PENGIRIMAN TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) KE MALAYSIA

MELALUI KOTA SEMARANG

Oleh

Irwan Pasetia Astra Internasional, Bengkulu

Abstract

This article discussing about Indonesian’s labor. Many out of workers used the special way that was supplied by Government; the legalization of requirement agency was showed by Government. It was called the service mobilization of Indonesian’s labor (Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia). But the requirement process and the place process of Indonesian’s labor were always as disadvantages side. Many problems of the cost that have to be guaranteed by Indonesian’s labor candidates before they went to abroad. The law of enforcement to guarantee safety of Indonesian’s labor has not been priority yet. According to the quantity, Semarang city sent many Indonesian’s labor to Malaysia. This purposes of this article are; 1) to describe the processing of sending management Indonesian’s labor to Malaysia by Semarang’s PJTKI.2) to explain Indonesian’s labor interaction toward PJTKI and Government sent Indonesian’s labor to Malaysia by Semarang City. 3) To know the sending effects of Indonsian’s labor to Malaysia by Semarang’s PJTKI. According to the article result could be concluded that Indonesian’s labor of Semarang has ever worked or will work to Malaysia that the age and education were contradiction to Government rule. Beside that, the sending process of Indonesian’s labor to Malaysia, either predeparture, placement, or return. It was still difficult and the deflection. Being Legal Indonesian’s labor was more difficult and very bureaucratic that illegal – way.

Key words: Indonesian’s labor, Semarang, and PJTKI (The service mobilization of Indonesian’s labor)

Pendahuluan

Indonesia adalah salah satu sumber tenaga kerja yang terbesar di dunia.

Salah satu penyumbang TKI yang cukup besar adalah Provinsi Jawa Tengah, khususnya melalui kota Semarang. Di provinsi ini, kehidupan sebagai petani sawah dirasakan tidak lagi menjanjikan bagi masyarakatnya. Untuk bekerja di

sektor lain pun sudah susah untuk diperoleh. Oleh karena itu, wajar kiranya

daerah ini menjadi salah satu daerah di Indonesia yang menjadi sumber TKI untuk pergi ke luar negeri.

Dalam usaha untuk memperoleh peluang kerja di luar negeri atau menjadi TKI dilalui oleh masyarakat dengan berbagai cara. Ada calon TKI yang mencari melalui cara dengan perantara yang tidak resmi yang secara luas dikenal dengan istilah calo. Gaji yang tinggi dan godaan yang menggiurkan sering memicu orang untuk mencari cara yang paling mudah supaya dapat pergi ke luar negeri. Akan tetapi, banyak beberapa pencari kerja menggunakan saluran khusus yang disediakan pemerintah, yaitu melalui agen rekrutmen yang secara resmi ditunjuk oleh pemerintah yang disebut dengan Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI). PJTKI adalah institusi swasta yang diberi monopoli oleh Pemerintah Indonesia untuk merekrut dan memroses pengiriman tenaga kerja Indonesia ke negara-negara lain, dan menjamin penempatan tenaga kerja (Darwin, dkk., 2005: 254).

Bagi pemerintah Indonesia, arus TKI ke luar negeri adalah salah satu cara untuk mengatasi masalah pengangguran serta memberikan konstribusi bagi pemasukan devisa negara. Diperkirakan bahwa setiap tahun pemasukan devisa sebesar US$ 2,6 juta dibawa masuk ke dalam negeri oleh para TKI yang bekerja di luar negeri(Darwin, dkk., 2005: 280). Akan tetapi, sejauh dapat diamati, dalam proses perekrutan dan proses penempatan TKI selalu menjadi pihak yang dirugikan. Belum lagi banyak masalah yang berkaitan dengan biaya yang harus ditanggung oleh calon TKI sebelum pergi ke luar negeri. Di samping itu,

kepastian hukum untuk menjamin keselamatan para TKI juga belum menjadi prioritas para TKI.

Berangkat dari latar belakang pemikiran di atas, tulisan ini akan menggambarkan dan menjelaskan tentang pengelolaan pengiriman TKI oleh PJTKI ke Malaysia melalui Kota Semarang. Di samping itu, tulisan ini juga akan menguraikan faktor-faktor yang mendorong seseorang menjadi TKI. Hal ini sekaligus untuk mengetahui berbagai motivasi yang dimiliki oleh TKI untuk memilih Malaysia sebagai daerah tujuan. Pada akhirnya, tulisan ini akan menjelaskan makna pengiriman TKI ke Malaysia oleh PJTKI melalui Kota Semarang.

Proses Pengiriman TKI ke Malaysia melalui Kota Semarang

Dalam proses pengiriman TKI ke luar negeri dilakukan dengan dua tahap. Tahap pertama, yakni tahap pra-keberangkatan TKI ke luar negeri secara umum dan ke Malaysia secara khusus seorang calon TKI harus melengkapi syarat-syarat yang sudah ditetapkan. Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transimigrasi Republik Indonesia Nomor Kep- 104 A/MEN/2002 tentang Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Ke Luar Negeri disebutkan setiap calon TKI yang mendaftar harus telah mengikuti penyuluhan mengenai lowongan pekerjaan yang tersedia beserta uraian tugas; syarat-syarat kerja yang memuat antara lain gaji, jaminan sosial, waktu kerja; kondisi, lokasi dan lingkungan kerja. Peraturan perundangan, sosial budaya, situasi dan kondisi negara tujuan Hak dan kewajiban TKI. Prosedur dan kelengkapan dokumen penempatan TKI. Biaya-biaya yang

diberikan kepada calon TKI dan mekanisme pembayaran, dan persyaratan calon

TKI. Calon TKI yang akan mengikuti penyuluhan barus memenuhi syarat berusia minimal 18 (delapan helas) tahun, kecuali peraturan negara tujuan menentukan usia minimal lebih dan 18 (delapan helas) tahun. Memiliki Kartu Tanda Penduduk. Sehat mental dan fisik yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter. Berpendidikan sekurang-kurangnya tamat SLTP atau sederajad. Persyaratan lainnya barus memiliki keterampilan atau keahlian yang dibuktikan dengan sertifikat keterampilan yang dikeluarkan oleh lembaga pelatihan yang diakreditasi oleh instansi yang berwenang. Memiliki surat izin dan orang tua atau wali, suami atau istri, dan persyaratan lain sesuai dengan ketentuan yang berlaku di negara tujuan.

Prosedur selanjutnya calon TKI yang akan ditempatkan wajib mengikuti pelatihan pada BLK/Lembaga Pelatihan dan lulus uji keterampilan untuk memperoleh sertifikat kompetensi. PJTKI wajib memberikan Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP) kepada calon TKI sebelum diberangkatkan ke negara tujuan. Materi Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP) sekurang-kurangnya meliputi pembinaan mental kerohanian; pembinaan fisik, disiplin dan kepribadian; sosial budaya, adat istiadat dan kondisi negara tujuan; peraturan perundangan di negara tujuan; tata cara keberangkatan dan kepulangan; informasi yang berkaitan dengan keberadaan Perwakilan RI. Program pengiriman uang (reinittance) dan tabungan; kelengkapan dokumen TKI; isi perjanjian penempatan; dan hak dan kewajiban TKI/PJTKI. Ditambah lagi tahapan-tahapan pemberangkatan calon TKI mulai dan pengurusan paspor, tes kesehatan, sertifikat keterampilan.

Demkian juga melalui undang-undang yang baru, yakni Undang-Undang

Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri tidak mamperlihatkan perubahan yang substansial dalam hal prosedur maupun persyaratan-persyaratan menjadi TKI ke luar negeri. Hal itu terlihat pada perekrutan calon TKI oleh pelaksana penempatan TKI swasta wajib dilakukan terhadap calon TKI yang telah memenuhi persyaratan berusia sekurang-kurangnya 18 (delapan belas) tahun kecuali bagi calon TKI yang akan dipekerjakan pada Pengguna perseorangan sekurang-kurangnya 21 (dua puluh satu) tahun; sehat jasmani dan rohani; tidak dalam keadaan hamil bagi calon tenaga kerja perempuan; dan berpendidikan sekurang-kurangnya lulus Sekolah Lanjutan Pertama (SLTP) atau yang sederajat.

Untuk dapat ditempatkan di luar negeri, calon TKI barus memiliki dokumen yang meliputi Kartu Tanda Penduduk (KTP), ijazah pendidikan terakhir, akte kelahiran atau surat keterangan kenal lahir; surat keterangan status perkawinan, bagi yang telah menikah melampirkan foto kopi buku nikah; surat keterangan izin suami atau istri, izin orang tua, atau izin wali; sertifikat kompetensi kerja, surat keterangan sehat berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan dan psikologi. Proses dan prosedur yang demikian panjang yang memerlukan legalitas formal serta prosedur birokrasi yang barus dilalui oleh setiap calon TKI itu menjadikan calon TKI itu terasa kesulitan.

Dari hasil focus group discussion (FGD)yang dilakukan di lokasi salah satu penampungan TKI di Kota Semarang dengan sepuluh informan, yakni Suparno (35 tahun), Minah (25 tahun), Sukidi (34 tahun), Parmin (29 tahun), M.

Ikhsan (33 tahun), Sukidi (38 tahun), Sri Nanti (31 tahun), Nanik (22 tahun),

Tijem (28 tahun), dan Narimah (19 tahun) menyatakan beberapa hal berkenaan dengan proses pra keberangkatan menjadi TKI ke Malaysia.

Pertama, bahwa melalui program pemerintah, pemerintah sendiri menurut mereka tidak jujur. Artinya apa yang dijanjikan tidak terwujud sebagaimana mestinya. Misalnya tentang batas waktu pemberangkatan penempatan TKI ke Malaysia serta jumlah gaji yang dijanjikan. Ketidakpastian keberangkatan sudah barang tentu menamhah lamanya waktu tunggu. Sementara pada sisi lain, kebutuhan kepastian pemberangkatan dengan limit waktu yang singkat amat diperlukan bagi calon TKI. Oleh karena banyak di antara mereka, memperoleh biaya pemberangkatan dari pinjaman.

Kedua, melalui prosedur pemerintah ternyata banyak juga makelar. Hal ini disebabkan oleh pemerintah tidak mau turun sendiri ke masyarakat. Alasan demikian tidaklah berlebihan, mengingat pelaksana perekrutan calon-calon TKI bahwa untuk penempatan TKI ke luar negeri barus dilakukan sosialisasi program penempatan TKI, promosi dan pemasaran jasa TKI ke luar negeri. Bahwa sosialisasi program penempatan TKI dilakukan oleh pemerintah dengan mengikutsertakan peran masyarakat, tidak melakukan tugas sebagaimana mestinya. Justru yang terlihat adalah bos yang selalu menawarkan jasa penempatan TKI ke luar negeri.

Ketiga, melalui prosedur resmi dirasakan proses pemberangkatannya terlalu lama. Hal demikian cukup beralasan, karena melalui prosedur resmi proses birokrasi cukup panjang, dan dengan demikian pemberangkatannya pun terlalu

lama. Lihatlah misalnya perekrutan, pelatihan sampai dengan penempatan

memerlukan waktu antara 6 bulan hingga satu tahun. Calon TKI asal Kota Semarang ini lebih memilih cara-cara pemberangkatan yang lebih cepat, antara 34 minggu dengan pertimbangan segera memperoleh pekerjaan, segera memperoleh kekayaan, untuk mengembalikan pinjaman uang untuk keperluan biaya pemberangkatan, serta untuk keperluan keluarga.

Keempat, menjadi TKI dengan jalur resmi yakni dengan mengikuti prosedur pemerintah, tidak memiliki kebebasan memilih pekerjaan. Mereka lebih suka berpindah-pindah tempat bekerja yang lebih menyenangkan dan lebih menguntungkan, dari pada harus bekerja dengan sistem kontrak, sebagaimana yang diprogramkan pemerintah selama ini.

Kelima, calon TKI asal Kota Semarang yang berangkat setelah diberlakukannya Undang Undang Nomor 39 Tahun 2004 sebagian besar memahami: (1) bahwa berangkat melalui prosedur peraturan perundangan itu memiliki masa tunggu yang lama sampai saat pemberangkatannya. Lamanya masa tunggu bagi mereka dirasakan sangat merugikan oleh karena biaya untuk pemberangkatannya sejak proses pengurusan administrasi sampai dengan keberangkatan ke luar negeri tersebut merupakan uang pinjaman; (2) selebihnya memahami bahwa berangkat melalui prosedur peraturan perundangan itu tidak bisa bebas memilih pekerjaan, oleh karena calon TKI tersebut dikontrakkan. Dengan demikian mereka tidak bisa bebas pindah pekerjaan dan majikan yang satu ke majikan lainnya. Padahal mereka lebih suka pindah dari majikan yang satu

ke majikan lain. Oleh karena jika bekerja pada seorang majikan itu dirasakan tidak menguntungkan, mereka lebih suka berpindah pada majikan lainnya.

Tahap kedua, yakni tahap penempatan. Untuk melakukan kegiatan penempatan TKI, PJTKI wajib memiliki dokumen perjanjian kerjasama penempatan; surat permintaan TKI (job order/demand letter) atas nama PJTKI yang bersangkutan; perjanjian kerja; dan perjanjian penempatan TKI. Selain dokumen PJTKI harus memiliki dokumen lainnya sesuai dengan persyaratan negara tujuan penempatan.

PJTKI wajib melegalisir perjanjian kerjasama penempatan pada Perwakilan Republik Indonesia di negara setempat dan didaftarkan pada Direktorat Jenderal. Perjanjian kerjasama penempatan sekurang-kurangnya memuat hak, kewajiban dan tanggungjawab PJTKI dan Pengguna atau Mitra Usaha dalam rangka penempatan serta perlindungan TKI.

Surat permintaan TKI (job order/demand letter) sekurang-kurangnya harus memuat jumlah TKI; jenis dan uraian pekerjaan atau jabatan; kualifikasi TKI; syarat-syarat kerja; kondisi keija; jaminan sosial; dan masa berlakunya surat permintaan TKI. PJTKI wajib menempatkan TKI sesuai dengan perjanjian kerja. Perjanjian kerja sekurang-kurangnya harus memuat nama dan alamat pengguna; jenis dan uraian pekerjaan atau jabatan; dan kondisi dan syarat kerja yang meliputi antara lain jam kerja, upah dan cara pembayarannya, upah lembur, cuti dan waktu istirahat, serta jaminan sosial.

PJTKI dilarang mengganti atau mengubah perjanjian kerja yang telah ditandatangani oleh para pihak. Perjanjian kerja berlaku untuk waktu 2 (dua)

tahun dan dapat diperpanjang paling lama dalam jangka waktu 2 (dua) tahun.

PJTKI wajib membuat perjanjian penempatan dengan Calon TKI. Perjanjian pertempatan TKI sekurang-kurangnya harus memuat jabatan atau pekerjaan Calon TKI; batas waktu pemberangkatan Calon TKI; biaya penempatan Calon TKI ke negara tujuan; dan hak dan kewajihan PJTKI dan Calon TKI. PJTKI dilarang menepatkan TKI pada pekerjaan dan tempat yang melanggar kesusilaan atau yang membahayakan keselamatan dan kesehatan kerja.

PJTKI wajib bertanggungjawab atas perlindungan dan pembelaan terhadap hak dan kepentingan TKI di luar negeri. Dalam pelaksanaan perlindungan dan pembelaan TKI, PJTKI baik sendiri-sendiri atau bersama-sama wajib menunjuk atau bekerjasama dengan Lembaga Perlindungan TKI yang terdiri dan Konsultan Hukum dan atau Lembaga Asuransi di negara penempatan TKI sesuai dengan ketentuan yang berlaku di negara yang hersangkutan. Kerjasama harus dituangkan dalam perjanjian yang sekurang-kurangnya memuat ketentuan mengenai kewajiban Konsultan Hukum dan atau Lemhaga Asuransi untuk menyelesaikan perselisihan antara TKI dengan Pengguna atau dengan Pihak Ketiga; memberikan konsultasi atau bantuan hukurn bagi TKI yang bermasalah; mengurus penyelesaian pembayaran atas gaji TKI yang tidak dibayar; mengurus hak TKI/tunjangan akibat pemutusan hubungan kerja (PHK); mengurus penyelesaian jaminan atas resiko kecelakaan kerja dan atau kematian yang dialami oleh TKI dalam kaitan hubungan kerja; dan menyelesaikan permasalahan TKI dalan bentuk kerugian yang bersifat non material.

Faktor Penarik dan Faktor Pendorong TKI Asal Semarang yang Bekerja ke Malaysia

Dilihat dari sejarahnya, Mantra (1995: 1) menyebutkan bahwa mobilitas TKI ke Malaysia telah terjadi sejak sebelum PD II. Pada masa awal, menurut Hugo (dalam Mantra, 1995: 2) ada tiga macam perpindahan TKI ke Malaysia. Pertama, force migration yaitu migran TKI dipaksa untuk bekerja pada sektor perkebunan, pembangunan jalan dan konstruksi bangunan lain. Kedua, kuli kontrak yaitu migran TKI dikontrak untuk bekerja pada periode waktu tertentu dengan sanksi yang berat apabila pekerja tersebut memutuskan hubungan kerja. Dan, ketiga migrasi spontan yaitu migran TKI bekerja di suatu perkebunan atau konstruksi bangunan atas inisiatif sendiri.

Ada dua faktor penarik Malaysia sebagai tujuan para TKI dari XSemarang, yakni faktor geografis dan faktor budaya. Secara geografis, Malaysia merupakan negara tetangga terdekat Indonesia. Hal ini akan berkaitan dengan transportasi yang relatif mudah, murah dan cepat. Kemudahan ini juga terkait dengan transportasi yang tersedia, baik melalui laut maupun melalui udara. Kedua jalur transportasi yang juga didukung dengan ketersediaan sarana transportasi yang cukup banyak. Dalam konteks ini dibuktikan menarik untuk memperhatikan pernyataan seorang informan yang bernama Suhendro (33 tahun) berikut ini.

“Saya dan juga beberapa teman saya memilih bekerja ke Malaysia karena tempatnya yang tidak begitu jauh, tidak seperti ke Arab atau Korea. Jadi kalau harus pulang dekat dan mudah. Di samping itu, biaya transportasi pulang juga tidak begitu mahal. Kalau mau berkomunikasi dengan keluarga melalui telepon juga terjangkau.”

Faktor geografis yang lain adalah berkenaan dengan cuaca yang ada di negara Malaysia. Kondisi cuaca Malaysia dengan Indonesia relatif sama, hanya

terdapat dua musim saja, yaitu kemarau dan penghujan saja. Kebanyakan TKI asal

Kota Semarang mempertimbangkan kondisi cuaca. Dalam anggapan mereka, dengan memilih tempat kerja yang lain seperti Timur Tengah cuacanya panas.

Selain faktor geografis, faktor budaya juga merupakan hal yang penting sebagai daya tarik Malaysia sebagai negara tujuan TKI asal Kota Semarang. Sebagaimana diketahui bahwa, dari segi kebudayaan, antara negara Malaysia dengan Indonesia tidak banyak perbedaan. Secara khusus adalah adanya kesamaan bahasa, yakni bahasa Melayu. Berbeda halnya dengan negara-negara tujuan TKI yang lain, seperti Hongkong, Korea, dan Timur Tengah. Negara-negara ini mempunyai bahasa yang jauh berbeda dengan bahasa Indonesia.

Dalam konteks kesamaan bahasa menjadi faktor penarik TKI asall Kota Semarang untuk memilih Malaysia sebagai tempat bekerja, menarik untuk menyimak pernyataan salah seorang informan yang bernama Misdi (35 tahun) asal Kecamatan Genuk, sebagai berikut ini.

“Bekerja di Malaysia jelas tidak was-was, karena kita bisa berkomunikasi dengan warga di sana. Saya tidak perlu kursus bahasa, karena bahasanya sama. Saya akan langsung bisa berkomuniasi dengan majikan tempat saya bekerja. Hal ini akan membantu kelancaran kerja saya di Malaysia.”

Dengan adanya kesamaan budaya tersebut, juga mempermudahkan para TKI untuk cepat beradaptasi dengan lingkungan baru. Hal ini karena faktor yang dapat mempercepat seseorang untuk cepat beradaptasi dengan lingkungan yang baru adalah bahasa.

Dengan kesamaan bahasa akan terjalin komunikasi yang bisa langsung dipahami. Dalam FGD yang peneliti lakukan berkenaan dengan faktor kesamaan budaya ini diketahui bahwa: (1) TKI asal Kota Semarang merasa lebih nyaman;

(2) kesamaan bahasa akan memudahkan mereka untuk berinteraksi dengan

lingkungan kerja, khususnya kepada majikan; (3) akan memudahkan dalam pemerolehan informasi; dan (4) secara psikolog, kesamaan bahasa akan lebih membuat mereka lebih mampu bertahan di negeri orang.

Selain faktor penarik di atas, para TKI dipengaruhi oileh faktor pendorong yang menyebabkan mereka memilih Malaysia sebagai tempat untuk bekerja. Imigran biasanya mempunyai alasan-alasan tertentu yang menyebabkan mereka meninggalkan kampung halamannya dan seterusnya memilih tempat-tempat yang mereka anggap dapat memenuhi keinginan yang kurang atau tidak dapat terpenuhi kalau sekiranya tetap bertahari di tempat asal.

Arif (dalam Abdurahman, 2006: 76) mencatat, bahwa alasan imigran paling utama meninggalkan Indonesia adalah karena faktor ekonomi, serta wujudnya keinginan untuk mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi. Sebagian kecil saja, karena alasan mengikuti keluarga. Catatan tersebut sejalan dengan hasil kajian Pongsapich (1989: 17) tentang orang Asia yang bekerja di Timur Tengah. Bahkan kesimpulan yang dibuat Gunatilake (dalam Abdurahman, 2006: 83) menyebut, bahwa banyak penduduk negara berkembang bekerja di negara maju karena mereka kurang atau tidak memperoleh peluang ekonomi yang layak di negara asalnya. Beberapa alasan TKI asal Kota Semarang memilih menjadi imigran (TKI) ke Malaysia karena adanya beberapa dorongan, seperti dorongan ekonomi, dorongan Keluarga, dan dorongan cerita yang berkembang. Berikut di bawah ini akan dijelaskan tentang beberapa faktor pendorong TKI asal Kota Semarang memilih Malaysia sebagai negara tujuan untuk mencari nafkah.

Pertama, faktor dorongan ekonomi. Malaysia mengandalkan buruh migran

dari Indonesia, Bangladesh, Filipina, India, dan Vietnam untuk memenuhi permintaan tenaga kerja. Orang Indonesia merupakan kelompok terbesar pekerja asing (83 persen) dan mempunyai sejarah panjang untuk bekerja di Malaysia. Mereka mengisi kekurangan tenaga kerja sektoral yang diciptakan oleh kebijakan ekonomi Malaysia: dalam upaya mengurangi ketimpangan ekonomi antara penduduk Melayu dan etnis Cina, Malaysia menetapkan “Kebijakan Ekonomi Baru” nya pada tahun 1971 yang secara agresif mengejar industrialisasi berorientasi ekspor dan ekspansi sektor publik. Kebijakan-kebijakan ini berakibat pada pertumbuhan lowongan kerja di kota dan migrasi besar-besaran penduduk desa Malaysia ke kota. Pertumbuhan industri juga mengakibatkan peningkatan permintaan tenaga kerja dalam bidang manufaktur dan konstuksi yang tidak dapat dipenuhi oleh tenaga kerja dalam negeri. Hingga awal tahun 1980an, kelangkaan tenaga kerja di sektor pertanian dan tingginya permintaan atas pekerja rumah tangga di antara kelas menengah yang tengah mengembang mempercepat gelombang masuknya buruh migran (Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Indonesia, tt: 14).

Menurut catatan pemerintah Indonesia, pada tahun 2002 kira-kira 480.000 warga Indonesia bermigrasi untuk mencari pekerjaan di luar negeri. Para migran yang pergi ke Malaysia mendapat kerja di sektor rumah tangga (23 persen), manufaktur (36 persen), pertanian (26 persen), dan konstruksi ( 8 persen). Dua juta penduduk Indonesia mungkin tengah bekerja di Malaysia, namun jumlah yang pasti sulit diverifikasi karena lebih dari setengahnya kemungkinan adalah

pekerja tak berdokumen, tanpa izin atau visa kerja yang sah (Kementerian Tenaga

Kerja dan Transmigrasi Indonesia, tt: 9).

Orang Indonesia di Malaysia merupakan arus migrasi acak yang terbesar di Asia dan secara global hanya dikalahkan oleh orang Meksiko yang masuk ke Amerika Serikat. Selama berlakunya amnesti yang mengatur status keimigrasian pekerja tak berdokumen tahun 1992, lima puluh ribu pekerja tak berdokumen datang. Pada tahun 1997, 1,4 juta orang Indonesia yang bertempat tinggal di Malaysia menyalurkan suaranya dalam pemilihan umum Indonesia, yang membuat Departemen Imigrasi Malaysia memperkirakan bahwa terdapat 1,9 juta orang Indonesia tinggal di Malaysia pada saat itu. Banyak migran memilih masuk ke Malaysia melalui rute tidak resmi karena migrasi melalui agen tenaga kerja resmi dapat berakibat penundaan keberangkatan yang lama dan memerlukan prosedur birokrasi yang berbelit-belit, sementara pengurusan tidak resmi hanya memerlukan waktu beberapa hari. Namun demikian, terdapat resiko lebih besar untuk korupsi dan pelecehan dengan agen-agen tenaga-kerja tanpa ijin, serta kurangnya perlindungan jika pekerja menghadapi masalah dengan majikan mereka atau badan pemerintah yang berwenang (Tjiptoherijanto, 1998: 87).

Mobilitas penduduk merupakan salah satu upaya manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dengan mencari dan menemukan sesuatu yang baru (innovative migration), atau mempertahankan apa yang telah dimilikinya (conservative migration). Tetapi yang pasti, baik innovative migration maupun conservative migration keduanya mempunyai target untuk mendapatkan pekerjaan

di tempat tujuan atau memperoleh akses untuk menikmati hidup yang lebih baik

(Nasution, 1996: 18)).

Secara umum ada beberapa alasan yang dilakukan terhadap migran, ada beberapa faktor yang mendorong TKI asal Kota Semarang untuk berusaha mencari pekerjaan ke Malaysia. Hasil wawancara dengan beberapa informan yang pernah bekerja di Malaysia menyatakan bahwa kondisi ekonomi merupakan faktor utama yang mendorong mereka untuk berusaha mencari pekerjaan di Malaysia. Seorang perempuan muda, bernama Supartinah (30 tahun) pada tahun 2004 sampai 2005 yang lalu pernah bekerja di Malayasia. Ketika itu dia harus menghidupi ibu dan tiga orang adiknya. Sementara pekerjaan yang tersedia di kampung halamannya hanya sebagai buruh tani seperti yang dilakukan oleh orang tuanya. Upah sebagai buruh tani dengan jenis pekerjaan menanam, menyiang dan memanen ketika itu rata-rata hanya Rp 10.000 sampai Rp 12.000 sehari. Untuk pekerjaan yang lebih berat seperti mencangkul atau mengolah lahan biasanya dikerjakan oleh laki-laki, dengan upah Rp 20.000-Rp 25.000 per hari. Oleh karena itu ketika ditawarkan untuk bekerja di Malaysia, secara spontan langsung diterimanya. Dengan gaji 350 ringgit per bulan Inah bekerja di sebuah restoran. Pada awalnya Supartinah bekerja membantu di dapur guna menyiapkan pesanan makanan, tapi setelah 3 bulan kemudian dia di tugaskan di bagian depan untuk melayani tamu.

Pekerjaan ini lama kelamaan dirasakan tidak sesuai lagi dengan perjanjian,karena sebagian tamu mulai memperlakukannya secara tidak sopan. Dia berusaha bertahan sampai kurang lebih 16 bulan, kemudian memutuskan

untuk pulang kembali ke kampung halamannya. Keinginan Inah untuk membantu

orang tua dan adik-adiknya dengan cara bekerja di Malaysia akhirnya buyar. Dia merasa pekerjaan yang dilakukan sudah menjurus kepada pelecehan, dan sebelum terjadi hal yang lebih buruk lagi dia cepat mengambil keputusan untuk pulang. Ketika ditanya apakah masih ada keinginan untuk kembali bekerja di Malaysia, Inah menjawab dengan agak ragu-ragu, bahwa dia bersedia kembali apabila mendapat pekerjaan yang cocok.

Gaji atau upah ditawarkan untuk bekerja di Malaysia memang diakui lebih baik daripada upah di Indonesia. Sebagai contoh,kira-kira pada tahun 1999-2000 seorang pembantu rumah tangga yang pernah bekerja di Malaysia, mendapat gaji kurang lebih sebesar Rp 800.000 per bulan. Ini diungkapan sendiri oleh seorang TKI asal Kecamatan Mijen, Kota Semarang yang bernama Supadmi Badrowi (34 tahun). Sebelum bekerja sebagai pembantu, dia berjualan mie dan goreng-gorengan di Malaysia, tepatnya di Tawo. Waktu menjadi pembantu, dia juga "nyambi" sebagai tukang pijit bila ada yang memanggil. Informan ini pulang kekampungnya tahun 2001 setelah menerima kabar suaminya sakit keras. Uang dari hasil bekerja selama 3 tahun di Malaysia kurang lebih sebanyak Rp 18 juta, dipergunakan untuk biaya berobat sang suami.

Dorongan karena faktor ekonomi juga disampaikan oleh Suhendro (33 tahun), asal Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang bersama belasan orang teman lainnya yang akan bekerja di Malaysia melalui jalur PJTKI. Untuk menghidupi keluarga dan memperoleh kehidupan yang lebih layak, dia rela meninggalkan istri dan anaknya di kampung. Informan ini sebelumnya adalah sosok buruh tani

dengan upah sebesar Rp 20.000, perhari dengan penghasilan bulanan yang tidak

pasti. Sementara istrinya ikut membantu berjualan sayur di rumah dengan penghasilan rata-rata Rp 10.000 rupiah per hari. Penghasilan kelurga ini tidak mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari, sehingga sering mengutang kepada saudara atau tetangga. Untuk kebutuhan biaya ke Malaysia, responden mengaku meminjam sejumlah uang dengan saudara dan tetangganya.

Hampir seluruh informan yang diwawancarai menjelaskan, bahwa bekerja sebagai TKI akan memperoleh gaji yang besar. Alasan demikian bukanlah tanpa sebab, mengingat ekonomi keluarga ketika sebelum menjadi TKI ke Malysia sangat tergantung semata-mata pada kearifan sumber-sumber nafkah tradisional (sawah, tegal), sedangkan sumber nafkah tradisional itu tidak lagi mampu memberi kesejahteraan bagi keluarga buruh tani. Sehingga hasil yang diperoleh melalui sumber-sumber nafkah tradisional itu tidaklah imbang antara biaya yang dikeluarkan dengan hasil yang diperoleh.

Berbeda halnya dengan menjadi TKI, menjadi TKI ke Malaysia bekerja sebagai kuli bangunan dalam satu tahunnya berkisar antara Rp 30.000.000,-sampai dengan Rp 45 000.000,-. Upah sebesar itu umumnya digunakan untuk memperbaiki rumah, membeli tanah, kendaraan bermotor, menghajikan orang tua, membangun desanya serta membangun organisasi sosial keagamaannva.

Dalam situasi seperti itu Sairin (1997: 158) menyebutkan, bahwa tidaklah berlebihan jika kemudian program TKI itu lebih menarik dan pada program transimigrasi. Karena transimigrasi itu seolah-olah membuang mereka ke luar Jawa. Sedangkan TKI tidak demikian. Menjadi TKI merasa pergi ke suatu tempat,

kemudian memperkaya kampung halamannya dengan mengirim uang,

membangun rumah dan sebagainya. Alasan lain memberi tambahan jawaban, menjadi TKI itu akan memperoleh pengalaman.

Pengalaman yang dimaksud bukanlah pengalaman di bidang pekerjaannya di Malaysia yang kemudian nanti bermanfaat bagi pekerjaannya setelah menjadi TKI, melainkan pengalaman di luar pekerjaannya, misalnya telah pernah pergi ke luar negeri dengan berbagai hal yang pernah mereka lihat. Karena itu salah satu makna positif pengiriman TKI ke luar negeri agar memperoleh penyerapan teknologi yang bermanfaat bagi mereka ketika tidak lagi menjadi TKI tidaklah terlihat. Serta keinginan hidup mandiri yang tidak ingin menggantungkan orang tua. Alasan terakhir ini tentunya tidak terlepas dengan kebiasaan masa lalu, ketika sektor pekerjaan menjadi TKI ini belum masuk ke pedesaan.

Ekonomi anak menjadi beban tanggungan orang tua dalam bentuk pemberian harta yang berupa sawah atau tanah. Sehingga akan terlihat kekuatan ekonomi seorang anak. Jika saja ia dilahirkan dan keluarga kaya, maka sekurang-kurangnya mereka akan menjadi keluarga kaya, yang memiliki sumber-sumber pencarian nafkah, dalam bentuk sawah dan legal yang cukup. Sedangkan bagi anak keluarga miskin, tentu saja akan lahir menjadi keluarga miskin, karena mereka tidak memiliki warisan sebagai sumber pencarian nafkah. Kini status sosial seseorang anak itu bukan lagi ditentukan melalui pembagian harta orang tua, melainkan kerja keras si anak terhadap peluang-peluang yang tersedia, Satu diantaranya adalah rnunculnya ekonomi supradesa (TKI) ini. Sekalipun anak orang kaya memiliki harta warisan berupa sumber-sumber pendapatan pertanian

yang cukup, tetapi mereka tidak memanfaatkan peluang-peluang di luar sumber pendapatan pertanian itu, terutama menjadi TKI, kekayaan mereka jauh tertinggal apabila dibandingkan dengan keluarga miskin yang memanfaatkan peluang-peluang di sektor nonpertanian dalam bentuk menjadi TKI ke luar negeri.

Kedua, faktor dorongan cerita tentang negeri yang penuh menjanjikan. Cerita yang berkembang di masyarakat tentang bekerja di luar negeri beragam. Ada yang tersebar cerita bahwa bekerja di luar negeri tidak ada bedanya dengan bekerja di dalam negeri. Jika hati-hati dan telaten, bekerja di dalam negeri juga akan menghasilkan uang, meskipun tidak sebesar bekerja sebagai TKI ke luar negeri, tetapi karena biaya hidup di dalam negeri relatif lebih rendah, maka hasilnya sama saja dengan bekerja ke luar negeri.

Di samping itu, juga tidak banyak cerita yang beredar bahwa bekerja ke luar negeri menjadi TKI akan dapat mengumpulkan uang lebih banyak. Cerita ini didukung dengan banyaknya para TKI yang pulang dari luar negeri memperlihatkan keberhasilannya. Hal ini seperti bisa membangun ruma, membeli kendaraan bermotor dan barang-barang mewah lainnya. Kondisi seperti ini ikut mempengaruhi masyarakat lain yang juga ingin berhasil seperti para TKI tersebut.

Keberhasilan menjadi TKI secara tidak langsung telah mendorong warga lainnya untuk secara menular dari mulut ke mulut mengikuti jejak saudara atau tetangganya menjadi TKI. Apalagi sumber daya di desa juga tak bisa diandalkan untuk bisa mengangkat perekonomian keluarga. Hal ini juga menjadi faktor pendorong TKI asal Kota Semarang untuk bekerja ke luar negeri.

Ketiga, faktor dorongan pribadi dan keluarga. Sebagian besar TKI asal Kota Semarang bekerja ke Malaysia itu atas kemauan diri sendiri. Hal ini sejalan dengan pendapat Ty1or (dalam Soetomo, 1985: 27), bahwa sesungguhnya motivasi untuk berimigrasi itu berasal dan imigran itu sendiri. Selehihnya memberikan jawaban atas dorongan teman. Dengan demikian, maka teman sesungguhnya juga memiliki peran strategis dalam membentuk motivasi calon-calon TKI. Di sisi lain, istri tidak memiliki peran yang signifikan dalam membentuk motivasi suami. Hal itu terlihat dari tidak adanya faktor dorongan istri agar seorang suami menjadi TKI.

Hal demikian, masih sejalan dengan ekonomi petani, bahwa nafkah itu adalah tanggungjawab suami, sekalipun dalam praktiknya istri juga memiliki peran yang cukup besar, dalam menambah nafkah keluarga. Misalnya, seorang istri sehari-harinya juga berperan mencari nafkah keluarga. Bahkan tidak satu pun di antara mereka menjadi TKI atas dorongan orang tua. Pada hakikatnya orang tua tidaklah akan meminta agar anak-anaknya ke Malaysia. Oleh karena dalam pandangan orang tua nafkah anak adalah tanggungjawab orang tua selama anak tersebut belum kawin.

Di samping itu, famili juga memiliki pengaruh untuk mendorong seseorang untuk menjadi TKI. Hal demikian dapat dipahami oleh karena terhadap keluarga-keluarga yang lebih memerankan sanak famili dalam hal-hal untuk dijadikan pertimbangan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan tertentu, terdapat sebuah hipotesis, bahwa imigran disebabkan oleh ketimpangan sosial

ekonomi antar daerah, faktor-faktor tertentu mendorong (push) orang pergi dan

daerah asal dan faktor lain menariknva (pull) ke daerah tujuan.

Makna Pengiriman TKI ke Malaysia

Ada beberapa makna yang dapat dikemukakan dari pengiriman TKI ke Malaysia melalui Kota Semarang. Pertama, dari pengiriman TKI tersebut akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan. Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa salah satu faktor pendorong TKI asal Kota Semarang memilih Malaysia menjadi negara tujuan mencari kerja adalah karena dorongan ekonomi. Hal ini bukan tanpa alasan, negara Malaysia merupakan negara yang menjanjikan bagi para TKI untuk mengubah nasib. Kebanyakan di antara TKI yang bekerja di Malaysia berhasil mengumpulkan ringgit yang lumayan menguntungkan. Terlepas dari banyaknya juga TKI yang kurang beruntung, malahan tidak mendapatkan apa-apa setelah bertahun-tahun bekerja di negeri jiran tersebut.

Dalam konteks ini, dapat dilihat bahwa salah satu makna dari pengiriman TKI asal Kota Semarang ke Malaysia adalah adanya peningkatan kesejahteraan. Banyak TKI yang kembali ke kampungnya dengan cerita sukses. Bahkan, tidak sedikit TKI bisa membangun rumah dan jalan desanya berkat cucuran keringat di negeri orang. Di samping itu, banyak juga keluarga TKI yang ditinggalkan meningkat kesejahteraannya dengan adanya remittance atau kiriman uang dari salah seorang atau beberpa orang anggota keluarganya yang menjadi TKI ke Malaysia.

Selain itu, dari pengiriman TKI ke Malaysia tidak hanya bermakna pada peningkatan kesejahteraan keluarga sendiri saja, tetapi juga bermakna terhadap

kesejahteraan lingkungan di mana ia berasal. Salah satu contoh adalah besarnya peran TKI bagi pembangunan daerah, yakni dari kiriman uang para TKI kepada keluarganya yang tinggal di daerah asal. Di Kota Semarang, misalnya, besarnya remittance atau kiriman uang dari para TKI di berbagai negara pada tahun 2006 mencapai Rp 2,565 triliun. Jumlah ini berarti naik dibandingkan dengan tahun 2005 yang hanya mencapai Rp 2,146 triliun.

Kiriman uang dari hasil kerja para TKI yang bekerja di luar negeri ini, pada umumnya digunakan oleh keluarganya untuk membangun rumah atau mengubah gaya hidup mereka dari sederhana menjadi maju di daerah pedesaan asalnya. Perubahan ini mengindikasikan tingkat keberhasilan TKI yang bekerja ke luar negeri.

Kedua, peningkatan devisa negara. Peningkatan devisa Negara merupakan aspek penting yang tercakup dalam pengiriman TKI ke luar negeri baik yang disponsori langsung oleh pemerintah maupun oleh lembaga-lembaga swasta atau perorangan. Dengan peningkatan devisa dari para TKI di luar negeri, ini berarti dapat memperbaiki neraca perdagangan internasional Indonesia. Namun demikian, peningkatan perolehan devisi Negara yang dimaksud akan sangat bergantung pada besarnya jumlah TKI yang berada di luar negeri serta tingkat pendapatan mereka di sana. Juga akan dipengaruhi oleh bagaimana pengelolaan pendapatan tersebut oleh TKI yang bersangkutan.

Dalam hal penerimaan devisa negara dari remita (remittance) tenaga kerja yang bekerja di luar negeri terutama di Malaysia ini. Indonesia relatif tertinggal dibandingkan dengan beberapa Negara Asia lainnya. Pakistan, misalnya 40 persen

dari nilai pertukaran luar negerinya diperoleh dari dana remitan yang berasal dari

pengiriman tenaga kerja ke Timur Tengah. Dana ini mencapai ± 8 persen dari GNP Pakistan (Shah, 1983). Korea Selatan, Filipina, Thailand juga mampu mengungguli Indonesia dalam perolehan devisa dari TKI mereka di iluar negeri (Renald, 1984). Penyebabnya selain karena jumlah tenaga kerja mereka memang relatif lebih besar, juga karena jenis-jenis pekerjaan yang mereka masuki relatif lebih tinggi statusnya (skilled dan semi skilled jobs) dibandingkan dengan TKI di Malaysia yang sebagian besar tenaga kerja kasar atau lapisan rendah.

Ketiga, Salah satu keuntungan (benefit) yang terkandung dalam migrasi penduduk ke luar negeri adalah pembentukan dan peningkatan keahlian kerja (skill) yang amat penting bagi pembangunan yang berlandaskan industrialisasi (Stahl, 1982). Hal ini jelas akan sangat bermanfaat bagi Indonesia dalam melaksanakan pembangunan ekonominya lebih lanjut yang banyak mengandalkan pada pembangunan IPTEK. Hal ini lebih terasa lagi bagi Indonesia kalau dikaitkan dengan mahalnya biaya yang harus dikeluarkan kalau pembangunan/peningkatan keterampilan itu harus dilakukan dalam negeri dalam bentuk latihan atau kursus-kursus keterampilan.

Dengan bekerja di luar negeri terutama di negara-negara yang secara ekonomi sudah lebih maju, maka para tenaga kerja Indonesia akan mengalami juga proses peningkatan keterampilan atas biaya Negara ditempat mereka bekerja. Proses ini terjadi karena kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan di luar negeri pada umumnya sudah menggunakan perangkat teknologi yang relatif lebih tinggi.

Keempat, tidak terbantahkan bahwa keberangkatan TKI secara umum dan TKI asal Kota Semarang secara khusus, berandil besar terhadap pengurangan masaah pengangguran di dalam negeri. Hal ini sangat penting bagi negara-negara yang dilanda tingkat pengangguran yang tinggi seperti Indonesia. Selain itu, keberangkatan TKI juga dianggap dapat membebaskan sebagian dana masyarakat yang turut dikonsumsi selama masih tinggal. Kepergiannya ke luar negeri mengurangi beban konsumsi masyarakat, tanpa mengurangi produksi. Selanjutnya untuk kepentingan pengembangan daerah pedesaan, kepergian tenaga-tenaga yang menganggur itu dinilai dapat memperbaiki kepadatan penduduk, yang juga berarti dapat meningkatkan kapasitas produksi.

Masalah ketenagakerjaan memang sangat luas dan kompleks. Masalah ketenagakerjaan mengandung dimensi ekonomis, dimensi sosial kesejahteraan dan dimensi sosial politik. Dari segi dimensi ekonomis, pembangunan ketenagakerjaan mencakup penyediaan tenaga-tenaga ahli dan terampil sesuai dengan kebutuhan pasar kerja. Untuk itu harus dibangun sistem pelatihan kerja, sistem informasi pasar kerja dan sistem antar kerja, baik secara lokal dan antar daerah, maupun ke luar negeri.

Perluasan kesempatan kerja juga merupakan dimensi ekonomis ketenagakerjaan, karena melalui kesempatan kerja pertumbuhan ekonomi diciptakan sekaligus memberikan penghasilan dan meningkatkan daya beli masyarakat. Penciptaan kesempatan kerja dilakukan dengan menumbuhkan dunia usaha melalui berbagai kebijakan antara lain di bidang produksi, moneter, fiskal, distribusi, harga dan upah, ekspor - impor, serta di bidang ketenagakerjaan.

Dengan demikian, setiap pengambilan kebijakan di bidang perluasan kesempatan kerja dan ketenagakerjaan pada umumnya, selalu mempunyai dimensi ekonomis politis.

Simpulan

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, oleh karena kurang tersedianya lapangan pekerjaan dan murahnya upah tenaga kerja di Indonesia secara umum dan di Kota Semarang secara khusus, maka banyak masyarakat Kota Semarang yang menjadi TKI. Banyak pencari kerja tersebut menggunakan saluran khusus yang disediakan pemerintah, yaitu melalui agen rekrutmen yang secara resmi ditunjuk oleh pemerintah yang disebut dengan Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI).

Kedua, TKI asal Kota Semarang yang pernah bekerja dan yang akan bekerja ke Malaysia memiliki rata-rata umur dan pendidikan yang banyak menyalahi peraturan pemerintah. Di samping itu, dalam proses pengiriman TKI ke Malaysia, baik pada pra-keberangkatan dan penempatan serta pemulangan banyak dirasakan oleh TKI masih rumit dan sering terjadi penyelewengan di sana-sini. Menjadi TKI dengan jalur resmi dirasa lebih sulit dan sangat birokratis dibandingkan dengan cara illegal.

Keempat, terdapat beberapa faktor penarik negara Malaysia menjadi pilihan para TKI asal Kota Semarang, seperti faktor geografis di mana ada kedekatan wilayah antara Malaysia dengan Indonesia dan adanya faktor budaya di mana ada kesamaan bahasa antara Malayisia dengan Indonesia. Selain itu, terdapat juga faktor pendorong yang menjadi alasan TKI asal Kota Semarang

memilih menjadi imigran (TKI) ke Malaysia, misalnya karena adanya dorongan ekonomi, dorongan cerita tentang negeri yang penuh menjanjikan, dan adanya dorongan pribadi dan keluarga.

Kelima, makna dari pengiriman TKI asal Kota Semarang ke Malaysia seperti adanya peningkatakan kesejahteraan, tidak hanya TKI yang pergi tetapi juga keluarga dan kampung yang ditinggalkan. Selain itu, pengiriman TKI juga bermakna pada peningkatan devisa negara. Para TKI yang dikirim tidak hanya memperoleh keuntungan berupa uang, tetapi juga keuntungan dalam hal peningkatan keterampilan kerja. Hal yang juga penting adalah dengan pengiriman TKI juga akan bermakna pada pengurangan masalah pengangguran di dalam negeri.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Muslan. 2006. Ketidakpatuhan TKI Sebuah Efek Deskriminasi Hukum. Malang : UMM Press.

Darwin, Muhadjir, dkk (Editor). 2005. Bagai Telur di Ujung Tanduk, Mobilitas Lintas Batas dan Eksploitasi Seksual di Kawasan Asia Tenggara dan Sekitarnya. Yogyakarta : Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan.

ILO. 2000. Trafficking of Women and Children in Indonesia: A preliminary description of the situation. Jakarta.

Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Indonesia. Tt. Indonesian Migrant Domestic Workers. Jakarta.

Mantra, Ida Bagoes. 1991. Population Movement in West Rice Communities, A Case Study of to Dukuh in Yogyakarta Special Region. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

------------------------. 1995. “Mobilitas Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke Malaysia”. Makalah seminar yang diselenggarakan oleh Pusat Kependudukan UGM, 26 Januari 1995.

Nasution, M. Arif. 1996. “Proses Perjalanan Imigran Indonesia Ke Malaysia” Kertas Kerja pada Seminar Peranan Tenaga Kerja Asing dalam Pembangunan. Medan, 27 Mei.

Pongsapich, A. 1989. “The Case of Asian Migrants to the Gulf Region”. International Migration, 27(2): 171-183).

Priyono, Herry B. 2004. Anthony Giddens, Suatu Pengantar. Yogyakarta : Kepustakaan Populer Indonesia.

Soetomo. 1985. Masalah Sosial dan Pembangunan. Jakarta : Pustaka Jaya.

Tjiptoherijanto, P. 1997. Migrasi Urbanisasi dan Pasar Kerja di Indonesia. Jakarta : UI Press.

27