DOI: https://doi.org/10.24843/SP.2022.v6.i01.p03

p-ISSN: 2528-4517

Menyelisik Keberadaan Seni Kriya Keris Pusaka pada Era Globalisasi (Studi Kasus Perajin Keris di Desa Aeng TongTong Kecamatan Seronggi Kabupaten Sumenep Madura)

Nur Laila Wulandari*, I Nyoman Suarsana, A.A. Ayu Murniasih

Program Studi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana [nurlw1899@gmail.com] [inyoman_suarsana@unud.ac.id] [ayu_murniasih@unud.ac.id]

Denpasar, Bali, Indonesia *Corresponding Author

Abstract

Research on the Existence of Heirloom Keris in the Era of Globalization (Case Study of Keris Craftsmen in Aeng Tong-Tong Village, Sumenep Madura) originated in the global era, keris is seen as an object that has its own elements and advantages. This study tries to examine the existence of heirloom kerises in the current era of globalization which is starting to develop. The main problem in this research is focused on the existence of heirloom kerises in Aeng TongTong Village in the era of globalization. The theory used in this study uses the theory of symbolic interactionism and the theory of functionalism. The approach used is a qualitative approach with the type of descriptive-qualitative research. Data collection techniques used are observation, interviews, documentation, and literature studies. The results of the study reveal that the kris as a cultural artifact, in the development of the era of globalization, is faced with two choices. First, the conservation view requires that all cultural forces are always oriented to the past, so they must maintain the core values of that culture. Second, the progressive view requires changes that lead to cultural modernization.

Keywords: Keris, Aeng Tong-Tong Village, Development and Globalization

Abstrak

Penelitian Membedah Keberadaan Keris Pusaka pada Era Globalisasi (Studi Kasus Perajin Keris di Desa Aeng Tong-Tong Sumenep Madura) berawal pada era global, keris dipandang sebagai benda yang memiliki unsur dan kelebihan tersendiri. Penelitian ini mencoba untuk mengkaji keberadaan keris pusaka di era globalisasi saat ini yang mulai berkembang. Pokok permasalahan pada penelitian ini difokuskan kepada eksistensi keris pusaka di Desa Aeng Tong-Tong pada era globalisasi. Teori yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teori interaksionalisme simbolik dan teori fungsionalisme. Pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif-kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan ialah teknik observasi, wawancara, dokumentasi, dan studi pustaka. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa keris sebagai artefak budaya, dalam perkembangan era globalisasi dihadapkan oleh dua pilihan. Pertama, pandangan konservasi menghendaki segala kekuatan budaya yang selalu berorientasi pada masa lalu, sehingga harus mempertahankan nilai pokok dari budaya itu. Kedua, pandangan progresi menghendaki adanya perubahan yang mengarah pada modernisasi budaya.

Kata Kunci: Keris, Desa Aeng Tong-Tong, Perkembangan dan Globalisasi

Sunari Penjor : Journal of Anthropology

Prodi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Unud

PENDAHULUAN

Globalisasi merupakan suatu proses integrasi internasional yang terjadi karena pertukaran pandangan dunia, produk, pemikiran, dan aspek-aspek kebudayaan lainnya. Banyak perubahan yang terjadi dalam globalisasi tersebut, seperti: pandangan mengenai makna dan fungsi suatu nilai dari kesenian. (Welianto, 2019).

Kesenian timbul dan merupakan bagian terpenting dari pengalaman hidup manusia dalam mencari, menikmati dan mengagumi keindahan. Bentuk-bentuk keindahan yang beraneka ragam itu timbul dari imajinasi yang kreatif dan memberikan kepuasan batin bagi manusia. Dalam kesenian terpancarlah suatu kegairahan jiwa yang dapat melepaskan ketegangan-ketegangan yang dirasakan manusia dalam kehidupan sehari-sehari dan membawanya masuk ke dalam suatu dunia yang penuh keindahan dan kebesaran. Kesenian merupakan salah satu unsur universal dalam suatu kebudayaan (Koentjaraningrat, 1996: 8081) contohnya: Keris.

Keris sebagai hasil budaya merupakan karya manusia yang akrab dengan masyarakatnya. Bahkan keris mampu memberikan nilai dan citra simbolik yang diyakini oleh masyarakat sebagai satu bentuk kebudayaan yang adiluhung (klasik). Kini menjadi warisan budaya yang perlu dilestarikan karena dianggap mempunyai nilai dan simbol dalam kehidupan masyarakat Jawa, Bali dan Madura. Berkaitan nilai dan simbol, triguna, Triguna (1997) menjelaskan tentang nilai dan simbol. Secara etimologi kata simbol berasal dari bahasa Yunani yaitu sumballo (sumballien) yang berarti berwawancara, merenungkan, memperbandingkan, menyatukan. Simbol merupakan mengutarakan dua hal yang disatukan dan berdasarkan dimensinya. Nilai berkaitan dengan sesuatu yang dianggap berharga, sedangkan simbol

selain memiliki fungsi tertentu juga dapat dimanfaatkan sebagai identitas komunitasnya. Suatu simbol menerangkan fungsi ganda yaitu transenden vertikal (berhubungan dengan acuan, ukuran, pola masyarakat dalam berperilaku), dan imanen horisontal (Sebagai wahana komunikasi berdasarkan konteksnya dan perekat hubungan solidaritas masyarakat pendukungnya) (Wibawa, 2008: 72).

Keris bukanlah sekedar jenis senjata tikam untuk mempertahankan diri bagi prajurit atas serangan musuh di zaman kerajaan masa lampau, tetapi benda yang lebih di kenal dengan Tosan Aji (senjata pusaka tradisional yang terbuat dari besi dan dianggap sebagai pusaka) itu merupakan simbol kekuasaan yang dianggap mengandung mitos tertentu seperti: adanya ganjaran jika tidak menjaga pusaka itu dengan baik dan sesuai dengan aturannya dan juga keris mempunya nilai kesejahteraan yang oleh sebagian dari mereka di jadikan sebuah ideologi. Kuatnya ideologi dan pengakuan mitos terhadap keris mengakibatkan ia mampu membuat sekat-sekat sosial dan budaya pada masyarakat komunitasnya. Bahkan keris direpresentasikan mampu menggeser nilai budaya yang dianggap adi luhung ( hasil seni budaya yang bernilai) itu menjadi nilai ekonomi bagi komunitas masyarakat yang keberadaannya selalu dipertahankan. Karena keris memiliki nilai mitos baik secara kultural dan historis, ia mampu bertahan dan eksis menjadi komoditas ekonomi di tengah masyarakat komunitasnya.

Di dalam perjalanannya keris adalah senjata tradisional yang menyebar tak hanya di wilayah pulau jawa namun hingga ke Bali bahkan pulau Madura bagian timur tepatnya di Kabupaten Sumenep. Di Madura sendiri keberadaan keris konon bermula di era Sumenep dipimpin oleh seorang Adipati Aria

Wiraraja tahun 1269. Saat mulanya periode kehidupan kalangan keraton mulai berkembang dan terbentuknya culture ke arah kehidupan feodalisme aristokrat, keraton Sumenep menyimpan berbagai jenis senjata keris pusaka yang berkualitas tinggi baik dari segi pamor, besi, bentuk hingga sifatnya yang mistis yakni tuah.

Syaifuddin (2008) menggambarkan bahwa bentuk keris berawal dari senjata tusuk genggam sederhana setelah melalui fase zaman sampai akhirnya mencapai tradisi bentuk yang sempurna. Hal itu tercermin pada kesempurnaan bentuk visual yang terkait dengan fungsinya secara kompleks (Supriaswoto, 2016: 1). Dahulu kala bilah besi tempa ini dibuat sebagai senjata hanya berupa besi pipih memanjang yang berkelok yang disebut keris, keris adalah salah satu dari sekian banyak senjata tradisional yang dimiliki oleh negeri bahkan keris juga diakui oleh UNESCO pada tahun 2015 sebagai salah satu kekayaan warisan dunia pada kategori non bendawi. Bilah keris dibuat tidak hanya bersifat tajam dan runcing saja, tetapi juga simbolik dan artistik mengandung ciri khas berdasarkan zaman tertentu sesuai tempat asal-usul keris dibuat. Capaian bentuk keris secara kronologis ternyata memerlukan waktu berkembang cukup lama, berabad-abad tumbuh menjadi tradisi dan mencapai bentuk sempurna seperti keris sekarang. Desa Aeng Tong-Tong telah dinobatkan sebagai desa perajin keris terbanyak di Asia bahkan dunia. Sebagai salah satu benda pusaka warisan dunia, keris menjadi barang yang diminati oleh pecinta keris. Terdapat 694 orang perajin keris di Sumenep pada data tahun 2018, mayoritas berasal dari Desa Aeng TongTong dengan jumlah perajin keris sebanyak 325 orang. Persebaran perajin keris lainnya terdapat di Kecamatan Bluto sebanyak 294 orang dan

Kecamatan Lenteng hanya 75 orang. (Rifai, 2018).

Keris adalah sebuah tosan aji yang memiliki makna bagi pemiliknya, misteri ghaib, nilai-nilai spiritual, dilengkapi dengan etika dalam melaksanakannya, tuah yang positif maupun negatif, dan secara fisik adalah sebuah benda seni asli Indonesia yang bernilai tinggi dan perlu dihargai dan dikenal dengan baik. Bagi masyarakat Madura khususnya di kabupaten Sumenep keris masih menjadi sebuah piranti yang tidak dapat dipisahkan saat mengenakan baju adat juga sebagai suatu simbol kewibawaan khususnya bagi kaum laki-laki.

Dalam budaya jawa dan sebagian masyarakat Sumenep, masyarakat meyakini bahwa keris harus dijaga dengan cara perawatan khusus untuk menjaga agar kekuatan fisiknya bisa bertahan dan agar tidak muncul karat.

Bagi sebagian masyarakat Sumenep, pusaka atau keris dipandang sebagai benda yang memiliki unsur dan kelebihan tersendiri, baik dari segi budaya estetika maupun mistik sehingga sampai saat ini tradisi memelihara pusaka sekaligus merawatnya juga tetap terjaga terlebih di awal tahun berdasarkan kalender bulan yang dikenal dengan tgl 1 Muharram atau satu suro ada tradisi penjamasan pusaka (kegiatan mencuci senjata yang dianggap memiliki nilai). Tradisi tersebut dilakukan untuk menjaga pusaka agar besinya tidak rusak akibat karat juga sebagai bentuk penghormatan terhadap tradisi leluhur. Apalagi setiap pusaka dibuat dengan ritual khusus yang kaya dengan doa yg dipanjatkan sesuai dengan apa yg dihajatkan oleh sang pembuat. Di era globalisasi jenis keris bertambah, tidak hanya keris pusaka namun ada juga keris yang digunakan sebagai souvenir saja yang tidak sesakral pada jenis keris pusaka dahulu yang mempunyai ritual khusus dalam pembuatannya, menjadi fenomena yang menarik untuk diteliti.

Berdasarkan uruain di atas masalah yang dikaji dalam penelitan ini dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: (1) Mengapa perajin keris pusaka di Desa Aeng Tong-Tong tetap eksis pada era globalisasi? (2) Bagaimana pandangan perajin keris mengenai makna dan fungsi keris pusaka di era globalisasi ini.

METODE

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-kualitatif yang difokuskan pada perajin keris di Desa Aeng TongTong Kec. Sumenep Madura. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik observasi, wawancara, dokumentasi, dan studi pustaka. Data-data tersebut dianalisis dengan teknik analisis kualitatif yang mengunakan metode triangulasi data dengan melalui proses reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keris digunakan untuk pertahanan diri (misalnya sewaktu berperang) dan sebagai alat kebesaran raja. Walaupun tergolong jenis senjata tikam, keris dibuat bukan semata-mata untuk membunuh, keris lebih bersifat sebagai senjata dalam pengertian simbolik. Keris dibuat terutama untuk digunakan sebagai pusaka atau sipat kendel (keris mengemban harapan dari si pembuat atau empu dan si pemakai (pemilik), yang dipercaya dapat melindungi serta memberi keselamatan dan kesejahteraan, juga memiliki kekuatan gaib, pendek kata keris dapat dimanfaatkan tuahnya, sehingga memberikan bantuan keselamatan bagi pemiliknya dan orang di sekitarnya. Setiap bentuk atau pamor keris yang dibuat memiliki makna yang berbeda-beda.

Keris lebih bersifat sebagai senjata dalam pengertian simbolik, senjata dalam

artian spiritual. Dalam kehidupan, keris sebenarnya hampir meliputi berbagai aspek dalam kehidupan dan kegiatan budaya sesuai dengan kondisi dan situasi daerah setempat. Di antaranya adalah fungsi filosofis, fungsi kelengkapan busana-estetika, identitas sosial, identitas bangsa, fungsi etika, fungsi spritual dan fungsi ekonomi.

Pandangan Perajin Keris Desa Aeng Tong-Tong Mengenai Fungsi dan Makna Keris Pusaka pada Era Globalisasi

Desa Aeng Tong-Tong merupakan desa yang pekerjaan masyarakatnya membuat beragam jenis pusaka seperti badik, kujang, cengkrong dan pedang. Namun, mayoritas masyarakat Desa Aeng Tong-Tong membuat keris . keris yang dijual di Desa Aeng Tong-Tong beragam jenisnya yaitu:

  • a.    Keris Ageman, keris yang dipakai khusus pribadi dan biasanya dipesan khusus oleh empu profesional. Empu profesional yang ada di Desa Aeng Tong-Tong bisa dihitung dengan jari. Kisaran harga keris pribadi itu minimal 10 juta.

  • b.    Keris koleksi, yaitu keris yang memiliki kualitas menengah yang layak untuk dikoleksi, dijual dengan harga minimal 5 juta.

  • c.    Keris cindramata, ialah keris yang biasanya diperuntukkan pada acara-acara tertentu, sebagai souvenir yang diberikan kepada tamu kehormatan, keris cindramata itu harganya kisaran 1 juta – 5 juta.

  • d.    Keris souvenir itu biasanya didiberikan kepada tamu undangan seperti di acara hajatan atau perkawinan, yang mengundang undangan dari luar desa. Karena kalau orang luar biasanya lebih menghargai budaya keris sehingga banyak pesanan, khususnya dari Malaysia yang berjumlah ratusan

bahkan ribuan itu yang kebanyakan diberikan kepada tamu undangan ketika ada acara hajatan perkawinan. kisaran harganya berawal dari 100,000 -1 juta.

Perajin keris Desa Aeng Tong-Tong mengenal beberapa fungsi dari keris itu sendiri. Namun di era saat ini para perajin keris/ empu keris Desa Aeng Tong-Tong bekerja sebagai empu keris untuk menafkahi keluarga, kebutuhan pokok dari kehidupan mereka. Di lain sisi pekerjaan perajin keris merupakan warisan leluhur Desa aeng Tong-Tong yang diwariskan oleh generasi sebelumnya. Di era globalisasi, fungsi keris yang paling dirasakan oleh para perajin keris adalah fungsi ekonomi/komuditas untuk kesejahteraan keluarga. Seperti yang diutarakan oleh Asmoyo (70) seorang perajin pusaka di Desa Aeng Tong-Tong mengutarakan:

“di era sekarang, fungsi keris yang paling menonjol itu fungsi ekonomi, karena keris saat ini sudah mendunia membuat masyarakat di sini jadi lebih sejahtera, karena pesanan keris semakin meningkat” (Wawancara, 13 Maret 2021).

Dari pernyataan di atas, fungsi yang paling bisa di rasa di era saat ini adalah fungsi ekonomi. Fungsi ini semakin terasa di era saat ini karena persebaran keris yang mendunia membuat masyarakat semakin mengetahui adanya budaya keris.

Pernyataan di atas juga ditegaskan oleh Junaidi (34) seorang perajin keris mengutarakan:

“keris dahulu lebih mengedepankan dari sisi kepercayaan atau tuah, kalau di era sekarng keris lebih terasa sebagai pendongkrak ekonomi, terlebih persebarannya yang sudah semakin mendunia, perbedaan empu dulu dan sekarang juga berbeda” (Wawancara, 13 Maret 2021).

Pernyataan di atas, menegaskan bahwa fungsi keris di era globalisasi semakin terasa dari segi ekonomi, namun tidak mengubah semua fungsi yang memang sudah ada sejak dahulu. Keris memiliki banyak fungsi serta makna yang tekandung dari sebilah keris.

Makna-makna yang dipahami oleh pecinta keris itu merupakan hasil dari interaksi setiap individu satu dengan individu lainnya yang akhirnya menghasilkan interpretasi dari “sharing” mengenai makna dari sebilah keris sehingga terjadi kesamaan pemahaman terhadap makna keris tersebut. seperti contohnya : pecinta keris yang tidak terlalu mempercayai adanya tuah keris atau ‘isi’ keris, setelah bertemu dengan seorang pecinta keris yang mempercayai adanya isi keris tersebut, mereka melakukan sharing atau diskusi sehingga individu ini memiliki pemahaman dan kepercayaan yang sama. Pemahaman makna-makna tersebut berawal dari pemahaman dari seorang perajin keris/empu keris yang didapat dari generasi sebelumnya yang diwariskan kepada generasi saat ini.

Pada era globalisasi saat ini, pemahaman atas makna dari sebilah keris bagi empu keris pada zaman dahulu dan zaman sekarang memiliki sedikit perbedaan dalam aspek kesakralan serta pada posisi zaman. Dari segi pembuatan keris saat ini tidak jauh berbeda dengan pembuatan keris pada zaman dahulu, yaitu masih menggunakan alat tradisional seperti gerinda, dan alat-alat lainnya.

Dalam segi pembuatan keris atau tosan aji oleh empu biasanya dibedakan dalam dua cara. Ada empu yang hanya membuat keris-keris tayuhan, yang berarti keris tersebut melulu hanya untuk hiasan atau dipakai sebagai kelengkapan busana di dalam acara-acara biasa dan istimewa. Empu ini juga membuat keris-keris yang juga diperuntukkan sebagai cenderamata atau souvenir.

Di samping itu ada pula empu yang membuat keris-keris pusaka ageman. Perbedaan besar dalam pembuatan kedua jenis keris itu terletak pada pembuatan, bahan dan ubarampe-nya.

Pandangan empu keris khsusnya Desa Aeng Tong-Tong mengenai keris pusaka di era saat ini masih belum berubah, perihal dari proses pembuatannya sampai perawataannya. Namun, dalam segi kesakralan keris zaman dahulu dengan sekarang memang memiliki perbedaan. Yaitu kesakralan tuah atau magis dari sebilah keris. Keris zaman dahulu memiliki ritual khusus seperti budaya pada zaman dahulu, seperti : dalam membasuh keris menggunakan air dari beberapa sumber, menggunakan bunga dengan jumlah 7 rupa, dan lain sebagainya.

Seperti penuturan Agus Nadi (40) seorang perajin keris di Desa Aeng TongTong mengutarakan:

“kalau keris sekarang itu kan tidak ada ‘isi’, kalau mau di isi ya bisa, tapi beda sama keris zaman dulu, kalau yang sekarang itu sepertinya tidak ada atau jarang. Kalau mau di isi arus pake ritualritual dulu, seperti harus mencari air dari beberapa sumber” (Wawancara, 13 Maret 2021).

Pernyataan di atas, merupakan perlambang kata ‘isi’ mengacu pada tuah atau daya magis keris, keris memang terkenal dengan tuahnya, ada yang membawa pada keberuntungan, kesejahteraan, bahkan kematian. Namun, tuah keris pada zaman dahulu dipercaya kesaktiannya. Era saat ini perihal pandangan ‘isi’ keris merupakan suatu suyektivitas, ada sebagian yang percaya dengan tuah keris ada juga yang tidak, ini merupakan kepercayaan seseorang. Di era saat ini makna keris lebih pada seni kreativitas dari sebilah keris.

Seperti juga yang diutarakan oleh Hermanto (49) seorang perajin keris dari

tahun 1991 di Desa Aeng Tong-Tong mengutarakan:

“masalah perbedaan antara keris saat ini dan dulu itu tidak ada perbedaannya ya, hanya karena zaman saja. Karena kita buku keris itu, pertama sudah ada pakem keris, mungkin dari segi kesakralannya saja” (Wawancara, 13 Maret 2021).

Dari beberapa pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa makna keris saat ini dan zaman dulu maknanya masih tetap sama, karena perbedaan zaman saja yang membedakan. Dari sebilah keris mengandug banyak makna yang di sampaikan melalui seni tempa oleh sang empu.

Eksistensi Keris Pusaka pada Era Globalisasi

Era globalisasi membawa dinamika kehidupan seni budaya, kini mulai terpengaruh oleh perkembangan teknologi dan informasi yang semakin maju. Sebagai artefak budaya, keris dalam perkembangan selanjutnya akan dihadapkan oleh dua pilihan. Pertama, pandangan konservasi menghendaki segala kekuatan budaya yang selalu berorientasi pada masa lalu, sehingga harus mempertahankan nilai pokok dari budaya itu. Apa yang terjadi saat ini terdapat komunitas atau paguyuban yang masih cenderung pada perlakuan konservatif. Perlakuan konservatif dalam konteks keris adalah merawat benda-benda kuno termasuk keris, mengadakan upacara-upacara tradisinya seperti “pasupati” di Bali.“Sidikara Pusaka” di Jawa dan upacara penjamasan keris pusaka di Desa Aeng Tong-Tong. Kedua, pandangan progresi menghendaki adanya perubahan yang mengarah pada modernisasi budaya. Maka dalam situasi progresif beberapa aspek keris yang telah tertanam sebagai nilai pokok budaya keris akan ‘berubah’ atau bahkan ‘terkikis’. Nyatanya keris di era saat ini tidak mengalami hilangnya aspek-aspek

pokok yang sudah ada sejak zaman dahulu, namun, keris di era saat ini mengalami penambahan fungsi dan variasi. Variasi jenis keris yang bertambah di era saat ini adalah keris kamardikan.

Keris kamardikan adalah istilah, kamardikan berasal dari kata mahardika yang artinya kemerdekaan. Jika keris umumnya selalu lekat dengan atribut zaman pembuatan yang sering disebut tangguh keris, dan terkait dengan pola gaya keris yang memiliki kekhasannya dari setiap kerajaan. Keris kamardikan memiliki dua makna, pertama, yaitu adalah keris-keris yang dibuat pada zaman setelah Indonesia merdeka, di mana kerajaan-kerajaan menyatu dalam republik. Makna yang kedua adalah kemerdekaan pada keris-keris yang yang diciptakan berdasarkan konsep-konsep yang bebas.

Keris Kamardikan mengalami pergeseran budaya keris yang tidak di bawah suatu hegemoni, bukan atas permintaan raja namun keris yang dapat mengaktualisasikan diri di tengah globalisasi yang menentang kreativitas para seniman. Kreativitas perlu kebebasan, kreativitas meliputi kontemplasi yang ditorehkan ke dalam proses cipta keris, dan perlakuanya sebagai media ekspresi.

Ada dua kategori pada hasil karya seniman keris yaitu karya keris konvensional dalam kemahiran menduplikat keris-keris tua perzaman, yang disebut ‘mutrani’. Kategori yang kedua adalah karya kontemporer adalah karya seniman keris yang memberi manfaat sebagai media ekspresi, tuangan estetika, semiotika momentum, pengutaraan kritik sosial, pesan kemanusiaan, pengharapan terhadap kekuatannya, serta metafora dan lain-lainnya.

Keris kamardikan, tidak lepas dari penggarapan aspek-aspek ini, yaitu aspek

mistik, aspek sejarah, aspek tradisi, aspek fungsi sosial, aspek teknik dan aspek seni. Saat ini pilihan penajaman pada aspek teknik dan aspek seni paling menonjol. Namun, karena keris tidak lepas dari simbol-simbol yang menyatu dengan naluri manusia yang berkepercayaan    pada    Tuhannya.

(Setyanto, 2008 : 2).

SIMPULAN

Berdasarkan pembahasan dan hasil penelitian tentang Keberadaan Keris Pusaka pada Era Globalisasi (Studi Kasus Perajin Keris di Desa Aeng Tong-Tong Kecamatan    Seronggi Kabupaten

Sumenep    Madura)    dikemukakan

beberapa kesimpulan sebagai berikut: (a) keberadaan keris pusaka diera globalisasi, antara keris yang sakral dengan keris biasa masih tetap bersaing hingga saat ini. Namun, yang lebih dominan diproduksi di Desa Aeng TongTong adalah keris souvenir. (b) era sekarang keris tidak hanya dianggap sebagai sebuah benda yang hanya untuk dipakai sebagai pajangan saja. Namun, keris juga sudah dianggap memiliki nilai seni yang tinggi harganya. Kesadaran masyarakat akan fungsi dan makna keris membuat variasi yang baru yaitu keris kamardikan. Fungsi yang dirasakan oleh perajin keris di Desa Aeng Tong-Tong saat ini adalah dari fungsi ekonomi, karena membantu kesejahteraan ekonomi keluarga dan desa.

REFERENSI

Bangunjiwa, K.J. (2019). Kitab Lengkap Keris Jawa: Dimensi: Spritualitas Nusantara. Narasi.

Darmojo, K.W. (2019). “Eksistensi Keris Jawa dalam Kajian Budaya”. Texture: Art and Culture Journal, 2(1), pp. 49-60.

Hasrinuksmo, B. (2004). Ensiklopedi Keris. Gramedia Pustaka Utama.

Koentjaraningrat. (1996). Pengantar Imu Antropologi. Rineka Cipta.

Rifai, M. (2018, Juli 17). “Inilah desa aeng Tong-Tong, Penghasil Keris Terbesar Sedunia”. Tribunnews https://www.google.com//amp/s/sur yamalang.tribunnews.com/amp/201 8/07/17/inilah-desa-aeng-tong-tong-penghasil-keris-terbesar-sedunia

Setyanto, G. (2008). Keris Kamardikan Award’08. Bentara Budaya.

Supriaswoto. (2016). “Tradisi Pembuatan Keris Di Desa Ngentha-Entha Yogyakarta”. Skripsi Universitas Gadjah Mada.

Syaifuddin, A. (2008). “Mencari Jejak Teori Evolusi Keris”. Pamor: Media Khusus Tosan Aji, 2(7), pp. 18-24.

Welianto, A. (2019, Desember 20). Globalisasi: Arti dan Dampaknya. https://amp.kompas.com/skola/read /2019/12/20/100000969/globalisasi -arti-dan-dampaknya

Wibawa, P. (2008). Tosan Aji Pesona Jejak Prestasi Budaya. PT. Gramedia Persada.