DOI: https://doi.org/10.24843/SP.2020.v4.i01.p04

p-ISSN: 2528-4517

Dinamika Pola Kepemimpinan Adat di Dusun Adat Karampuang Sulawesi Selatan

Fakhira Yaumil Utami*, Ni Luh Arjani, Ni Made Wiasti

Program Studi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana [[email protected]], [[email protected]], [[email protected]], Denpasar, Bali, Indonesia

*Corresponding Author

Abstract

This research discusses the dynamics of customary leadership patterns in the Karampuang customary hamlet of South Sulawesi and the impact of these dynamics. The problems that will be discussed in this research are (1) Why is there a dynamic of customary leadership patterns in Karampuang village (2) What is the impact of the dynamics of customary leadership patterns in Karampuang customary village. This research is a qualitative research using social change theory and leadership theory. as a basis for answering both problems. The results of this study reveal that the dynamics of customary leadership patterns in the Karampuang customary village are influenced by internal factors and external factors. The dynamics of customary leadership towards the community can be classified into several fields, namely the impact in the legal and environmental, economic, socio-cultural fields all of which have a beneficial impact on indigenous peoples; whereas the field of education is less profitable for indigenous peoples due to less motivation to demand higher education.

Keywords: Dynamics, Customary Leadership, Karampuang.

Abstrak

Penelitian ini membahas tentang dinamika pola kepemimpinan adat di dusun adat Karampuang Sulawesi Selatan dan dampak yang ditimbulkan dari dinamika tersebut. Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah (1) Mengapa terjadi dinamika pola kepemimpinan adat di dusun adat Karampuang (2) Bagaimana dampak dari dinamika pola kepemimpinan adat di dusun adat Karampuang.Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan teori perubahan sosial dan teori kepemimpinan sebagai landasan untuk menjawab kedua permasalahan. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa dinamika pola kepemimpinan adat di dusun adat Karampuang dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Adanya dinamika kepemimpinan adat terhadap masyarakat dapat diklasifikasi dalam beberapa bidang yaitu dampak di bidang hukum dan lingkungan, ekonomi, sosial budaya semuanya berdampak menguntungkan bagi masyarakat adat; sedangkan bidang pendidikan kurang menguntungkan bagi masyarakat adat akibat motivasi yang kurang untuk menuntut pendidikan yang lebih tinggi.

Kata Kunci: Dinamika, Kepemimpinan Adat, Karampuang.

Sunari Penjor: Journal of Anthropology

Prodi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Unud

PENDAHULUAN

Desa Karampuang yang terletak di kecamatan Bulupoddo kabupaten Sinjai mempunyai sebuah dusun adat yang dikenal dengan dusun Karampuang yang mempunyai Lembaga adat dengan sistem kepemimpinan adat. Pemimpin adat (Raja pertama) di desa Karampuang adalah seorang perempuan dan membawahi 6 orang raja yang semuanya laki-laki di wilayah kekuasaannya.

Meskipun Raja pertamanya perempuan, tetapi sistem kekerabatan di desa Karampuang menganut sistem patrlinieal. Patrilineal adalah suatu sistem kekerabatan masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak ayah, sehingga masyarakat yang mempunyai sistem marga harus menggunakan nama marga dari keturunan ayah.

Hijang (2005) menyatakan bahwa kepemimpinan adat dalam dusun adat Karampuang tampak mengalami perubahan pada posisi dan peran para pemimpin adat yang merupakan satu kesatuan dalam sebuah lembaga adat Karampuang. Kepemimpinan zaman dahulu perempuan menempati posisi dominan dalam memimpin kerajaan, tetapi seiring perkembangan zaman posisi pemimpin adat saat ini hanya seorang perempuan dan tiga orang laki-laki dengan pemetaan peran yang telah diatur berdasarkan kesepakatan. Kepemimpinan erat hubungannya dengan kondisi-kondisi politik, sosial, pergeseran, dan lainnya yang berlaku di tengah-tengah suatu masyarakat. Kepemimpinan merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang dalam melaksanakan/memengaruhi tindakan orang lain dalam menentukan respons yang diinginkan dan mereka akan menjalankannya dengan senang hati.

Kepemimpinan yang berlangsung dalam suatu masyarakat tertentu tidak pula terlepas dari berbagai faktor yang

mendukung masyarakat itu sendiri, misalnya kondisi sosial budaya, sistem nilai yang dimiliki, agama dan kepercayaan yang dianut, peranan dan status yang diembannya. Salah satu pola yang ada dalam masyarakat adalah kepemimpinan adat yang menurut Weber adalah kepemimpinan orde sosial yang bersandar kepada kebiasaan-kebiasaan kuno dan hak-hak pemimpin juga sangat ditentukan oleh adat kebiasaan. Kepemimpinan adat juga memerlukan unsur-unsur kesetiaan pribadi yang menghubungkan hamba dengan Tuhannya.(Fatimah,2011:75-77)

Sebuah masyarakat dalam perjalanan waktu pasti mengalami perubahan , baik perubahan sosial maupun kebudayaan. Perubahan tersebut ada yang sangat mencolok dan berpengaruh secara luas tetapi juga ada yang prosesnya sangat lambat. Perubahan yang terjadi dalam masyarakat dapat berupa perubahan nilai-nilai sosial, pola-pola perilaku, lapisan dalam masyarakat, pola-pola kepemimpinan dalam sebuah lembaga kemasyarakatan atau wewenang.

Perubahan sosial dan kebudayaan dapat berimplikasi terhadap perubahan pola kepemimpinan karena adanya beberapa faktor yang memengaruhinya. Faktor-faktor yang dapat memengaruhi terjadinya perubahan sosial dan kebudayaan dalam sebuah masyarakat dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu faktor internal (yang bersumber dari dalam masyarakattnya sendiri) yaitu bertambah dan berkurangnya penduduk, pemberontakan dalam masyarakat, adanya penemuan-penemuan baru, pertentangan dalam masyarakat (baik antar individu dengan kelompok, maupun antar kelompok). Selain itu, faktor eksternal (bersumber dari luar masyarakat),yaitu faktor lingkungan alam yang ada disekitar manusia seperti bencana alam, peperangan, pengaruh kebudayaan lain

dengan melalui adanya kontak kebudayaan antara dua masyarakat atau lebih yang memiliki kebudayaan yang berbeda.

Masyarakat dusun adat Karampuang mempunyai beberapa tradisi yang masih terpelihara hingga saat ini dengan adat istiadat adat yang masih dijaga sejak kepemimpinan adat zaman dahulu yang dipimpin seorang Raja perempuan. Dalam perjalanan sejarahnya dikisahkan bahwa Raja perempuan ini mengangkat 6 orang laki-laki menjadi Raja pada enam wilayah kerajaan-kerajaan kecil pada zaman pemerintahannya yaitu wilayah Ellung Mangenre, Bollangi, Bontona Barua, Carimba, Lante Amuru, dan Tassese. Setelah berakhirnya masa pemerintahan Raja perempuan, maka masyarakat desa Karampuang yang saat ini bermukim dalam sebuah kawasan dusun adat Karampuang mempunyai struktur lembaga adat tersendiri yang berbeda dengan struktur pemerintahan formal.

Sejak dahulu masyarakat dusun adat Karampuang mengenal pola kepemimpinan adat yang bersifat demokratis karena pemimpin adatnya dipilih secara langsung dan disepakati oleh seluruh warganya. Pada saat salah seorang pemimpin meninggal dunia maka tidak boleh dimakamkan sebelum ada penggantinya yang telah disepakati. Penggantian pemimpin yang meninggal tidak dapat diwariskan secara turun temurun kepada anak-anaknya, tetapi harus melalui fase dan kriteria yang agak berat berdasarkan kesepakatan para pemimpin adat yang masih hidup dann disetujui oleh seluruh warganya. Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi pengganti salah seorang pemimpin adat adalah telah menikah, tidak pernah membuat kesalahan yang merugikan masyarakat, tidak sedang berperkara, berumur sekitar 35 tahun, memahami adat, memahami norma-

norma      dalam     masyarakatnya,

berwibawa, dan bersifat membujuk.

Fenomena ini memperlihatkan terjadinya dinamika pola kepemimpinan masa dahulu yang dipimpin oleh seorang raja perempuan yang membawahi 6 orang raja laki- laki. Sedangkan di masa kini pemimpin adat dipegang oleh 3 orang laki-laki dan hanya seorang perempuan (posisi   sanro)   dalam

masyarakat dusun adat Karampuang. Hal inilah yang sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut untuk mengetahui mengapa terjadi dinamika pola kepemimpin adat dari sudut pandang perubahan sosial, faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya dinamika kepemimpinan adat tersebut, dan untuk mengetahui bagaimana implikasi dari adanya dinamika pola kepemimpinan adat tersebut dalam masyarakat adat Karampuang.

Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini (1) Mengapa terjadi dinamika pola kepemimpinan adat di dusun adat Karampuang (2) Bagaimana dampak    dari    dinamika    pola

kepemimpinan adat di dusun adat Karampuang.

METODE

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Metode kualitatif dapat dibagi atas tiga kelompok. (1) Heuristik atau pengumpulan sumber (2) Kritik sumber, dan (3) Interpretasi. Dalam pengumpulan sumber-sumber penelitian, penulis mengunakan     data-data     berupa

wawancara, dokumen, arsip dan gambar, serta sumber pustaka yang berkaitan dengan penelitian ini.

KONSEP

Dinamika

Dinamika adalah suatu yang mengandung arti kekuatan, selalu

bergerak, berkembang, dan dapat menyesuaikan diri secara memadai terhadap keadaan. Dinamika juga dapat berarti adanya interaksi dab saling ketergantungan antara kelompok satu dengan kelompok lainnya (Hamida et.al 2020)

Pengertian dinamika juga dapat dikatakan gerak/tingkah laku atau kekuatan yang dimiliki sekumpulan orang dalam suatu masyarakat yang dapat menimbulkan terjadinya perubahan dalam tata kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Masyarakat mencoba melakukan perubahan-perubahan untuk mempertahankan adat atau budaya jika terjadi konflik kepentingan dalam kehidupannya.

Kepemimpinan

Menurut Tead dan Hoyt, kepemimpinan adalah kegiatan atau seni memengaruhi orang lain agar mau bekerjasama yang didasarkan pada kemampuan orang tersebut untuk membimbing orang lain dalam mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan kelompok (dalam Yunita, 2017: 26).

Ukuran keberhasilan kepemimpinan tidak resmi terletak pada tujuan dan implikasi dari pelaksanaan kepemimpinannya, apakah menguntungkan atau merugikan masyarakat yang dipimpinnya.

KERANGKA TEORI

Teori Perubahan Sosial

Soekanto (2013) berpendapat bahwa perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan kebudayaan. Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagiannya, yaitu: kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat, dan seterusnya, bahkan perubahan dalam bentuk serta aturan-aturan organisasi sosial.

Teori perubahan sosial mengacu kepada segala bentuk perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di

dalam suatu masyarakat yang perubahannya berkaitan dengan nilai-nilai sosial, dinamika-dinamika perilaku, organisasi, lembaga kemasyarakatan, lapisan dalam masyarakat, kekuasan serta wewenang, dan sebagainya.

Teori Kepemimpinan

Kepemimpinan adalah dinamika hubungan yang kuat antara pemimpin dan yang dipimpin, serta disesuaikan tempat dan situasi di mana mereka berada di dalam melaksanakan kepemimpinannya. Sehubungan dengan masalah kepemimpinan secara umum dan kepemimpinan adat, akan menggunakan teori versi Kartono (2018) yang membedakan antara pemimpin formal dan pemimpin informal. Pemimpin formal yaitu orang yang oleh organisasi/lembaga tertentu ditunjuk sebagai     pemimpin,     berdasarkan

keputusan dan pengangkatan untuk memangku suatu jabatan dalam struktur organisasi, dengan segala hak dan kewajiban yang berkaitan dengannya, untuk mencapai sasaran organisasi. Sedangkan pemimpin Informal yaitu orang yang tidak mendapatkan pengangkatan formal sebagai pemimpin, namun karena ia memiliki sejumlah kualitas unggul, dia    mencapai

kedudukan sebagai orang yang mampu memengaruhi kondisi psikis dan perilaku suatu kelompok atau masyarakat. Sifat kepemimpinan ada yang bersifat resmi (tersimpul dalam suatu jabatan ) dan tidak resmi (berdasarkan      pengakuan       dan

kepercayaan     masyarakat     karena

kemampuan             menjalankan

kepemimpinanya).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dinamika Pola Kepemimpinan Adat di Dusun Adat Karampuang

Pada awal abad ke-13 kerajaan Karampuang dipimpin oleh seorang raja

perempuan yang membawahi 6 kerajaan di wilayah Karampuang yang semua rajanya adalah laki-laki. Bentuk kepemimpinan adat dalam masyarakat dusun adat Karampuang merupakan bentuk yang tidak direncanakan. Kepemimpinannya berubah karena kondisi sebagian masyarakat dusun adat Karampuang yang tidak ingin meninggalkan tradisi leluhur sehingga membentuk struktur lembaga adat dengan struktur kepemimpinan yang berbeda dengan kepemimpinan adat Karampuang sejak pertama kali terbentuk.

Struktur Lembaga adat yang ada sejak berakhirnya masa pemerintahan Raja perempuan telah memperhitungkan kebutuhan dan kondisi sosial budaya masyarakatnya. Struktur Lembaga adat empat yang terdiri dari 4 orang pemimpin adat, dengan komposisi 3 orang pemegang adat laki-laki yaitu To Matoa, Gella, dan Guru, serta seorang pemegang adat yang kedudukannya harus dijabat oleh seorang perempuan yaitu posisi Sanro.

Faktor-faktor yang memengaruhi dinamika kepemimpinan adat yang tercermin pada struktur Lembaga adat dapat diklasifikasi atas faktor intenal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi:

Nilai keselamatan dan kepasrahan hidup, Bagi masyarakat adat peningkatan taraf hidup bukan dari aspek materi tetapi lebih mengarah kepada peningkatan kualitas kehidupan mereka agar selalu selamat hidup di dunia hingga di akhirat. Warga dusun adat Karampuang mempunyai keyakinan bahwa hubungan dengan leluhur yang sudah meninggal tetap dilakukan hingga saat ini karena mereka percaya bahwa leluhur mereka dapat ikut mendoakan agar keselamatan dan kedamaian hidup dunia akhirat tercapai.

Menjaga adat dan tradisi, Kepentingan dan tujuan yang sangat kuat di kalangan warga dusun adat

Karampuang adalah ingin hidup damai dengan tetap menjalankan dan menjaga tradisi-tradisi yang telah diwariskan oleh pendahulu mereka. Masyarakat Karampuang berpendapat bahwa meninggalkan tradisi sama dengan membuat sebuah kesalahan dan kelalaian besar terhadap pendahulunya. Jadi meninggalkan tradisi dan ritual yang nenek moyang mereka sudah lakukan turun temurun sama dengan melupakan orang tua sendiri. Bentuk penghormatan kepada Raja pertama yang merupakan seorang perempuan sehingga untuk mengenang Sang raja maka dibangunlah rumah adat yang berfungsi sebagai istana kerajaan Karampuang dengan bentuk dan arsitektur anatomi tubuh seorang perempuan. Adat atau kebiasaan berupa pola-pola perilaku dari anggota masyarakat dusun adat Karampuang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari masih terus dijaga yang meliputi kepercayaan, sistem mata pencaharian, pembuatan rumah, cara berpakaian.

Sikap masyarakat yang tradisionalistis, Masyarakat adat Karampuang adalah masyarakat yang masih tradisionalistis dalam berbagai dimensi kehidupan. Hal ini sejalan dengan gaya hidup mereka yang menganut hidup sederhana, mulai dari makanan sehari-hari, peralatan dan perlengkapan dalam rumah tangga. Misalnya, dapur yang masih menggunakan kayu bakar untuk memasak makanan, peralatan dapur juga sebagian masih tradisional. Hal ini terlihat dari cara hidup mereka yang sangat sederhana, seperti dapur yang masih menggunakan kayu bakar.

Sedangkan faktor eksternal meliputi:

Kontak dengan kebudayaan lain yang berupa difusi intra-masyarakat, Kontak dengan kebudayaan lain berupa difusi

intra-masyarakat yang mana unsur baru berlawanan dengan fungsi unsur lama sehingga sebagian besar tidak diterima oleh masyarakat dusun adat. Kondisi sosial budaya masyarakat Karampuang yang masih tradisional tentu saja tetap mempertahankan budaya dan tradisi yang telah lama mereka jalankan, tetapi di pihak lain pengaruh budaya luar tidak bisa dihindari. Kondisi masyarakat di luar desa Karampuang Kabupaten Sinjai pada umumnya tidak lagi sepaham dengan pemikiran masyarakat dusun adat yang tetap ingin mempertahankan pola perilaku kehidupan yang tradisional dan bersifat tidak membuka diri terhadap adanya perubahan. Adanya kontak antara tradisi dan pola perilaku yang baru dan tradisional inilah yang akhirnya menyebabkan adanya difusi intra-masyarakat.

Hubungan dengan masyarakat lain kurang, Masyarakat dusun adat Karampuang tampak tidak menutup diri dari masyarakat lain tetapi mobilisasi warganya memang cukup terbatas. Hal ini terlihat jika memasuki kawasan dusun di mana warga dusun tampak tidak terlalu terusik dan tidak terlalu peduli dengan kedatangan orang luar. Suasana dusun sangat sepi karena para warganya beraktivitas di dalam rumah atau di sekitar halaman rumah saja. Para warga setempat tampak tidak ingin berinteraksi dengan orang- orang yang datang mengunjungi tempat mereka apalagi terhadap orang yang tidak mereka kenal kecuali jika kami bertanya, barulah mereka menjawab seadanya dengan santun.

Perkembangan ilmu pengetahuan, Pengetahuan yang masyarakat adat dapatkan adalah lebih banyak berbentuk pengetahuan tradisional dengan belajar dari pengalaman hidup dan belajar dari lingkungan yang biasa kita namakan kearifan lokal dan kearifan lingkungan. Misalnya alat penerangan yang mereka

gunakan pada malam hari bukan berasal dari listrik tapi menggunakan alat penerangan tradisional seperti lampu minyak tanah, tetapi karena kelangkaan memperoleh minyak tanah para warga membuat penerangan lain berupa lilin yang terbuat dari ranting bercabang dua dan dilumuri dengan kemiri halus yang telah ditumbuk sehingga dapat dibakar karena apinya bertahan lama sehingga berfungsi sebagai alat penerangan. Buah kemiri dengan mudah warga peroleh karena salah satu bentuk mata pencaharian para perempuan adalah sebagai pengumpul kemiri. Para perempuan sangat berperan dalam hal proses pencarian kemiri, pembuatan dan penyediaan alat penerangan, termasuk penyediaan makanan untuk konsumsi sehari-hari dalam rumah tangga. Perkembangan ilmu pengetahuan di kalangan warga Karampuang diterima dengan baik lebih pada alasan adanya kebutuhan komunikasi dan transportasi, seperti penggunaan handphone , alat transportasi sepeda motor. Meskipun demikian, modernisasi dalam beberapa aspek masih ditolak seperti penyediaan listrik oleh pemerintah khususnya di Kawasan dusun adat menuju rumah adat Karampuang yang letaknya di atas ketinggian. Suasana sepi sepanjang perjalanan menuju rumah adat sebagai tempat tinggal para pemimpin Lembaga adat sangat terasa karena bisa terdengar suara kicauan burung atau kokok ayam dengan jelas. Jalanan sekitar wilayah dusun adat ditumbuhi berbagai macam pepohonan meskipun daerah sekelilingnya juga merupakan gunung-gunung batu.

Dampak Dinamika Pola Kepemimpinan Adat Di Dusun Adat Karampuang

Dampak dari terjadinya dinamika pola kepemimpinan adat di dusun adat Karampuang yang paling mencolok pada

bidang sosial dan budaya yakni dimana Hasil analisis terjadinya dinamika kepemimpinan adat dalam masyarakat adat Karampuang menunjukkan bahwa dampak pelaksanaan kepemimpinan lembaga adat ini yang disebut sebagai lembaga adat empat membawa dampak sosial budaya tersendiri dan menguntungkan bagi warga dusun adat Karampuang khususnya, dan masyarakat kabupaten Sinjai pada umumnya. Keberadaan dusun adat Karampuang ini beserta lembaga adat yang dimilikinya serta kondisi sosial budaya masyarakatnya yang relatif masih tertutup dan tradisionalistis menjadi ikon budaya tersendiri bagi kabupaten Sinjai. Dengan adanya pemertahanan budaya berupa rumah adat, tradisi, dan ritual tertentu yang dijaga oleh para warga dusun adat Karampuang menjadi daya tarik tersendiri bagi orang luar untuk mengunjungi lokasi dusun adat ini.

Dampak sosisal budaya yang dirasakan warga dusun adat ini adalah akibat peran Arung selaku ketua pemimpin adat selalu melaksanakan perannya dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab sehingga warganya merasa selalu terlindungi karena tidak pernah ada masalah dalam menjalankan kepemimpinannya. Dampak sosial budaya juga dirasakan masyarakat atas peran Gella dalam kehidupan sehari-hari yang fokus kepada kesejahteraan masyarakat dusun adat dan menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh warga dengan rasa kekeluargaan.

Dampak sosial budaya yang membawa keuntungan warga dusun adat yang tergambar dari tugas Gella tersebut di mana masyarakat dusun adat merasakan hidup damai dalam kecukupan sesuai standar hidup normal warganya. Dampak lainnya dalam pelaksanaan tugas pemimpin adat sebagai lembaga penjaga dan pelaksana adat (eksekutif) juga dirasakan oleh

warga dusun adat karena semua permasalahan warga dusun adat ditangani pemimpin adat tanpa harus menjalani birokrasi yang berbelit-belit. Dampak yang ditimbulkan dari adanya kepemimpinan lembaga adat di desa adat Karampuang pada umumnya bersifat positif.

Hal ini dibuktikan dengan kondisi sosial, budaya, hukum, ekonomi, kesehatan masyarakat yang bermukim dalam desa adat tersebut yang tampak damai dan sejahtera (menurut ukuran ekonomi masyarakat setempat), tanpa ada gejolak sosial dan kejahatan yang terjadi. Menurut hasil wawancara dengan informan kunci maupun informan tambahan, dalam dusun adat ini selama puluhan tahun tidak pernah ada pencurian dalam berbagai bentuknya. Jika ada konflik yang muncul dalam masyarakat adat maka diselesaikan secara adat sehingga tidak ada satu pun kasus hukum yang dibawa ke Pengadilan pemerintahan kabupaten Sinjai untuk beberapa kasus yang pernal muncul adat Karampuang.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah dijelaskan pada beberapa, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

Kepemimpinan adat di dusun adat Karampuang mengalami dinamika kepemimpinan di mana kepemimpinan masa lau dipimpin seorang raja perempuan dan membawahi enam wilayah kerajaan kecil masing-masing di bawah kepemimpinan raja laki-laki, lalu berubah menjadi kepemimpinan adat empat (ade’ eppa’) yang dijabat oleh tiga orang pemimpin laki-laki dan seorang perempuan , yaitu To matoa (Arung), Gella, Sanro (harus dijabat perempuan), dan guru. Kepemimpinan lembaga adat empat di dusun adat Karampuang mempunyai pola

kepemimpinan demokratis dan kepemimpinannya sejalan dengan ciriciri kepemimpinan masyarakat tradisional yang berpatokan pada adat, norma, aturan, kesetiaan individu, dan bersifat agak tertutup (tidak sepenuhnya tertutup). Kepemimpinan lembaga dusun adat Karampuang saat ini menjalankan peran yang mirip dengan lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Dinamika kepemimpinan adat di dusun adat Karampuang dipengaruhi sejumlah faktor berupa yaitu faktor internal, yang meliputi (1) nilai keselamatan dan kepasrahan hidup (2) menjaga adat dan tradisi (3)sikap masyarakat yang tradisionalisitis; dan faktor eksternal yang meliputi (1) kontak dengan kebudayaan lain yang berupa difusi intra-masyarakat (2) hubungan dengan masyarakat lain kurang, (3) perkembangan ilmu pengetahuan.

Dampak dinamika kepemimpinan yang dirasakan masyarakat adat Karampuang pada umumnya adalah bersifat menguntungkan pada bidang hukum dan lingkungan, bidang ekonomi, bidang sosial-budaya. Sedangkan pada bidang pendidikan berdampak belum terlalu menguntungkan karena tampaknya pendidikan formal warga dusun adat relatif masih rendah sehingga masih perlu terus dimotivasi untuk membuka diri di bidang Pendidikan. Kepemimpinan adat di dusun adat Karampuang dinilai berhasil karena berdasarkan ukuran keberhasilan kepemimpinan tidak resmi terletak pada tujuan dan dampak yang menguntungkan dari pelaksanaan kepemimpinannya.

Pergantian zaman akan merubah teknologi maupun struktur sosial, begitu juga halnya dengan kepemimpinan yang ada di dusun adat Karampuang. Seiring berjalannya waktu dusun adat Karampuang tidak lagi dipimpin oleh perempuan melain lelaki. Untuk itu dusun

adat Karampuang sangat menarik untuk dikaji lebih dalam tentang perubahan sosial dusun tersebut maupun perubahan kepemimpinan di dusun tersebut.

REFERENSI

Achmad, Z. H., Sudikno, A., & Nugroho, A. M. (2017). Kosmologi Ruang Vertikal Dan Horizontal Pada Rumah Tradisional (Sa’o) Desa Adat Saga, Kabupaten Ende, Flores. Arteks:   Jurnal Teknik

Arsitektur, 1(2), 171-184.

Adnan, S. (2017). Kepemimpinan Masa Lalu Sulsel; Upaya Transformasi Dan Kehati-Hatian Pada Jejak-Jejak Kolonial. Mimikri, 3(1), 114121.

Alting, H. (2011). Penguasaan Tanah Masyarakat Hukum Adat (Suatu Kajian terhadap Masyarakat Hukum Adat Ternate). Jurnal Dinamika Hukum, 11(1), 87-98.

Enembe, Y., Deeng, D., & Mawara, J. E. (2018). Kepemimpinan Kepala Suku Pada Suku Lani Di Desa Yowo Distrik Kembu Kabupaten Tolikara. Holistik, Journal of Social and Culture.

Fatimah, S. (2011). Kepemimpinan tradisional             masyarakat

Minangkabau    pada    masa

pendudukan Jepang. Tingkap, 7(1).

Fatimah, S. (2012). Gender dalam komunitas            masyarakat

Minangkabau; Teori, praktek dan ruang lingkup kajian. Kafaah: Journal of Gender Studies, 2(1), 11-24.

Hamida, H., Ridha, M. R., & Jumadi, J. (2020). Masyarakat Adat Tangsa di

Enrekang Sulawesi Selatan, 20042018. Chronologia, 2(1), 17-29.

Hijjang, P. (2014). Pasang dan Kepemimpinan       Ammatoa:

Memahami Kembali Sistem Kepemimpinan        Tradisional

Masyarakat     Adat     dalam

Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Kajang                 Sulawesi

Selatan. Antropologi Indonesia.

Idrus, N. I. (2014). Antropologi feminis: Etnografi, relasi gender dan relativisme       budaya       di

Indonesia. Antropologi Indonesia.

Jusniaty, J.,  & Sani, K. R. (2018).

Pengelolaan     Modal     Sosial

Masyarakat Dalam Perumusan Kebijakan Pemerintah Desa Di Kabupaten

Sinjai. administrasita', 9(2),     89

100.

Jurnal Kajian Dakwah dan Komunikasi, 1(2).

Soekanto, S.,   & Soemarjan, S.

(1969). Sosiologi: suatu pengantar. Jajasan Penerbit Universitas Indonesia.

Zaini, N. (2014). Representasi Feminisme    Liberal    Dalam

Sinetron:    Analisis Semiotika

Terhadap Sinetron Kita Nikah Yuk. Jurnal Penelitian Komunikasi dan Opini Publik, 18(3), 123874.

Katubi, K. (2004). Studi Bahasa Dan Jender: Sejarah Singkat, Ancangan, Dan Model Analisis. Jurnal Masyarakat dan Budaya, 6(1), 3756.

Mustam, A. (2017). Budaya gender dalam masyarakat perspektif temporal ekologi dan sosial ekonomi. AL-MAIYYAH:   Media

Transformasi Gender dalam Paradigma                Sosial

Keagamaan, 10(2), 186-209.

Ramli, Y. M. (2012). Agama dalam Tentukur Antropologi Simbolik Clifford      Geertz. International

Journal of Islamic Thought, 1, 62.

Rosmaniar, R.,  & Misbahuddin, M.

(2020). Tantangan Dakwah Dalam Tradisi Akkattere Pada Komunitas Ammatowa Kajang Dalam Kabupaten Bulukumba. Washiyah: