DOI: https://doi.org/10.24843/SP.2019.v3.i02.p02

p-ISSN: 2528-4517

Upacara Su’u Ine Mbupu Wangga Ame Uwa di Komunitas Adat Wodowatu

Maria Asthincya Goo*, I Nyoman Suarsana, I Nyoman Sama Program studi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Unud [[email protected]] [[email protected]] [[email protected]]

Denpasar,Bali, Indonesia *Corresponding Author

Abstract

The Su’u ine mbupu wangga ame uwa ceremony held by the Wodowatu indigenous community of Keo Tengah, Nagekeo Regency, NTT Province is a very rare ceremony to be held. The Su’u ine mbupu wangga ame uwa ceremony involves five tribes in its process, which consists of believer of Catholic and Islam. This ceremony is believed by the adat community of Wodowatu to have a very important function for their survival. This research aimed to reveal the process and function of the Su’u ine mbupu wangga ame uwa ceremony. The functionalism theory by Merton. The concepts used are Function, Ceremony, and Society. The study research methods with Ethnographic research model through observation technic, interview, and literature studies. Supporting intruments of this research are interview guides, voice recorders, camera, and stationery.Based on the results of the study, it is known that the ceremony of Su’u ine mbupu wangga ame uwa has three important stages, namely the first stage or the preparation stage which consist of internal deliberations between the Adat leaders of Sa’o Mere and Doka Ora; The second stage is the implementation stage which consist the preparation of materials, the stage of processing. The third stage, the final stage, consists of, traditional party, and the tolak bala rituals. Su’u ine mbupu wangga ame uwa also has functions that is known and also unknown to their indigenous community such as religious function, educational function, kinship function, and economic function.

Keywords: Function, Ceremony, Su’u ine mbupu wangga ame uwa

Abstrak

Upacara Su’u ine mbupu wangga ame uwa yang dilakukan komunitas Adat Wodowatu, Desa Udiwodowatu Kecamatan Keo Tengah Kabupaten Nagekeo, NTT merupakan upacara yang sangat langka diselenggarakan. Dalam pelaksanaanya upacara su’u ine mbupu wangga ame uwa melibatkan lima suku yang terdiri dari umat Katolik dan Islam. Upacara ini diyakini masyarakat kampung adat Wodowatu memiliki fungsi yang penting bagi kelangsungan hidup mereka. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap proses dan fungsi upacara su’u ine mbupu wangga ame uwa. Penelitian ini menggunakan teori Fungsionalisme Merton untuk mengungkap fungsi manifest dan fungsi laten dalam pelaksanaan upacara Su’u ine mbupu wangga ame uwa. Konsep yang digunakan yaitu Fungsi, Upacara, dan Masyarakat. Penelitian menggunakan metode penelitian kualitatif dengan model penelitian etnografi melalui teknik observasi, wawancara, dan studi pustaka. Instrumen pendukung penelitian adalah pedoman wawancara, alat perekam suara, kamera, dan alat tulis. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Upacara Su’u ine mbupu wangga ame uwa memiliki tiga tahap penting yaitu tahap pertama atau tahap persiapan yang terdiri dari musyawarah interen antara pemuka adat Sa’o Mere dan Doka Ora; Musyawarah dengan suku – suku lainnya seperti Fua Pade, Sawu Tao, Wodowatu Wena, dan selanjutnya diinformasikan kepada warga kampung. Tahap kedua yaitu tahap pelaksanaan

Sunari Penjor: Journal of Anthropology

Prodi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Unud

terdiri dari persiapan bahan, pengukiran kayu dan tahap pengerjaan. Pada tahap ketiga yakni tahap penyelesaian: pesta adat, dan ritual tolak bala. Selain beberapa proses penting di atas, Upacara Su’u ine mbupu wangga ame uwa juga memiliki fungsi baik yang disadari maupun yang tidak disadari oleh masyarakat adatnya seperti Fungsi Religi, Fungsi Pendidikan, Fungsi Kekerabatan, dan Fungsi Ekonomi.

Kata Kunci : Fungsi, Upacara, Su’u ine mbupu wangga ame uwa

  • 1.    Latar Belakang

Nagekeo adalah nama sebuah Kabupaten yang terbentuk pada tanggal 8 Desember 2006, yang terletak di Flores Tengah diantara Kabupaten Ngada dan Kabupaten Ende. Masyarakat yang mendiami Kabupaten Nagekeo terdiri dari sub etnis Hoga atau ata Bai, Hoga Toto, Hoga Edu, Hoga mude, Hoga Doa, Hoga Wolozili, Hoga Nage, Hoga Deru Wae, Hoga Solo Rowa, ata keo dan ata ma’u. Mereka memiliki beraneka ragam upacara adat yang masih dilestarikan secara baik oleh masyarakat setempat. Salah satunya adalah upacara yang berkaitan dengan pembangunan rumah adat. Rumah adat merupakan bangunan rumah yang mencirikan kekhasan bangunan suatu daerah di Indonesia yang melambangkan kebudayaan dan ciri khas masyarakat setempat menyangkut dengan kepribadian masyarakat daerah tersebut (Molbang,2016: 53). Dalam kehidupan masyarakat Nagekeo rumah adat memiliki peran yang sangat penting bagi kehidupan masyarakatnya. Fungsi bangunan ini adalah tempat menyimpan benda-benda pusaka warisan leluhur (Hermawan,2014: 148).

Upacara adat dilaksanakan agar hubungan antara manusia dan Nggae Ndewa (Tuhan) selalu harmonis. Dalam upacara yang dilaksanakan oleh masyarakat Nagekeo, leluhur (ine ame embu kajo) memiliki peran yang sangat penting. Leluhur (ine ame embu kajo) merupakan suatu media yang memberikan jalan atau petunjuk untuk sampai kepada Tuhan.

Komunitas Kampung Adat Wodowatu memiliki rumah adat yang disebut sa’o enda atau sa’o jara”. Sa’o enda atau sa’o jara (rumah kuda) yang terletak di ujung utara/atas kampung Wodowatu dengan posisi berdekatan dengan sa’o mere dan menghadap ke arah peo secara spasial membentuk pola terpusat (radial) yakni berupa deretan rumah adat yang mengelilingi ruang terbuka pada bagian tengah kampung. Posisi radial tersebut pula berpengaruh terhadap orientasi bangunan rumah adat yakni seluruh bagian depan rumah adat menghadap ke arah ruang terbuka (Sabono,2017:36). Pelaksananya, ada lima suku (ngapi) yang berasal dari dua penganut agama yang berbeda yaitu Islam dan Katolik yang ikut terlibat dalam upacara pembangunannya. Kelima suku itu adalah sa’o mere, doka ora, fua pade, sawu tao, dan wodowatu wena.

Bagi masyarakat adat Wodowatu sa’o enda memiliki kedudukan yang sangat tinggi karena sa’o enda digunakan sebagai tempat untuk menyimpan kerangka hewan korban, seperti tanduk dan kepala kerbau (tandu ne’e udu kamba) juga rahang babi (kangge, weli wawi), yang disembelih pada berbagai ritual adat yang dilakukan. Sa’o enda mengandung the spirit of space banyak kesakaralan dan makna, mulai dari elemen – elemen permukiman yang membentuk suatu kawasan. Salah satu dari Kesakralan itu sa’o enda digunakan sebagai tempat untuk membuat persembahan kepada leluhur dari semua rumah adat yang keturunannya ikut terlibat dalam ritual tersebut (Mulkthar, 2013:31).

Selain beberapa hal tersebut, ada beberapa alasan dan dasar pertimbangan yang melatari ketertarikan penulis untuk meneliti upacara adat atau su’u ine mbupu wangga ame uwa (menjunjung amanat leluhur, memikul warisan nenek moyang) Pertama, adanya keterasingan dari budaya sendiri. Kesadaran peneliti akan keterbatasan tingkat pengetahuan dan pemahaman terhadap kebudayaan dari mana peneliti berasal, menghantarkan peneliti pada sebuah perasaan asing dari budaya sendiri. Sebagai bagian dari Masyarakat Adat Wodowatu, peneliti diharapkan mengetahui kebudayaannya dengan baik, bahkan seharusnya peneliti memiliki suatu perasaan yang istimewa terhadap kebudayaannya. Kedua, upacara Su’u ine mbupu wangga ame uwa merupakan upacara yang sangat langka, karena tidak dilaksanakan setiap tahun dan upacara ini merupakan upacara adat yang besar karena melibatkan lima suku besar di dalamnnya. Suku-suku tersebut merupakan suku-suku yang berasal dari Desa Udiwodowatu. Masing-masing suku ini harus memberikan sumbangan (ndou mapi, pebhu tindu) berupa babi dan beras yang nantinya akan dimakan bersama-sama. Akan tetapi, upacara Su’u ine mbupu wangga ame uwa di Kampung Adat Wodowatu mengalami dinamika. Salah satu bentuk dinamika dalam upacara su’u ine mbupu wangga ame uwa yaitu adanya sakramen ekaristi pada acara puncak upacara nado mere (perjamuan raya). Namun pada dasarnya upacara tersebut tetap eksis walaupun kemajuan teknologi telah merambat diberbagai bidang kehidupan masyarakat seperti dalam bidang pendidikan, religi, ekonomi, dan sosial budaya. Berdasarkan beberapa alasan di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “ Upacara Su’u ine mbupu wangga ame uwa di Kampung Adat Wodowatu’’.

  • 2.    Pokok Permasalahan

Masalah penelitian yang dikaji dalam penelitian ini dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: a)     Bagaimana proses upacara su’u

ine mbupu wangga ame uwa di kampung adat Wodowatu, kecamatan Keo Tengah, Kabupaten Nagekeo, NTT?

  • b)    Apa fungsi upacara su’u ine

mbupu wangga ame uwa di kampung adat Wodowatu, kecamatan Keo Tengah, Kabupaten Nagekeo, NTT?

  • 3.    Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a)  Untuk mengetahui proses upacara

Su’u ine mbupu wangga ame uwa di Kampung Adat Wodowatu, Desa Udiwodowatu Kecamatan Keo Tengah Kabupaten Nagekeo.

  • b) Untuk mengetahui fungsi upacara Su’u ine mbupu wangga ame uwa di Kampung Adat Wodowatu, Desa Udiwodowatu Kecamatan Keo Tengah Kabupaten Nagekeo.

  • 4.    Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif. Metode ini didapat dari hasil interaksi antara peneliti dan sumber data, baik manusia maupun benda. Sebagaimana Lewis (dalam Nabanik dan Nababan, 2015:161). mendeskripsikan metode     etnografi,     menekankan

penggunaan metode pengalaman terlibat (partisipant observation), untuk dapat menggambarkan kebudayaan masyarakat yang ditelitinya secara menyeluruh dan bulat sehingga tampak pola-pola kebudayaan dari masyarakat tertentu. Dengan menggunakan metode ini si penulis hidup diantara warga masyarakat yang ditelitinya, dengan identitas yang jelas, untuk mempelajari guna memahami dan turut menggunakan ungkapan

ungkapan kebudayaan yang mereka gunakan dalam kehidupan sehari-hari, baik yang berterus terang dan jelas maupun samar.

Penelitian ini dilakukan di Kampung Adat Wodowatu, Kecamatan Keo Tengah, Kabupaten Nagekeo, NTT. Selain itu, teknik pengumpulan data dilakukan dengan tiga cara yaitu tenik observasi yang diperoleh dan dikumpulkan dengan menggunakan panca indra , teknik wawancara dengan menentukan informan pangkal dan informan kunci melalui teknik purposive sampling agar data yang diperolah bisa representatif (Sugiyono,2008: 218-219) dan teknik studi kepustakaan yang didapat dari buku, koran, majalah jurnal dan media sosial sebagai referensi tambahan. Dalam penelitian ini terdapat tiga tahapan yang harus di kerjakan dalam menganalisis data peneliti kualitati yaitu reduksi data, penyajian data sementara, penafsiran data dan menarik kesimpulan. Reduksi data diartikan sebagai pemilihan, pemusatan perhatian pada penyerdehanaan, pengabstrakan, dn transformasi data “ kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi data berlangsung terus menerus selama proyek yang berorientasi penelitian kualitatif berlangsung. (Miles dan Hubermas (2014: 16)

  • 5.    Hasil dan Pembahasan

    • 5.1    Proses Upacara Su’u Ine Mbupu Wangga Ame Uwa

Sebelum mendirikan bangunan terlebih dahulu diadakannya upacara-upacara tertentu sesuai adat leluhur mereka tujuan upacara tersebut adalah untuk keselamatan penghuni rumah diwaktu menempati rumah (Ramadan,2004: 75). Membangun sa’o enda terdiri dari beberapa rangkaian upacara yaitu

  • 5.1.1    Upacara tahap I yang dilakukan sebelum Pembangunan sa’o enda

  • a)     Musyawarah Interen antara Para

Pemuka Adat: Sa’o Mere dan Doka Ora. Pada tahap ini dilakukan mutu (musyawarah) secara interen antara pihak pemuka adat (sa’o mere) bersama pendamping utamanya (doka ora) yang bertempat di luar kampung induk Wodowatu. Lokasi yang dipilih biasanya di kampung Tonggo

  • b)    Musyawarah dengan Suku-suku

Lainnya Fua Pade, Sawu Tao dan Wodowatu Wena. Musyawarah kedua ini akan dilakukan di tempat yang sama seperti sebelumnya. Dalam musyawarah tersebut, suku-suku (ngapi) yang diundang akan diminta pendapat dan tanggapan berhubungan dengan rencana pembangunan rumah adat yang dirancang oleh pihak sa’o mere dan doka ora. ( Tule, 2006: 17)

  • c)    Pembicaraan dengan Warga

Kampung: Udu Mere Eko Dewa

  • 5.1.2    Upacara tahap II (Upacara yang dilakukan saat tahap pengerjaan sa’o enda

  • a)    Persiapan Bahan:  No’e Dako

(Memburu dengan menggunakan anjing untuk mencari pohon yang digunakan untuk Rumah adat), Wangga Kaju (memikul kayu) dan Tama Kaju (Kayu diarak masuk ke kampung). Acara ini bertujuan untuk mencari pohon-pohon yang akan digunakan untuk pengerjaan Rumah Adat. Gong Gendang dan Ana Susu akan menemani acara ini sampai selesai. Ponggo Kaju (Menebang Pohon). Acara ini akan dipandu oleh ana susu dan para tua-tua adat

  • b)    Tahap Pengerjaan : Ke’o Pondo dan Weti Geri (Mengukir Kayu) Litu giru Ritual weti geri akan diawali dengan melukai kayu embu dengan topo dema odo (sejenis parang) yang oleh

masyarakat setempat disebut parang adat. Ana Susu akan melakukan ritual ini dan selanjutnya diserahkan kepada tukang untuk mengukir kayu tersebut sesuai dengan budaya setempat`, karena setiap budaya mempunyai ukiran dan arti yang berbeda.

  • 5.1.3    Upacara tahap III (Upacara yang dilakukan setelah membangun sa’o enda)

  • a)    Lombo lindi

Lombo lindi (memotong ujung atap) Dilakukan dengan memotong bagian ujung atap yang tidak digunakan lagi pada rumah adat Enda. Biasanya atap rumah adat sa’o enda menggunakan atap yang terbuat dari alang-alang atau dalam bahasa setempat disebut ki, dipercaya oleh leluhur terdahulu dapat melindungi diri dari udara yang sangat dingin, alang-alang atau ki juga dapat menyerab kelembaban udara. (Nurhasanah, 2017:207)

Ritual adat ini hanya terjadi ketika selesai mengerjakan Enda dan hanya dilakukan oleh para kepala suku, tua adat dan perwakilan lainnya yang disetujui oleh mosadaki (pemangku adat) setempat.

  • b)    Perjamuan Raya (Nado Mere)

Nado mere sebagai tanda syukur, pujian, penghargaan dan tu awu dapu. pengakuan atas keangungan dan kemahakuasaan Ngga’e Ndewa juga karya serta perjuangan para leluhur yang selalu dikenang kembali setiap kali merayakan Nado mere. Segenap warga masyarakat adat akan terlibat dalam upacara nado mere tersebut. Upacara ini merupakan puncak dari seluruh rangkaian kegiatan pembangunan sa’o enda dengan nado mere (perjamuan raya). Setelah ritus peresmian sa’o enda baru, dua pasang parang dan tombak ditempatkan di atas atap kuda kayu, seperti di rumah gendang dan rumah lainnya. Penduduk setempat

menyebutnya sebagai alat yang digunakan oleh leluhur untuk melindungi anggota rumah dari setiap roh jahat tertentu (ata podo) yang mungkin datang melalui pintu dan atap.

  • c)    Tu awu dapu (Tolak Bala)

Ritual Tu awu dapu merupakan tahap akhir atau tahap penutupan dari semua proses upacara Su ’u ine mbupu wangga ame uwa. Menurut istilahnya ‘tolak bala’ yang terdiri dari dua kata yaitu ‘tolak’dan‘bala’.‘Tolak’ berarti penolakan; usaha untuk menghindari, menangkal, sedangkan ‘bala’ berarti bahaya yang datang tiba-tiba. Jadi tolak bala berarti usaha untuk menghindari bahaya yang datangnya bukan darimanusia melainkan makhluk gaib dan kekuatan-kekuatan alam yang membahayakan keselamatan Upacara ini juga bertujuan untuk menyampaikan ucapan terimakasih kepada nenek moyang karena telah memberikan petunjuk sehingga masyarakat Wodowatu menyelesaikan pekerjaan yang begitu berat tepat pada waktunya.

  • 5.2    Fungsi Upacara Su’u Ine Mbupu Wangga Ame Uwa

Merton menyatakan fungsionalisme struktural juga memiliki bagian-bagian dimana ada fungsi positif, dan disfungsi (fungsi yang mengarah ke hal yang negatif) yang meliputi dua pemikiran yang berbeda tetapi saling melengkapi, terdapat juga ide nonfungsi, fungsi nyata (manifest) dan fungsi tersembunyi (laten). Fungsi manifest adalah konsekuensi objektif yang membantu penyusuaian atau adaptasi dari sistem yang dan disadari oleh para partisipan dalam sistem tersebut, sedangkan fungsi laten adalah fungsi yang tidak dimaksudkan atau disadari (Merton, dalam Syam, 2007). Fungsi manifest dari upacara Su’u ine mbupu wangga ame uwa yang dilaksanakan oleh masyarakat

62 | Maria Asthincya Goo, I N Suarsana, I N Sama kampung adat Wodowatu adalah fungsi upacara yang disadari atau merupakan tujuan utama masyarakat Wodowatu melaksaankan upacara tersebut.

Redcliffe – Brown, (dalam Dakosta, 2017: 37) pemikiran tentang fungsi di dasarkan pada pemikiran bahwa budaya sebagai suatu mekanisme adaptif yang membuat manusia menjaga kehidupan sosial sebagai suatu komunitas yang teratur. Adapun fungsi upacara su’u ine mbupu wangga ame uwa bagi kehidupan masyarakat Wodowatu yaitu fungsi religius yang dipercayai masyarakat wodowatu sebagai penghubung antara Tuhan, roh penjaga kampung, dan roh – roh leluhur. Fungsi Kekerabatan dalam upacara ini tumbuh dan berkembang sebagai hasil dari interpretasi manusia pendukungnya    dalam    menjawab

persoalan-persoalan kehidupan yang menyangkut hubungan manusia dengan tuhannya, tata hubungan manusia dengan sesama manusia, dan tata hubungan manusia dengan lingkungan alamnya. (Niron,2016: 48) membuat masyarakat

saling terikat satu dengan yang lain sehingga dapat membina hubungan kekerabatan disamping itu. Makna pendidikan dapat mendidik masyarakat setempat khususnya generasi penerus baik secara langsung maupun tidak langsung. Makna ekonominya untuk meringankan beban atau mengurangi beban masyarakat yang dapat dilihat sumbangan atau kontubusi (ndou mapi) masyarakat dalam upacara pembangunan rumah adat beserta monumen – monumen budaya lainnya.

  • 6.    Simpulan

Upacara su’u ine mbupu wangga ame uwa merupakan upacara adat yang berkaitan dengan proses pembangunan rumah adat sa’o enda beserta monumen budaya lainya seperti peo, mandu dan sa’o tangi yang dilaksanakan oleh komunitas masyarakat adat Wodowatu.

Upacara ini terbilang upacara langka yang sampai saat ini masih dilestarikan. Dalam proses pelaksanaan upacara su’u ine mbupu wangga ame uwa tentunya upacara ini juga mempunyai fungsi bagi masyarakatnya baik fungsi yang disadari (manifest) dan fungsi yang tidak disadari (laten). Adapun fungsi Laten dalam Prosesi Upacara Su’u Ine Mbupu Wangga Ame Uwa adalah fungsi religi, fungsi pendidikan, fungsi kekerabatan, dan fungsi ekonomi.

  • 7.    Daftar Pustaka

Dakosta, Maria. 2017. Upacara Ngoa Ngi’i di Desa Sawu Kecamatan Mauponggo Kabupaten Nagekeo NTT. Denpasar: Jurnal Universitas Udayana Volume 18 No. 2: 32-38.

Damani, L. Erond. Nababan, Jojor A.

Teresia.2015.Eksistensi        Supir

AngkutanPerempuan:   Life story

Supir Angkutan Umum Perempuan Rute Medan-Deli Serdang. Medan: Jurnal Antropologi Sosial dan Budaya Volume 1 No.2: 158-166.

Fitrisia, Azmi. 2014. Upacara Tolak Bala Refleksi Kearifan Lokal Masyarakat Nelayan    Kenagarian    Painan

Kabupaten Pesisir Selatan Provinsi Sumut Terhadap Laut.Padang: Jurnal Humanus Volume XIII No. 1: 51-58.

Hermawa, Iwan.2014. Bangunan Tradisional Kampung Naga Bentuk Kearifan     Warisan     Leluhur

Masyarakat Sunda.    Bandung:

Volume 1 No. 2:142-150.

Kamis, Sriyanti. 2016. Upacara Pande Mbaru Gendang di Kampung Tenda Kelurahan Tenda Kecamatan Langke Rembong Kabupaten Manggarai Flores NTT. Denpasar:   Jurnal

Universitas Udayana Volume 17 No. 3: 270-277.

Milles, B.M dan A.M. Hubermas. 2014. Analisa data kualitatif (terjemahan Tjetjep Rohendi Rohid). Jakarta: UI Press.

Mulkthar, A Mulktihis, Dkk. 2013.Struktur Kontruksi Arsitektur Tradisional Bangunan Tradisional Keda Suku Ende Lio Di Pemukiman Adat Wolotolo. Malang: Jurnal RUAS, Volume 11 No 1: 17-28

Molbang, Amir, Abraham Nurcahyo. 2016. Rumah Adat Lakatuil di Desa Bampalola, Kecamatan Alor Barat laut, Kabupaten Alor NTT (kajian historis, nilai    filosofi, serta

potensinya sebagai sumber belajar sejarah). Madiun: Jurnal Agastya Volume 6 No. 2: 51-72.

Niron, Benediktus Belan. 2006. Upacara Adat  Lepa Bura pada

Masyarakat Lamaholot di Desa Sulengwaseng,  kecamatan  Solor

Selatan, Flores Timur. Badan Diktar Provinsi NTT: Volume 1 No.2: 94100.

Nurhasanah.2007. Makna Simbolik Uma Lengge     Bagi     Masyarakat

Tradisional Sambori Kecamatan Lambitu Kabupaten Bima. Bima: Volume 3 No 1: 201-209.

Wardani, Sri Trisna. 2017. Upacara Adat Mantu Kucing di Desa Purworejo Kabupaten Pacitan. Madiun: Volume 7 No 1:66-81

Ramadan, Sachrul.2004. Arsitektur Venankular Muna. Kendari: Jurnal NALARS Volume 3 No. 2: 66-77.

Sabono, Ferdy. 2017. Konsep Rumah Tumbuh Pada Rumah Adat Tradisional      Dusun      Doka

NTT.Yogyakarta:  Jurnal MEDIA

MATRASAIN Volume 14, No 1: 34-50.

Tule, Philipus. 2006. Maju Bersama, Niodede berjaya, Udiworowau Bersatu, Kita Maju Membangun. Mumere: Ledalero

Robert K. Merton:  2007. Analisa

Fungsional. Jakarta: Rajawali