DOI: https://doi.org/10.24843/SP.2020.v4.i02.p04

p-ISSN: 2528-4517

Sistem Perkawinan Adat Lamaholot Dalam Perspektif Antropologi Di Desa Watodiri, Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur

Margaretha Nice O. Poli1*, Aliffiati2, Ni Made Wiasti3

[123], Prodi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana 1[[email protected]] 2[[email protected]] 3[[email protected]] Denpasar, Bali, Indonesia

*Corresponding Author

Abstract

Marriage in general is closely related to the two foundations of community life, namelyculture and religion. Culture is a very important traditional wedding ceremony, because traditional marriage will still exist in a cultured society. The traditional marriage system of the Lamaholot ethnic group has a hereditary culture, namely the traditional marriage of belis bala. Belis bala is a sacred aspect for the Lamaholot ethnicity, where men cannot undermine a woman's dignity. This study aims to determine: (a) The perspective of the younger generation on the belis bala in the Lamaholot ethnic traditional marriage system and (b) the inculturation of the church towards the traditional Laamaholot ethnic marriage system. Supported by Marcel Mauss' theory of reciprocity in compiling this research and the research model was made with the type of qualitative research, including data collection by observation, interviews, literature study and data analysis to process research results. The results of this study indicate the perspective of the younger generation, namely, there are some of them who feel heavy belis bala and want relief, but some others consider the traditional marriage system of belis bala as a challenge for them to be able to have their idol girl. They still want to maintain this traditional belis bala marriage system. The church sees this as a tradition that must be maintained. The church follows the regulations made by the village government for the preservation of the belis bala marriage system.

Key words: Culture, Traditional Marriage System, Ethnicity

Abstrak

Perkawinan pada umumnya sangat erat kaitannya dengan dua dasar kehidupan masyarakat yaitu budaya dan agama. Kebudayaan merupakan upacara perkawinan adat yang sangat penting, karena perkawinan adat akan tetap ada di dalam suatu masyarakat berbudaya. Sistem perkawinan adat pada etnis Lamaholot memiliki budaya yang sudah turun temurun yaitu perkawinan adat belis bala. Belis bala merupakan aspek yang sakral bagi etnis Lamaholot, dimana pihak laki-laki tidak dapat menjatuhkan harkat dan martabat seorang perempuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (a) Perspektif generasi muda terhadap belis bala dalam sistem perkawinan adat etnis Lamaholot dan (b) Inkulturasi gereja terhadap sistem perkawinan adat etnis Laamaholot. Didukung dengan Teori Resiprositas Marcel Mauss dalam menyusun penelitian ini serta model penelitian dibuat dengan jenis penelitian kualitatif, meliputi pengumpulan data dengan observasi, wawancara, studi pustaka serta analisis data untuk mengolah hasil penelitian. Hasil penelitian ini menunjukan sudut pandang generasi muda yaitu, ada beberapa dari mereka merasa beratnya belis bala ini dan menginginkan adanya keringanan, namun beberpa yang lainnya menganggap sistem perkawinan adat belis bala ini sebagai sebuah tantangan bagi mereka agar dapat memiliki gadis pujaan mereka. Mereka tetap

Sunari Penjor: Journal of Anthropology

Prodi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Unud

ingin mempertahankan sistem perkawinan adat belis bala ini. Gereja melihat ini sebagai sebuah tradisi yang harus tetap dipertahankan. Gereja mengikuti peraturan yang dibuat oleh pemerintahan desa demi kelestarian sistem perkawinan belis bala tersebut.

Kata kunci: Kebudayaan, Sistem Perkawinan Adat, Etnis

PENDAHULUAN

Indonesia memiliki keragaman budaya dan kaya akan nilai-nilai tradisi yang tersebar dari Sabang sampe Merauke. Kekayaan yang dimiliki oleh masyarakat indonesia bukan hanya kekayaan akan sumber daya alam saja, melainkan masyarakat indonesia juga memiliki kekayaan lain sepeti kekayaan akan suku bangsa. Nilai budaya merupakan konsep-konsep mengenai sesuatu yang ada di dalam alam pikiran sebagian besar dari masyarakat yang dianggap bernilai, berharga, dan penting dalam kehidupan. Sehingga, dapat berfungsi sebagai pedoman yang memberi arah dan orientasi pada kehidupan para warga tadi (Koentjaraningrat, 2009:153).

Kebudayaan sebagai identitas pemiliknya. Pelestarian budaya bangsa sebenarnya bermakna mempertahankan agar tidak hilang oleh zaman dan mampu menyesuaikannya dengan konteks kekinian. agar dapat dilestarikan dengan peranan generasi muda. Penyelarasan ini terjadi karena adanya kesediaan dalam merealisasikan kebudayaan lokal secara lebih modern. Paradigma seperti ini lahir dari konstruksi pemahaman pendidikan yang kuat sehingga generasi muda tidak menempatkan budaya lokal sebagai hal yang kolot dan tidak menarik. Kebudayaan di Indoneia banyak menggunakan simbol berupa benda-benda yang mewakili suatu gagasan tertentu dalam setiap upacara adat. Walaupun simbol bukanlah nilai itu sendiri, tetapi simbol sangatlah dibutuhkan untuk kepentingan penghayatan akan nilai-nilai yang diwakilinya. Benda-benda tersebut

mengandung nilai dan norma yang sangat berguna dalam mengatur tata kehidupan manusia. (Wiyarti, 2008:130).

Departemen pendidikan dan kebudayaan (1983) mengemukakan bahwa upacara perkawinan adat karena upacara perkawinan dan adat sangat penting karena perkawinan adat akan tetap ada didalam suatu masyarakat berbudaya. Sekalipun tradisi perkawinan mengalami perubahan namun tetap menjadi unsur budaya yang dihayati, karena perkawinan adat mengatur dan mengukuhkan suatu bentuk hubungan yang sangat esensial antara manusia yang berlainan jenis. Dalam perkawinan adat terkandung nilai dan norma yang sangat kuat untuk mengatur dan mengarahkan tingkahlaku setiap individu dalam suatu masyarakat. Perkawinan merupakan suatu transaksi dan kontrak dan sah yang resmi antara seorang pria dan wanita yang mengukuhkan hak mereka untuk berhubungan seksual satu sama lain dan menegaskan bahwa wanita yang bersangkutan sudah memenuhi syarat untuk melahirkan keturunan atau dengan kata lain perkawinan merupakan sebuah ikatan resmi antara pria dan wanita yang saling mencintai dan telah memutuskan untuk hidup bersama (Atmaja, 2008:21). Perkawinan pada umumnya sangat erat kaitannya dengan dua dasar kehidupan masyarakat, yaitu budaya dan agama. Sebagai negara yang memiliki keragaman suku dan budaya, masyarakat indonesia memiliki banyak bentuk dan tata cara perkawinan menurut adat dan budaya mereka.

Sistem perkawinan adat pada etnis Lamaholot, desa Watodiri, Kabupaten Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Masyarakat pada ertnis Lamaholot

memiliki budaya sistem perkawinan yang sudah turun temurun diwariskan, yaitu sistem perkawinan adat belis bala. Etnis Lamaholot menyelesaikan sistem perkawinan adat terlebih dahulu dibandingkan dengan sistem perkawinan gereja katolik atau secara agama. Sistem perkawian adat menggunakan belis bala sebagai suatu kebudayan bangsa dengan menggunakan tata cara dan kebiasaan etnis setempat, menjadikan sebagian dari kaum milenial merantau ke luar pulau Flores. Kaum milenial khususnya pemuda Flores masa kini tidak ingin dibuat beban dalam hal belis bala ini, jika mereka mendapatkan jodoh dari daerah mereka sendiri.

Sistem perkawinan adat biasanya dimulai dari tahap perkenalan, peminangan, pertunangan, dan perkawinan. Belis berasal dari kata ‘beli’ yang artinya ‘membeli’ atau ‘satu kewajiban memberi’. Dimana belis bala ini akan diberikan oleh pihak keluarga laki-laki kepada pihak keluarga perempuan. Belis bala merupakan aspek yang sakral bagi etnis Lamaholot di desa Watodiri, sehingga pihak laki-laki tidak dapat menjatuhkan harkat dan martabat seorang perempuan. Sebab, bala merupakan simbol penghargaan tertinggi terhadap pribadi seorang perempuan yang akan dinikahi dalam suatu sistem perkawinan adat bagi etnis Lamaholot.

Tujuan dari penerapan belis bala memang sangat baik. Dengan diterapkannya belis, harkat dan martabat perempuan Lamaholot dapat terjaga. Namun, kesulitan untuk mendapatkan bala di era sekarang ini dan mahalnya harga dari bala, membuat masyarakat Lamaholot khususnya laki-laki mengalami kesulitan untuk mendapatkannya. Sehingga banyak pemuda zaman sekarang memilih jalan pintas agar segera diresmikan dalam sebuah perkawinan gereja. Gereja pada hakikatnya menyelamatkan orang-orang

yang tidak ingin berbuat zina tetapi lebih memilih meresmikan hubungan mereka terebih dahulu sebagai sepasang suami istri. Namun karena beratnya urusan adat yang harus mereka lalui, beberapa dari mereka lebih memilih berbuat zina terlebih dahulu agar dapat memudahkan mereka dalam urusan adat. Dalam hal ini, gereja melihat sebagai suatu hal yang sangat merugikan bagi diri mereka sendiri.

Setiap daerah memiliki peraturan sendiri dalam melaksanakan perkawinan adat. Namum pada umumnya dalam perkawinan gereja setiap daerah memiliki kesamaan dalam menjalankan sebuah proses perkawinan gereja. Gereja tidak pernah membatasi atau menentang pernikahan yang memang benar-benar sudah siap di sahkan di atas altar. Sebab daerah-daerah tetentu, gereja sangat kesulitan dalam meresmikan sebuah hubungan di atas altar. Dalam hal ini, seperti pada etnis Lamaholot di desa Watodiri ini, perkawinan adat adalah nomor satu bagi mereka. Pernikahan di gereja tidak akan terjadi kalau urusan adat masih belum mendaptkan kata sepakat oleh kedua belah pihak. Hal ini berlaku bagi seluha masyarakat etnis Lamaholot yang lebih memilih menikah di daerah daripada diluar daerah.

Hal ini kemudian menjadi dilema bagi generasi muda dan gereja, karena untuk meresmikan cinta pria dan wanita di altar, etnis Lamaholat di tuntut untuk menyelesaikan terlebih dahulu segala sesuatu yang berkaitan dengan perkawinan adat. Dilema yang dialami oleh generasi muda etnis Lamaholot inilah kemudian menjadi hal mendasar diangkatnya penelitian ini dalam sebuah karya tulis.

Bersadarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi fokus rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut: Bagaimana keberadaan dan perspektif generasi muda terhadap belis

bala dalam sistem perkawinan adat Lamaholot?. Bagaimana inkulturasi gereja dalam sistem perkawinan adat belis bala Lamaholot?.

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Memahami sistem perkawinan adat belis bala di Desa Watodiri yang hingga saat ini masih terjadi. 2) Mendeskripsikan pandangan generasi muda dan gereja dalam sistem perkawinan adat belis bala etnis Lamaholot.

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini merupakan metode penelitian kualitatif. Metode kualitatif melihat data bukan sebagai informasi mentah yang didapat dari lapangan tetapi didapat dari hasil interaksi antara peneliti dan sumber data, baik manusia maupun benda (Koentjaranigrat, 2014: 99).

Jenis data yang digunakan adalah data kualitatif dimana hasil dari penelitian ini berupa data deskriptif yang menjelaskannya secara terperinci mengenai topik yang diangkat. Sumber data yang digunakan dalam peneltian ini terbagi menjadi dua jenis yaitu data primer dan data sekunder. Adapun teknik pengumpulan yang digunakan adalah sebagai berikut: 1) Teknik penentuan informan; 2) Teknik observasi partisipan; 3) Teknik Wawancara; 4) Studi Kepustakaan. Selain dari pada itu dalam penelitian ini terdapat tiga tahapan yang harus dikerjakan dalam menganalisis data penenlitian khualitatif, yaitu (1) reduksi data (data reduction); (2) penyajian data (data display); (3) penarikan serta penguji kesimpulan (drawing and verifying conclusion).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keberadaan Belis Bala dalam Sistem Perkawinan dan Perspektif Generasi Muda

Adat sangat mendominasi dalam sebuah proses perkawinan, salah satunya dalam hal pemberian belis pada masyarakat etnis Lamaholot di Desa Watodiri. Kehidupan keseharian pelapisan sosial yang memandang wanita sebagai sentral kehidupan masyarakat dan tinggi nilainya. Karena itu, meski masyarakat menilai seorang wanita tidak secara material, mereka tetap mencari materi pembanding dalam bentuk belis bala. Belis merupakan unsur penting dalam sistem perkawinan. Selain dipandang sebagai tradisi yang memiliki nilai-nilai luhur dan bentuk penghargaan terhadap perempuan, namun di satu sisi juga sebagai pengikat pertalian kekeluargaan dan simbol untuk mempersatukan laki-laki dan perempuan sebagai suami istri. Belis juga dianggap sebagai syarat utama pengesahan berpindahnya suku perempuan ke suku suami.

Di Nusa Tenggara Timur ada beragam belis yang digunakan berupa emas, perak, uang, maupun hewan seperti kerbau, sapi, atau kuda.Di daerah tertentu belis berupa barang khusus. Uniknya pada masyarakat Lamaholot nilai seorang perempuan pada maskawin dikonkritkan dalam bentuk nilai dan ukuran gading gajah yang sulit diperoleh. Gading gajah baru masuk pada abad permulaan perdagangan rempah-rempah termasuk wewangian cendana. Secara umum, ukuran dan jumlah gading tergantung pada status sosial seorang gadis, juga sistem perkawinan yang ditempuh serta kemampuan negosiasi dari keluarga laki-laki kepada keluarga perempuan.

Dalam adat perkawinan orang Lamaholot, seseorang yang akan menikah adalah suatu keharusan

mengadakan pesta. Pesta ini merupakan sebuah pesta suku, maka penyelenggara pesta tersebut adalah merupakan semua anggota suku.Jadi seluruh anggota suku anggota wajib menyumbang. Bagi mereka akan merasa malu apabila tidak bisa menyumbang. Entah bagaimana caranya orang harus memberi sesuatu, tidak peduli hal tersebut diperoleh dengan cara meminjam dan sebagainya. Proses meminang gadis di kalangan etnis Lamaholot, Nusa Tenggara Timur, unik. Meski penduduk wilayah ini tidak memelihara gajah dan mata pencaharian mereka kebanyakan petani dan nelayan, gading gajah sudah menjadi maskawin sejak ratusan tahun lalu. Dalam masyarakat Lamaholot, belis selalu menimbulkan masalah rumit. Pembicaraan paling alot antara pihak keluarga perempuan dan laki-laki adalah soal berapa banyak gading gajah harus diberikan pihak laki-laki sebagai belis bagi calon istri. Status sosial menjadi ukuran menentukan jumlah dan ukuran gading.

  • a.    Asal-Usul Gading Gajah di Flores

Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah pulau yang unik dan kaya akan peninggalan sejarah binatang purba. Selain binatang purba Komodo yang masih eksis hingga saat ini, juga ditemukan binatang purba gajah yang kemudian melahirkan batang-batang gading. Menurut petuah-petuah adat yang ada di desa Watodiri mengatakan bahwa ada fakta budaya yang membuktikan bahwa gading gajah sangat dekat dengan masyarakat di Flores dari ujung Timur sampai Barat. Beberapa ritual adat seperti pernikahan erat kaitannya dengan gading. Gading itu menjadi kesepakatan belis dalam menentukan diterima atau tidaknya lamaran seorang pria kepada wanita. Pada masa kini, jumlah gading yang beredar di masyarakat tidaklah banyak. Kendati demikian, pola lamaran

dengan gading sebagai pembayaran belum juga ditinggalkan. Adat dan kebiasaan itu masih tetap dipertahankan oleh sebagian kalangan masyarakat adat di Flores. Namun, ada juga yang sudah menggantikan peran gading dengan sejumlah uang tunai. Gading hanya menjadi parameter untuk menentukan perhitungan uang tunai yang harus disediakan pihak pria pada acara lamaran resmi. Berikut beberapa ulasan fakta adanya gajah di Flores, yaitu:

  •    Flores habitat gajah pada zaman dulu kala

  •    Nenek moyang orang Flores pemakan gajah

  •    Gading sebagai pembayaran pasukan sewaan asal Flores

  •    Gading ibu dapat beranak gading.

  • b.    Prosesi Ritus Perkawinan adat Etnis Lamaholot

Proses ritual sistem perkawinan adat pada umumnya selalu dilaksanakan di berbagai daerah dalam sistem perkawinan. Rituan perkawinan adat di Indonesia sangat beragam, tergantung adat istiadat daerah masing-masing. Dalam hal ini, proses ritual perkawinan adat etnis Lamaholot dapat dilakukan dalam beberapa tahap.

  •    Tahap persiapan

  •    Proses lamaran

  •    Pembayaran belis

  • c.    Perspektif generasi muda terhadap belis bala

Belis menggunakan bala dalam proses sistem perkawinan adat pada etnis Lamaholot bukanlah sesuatu hal yang baru lagi, melainkan sudah terjadi sejak zaman penjajahan portugis. Pada masa itu, para pemuda berjuang dan bekerja dengan keras jika ingin menikah dengan gadis dari Lamaholot. Mereka berjuang

untuk dapat membeli bala agar apat mempersunting gadis yang mereka cintai.

Ketentuan belis merupakan salah satu upaya adat untuk menjaga kehormatan perempuann Lamaholot, yang mampu mempersatukan dua pihak keluarga menjadi satu keluarga, mempersatukan dua suku besar.Kondisi zaman sekarang semakin kesini semakin berkembang, semakin modern. Kekhawatiran akan tersingkirnya adat istiadat yang telah hidup sejak dulu pasti ada. Terlebih lagi semakin kesini, bala semakin sulit ditemukan. Tujuan dari belis memang sangat baik. Dengan diterapkannya belis, harkat dan martabat perempuan Lamaholot dapat terjaga. Namun, untuk mendapatkan bala di era sekarang ini dan mahalnya harga dari bala, membuat masyrakat Lamaholot khususnya laki-laki mengalami kesulitan untuk mendapatkannya.

Menyikapi hal ini, tentu terdapat kontradiksi pandangan pemuda dan pemudi milenial baik dari positif maupun sisi negatifnya. Para narasumber pun memberikan pandangan mereka masing-masing dalam menjelaskan sisi positif dan sisi negatif dalam sistem perkawinan adat belis bala etnis Lamaholot ini.

Inkulturasi Gereja Dalam Sistem Perkawinan Adat Belis Bala Pada Etnis Lamaholot

  • a.    Pengertian Inkulturasi

Inkulturasi adalah sebuah istilah yang digunakan di dalam paham kristiani, terutama dalam gereja katolik roma, yang merujuk pada adaptasi dari ajaran-ajaran gereja pada saat diajukan pada kebudayaan-kebudayaan non-kristiani dan untuk memengaruhi kebudayaan-kebudayaan tersebut pada evolusi ajaran-ajaran gereja.

Arti inkulturasi menurut De Liturgia Romana Et Inkulturations (1995) adalah usaha suatu agama menyesuaikan diri

dengan budaya setempat. Transformasi mendalam dari nilai-nilai budaya asli yang diintegrasikan ke dalam Kristiani. Sedangkan menurut aturan gereja Katolik inkulturasi harus ada dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain seperti yang tertulis pada Kamus Gereja Katolik: ”Inkulturasi dansifat Katolik gereja tak terpisahkan satu samalain” (Heuken, 1992:104). Inkulturasi berbeda dengan akulturasi, akulturasi merupakan suatu situasi dimana sebuah kebudayaan termodifikasi dengan meminjam adat istiadat dari satu atau lebih kebudayaan lain (Taylor, 1973:505). Inkulturasi berasal dari kata kultur atau culture, yang artinya dalam Bahasa Indonesia yaitu budaya. Inkulturasi merupakan cara yang paling efektif bagi Gereja untuk menyebarkan ajarannya. Inkulturasi dilakukan dengan tujuan agar ajaran Gereja mudah dipahami oleh khalayak ramai melalui budaya-budaya mereka sendiri. Jadi, kita tidak perlu bersusah payah memahami ajaran Gereja melalui budaya asal Gereja toh melalui budaya kita, kita bisa mengerti ajaran-ajaran Gereja. Namun, dengan tetap memegang suatu pegangan, yaitu pokok atau dasar inkulturasi adalah Yesus Kristus yang masuk ke dunia menjadi manusia.

Inkulturasi juga menjadi persoalan abadi di dalam Gereja. Masalah-masalah yang ada pada Gereja sebagian berhubungan dengan latar belakang Gereja. Sebagian orang beriman menganggap inkulturasi menyangkut unsur-unsur hakiki keagamaan yang tidak boleh ditinggalkan. Hal ini membuat penyebaran agama Kristen di Eropa Utara, apalagi India dan Tiongkok sangat terhambat oleh lambannya inkultrasi.

Salah satu contoh inkulturasi yaitu bahasa yang digunakan pada saat melakukan penyebaran ajaran. Dalam perayaan ekaristi contohnya, bahasa yang digunakan sekarang sesuai dengan bahasa setempat, sedangkan pada zaman

dahulu bahasa yang digunakan dalam perayaan ekaristi yaitu Bahasa Latin dan Italia (Roma) yang merupakan bahasa asal gereja.

  • b.    Inkulturasi dalam Sistem Perkawinan Adat dan Hukum Pernikahan Gereja

Arti perkawinan katolik menurut KHK1983 kan. 1055 §1 adalah perjanjian (foedus) antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk kebersamaan hidup. Latar belakang definisi ini adalah dokumen Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes §48). GS dan KHK tidak lagi mengartikan perkawinan sebagai kontrak.

Perkawinan mempunyai tiga tujuan yaitu: kesejahteraan suami-isteri, kelahiran anak, dan pendidikan anak. Tujuan utama ini bukan lagi pada prokreasi atau kelahiran anak. Hal ini berpengaruh pada kemungkinan usaha pembatasan kelahiran anak (KB).

Gereja melarang adanya pernikahan bersyarat. Setiap pernikahan bersyarat selalu menggagalkan perkawinan. Gereja mengikuti teori dari Paus Alexander III (1159-1182) bahwa perkawinan sakramen mulai ada atau bereksistensi sejak terjadinya kesepakatan nikah. Namun perkawinan sakramen itu baru tak terceraikan mutlak setelah disempurnakan dengan persetubuhan, karena setelah itu menghadirkan secara sempurna dan utuh kesatuan kasih antara Kristus dan Gereja-Nya. Objek kesepakatan nikah adalah kebersamaan seluruh hidup (consortium totius vitae yang terarah pada 3 tujuan perkawinan di atas.

Setiap perkawinan orang Katolik, meski hanya satu yang Katolik, diatur oleh ketiga hukum ini, yaitu 1 hukum ilahi, 2 hukum kanonik, dan 3hukum sipil sejauh menyangkut akibat-akibat sipil. Hukum ilahi adalah hukum yang dipahami atau ditangkap atas dasar pewahyuan, atas dasar akal sehat

manusia sebagai berasal dari Allah sendiri.

Contohnya, sifat monogam, indissolubile, kesepakatan nikah sebagai pembuat perkawinan, dan halangan-halangan nikah.Hukum ini mengikat semua orang, tanpa kecuali (termasuk non-katolik). Hukum kanonik atau hukum Gereja adalah norma yang tertulis yang disusun dan disahkan oleh Gereja, bersifat Gerejawi dan dengan demikian hanya mengikat orang-orang yang dibaptis Katolik saja (kan. 11). Sedangkan hukum sipil adalah hukum yang berhubungan dengan efek sipil yang berlaku di daerah ybs., misalnya di Indonesia ini, ada hal-hal yang ditetapkan oleh pemerintah, seperti usia calon, pencatatan sipil, dsb.

Karena perkawinan menyangkut kedua belah pihak bersama-sama, maka orang non-Katolik yang menikah dengan orang Katolik selalu terikat juga oleh hukum Gereja. Gereja mempunyai kuasa untuk mengatur perkawinan warganya, meski hanya salah satu dari pasangan yang beriman Katolik. Artinya, perkawinan mereka baru sah kalau dilangsungkan sesuai dengan norma-norma hukum kanonik (dan tentu ilahi).

Penyelidikan sebelum perkawinan, dalam prakteknya disebut sebagai penyelidikan kanonik. Penyelidikan ini dimaksud agar imam atau gembala umat mempunyai kepastian moral bahwa perkawinan yang akan dilaksanakan nanti sah (valid) dan layak (licit) karena yakin bahwa tidak ada halangan yang bisa membatalkan dan tidak ada larangan yang membuat perkawinan tidak layak. Kepastian ini harus dimiliki demi menjaga kesucian perkawinan.

Hal-hal yang diselidiki adalah soal status bebas calon, tidakadanya halangan dan larangan, serta pemahaman calon akan perkawinan Kristiani. Secara khusus di bawah ini akan dipaparkan halangan-halangan nikah yang mesti diketahui baik

oleh calon, maupun oleh mereka yang menjadi saksi, bahkan oleh seluruh umat yang mengenal calon.

Deke,   Elfrida  Maria,   dkk.   2020.

“Perubahan Wujud dan Makna Belis dalam Perkawinan Adat

SIMPULAN

Bajawa Boba”. NTT: Khatulistiwa Volume 9 No. 7.

Berdasarkan hasil penelitian dan analisanya sebagaimana yang telah disajikan pada bab sebelumnya terdapat dua kesimpulan , yaitu :

Syamsuriadi, Syamsuriadi, dkk. 2018. Makna   Tu’u   Belis    bagi

Masyarakat Kelurahan Mokdale

  • 1.    Masyarakat Lamaholot pada umumnya atau generasi muda pada khususnya memandang perkawinan adat Belis bala ini, sebagai sesuatu problematika pada kehidupan saat ini. Belis bala sangat sulit didapat saat ini, terkadang cendrung generasi muda lebih memilih berkat gereja di daerah , agar terhindar dari tuntutan Belis yang begitu besar.

  • 2.    Gereja tetap mengutamakan keaslian perkawinan dalam gereja katolik tanpa menghilangkan kebudayaan yang ada , dalam arti lain gereja katolik yang merujuk pada adaptasi dari ajaran-ajaran gereja pada budaya perkawinan dan memengaruhi kebudayaan perkawinan pada evolusi ajaran Gereja.

Kecamatan Lobalain Kabupaten Rote   Ndao”.   NTT:   Jurnal

Communio Volume 7 No. 2.

Sudirman, Dwiputri Marniati, dkk. 2020. “Pemberian    Belis     (Mahar)

Perkawinan   Pada   Masyarakat

Manggarai Barat di Kecamatan Komodo Ditinjau Dari Hukum Islam (Studi Kasus di Desa Gorontalo Kec. Komodo Kab. Manggarai Barat Nusa Tenggara Timur)”.  NTT:  Jurnal  Ilmiah

Hukum Keluarga Islam Volume 2 No. 1.

Koenjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT Ranika Cipta

DAFTAR PUSTAKA

Koentjaraningrat. 2014. Sejarah Teori

Atmaja,   J.   2008.   Bias   Gender

Perkawinan    Terlarang    pada

Masyarakat    Bali.    Denpasar:

Antropologi 1. Jakarta:UI Press.

Kasiram. 2008. Metodologi Penelitian

Udayana University Perss

Kualitatif dan Kuantitatif. Jakarta: Yayasan Obor.

Boersema, Jan. Dr. 2015. Perjumpaan

Injil dan Budaya dalam Kawin-Mawin. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih.

Kleden, Doni. 2017. Belis dan Harga Perempuan Sumba (Perkawinan adat suku wewewa, Sumba Barat Daya, NTT).

Pous, Hendrikus, dkk. 2018. “Implikasi Penentuan  Belis  dalam  Adat

Perkawinan Masyarakat Tunbaba di  Desa  Tun’noe  Kecamatan

Miomaffo Timur Kabupaten Timor Tengah  Utara”.  NTT:  Jurnal

Gatranusantara Volume 16 No. 2.

Koentjaraningrat. 1990. Konsep-Konsep Nilai. Jakarta: PT Gramedia

Koentjaraningrat. 1997. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT Gramedia

Koentjaraningrat. 2005. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta:   Yayasan

Obor Indonesia

Koentjaraningrat. 2006. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Koenjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT Ranika Cipta

Koentjaraningrat. 2014. Sejarah Teori Antropologi 1. Jakarta: UI-Press

Mauss, M. 1992. Pemberian: bentuk dan fungsi      tukar-menukar      di

masyarakat kuno (terjemahan). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia