Remitan dan Dampaknya dalam Kehidupan Masyarakat Desa Cabawan Kecamatan Margadana

Tegal - Jawa Tengah

(Dimensi Ekonomi, Sosial, dan Budaya)

Oleh Maria Sri Rahayu Fakultas Pendidikan IPS Jurusan Sejarah IKIP PGRI Denpasar

Abstract

Population mobility for some people is one of strategies of rural households to improve their prosperity, and to make and increase their income. The reason why the tendency of mobility is moving forward to the urban area is because the economic condition of the rural area is not answering a demand of proper living of the society. It is also because the urban area is offering more promising and growing informal sectors such as the merchandising. The population mobility from the rural to the urban area result a dependability between the village and the city since the immigrants is sending their income to their family at the hometown. Remittance, according to Curson, is a transfer of money, goods, and development ideas from the urban area to the rural area, and is one of instruments of the social and economy changing on the way of living of a society.

This research is held at Cabawan Village, Margadana Subdistrict, Tegal Municipality, Central Java Province (from 1997 to 1998). Cabawan Village is chosen upon a consideration that the Cabawan society is a remittee since the majority of populations (77.9%) are food-mongers who have a Warteg business in Jakarta and nearby cities, so the mean of support of the society is strongly depending on the remittance from the food-mongers (Warteg businessman). This research is describing about a strong interdependence between the food-mongers and their families at their hometown, which is implemented in the form of remittance that has a particular effect on the villagers’ way of living both in the aspects of economic, social, and cultural.

The result of this research suggest that a remittance is having a very important role in the way of living of Cabawan villagers since the food-mongers who have a Warteg business in Jakarta and nearby cities is having a significant contribution on the mean of support of the society. The majority of the Cabawan villagers are strongly depending on the remittance. A quite significant amount of remittance from the city to a village is resulting in an advancement and improvement on the rural economic, changing on the social behavior in the society life style and way of living, and also has a significant effect on the productive manpower in rural area.

Keywords: remittance, effect, mobility.

PENDAHULUAN

Dalam dua dasa warsa terakhir ini telah terjadi perubahan sosial dan ekonomi yang cukup berarti di pulau Jawa, khususnya di pedesaan. Salah satu perubahan itu tercermin dari meningkatnya mobilitas penduduk, terutama mobilitas dari pedesaan ke perkotaan. Bersamaan dengan meningkatnya pendapatan dari minyak, pesatnya industrialisasi dan pengembangan pertanian serta perbaikan prasarana transportasi dan komunikasi yang dimulai pada awal tahun 1970-an telah mempermudah proses perubahan-perubahan tersebut. Usaha-usaha pembangunan itu telah menciptakan kesempatan kerja, baik di sektor industri maupun pertanian, karena dalam sepuluh tahun terakhir ini kedua sektor itu pertumbuhannya relatif rendah bila dibandingkan dengan dua puluh tahun yang lalu. Karena pertumbuhan penduduk di pedesaan lebih cepat dari pada pertumbuhan kesempatan kerja, maka bagi mereka yang sebagian besar baru masuk angkatan kerja menemui kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan. Dalam situasi seperti ini kebanyakan penduduk pergi keluar desa terutama ke kota untuk mencari pekerjaan tetap atau sementara (Effendi, 1992:1).

Daerah perkotaan sudah lama dipandang sebagai pusat kemajuan dan pembangunan, pusat pemasaran berbagai barang dan ide, tempat berkembangnya suatu bentuk masyarakat yang didasarkan pada perjanjian timbal balik, cermin untuk dijadikan teladan, tempat bertemunya aneka ragam paham dan aliran serta pusat peradaban dan kebudayaan. Hal inilah yang menjadikan daya tarik daerah perkotaan sehingga membuat penduduk daerah pedesaan berduyun-duyun datang ke kota yang menjanjikan kehidupan yang lebih baik. Kota dianggap sebagai daerah yang penuh kemajuan bertentangan dengan desa yang dianggap terbelakang dan belum maju (Departemen P & K, 1992).

Jakarta bagi sebagian penduduk merupakan magnet raksasa yang mampu menarik ribuan penduduk pedesaan dan perkotaan lain berbondong-bondong mengadu nasib ke kota beton itu. Tidak hanya Jakarta yang menjadi tumpuan harapan para migran, daerah perkotaan lain yang memiliki industri tidak lepas dari serbuan para pendatang. Hal ini disebabkan karena sektor industri mempunyai

daya tarik yang cukup besar bagi penduduk pedesaan karena sektor ini mampu menawarkan upah yang lebih besar daripada sektor pertanian (Wiyono, 1994:4).

Ada beberapa alasan mengapa penduduk pedesaan atau dari daerah lain pergi ke kota Jakarta atau kota besar lainnya seperti Surabaya dan Medan. Alasannya antara lain adalah untuk melanjutkan pendidikan, mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi, mengikuti orang tua, suami atau istrinya dan sebagainya. Secha Alatas, Suharso dan Munir (dalam Wiyono, 1994) mengatakan bahwa faktor ekonomi merupakan motif utama masyarakat mengadakan mobilitas atau migrasi. Motif tersebut selain sebagai pertimbangan ekonomi yang rasional juga disebabkan karena mobilitas ke perkotaan yang telah mereka lakukan mempunyai dua harapan yaitu untuk memperoleh pekerjaan dan harapan untuk memperoleh pendapatan yang lebih tinggi daripada yang diperoleh di pedesaan.

Bagi sebagian masyarakat, mobilitas penduduk merupakan salah satu strategi bagi rumah tangga pedesaan untuk memperbaiki kesejahteraan serta mendapatkan dan menaikkan penghasilan mereka. Hal inilah yang terjadi di desa Cabawan, Kecamatan Margadana Kotamadya Tegal Jawa Tengah. Tingkat mobilitas penduduk di desa ini tergolong tinggi yaitu terlihat pada data monografi Desa Cabawan tahun 1998. Data menunjukkan bahwa dari 3889 jumlah angkatan kerja yang ada, 3025 orang (77,9 %) pergi ke kota Jakarta dan sekitarnya untuk membuka usaha warteg. Kota Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi dipilih sebagai daerah tujuan usaha di samping karena jaraknya relatif dekat dan transportasinya relatif mudah, juga karena di Jakarta banyak kerabat sehingga memudahkan mereka untuk memperoleh bantuan dalam memulai dan mengembangkan usaha warteg.

Semula penduduk desa Cabawan adalah petani yang rata-rata memiliki lahan yang sempit. Jenis pertanian yang ada di desa ini adalah pertanian musiman karena hanya pada musim penghujan saja tanah bisa ditanami sementara pada musim kemarau kondisi tanahnya sangat kering. Tingginya minat penduduk yang terserap dalam ekonomi kota melalui sektor informal karena pada kenyataannya sektor informal dianggap mampu memberikan kontribusi pendapatan yang lebih

tinggi dibandingkan dengan sektor pertanian (Mantra, 1994). Selain itu karena keterbatasan ketrampilan dan rendahnya pendidikan yang dimiliki oleh kaum migran sehingga mereka harus pandai mencari peluang agar tetap bisa survive.

Selain ekonomi, motif yang mempengaruhi tingginya mereka pergi ke Jakarta untuk membuka usaha warung tegal (warteg) adalah karena adanya tradisi yang sudah dikembangkan oleh generasi sebelumnya. Menurut Kepala Desa Cabawan, sejak tahun 1960-an penduduk sudah mulai merantau terutama menuju ke kota Jakarta. Jakarta bagi orang Tegal terutama penduduk desa Cabawan merupakan medan yang sudah dikenal sampai ke pelosok-pelosok kota dan usaha yang mereka kembangkan adalah membuka usaha warteg yang merupakan usaha turun temurun dari generasi terdahulu.

Kontribusi pedagang warteg terdahulu sangat besar dalam membantu migran baru di perkotaan karena mereka merasa berasal dari daerah yang sama. Hal ini terutama terlihat pada tahap awal dari penyesuaian mekanisme diri di daerah yang baru. Para pedagang yang baru dibantu baik dalam pemilihan lokasi maupun dalam modal awal berdagang sehingga keberhasilan pedagang warteg juga merupakan usaha bersama dari para pedagang warteg yang lainnya. Hal seperti inilah yang menyebabkan lapangan pekerjaan tertentu sering didominasi oleh migran yang berasal dari daerah tertentu saja karena proses mencari pekerjaan biasanya berkisar antar relasi migran sedaerahnya (Mantra, 1994).

Keberhasilan pedagang warteg dalam mengembangkan usahanya dan membentuk ikatan kekerabatan dengan sesama pedagang warteg menyebabkan usaha yang dilakukan para pedagang warteg cepat maju dan berkembang dengan pesat sehingga hal ini berpengaruh pula pada kondisi perekonomian mereka. Para pedagang warteg berhasil meningkatkan pendapatannya jauh melebihi hasil pekerjaan mereka sebelumnya. Paling tidak mereka mampu menghidupi dan meningkatkan perekonomian keluarganya dari hasil usahanya di Jakarta (Kompas, 1997:8).

Keuletan dan kegigihan pedagang warteg khususnya yang berasal dari desa Cabawan ternyata mampu membawa implikasi tersendiri bagi keluarga dan daerah asalnya. Hal ini disebabkan karena masyarakat desa Cabawan sangat

menggantungkan kehidupannya dari uang kiriman yang dikirim oleh anggota keluarga yang membuka usaha warteg di kota Jakarta dan sekitarnya.

Remitan menurut Curson, merupakan pengiriman uang, barang dan ide-ide pembangunan dari perkotaan ke pedesaan dan merupakan salah satu instrumen perubahan sosial ekonomi pada kehidupan suatu masyarakat. Pedagang warteg dan anggota keluarga yang masih tinggal di desa merupakan satu kesatuan ekonomi karena itu remitan juga merupakan bagian dari kehidupan ekonomi rumah tangga pedesaan.

Di samping sebagai salah satu instrumen perubahan ekonomi, remitan juga mempunyai dampak yang luas dalam kehidupan sosial maupun budaya bagi keluarga, masyarakat penerima dan daerah asalnya. Dampak yang cukup kompleks dari remitan itu karena pada dasarnya remitan berkaitan erat dengan pertimbangan waktu, harapan, kewajiban, dan tanggung jawab pedagang warteg terhadap keluarga di daerah asalnya. Berkaitan dengan hal tersebut di atas dirumuskan permasalahan (1) Bagaimana persepsi masyarakat Desa Cabawan terhadap remitan? (2) Bagaimana dampak remitan dalam kehidupan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat Desa Cabawan?

METODE

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan penelitian kualitatif masalah-masalah yang dikaji tidak dipandang sebagai hubungan sebab akibat atau faktor-faktor yang berdiri sendiri, tetapi dikaji dalam satuan holistik dengan analisis yang lebih difokuskan pada kedalaman informasi serta lebih bermakna. Teknik wawancara dilakukan secara mendalam (indepth interview) terhadap para informan yang terdiri dari para pedagang warteg dan keluarganya serta perangkat desa setempat.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Remitan dalam Kehidupan Pedagang Warteg Desa Cabawan

“Wartegan” atau membuka usaha warung nasi khas daerah Tegal merupakan mata pencaharian pokok masyarakat desa Cabawan. Bagi mereka menjadi pedagang warteg merupakan suatu kebanggaan tersendiri dan mereka merasa cocok dan senang dengan profesi itu karena dengan mengelola warteg selain mampu menjalankan usahanya secara mandiri tanpa ada pihak-pihak yang mengaturnya sehingga hal ini menimbulkan kebebasan dan kepuasan mereka dalam menjalankan usahanya.

Rata-rata penduduk Cabawan yang membuka usaha warteg itu tekun, ulet, “tahan banting” dan mempunyai naluri dagang yang tinggi dalam menjalankan usahanya sehingga kebanyakan mereka berhasil dan mampu menjalankan serta mengembangkan usahanya di Jakarta dan sekitarnya. Keuletan dan ketekunan itu tercermin dari falsafah hidup mereka yang mengatakan : “layar jangan takut sama ombak”. Dari ungkapan itu terlihat bagaimana kegigihan mereka dalam menghadapi tantangan yang ada terutama dalam menjalankan usahanya. Kecenderungan mereka memilih kota Jakarta dan sekitarnya juga disebabkan karena mereka merasa sudah mengenal kota tersebut dan banyak penduduk Cabawan yang sebelumnya sudah berusaha di sana sehingga memudahkan mereka dalam memperoleh bantuan maupun informasi dalam menjalankan usahanya. Faktor lainnya yang ikut berperan adalah pengalaman dari pedagang sebelumnya. Mereka bercermin pada kesuksesan pedagang warteg yang sudah menjalankan usahanya sebelumnya karena selama ini tidak ada pedagang warteg yang sukses di kota lain selain kota Jakarta. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya kota-kota di sekitar Jakarta seperti Bogor, Tangerang dan Bekasi ikut menjadi sasaran usaha warteg. Di samping itu membuka warteg di kota Jakarta memang sudah menjadi tradisi turun temurun yang ada di desa ini. Hal itu terungkap dari salah satu informan yang mengatakan:

“Kalau mau mencari makan pergilah ke arah barat dan kalau mau mencari ilmu pergilah ke arah timur”.

Rupanya Jakarta yang arahnya ke barat dari kota Tegal merupakan sasaran usaha warteg karena perkembangan kota Jakarta yang pesat dan kondisi masyarakatnya sangat heterogen dipandang cocok untuk usaha warteg. Pada kenyataanya warteg di Jakarta rata-rata berhasil sehingga dalam perkembangan selanjutnya kota-kota di sekitarnya ikut menjadi sasaran pengembangan usaha warteg.

Pada awalnya dalam berusaha mereka tidak langsung memiliki warung tetapi melalui suatu proses. Ada tiga tipe proses usaha warteg. Pertama, ada yang memulai usahanya dengan berjualan rokok, jajan serta kopi atau teh. Setelah mereka mampu mengumpulkan modal dan juga atas bantuan dari pedagang warteg lainnya yang sudah berhasil barulah mereka membuka warteg. Usaha ini termasuk usaha mereka secara mandiri dan yang dimulai dari nol. Kedua, ada yang memulai usaha dengan terlebih dahulu belajar pada lingkungan keluarganya seperti pada orang tua, kakak, paman atau kerabat yang lainnya dan setelah mereka bekerja dan mengerti seluk beluk mengelola usaha warteg barulah mereka berusaha sendiri dengan mencari lokasi yang strategis dan lepas dari kerabatnya. Ketiga, pedagang warteg yang menjalankan usahanya sendiri dari warisan orang tua atau mertuanya. Biasanya keluarga-keluarga muda yang ada di desa Cabawan langsung berangkat ke Jakarta untuk membantu usaha warteg yang ada dikelola oleh orang tuanya. Mereka ikut berperan langsung dalam mengelola usaha warteg sehingga setelah orang tua mereka lanjut usia dan ingin kembali ke desa maka keluarga-keluarga muda inilah yang melanjutkan dan mewarisi usaha warteg tersebut sementara orang tua di desa tinggal menunggu kiriman selanjutnya dari hasil “wartegan” tersebut.

Sistem kepemilikan untuk membangun warteg ada dua macam yaitu kepemilikan oleh dua keluarga dan dimiliki oleh sendiri oleh satu keluarga saja. Pada masyarakat ini tipe pertama merupakan yang terbanyak jumlahnya karena mereka membuka usaha ini dari modal bersama dengan keluarga yang lainnya sehingga satu warteg merupakan milik dua keluarga. Kemudian dalam operasional selanjutnya mereka saling bergantian untuk tiga atau empat bulan sekali dalam mengelola usaha warteg itu. Sistem ini pada masyarakat setempat dikenal dengan

sistem “aplus atau oplos” yang berarti saling bergantian. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kejenuhan dalam menjalankan usahanya dan mereka bisa pulang ke desa untuk beristirahat setelah dalam tiga atau empat bulan penuh mereka bekerja tanpa mengenal lelah karena rata-rata warteg mulai buka pukul enam pagi dan tutup pukul dua belas malam. Selain itu sistim “aplus” ini mereka gunakan sebagai strategi agar mereka bisa membuka dan mengelola warteg di tempat lainnya sehingga selain mereka memperolah keuntungan yang lebih besar mereka juga bisa mendapatkan variasi supaya tidak monoton berjualan di satu tempat saja.

Tingginya minat penduduk pada usaha ini juga terlihat bagaimana mereka juga enggan bertindak sebagai pembantu sehingga pedagang warteg kalau ingin mencari pembantu harus mencari dari luar daerah karena mereka berprinsip lebih baik membuka “wartegan” sendiri daripada harus menjadi pembantu. Seperti diungkapkan salah satu informan yang mengatakan:

“Saya tidak mau mencari pembantu dari Desa Cabawan, sebab orangorang sini pasti tidak ada yang mau karena mereka gengsi dan malu, di samping itu mereka lebih senang membuka warteg sendiri”.

Selain itu memang penduduk setempat juga merasa malu kalau misalnya ada sesama anggota dari desanya yang menjadi pembantu lebih baik mereka diajak bergabung bersama dan dibantu sehingga nanti bisa mandiri mendirikan warteg sendiri. Dari hal tersebut ini bisa dilihat bagaimana eratnya ikatan kekerabatan yang ada di desa ini walaupun mereka bergerak dalam bidang usaha yang sama. Eratnya ikatan kekerabatan juga bisa dilihat dari remitan yang dikirim oleh pedagang warteg untuk keluarga dan daerah asalnya.

Remitan menurut Curson (1981) merupakan pengiriman uang, barang, ide-ide pembangunan dari perkotaan ke pedesaan dan merupakan instrumen penting dalam kehidupan sosial ekonomi suatu masyarakat. Dari segi ekonomi keberadaan remitan sangatlah penting karena mampu meningkatkan ekonomi keluarga dan juga untuk kemajuan bagi masyarakat penerimanya.

Pada kehidupan pedagang warteg masyarakat desa Cabawan, remitan yang dikirim karena pada dasarnya antara keluarga yang ada di kota dan di desa

merupakan satu kesatuan ekonomi. Remitan atau yang lazim mereka sebut “kiriman” selain ditujukan untuk keluarganya juga ditujukan untuk anggota masyarakat desanya dan juga untuk keperluan desa asalnya.

Remitan atau kiriman yang ditujukan untuk keluarga lebih bersifat ekonomi dan pengiriman dilakukan secara rutin karena dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari, untuk biaya pendidikan, kesehatan dan untuk menunjang kehidupan orang tua “pengganti” seperti “simbah-simbah” (nenek dan kakek) yang mengganti peran orang tua. Selain dalam bentuk uang para pedagang warteg juga mengirim barang-barang seperti pakaian, perabot rumah tangga, alat elektronik, dan juga mampu menginvestasikan kiriman dengan membeli tanah serta membuka usaha baru di desanya yang dijalankan oleh anggota keluarganya yang masih tinggal di desa. Ada beberapa dari pedagang warteg yang mampu membuka toko kelontong dan juga toko bangunan di daerah asalnya dari hasil berusaha “wartegan”,

Di samping mempunyai tanggung jawab terhadap keluarga dan kerabatnya, seorang migran juga berusaha untuk pulang dan mengirim remitan ke daerah asal pada saat diadakan upacara yang berhubungan dengan siklus hidup (life cycle) manusia misalnya kelahiran, perkawinan dan kematian. Pada saat itulah jumlah remitan yang dikirim lebih besar daripada hari-hari biasanya (Curson, 1981). Hal ini terjadi juga pada kehidupan pedagang warteg di desa ini karena jumlah “kiriman” mereka terhadap kerabat desa semakin meningkat manakala ada warga yang kebetulan sedang mempunyai hajat seperti mengkhitankan, acara pernikahan, acara membangun rumah dan juga saat terjadi kematian.

Remitan yang dipergunakan untuk tujuan membantu anggota masyarakat yang sedang mempunyai hajat lebih dikenal dengan sebutan “sumbangan” Meningkatnya jumlah “sumbangan” pada acara-acara tersebut sangat erat kaitannya dengan prinsip gotong royong. Pada saat acara pernikahan antar para pedagang seakan berlomba untuk memberi sumbangan karena hal itu berkaitan dengan “gengsi” dan prestise mereka di mata masyarakat. Besarnya sumbangan yang mereka berikan berkaitan erat dengan pandangan terhadap kesuksesan

mereka dalam “wartegan”. Mereka akan merasa dipandang sebagai pedagang yang sukses dan berhasil manakala jumlah sumbangan yang diberikan cukup besar sehingga diantara mereka seolah berlomba dalam memberikan sumbangannya.

Malinowski dalam penelitian pada masyarakat Trobiand melihat bahwa dalam masyarakat berlaku prinsip timbal balik atau principle of reciprocity. Sistem menyumbang untuk menimbulkan kewajiban membalas merupakan suatu dasar, suatu prinsip yang mengaktifkan kehidupan dalam suatu masyarakat. Demikian juga halnya yang terjadi pada masyarakat Cabawan sumbangan yang diberikan sangat erat kaitannya dengan timbal balik karena selain berfungsi untuk memperingan beban yang punya hajat juga suatu saat mereka bisa dibantu kalau mempunyai kesulitan atau memerlukan bantuan. Itu terungkap dari penuturan Kepala Desa Cabawan yang mengatakan :

“Warga desa sini itu enak kalau mempunyai hajat karena tidak perlu modal yang banyak. Sumbangan bisa diperoleh dari kerabatnya baik berupa bahan makanan maupun uang. Dan sumbangan yang diberikan pun cukup banyak sehingga mereka tetap aman walaupun modalnya sedikit”

Hal ini berlaku juga saat pembangunan rumah, antar warga saling menyumbang baik dari segi material bangunan maupun dalam hal finansial (uang) dan mereka terkesan benar-benar sangat memperhatikan prinsip timbal balik karena hal itu berkaitan erat dengan gengsi dan pamor mereka di masyarakat. Seorang informan mengungkapkan:

“Saya sudah pernah membangun rumah dan saat saya membangun banyak kerabat yang memberikan sumbangan, jadi sekarang kalau ada di antara mereka yang akan membangun rumah saya mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk mengembalikannya. Jumlahnya pun seimbang atau kalau bisa lebih karena malu kalau saya hanya sedikit saja menyumbangnya”.

Remitan yang dikirim untuk keperluan desa terwujud dalam pemberian sumbangan saat desa memerlukan dana misalnya untuk pembangunan sarana dan prasarana fisik desa. Pembangunan balai desa, jalan, got maupun saat desa menggelar acara “sedekah bumi” atau “selamatan” desa atau acara rutin tahunan

ulang tahun desa. Sumbangan yang mengalir dari para pedagang warteg cukup tinggi karena di samping memang keterikatan mereka dengan desa sangat tinggi juga disebabkan karena proses pengumpulan sumbangan terkoordinasi dengan baik antara warga setempat dengan para aparat desa. Pengumpulan dana dilakukan dengan cara keliling. Ada beberapa aparat desa dan warga desa yang berkeliling di kota Jakarta untuk mendatangi warga Cabawan yang sedang berdagang untuk mengumpulkan dana sumbangan tersebut sehingga para warga tidak perlu pulang untuk urusan tersebut. Hal itu sudah merupakan suatu kesepakatan bersama diantara mereka. Dalam sumbangan terhadap desa pun prinsip “gengsi” masih sangat berlaku di sini, karena mereka akan merasa malu kalau hanya memberikan sumbangan sedikit dibandingkan warga yang lainnya. Berikut pengakuan salah satu informan:

“Saya kalau menyumbang pasti melihat juga kawan yang lainnya, kalau bisa lebih besar karena malu kan kalau kita lebih sedikit. Apalagi kalau kita buka “wartegan”-nya sudah lama”.

Pengakuan ini dibenarkan oleh salah seorang aparat yang malah menjadikan hal ini sebagai strategi untuk memperoleh sumbangan yang banyak dari warganya. Mereka sengaja dipancing dengan pedagang yang mampu menyumbang dana cukup besar.

“Biasanya saat pengumpulan dana saya sengaja menempatkan data donatur tertinggi di halaman depan supaya bisa terlihat oleh warga yang lainnya sehingga mereka akan malu kalau hanya memberikan sumbangan sedikit. Karena memang itulah sifat dan karakter masyarakat di desa ini. Banyak yang akhirnya memberi sumbangan di atasnya atau kadang-kadang seimbang”.

Dampak Remitan dalam Ekonomi, Sosial, dan Budaya

Remitan ada dalam sepanjang sejarah migrasi. Curson mengungkapkan bahwa dampak remitan terhadap keluarga serta masyarakat penerimanya sangatlah kompleks. Secara garis besar dampak remitan terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat penerimanya ada tiga. Pertama, ketergantungan ekonomi. Alur remitan tidak hanya untuk individu keluarga tertentu saja, tetapi dalam banyak kasus juga berpengaruh terhadap kehidupan ekonomi daerah asal migran

secara keseluruhan. Kedua, terjadi perubahan sosial. Ada dugaan atau anggapan bahwa remitan adalah suatu kekuatan positif yang mampu membuat perubahan di daerah pedesaan, seperti meningkatkan pendapatan perkapita, merupakan investasi, dan mampu meningkatkan mobilitas sosial.

Dampak remitan menurut laporan The State Word Population (1993), Hugo dan Renard (1987), di Asia atau negara-negara Afrika menunjukkan manfaat positif. Dampak positif remitan dipergunakan antara lain untuk memenuhi biaya sekolah, membiayai fasilitas pendidikan, kesehatan dan konsumsi. Yang paling penting remitan membantu mengentaskan keluarga dari kemiskinan. Tentu saja dampak negatifnya juga ada seperti sifat konsumerisme yang berlebihan dan tekanan inflasi (inflationary pressure), namun secara umum remitan berdampak positif baik bagi negara maupun keluarga pelaku mobilitas (dalam Wiyono, 1994).

Pada masyarakat desa Cabawan dampak remitan ternyata sangat kompleks. Hal ini disebabkan karena remitan merupakan bagian terpenting dalam kehidupan mereka karena sebagian besar keluarga yang tinggal di desa sangat menggantungkan kehidupan dari remitan. Dampak itu terlihat antara lain dalam perubahan ekonomi keluarga dan desa, perubahan gaya hidup, pola pengasuhan anak, serta pada tenaga kerja yang ada di desa.

Motif ekonomi merupakan alasan utama penduduk dalam melakukan pengiriman remitan. Pedagang warteg Cabawan melakukan hal ini karena pada dasarnya walaupun mereka berusaha di kota tetapi keluarga di desa tetap merupakan satu kesatuan ekonomi. Pengiriman remitan selain untuk keperluan hidup sehari-hari, biaya pendidikan dan kesehatan, juga digunakan untuk pembangunan rumah, membeli perabotan, alat elektronik dan juga investasi di desa.

Secara ekonomi di desa terjadi peningkatan dan kemajuan. Hal itu bisa terlihat dengan terjaminnya kehidupan ekonomi mereka dan secara fisik terlihat dari kondisi rumah mereka beserta perabotan yang ada di dalamnya. Bentuk-bentuk rumah semakin bagus dan berdasarkan pengamatan peneliti rata-rata kondisi rumah pedagang warteg memang bagus baik dilihat dari bentuk maupun

bahan yang dipergunakan serta pengecatan rumahnya. Hal tersebut senada dengan ungkapan salah seorang perangkat desa yang mengatakan:

“Orang Cabawan kalau membuat rumah tidak mau memakai bahan yang asal-asalan saja. Bahan untuk “kusenan” misalnya harus memakai bahan dari kayu jati karena mereka enggan memakai dari bahan yang lainnya. Walaupun mahan tidak masalah bagi mereka asalkan mutunya bagus”.

Perabotan yang ada di rumah juga cukup lengkap misalnya bufet, sofa, almari, tv, radio, telepon, kipas angin, antena parabola, bahkan untuk peralatan kendaraan bermotor misalnya itu bukan hal yang baru lagi. Bahkan banyak diantara mereka yang sudah mempunyai kendaraan roda empat.

Meningkatnya remitan untuk kemajuan ekonomi keluarga juga berdampak pada kemajuan desa karena pada kenyataannya mereka juga menyumbangkan untuk keperluan pembangunan desa. Besarnya remitan untuk pembangunan desa memang sulit diukur secara statistik tetapi tampak nyata pada pembangunan sarana-sarana fisik di desa. Pembangunan balai desa, jalan raya desa, gang, perbaikan got, perbaikan gedung pos kamling adalah bentuk sumbangan yang telah diberikan oleh para pedagang warteg.

Dari segi pembayaran pajak pun misalnya pajak bumi dan bangunan, serta pajak yang lainnya bisa dilunasi penduduk Cabawan secara baik dan teratur. Penarikannya tergolong lancar asalkan pada saat penarikan mereka sedang berada di rumah. Kemandirian penduduk dalam proses pembangunan di desanya memang tidak diragukan lagi sehingga pada saat diadakan lomba desa untuk kriteria desa swadaya, desa Cabawan berhasil memperoleh juara I sebagai Desa Swadaya tingkat kabupaten dan kotamadya se-Jawa Tengah.

Peningkatan perekonomian penduduk berpengaruh juga dalam hal perilaku sosial dalam masyarakat. Meningkatnya remitan yang mengalir ke desa menyebabkan perubahan gaya hidup dalam kehidupan masyarakat desa Cabawan. Masyarakat terlihat lebih konsumtif dan materialistis apalagi hal itu lebih sering dikaitkan dengan “simbol status” dan “prestise sosial” yang ingin diraihnya. Mereka beranggapan salah satu simbol keberhasilan dalam berusaha adalah rumah, sehingga dalam membangun rumah terkesan saling berlomba dan berusaha

semewah mungkin padahal tidak jarang rumah banyak yang dtinggalkan kosong sementara mereka berusaha di kota. Mereka berusaha membanting tulang di kota tanpa menikmati kenyamanan, kemewahan, dan kemegahan rumahnya secara utuh yang merupakan hasil kerja keras mereka.

Kepemilikan materi pada masyarakat setempat juga dipakai sebagai sarana meningkatkan status sosial dalam masyarakat karena materi juga dijadikan sebagai indikator perubahan sosial dalam kehidupan masyarakat. Semakin kaya seseorang maka ia akan semakin disegani dan tidak dipandang remeh dalam masyarakat. Bahkan kepala desa pun akhirnya ikut membeli mobil walaupun menurut pengakuannya hal itu bukan hal yang urgent tetapi itu dipakai supaya keberadaannya di tengah masyarakat tidak disepelekan dan tidak dipandang “sebelah mata” oleh masyarakat sehingga nantinya dalam menjalankan tugasnya bisa berjalan lancar dan baik di samping untuk meningkatkan rasa percaya dirinya di tengah para anggota masyarakatnya.

Perubahan gaya hidup konsumtif dan suka pamer nampak juga pada saat di desa sedang ada acara dan saat lebaran. Pada saat inilah terlihat berbagai macam gaya busana dan berbagai macam perhiasan yang terutama dipakai oleh para ibu dan remaja putri. Demikian juga dengan perilaku para pemuda yang semakin jauh dari kesan “sopan”. Mereka banyak yang mulai berani kebut-kebutan di jalan desa dan adanya kebiasaan miras (minuman keras) dan menegak pil “koplo”.

Dari segi pola pengasuhan anak. Kehadiran dan kebersamaan orang tua selama masa pengasuhan kanak-kanak secara psikologis membawa pengaruh terhadap hubungan antara orang tua dengan anak. Dalam kehidupan masyarakat Cabawan terjadi pergeseran pola pengasuhan anak. Pengasuhan beralih ke peran orang tua pengganti, kakek dan neneknya, karena orang tua pergi ke kota menjalankan usahanya. Pergeseran peran ke “Si Mbah-Mbah”-nya atau paman dan bibi yang masih tinggal di desa membawa pengaruh hubungan antara orang tua dengan anak kurang erat. Berikut salah satu ungkapan salah seorang orang tua pengganti.

“Anak-anak itu kalau sama Bapak dan Ibunya sendiri kurang peduli dan kurang akrab. Kalau mau dibelikan apa-apa mereka mintanya ke saya terus, nanti saya yang menyampaikan ke orang tuanya”.

Dari segi ekonomi para orang tua memang tetap bertanggung jawab tetapi untuk perhatian, bimbingan dan pengarahan sepenuhnya diserahkan kepada orang tua pengganti yang ada di desa karena mereka sudah sepenuhnya percaya kepada orang tua pengganti tersebut.

Meningkatnya remitan ke desa selain menyebakan peningkatan dalam bidang ekonomi juga menyebabkan peningkatan migrasi. Hal ini karena mereka tergiur oleh kesuksesan dan kemewahan yang dicapai oleh teman-temannya. Tenaga kerja produktif di desa semakin berkurang karena rata-rata penduduk yang melakukan urbanisasi adalah mereka yang berusia produktif dalam arti tenaganya masih sangat potensial untuk menjalankan pekerjaan di daerah asal (Dep. P dan K, 1992:103).

Demikian juga yang terjadi di daerah Cabawan. Banyaknya tenaga potensial yang terserap dalam ekonomi perkotaan menyebabkan desa ini kekurangan tenaga produktif karena rata-rata mereka yang tinggal di desa berusian 60 tahun ke atas dan anak-anak usia sekolah.

Banyaknya mereka yang ikut “wartegan” karena penghasilan mereka dianggap cukup menjanjikan dibandingkan bila bekerja di sektor lain. Berikut adalah salah satu pengakuan informan yang sebelumnya bekerja kantoran dan merupakan lulusan perguruan tinggi.

“Saya terpaksa berhenti dari pekerjaan yang dulu karena penghasilan saya waktu di kantor sangat jauh dari hasil wartegan. Kalau “wartegan” di samping hasilnya lumayan besar, saya tidak usah tergantung pada jam kantor dan tidak ada istilah mesti “laporan” ke atasan.

Banyaknya penduduk usia produktif yang terjun sebagai pedagang warteg menyebabkan semakin berkurangnya tenaga produktif di desa ini, sehingga untuk aktivitas di desa ini kadang terpaksa didatangkan dan menyewa tenaga dari desa tetangga, misalnya untuk pengerjaan pembangunan rumah, untuk pengerjaan lahan pertanian, bahkan pada saat acara lomba desa. Cabawan kekurangan tenaga untuk pelaksanaan acara tersebut. Bahkan kepala desa pun sempat kewalahan

dalam acara-acara yang diselenggarakan di desa karena yang ada hanya tenaga-tenaga yang kurang produktif sehingga kalau itu digerakkan kawatir hasilnya meragukan. Misalnya dalam hal pendataan penduduk dan administarasi desa lainnya, Kades sering kurang cocok dengan aparat desa (yang usianya cukup tua) yang membantunya karena sering kali data kurang sesuai dan terkesan dikerjakan secara “asal-asalan” saja. Akhirnya sebagai jalan tengah Kades terpaksa mengangkat pegawai dari desa tetangga untuk membantu kelancaran administarasi desa.

PENUTUP

Remitan adalah bentuk keterikatan dan keterkaitan penduduk yang melakukan mobilitas dengan daerah asalnya. Remitan merupakan indikator penting dalam kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat penerimanya karena di samping bisa meningkatkan perekonomian masyarakat juga mempunyai dampak sosial lain seperti perubahan perilaku dan gaya hidup, perubahan orientasi hidup yang lebih “materialistis” dan juga pada tenaga kerja di daerah asal.

Banyaknya remitan yang mengalir ke desa Cabawan ternyata membawa dampak tersendiri baik secara positif maupun negatif. Agar fungsi remitan dalam kehidupan masyarakat setempat bisa bermanfaat secara maksimal perlu diadakan penyuluhan dan pengarahan agar masyarakat tidak hanya berpijak pada pengumpulan materi saja tetapi lebih memperhatikan orientasi ke masa depan. Peningkatan ekonomi sebaiknya juga disertai dengan kesadaran akan pentingnya pendidikan bagi generasi selanjutnya.

Pemerintah dan masyarakat setempat perlu menciptakan suatu usaha (padat karya) agar tidak terlalu banyak tenaga produktif yang terserap ke perekonomian kota.

DAFTAR PUSTAKA

1997, Laporan Monografi Desa Cabawan Kecamatan Margadana Kotamadya Tegal Jawa Tengah

Curson, Peter. 1981. Population Geography: A Journal Of Association Of Population Geographer Of India, Volume 3

Dep. P dan K. 1992. Dampak Urbanisasi Terhadap Pola Kegiatan Ekonomi Pedesaaan Indramayu (Proyek Penelitian Dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya)

Everret, S. Lee......., Teori Migrasi, Yogyakarta: PPK UGM

Effendi, Tadjudin Noer. 1992. Perilaku Mobilitas Dan Struktur Sosial Ekonomi Rumah Tangga: Kasus Dua Desa Di Jawa Barat. Yogyakarta: PPK UGM

Koentjaraningrat. 1981. Pengantar Antropologi. Jakarta: Gramedia

_________, 1984. Masalah-Masalah Pembangunan (Bunga Rampai). Jakarta: Gramedia

_________, 1992. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. (Bunga Rampai). Jakarta: Gramedia

1997. Kompas 15 Agustus 1997. Di Kabupaten Tegal Jabatan Kades Kurang Menarik

Manning, Christ dan Tadjudin Noer Effendi. 1992. Urbanisasi, Pengangguran Dan Sektor Informal di Kota. Jakarta: Yayasan Obor

Mantra, IB. Mobilitas Sirkuler dan Pembangunan Daerah Asal. Warta Demografi. FE UI

Rahayu, Maria Sri. 1999. Remitan dan Dampaknya Terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat (Studi Kasus Terhadap Pedagang Warteg Desa Cabawan Kecamatan Margadana Kotamadya Tegal Jawa Tengah) (Skripsi)

Rusli, Said. 1983. Pengantar Ilmu Kependudukan. Jakarta: PT Pustaka LP3ES

Singarimbun, Masri. 1990. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES

Wiyono, Nur Hadi. 1994. Mobilitas Penduduk dan Revolusi Tranportasi, Warta Demografi No. 3, Jakarta: LD UI

17