DOI: https://doi.org/10.24843/SP.2022.v6.i02.p02

p-ISSN: 2528-4517 e-ISSN: 2962-6749

Sistem Pengetahuan dan Perilaku Kesehatan di Pondok Pesantren Hidayatullah Denpasar terhadap Penyakit Scabies

Hikmah Rian Jaya*, Aliffiati, I Gusti Putu Sudiarna

Program Studi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana [[email protected]] [[email protected]] [[email protected]] Denpasar, Bali, Indonesia

*Corresponding Author

Abstract

Scabies disease is an infectious skin disease caused by infection with the bacteria Sarcoptes scabiei. In Islamic boarding schools, students are often identified with scabies disease. This study aims to determine the knowledge system of students and caregivers about scabies disease such as views, causes, disease phases, and also the impact and health behavior. This study uses medical systems theory by Foster and Anderson and also uses qualitative research methods through data collection techniques in the form of observation, interviews, and documentation as well as using inductive data analysis techniques. Based on the results of the study, it was found that the biological impact of this disease is itching and pain experienced by the body and its social impacts such as being bullied by students who have not been infected and can also interfere with teaching and learning activities. There is an effective alternative treatment used by students and caregivers, namely the method of bathing on the beach and the compress method. Modern medicine is still used but only in a small way.

Keywords: Knowledge System, Health Behavior, Scabies, Islamic Boarding School

Abstrak

Penyakit Scabies merupakan penyakit kulit menular yang disebabkan oleh infeksi bakteri Sarcoptes Scabiei. Pada lingkungan pondok pesantren, para santri sering diidentikkan dengan penyakit Scabies. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sistem pengetahuan santri dan pengasuh tentang penyakit Scabies seperti pandangan, penyebab, fase penyakit, dan juga dampak serta perilaku kesehatannya. Penelitian ini menggunakan teori sistem medis oleh Foster dan Anderson dan juga menggunakan metode penelitian kualitatif melalui teknik pengumpulan data berupa observarsi, wawancara, dan dokumentasi serta menggunakan teknik analisis data induktif. Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa dampak biologis dari penyakit ini adalah rasa gatal dan kesakitan yang dialami oleh tubuh serta dampak sosialnya seperti menjadi bahan perundungan oleh santri yang belum terjangkit dan juga dapat mengganggu aktivitas Kegiatan Belajar Mengajar. Terdapat pengobatan alternatif yang manjur digunakan oleh santri dan pengasuh yakni metode mandi di pantai dan metode kompres. Pengobatan modern tetap digunakan namun hanya dalam lingkup yang kecil.

Kata kunci: Sistem Pengetahuan, Perilaku Kesehatan, Scabies, Pondok Pesantren


Sunari Penjor : Journal of Anthropology

Prodi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Unud


PENDAHULUAN

Penyakit Scabies merupakan penyakit kulit menular disebabkan oleh infeksi bakteri Sarcoptes Scabiei yang dibawa oleh tungau. Menurut World Health Organization (WHO), angka kejadian Scabies pada tahun 2014 sebanyak 130 juta jiwa, sedangkan menurut International Alliance for the Control Scabiae (IACS) angka kejadian skabies bervariasi 0.3 % hingga 46%. Prevalensi Scabies tertinggi diketahui berasal dari lingkungan dengan tingkat kepadatan sosial tinggi dengan kebersihan yang kurang memadai. Sehingga, penyakit Scabies di negara berkembang berkisar antara 6% hingga 27% dari jumlah penduduk (Wulandari, 2018: 322-328). Menurut Kemenkes RI, kejadian penyakit Scabies di seluruh Indonesia telah mencapai angka 5,6% hingga 12,95% pada tahun 2008. Penyakit ini menduduki urutan ketiga dari total 12 penyakit kulit yang sering mengalami penularan di Indonesia (Mutiara dan Syailindra, 2016: 37-42).

Penularan penyakit ini terjadi apabila individu melakukan kontak fisik dengan kulit yang saling bersentuhan terhadap individu yang telah mengidap Scabies. Selain faktor penularan tersebut, penyebab Scabies diketahui juga berakar dari sistem sanitasi yang buruk pada suatu lingkungan tempat tinggal, atau kebiasaan menjaga kebersihan yang buruk. Kedua hal tersebut berpotensi melahirkan sarang tungau yang kelak akan menjadi pembawa (carrier) bakteri Sarcoptes Scabiei selaku infektor dalam penyakit Scabies (Kurniawan & Prabowo, 2016: 63-68).

Penyakit Scabies tidak dapat sembuh dengan sendirinya, dibutuhkan penanganan yang intens secara kolektif terhadap sebuah lingkungan tempat tinggal yang menjadi tempat asal kejadian Scabies. Hal itu disebabkan karena penularannya yang sangat cepat,

sehingga bukan tidak mungkin bagi individu yang sudah sembuh dari penyakit ini akan kembali terjangkit karena interaksi sosialnya dengan individu lain yang sedang terjangkit.

Pada lingkungan pondok pesantren, para santri sering diidentikkan dengan penyakit ini. Bahkan, terdapat stigma populer yang beredar di masyarakat yang menyatakan bahwa “Bukan santri resmi namanya kalau belum pernah tertular Scabies”. Faktor utama dalam penyebaran penyakit Scabies di lingkungan pondok pesantren yakni kurangnya kesadaran dalam menjaga kebersihan diri. Selain itu, hal lain yang menjadi faktor penyebaran penyakit Scabies di lingkungan pondok pesantren yakni sanitasi lingkungan. Sanitasi lingkungan yang buruk terkait dengan angka kejadian Scabies, karena angka penularan penyakit ini akan jauh lebih tinggi pada lingkungan hunian yang padat.

Pondok Pesantren Hidayatullah Denpasar merupakan salah satu dari sedikit pondok pesantren yang ada di Provinsi Bali. Sistem pengetahuan dan perilaku kesehatan yang unik pada pondok pesantren ini menjadi alasan penulis tertarik untuk lebih mendalami fakta lapangan yang ada tentang upaya menghadapi penyakit Scabies di Pondok Pesantren Hidayatullah Denpasar.

Penulis pada penelitian ini memilih lebih memfokuskan pada bagaimana sistem pengetahuan dan perilaku kesehatan pondok pesantren ini dalam menghadapi penyakit Scabies. Karena sepengetahuan penulis, secara antropologis masih sedikit riset dan literasi tentang sistem pengetahuan dan perilaku kesehatan terhadap penyakit Scabies di pondok pesantren.

METODE

Penelitian ini menggunakan metode observasi partisipan dimana peneliti

melakukan pengamatan dengan ikut terjun langsung ke lapangan serta terlibat langsung dengan aktivitas keseharian santri di Pondok Pesantren Hidayatullah Denpasar. Selain itu peneliti juga melakukan wawancara secara mendalam kepada para informan yang terlibat.

Data yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua yakni data primer, data primer merupakan data langsung yang didapatkan oleh peneliti di lapangan melalui observasi dan wawancara kepada informan dan data sekunder sebagai data penunjang.

Teori yang digunakan untuk menganalisis data hasil penelitian adalah teori sistem medis dari Foster & Anderson (2006: 45) yang memandang setiap sistem medis sebagai mencakup semua kepercayaan tentang usaha meningkatkan kesehatan dan tindakan serta pengetahuan ilmiah maupun keterampilan anggota-anggota kelompok yang mendukung sistem tersebut. Dunn (dalam Foster & Anderson, 2006: 41) juga menjelaskan bahwa sistem medis bersifat adaptif dan merupakan pola-pola dari pranata sosial dan tradisi budaya yang menyangkut perilaku yang sengaja untuk meningkatkan kesehatan meskipun hasil dari tingkah laku khusus tersebut belum tentu kesehatan yang baik.

Foster dan Anderson memecah teori sistem medis menjadi dua kategori besar, yakni: (1) Sistem teori penyakit. Menurut Foster & Anderson (2006: 46), sistem teori penyakit meliputi kepercayaan-kepercayaan mengenai ciri-ciri sehat, sebab-sebab sakit, serta pengobatan dan teknik-teknik penyembuhan lain yang digunakan oleh para dokter. Semua sistem penyebab penyakit sebagian besar bersifat rasional dan logis, dalam arti bahwa teknik-teknik penyembuhan merupakan fungsi dari atau berasal dari suatu susunan ide konseptual yang khusus tentang sebab-sebab penyakit. (2) Perawatan kesehatan. Sistem perawatan

kesehatan memperhatikan tentang cara-cara yang dilakukan oleh berbagai masyarakat untuk merawat orang sakit dan untuk memanfaatkan pengetahuan tentang penyakit untuk menolong pasien. Dengan demikian, sistem perawatan kesehatan adalah suatu pranata-pranata sosial yang melibatkan interaksi antara sejumlah orang, sedikitnya pasien dan penyembuh dalam upaya perawatan pasien (Foster & Anderson, 2006: 46).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sistem Pengetahuan Tentang Penyakit Scabies di Pondok Pesantren Hidayatullah Denpasar

Pondok Pesantren Hidayatullah Denpasar merupakan sebuah institusi pendidikan yang di dalamnya terdapat sekumpulan manusia yang hidup bersama membentuk komunitas. Setiap komunitas memiliki nilai budaya unik yang terkandung dalam sistem pengetahuannya.

Sistem pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui manusia tentang benda, sifat, keadaan, dan harapan-harapan. Pengetahuan dimiliki oleh semua suku bangsa di dunia. Mereka memperoleh pengetahuan melalui pengalaman, intuisi, wahyu, dan berpikir menurut logika, atau percobaan-percobaan yang bersifat empiris (Romarak, 2018: 203).

Notoatmodjo (2014: 121) menjelaskan dengan rinci dalam bukunya Metodologi Penelitian Kesehatan, menerangkan bahwa pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu, dan hal ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap sesuatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia yaitu indra penglihatan, pendengaran, penciuman, raba, dan rasa. Sebagian besar pengetahuan diperoleh melalui mata, telinga, pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting

untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior). Pengetahuan (knowledge) adalah hasil tahu dari manusia terdiri dari sejumlah fakta dan teori yang memungkinkan seseorang untuk memecahkan masalah yang dihadapinya.

Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, akan dijelaskan tentang apa saja yang diketahui santri dan pengasuh di Pondok Pesantren Hidayatullah Denpasar terkait dengan penyakit Scabies yang akan dikelompokkan mulai dari definisi dan persepsi, penyebab, fase penyakit, hingga dampak, baik dampak sosial maupun dampak biologisnya.

  • a.    Definisi dan Persepsi

Secara umum penyakit Scabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi bakteri Sarcoptes Scabiei var. Hominis yang termasuk pada filum Arthropoda, kelas Arachnida, ordo Acarina, famili Sarcoptidae. Adapun, bakteri Sarcoptes Scabiei var. Hominis berasal dari tungau atau kutu kasur. Di masyarakat, penyakit Scabies biasanya disebut sebagai penyakit kudis atau gudikan. Pada inkubasinya, skabies menimbulkan rasa tidak nyaman karena sangat gatal sehingga penderita seringkali menggaruk dan mengakibatkan infeksi sekunder terutama oleh bakteri Grup A Streptococcus dan Staphylococcus aureus.

Pengasuh di pondok Pesantren Hidayatullah Denpasar mendefinisikan bahwa penyakit Scabies adalah penyakit gatal-gatal yang disebabkan oleh bakteri. Pendapat pengasuh tersebut memberikan gambaran penyakit Scabies secara singkat namun menjelaskan dampaknya gatal-gatal serta penyebabnya dari lingkungan yang jorok.

Penyakit Scabies merupakan suatu penyakit yang umum di kalangan pondok pesantren dikarenakan lingkungannya

yang berdesak-desakkan dan tidak dibarengi pengetahuan yang memadai tentang penyakit ini. Pengasuh juga menjelaskan bahwa kejadian penyakit Scabies di Pondok Pesantren Hidayatullah Denpasar cukup banyak dengan rata-rata sekitar 30 kasus santri per semester yang harus berobat.

Saat ini muncul anggapan yang terkenal di kalangan para santri di Indonesia bahwa penyakit Scabies merupakan penyakit yang wajib untuk diderita oleh santri dan merupakan tanda bahwa mereka telah diterima di lingkungan pondok pesantren. Bahkan santri yang tidak terkena penyakit Scabies dianggap masih belum sepenuhnya menjadi santri.

Santri di Pondok Pesantren Hidayatullah Denpasar memandang bahwa penyakit Scabies merupakan suatu hal yang membanggakan karena merupakan simbol solidaritas santri dan sebagai bentuk ciri khas dari santri pondok pesantren. Selain itu, santri merasa senang apabila mereka mendapat perlakuan khusus saat terjangkit penyakit Scabies seperti diistirahatkan atau dipulangkan untuk proses penyembuhan. Sementara itu, pengasuh di Pondok Pesantren Hidayatullah Denpasar menjelaskan bahwa penyakit Scabies merupakan pola pikir yang salah. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa antara santri dan pengasuh memiliki perspektif yang berlawanan terkait dengan penyakit Scabies.

  • b.    Penyebab

Scabies adalah penyakit yang disebabkan infestasi dan sensitisasi kulit oleh tungau dan produknya. Penyakit ini berhubungan erat dengan higiene yang buruk. Prevalensi Scabies tinggi pada populasi yang padat. Dari hasil penelitian di Brazil, prevalensi Scabies dua kali lebih tinggi di daerah kumuh perkotaan yang padat penduduk daripada di

masyarakat nelayan dimana mereka tinggal di tempat yang lebih luas. Penularan dapat terjadi karena: (a) kontak langsung kulit dengan kulit penderita Scabies, seperti menjabat tangan, hubungan seksual, atau tidur bersama. (b) kontak tidak langsung (melalui benda), seperti penggunaan perlengkapan tidur bersama dan saling meminjam pakaian, handuk dan alat-alat pribadi lainnya, tidak memiliki alat-alat pribadi sendiri sehingga harus berbagi dengan temannya.

Tungau hidup dalam epidermis, tahan terhadap air dan sabun dan tetap hidup bahkan setelah mandi dengan air panas (IDI, 2017: 302). Faktor yang berpengaruh dalam penyebaran dan terjadinya penyakit Scabies di Pondok Pesantren Hidayatullah Denpasar adalah kondisi kamar yang tidak higienis dan lembab. Selain itu juga santri sering saling bertukar pakaian, celana, handuk, dan sabun dengan santri lainnya yang menyebabkan penyebaran penyakit Scabies menjadi masif. Adapun keadaan kamar Asrama Putra Pondok Pesantren Hidayatullah Denpasar dapat diperhatikan pada gambar di bawah ini.

Gambar 1. Kondisi Kamar Asrama Putra Sumber: Dokumen Rian, 2021

Setiap kamar dihuni oleh delapan hingga sepuluh santri dengan fasilitas kipas angin yang kurang memadai sehingga membuat suasana kamar sangat gerah. Faktor kebersihan diri juga berpengaruh karena banyak santri yang saat gerah memilih untuk mendingingkan diri dengan cara mandi, yang dimana mandi saat kondisi berkeringat akan membuat kulit semakin mudah terkena berbagai bakteri karena kondisi pori-pori

yang sedang terbuka dan juga air yang tidak bersih mudah menjangkiti santri.

Dijelaskan lebih lanjut oleh pengasuh bahwa faktor santri terkena penyakit Scabies selain karena kebiasaan hidup yang jorok, makanan juga berpengaruh karena dapat menimbulkan alergi. Namun, Shabrina (2019) menjelaskan bahwa makanan bukan penyebab dari penyakit Scabies. Maka sebenarnya kita bisa mengonsumsi makanan apa saja, selama itu tidak menimbulkan reaksi alergi. Umumnya, reaksi alergi akan menyebabkan rasa gatal parah pada kulit yang mengalami Scabies. Untuk itu, perlu menghindari beberapa makanan pemicu alergi umum yang bisa meningkatkan gejala gatal Scabies.

Sifat dari penyakit ini yang dapat menular secara cepat pada suatu komunitas yang tinggal bersama, sehingga dalam pengobatannya harus dilakukan secara serentak dan menyeluruh pada semua orang dan lingkungan pada komunitas yang terserang penyakit Scabies. Hal ini disebabkan apabila dilakukan secara individual maka akan mudah tertular kembali (Maynora dkk., 2018: 100-112).

  • c.    Fase Penyakit

Fase adalah tingkatan perkembangan atau perubahan dari awal hingga akhir. Fase yang akan dibahas kali ini adalah fase penyakit Scabies yang ada pada santri di Pondok Pesantren Hidayatullah Denpasar. Fase-fase yang dijelaskan berdasarkan pengetahuan santri tentang penyakit ini dan juga penjelasannya mengenai apa yang dirasakan santri.

Berdasarkan penjelasan santri, fase awal yang dirasakan saat terjangkit Scabies adalah rasa gatal-gatal di area Scabies lalu secara reflek santri menggaruk rasa gatal tersebut. Pada tahap kedua ini, setelah digaruk maka akan muncul bintik-bintik kecil yang

menyebar dengan sangat cepat hanya membutuhkan waktu hitungan sejam atau dua jam. Dijelaskan pula langkah pertolongan pertamanya yakni area penyebaran tersebut dibasuhi dengan hand sanitizer agar bakteri tidak berkembang biak.

Bintik-bintik kecil yang menyebar merupakan area baru inkubasi tungau Scabei Sarcoptes dan akan menimbulkan rasa gatal yang lebih hebat lagi. Sehingga santri yang tidak mengambil langkah pertolongan pertama maka akan reflek untuk menggaruk secara terus menerus. Garukan yang berulang dan kasar akan menyebabkan luka yang terinfeksi bakteri sehingga akan timbul nanah dan darah kotor yang terkontaminasi kuman. Nanah dan darah kotor tersebut jika sudah sembuh akan menjadi borok atau biasa disebut koreng oleh santri. Koreng selanjutnya akan cepat hilang sama halnya seperti borok pada umumnya. Namun untuk bekas lukanya masih akan lama untuk hilang. Bekas ini yang menjadi tanda bahwa santri pernah terjangkit penyakit Scabies.

Kegiatan menggaruk merupakan sarana penyebaran yang sangat berpengaruh. Selain sebagai sarana penyebaran kegiatan menggaruk juga merupakan hal menjadi sebab luka dan borok pada kulit. Kegiatan menggaruk merupakan reflek terhadap respon tubuh, sehingga penderita penyakit Scabies merasa sangat susah untuk menghindari kegiatan ini. Upaya pencegahannya sebenarnya bisa dilakukan pada tahap mana saja tergantung tingkat kesadaran dan pengetahuan santri tentang penyakit Scabies ini. Bahkan dapat dicegah pada tahap pertama untuk meminimalisir kemungkinan tungau Scabei Sarcoptes berinkubasi di kulit.

  • d.    Dampak

  • (a)    dampak biologis adalah dampak yang dirasakan secara biologis pada

tubuh si penderita penyakit Scabies. Dampak biologis ini bisa berupa perubahan fisik maupun perasaan sakit yang dialami penderita. Berdasarkan penjelasan santri, penderita penyakit Scabies biasanya juga terkena penyakit bawaan seperti demam dan bisul, serta akan kesulitan untuk tidur apabila penyakit Scabies-nya sedang kambuh.

Penyebab adanya penyakit bawaan seperti yang diterangkan oleh santri di atasa adalah rendahnya sistem imunitas tubuh apabila sedang terjangkit penyakit Scabies sehingga virus atau bakteri lainnya dapat menyerang organ tubuh lain. Scabei Sarcoptes merupakan tungau yang pergerakannya aktif di malam hari atau dalam kondisi lembab sehingga pernyataan santri yang menerangkan bahwa kesulitan tidur saat penyakit Scabies-nya kambuh merupakan hal yang relevan.

Beberapa kasus parah terkait dampak biologis dari penyakit Scabies juga disampaikan oleh pengasuh yang menyebutkan bahwa penyebaran Scabies sampai membuat organ vital seperti alat kemaluan susah untuk melakukan fungsinya. Keparahan dampak biologis yang diderita santri akibat penyakit Scabies membuat santri harus dilarikan ke rumah sakit untuk operasi bahkan memakan waktu penyembuhan yang cukup lama. Kasus penyakit Scabies yang parah sering dialami oleh santri di Pondok Pesantren Hidayatullah Denpasar, beberapa santri bahkan harus dioperasi untuk menghilangkan bakteri yang ada pada darahnya.

Penyakit Scabies memberikan banyak dampak biologis yang cukup parah, antara lain: (rasa gatal yang mengganggu berbagai aktivitas, melemahkan imunitas tubuh sehingga membawa penyakit bawaan, kerusakan pada kulit penderita, bau nanah dan darah kotor yang cukup menyengat, dan bekas

luka yang susah untuk hilang sehingga mengganggu estetika tubuh.

  • (b)    dampak sosial yang ditimbulkan dari penyakit Scabies terhadap santri antara lain seperti diskriminasi sosial dan juga pembatasan-pembatasan santri dalam bersosial dengan lingkungannya. Dijelaskan lebih lanjut oleh santri bahwa dirinya pernah merasakan diskriminasi dan juga pernah merasakan perundungan yang dilakukan oleh teman-temannya yang belum terjangkit penyakit Scabies.

Lebih lanjut, dijelaskan bahwa diskriminasi dan perundungan yang terjadi di Pondok Pesantren Hidayatullah Denpasar terhadap penderita penyakit Scabies terjadi karena santri baru yang belum tertular ingin menjaga agar tidak tetular penyakit tersebut. Namun dampak positif yang dirasakan saat terjangkit penyakit Scabies adalah timbulnya rasa solidaritas sesama penderita. Banyak santri yang merasa bangga saat dirinnya pernah terjangkit penyakit Scabies dikarenakan santri merasa bahwa penyakit Scabies adalah suatu simbol dirinya telah diakui sebagai santri.

Dampak sosial lain yang ditimbulkan akibat penyakit Scabies adalah terganggunya aktivitas Kegiatan Belajar Mengajar. Santri yang terjangkit penyakit Scabies dengan kondisi yang tidak memungkinkan untuk beraktivitas akan diistirahatkan dan tidak diperbolehkan mengikuti kelas Kegiatan Belajar Mengajar baik yang formal maupun non formal, sehingga untuk pelajarannya akan diberikan tugas khusus oleh pengasuh. Tentu kondisi ini akan membuat santri ketinggalan pelajaran.

Pada kondisi sangat parah, santri yang terjangkit penyakit Scabies dan tidak memungkinkan untuk ditangani oleh pengasuh maka akan dipulangkan untuk berobat di Rumah Sakit. Beberapa santri yang jenuh dengan kehidupan di pondok pesantren merasa bahwa diistirahatkan dan dipulangkan

merupakan suatu hal yang menyenangkan sehingga beberapa santri tersebut menjadikan alasan terjangkit penyakit Scabies sebagai cara untuk pulang.

Perilaku Kesehatan terhadap Penyakit Scabies di Pondok Pesantren Hidayatullah Denpasar

Menurut Notoatmodjo (2003: 135) perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang (organisme) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan. Batasan ini mempunyai dua unsur pokok, yakni respons dan stimulus atau perangsangan. Respons atau reaksi manusia, baik bersifat pasif (pengetahuan, persepsi, dan sikap), maupun bersifat aktif (tindakan yang nyata atau praktis), sedangkan stimulus atau rangsangan di sini terdiri 4 unsur pokok, yakni: sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan dan lingkungan.

Pada pembahasan ini, akan dijelaskan tentang perilaku kesehatan yang ada di Pondok Pesantren Hidayatullah Denpasar khususnya perilaku kesehatan terhadap penyakit Scabies. Selain itu akan dipaparkan pula hasil dari penelitian tentang bagaimana saja perilaku-perilaku santri dan pengasuh di Pondok Pesantren Hidayatullah Denpasar yang terkait dengan kesehatan terhadap penyakit Scabies.

  • a.    Perilaku terhadap Sakit dan Penyakit

  • (a)    Perilaku Peningkatan dan Pemeliharaan Kesehatan. Perilaku santri dan pengasuh di Pondok Pesantren Hidayatullah Denpasar yang berkaitan dengan ini antara lain seperti makan teratur, olahraga, serta mengkonsumsi sayur-sayuran. Perilaku peningkatan dan pemeliharaan kesehatan di Pondok Pesantren Hidayatullah Denpasar sudah

dijalankan dengan maksimal. Kehidupan di pondok pesantren terdapat aktivitas harian yang padat dan sudah terjadwal dengan baik, sehingga melatih santri untuk hidup disiplin. Selain aktivitas yang sehat, pengasuh juga selalu mengupayakan agar para santri mengkonsumsi sayur-sayuran setiap hari agar kebutuhan gizinya terpenuhi.

  • (b)    Perilaku Pencegahan Penyakit. Berdasarkan hasil wawancara, pengasuh Pondok Pesantren Hidayatullah Denpasar mengungkapkan bahwa upaya pencegahan penyakit Scabies di lingkungan Pondok Pesantren Hidayatullah Denpasar belum cukup berhasil walaupun sudah diberlakukan dengan berbagai cara. Berbagai metode untuk mencegah penyakit Scabies telah diterapkan antara lain seperti dibuatkan sistem absen mandi, absen ganti baju, hingga selalu diingatkan untuk berperilaku hidup bersih dan sehat serta menghilangkan kebiasaan yang jorok. Namun upaya tersebut juga belum berhasil untuk menanggulangi penyakit Scabies.

Sistem pencegahan yang telah dibuat di Pondok Pesantren Hidayatullah Denpasar tidak dibarengi dengan penekanan yang maksimal sehingga walaupun sistem yang dibuat diharapkan dapat mencegah penyakit Scabies namun kenyatannya angka penyebaran penyakit Scabies di Pondok Pesantren Hidayatullah Denpasar masih terbilang cukup tinggi. Pengasuh menjelaskan bahwa upaya pencegahan tidak dijalankan dengan maksimal karena beberapa alasan. Seperti misalnya, pengasuh masih kesusahan dalam memperoleh informasi alergi makanan dari santri sehingga menyebabkan upaya pencegahan penyakit Scabies tidak berjalan maksimal.

Selain itu, santri di Pondok Pesantren Hidayatullah Denpasar menjelaskan, bahwa terdapat perilaku

jorok dari santri yang menyebabkan pencegahan penyakit Scabies tidak berjalan dengan baik. Tradisi saling pinjam-meminjam pakaian adalah hal yang sering terjadi di kalangan santri. Walaupun upaya pencegahan yang sudah diterapkan oleh pengasuh sudah benar namun apabila kesadaran dan perilaku santri tentang kebersihan masih kurang, maka akan menjadi sarana penyebaran penyakit Scabies.

Terdapat protokol kesehatan untuk mencegah penyakit Scabies yang sudah diterapkan sejak awal berdirinya Pondok Pesantren Hidayatullah Denpasar dan juga sudah berkali-kali pengasuh melakukan revisi agar sesuai dengan keadaan santri. Beberapa protokol yang diterapkan antara lain seperti mandi sehari minimal 2 kali, cuci tangan, cuci kaki, bahkan wudhu sebelum tidur.

  • (c)    Perilaku Pencarian Pengobatan. Berbagai cara penyembuhan terhadap penyakit Scabies telah dilakukan di Pondok Pesantren Hidayatullah Denpasar mulai dari cara modern seperti penggunaan obat-obatan dari dokter hingga cara tradisional seperti mandi di pantai. Pengasuh di Pondok Pesantren Hidayatullah Denpasar menjelaskan bahwa penggunaan segala jenis obat-obatan untuk penyembuhan penyakit Scabies tidak mendapatkan hasil terlalu signifikan, akan tetapi penggunaan metode penyembuhan tradisional seperti mandi di pantai dirasakan lebih efektif untuk mengobati penyakit Scabies.

Pantai merupakan sarana untuk pengobatan penyakit Scabies yang ampuh. Pengasuh meyakini kandungan garam yang ada di laut dapat mengeringkan Scabies yang ada pada santri. Metode penyembuhan penyakit Scabies menggunakan cara mandi di pantai diyakini sudah ada sejak dahulu, pengasuh memperoleh informasi metode penyembuhan tersebut berdasarkan

informasi dari ustadz yang sudah sesepuh.

Pantai yang dipilih sebagai tempat untuk mandi adalah pantai Sanur dan pantai Mertasari. Jadwal yang ditentukan untuk ke pantai adalah jadwal libur seperti hari Sabtu sore dan juga hari Minggu (Ahad). Pengasuh terdahulu mendapatkan metode ini melalui percobaan-percobaan yang bersifat empiris lalu merasionalkannya dengan menyebutkan bahwa pada air laut terdapat kandungan garam yang tinggi dan efektif untuk mengobati penyakit Scabies. Ketika mendapatkan kesimpulan bahwa terbukti metode mandi di pantai merupakan cara yang paling efektif untuk mengobati penyakit Scabies maka akan diajarkan turun-temurun kepada generasi selanjutnya.

Meskipun begitu pengasuh juga menjelaskan bahwa tidak menolak penggunaan cara modern seperti konsumsi obat-obatan dari dokter, akan tetapi hanya dilakukan untuk mengatasi penyakit Scabies dengan skala yang kecil namun apabila kasus Scabies bertambah parah maka pengasuh akan segera membawa santri ke pantai sebagai bentuk pengobatan alternatif untuk mengobati penyakit Scabies. Pengasuh juga menjelaskan bahwa obat-obatan dari dokter untuk mengatasi penyakit Scabies sudah disediakan tiap-tiap asrama.

Terdapat pula metode pengobatan alternatif di Pondok Pesantren Hidayatullah Denpasar untuk penanganan pertolongan pertama apabila gatal-gatal akibat penyakit Scabies sedang kambuh. Tungau Sarcoptes Scabiei merupakan tungau yang pergerakannya aktif di malam hari sehingga pada malam hari santri yang terjangkit penyakit Scabies akan sangat menderita akibat gatal-gatal yang pergerakan Tungau Sarcoptes Scabiei. Santri biasanya melakukan pertolongan pertama untuk mengurasi sakit rasa gatal akibat penyakit Scabies.

Pertolongan pertama yang dilakukan biasanya adalah dengan mengompres area gatalnya dengan air panas.

  • (d)    Perilaku Pemulihan Kesehatan. Perilaku santri dan pengasuh di Pondok Pesantren Hidayatullah Denpasar yang berkaitan dengan ini antara lain seperti menyuruh santri untuk istirahat apabila lukanya masih belum kering dan masih tidak bisa melakukan kegiatan. Selain itu juga, berdasarkan hasil wawancara dengan pengasuh, bahwa setiap pengasuh memiliki caranya masing-masing untuk memulihkan santri yang telah sembuh dari sakit. Terdapat pengasuh yang hanya merawatnya di asrama, seperti hanya memberikan obat maupun memberikan makanan. Namun terdapat juga pengasuh yang peduli dengan kondisi santri akan membawanya ke dokter untuk menjalani perawatan.

  • b.    Perilaku terhadap Sistem Pelayanan

Kesehatan

Santri dan pengasuh di Pondok Pesantren Hidayatullah Denpasar bukan merupakan pihak yang anti dengan pengobatan modern walaupun dijelaskan sebelumnya bahwa memang lebih percaya kepada pengobatan tradisional karena berdasarkan pengalaman empirisnya lebih berhasil menyembuhkan menggunakan metode pengobatan tradisional. Dijelaskan bahwa jika berobat ke dokter hanya diberikan obat-obatan berupa salep. Selain itu juga terdapat pengobatan dengan metode sikat yang dilakukan oleh dokter namun memberikan efek yang sangat perih sampai membuat santri menangis, walaupun diakui pengobatan ini memang ampuh. Harga salep juga berpengaruh terhadap kualitas penyembuhan.

Pengasuh juga menjelaskan bahwa fasilitas pelayanan kesehatan setempat masih jarang melakukan penyuluhan dan program kesehatan di Pondok Pesantren Hidayatullah Denpasar. Menurut

keterangan pengasuh, penyuluhan di Pondok Pesantren Hidayatullah Denpasar terakhir pada tahun 2017 dan juga pengasuh berharap agar diadakan program pelayanan kesehatan dari dinas terkait agar imunitas santri lebih kebal terhadap penyakit Scabies.

  • c.    Perilaku terhadap Makanan

Makanan yang disajikan di Pondok Pesantren Hidayatullah Denpasar sebenarnya sudah dijadwal dan ditentukan menunya setiap hari namun karena keterbatasan kesediaan bahan makanan maka untuk menu yang disajikan disesuaikan dengan kesediaan bahan makanan yang ada.

Santri dan pengasuh meyakini bahwa terdapat makanan pantangan yang menyebabkan alergi dan memperparah keadaan penyakit Scabies seperti telur, udang, ikan, dan lain-lain. Namun karena menu yang disajikan kepada santri sama semua, beberapa santri yang alergi mau tidak mau harus ikut makan juga. Seperti contohnya jika menu lauk yang disajikan pada hari Senin adalah telur akan tetapi terdapat santri yang alergi telur maka santri tersebut harus rela tidak makan dengan lauk. Hal ini yang membuat santri ragu untuk melaporkan alerginya, sehingga dapat memperparah gatal-gatalnya apabila sedang terjangkit penyakit Scabies.

  • d.    Perilaku terhadap Lingkungan

Kesehatan

Pengasuh menjelaskan bahwa kebersihan lingkungan di area Pondok Pesantren Hidayatullah Denpasar sangat terjaga. Dalam sehari santri diwajibkan untuk membersihkan lingkungannya minimal sebanyak dua kali yakni pagi hari dan sore hari. Selain itu juga pengasuh menjelaskan bahwa tidak menimbun sampah di kawasan asrama lebih dari tiga hari.

Berdasarkan keterangan pengasuh, santri bersama-sama mempunyai kewajiban untuk menjaga kebersihan lingkungan di area asrama melalui piket rutin yang dilaksanakan pada pagi dan sore hari. Pengasuh juga tidak suka menimbun sampah karena dikhawatirkan akan terjadi banyak dampak yang tidak baik seperti pencemaran udara maupun penyakit lain yang disebabkan oleh sampah. Kebutuhan air mandi diperoleh dari air sumur yang disimpan dalam tandon sementara untuk kebutuhan air minum didapat dari membeli air mineral kemasan galon yang dibeli melalui toko terdekat.

SIMPULAN

Santri di Pondok Pesantren Hidayatullah Denpasar menganggap bahwa penyakit Scabies merupakan ciri khas dan simbol solidaritas santri. Perilaku hidup santri yang jorok dan faktor alergi makanan menjadikan penyebab penyakit Scabies tumbuh dan menyebar di lingkungan Pondok Pesantren Hidayatullah Denpasar. Fase-fase penyakit Scabies yang dialami santri berkembang karena kegiatan menggaruk serta minimnya upaya santri untuk mencegah. Penyakit Scabies memberikan dampak yang sangat besar bagi santri baik secara biologis seperti rasa gatal dan sakit maupun sosialnya seperti diskriminasi dan pembatasan Kegiatan Belajar Mengajar.

Pengasuh di Pondok Pesantren Hidayatullah Denpasar telah mengupayakan agar santri dapat terhindar dari penyakit Scabies dengan cara membuat sistem kebersihan, namun kurangnya kesadaran santri tentang kebersihan diri maupun lingkungannya menjadikan segala upaya pencegahan menjadi kurang maksimal. Baik santri maupun pengasuh sepakat lebih memilih pengobatan alternatif untuk menangani penyakit Scabies seperti mandi di pantai

dan kompres karena dirasa memiliki efek yang manjur. Namun santri dan pengasuh juga tidak menolak pelayanan kesehatan modern. Penyajian makanan yang disamakan membuat santri yang memiliki alergi semakin kambuh apabila sedang terjangkit penyakit Scabies. Santri juga senantiasa diingatkan untuk menjaga kebersihan lingkungan melalui piket kebersihan harian.

REFERENSI

Foster, G.M., & Anderson, B.G. (2006).

Antropologi Kesehatan. UI-Press.

IDI (Ikatan Dokter Indonesia). (2017). Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia.

Kurniawan, B., & Prabowo, M. (2016). “Pengaruh Pengetahuan dengan Pencegahan Penyebaran Penyakit Skabies”. Majority, 5(2), pp. 6368.

Maynora, C.T., Subchan, P., & Widodo, A. (2018). “Pengaruh Sanitasi Lingkungan Terhadap Prevalensi Terjadinya Penyakit Scabies di Pondok Pesantren Matholiul Huda Al-Kautsar Kabupaten Pati”. Jurnal Kedokteran Diponegoro, 7(1), pp. 100-112.

https://doi.org/10.14710/dmj.v7i1.1 9354

Biak)”. Jurnal Ilmu Budaya, 6(2), pp. 196-206.

Shabrina, A. (2019, November 15). “4 Pantangan yang Harus Dipatuhi Oleh Orang Penderita Kudis”. HelloSehat https://hellosehat.com/penyakit-kulit/infeksi-kulit/pantangan-untuk-kudis/

Wulandari, A. (2018). “Hubungan Personal Hygiene dan Sanitasi Lingkungan dengan Kejadian Skabies Pada Santri di Pesantren Ulumul Qur’an Kecamatan Bebesen Kabupaten Aceh Tengah”. Global Health Science, 3(4), pp.

322-328.

Mutiara, H., & Syailindra, F. (2016). “Skabies”. Majority, 5(2), pp. 3742.

Notoatmodjo, S. (2003). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta.

Romarak, A. (2018). “Snap Mor (Tradisi

Penangkapan Ikan Masyarakat