PIRAMIDA Vol V No. 1

ISSN : 1907-3275

BOOK REVIEW


MODEL KEPEMIMPINAN EFEKTIF

I Gusti Ayu Manuati Dewi

Fakultas Ekonomi Universitas Udayana, Denpasar email: [email protected]

ABSTRACTS

From several decades, research about leadership has been directed toward exploration of information related to determinant of leadership effectiveness. One out of these thousands of researches is done by Locke et al. (2002) which based on their study wrote a book about leadership effectiveness. They then developed a leadership effectiveness model in organizational and business fields through qualitative approach. In this model there are four components must be fulfilled by a leader, i.e motive and traits; knowledge, skill, and ability; vision; and implementation of vision. This book provide a comprehensive perspective about the essence of leadership because its picture deeply and detail related to key components of leadership effectiveness. However, they not discuss about leader ability to affect follower at all. This limitation may be due to this study has carried out through qualitative approach. Despite this limitation, there is one interesting matter must be observed attentively. Locke et al. points out the importance of management of meaning must be possessed by a leader, so he/she can manage and define situations as a critical ability that can be used as a guidance of action by the followers.

Key words : Personal Attribution, Leadership Model, Leadership Trait Paradigm

Pendahuluan

Studi kepemimpinan yang pada awal perkembangannya cenderung bersifat induktif murni menempati posisi sentral dalam literatur manajemen dan perilaku keorganisasian pada beberapa dekade terakhir. Secara umum kajian perkembangan riset dan teori kepemimpinan dapat dikategorikan menjadi tiga tahap penting (Ogbonna dan Harris, 2000). Pertama, tahap awal studi tentang kepemimpinan menghasilkan teori-teori sifat kepemimpinan (trait theories), yang mengasumsikan bahwa seseorang dilahirkan untuk menjadi pemimpin dan bahwa dia memiliki sifat atau atribusi personal yang membedakannya dari mereka yang bukan pemimpin. Kedua, karena muncul kritik terhadap sulitnya mengelompokkan dan memvalidasi sifat pemimpin, kemudian muncul teori-teori perilaku kepemimpinan (behavioral theories). Pada teori ini penekanan yang semula diarahkan pada sifat pemimpin dialihkan kepada perilaku dan gaya yang dianut oleh para pemimpin. Dengan demikian, berdasarkan teori ini, agar organisasi dapat berjalan secara efektif, terdapat penekanan terhadap suatu gaya kepemimpinan terbaik (one best way of leading). Ketiga, berdasarkan anggapan, bahwa baik teori-teori sifat kepemimpinan maupun teori-teori perilaku

kepemimpinan memiliki kelemahan yang sama, yaitu mengabaikan peranan penting faktor-faktor situasional dalam menentukan efektifitas kepemimpinan, kemudian muncul teori-teori kepemimpinan situasional (situational theories). Dari pengembangan kelompok teori yang terakhir ini, maka terjadi perubahan orientasi dari ‘one best way leading’ menjadi ‘context-sensitive leadership’.

Jika ditelusuri lebih lanjut, perkembangan ketiga teori kepemimpinan tersebut tidak dapat dipisahkan dari paradigma riset kepemimpinan. Menurut House dan Aditya (1997), secara umum paradigma riset kepemimpinan dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu paradigma sifat kepemimpinan (the leadership trait paradigm), paradigma perilaku pemimpin (the leader behavior paradigm) dan paradigma baru yang disebut juga dengan paradigma karismatik baru (the neocharismatic paradigm). Menurut Kuhn, 1970 (dalam Gioia dan Pitre, 1990), paradigma adalah suatu persepektif umum atau cara pandang yang mencerminkan asumsi atau keyakinan mendasar tentang sifat dasar organisasi. Jadi paradigma riset yang berbeda tidak hanya membedakan teori, pendekatan, metode atau teknik analisis yang digunakan, namun lebih dari itu, di dalamnya terdapat perbedaan nilai dan filosofi yang sangat mendasar.

Buku yang ditulis oleh Locke, dkk (1991), bukan berkenaan dengan paradigma atau teori, melainkan dengan model kepemimpinan. Model dibedakan dengan teori dalam hal peranannya, dimana teori berperan dalam menjelaskan, sedangkan peranan model adalah untuk menggambarkan sesuatu (Cooper dan Schindler, 2003). Selanjutnya model didefinisikan sebagai gambaran tentang suatu sistem yang dibangun untuk mempelajari beberapa aspek dari sistem atau mempelajari sistem yang bersangkutan secara keseluruhan, seperti yang diuraikan oleh kedua penulis sebagai berikut.

A model is not an explanation; it is only the structure and/or function of a second object or process. A model is the result of taking the structure or function of one object or process and using that as a model for the second. When the substance, either physical or conceptual, of the second object or process has been projected onto the first, a model has been constructed (hal. 55).

Dari tiga macam model yang diajukan oleh Cooper dan Schindler, (2003), model kepemimpinan yang dikembangkan oleh Locke, dkk (1991) dapat dikelompokkan ke dalam model eksplikatif karena menurut definisinya merupakan model yang dibangun untuk memperluas penerapan teori yang sudah berkembang atau untuk meningkatkan pemahaman dari konsep-konsep yang terkandung dalam teori yang bersangkutan. Dua model yang lain adalah model simulasi, yaitu model yang menjelaskan hubungan struktural dari beberapa konsep serta berupaya untuk mengungkapkan proses hubungan antara konsep-konsep tersebut, dan model deskriptif karena dibangun untuk mendeskripsikan perilaku dari unsur-unsur dalam sebuah sistem dimana teori yang sudah ada, dianggap tidak layak.

Tujuan penulisan buku adalah untuk memperoleh konsensus tentang unsur-unsur yang terdapat dalam kepemimpinan serta untuk menggali informasi tentang hal-hal apa yang menyebabkan seorang pemimpin lebih efektif dibandingkan dengan yang lain. Untuk selanjutnya pengacuan nama penulis hanya ditulis dengan ‘Locke’ saja mengingat pemeriksaan naskah untuk semua bagian buku dilakukan olehnya, walaupun masing-masing bagian ditulis oleh penulis yang berbeda. Diawali dengan penyajian ikhtisar buku dari bagian-bagian yang dianggap penting, kemudian saya akan mengajukan perbandingan model kepemimpinan yang dikembangkan oleh Locke dengan beberapa

model dan perspektif kepemimpinan lainnya. Kritik berkenaan dengan kelemahan dan keunggulan model akan didiskusikan pada bagian berikutnya. Kajian buku diakhiri dengan simpulan yang memuat pandangan pribadi tentang kontribusi buku ini terhadap pengembangan studi di bidang manajemen umumnya dan teori organisasi secara khusus.

Ikhtisar

Buku yang terdiri dari enam bagian ini berkenaan dengan model kepemimpinan dalam bidang organisasi dan bisnis yang dibangun berdasarkan studi kualitatif yang dilakukan secara terintegrasi. Dimulai dengan pemaparan tentang sifat dasar kepemimpinan, Locke melihat secara positif, tapi realistis terhadap pentingnya pemimpin dalam kehidupan masyarakat secara umum dan organisasi khususnya. Dengan memberikan beberapa contoh dramatis tentang keberhasilan beberapa pemimpin perusahaan besar, dia berargumentasi bahwa keberhasilan para pemimpin ini merupakan cerminan ratusan, bahkan ribuan kasus efektifitas kepemimpinan yang terjadi pada organisasi dengan skala yang lebih kecil. Akan tetapi, dengan mengacu pada sebuah artikel, dikemukakannya bahwa dari tiga ribu lebih studi tentang kepemimpinan, banyak yang tidak benar-benar mengaitkannya dengan pemimpin, melainkan pada penyelia. Walaupun kemudian diakuinya bahwa beberapa tahun belakangan kondisi ini berubah, dimana terdapat konsistensi tentang sudi efektifitas kepemimpinan, bukan lagi semata-mata tentang efektifitas penyelia.

Model kepemimpinan yang dikembangkan merupakan hasil kajian beberapa teori kepemimpinan, antara lain, teori sifat kepemimpinan dan teori kepemimpinan kontingensi. Dikemukakan bahwa untuk menjadi seorang pemimpin yang efektif, tidak cukup hanya dengan kepemilikan sifat-sifat seorang pemimpin, melainkan diperlukan kemampuan dan ketrampilan untuk merumuskan visi serta mengimplementasikan visi tersebut ke dalam realitas organisasi. Ditambahkan, dalam beberapa hal, teori kepemimpinan kontingensi yang menyatakan bahwa dalam situasi yang berbeda diperlukan penerapan prinsip-prinsip kepemimpinan dan tipe pemimpin yang berbeda, dapat diterima kebenarannya. Dalam model yang dikembangkan, juga terdapat kontingensi walaupun dalam pengertian yang berbeda. Kontingensi dalam hal ini lebih mengacu kepada derajat kepentingan yang

harus disesuaikan dengan bagian atau sub bagian dari model dibandingkan dengan unsur intinya sendiri. Di satu sisi, kepandaian yang merupakan salah satu unsur dalam model misalnya, bisa jadi lebih rendah derajat kepentingannya pada organisasi dengan tingkat teknologi rendah dibandingkan dengan yang menggunakan teknologi tinggi. Di sisi lain, beberapa unsur dalam model seperti kejujuran, integritas, dan penciptaan serta diseminasi visi, tampak memiliki derajat kepentingan yang sama bagi semua pemimpin agar dapat berfungsi secara efektif.

Sesuai dengan judul bukunya, pengembangan model (disajikan pada lampiran), ditujukan untuk menunjukkan esensi dari proses kepemimpinan. Secara rinci model yang dikembangkan terdiri dari empat komponen yaitu 1) motif dan sifat; 2) pengetahuan, ketrampilan, dan kemampuan; 3) visi; serta 4) penerapan visi. Keempat unsur ini dikatakan merupakan determinan utama yang harus dipenuhi untuk menjadi seorang pemimpin yang efektif.

Dalam penjelasannya, Locke membedakan antara motif dengan sifat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin yang efektif. Perbedaan ini terletak pada pola tindakan yang dapat diobservasi, cara berperilaku atau cara berpikir. Dinyatakan bahwa motif mungkin saja mendasari sifat tertentu, tetapi tidak terdapat hubungan langsung antara keduanya. Selanjutnya suatu sifat tertentu dapat mencerminkan beberapa motif, seperti halnya suatu motif dapat mendasari beberapa sifat.

Motif adalah keinginan yang mendorong seseorang untuk bertindak. Locke berpendapat bahwa ada beberapa motif yang umum dimiliki oleh para pemimpin yang sukses. Dari hasil observasi dan kajian terhadap beberapa studi tampak bahwa ambisi yang merupakan salah satu unsur dorongan, bertindak sebagai prediktor terkuat dalam menentukan keberhasilan seorang pemimpin. Karena merupakan pengemban tanggungjawab tertinggi dalam sebuah organisasi yang cenderung bekerja dalam jam kerja panjang serta melakukan kegiatan secara intensif, sifat enerjitik juga merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh seorang pemimpin. Di samping itu dorongan lain seperti kegigihan dan inisiatif ditengarai menjadi unsur penting lain dalam pencapaian efektifitas kepemimpinan. Digarisbawahi, bahwa pemimpin yang berhasil harus bersedia menghikmatkan kekuasaan kepada bawahannya karena kekuasaan merupakan “mata uang” seorang pemimpin yang merupakan sarana utama pelaksanaan segala

kegiatan dalam organisasi. Dalam hal ini diberikan gambaran tentang penggunaan kekuasaan antara pemimpin yang efektif dengan pemimpin yang tidak efektif. Pemimpin yang efektif menggunakan motif kekuasaan yang tersosialisasi, bukan motif kekuasaan yang dipersonalisasikan. Pada tipe pemimpin yang pertama, kekuasaan digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang diinginkan atau visi yang ditetapkan, bukan ditujukan untuk mendominasi bawahan, seperti halnya pada tipe yang kedua.

Sifat, dalam model yang diajukan dikelompokkan menjadi dua yaitu sifat inti dan sifat bonus. Secara rinci dijelaskan bahwa sifat inti yang wajib dimiliki oleh seorang pemimpin efektif adalah rasa percaya diri, kejujuran, dan integritas. Rasa percaya diri memegang peranan penting dalam pengambilan keputusan, sedangkan kejujuran dan integritas secara bersama-sama dicermati akan membentuk fondasi hubungan kepercayaan antara pemimpin dengan bawahannya. Tidak cukup hanya dengan memiliki rasa percaya diri yang tinggi, ditekankan juga bahwa pemimpin harus dapat meyakinkan bawahannya untuk dapat mempersepsikan rasa percaya diri yang dimilikinya. Orisinalitas, fleksibelitas dan karisma digolongkan sebagai sifat bonus dalam model kepemimpinan berdasarkan pertimbangan bahwa hanya sedikit studi kepemimpinan yang telah dilakukan menunjukkan hasil yang positif. Sesuai dengan sebutannya, ketiga sifat ini seringkali memiliki peran namun dianggap tidak esensial. Karisma misalnya, lebih banyak dianggap sebagai ekspresi seseorang dari pada sifat yang menentukan efektifitas kepemimpinan.

Pada bagian ketiga dibahas tentang pengetahuan, ketrampilan, dan kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Diawali dengan penjelasan tentang pentingnya pengetahuan dan keahlian teknologi, diskusi dilanjutkan dengan peranan pengetahuan tentang organisasi dan industri sebagai fasilitator keberhasilan seorang pemimpin. Idealnya, seorang pemimpin memiliki pengetahuan dan informasi yang luas tentang organisasi, industri, dan dunia usaha agar dapat mengantarkan organisasinya menuju keberhasilan. Penyajian tentang beberapa contoh kasus memberikan gambaran yang jelas terkait dengan kegagalan beberapa pemimpin organisasi yang diakibatkan oleh terbatasnya pengetahuan dan pengalaman tentang industri dan dunia usaha.

Peranan ketrampilan dalam kepemimpinan yang efektif disajikan oleh Locke secara padat walaupun

dengan nuansa klasik. Ketrampilan interpersonal yang meliputi ketrampilan mendengarkan, berkomunikasi secara lisan, pembangunan jejaring, serta pengelolaan konflik dihubungkan dengan kegagalan dan keberhasilan seorang pemimpin. Mengacu pada pendapat Bennis dan Nanus (1985), Locke menekankan pada peranan ketrampilan mendengarkan dan berkomunikasi secara lisan dalam pengelolaan makna dalam organisasi. Lebih lanjut diuraikan, bahwa merupakan suatu keharusan bagi seorang pemimpin untuk memiliki ketrampilan pengelolaan konflik dan kemampuan untuk membangun jejaring dalam upaya memelihara hubungan dengan bawahan, teman sejawat, serta pihak ekternal lainnya.

Seni dalam melibatkan diri dengan bawahan dikategorikan sebagai ketrampilan manajemen. Dikatakan bahwa pengambilan keputusan dan pemecahan masalah merupakan ketrampilan yang erat kaitannya dengan kemampuan kognitif seorang pemimpin. Kualitas keputusan dan solusi pemecahan masalah sangat tergantung dari tingkat intelijensi seorang pemimpin karena dengan modal ini ia dapat menggali akar permasalahan yang dihadapi dan mencapai optimalisasi dalam pengambilan keputusan.

Berdasarkan argumen bahwa motif, sifat, pengetahuan, ketrampilan serta kemampuan tidak akan bermakna tanpa pengembangan visi, maka pada dua bagian berikutnya dibahas tentang visi dan implementasinya. Secara tegas dikemukakan bahwa visi memberikan nafas dan perasaan kepada anggota organisasi bahwa hidup dan pekerjaan mereka terjalin dan bergerak kearah tujuan yang telah disepakati secara resmi. Visi inilah yang memedomani organisasi dengan segala aktivitas beserta iringannya untuk menyongsong masa depan sehingga dalam jangka panjang tidak perlu dirubah atau diganti keberadaannya. Merupakan tanggung jawab pemimpin untuk merumuskan visi startejik melalui pengumpulan dan pemrosesan informasi serta pengkonseptualisasian dan pengevaluasian visi.

Perbandingan dengan Model dan Perspektif Kepemimpinan yang Lain

Hingga saat ini sudah ribuan studi dilakukan berkaitan dengan kepemimpinan. Dari semua studi-studi tersebut sebagian besar dilakukan melalui penelitian tentang atribusi personal atau sifat pemimpin. Seperti yang dikemukakan oleh Judge, dkk (2002), pendekatan dan studi tentang kepemimpinan, biasanya atau mungkin selalu,

dilakukan melalui studi tentang sifat pemimpin. Ditambahkan lagi, hampir semua studi tersebut bertujuan untuk mengungkap hubungan sifat-sifat pemimpin dengan efektifitas kepemimpinan. Kajian kualitatif yang dilakukan oleh Judge dan Bono terhadap sepuluh model dan perspektif tentang sifat serta atribusi personal pemimpin menunjukkan, bahwa terdapat tumpang tindih sifat pemimpin yang teridentifikasi dari kesepuluh studi yang dikaji. Tampak bahwa rasa percaya diri, muncul pada hampir semua bahan kajian; sedangkan integritas, penyesuaian diri, dan kemampuan bersosialisasi hanya terlihat di beberapa hasil studi. Menariknya, semua hasil bahan kajian yang memunculkan rasa percaya diri menunjukkan bahwa variabel ini berkorelasi kuat dengan efektifitas kepemimpinan. Hal ini logis karena rasa percaya diri biasanya berkaitan erat dengan sifat-sifat yang lain. Locke juga mengemukakan bahwa seorang pemimpin yang memiliki rasa percaya diri umumnya memiliki stabilitas emosional, tingkat penyesuaian diri yang tinggi dan tidak rentan terhadap stress. Sifat ini terlebih lagi akan sangat besar peranannya pada saat seorang pemimpin yang mengalami kegagalan. Sehubungan dengan itu, Locke mengajukan argumen berikut ini.

Even when a decision a leader makes turns out to be a poor one, the self-confident leader can use it as a learning opportunity by admitting the mistake and can often build trust in response......On the other hand, “derailed” manager were often more defensive about their failures and tried to cover up their mistakes rather than admit them (hal 27).

Hasil kajian yang dilakukan Stogdill (dalam Yulk2, 1989), konsisten dengan studi Judge dan Bono serta dengan model yang diajukan oleh Locke, walaupun terdapat perbedaan dalam beberapa hal. Berdasarkan kajian terhadap 163 studi dan perspektif tentang sifat dan ketrampilan pimpinan, Stogdill menemukan bahwa beberapa sifat dan ketrampilan yang sama muncul dalam beberapa bahan kajian dan ternyata berhubungan dengan efektifitas kepemimpinan. Rasa percaya diri, kemampuan beradaptasi, orientasi terhadap pencapaian hasil, enerjitik, kepandaian, serta kreatifitas ditemukan menjadi sifat dan ketrampilan yang dimiliki oleh para pemimpin yang sukses. Berbeda halnya dengan model yang diajukan oleh Locke, Stogdill menggolongkan kreatifitas ke dalam kelompok ketrampilan, sedangkan Locke

mempertimbangkannya sebagai sifat pemimpin. Akan halnya enerjitik dan orientasi terhadap pencapaian hasil, yang oleh Stogdill dikelompokkan ke dalam sifat, oleh Locke justru dikategorikan ke dalam motif pimpinan. Hal ini terjadi karena pada dasarnya operasionalisasi dari properti sifat/atribusi pimpinan memang relatif sulit dilakukan, di samping karena seringkali tergantung dari situasi dengan mana pimpinan menjalankan fungsinya, juga karena atribusi dan perilaku pada dasarnya bersifat psikologis, bukan merupakan aspek organisasi (House dan Aditya, 1997; Judge dan Bono, 1998).

Yulk1 (1989) dalam kajiannya terhadap beberapa teori dan riset kepemimpinan mengajukan model yang merupakan rerangka konseptual terintegrasi. Agak berbeda dengan studi-studi yang dibahas sebelumnya, ia menggunakan istilah karakteristik untuk mewakili sifat dan ketrampilan yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin efektif. Sama halnya dengan studi sebelumnya, rasa percaya diri kembali tampak sebagai karakteristik pemimpin yang harus diperhitungkan keberadaannya. Berbeda dengan model Locke yang mengelompokkan ketrampilan menjadi ketrampilan personal dan manajemen, Yulk menggolongkannya ke dalam tiga kelompok besar yaitu ketrampilan teknikal, konseptual, dan interpersonal, walaupun diakui bahwa tingkat kepentingan ketiga jenis ketrampilan ini secara relatif berbeda dari satu situasi ke situasi yang lain.

Kritik

Buku ini menyajikan perspektif menyeluruh tentang esensi kepemimpinan karena memberikan gambaran secara mendalam dan rinci mengenai komponen-komponen kunci yang membedakan seorang pemimpin efektif dengan yang tidak efektif. Namun sangat mengecewakan ketika mendapati bahwa terdapat pengabaian terhadap unsur yang justru sangat penting untuk dimasukkan dalam model. Model yang diajukan oleh Locke bertujuan untuk memberi gambaran tentang kepemilikan unsur-unsur yang menyebabkan seorang pemimpin lebih efektif dibandingkan yang lain. Sayangnya, pembahasan tentang efektifitas kepemimpinan yang menurut Judge, dkk (2002) mengacu pada kemampuan pemimpin untuk mempengaruhi bawahannya, tidak mendapat sentuhan sama sekali. Tidak dijelaskan kriteria yang digunakan untuk menentukan apakah seorang pemimpin efektif atau tidak. Walaupun model dikembangkan berdasarkan studi kualitatif, paling tidak kriteria efektifitas

kepemimpinan dapat dikemukakan melalui penentuan keluaran secara kualitatif pula. Hogan, dkk (dalam Judge, dkk, 2002), menyatakan bahwa kriteria kepemimpinan dapat dikonseptualisasikan dan diukur dengan dua cara yaitu kemunculan kepemimpinan (leadership emergence) dan efektifitas kepemimpinan (leadership effectivenes).

Kemunculan kepemimpinan mengacu pada sejauh mana individu dipandang sebagai pemimpin oleh pihak lain, khususnya yang hanya memiliki informasi terbatas tentang kinerja individu yang bersangkutan. Sebaliknya, efektifitas kepemimpinan mengacu pada kinerja pemimpin dalam mempengaruhi dan memandu aktivitas-aktivitas yang dilakukan di seluruh bagian organisasi dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Lebih lanjut dikatakan bahwa efektifitas kepemimpinan idealnya diukur dari efektifitas tim, kelompok, atau organisasi, namun dalam praktek umumnya ditentukan berdasarkan nilai yang diberikan oleh teman sejawat atau bawahan. Walaupun pengukuran semacam ini sering menimbulkan bias, kenyataan menunjukkan bahwa penilaian efektifitas kepemimpinan sejalan dengan pegukuran objektif kinerja kelompok.

Bervariasinya definisi tentang kepemimpinan cenderung menyebabkan perbedaan konsepsi tentang efektifitas kepemimpinan. Salah satu perbedaan penting terletak pada jenis konsekuensi atau keluaran yang dipilih sebagai kriteria efektifitas (Yulk2, 1989). Berbagai macam keluaran kualitatif antara lain meliputi kinerja kelompok, pencapaian tujuan kelompok, kelangsungan hidup kelompok, pertumbuhan kelompok, kesiapan kelompok, kapasitas kelompok dalam menghadapi krisis, kepuasan bawahan terhadap pemimpin, dan komitmen bawahan terhadap tujuan kelompok. Bahkan Stoker, dkk (2001) memasukkan prevalensi “burn out” sebagai suatu variabel keluaran kualititatif untuk mengukur efektifitas kepemimpinan. Jika dalam suatu organisasi ditemukan prevalensi ‘burn out” yang relatif tinggi, maka itu merupakan salah satu tanda terjadinya kepemimpinan yang tidak efektif.

Selain melalui penilaian secara kualitatif, ukuran efektifitas kepemimpinan juga dapat ditentukan secara kuantitatif (Yulk2, 1989; Judge, dkk, 2002). Termasuk dalam ukuran keluaran kuantitatif adalah pertumbuhan keuntungan, marjin keuntungan, peningkatan penjualan, pertumbuhan pangsa pasar, return on investment, dan biaya per unit produk. Jenis pengukuran manapun yang akan dipilih perlu didasari dengan kewaspadaan karena dalam

organisasi seringkali kriteria efektifitas kepemimpinan tergantung dari tujuan dan nilai yang dianut oleh pihak yang melakukan penilaian. Pihak yang memiliki wewenang lebih tinggi (misalnya dewan komisaris atau para pemegang saham) akan menetapkan kriteria pengukuran yang kemungkinan besar berbeda dengan yang dituntut oleh bawahan dari pemimpin yang bersangkutan.

Dalam uraiannya, Locke menekankan bahwa untuk menjadi seorang pemimpin yang efektif, keempat komponen yang diajukan dalam model harus dipenuhi. Penjelasan model dari satu bagian ke bagian lain dilakukan secara terstruktur dan terorganisir. Akan tetapi istilah manajer dan pemimpin digunakan secara tidak konsisten baik dalam pembahasan model maupun contoh kasus yang diberikan. Padahal dalam satu bagian bukunya, ia dengan tegas menekankan perbedaan antara fungsi utama seorang manajer dengan pemimpin. Penegasan ini kemudian menjadi kabur ketika Locke mengutip pendapat beberapa ahli tentang ketidakjelasan garis demarkasi antara pemimpin dengan manajer. Hingga akhir pembahasan tentang topik ini, penulis tidak menentukan posisi yang hendak diambilnya. Maka tidak mengherankan ketika seringkali ditemukan istilah pemimpin dan manajer yang digunakan secara bergantian atau bahkan bersamaan, misalnya berkaitan dengan pembahasan tentang pengelolaan informasi, seperti kutipan berikut:

A leader can receive a large amount of information........that already in place. Company record can give a manager internal-performance information about what is not working or what can be improved. Kouzes and Posner (1987) advise managers to go find something to fix rather than wait for problems to develop from whatever is in functional disrepair (hal 91).

Kerancuan ini tidak akan terjadi jika saja Locke memberikan penegasan terhadap konsistensi istilah yang akan digunakan, karena beberapa ahli juga menyadari bahwa hingga kini masih terdapat kontroversi terhadap perbedaan antara manajer dengan pemimpin (Yulk1, 1989). Seseorang dapat menjadi pemimpin tanpa menjadi manajer, dan dapat menjadi manajer tanpa memimpin, karena dalam beberapa hal seorang manajer bisa jadi tidak memiliki bawahan sama sekali. Ditambahkan, bahwa belum ada pihak yang menyamakan manajer dengan pemimpin, namun derajat tumpangtindihnya hingga kini masih menjadi perdebatan.

Walaupun disinggung secara sepintas, saya setuju dengan pendapat Locke yang menekankan bahwa keberhasilan kegiatan pengelolaan makna (management of meaning) yang dilakukan seorang pemimpin ditentukan oleh ketrampilannya dalam berkomunikasi (hal 42). Mengutip pendapat Bennis dan Nanus (1985), dikemukakan bahwa pengelolaan makna, melalui penguasaan teknik berkomunikasi, merupakan hal yang tidak terpisahkan dari efektifitas kepemimpinan. Kenyataannya, dalam kehidupan organisasi realitas yang terjadi sebetulnya sama, namun dapat dimaknai berbeda karena didefinisikan secara berbeda oleh pemimpinnya. Dalam hal ini realitas dipandang secara subjektif karena tergantung dari interpretasi masing-masing pihak yang memberi penilaian.

Realitas dibentuk oleh semua pihak dalam organisasi, akan tetapi dominasi berada pada bahu pemimpin (Smircich dan Morgan, 1982). Berarti pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang dapat mengelola dan mendefinisikan situasi sedemikian rupa sehingga para bawahannya “menyerah” pada makna yang terbentuk dan pada gilirannya akan dijadikan sebagai dasar bertindak. Salah satu indikator penting dalam pencapaian kondisi ini adalah keahlian pemimpin dalam berkomunikasi secara lisan. Dalam organisasi tidak jarang ditemui pemimpin yang memiliki kelemahan dalam menyampaikan ide atau sikap kepada bawahannya, padahal ia tergolong cemerlang di bidang yang lain. Akibatnya dia tidak mampu untuk mendefinisikan makna dan menyampaikan sikap kepada anggota organisasi sesuai dengan keinginannya.

Jika dikaitkan dengan kondisi antar budaya, menarik untuk disimak bahwa di negara-negara tertentu ternyata keahlian berkomunikasi secara lisan tampak bukan menjadi unsur efektifitas kepemimpinan yang esensial. Hal ini terlihat dari gambaran hasil studi yang dilakukan oleh Smith, dkk, 1989 (dalam House dan Aditya, 1997) berkaitan dengan fungsi kepemimpinan generik. Beda negara, beda cara pemimpin dalam menyampaikan ide dan sikapnya kepada bawahan. Di negara demokratis seperti Amerika Serikat pemimpin cenderung bersikap konsultatif dan partisipatif terhadap bawahan sehingga segala sesuatu disampaikan secara lisan dengan basis tatap muka. Kondisi ini tentu saja mensyaratkan keahlian berkomunikasi kepada seorang pemimpin sebagai pemimpin formal dalam organisasi. Hal ini penting karena jika gagal berarti dia dapat dianggap gagal sebagai pemimpin. Seperti yang dikemukakan oleh

Smirsich dan Morgan (1982), jika seorang pemimpin gagal dalam mendefinisikan makna, bukannya tidak mungkin akan muncul pemimpin informal yang dapat membahayakan kelangsungan hidup organisasi. Sebaliknya, cara komunikasi yang dipilih oleh para pemimpin organisasi di Jepang dengan bawahan mereka mengarah pada komunikasi tertulis melalui penyampaian memo atau catatan kecil. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya konfrontasi langsung terutama jika ditengarai terdapat kemungkinan ketidaksepakatan antara pemimpin dengan para bawahannya.

Pada bagian terakhir bukunya, Locke berupaya memberikan gambaran tentang penerapan kepemimpinan dalam pencapaian kualitas melalui penyampaian hasil suatu studi kasus yang didasarkan pada penelitian selama 6 tahun terhadap berturut-turut 9 dan 7 perusahaan penghasil alat pendingin ruangan di Amerika Serikat dan Jepang. Menurut saya, hasil studi yang dilakukan oleh David Garvin dari Harvard Business School itu cukup mengejutkan karena ternyata dalam hampir semua hal yang berkaitan dengan kualitas, tampak bahwa perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat jauh tertinggal dibandingkan dengan yang ada di Jepang. Dalam hal pelatihan misalnya, digambarkan bahwa perusahaan Jepang menerapkan programnya selama 6 bulan, sedangkan di Amerika Serikat program dilangsungkan hanya dalam beberapa jam/hari. Di satu pihak, penempatan prioritas di perusahaan-perusahaan Jepang diletakkan pada peningkatan mutu. Di lain pihak, untuk perusahaan Amerika Serikat, pencapaian jadual produksi menempati prioritas utama. Dikemukakan juga bahwa pengendalian mutu total dan pembentukan gugus kendali mutu merupakan praktek yang umum diterapkan di perusahaan-perusahaan Jepang dan ditengarai merupakan faktor yang memberi kontribusi terhadap pencapaian kualitas. Dari banyak perbedaan yang diajukan, yang paling mencolok adalah hasil yang menunjukkan bahwa perusahaan dengan kualitas tertinggi di Amerika Serikat ternyata mencapai kualitas rata-rata lebih rendah dibandingkan dengan perusahaan yang termasuk dalam kualitas terburuk di Jepang.

Menurut saya, gambaran ini sama sekali tidak representatif mengingat jumlah sampel yang digunakan sangat kecil dan hanya mewakili satu jenis perusahaan, walaupun studi dilakukan secara intensif dalam jangka waktu relatif lama. Seharusnya Locke berhati-hati dalam melakukan pemilihan studi kasus yang diajukan. Apalagi secara tidak

bertanggungjawab kemudian ia menyimpulkan bahwa pencapaian kualitas tersebut tidak lain merupakan hasil dari kepemimpinan yang efektif, padahal pada awal penyampaian kasus secara jelas ia mengakui bahwa studi tersebut sebenarnya tidak difokuskan pada penelitian terhadap kepemimpinan.

Dalam model yang diajukan, Locke menekankan peranan visi strategik beserta implementasinya untuk pencapaian kepemimpinan yang efektif. Menurut saya, di sinilah letak keunggulan model yang diajukan Locke, karena secara lengkap menyajikan unsur-unsur penting dari pengembangan visi serta tahap-tahap impelementasinya. Implementasi visi organisasi merupakan faktor kunci yang menentukan keberhasilan seorang pemimpin. Dikemukakan bahwa prosedur dan kebijakan yang diterapkan dalam rangka implementasi visi dikelompokkan ke dalam enam kategori yaitu 1) strukturisasi organisasi; 2) seleksi, pelatihan dan akulturasi; 3) pemberian motivasi kepada karyawan; 4) pengelolaan informasi; 5) pembentukan tim; dan 6) pengembangan perubahan.

Keunggulan ini diperkuat dengan pembahasan yang sangat komprehensif pada bagian empat dan lima bukunya. Tantangan terberat bagi seorang pemimpin, menurut Locke, adalah menanamkan visi yang sudah dikembangkan kepada anggota organisasi. Maka dari itu kewajiban pemimpinlah untuk menghidupkan dan memberi energi pada visi agar dapat menjadi roh seluruh anggota organisasi. Hal ini sejalan dengan pendapat beberapa ahli, terutama berkaitan dengan kepemimpinan transformasional, bahwa pemimpin berperan dalam menumbuhkan komitmen sehingga visi yang diciptakan dapat menjadi inspirasi dan jiwa organisasi serta semua orang yang terlibat di dalamnya (House dan Aditya, 1997; Lim dan Ployhart, 2004). Di samping itu, Locke memberikan pandangan yang seimbang bahwa untuk membangkitkan antusiasme anggota, terlebih dahulu pemimpin sendiri harus memiliki sikap positif dan antusias terhadap visi yang ditetapkan. Seperti yang dikutipnya dari pernyataan Kouzes dan Posner (1987) berikut ini.

Leaders cannot ignite the flame of passion in their followers if they themselves do not express enthusiasm for the compelling vision of the group (hal. 58).

Pandangan ke depan Locke dalam menempatkan pemberdayaan sebagai kunci

keberhasilan pencapaian visi yang ditetapkan juga perlu dihargai. Secara eksplisit ia menguraikan bahwa pada setiap langkah implementasi visi, seorang pemimpin harus menempatkan pemberdayaan sebagai prioritas utama. Dalam pelatihan misalnya, dijelaskan bahwa pemimpin yang efektif memberdayakan bawahannya dengan cara membantu pengembangan ketrampilan, kemampuan dan pengetahuan mereka. Serupa dengan itu, pengembangan kepercayaan diri dan pelimpahan delegasi, yang merupakan unsur-unsur motivasi merupakan cara yang digunakan untuk memberdayakan bawahan. Selanjutnya, pengelolaan informasi melalui penyebaran informasi ke seluruh bagian organisasi bermanfaat terutama guna memberdayakan pengikut untuk meningkatkan kinerja melalui pemberian sumber daya yang diperlukan. Dalam penjaminan efektifitas kepemimpinan dan kelangsungan hidup organisasi, pemberdayaan sangat besar peranannya karena menurut Stoker, dkk (2001) akan berkorelasi dengan perilaku inovatif yang akhirnya berpengaruh terhadap efektifitas dan daya inovatif anggota organisasi. Akhirnya tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan dalam lingkungan bisnis yang ditandai dengan persaingan luar negeri yang semakin tajam, meningkatnya permintaan akan produk berkualitas tinggi, dan perubahan orientasi ekonomi dari industri menuju jasa, menuntut organisasi untuk mengadopsi pendekatan manajemen yang berbeda yaitu pemberdayaan karyawan (Argyris, 1988; dan Arnold, dkk, 2000).

Simpulan

Model kepemimpinan yang diajukan oleh Locke menyajikan perspektif menyeluruh tentang esensi suatu kepemimpinan yang efektif. Secara lugas ia mengajukan model sekaligus memberikan uraian tentang empat unsur kunci yang dapat membedakan seorang pemimpin yang efektif dengan yang tidak efektif. Terlepas dari pengabaian tentang kriteria efektifitas kepemimpinan yang sebenarnya merupakan unsur esensial dalam model, Locke berhasil membangun suatu model yang sangat substantif bagi pengembangan teori kepemimpinan.

Saya setuju dengan pernyataan Locke bahwa model yang diajukan tidak dapat dibuktikan secara ilmiah mengingat pada dasarnya dikembangkan hanya berdasarkan beberapa studi kualitatif. Akan tetapi menurut pandangan saya buku ini signifikan kontribusinya bagi pengembangan ilmu karena memberikan gambaran yang kaya tentang

fenomena yang tidak akan pernah berhenti dibahas dan selalu menjadi topik hangat dalam studi tentang teori organisasi, yaitu “kepemimpinan”.

DAFTAR PUSTAKA

Argyris, C. (1998). Empowerment : the emperor’s new clothes. Harvard Business Review, May- June 1998: 98-119

Arnold, J.A., Arad, S., Rhoades, J.A., and Drasgow, F. (2000). The empowering leadership questionaire : the construction and validation of a new scale measuring leader behaviors. Journal of Organizational Behavior, 21: 249-269.

Cooper, D.R., and Schindler, P.S. (2003) Business Research Methods. Boston, Mc. Graw-Hill.

Gioia, D.A., and Pitre, E. (1990). Multiparadigm Perspectives on Theory Building. Academy of Management Review, 15: 584-602.

House, R.J., and Aditya, R.N. (1997). The social scientific study of leadership : quo vadis? Journal of Management, 23: 409-473

Judge, A.T., and Bono, E.B., Ilies, R., and Gerhardt, M.M. (2002). Personality and leadership : a quantitative and qualitative review . Journal of Applied Psychology, 87: 765-780

Judge, A.T., and Bono, J.E. (1998). Five factor model of personality and transformational leadership. Journal of Applied Psychology, 85: 751-765

Lim, B.C., and   Ployhart,   R.E. (2004).

Transformational leadership : relations to the five factor model and team performance in typical and maximum contexts. Journal of Applied Psychology, 89:610-621.

Locke, E.A., Kirkpatrick, S., Wheeler, J.K., Schneider, J., Niles, K., Goldstein, H., Welsh, K., and Dong-Ok, C. (1991). The Essence of Leadership, The Four Keys to Leading Successfully, New York, Lexington Books.

Ogbonna, E., and Harris, L.C. (2000). Leadership style, organizational culture and performance : empirical evidence from UK companies. International Journal of Human Resources Management, 11:766-788.

Smircich, L., and Morgan, G. (1982). Leadership: the management of meaning. The Journal of Applied Behavioral Science, 18:257-273.

Stoker, J.J., Looise, J.C., Fisscher, O.A.M., and de Jong, R.D. (2001). Leadership and innovation : relations between leadership, individual characteristics and the functioning of R&D teams. International Journal of Human Resources Management, 12:1141-1151.

Yulk1, G.A. (1989). Managerial leadership: a review of theory and research. Journal of Management, 15:251-289.

Yulk2, G.A. (1989). Leadership in Organization. Eaglewood Cliffs, New Jersey, Prentice Hall.

Lampiran


Leadership Model


Motives and Traits

KSAs



Source: Locke, E.A., et al, 1991

PIRAMIDA Jurnal Kependudukan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia