DOI: https://doi.org/10.24843/SP.2022.v6.i02.p03

p-ISSN: 2528-4517 e-ISSN: 2962-6749

Eksistensi Tradisi Kajekan bagi Masyarakat Desa Sukodadi Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo Jawa Timur pada Era Modern

Moh. Alawy Sayfi*, Aliffiati, I Nyoman Suarsana

Program Studi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana [[email protected]] [[email protected]] [[email protected]] Denpasar, Bali, Indonesia

*Corresponding Author

Abstract

A community tradition can’t be ascertained its existence. The kajekan tradition is one of mutual cooperation traditions carried out by the people of Sukodadi Village. In this study, using descriptive exploratory qualitative methods, data collection techniques Informant purposive non-random sampling, observation, interviews and documentation studies. The analysis of this research problem uses the principle of reciprocity theory. The results of this study reveal that the existence of this kajekan tradition still exists, but there are also those who don’t want to. The presence of the modern era is a factor in changing people's understanding in Sukodadi Village. The kajekan tradition is mutual assistance in building someone's house or cleaning around the house, or something similar. This tradition was formed due to the socio-cultural conditions of the people who tend to have high solidarity with one another. However, kajekan is an important mutual cooperation tradition because it has cultural, social, and religious meanings that are closely related to the people of Sukodadi Village. And have values that are upheld by the local community.

Keywords: Tradition, Kajekan, Mutual Cooperation, Existence, Meanings, Value

Abstrak

Sebuah tradisi masyarakat memang tidak bisa dipastikan keberadaannya. Tradisi kajekan menjadi salah satu tradisi gotong royong yang dilakukan oleh masyarakat Desa Sukodadi. Pada penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif yang eksploratif, teknik pengumpulan data teknik Informan purposive non-random sampling, observasi, dan wawancara dan studi dokumentasi. Analisa dalam penelitian ini menggunakan teori prinsip timbal balik. Hasil penelitian ini mengungkapkan eksistensi dari tradisi kajekan ini masih ada, namun sebagian yang lain enggan melakukan. Kehadiran era modern menjadi faktor dalam merubah pemahaman masyarakat di Desa Sukodadi. Kajekan merupakan gotong royong membangun rumah atau membersihkan sekitar rumah, atau serupa dengan kedua hal tersebut. Tradisi ini dibentuk oleh kondisi sosiokultural masyarakat yang cenderung memiliki solidaritas tinggi terhadap sesama. Namun kajekan menjadi tradisi gotong royong yang penting karena memiliki makna budaya, makna sosial, dan makna religius yang erat hubungannya dengan masyarakat Desa Sukodadi. Serta memiliki nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat setempat.

Kata kunci: Tradisi, Kajekan, Gotong Royong, Eksistensi, Makna, Nilai

Sunari Penjor : Journal of Anthropology

Prodi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Unud

PENDAHULUAN

Melihat kondisi masyarakat di desa, masih banyak ditemui masyarakat yang mempunyai jiwa tolong menolong yang tinggi. Kesadaran akan pentingnya saling membantu dalam berbagai aspek kehidupan, menjadi salah satu cara untuk mempermudah segala aktivitasnya. Istilah tolong menolong ini orang jawa menyebutnya gotong royong, secara harfiah gotong royong memiliki arti gotong adalah pikul atau angkat, dan royong adalah dengan bersama-sama. Jadi jika digabung secara sederhana memiliki arti mengerjakan sesuatu secara bersama-sama (Rochmadi, 2012: 4). Menurut Koentjaraningrat, kesadaran masyarakat dalam hal tolong menolong itu, tidak hanya disebabkan oleh rasa ingin berbakti kepada sesamanya, tetapi dengan adanya kesadaran saling merasa membutuhkan yang terdapat di dalam jiwa masyarakat tersebut (Koentjaraningrat, 1977: 12).

Fokus dalam penelitian ini adalah sebuah desa yang berada dibawah teritorial Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo, yang berdekatan dengan selat Madura di bagian utara garis Provinsi Jawa Timur, yaitu Desa Sukodadi. Masyarakat Desa Sukodadi memberikan istilah pada kegiatan gotong royong dengan penyebutan kajekan. Tradisi ini, mulai mengalami perubahan di beberapa tahun belakangan ini, bahkan bisa dibilang telah hampir hilang. Berawal dari beberapa pekerja yang keluar daerah, atau yang datang dari lain daerah ke Desa Sukodadi, yang memberikan pengaruh. Menurut Sosiawan (2020: 61) memang jejaring soial yang baik mengandung unsur penghilang stress dan memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial bagi mereka yang sulit berinterkasi secara nyata namun menjadi suatu masalah jika interaksi dengan tetangga sekitar dan lingkungan, menajadi minim dan

menyebabkan sungkan untuk berkunjung, sehingga bisa merenggangkan rasa keterikatan antar warga.

Masyarakat Desa Sukodadi mempunyai penyebutan sendiri dalam hal tolong menolong, baik di sektor fasilitas umum atau pekerjaan rumahan seperti hajatan dan semacamnya, dengan menyebutnya kajekan. Istilah kajekan berasal dari bahasa Madura, karena masyarakat Sukodadi menggunakan bahasa Madura sebagai bahasa keseharian yang mempunyai arti ajakan. Jika ada salah satu warga mempunyai kegiatan yang membutuhkan tenaga cukup banyak, maka dia akan meminta salah satu kerabatnya atau tetangganya untuk mengajak para tetangga yang lain untuk turut membantu dalam menyelesaikan pekerjaan itu.

Kegiatan kajekan ini menjadi salah satu kearifan lokal yang terbentuk secara otomatis, atas dasar adanya solidaritas sosial tersebut. Seperti yang dikatakan Efendi (2015: 111) kearifan lokal menjadi penting untuk mempertahankan karakter, baik pada tingkat individu maupun kelompok. Saat ini yang terjadi adalah kegiatan kajekan ini telah mengalami perubahan baik dari kapasitas nilai budaya atau dari praktiknya. Salah satu hal yang cukup menjadi alasan dari kondisi ini adalah perkembangan era modern yang tidak dapat terbendung dengan mudah, terlebih lagi diera digital saat ini. Kondisi dimana masyarakat terkotak-kotak sesuai dengan keberminatan mereka terlebih dengan kecanggihan teknologi saat ini juga dapat mengurangi intensitas pertemuan antar tetangga walaupun berada di satu desa.

Salah satu ciri modernitas adalah menekankan cara berpikir yang rasional. Modernisasi adalah proses perubahan masyarakat yang didominasi oleh cara berpikir rasional ilmiah Furseth & Reptsad (dalam Siregar, 2020: 44). Hal ini menjadi salah satu faktor perubahan

pemahaman terhadap sebuah tradisi bagi masyarakat desa.

Sebagian masyarakat Desa Sukodadi memang masih menggunakan tradisi kajekan ini karena dianggap perlu untuk tetap dilestarikan. Namun sebagian yang lain juga sudah tidak lagi menggunakan tradisi ini, karena dianggap kurang efektif. Karena idealnya sebuah tradisi gotong royong ini, mampu bertahan dengan alasan kebutuhan manusia itu sendiri sebagai makhluk sosial. Meskipun saling keterikatan antar masyarakat itu masih ada dengan bentuk dan kepentingan yang lain, namun tidak memiliki manfaat yang lebih berarti seperti makna yang terkandung dalam tradisi kajekan tersebut.

METODE

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, yang didefinisikan oleh Creswell (dalam Semiawan, 2010: 7) sebagai suatu pendekatan atau penelusuran untuk mengeksplorasi dan memahami suatu gejala sentral. Untuk mengetahui gejala sentral tersebut akan dilakukan sebuah wawancara seorang partisipan dengan mengajukan beberapa pertanyaan. Jawaban dari hasil wawancara tersebut baik berupa teks, lisan, maupun visual dikumpulkan untuk kemudian menjadi bahan analisis dengan pengkajian yang didukung oleh referensi dari para ahli. Karena hal ini dianggap tepat untuk menjadi alat bedah dalam topik penelitian tradisi kajekan yang terjadi pada masyarakat Desa Sukodadi saat ini.

Penelitian ini menggunakan teori the Principle of Reciprocity dari Bronislaw Malinowski dalam bukunya Crime and Custom in Savage Society yang menyebutkan bahwa ada suatu dasar universal yang sama antara hukum dalam masyarakat bernegara dengan dan masyarakat terbelakang. Kesimpulan Malinowski: semua aktivitas kebudayaan

berfungsi memenuhi suatu rangkaian hasrat naluri dari manusia untuk secara timbal balik memberi kepada, dan menerima dari sesamanya, berdasarkan prinsip yang oleh Malinowski (dalam Zanibar, 2004: 9). Teori ini dikembangkan oleh Malinowski dari sebuah aturan-aturan atau hukum yang ada pada suatu masyarakat yang dibentuk untuk menciptakan sebuah keteraturan sosial dan sebagai pengendali sosial. Gotong royong menjadi sebuah sistem yang ada pada suatu masyarakat tentang adanya naluri timbal balik. Seperti yang ada pada tradisi kajekan itu sendiri, disaat salah satu masyarakat meminta bantuan dengan cara kajekan maka suatu saat nanti jika ada yang lain untuk meminta kajekan juga, secara otomatis akan membantu dengan senang hati.

Penelitian ini juga mempelajari beberapa kajian pustaka untuk menjadi referensi tambahan, yaitu Pertama, jurnal penelitian yang ditulis oleh Koentjaraningrat (1977) dengan judul “Sistem Gotong Royong dan Jiwa Gotong Royong”. Penelitian ini menguraikan beberapa praktik dan sistem gotong royong bagi masyarakat desa, khususnya di daerah Jawa Tengah, tempat Koentjaraningrat beberapa hari menginap disana dan memperhatikan kegiatan-kegiatan yang mengandung unsur gotong royong. Praktik yang dilakukan berbeda-beda tergantung dengan kebutuhan antar penduduknya, dan mereka mempunyai istilah yang berbeda-beda pula. Kedua, sebuah jurnal yang ditulis oleh Rochmadi (2012) yang berjudul “Menjadikan Nilai Budaya Gotong Royong Sebagai Common Identity Dalam Kehidupan Bertetangga Negara-Negara ASEAN”. Jurnal ini menjelaskan tentang gotong royong sebagai warisan budaya Indonesia yang mempunyai nilai-nilai yang sangat tinggi dalam kehidupan yang berhubungan dengan sosial-budaya. Ketiga, yaitu

sebuah skripsi yang berjudul “Eksistensi Budaya Sesajen dalam Pernikahan Adat Jawa Di Desa Leran Kecamatan Senori Kabupaten Tuban” (Khotijah, 2018). Karya ilmiah ini menjadi bahan referensi dalam memahami sebuah eksistensi dari suatu budaya. Sesajen masih dipercaya sebagai alat untuk berhubungan dengan makhluk halus, atau hal yang abstrak. Keempat, yang menjadi referensi dari penulis adalah buku yang ditulis oleh Koentjaraningrat (2015) yang berjudul “Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan” dimana mentalitas masyarakat Indonesia masih belum siap menuju pembangunan. Buku ini, memberikan gambaran bahwa perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat, khususnya di desa, lebih banyak disebabkan oleh budaya dari luar. Kelima, sebuah buku yang berjudul “Teori Sosial Budaya dan Methodenstreit”, yang ditulis oleh Mohammad Syawaludin (2017), yang berisikan tentang beragam teori kebudayaan khususnya yang menyangkut dengan hubungan sosial. Syawaludin (2017: 52) menjelaskan bahwa pendekatan emik sosial dapat menelaah makna kultural dari dalam informan. Melalui perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandangan subyek yang diteliti.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemahaman Masyarakat Desa Sukodadi Terhadap Makna Dan Praktik Kajekan

Setiap manusia secara hakikat dilahirkan memiliki sifat hanif yaitu condong terhadap kebenaran. Bintari (2016: 59) mengemukakan, Nilai itu dalam sistem budaya orang Indonesia mengandung empat konsep; manusia itu tidak sendiri di dunia ini tetapi dilingkungi oleh masyarakatnya, manusia tergantung dalam segala aspek kehidupan

kepada sesamanya, harus selalu berusaha memelihara hubungan baik dengan sesamanya, dan selalu berusaha untuk berbuat adil dengan sesamanya.

Tradisi-tradisi yang dijalankan oleh masyarakat akan menemui perubahan akibat dari perkembangan zaman. Banyak para peneliti yang menyajikan perubahan tradisi suatu masyarakat berdasarkan berbagai macam sudut pandang. Namun perubahan ini tidak akan pernah lepas dari pengetahuan dan pemahaman masyarakat yang bersangkutan. Kehidupan sosial masyarakat bisa menjadi poin penting dalam pembentukan karakter tiap individunya. Keterkaitan ini tidak akan pernah lepas dari setiap kehidupan masyarakat dalam bersosial, baik bagi masyarakat di desa, maupun di tempat lain.

Secara hubungan sosial masyarakat Desa Sukodadi lebih banyak dipengaruhi oleh faktor kebutuhan baik secara materi ataupun non-materi. Hubungan sosial yang mudah dan sering terjadi adalah kebutuhan keberlangsungan ekonomi tiap individunya, seperti menjalin kerjasama atas dasar keterkaitan atau saling membutuhkan secara kontinu. Kebutuhan non-materi yang dimaksud adalah kebutuhan rohaniah setiap individu dari masyarakat itu, baik dalam lingkup religiositas atau hal yang bersifat ilmiah seperti belajar-mengajar, atau mempunyai frekuensi pemikiran yang sama. Pengaruh kognitif dari setiap individu masyarakat membentuk sebuah pola yang terus terjadi secara berulang, dan membentuk sebuah kebenaran koherensi mengenai norma dan nilai. Kebiasaan interaksi masyarakat Desa Sukodadi ini menumbuhkan rasa kepedulian terhadap sesama, salah satunya berbentuk aktifitas yang dinamakan gotong royong.

Masyarakat pedesaan yang masih kental dengan keeratan kehidupan sosial

mereka, dan memiliki rasa peduli yang cukup tinggi pada sesamanya, masih terbiasa dengan sistem gotong royong itu. Masyarakat Desa Sukodadi memiliki beberapa istilah dalam penyebutan gotong royong sesuai dengan aktifitasnya, dan menggunakan bahasa Madura sesuai dengan bahasa keseharian mereka. Berikut adalah jenis-jenis gotong royong tersebut:

  • a.    Kajekan

Secara harfiah kajekan memiliki makna sederhana ajakan. Kata ini berasal dari bahasa Madura yang menjadi bahasa keseharian bagi masyarakat Desa Sukodadi. Aktivitas kajekan merupakan salah satu bentuk kegiatan tolong menolong untuk mengerjakan suatu rumah, seperti misalnya pemasangan pondasi, pengecoran pondasi, tiang-tiang, atau atap rumah, bisa juga kajekan ini berupa membersihkan pekarangan, dan banyak hal lainnya yang berhubungan dengan tempat.

  • b.    Koleman

Aktifitas ini berupa saling membantu kerabat atau tetangga yang sedang menyelenggarakan pesta perkawinan. Kegiatan ini berbentuk sukarela tanpa diundang terlebih dahulu. Setiap warga yang ingin membantu dalam pelaksanaannya akan datang langsung ke rumah orang yang sedang melaksanakan pesta tersebut, atau terkadang langsung menuju ke lokasi acara apabila pelaksanaannya tidak berada di sekitar rumahnya. Kedatangan para tetangga ini memang tanpa adanya undangan, namun sebenarnya si pemilik hajat mengundang mereka untuk datang disaat hari pelaksanaan acaranya.

  • c.    Lelabet

Aktifitas spontan tanpa permintaan dan tanpa pamrih untuk membantu para warga yang salah satu keluarganya meninggal dunia. Para warga yang

merasa dekat dengan keluarga tersebut akan segera berdatangan, dan membantu mengerjakan sesuatu yang dibutuhkan. Seperti menyiapkan tempat untuk memandikan mayat, menata tempat untuk para pelayat yang lain, dan semacamnya.

  • d.    Ro’an

Ro’an ini sebenarnya adalah bahasa setempat untuk mengistilahkan kata kerja bhakti. Pengerahan tenaga secara bersama tanpa bayaran, namun ditujukan untuk kepentingan umum atau yang berkaitan dengan fasilitas publik. Ada yang kegiatannya diinisiasi oleh pemerintah setempat seperti perangkat desa, atau kepala lingkungan setempat. Cara pemberitahuannya-pun berfariasi, ada yang menggunakan cara lama ya itu dengan mendatangi satu pintu ke pintu yang lain, ada yang menggunakan pengeras suara, ada juga yang cukup dengan menyebarkan seleberan berupa poster atau semacamnya.

Kajekan yang menjadi fokus utama pada penelitian ini merupakan salah satu jenis gotong royong yang dilakukan oleh masyarakat Desa Sukodadi sejak zaman dulu, bahkan dari sebelum adanya Desa Sukodadi itu sendiri. Masyarakat Desa Sukodadi yang mayoritasnya adalah Suku Madura memiliki kebiasaan untuk saling membantu terhadap sesamanya. Kegiatan tolong menolong ini tidak ada pemberian upah pasti kepada para pekerjanya, namun seperti ada perjanjian tidak tertulis antar warga bahwa mereka harus menerapkan sistem timbal balik (prinsip resiprositas). Kegiatan kajekan ini juga memiliki beberapa tahapan, yaitu tahap persiapan, tahap pengerjaan, dan tahap akhir. Pada setiap tahap tidak selalu dikerjakan oleh orang-orang yang sama, karena membantu dalam pekerjaan ini diikuti dikarenakan adanya waktu yang kosong.

Makna dari kajekan ini bisa dilihat dari tiga sudut pandang yaitu: 1) Makna

Budaya. Tradisi kajekan merupakan salah satu bentuk dari apa yang dikatakan Koentjaraningrat (2015: 10) yaitu merupakan gabungan ide ataupun gagasan, tindakan, karya dan rasa yang membaur dalam sebuah kesatuan. Sebuah gagasan yang didorong juga oleh sebuah naluri manusia bahwa mereka membutuhkan terhadap sesamanya, apalagi dalam suatu pekerjaan yang dianggap berat. 2) Makna Sosial. Menurut Durkheim (dalam Irfan, 2016: 4) hal ini disebabkan oleh sebuah rasa solidaritas sosial yang tinggi pada masyarakat tersebut. Rasa solidaritas tersebut diantaranya merasa saling percaya antar perorangan maupun kelompok dan menjadikan mereka satu atau menjadi sahabat, menjadi saling menghormati, menjadi saling bertanggung jawab untuk saling membantu dalam memenuhi kebutuhan antar sesama. 3) Makna Religius. Menurut Koentjaraningrat (2015: 32) religi didefinisikan sebagai sebuah keyakinan mutlak umat manusia, yang berisikan ajaran- ajaran yang dibawa oleh seorang tokoh, dan diajarkan menjadi sebuah pola perilaku pengikutnya. Aktivitas manusia menjadi akan bermakna jika mempunyai tujuan, baik secara tampak ataupun tidak. Masyarakat Desa Sukodadi yang didominasi oleh umat muslim, mempercayai sebuah aturan sederhana tentang konsep pahala.

Tradisi kajekan tentu juga mempunyai nilai-nilai yang terkandung didalamnya sesuai dengan kebermanfaatan yang diakui oleh masyarakat Desa Sukodadi, baik secara langsung atau tidak. Nilai-nilai itu adalah: 1) Tolong menolong. 2) Voluntary (suka rela). 3) Solidaritas Sosial. 4) Faternity (kekeluargaan). 5) Kesetaraan sosial. 6) Efisiensi waktu. Nilai-nilai ini yang menjadi alasan bagi masyarakat Desa Sukodadi untuk tetap menjalankan tradisi kajekan meskipun

sebagian orang tidak menganggap nilai-nilai ini sebagai sebuah keuntungan bagi mereka. Sehingga mereka tidak lagi berkegiatan menggunakan sistem kajekan tersebut.

Eksistensi Tradisi Kajekan Bagi Masyarakat Desa Sukodadi

Eksistensi dapat di artikan sebagai keberadaan. Keberadaan yang di maksud adalah pengaruh atas ada atau tidak adanya kita. Eksistensi perlu diberikan orang lain kepada kita, dari pemberian tersebut akan muncul respon orang lain yang berada di sekeliling kita membuktikan akan hasil kerja di dalam suatu lingkungan (Khotijah, 2018: 9). Masyarakat Desa Sukodadi termasuk dalam macam masyarakat agraris, yang mempunyai ciri yang khas. Namun seperti masyarakat Indonesia pada umumnya yang memiliki perbedaan budaya tiap masyarakat yang ada didalamnya. Menurut Paul Landis (dalam Murdiyanto, 2020: 24) desa dapat dipahami dengan adanya tujuan analisis, yaitu analisis statistik, sosial psikologik, dan ekonomi. Saat ini masyarakat Desa Sukodadi merupakan daerah yang terbilang sudah mulai terus bekembang, akibat hal ini terjadi sebuah perubahan hubungan sosial pada masyarakat saat ini. Dikarenakan aktifitas harian yang semakin beragam, dan cenderung memikirkan hal yang individualis. Hal ini merubah terhadap stigma bahwa masyarakat pedesaan cenderung masyarakat yang hidup dengan saling tolong menolong.

Secara ekonomi masyarakat Desa Sukodadi saat ini tidak lagi hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan hidup namun mulai mengerti dengan apa yang dinamakan gaya hidup. Karena perkembangan secara ekonomis terus berkembang beriringan dengan menambahnya wawasan masyarakat desa, terlebih toko-toko modern semacam

minimarket yang menyediakan berbagai macam kebutuhan sehari-hari sudah menjamur di Desa Sukodadi. Perekonomian masyarakat Desa Sukodadi memang sudah beragam, dan memperlihatkan adanya peningkatan. Usaha pertanian memang masih menjadi sumber yang dominan dalam peningkatan saat ini, meskipun sumber dari sektor non-pertanian juga menjadi komoditas yang banyak dipilih oleh masyarakat saat ini. Seperti dengan munculnya industri pabrik rokok ataupun yang lain, menjadi pilihan baru untuk mengembangkan pendapatan saat ini.

Sejak berdirinya perusahaan pembangkit listrik terbesar yang berada satu kecamatan dengan Desa Sukodadi, masyarakat dari luar desa banyak yang mulai tinggal dan menetap di Desa Sukodadi. Meskipun secara persentase tidak begitu dominan, pengaruh kedatangan mereka memberikan dampak terhadap paradigma sosial yang berlangsung di Desa Sukodadi. Hal ini bisa diimbangi juga dengan lingkungan sosial masyarakat Desa Sukodadi juga lebih cenderung mengikuti ajaran-ajaran yang terkandung dalam agama islam. Selain dikarenakan sebagai agama mayoritas, dominasi lingkungan pesantren juga menjadi alasan besarnya. Di Desa Sukodadi sendiri terdapat 3 Pesantren dengan berbagai macam metode pengajarannya, dan secara mendasar apa yang dipelajari ajarannya hampir sama. Sehingga masyarakat masih sadar akan pentingnya saling membantu dan memang akan selalu membutuhkan, merupakan akibat dari kebutuhan kehidupan manusia.

Keberadaan tradisi kajekan memang sudah tidak semarak dulu, disaat masyarakat masih mengandalkan tenaga orang lain untuk menyelesaikan sebuah kebutuhan dengan cara bersama-sama. Bagi masyarakat Desa Sukodadi, tradisi kajekan bukanlah hal yang kuno atau

tidak relevan lagi, tapi lebih melihat terhadap sudut pandang bahwa dalam interaksi masyarakat akan berjalan dengan dinamis. Masyarakat melihat tradisi ini menjadi sebuah keuntungan juga bagi mereka, karena sangat membantu atas kebutuhan masing-masing warganya. Keuntungan ini juga merupakan hasil dari kesadaran masing-masing individu terhadap kebutuhan hubungan sosial yang saling memberikan timbal balik.

Segala perkembangan zaman seperti tumbuhnya industrialisasi dan meratanya pemahaman terhadap teknologi digital, menjadi faktor pendukung yang signifikan dalam pertumbuhan ekonomi mereka. Namun tidak menutup kemungkinan faktor ekonomi juga dapat menjadi alasan masyarakat untuk tetap mengadakan aktivitas kajekan, karena tidak dapat dipungkiri bahwa aktivitas ini memang sangatlah bermanfaat khususnya dalam segi ekonomi. Adanya prinsip timbal balik menjadi sebuah hukum tidak tertulis yang berjalan di kalangan masyarakat Desa Sukodadi. Juga termasuk dalam bagian dari kajekan itu adanya makan secara bersama- sama pada waktu yang disepakati secara bersama-sama. Makanan ini datang bisa dari berbagai macam arah, ada yang dari tuan rumah sendiri, ada yang dari tetangga yang sekaligus ikut kajekan, ataupun juga dari warga yang hanya bisa membantu dari segi hidangan makanannya saja. Tradisi kajekan menjadi sebuah solusi bagi masyarakat desa, untuk dapat mengelola modal dan waktu dengan baik. Bahkan tanpa harus memikirkan hal detailnya, seperti memperhitungkan dengan sebuah rumus matematis atau akuntansi.

Banyaknya masyarakat yang masih mau membantu antar sesamanya dalam konteks kajekan ini juga bisa menjadi saling meringankan antar warga. Semua hal diatas juga bisa memberikan dampak

sebaliknya, yaitu menjadi penyebab dari memudarnya tradisi kajekan, seperti bergulirnya era modern saat ini yang sudah tidak dapat dibendung lagi, bukan untuk menjadikannya sebuah hal yang negatif, namun masyarakat saat ini tidak semua bisa mengimbangi dan memanfaatkan era yang seperti ini. Hal ini bisa terjadi dari beberapa sisi, pertama, terjadinya migrasi. Masyarakat Desa Sukodadi yang sudah pernah mengalami kehidupan di luar daerah akan membawa segala pengalaman ataupun pengetahuannya untuk diamalkan di tempat asal mereka. Hal ini yang kemudian memberikan dampak pada sosiokultural masyarakat yang memang sudah ada. Kedua, menjamurnya industri. Munculnya warga dari luar yang sebenarnya mereka juga mempunyai tradisi dan pola sosial di tempat tinggal sebelumnya. Interaksi sosial dengan warga baru tersebut memunculkan adanya pola pikir yang berbeda, dan memunculkan sistem pola kerja yang baru. Seperti pemahaman bahwa setiap tenaga yang dikeluarkan mempunyai nilai ekonomis untuk dipenuhi. Ketiga, pesatnya teknologi informasi dan komunikasi. Hal ini dianggap sebuah hal yang wajar, karena meskipun masyarakat mengikuti perkembangan digital, tapi tetap bisa memilah antara turut andil dalam tradisi kajekan tersebut atau tidak. Bagi mereka yang enggan dengan berbagai macam alasannya, itu dikarenakan tidak adanya lingkungan yang baik yang bisa mendidik secara langsung dan menjadi contoh, dalam hal saling memberikan bantuan terhadap orang lain.

SIMPULAN

Faktor kebertahanan tradisi kajekan muncul dikarenakan apa yang dilakukan oleh masyarakat saat ini, juga berkaitan dengan apa yang pernah dikerjakan oleh masyarakat masa lalu, sehingga bagi

masyarakat saat ini juga menjadi sebuah pola perilaku yang menggerakkan setiap aktivitas dalam masyarakat tersebut. Bisa jadi karena sebuah kesepahaman dengan apa yang dikerjakan oleh masyarakat terdahulu, bisa juga disebabkan oleh dirasakannya sebuah manfaat yang masih relevan untuk masyarakat saat ini. Tradisi kajekan menjadi sebuah solusi bagi masyarakat desa, untuk dapat mengelola modal dan waktu dengan baik. Salah satu akibat dari perkembangan era modern adalah bisa merubah pola perilaku masyarakat dalam menyikapi tradisi kajekan,   yaitu berkaitan dengan

relevansinya bagi masyarakat saat ini yang cenderung melihat semua dari sudut pandang materialis.

REFERENSI

Bintari, P.N., & Cecep, D. (2016). “Peran Pemuda Sebagai Penerus Tradisi Sambatan    Dalam    Rangka

Pembentukan Karakter Gotong Royong”. Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial,     25(1),    pp. 57-76.

https://doi.org/10.17509/jpis.v25i1. 3670

Effendi, N. (2015). “Kearifan Lokal Menuju Penguatan Karakter Sosial: Suatu      Tantangan      Dari

Kemajemukan Budaya di Sumatera Barat”. Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya, 16(2), pp. 107-115. https://doi.org/10.25077/jantro.v16. n2.p107-115.2014

Irfan, M. (2016). “Metamorfosis Gotong Royong Dalam Pandangan Konstruksi Sosial”. Tesis Program Studi Magister (S2) Kajian Budaya Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran.

Khotijah, H. (2018). “Eksistensi Budaya Sesajen dalam Pernikahan Adat Jawa di Desa Leran Kecamatan

Senori Kabupaten    Tuban”.

Disertasi UIN Sunan Ampel.

Koentjaraningrat. (1977). “Sistem Gotong Royong dan Jiwa gotong Royong”. Jurnal Antropologi Indonesia, No. 30, pp. 4-16.

Koentjaraningrat. (2015). Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Gramedia Pustaka Utama.

Murdiyanto, E. (2020). Sosiologi Perdesaan   Pengantar   untuk

Memahami  Masyarakat  Desa.

Lembaga     Penelitian     dan

Pengabdian Kepada Masyarakat (LP2M) UPN Veteran Yogyakarta Press.

Rochmadi, N. (2012). “Menjadikan Nilai Budaya Gotong-Royong Sebagai Common    Identity    Dalam

Kehidupan  Bertetangga  Negara-

Negara ASEAN”. Repository Perpustakaan Universitas Negeri Malang, 1-9.

Semiawan,   C.R.   (2010). Metode

Penelitian Kualitatif. Grasindo.

Siregar, D.,  & Gulo, Y. (2020).

“Eksistensi             Parmalim

Mempertahankan Adat dan Budaya Batak Toba di Era Modern”. Anthropos:  Jurnal Antropologi

Sosial dan Budaya, 6(1), pp. 41-51. https://doi.org/10.24114/antro.v6i1. 16632

Sosiawan, E. A. (2020). “Penggunaan Situs Jejaring Sosial Sebagai Media Interaksi Dan Komunikasi Di Kalangan Mahasiswa” Jurnal Ilmu Komunikasi, 9(1), pp. 60-75. https://doi.org/10.31315/jik.v9i1.34 16

Syawaludin, M. (2017). Teori Sosial Budaya dan Methodenstreit. CV. Amanah.

Zanibar, Z. (2004). “Wilayah Kajian Ilmu Hukum”. Jurnal Lex Jurnalica, 2(1), pp. 5-17.