tidak pernah melibatkan unsur PKL. PKL hanya dilibatkan pada proses pelaksanaan saja yaitu sebagai pihak pelaksana dari ketentuan yang berlaku di Perda. Semua keputusan yang diambil berasal dari pemerintah (top down) dan tanpa mendengarkan aspirasi dari masyarakat padahal kalau ditinjau bahwa keputusan itu akan berkaitan langsung dengan kehidupan PKL dan implikasi selanjutnya akan langsung berpengaruh besar dalam kelangsungan kehidupan PKL di kawasan ini.

Kondisi yang menghimpit semakin terlihat dengan jelas karena keberadaan Perda tersebut terasa sangat memberatkan dan sangat menekan kehidupan PKL di kawasan ini karena dari segi hukum aktivitas yang mereka lakukan sangat jelas telah melanggar peraturan daerah yang berlaku, sementara pekerjaan itu merupakan pilihan yang harus ambil ditengah ketidakberdayaan mereka.

Kalau dikaitkan dengan teori dominasi dari Gramci kenyataan ini sangat berkaitan erat dimana dominasi pemerintah sebagai pihak yang berkuasa dalam bentuk Perda sangat mendominasi kehidupan PKL sebagai pihak yang dikuasainya.

Strategi PKL dalam Menghadapi Perda No. 3 tahun 2000

Kata strategi sama maknanya dengan siasat, kiat atau taktik. Dalam arti umum menurut Gibbs “strategi adalah rencana untuk pencapaian tujuan yang telah ditetapkan dengan biaya sekecil mungkin”. Sedangkan menurut IVOR K. Davies "strategi berarti rencana pokok mengenai pencapaian, beberapa tujuan yang lebih umum" (PEPAK, 24 Juli 2003).

Resistensi berarti perlawanan. Merupakan gerakan atau perlawanan yang terjadi karena adanya ketidakpuasan terhadap sesuatu hal. Menurut Scott definisi resistensi adalah setiap (semua) tindakan para anggota kelas masyarakat yang rendah dengan maksud untuk melunakkan atau menolak tuntutan-tuntutan (misalnya sewa, pajak, penghormatan) yang dikenakan pada kelas itu oleh kelas-kelas yang lebih atas (misalnya tuan tanah, negara, pemilik mesin, pemberi pinjaman uang) atau untuk mengajukan tuntutan-tuntutannya sendiri (misalnya pekerjaan, lahan, kemurahan hati, penghargaan) terhadap kelas-kelas atasan ini.

Dalam menghadapi berbagai tekanan yang dilakukan pemerintah yang dirasa sangat membatasi ruang geraknya para PKL mempunyai beberapa teknik atau strategi yang sengaja mereka kembangkan untuk menghadapi dominasi tersebut. Hal itu mereka wujudkan dalam bentuk resistensi.

Dalam melakukan resistensi sektor informal terlihat pada posisi yang menang, terbukti meskipun setiap hari sektor informal selalu ditertibkan, jumlah mereka bukan berkurang, bahkan malah bertambah. Sektor informal mempunyai strategi resistensi sebagaimana strategi yang telah digunakan Amerika Serikat dalam melakukan resistensi terhadap serangan musuh. Ada lima sarana yang semuanya saling mendukung satu sama lain.

  • 1.    Financial ware, yaitu kemampuan keuangan untuk menyogok petugas, lurah dan camat agar tidak bersikap represif dan mau membocorkan setiap akan terjadi obrakan

  • 2.    Consciousness ware, yaitu kesadaran sektor informal untuk melakukan resistensi. Kesadaran ini menciptakan rasa percaya diri sektor informal yang tinggi sehingga mereka berani melakukan resistensi

  • 3.    Organization ware, yaitu menggunakan sarana organisasi sektor informal yang kuat. Terbukti banyak sekali paguyuban sektor informal yang telah berdiri dan mereka tidak hanya menggunakan organisasi formal sebagai payung, tetapi juga organisasi bawah tanah

  • 4.    Social ware, yakni menggalang kekompakan sosial antara sektor informal yang satu dengan yang lain yang senasib dan sepenanggungan

  • 5.    Hardware, di sini sektor informal mengunakan perangkat keras berupa senjata meskipun senjata yang digunakan bukan yang sesungguhnya tetapi menggunakan senjata sehari-hari berupa main kucing-kucingan (Alisjahbana, 2005: 142-143).

Keberanian sektor ini untuk melakukan resistensi adalah sebuah proses akumulasi dari berbagai fenomena yang melatarbelakangi, antara lain: Pertama, adanya model penataan sektor informal yang selalu menggunakan pendekatan represif, bukan persuasif. Kedua, adanya sikap ketidakpedulian pemerintah kota terhadap keberadaan sektor informal sehingga selalu dimarjinalkan. Ketiga, terbungkamnya suara sektor informal. Budaya top down dalam setiap pembuatan kebijakan yang mengatur sektor informal juga menyebabkan terjadinya resistensi sektor informal terhadap Pemerintah Kota. Keempat, adanya stigma negatif yang selama ini sengaja ditempelkan oleh Pemerintah Kota terhadap keberadaan sektor informal. Kelima, berhembusnya era reformasi. Era reformasi merupakan variabel penting yang bisa memicu terjadinya resistensi sektor informal, karena era itu mampu memberikan suasana atau ruang bagi terwujudnya resistensi sektor informal dalam bentuk yang riil (Alisyahbana, 2005: 167-169).

Bentuk-bentuk resistensi yang dilakukan PKL antara lain dengan melakukan resistensi secara terbuka dan resistensi secara terselubung, hal ini terkait erat dengan teori resistensi yang dikemukakan oleh Scott.

Resistensi Terbuka

PKL di kawasan lapangan Puputan Margarana (Lapangan Renon) dalam menghadapi larangan berjualan yang tertuang dalam Perda Nomor 3 tahun 2000, juga menerapkan hal serupa. Cara-cara yang diterapkan oleh para PKL antara lain dengan melakukan perlawanan secara terang-terangan atau resistensi secara terbuka. Resistensi secara terbuka dilakukan dengan melawan secara langsung kepada petugas yang mau menangkap mereka. Adapun bentuk-bentuk resistensi terbuka meliputi: (a) menghadapi langsung (melawan) petugas; (b) tetap berjualan di kawasan lapangan; dan (c) menolak relokasi.

  • a)    Menghadapi Langsung (Melawan) Petugas

Ketika berhadapan langsung dengan petugas, perlawanan yang dilakukan PKL bisa terjadi baik dengan secara lisan (ucapan atau kata-kata) maupun berupa tindakan (secara fisik). Pertama, PKL bersitegang dengan petugas dan adu mulut. Tidak jarang mereka melakukan adu mulut dengan petugas yang hendak menangkap mereka dan seringkali itu disertai dengan teriakan-teriakan bahkan ada yang meminta untuk belas kasihan petugas. Selain teriakan-teriakan meronta untuk menolak barang dagangannya dibawa, mereka juga sering kali mengumpat petugas yang telah mengobrak-abrik dan merampas barang dagangannya. Seperti ungkapan informan berikut ini.

“Saya pernah ditangkap oleh petugas tapi saat itu saya meminta tolong untuk tidak diangkut barang dagangan saya. Saya bilang “Pak tolong pak, makan apa saya nanti. Itu barang dagangan saya Pak. (sambil terus memegang barang dagangan)”. Tapi walau kita sudah berkata seperti itu mereka itu tetap tidak mau dengar, mereka angkut semuanya. Sampe jengkel sekali saya”. (Sa’mah, 16 Agustus 2008)

Kalau dilihat dari upaya PKL untuk meminta belas kasihan sebenarnya itu sebagai suatu pola strategi mereka agar menarik simpati dari para petugas karena pada dasarnya para PKL merasa sebagai pihak yang lemah dan kalah sehingga kalau pun harus melawan secara frontal mereka merasa sia-sia belaka, disamping mereka enggan untuk memperpanjang masalah. Mereka lebih memilih bersikap pasrah saja kalau memang harus tertangkap karena mereka merasa lemah dari segi hukum. Fenomena ini terkait erat dengan proses adaptasi yang dilakukan oleh manusia bahwa manusia cenderung untuk menyesuaikan dirinya dengan keadaan yang ada di sekitarnya termasuk dengan lingkungan sosial tempat dia berada.

Adu mulut yang terjadi antara PKL dengan petugas sering tidak terhindarkan baik dari kata-kata cukup halus sampai ke kata-kata kasar sekalipun. Umpatan-umpatan kepada petugas pun sering tidak terelakkan untuk menyalurkan emosi mereka atas kepemilikan barang yang telah dirampas oleh petugas.

Kedua, berebut barang dengan petugas. Selanjutnya, dalam proses mempertahankan barang dagangannya, para PKL sering kali berebut barang

dagangan dengan para petugas yang hendak mengangkut barang dagangan mereka.

Ketiga, Merusak barang dagangan atau membuang barang dagangan.

Selain melawan petugas dengan adu mulut dan fisik, mereka juga melakukan bentuk perlawanan yang lainnya, yaitu dengan cara merusak barang dagangan atau membuang barang dagangan yang mereka punyai.

Sebenarnya membuang barang dagangan yang mereka punyai juga dilakukan sebagai upaya untuk menghilangkan jejak mereka agar terhindar dari proses penangkapan petugas. Seperti diungkapkan oleh informan berikut ini.

“Saya kalau dari jauh sudah melihat ada teman-teman sudah pada lari-larian dan terlihat ada petugas, saya segera menuju ke tengah atau ke dalam lapangan lalu barang dagangan (balon-balon) ini saya buang dan saya lepaskan. Setelah itu saya jalan seperti pengunjung lapangan yang lainnya dan berusaha biasa-biasa saja. Memang rugi sih tapi mau gimana lagi daripada saya ikut ketangkep, soalnya kalau balon seperti ini kan sulit untuk disembunyikan, pasti akan kelihatan”. (Marsani, 7 Oktober 2008)

Aksi membuang barang dilakukan dengan berbagai tujuan antara lain.1)

Untuk mengekspresikan kekesalan dan kekecewaan mereka; 2)Untuk menghindari agar barang tersebut tidak diambil oleh petugas,sehingga supaya sama-sama tidak bisa menikmati maka mereka lebih memilih untuk merusak barang mereka; 3)Menghindari upaya penangkapan atau sebagai strategi untuk menghilangkan jejak. Misalnya pedagang balon supaya mereka tidak ditangkap mereka sengaja melepaskan balon-balon jualannya.

Fenomena di atas tidak terlepas karena manusia adalah mahluk bio, psiko dan sosial. Berbagai bentuk tindakan yang dilakukan manusia tidak terlepas dari faktor dorongan nalurinya dimana secara psikologis manusia mempunyai dorongan untuk mempertahankan hidup. Dorongan ini merupakan suatu kekuatan biologi yang juga ada pada semua mahluk di dunia ini dan yang menyebabkan bahwa semua jenis mahluk mampu mempertahankan hidupnya di muka bumi (Koentjaraningrat, 1981: 109-111).

  • (b)    Tetap Berjualan di Kawasan Lapangan

Larangan untuk berjualan di area lapangan yang tertulis jelas dan dipasang di area lapangan nampaknya hanya sebagai formalitas belaka karena pada kenyataannya aktivitas berjualan masih terus berlangsung, tidak pernah surut dan tetap berjalan seperti sebelum papan tersebut dipasang.

Bertahannya para PKL di kawasan ini karena mereka mempunyai alasanalasan tersendiri untuk tetap bertahan di area tersebut yang mereka anggap sebagai lahan yang subur untuk mengais rejeki. Seperti diungkapkan oleh seorang informan berikut ini.

“Saya tahu kalau di sini dilarang karena sekarang kan sudah ada tulisannya, Walaupun dilarang saya tetap berjualan di tempat ini mbak. Soalnya pernah saya berdagang di tempat lain tapi hasilnya tidak seberapa mbak. Di sini kan lebih ramai pengunjungnya.” (Ilham, 9 Agustus 2008)

Komentar senada juga diungkapkan informan yang lainnya.

“Dari datang ke Bali ini sampai sekarang saya hanya berjualan di tempat ini belum pernah di tempat lain. Dan saya merasa di sini cocok dan belum pernah berpikir ke tempat lain selain di sini. Sudah hampir lima belas tahun saya di sini tapi di sini lumayan mbak hasilnya. Saya bisa mengirim uang untuk anak istri saya di kampung, walaupun saya tahu sekarang di sini dilarang tapi belum ada tempat lainnya yang sepertinya cocok.” (Ahmad, 10 Februari 2009)

Hasil penelitian menemukan bahwa ada beberapa alasan mengapa para

PKL tetap ingin mempertahankan usahanya di lapangan Renon walaupun dilarang. 1)Tempatnya ramai sehingga banyak pembeli; 2)kondisinya lebih menguntungkan; 3)banyak teman yang berjualan di tempat ini; 4)pernah berjualan di tempat lain sering ditangkap; 5)ada tempat untuk mengumpet; 6) belum ada tempat yang lebih strategis atau seramai dibanding tempat yang sekarang ini; dan 7)dekat dengan tempat tinggal.

Kalau dilihat dari beberapa alasan yang melatarbelakangi PKL untuk tetap bertahan di kawasan ini, fenomena ini sejalan dengan teori pilihan rasional yang memusatkan perhatian pada aktor. Aktor dalam hal ini dipandang sebagai manusia yang mempunyai tujuan dan maksud. Artinya aktor mempunyai tujuan dan tindakannya tertuju pada upaya untuk mencapai tujuan tersebut. Aktor dipandang

mempunyai pilihan atau nilai, dan keperluan sehingga tindakan yang dilakukan bertujuan untuk memaksimalkan keinginan dan kebutuhannya (Ritzer, 2005: 357, 315).

  • (c)    Menolak Relokasi

Salah satu cara yang dilakukan Pemerintah untuk menata keberadaan PKL adalah dengan melakukan “relokasi”. Relokasi dalam kehidupan PKL merupakan pemindahan lokasi berdagang dari satu tempat ke tempat yang lain dan ini merupakan salah satu bentuk upaya pemerintah untuk menertibkan para PKL. Relokasi seperti ke jalan Tukad Unda dan Tukad Gangga.

Relokasi tersebut ternyata tidak sepenuhnya mendapat tanggapan yang positif dari para PKL karena tidak semua PKL yang bersedia untuk menempati area relokasi tersebut. Hal ini terlihat dengan masih banyaknya PKL yang tetap berjualan di area terlarang dan nekad berhadapan dengan para petugas yang menertibkan mereka.

Alasan penolakan karena tidak jarang relokasi yang dilakukan cenderung kurang menguntungkan bagi pedagang karena terkesan menjauhkan pedagang dengan pembeli. Di samping itu relokasi bukan untuk memecahkan masalah PKL tetapi cenderung memunculkan masalah baru bagi PKL karena sebagai pihak yang lemah dan terkesan selalu tertelikung oleh kebijakan-kebijakan yang ada. Relokasi yang nota bene bertujuan untuk menertibkan PKL tetapi justru malah bisa membenani PKL dengan permasalahan modal dan mahalnya harga sewa tanah.

Berikut ada beberapa ungkapan dari para PKL mengenai alasan mereka menolak upaya relokasi tersebut, antara lain:

“Saya enggak mau kalau harus berjualan di tempat yang direlokasi itu karena harga sewa tanah di sana mahal-mahal mbak. Belum tentu hasil dari jualan saya bisa menutupi. Apalagi kadang-kadang jualan itu tidak pasti, kadang bisa sepi dan kadang bisa ramai”. (Sarnam, 5 Agustus 2008)

Demikian juga dengan informan yang selama ini menjual mie mengungkapkan hal yang senada.

“Kalau di tempat-tempat itu (baca: ditempat relokasi) pengunjungnya tidak terlalu ramai. Kalau di sini (baca: di lapangan Renon) kan ramai. Kalau di sana hanya kadang-kadang saja pengunjungnya banyak apalagi yang berjualan di sana juga banyak. Kalau di sini kan enak, selalu saja ada pengunjungnya, jadinya dagangan selalu saja ada yang laku”.

(Slamet Hariono, 13 September 2008)

Dari hasil penelitian ditemukan beberapa alasan mengapa para PKL menolak dan keberatan dengan adanya relokasi. 1) Faktor tempat yang disediakan untuk relokasi kurang strategis, 2) Faktor biaya sewa lahan atau tempat, 3) faktor jumlah pengunjung bahkan keterikatan dengan pelanggan di lapangan Renon, 4) jenis barang dagangan yang diperjualbelikan. Ada beberapa jenis barang dagangan yang menurut PKL tidak memungkinkan untuk dijual di tempat “relokasi” yang disediakan pemerintah. Misalnya mainan, jagung bakar, minuman dan makanan kering, 5) faktor teknik berjualan, dalam hal ini adalah ada beberapa para pedagang yang saat berjualan berkeliling (mendatangi pembeli) ke dalam area lapangan dan tidak berdiam di satu lokasi saja, seperti yang terjadi di tempat relokasi.

Para PKL menolak relokasi dan alasan-alasan yang melatarbelakangi tersebut berkaitan erat dengan pilihan secara rasional. Fenomena ini didukung teori rasionalitas yang dikemukakan oleh Weber. Rasionalitas ekonomi seringkali menjadi pilihan utama karena rational tersebut mampu menggerakkan banyak perubahan sosial dan perilaku kehidupan orang-orang (Salim, 2002:40).

Resistensi Terselubung

Kalau resistensi terbuka lebih bersifat adanya kontak langsung (adu fisik) dengan para petugas tetapi kalau dalam taraf resistensi terselubung hal tersebut justru malah dihindari. Pada tahap ini para PKL malah cenderung untuk menghindari petugas. Ada berbagai cara yang mereka lakukan untuk melakukan perlawanan kepada petugas, misalnya dengan hal-hal sebagai berikut.

  • (a)    Mengomel, Menggerutu, dan Membicarakan Petugas

Menurut pengamatan peneliti selama di lokasi penelitian, media yang paling aman untuk mencetuskan rasa kekesalan PKL pada petugas adalah

mengomel sambil menggerutu. Media ini dianggap paling aman karena disamping tidak terdengar oleh para petugas juga tidak terjadi adu fisik secara langsung.

  • (b)    Membawa Lari Barang Dagangan dan Meninggalkan Pembeli yang Makan

Salah satu cara mengelabui para petugas adalah membawa lari barang dagangannya serta meninggalkan pembelinya yang kebetulan sedang menikmati makanan yang dijajakannya. Kalau petugas sedang berpatroli para PKL segera mengemasi barang dagangan dan berlari meninggalkan area dan menyusup ke dalam lapangan atau pergi keluar dari area lapangan. Cara ini dirasa cukup efektif oleh pedagang. Berikut ungkapan salah satu PKL.

“Saya kalau sudah melihat mobil petugas dari arah timur datang, maka saya segera menyelamatkan diri dan saya cepat-cepat lari keluar menuju ke barat atau lari ke selatan. Kalau ke selatan kan enak tinggal menyeberang saja dan masuk ke dalam-dalam (maksudnya ke area perumahan atau jalanan yang ada di sebelah selatan lapangan). Pokoknya segera keluar lapangan saja biar selamat.” (Udin, 10 Oktober 2008)

Hal ini diperkuat oleh komentar salah seorang pengunjung yang kebetulan sedang membeli makanan yang sempat bercerita :

“Wah padahal saya tadi ini belum bayar mbak, tapi kemana ya bapaknya tadi yang jualan, dia sudah lari duluan karena tadi ada petugas yang datang. Kasihan juga sih, tapi mau bagaimana saya kalau mau nunggu belum tentu bapaknya (baca: penjual sate) akan balik lagi ke sini (baca: ke areal lapangan).” (Yanti, 12 Januari 2009)

Meninggalkan pembeli walaupun tidak jarang pembeli tersebut belum membayar makanan yang dibelinya adalah cara yang efektif, mereka lebih mengorbankan hal tersebut karena ini adalah sebagai bentuk upaya penyelamatan barang dagangan mereka yang dinilai memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi.

  • (c)    Menyembunyikan Barang Dagangan.

Ada berbagai cara yang dilakukan para PKL untuk mengelabui petugas supaya barang-barang dagangannya tidak diketahui oleh petugas misalnya dengan cara menyembunyikannya di semak-semak, di bawah-bawah pohon yang cukup rindang, meletakkan barang dagangan di sepeda motor sambil ditutup, dan

menaruh barang-barang dagangan di saluran-saluran air yang ada di sekitar lapangan atau di tempat-tempat tersembunyi yang tidat terlihat oleh petugas. Dan ada juga pedagang yang sengaja melarikan diri dan menitipkan barang dagangan di kawasan relokasi di jalan Tukad Unda yang letaknya tidak begitu jauh dari lapangan.

Dari tindakan tersebut bisa diperoleh gambaran bahwa PKL melakukan tindakan-tindakan penyelamatan barang dagangannya tersebut sebagai pola adaptasi yang mereka lakukan. Daya adaptif tersebut tidak terlepas juga dari dorongan naluri manusia untuk mempertahankan kehidupannya sehingga bisa tetap eksis dan survive dalam kehidupan selanjutnya.

  • (d)    Pura-pura sebagai Pengunjung Biasa (jalan-jalan) Saat Petugas Datang

Pola lain yang diterapkan oleh para PKL ketika harus menghadapi petugas yang sedang berpatroli adalah dengan cara menyamar sebagai pengunjung lapangan biasa sambil jalan-jalan. PKL sangat peka dengan kehadiran para petugas, sehingga begitu ada tanda-tanda kalau petugas datang, mereka segera meletakkan barang-barang dagangan di semak atau di tempat yang lebih aman lalu segera berjalan berkeliling seperti biasa. Mereka segera pergi ke tempat yang lebih aman yang banyak pengunjungnya sehingga mereka terkesan seperti pengunjung pada umunya.

Berikut ungkapan salah seorang informan.

“Kalau tiba-tiba petugas trantib datang, kadang saya belum sempat lari keluar, saya cepat-cepat menyembunyikan barang dagangan di pohon-pohon di dalam lapangan, setelah itu saya segera lari ke tempat yang banyak orangnya biar kita seperti pengunjung yang datang. Kalau begitu kan tidak akan kelihatan oleh petugas dan saya bisa selamat.” (Ahmad, 10 Februari 2008)

  • (e)    Mengumpet/Kucing-kucingan dengan Petugas

PKL umumnya sudah sangat hapal dengan jam-jam saat petugas trantib datang (jadwal kedatangan petugas). Kadang pagi, kadang Jam 12.00 siang, jam 17.00, tetapi untuk sore hari lebih banyak pada jam 17.00. Kalau minggu dan sabtu kebanyakan pagi jam 07.00. Ketika petugas datang yaitu pada jam-jam

tersebut mereka segera mempersiapkan diri untuk mengumpet atau bersembunyi di tempat yang relatif aman bagi mereka.

  • (f)    Memberi Uang Sogok kepada Petugas (Menyuap dan Bekerja Sama dengan Petugas)

Salah satu perilaku ini ditunjukkan ketika pedagang sudah ketangkap basah oleh petugas. Tidak jarang mereka terpaksa memberi uang sogok atau menyuap petugas dengan memberikan sesuatu kepada petugas agar barang dagangan mereka tidak disita, karena kalau barang dagangan disita maka hal ini akan sangat berpengaruh pada kehidupan mereka selanjutnya. Berikut salah satu ungkapan informan.

“Pernah saya ketangkep ketika saya sedang jualan di dalam lapangan. Waktu itu saya tidak tahu kalau ada petugas dan tiba-tiba saja dia (baca: petugas) sudah ada di belakang saya. Karena tidak ada pilihan lain maka petugas saya ajak damai dan saya bilang “saya jualan ini untuk makan saya juga Pak” dan saya kasih uang 50 ribu dan rokok. Untung petugasnya mau terima, ya dari pada barang-barang saya diambil semua mbak, mau makan apa saya nanti”. (Ilham, 9 Agustus 2008)

  • (g)    Menebus Barang Dagangan yang Telah Disita

Ketika dihadapkan pada suatu problema suatu keadaan saat mereka tertangkap basah dan barangnya harus disita oleh petugas Satpol PP maka mau tidak mau para PKL harus rela untuk berurusan secara langsung dengan petugas. Menebus barang dagangan yang disita adalah pilihan terakhir bagi mereka agar kelangsungan hidup mereka bisa terjaga. Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi kenapa para PKL mau menebus barang yang telah disita petugas, dan faktor tersebut antara lain : 1) Nilai keuntungan atau pertimbangan untung rugi dari barang yang akan ditebus; 2)Pedagang memerlukan peralatan yang mereka pergunakan sebagai media untuk berjualan karena peralatan tersebut merupakan modal mereka untuk berjualan; dan 3)Proses menebus tidak rumit, misalnya tidak perlu sidang lagi.

Fenomena diatas sejalan dengan pendapat Mustafa yang mengatakan bahwa salah satu bentuk tranformasi dalam kehidupan PKL di perkotaan adalah adanya interaksi antara mereka dengan pemerintah dalam hal ini dengan petugas

Satpol PP, walaupun interaksi yang terjadi tidak selalu dalam kondisi yang menyenangkan.

Dari hasil penelitian di kawasan ini menunjukkan bahwa pada dasarnya tidak semua PKL mau menebus barang dagangan yang telah disita oleh petugas atau mereka mengaku pasrah dan membiarkan barang dagangan mereka disita dan dibawa oleh petugas ke kantor. Hal tersebut tentu tidak terlepas dari beberapa faktor yang melatarbelakanginya.

Alasan-alasan mengapa para PKL terkesan enggan untuk menebus barang yang telah disita petugas adalah 1) karena mereka sudah pasrah dan putus asa dengan kondisi barang mereka mereka yang mungkin tidak bisa kembali secara utuh lagi; 2) proses pengambilan barang terkesan rumit bahkan mereka mesti dihadapkan pada kemungkinan untuk sidang yang tentu hal ini sangat memberatkan mereka; dan 3) faktor keuntungan dari hasil menebus mungkin tidak sebanding dengan waktu yang mereka habiskan dalam proses penebusan tersebut.

Fenomena diatas sejalan dengan pendapat Mustafa (2008) yang didukung oleh Rachbini dan Hamid bahwa dalam kehidupan PKL di perkotaan, peran PKL dalam hal politik sangat rendah. PKL malas dan enggan berhadapan dengan kerumitan birokrasi yang pada akhirnya akan merugikan mereka sendiri. Dibandingkan dengan peranannya dalam bidang ekonomi porsi dalam bidang politik memang sangat rendah.

Rendahnya partisipasi politik masyarakat sektor informal pedagang kaki lima (PKL) juga disebabkan oleh kebijakan politik pemerintah yang semena-mena dalam penggusuran dan penertiban. Sikap selalu nrimo segala kondisi sosial dan politik yang dialami dan tidak melihat jalan lain untuk mengubahnya juga kontributif atas perilaku politik mereka (Mustafa, 2008.a: 26).

Secara keseluruhan, bentuk perlawanan PKL baik perlawanan yang secara terbuka maupun terselubung berkait erat dengan teori strukturasi karena tindakan-tindakan resistensi yang dilakukan oleh PKL tidak terlepas dari kebijakan-kebijakan yang telah diterapkan oleh pemerintah sebagai pihak yang berkuasa (pemegang kekuasaan).

PENUTUP

PKL merupakan salah satu bentuk usaha yang mempunyai jiwa kewirausahaan yang tinggi dan mampu bersaing di tengah persaingan perekonomian kota. Bertahannya PKL di kawasan lapangan Puputan Margarana bukan semata-mata dilakukan untuk menentang kebijakan pemerintah (Perda) tetapi lebih disebabkan karena faktor pilihan rasional yang harus diambil sehingga mereka bisa tetap bertahan hidup.

PKL bukanlah sektor yang membebani pemerintah sehingga PKL seharusnya tidak dimarginalkan oleh peraturan-peraturan yang berlaku. PKL adalah salah satu bentuk kewirausahaan yang mandiri sehingga diperlukan ruang untuk para PKL agar bisa melangsungkan kehidupannya. Ruang yang diberikan hendaknya mampu menunjang kegiatan yang dilakukan bukan malah sebaliknya yang menjauhkan PKL dari aset hidupnya yaitu para pembeli. Kebijakan yang diberlakukan pun hendaknya bisa memberi payung bagi kegiatan mereka bukan hanya membatasi ruang gerak PKL.

DAFTAR PUSTAKA

Alisjahbana, 2005. Sisi Gelap Perkembangan Kota. Yogyakara: Laksbang PRESSindo

_________. 2006. Marginalisasi Sektor Informal Perkotaan. Surabaya: ITS Press

Badan Pusat Statistik.. 2008. Denpasar Dalam Angka 2007. Denpasar: BPS

Bakir, Zainab dan Chris Manning. 1984. Angkatan Kerja di Indonesia Partisipasi, Kesempatan, dan Pengangguran. Jakarta: Obor

Bungin, Burhan. 2006. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada

Craib, Ian. 1992. Teori-Teori Sosial Modern Dari Parsons Sampai Habermas (Penerjemah Paul S Bant dan T. Effendi). Jakarta: Rajawali

Effendi, Tadjudin Noer. 1985. Urbanisasi, Pengangguran, dan Sektor Informal di Kota. Jakarta: Gramedia

________. 1992. Perilaku Mobilitas Dan Struktur Sosial Ekonomi Rumah Tangga: Kasus Dua Desa di Jawa Barat, Yogyakarta: PPK UGM

________. 1993. Sumber Daya Manusia Relung Kerja dan Kemiskinan. Yogyakarta: Tiara Wacana

Effendi T dan Paul S. Bant. 1994. Teori-teori Sosial Modern. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Faisal, S. 1990. Penelitian Kualitatif. Malang: YA3

Harsojo. 1982. Pengantar Antropologi. Bandung: Angkasa Offset

Hauser, Philip M. Dkk. 1985. Penduduk dan Masa Depan Perkotaan, Studi Kasus di Beberapa Daerah Perkotaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Koentjaraningrat. 1967. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat

________. 1981. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta

Kompas, Jum’at 10 Mei 2002

Manning, Christ dan Tadjudin Noer Effendi, 1992. Urbanisasi, Pengangguran dan Sektor Informal Di Kota. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Mubyarto. 1997. Ekonomi Rakyat Program IDT & Demokrasi Ekonomi Indonesia. Yogyakarta: Aditya Media

Mustafa, Ali Achsan. 2008.a. Transformasi Sosial Masyarakat Marginal Mengukuhkan Eksistensi Pedagang Kaki Lima Dalam Pusat Modernitas. Malang: Inspire

_______. 2008.b. Model Transformasi Sektor Informal Sejarah, Teori dan Praksis, Pedagang Kaki Lima. Malang: Inspire

Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 15 Tahun 1993 Tentang Kebersihan Dan Ketertiban Umum di Kotamadya Denpasar

Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 3 Tahun 2000 Tentang Kebersihan Dan Ketertiban Umum Di Kota Denpasar

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 2005 Tentang Pedoman Prosedur Tetap Operasional Satuan Polisi Pamong Praja

Pelly, Usman. 1994. Urbanisasi dan Adaptasi, Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing. Jakarta: LP3ES

Pelly, Usman dan Meunati Asih. 1994. Teori-Teori Kebudayaan. Jakarta: Proyek Penulisan Buku Dirjen Pendidikan Tinggi Depdikbud

PEPAK, 24 Juli 2003

Rahayu, Maria Sri. 2010. Dominasi Pemerintah Terhadap Pedagang Kaki Lima di Kawasan Lapangan Puputan Margarana Kota Denpasar: Suatu Kajian Budaya (Tesis)

Rukmana, Deden. Artikel Rabu, 21 Desember 2005. Pedagang Kaki Lima dan Informalitas Perkotaan

Salim, Agus. 2002. Perubahan Sosial Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi Kasus Indonesia. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana

Scott, James C. 2000. Senjatanya Orang-Orang Yang Kalah Bentuk-Bentuk Resistensi Sehari-hari Kaum Tani. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Sugiono, Muhadi. 1999. Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Tukiran, dkk. 2002. Mobilitas Penduduk Indonesia Tinjauan Lintas Disiplin.

Yogyakarta: PPK UGM

Wikipedia Indonesia, Ensiklopedia Bebas Berbahasa Indonesia

Wiyono, Nur Hadi, 1994. Mobilitas Penduduk dan Revolusi Transportasi, Warta

Demografi No. 3. Jakarta: Lembaga Demografi UI.

25