DOI: https://doi.org/10.24843/SP.2020.v4.i02.p03

p-ISSN: 2528-4517

Eksistensi Drama Tari Gambuh di Desa Adat Pedungan, Kelurahan Pedungan, Kecamatan Denpasar Selatan

Rizky Ade Mahendra*, I Wayan Suwena, I Nyoman Suarsana

Program Studi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Unud [[email protected]], [wsuwena58yahoo.com], [[email protected]]

Denpasar, Bali, Indonesia *Corresponding Author

Abstract

The dance drama gambuh is a performing art in the form of total theater. In addition to the dominant elements of dance, there are also elements of other arts such as percussion, literary arts, vocal / dialogue arts, fine arts, and make-up that are harmoniously integrated and beautiful. The dance drama gambuh has become a sacred dance in Pedungan Traditional Village, Pedungan Village. Currently the development of the dance drama gambuh is no longer a foreign art among teenagers, this is evidenced by the high interest of teenagers who want to dance this dance when it is performed at temples and at Balinese art parties. Thedance drama gambuh has succeeded in introducing its dance outside the province and even abroad to be precise in Germany. Thus this research formulates the following problems, (1) the existence of the dance drama gambuh in Pedungan Traditional Village, Pedungan Village and (2) the meaning of the dance drama performance gambuh in Pedungan Traditional Village, Pedungan Village. This research uses the structural functional theory from Radcliffe-Brown, the symbolic interpretive theory from Clifford Geertz, and the theory of the meaning of symbols proposed by Victor Turner. These three theories are used because they have a relationship in the dance drama gambuh. The data collection technique starts with the informant determination technique, the observation technique, and the interview technique. This dance drama performance gambuh has meanings contained in the story such as religious meaning, aesthetic meaning, socio-cultural meaning, education meaning, and identity meaning. The results of this study reveal that the dance drama gambuh still exists among children, adolescents, and adults. With the establishment of the Kerta Jaya studio, which was built by I Kadek Sudiarta dance drama gambuh this can be introduced to children as the next generation so that dance drama gambuh this doesn’t disappear. The dance drama gambuh has also become an identity in Pedungan Village.

Keywords: existence, meaning, dance drama gambuh

Abstrak

Drama tari gambuh merupakan seni pentas yang berbentuk total teater. Di samping unsur seni tari yang dominan, terdapat juga unsur-unsur seni lainnya seperti seni tabuh, seni sastra, seni vocal / dialog, seni rupa, dan seni rias yang terpadu secara harmonis dan indah. Drama tari gambuh ini sudah menjadi tarian sakral di Desa Adat Pedungan, Kelurahan Pedungan. Saat ini perkembangan drama tari gambuh ini sudah

Sunari Penjor: Journal of Anthropology

Prodi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Unud

bukan menjadi kesenian yang asing dikalangan remaja, hal ini dibuktikan dengan tingginya minat remaja yang ingin menarikan tarian ini saat dipentaskan di pura maupun di pesta kesenian Bali. Drama tari gambuh ini sudah berhasil memperkenalkan tariannya keluar provinsi bahkan keluar negeri tepatnya di Jerman. Dengan demikian penelitian ini merumuskan masalah sebagai berikut, (1) eksistensi drama tari gambuh di Desa Adat Pedungan, Kelurahan Pedungan dan (2) makna dari pementasan drama tari gambuh di Desa Adat Pedungan, Kelurahan Pedungan. Dalam penelitian ini menggunakan teori fungsional struktural dari Radcliffe-Brown, teori interpretatif simbolik dari Clifford Geertz, dan teori pemaknaan simbol yang dikemukakan oleh Victor Turner. Ketiga teori ini digunakan karena memiliki hubungan didalam drama tari gambuh. Teknik pengumpulan data dimulai dari Teknik penentuan informan, teknik observasi, dan teknik wawancara. Pementasan drama tari gambuh ini memiliki makna-makna yang terkandung didalam ceritanya seperti makna religius, makna estetika, makna sosial budaya, makna Pendidikan, dan makna identitas. Hasil dari penelitian ini, mengungkapkan bahwa drama tari gambuh tetap eksis dikalangan anak-anak, remaja, sampai dewasa. Dengan didirikannya sanggar Kerta Jaya yang dibangun oleh I Kadek Sudiarta drama tari gambuh ini bisa diperkenalkan kepada anak-anak sebagai generasi penerus agar drama tari gambuh ini tidak musnah. Drama tari gambuh ini juga sudah menjadi identitas di Kelurahan Pedungan.

Kata kunci: eksistensi, makna, drama tari gambuh

PENDAHULUAN

Kesenian tari merupakan salah satu aspek penting dalam penunjang budaya Bali. Seni tari sangat berpengaruh dalam segi adat, budaya, dan juga pariwisata yang ada di Bali. Seiring dengan perkembangan jaman seni tari di Bali sudah banyak mengalami perubahan. Makin banyaknya bermunculan jenis tarian baru yang terpengaruhi dengan modernisasi seperti Tari kreasi, tari kontemporer dan sebagainya. Namun tari tradisional Bali masih memiliki daya tarik khusus untuk dinikmati meskipun berada di tengah- tengah tari-tari kreasi baru yang semakin canggih dan memanfaatkan sebagai teknologi. (Sumiari & Setyarini, 2015:620). Kesenian yang dikenal sangat dinamis, fleksibel, dam adaptif ini terus berubah dan berkembang mengikuti dinamika perubahan masyarakatnya (Dibia, 1994: 11).

Pada hakekatnya globalisasi membawa nuansa budaya dan nilai yang

mempengaruhi selera dan gaya hidup masyarakat. Pertunjukan seni tari sebagai sebuah seni tari bernuansa kearifan lokal Bali dalam keberlangsungan estetika seni tari tradisional di Bali pada era globalisasi (Ruastiti, 2017:169). Melalui media yang kian terbuka dan terjangkau, masyarakat menerima berbagai informasi tentang peradaban baru yang datang dari seluruh penjuru dunia. Globalisasi menciptakan berbagai tantangan dan permasalahan baru yang harus dijawab, dipecahkan dalam upaya memanfaatkan globalisasi untuk kepentingan kehidupan (Sigit, 2013: 29).

Tari Bali sangat erat hubungannya dengan kehidupan masyarakat. Sejak jaman primitif, pra-Hindu, feodal hingga kini tari Bali terus dikembangkan dengan kurangnya ide- ide para seniman penciptanya, tetapi ia betul-betul hadir dan menjadi suatu kebutuhan didalam roda kehidupan, ia hadir dalam lintasan sejarah dan membentuk komunitas yang khas (Eny, 2000:75).

Untuk mengembangkan suatu kesenian khas di Bali khususnya di beberapa daerah sangat diperankan oleh seorang pemuda dan pemudi di berbagai daerah, mereka selalu mempunyai inspirasi dan kreatifitas untuk selalu berkarya. Pemuda sebagai elemen penting masyarakat dalam pembangunan daerah. Pentingnya pemuda memposisikan diri dan mengambil peran-peran strategis dalam pelestarian budaya lokal saat ini (Sitti, 2017:6)

Di Bali terdapat beberapa bentuk kesenian yang termasuk dramatari. Drama tari adalah pergelaran tari yang membawakan suatu cerita (lakon). Masing-masing drama tari yang ada di Bali tentu mempunyai perbedaan-perbedaan yang bisa dilihat seperti cara penyajian, fungsi, lakon yang dimainkan maupun meperlengkapan serta peran yang ada dramatari didalamnya (Astini, 2001:17).

Salah satu drama tari yang dimaksud adalah gambuh. Gambuh adalah salah satu warisan budaya bali yang amat mengesankan. Ini merupakan drama tari tertua dan di anggap sumber drama tari Bali. Gambuh terselamatkan hingga kini dengan beberapa perubahan kecil dari bentuk aslinya ratusan tahun yang lampau. Gambuh tampak kuna dan megah karena diikuti gamelan pegambuhan dengan suara seruling yang memilukan dan di persembahkan oleh penari kawakan yang menyayi dan mampu menyesuaikan percakapan dengan suara gamelan. Gambuh sangat dikagumi karena keindahan bentuk dan persembahannya sebagai inti sari kesenian Bali (Bandem, 1996:26).

Drama Tari Gambuh biasanya mengambil sumber lakon dari cerita panji, lakon-lakon ini umumnya berupa lakon babon atau lakon pokok yang

berpegang teguh pada alur cerita yang terdapat di dalam lontar malat (Purnamawati, 2001:33).

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di Desa Adat Pedungan, Kelurahan Pedungan, Denpasar selatan. Kelurahan Pedungan merupakan salah satu wilayah yang mempunyai kesenian klasik dan sakral yang terdapat di dalam Kota Denpasar. Selain itu Kelurahan Pedungan terdapat keterlibatan langsung terhadap organisasi khusus dibidang kesenian dalam mengembangkan seni tari yang ada di wilayah Kelurahan Pedungan. Kelurahan Pedungan terkenal dengan drama tari gambuh yang sangat dikenal di masyarakat Bali pada umumnya. Seni adalah kiprah manusia dalam memadukan apa yang ditemukan oleh ilmu dan teknologi agar menjadi karya yang adiguna dan bermanfaat bagi umat manusia (Thamrin, 2012:1). Kelurahan Pedungan yang menjadi tempat penelitian ini, terdapat warga yang berpartisipasi dan mengembangkan kesenian di daerah tersebut. Terbukti dengan pengembangan dan usaha dari sebuah sekaa yang terdapat di wilayah Kelurahan Pedungan dapat memperkenalkan kesenian khas mereka yaitu Drama Tari gambuh yang sering di pentaskan acara besar seperti Pesta Kesenian Bali (PKB).

Penelitian mengenai Perkembangan Drama Tari Gambuh kesenian khas di Desa Adat Pedungan, Kelurahan Pedungan menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif pada umumnya bertujuan untuk mengembangkan pemahaman dan suatu fenomena sosial budaya yang nyata. Data ini di peroleh melalu informan dengan observasi dan wawancara dan di tunjang dengan studi pustaka yang terkait dengan topik penelitian yang di angkat.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sejarah Drama Tari Gambuh di Pedungan

Drama tari gambuh merupakan seni pentas yang berbentuk total teater. Di samping unsur seni tari yang dominan, terdapat juga unsur-unsur seni lainnya seperti seni tabuh, seni sastra, seni vocal dialog, seni rupa, dan seni rias yang terpadu secara harmonis dan indah. Gambuh adalah sebuah seni pertunjukan yang berbentuk dramatari yang bersumber dari cerita Malat/Panji, selain itu muncul juga wayang gambuh, dan kreativitas kebaruan di abad ke 21 munculah berupa Topeng Gambuh di Desa Batuan Gianyar. Sebagaimana Formaggia menyatakan Gambuh adalah satu istilah yang digunakan untuk seni tari yang berbentuk drama tari, tembang, dan wayang. Kata gambuh dapat ditemukan dalam bahasa Melayu, Jawa, dan Sunda. Dalam bahasa Melayu ada hubungan dengan perasaan’terima kasih’, dalam bahasa Sunda ada hubungan dengan hiasan kepala topeng (tekes), dan dalam bahasa Jawa ‘gambuh’ adalah nama pupuh (Budiarsa, 2019). Demikian pula gambuh didukung oleh berbagai karakter, seperti karakter halus (tokoh Rangkesari dan Panji), karakter keras para patih Arya dan Prabangsa karakter lucu Demang Tumenggung dan lainnya. Masing-masing tokoh memiliki gending iringan tersendiri yang dipimpin oleh suling panjang hingga 90 cm dengan karakter agung, dinamis dan manis. Disamping itu ditengah-tengah penabuh duduk satu atau dua orang juru tandak yang berfungsi untuk menghidupkan suasana dalam dramatisasi pertunjukan seperti sedih, gembira, marah, lucu dan sebagainya. Sebagai drama tari tertua, setiap tokoh karakter putra maupun putri memiliki tatanan busana tersendiri. Perpaduan seni yang kompleks itulah membangkitkan inspirasi empu-empu

seni berikutnya untuk mentransformasikan ke dalam bentuk tari-tarian baru yang lahir belakangan.

Sebagai salah satu bentuk seni klasik dan tertua di Bali, Gambuh telah mengalami berbagai periode historis, masa populer atau kurang populer. Gambuh pernah mengalami masa-masa kejayaan, ketika ia terlahir sebagai seni istana dan diayomi oleh para raja. Dalam kapasitasnya sebagai seni istana (puri) serta dukungan yang sangat kuat dari raja yang cinta akan perkembangan kebudayaan, Gambuh mengalami perkembangan yang sangat pesat. Gambuh menjadi seni kesayangan seisi puri dan masyarakat sekitarnya. Kondisi ini telah menyebabkan Gambuh tumbuh dan berkembang menjadi teater besar istana pada abad ke-19. Hal ini semakin mendapat legitimasi dimana kebanyakan istana pada abad ke-19 memilki bangsal khusus yang disebut bangsal Gambuh atau bale pegambuhan (Formagia, 2000:21). Dalam realitasny sekarang, masa-masa kejayaan Gambuh mungkin hanya tinggal kenangan. Kemajuan yang begitu pesat dibidang ilmu pengatahuan dan teknologi (khususnya teknologi informasi) telah membawa dampak yang luar biasa terhadap perubahan sosiokultural masyarakat. Kesenian Gambuh mulai ditinggalkan, dan pertunjukan Gambuh sepi penonton (Sarwa dan Wardizal, 2017).

Dalam dasawarsa pada awal abad ini, tidak sedikit orang Bali yang masih mengingat usaha-usaha untuk membangkitkan kebudayaan istana, salah satu yang sering disebut adalah drama tari gambuh. Saat ini seka gambuh yang masih aktif, antara lain dari Batuan (Gianyar), Pedungan (Kota Denpasar) dan Padangaji (Karangasem). Ketiganya hadir dengan ciri dan identitas yang masih dianut para pendukungnya masing-masing. Salah satu yang menjadikan gambuh langka adalah karena drama tari

ini merupakan ungkapan seni yang serius dan rumit. Berpola ketat, sementara penyajiannya protokoler. Bobot artistiknya hadir seiring kompleksitasnya, baik koreografi maupun komposisi musiknya. Secara historis gambuh pedungan merupakan seni istana yang erat kaitannya dengan puri satria dan puri pemecutan. Gambuh mendapat perlindungan dan pengayoman dari penguasa kedua puri tersebut. Besarnya perhatian raja pada kesenia gambuh pada waktu itu menyebabkan gambuh pedungan tumbuh dan berkembang melahirkan penari-penari gambuh yang handal. Salah satu di antaranya yang sangat terkenal adalah I Gede Geruh (Gotama, 2019:83).

I Gede Geruh (almarhum) adalah seorang tokoh dan penari gambuh yang saat ini telah berusia 76 tahun mengungkapkan bahwa, gambuh yang beliau warisi hingga dewasa ini adalah juga warisan dari kakek-kakeknya yang hidup sekitar tahun 1836 atau boleh dikatakan jauh sebelum perang Puputan Badung. Kakeknya adalah termasuk salah satu tokoh seni di Kelurahan Pedungan, yang kemudian menjadi penari gambuh Duwe Puri Pemecutan. Selain menjadi penari milik puri, lalu di Desanya sendiri kakeknya telah berhasil merintis sekaa gambuh bersama kawan- kawannya yang berasal dari beberapa Banjar Pedungan dan dari luar Pedungan. Pada masa berurutan, di Desa Sesetan pernah pula dibentuk sebuah sekaa gambuh yang berasal dari penari-penari gambuh Duwe Puri Denpasar. Jadi dapat disimpulkan bahwa Kelurahan Pedungan menjadi tempat bangkitnya kembali drama tari gambuh ini sehingga tarian ini masih bisa dilestarikan oleh generasi muda di Kelurhan Pedungan.

Lakon utama gambuh adalah cerita Panji yang mengisahkan kehidupan, romantika dan peperangan dari kerajaan di Jawa Timur pada abad XII –XIV. Di

Bali cerita itu disebut Malat sesuai dengan nama tokoh sentral yakni Panji Amalat Rasmi. Cerita Panji merupakan kisah yang sangat populer dalam masyarakat Indonesia, khususnya Bali. Cerita ini adalah karya cipta asli budaya Nusantara bukan import seperti Mahabharata dan Ramayana.

Pementasan, Penokohan dan Gending Drama Tari Gambuh di Pedungan

Drama tari gambuh memiliki fungsi yang sangat relegius di wilayah Kelurahan Pedungan sebagai bagian dari upacara adat yang sakral. kesenian ini akan dimulai pada pukul 09.00 dan berlangsung hingga tengah hari. Sehari setelah rahina tumpek wayang drama tari gambuh dipentaskan di Tegallalang, karena Gelungan gambuh dan Ratu Ayu (Rangda) nunas (meminta) taksu disana dan 3 (tiga) setelah rahina tumpek wayang drama tari gambuh di pentaskan di Pura Puseh Pedungan. Maka dari itu jika gambuh ini tidak dipentaskan atau tidak ditarikan maka pemangku di Pura Puseh Pedungan mendapat teguran dari ida sesuunan yang berada disana seperti gerubug atau musibah lainnya.Drama tari gambuh jika difungsikan untuk hiburan maka dipentaskan pada malam hari.

Di dalam pementasan drama tari gambuh terdapat 2 (dua) sifat tokoh yaitu tokoh manis (halus) dan tokoh keras (kasar). Di dalam pertunjukan, Gambuh menampilkan peran-peran utama yang baku yang diambil dari cerita Panji seperti: Condong, Kakan- kakan, Putri, Kade-kadean, Demang Tumenggung, Rangga, Patih, Prabu, dan peran-peran ini ditampilkan dalam sebuah susunan adegan yang juga baku yang terdiri dari tiga bagian (pepeson) yakni: 1. Pepeson putri, yang meliputi: condong, kakan-kakan, putri. 2. Pepeson panji meliputi: kade-kadean, panji, dan 3. Pepeson prabu: melibatkan sejumlah peran dan prabu (Purnamawati, 2018:2).

Drama tari gambuh yang memiliki lima macam bentuk yaitu bentuk gineman/batel, bentuk bapang, bentuk bebaturan, bentuk lelambatan, dan bentuk sesimbaran atau bebancangan. Bentuk gegneman adalah bentuk gending yang mempunyai melodi bebas, walapun menelusuri semua nada namun tidak terikat dengan mat (ritme) yang pas. Bentuk barong adalah bentuk gending mempunyai ukuran empat pukulan kajar per satu kempur, terdiri dari tiga bagian yaitu bapang/pengadeng/bapang, mempunyai tempo yang sedang (tidak secepat batel) kecuali di bagian tengahnya (pengadeng) yang lebih lambat dan di dalam bagiab bapang itu sering memakai ngelik (suling melengking dengan memindahkan melodi ke nada- nada kecil. Bentuk bebaturan adalah gending yang mempunyai bentuk susunan gending yaitu kawitan,pengawak dan kembali seperti bagian pemulain dengan motif ABA, gending bebaturan mempunyai motif (pupuh) kekendangan yang sama dengan pengulangan beberapa kali sesuai dengan karakter gending itu sendiri, tempo gendingnya sedang, dipakai untuk mengiring kekerasan sehingga disebut dengan gending keras atau gending gangsaran. Bentuk gending lelambatan adalah bentuk gending yang terdiri dari kawitan,pengawak dan pengecet yang memiliki tempo gending sangat lambat dan ukurannya panjang dengan pola kekendangannya memiliki pola tersendiri sesuai dengan komposisi gendingnya. Bentuk gending sesimbaran adalah gending yang berukuran lebih bebas terlepas dari uger-uger bentuk bebanturan atau lelambatan (Sudiartha, 2015:68).

Eksistensi dan Makna Drama Tari Gambuh di Pedungan

Kesenian daerah yang sekaligus menjadi warisan budaya semakin tergerus oleh adanya laju globalisasi

seperti tarian gambuh beserta gamelannya perlu di lestarikan sebagi warisan dari leluhur. Satu di antara dramatari klasik Bali yang dianggap bermutu tinggi oleh para budayawan asing adalah gambuh. Gambuh Pedungan telah mengalami berbagai periode historis, masa populer atau kurang populer. Gambuh Pedungan pernah mengalami masa-masa kejayaan, ketika ia terlahir sebagai seni istana dan diayomi oleh para Raja. Dalam kapasitasnya sebagai seni puri (istana) serta dukngan yang sangat kuat dari Raja yang cinta akan perkembangan kebudayaan, gambuh mengalami perkembangan yang sangat pesat pada saat gambuh menjadi seni kesayangan seisi puri dan masyarakat sekitarnya. Kondisi ini telah menyebabkan gambuh tumbuh dan berkembang menjadi teater besar istana pada abad ke-19. Hal ini semakin mendapat legitimasi dimana kebanyakan istana pada abad ke-19 memiliki tempat khusus yang disebut bale pegambuhan (Sudiartha, 2015:68).

Tahun 1998, Yayasan arti Foundation Bersama Taman Budaya Denpasar telah membangun gambuh memakai ceritra Eropa karangan Shakespeare yaitu Macbeth. Penari-penarinya dihimpun dari alumnus STSI Denpasar dengan sutradara Ulf Gadd dari Swedia dan Kadek Suardana. Gambuh Macbeth mendapat sambutan hangat dari masyarakat pencinta seni karena tatanan dramatisasi dan alur ceritra yang cukup menarik. Tahun 2002 telah ditampilkan di Jerman. Pada tahun 2005, panitia peringatan Hari Kartini mementaskan gambuh SI Denpasar dengan semua penarinya wanita. Hal ini dilakukan sebagai emansipasi wanita pada kesenian klasik Bali yang menjadi sumber tari dan musik Bali.

Sejak tahun 1970 ini hingga tahun hingga tahun 2014, gambuh Pedungan keadaannya sangat memprihatinkan.

Penyebab kemunduran kesenian gambuh adalah karena sulit dan tiadanya regenerasi sehingga pergantian penari maupun penabuh tidak bisa dilaksanakan. Konon keterpurukan gambuh dibeberapa tempat disebabkan enggannya generasi muda belajar gambuh. Di banyak tempat, sudah menjadi rahasia umum kalau generasi muda malas belajar gambuh. Mereka mengaku mengalami kesulitan, karena untuk dapat menari gambuh secara baik dasarnya adalah bakat. Ada anggapan dikalangan generasi muda bahwa gerakan-gerakan tari gambuh sangat rumit dan “menyebalkan”. Di samping itu, dalam gambuh bukan hanya gerakan tari saja yang ditampilkan, juga ada dialog-dialog yang harus diucapkan dalam bahasa Jawa kuno atau bahasa kawi. Konon hal yang satu ini menjadi salah satu faktor penyebab mengapa anak muda kini enggan mempelajari gambuh. Kebanyakan sekaa gambuh yang masih aktif dewasa ini semata- mata karena senimannya menaruh rasa peduli yang sangat tinggi pada warisan leluhurnya. Keberadaan mereka lebih banyak karena adanya keterkaitan antara seniman gambuh dengan sesuhunan-nya di Pura (Sarwa dan Wardizal, 2017).

Oleh karena itu untuk membangkitkan kembali ke masa kejayaan gambuh Pedungan, banyak cara dan upaya yang telah dilakukan baik pengurus sekaa gambuh pedungan maupun pemerintah Kelurahan Pedungan. Secerah harapan mulai mucul pada saat dibentuknya Sanggar Seni yang berada di lingkungan Banjar Menesa-Puseh. Sanggar Seni ini selain mengajarkan dasar-dasar tarian sejak tahun 2007 mulai mengerjakan tentang drama tari gambuh sebagai pembibitan calon seniman-seniman gambuh Pedungan.

Sanggar Seni merupakan sarana untuk berkreatifitas menegenal kesenian baik tarian, gamelan, lukisan, sastra dan

kesenian     di      suatu     daerah.

Mengoptimalkan peranan sanggar seni adalah salah satu cara untuk meningkatkan minat generasi muda untuk terus melestarikan tarian yang merupakan warisan budaya yang harus terus dipertahankan dan dilestariakan, seperti yang ada di Kelurahan Pedungan. Berdirinya Sanggar Tari Kertha Jaya yang terletak di Banjar Menesa adalah Sanggar Seni yang merupakan wadah untuk belajar drama tari gambuh , karena mulai tahun 2007 sanggar ini yang pada awalnya hanya mengajari tentang tarian tradisional Bali, sekarang sudah mulai membina tarian dan gamelan gambuh. Dahulunya tari gambuh di Kelurahan Pedungan itu hanya ditarikan oleh kaum dewasa saja bahkan genersai muda pun tak sedikit meliriknya. Namun sejak didirikannya sanggar tari ini, generasi muda terutama anak-anak yang ingin mengembangkan bakat menarinya bisa bergabung untuk mempelajari tarian ini dalam wadah Gambuh Cilik Kertha Jaya (Sudiartha, 2015:69).

Dalam drama tari gambuh terdapat makna-maknayang         terkandung

didalamnya yaitu Makna Relegius, Makna estetika, Makna Sosial Budaya, Makna Pendidikan dan Makna Identitas. Makna Relegius yang terkandung didalam drama tari gambuh yang dilakukan oleh masyarakat Kelurahan Pedungan sehubungan dengan fungsi upacara agama (Piodalan), yaitu sebagai pelaksanaan tugas dan kewajiban dalam bermasyarakat dan berupacara menurut kepercayaan masyarakat setempat dan pelaksanaan drama tari gambuh memantapkankeyakinan     masyarakat

setempat, bahwa persembahan dengan drama tari gambuh dapat mengantarkan umat untuk mencapai tujuan keselamatan,kesejahteraan,kemakmuran, dan kebahagiaan, melalui upacara agama (Piodalan) yang diselenggarakan di Kelurahan Pedungan. Di dalam drama

tari gambuh juga memiliki dharma pengambuhan yang merupakan lontar yang memuat mantar-mantra uantuk penari, gamelan, sesajen yang harus dipersembhakan ketika akan memprtunjukan drama tari gambuh (Budiarsa, 2017:20). Dalam perkembangan kebudayaan, ritual atau kegiatan upacara tersebut didapatkan perwujudan yang indah menjadi kesenian, sehingga timbullah apa yang disebut dengan kesenian sakral. Drama tari gambuh yang sebagai bagian dari seni tari, tariannya yang dinikmat oleh manusia melalui indera penglihatan. Melalui gerakan yang dihasilkan oleh tarian tersebut dapat menggugah perasaan indah seseorang. Adapun yang dimaksud dengan estetika religius adalah adanya keterkaitan antara suatu karya seni dengan religi. Hal inilah yang menjadikan suatu karya seni memiliki nilai sakral.

Pada awalnya seni merupakan suatu cara untuk melukiskan dan mengomunikasikan sesuatu. Sebuah seni pertunjukan baru bermakna atau dapat diresapkan, apabila dalam seni pertunjukan tersebut terkandung kekuatan pesan yang komunikatif. Adapun makna sosial budaya yang terkandung Dalam pementasan drama tari gambuh ini semua elemen saling melengkapi misalnya, jika tidak ada pentonton pementasan ini tidak dapat menyampaikan pesan yang terkandung di dalam cerita yang pentaskan. Jika penari tidak ada penabuh acara tidak akan berjalan. Sama halnya dengan tidak adanya penari pementasan ini tidak dapat menyampaikan pesannya kepada masyarakat yang menontonnya.

Dalam proses pelaksanaan drama tari gambuh yang dilakukan oleh para pregina dan sekaa gambuh duwe Pedungan meningkatkan pengetahuan para generasi muda akan pentingnya melaksanakan kesenian sakral tersebut.

Beberapa cerita dari pementasan drama tari gambuh sebagai hiburan ini memberikan nilai kehidupan yang bisa dicontoh oleh para penonton dari posisi positifnya, karena setiap jalan cerita pasti mengandung pesan-pesan dan makna yang terselip didalam ceritanya.

Identitas adalah suatu esensi yang dapat dimaknai melalui tanda selera, kepercayaan, sikap, dan gaya hidup. Identitas dianggap bersifat personal sekaligus sosial dan menandai bahwa “kita sama atau berbeda” dengan orang lain (the others) (Ganeswari, 2016). Drama tari gambuh Pedungan memang memiliki ciri khas tersendiri dari segi geraknya. Teknik gerakannya di Pedungan lebih klasik atau sederhana dari gerakan gambuh di kabupaten lainnya. Masyarakat Kelurahan Pedungan juga sangat bangga saat menjelaskan mengenai drama tari gambuh. karena, hal ini menunjukkan bahwa drama tari gambuh di Kelurahan Pedungan memang telah menjadi bagian dari identitas kebudayaan mereka.

SIMPULAN

Kesenian drama tari Gambuh di Bali telah mengalami perjalanan lima abad, namun tetap eksis karena berfungsi sebagai sarana upacara. Pada mulanya diayomi dan dipelihara oleh istana / raja, namun kini sudah menjadi milik desa yang dilestarikan pendukungnya. Gambuh merupakan dramatari klasik berbentuk total teater karena di dalamnya terpadu dengan baik dan harmonis elemen-elemen tari, vocal/dialog, musik, drama, sastra dan seni rupa sehingga menjadi inspirator seni pertunjukan yang lahir kemudian (Arini, 2011:4). dibentuknya Sanggar Seni yang berada di lingkungan Banjar Menesa-Puseh. Sanggar Seni ini selain mengajarkan dasar-dasar tarian sejak tahun 2007 mulai mengerjakan tentang drama tari gambuh sebagai pembibitan calon seniman-

seniman gambuh Pedungan.

Sanggar Seni merupakan sarana untuk berkreatifitas menegenal kesenian baik tarian, gamelan, lukisan, sastra dan kesenian     di      suatu     daerah.

Mengoptimalkan peranan sanggar seni adalah salah satu cara untuk meningkatkan minat generasi muda untuk terus melestarikan tarian yang merupakan warisan budaya yang harus terus dipertahankan dan dilestariakan, seperti yang ada di Kelurahan Pedungan. Berdirinya Sanggar Tari Kertha Jaya yang terletak di Banjar Menesa adalah Sanggar Seni yang merupakan wadah untuk belajar drama tari gambuh , karena mulai tahun 2007 sanggar ini yang pada awalnya hanya mengajari tentang tarian tradisional Bali, sekarang sudah mulai membina tarian dan gamelan gambuh. Dahulunya tari gambuh di Kelurahan Pedungan itu hanya ditarikan oleh kaum dewasa saja bahkan genersai muda pun tak sedikit meliriknya. Namun sejak didirikannya sanggar tari ini, generasi muda terutama anak-anak yang ingin mengembangkan bakat menarinya bisa bergabung untuk mempelajari tarian ini dalam wadah Gambuh Cilik Kertha Jaya.

REFERENSI

Arini Kusuma, A. A. Ayu, (2011). Gambuh Sebagai Inspirator Seni Pertunjukan Bali. Artikel (2011) 2(3). 2011.

Astini, Siluh Made. (2001). Makna Dalam Busana Dramatari Arja Di Bali. Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran Seni 2(2). 2001.

Bandem, I. M. (1996). Evolusi Tari Bali. Yogyakarta: PT Kanisius.

Budiarsa, I.W. (2019). Drama Tari Gambuh Di Era Revolusi Industri 4.0. Seminar Nasional Fakultas Seni

Pertunjukan.

Budiarsa,      I.W.(2017).      Vokal

Pertunjukan Drama Tari Gambuh Desa Batuan Gianyar Dalam Cerita ‘Karya Gunung Pengebel’. Jurnal Seni Pertunjukan 3(1). 2017.

Dibia, I. W. (1994). Tari Tarian Bali Kreasi Baru:           Bentuk,

Pertumbuhan              dan

perkembangannya. Jurnal of Art and Culture 2(1).

Eny, I. V. (2000). Tari Bali: Sebuah Telaah Historis (Bali Dance: A Historical Research). Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran Seni 1(2), 75-90.

Formagia, Maria Cristina. 2000. Gambuh Drama Tari Bali. Tinjauan Seni, Makna Emosional dan Mistik, Kata-Kata dan Teks. Musik Gambuh di Desa Batuan dan Desa Pedungan. Denpasar: Yayasan Lontar.

Gotama Adi dan Dewi Prayitna. (2019), Gede Geruh Pengukuh dan Pengokoh Dramatari Gambuh Desa Pedungan, Kota Denpasar. 1(1). 2019.

Purnamawati Ni Diah.     (2018),

Deskripsi Dialog Drama Tari Gambuh Cerita    “Dedoyan”.

Jurnal Seni Pertunjukan 4(1). 2018.

Ruastiti, N.M. (2017). Membongkar Makna Pertunjukan Tari Sang Hyang Dedari Di Pura Saren

Agung Ubud, Bali Pada Era Global. Jurnal Seni Budaya 32(2)

Sarwa dan Wardizal, I Nengah. (2007), Pasang Surut Gambuh Pedungan Di Tengah Laju Budaya Global. Mudra Jurnal Seni Budaya 21(1). 2007.

Sigit, S, (2013). Dampat Globalisasi Media Terhadap Seni dan Kebudayaan Indonesia. Jurnal Ilmu Komunikasi 2(1).

Sitti, R. A. A. (2017). Mengembangkan Kapasitas Pemuda dengan Meningkatkan Keterlibata n dalam Melestarikan Budaya Lokal Sebagai Aset Kekayaan Nasional. Academia.edu.

Sudiartha, I Kadek Agus Dwi.2015. “I Made Lempig Tokoh Pelestarian Seni Pegambuhan Pedungan, Kota Denpasar”. (Tesis). Denpasar: Institut Seni Indonesia.

Sumiari N.K, & Setyarini, N.P. (2015). Perancangan Media Publik Kesenian Tari Bali Berbasis Web. Stmik Jurnal Sistem dan Informatika (KNS&1).

Thamrin, M. (2012). Kesenian dan Masyarakat. Jurnal Imajinasi 1(4). 2012.