DOI: https://doi.org/10.24843/SP.2019.v3.i01.p04

p-ISSN: 2528-4517

Tata Ruang Rumah Tradisional Desa Pengotan

Pandu Sukma Demokrat*, I Nyoman Suarsana, Ni Made Wiasti Prodi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana [pandusukma13@gmail.com] [inyomansuarsana.58@gmail.com] [mwiasti@yahoo.com]

Denpasar, Bali, Indonesia *Corresponding Author

Abstract

The form and function of the spatial structure of the traditional village of Pengotan are fully integrated with the life of the Pengotan Village community. Because the traditional house of Pengotan Village plays a very important role in various matters relating to community activities, especially the issue of sacred activities. These activities form a strong bond to the form and function of the traditional village of Pengotan. The traditional village of Pengotan strongly applies the upstream-teben concept to its location, shape and layout. Oriented to the north because it focuses worship on the Mount Batur region. The traditional village of Pengotan is built in a row between one house and another and is called the shadow puppet theater. The most purified building area is the northernmost and the most profane is the southernmost. There are three zones in a traditional house, namely: the upstream zone, the middle zone, and the teben zone. In the upstream zone there is a Sanggah building. the middle zone is the uma meten and bale adat building separated by natah. Then there are angkul-angkul in the teben zone. The form and function of the traditional village of Pengotan are integrated with the life of the people of Pengotan Village. Seen from the main function that is used for activities that smell sacred like traditional ceremonies. Especially large traditional ceremonies such as mass wedding and mass cremation. Behind the manifest function or function that is realized by the community there is a latent function that is not or has not been realized by the community. The latent function of the traditional village of Pengotan if observed is that of a scale and noetic energy pool so as to form a strong bond. The bond creates a harmony that is very supportive of daily community activities in Pengotan Village.

Keywords: traditional house, layout, function

Abstrak

Bentuk dan fungsi tata ruang rumah tradisional Desa Pengotan berintegrasi penuh dengan kehidupan masyarakat Desa Pengotan. Karena rumah tradisional Desa Pengotan berperan amat penting dalam berbagai hal yang berkenaan dengan aktivitas masyarakat, terutama persoalan aktivitas sakral. Aktivitas-aktivitas tersebut membentuk ikatan kuat terhadap bentuk dan fungsi rumah tradisional Desa Pengotan. Rumah tradisional Desa Pengotan sangat menerapkan konsep hulu-teben untuk letak, bentuk, dan tata ruangnya. Berorientasi ke arah utara karena memusatkan pemujaan ke kawasan Gunung Batur. Rumah tradisional Desa Pengotan dibangun berjajar antara satu rumah dengan lainnya dan disebut dengan jejer wayang. Areal bangunan paling disucikan terletak paling utara dan yang paling profan terletak paling selatan. Terdapat tiga zona dalam sebuah rumah tradisional yaitu: zona hulu, zona tengah, dan zona teben. Pada zona hulu terdapat bangunan sanggah. zona tengah terdapat bangunan uma meten dan bale adat yang dipisahkan oleh natah. Lalu terdapat angkul-angkul di zona teben. Bentuk dan fungsi rumah tradisional Desa Pengotan saling terintegrasi dengan

Sunari Penjor: Journal of Anthropology | 24 Prodi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Unud

kehidupan masyarakat Desa Pengotan. Terlihat dari fungsi utamanya yaitu dipergunakan untuk kegiatan-kegiatan berbau sakral seperti upacara adat. Terutama upacara adat besar seperti kawin massal dan ngaben massal. Di balik fungsi manifes atau fungsi yang disadari oleh masyarakat terdapat fungsi laten yang tidak atau belum disadari oleh masyarakat. Fungsi laten rumah tradisional Desa Pengotan jika diamati yaitu sebagai ruang penyatuan energi skala dan niskala sehingga membentuk ikatan yang kuat. Ikatan itu menciptakan suatu keharmonisan yang sangat mendukung kegiatan-kegiatan masyarakat sehari-hari di Desa Pengotan.

Kata kunci: rumah tradisional, tata ruang, fungsi

PENDAHULUAN

Rumah merupakan salah satu kebutuhan primer manusia. Selain berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian yang memberikan rasa aman, rumah juga berfungsi sebagai tempat internalisasi nilai-nilai sosial yang dibentuk oleh keluarga. Rumah merepresentasikan kebudayaan dimana individu atau kelompok masyarakat tinggal dalam wujud budaya materi berupa arsitektur. Keanekaragaman budaya yang ada di Indonesia turut memengaruhi keunikan budaya termasuk dari segi bangunan tempat hunian atau rumah tinggal. Budaya menurut Linton (dalam Keesing, 1981: 68) adalah keseluruhan dari pengetahuan, sikap dan pola perilaku yang merupakan kebiasaan yang dimiliki dan diwariskan oleh anggota suatu masyarakat.

Desa Pengotan yang terdapat di Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli memiliki tata ruang bangunan yang berbeda dari desa-desa lainnya. Desa Pengotan adalah sebuah desa beriklim sejuk yang berada di daerah perbukitan. Budaya dan adat di Desa Pengotan sangat kental terasa karena Desa Pengotan ini merupakan desa kuno dan termasuk Desa Bali Aga. Penggunaan Asta Kosala Kosali tidak terlihat pada pola rumah tradisional Desa Pengotan. Konsep Sanga Mandala (pembagian pekarangan menjadi 9 bagian) yang biasanya digunakan pada rumah tradisional di Bali dataran juga tidak begitu tampak.

Desa Pengotan menganut konsep hulu-teben untuk pembangunan rumah dan pengaturan tata ruang. Dr. Goris pernah membahas bahwa Bali Kuno terbagi menjadi dua pharatries, dimana pembagian tersebut menunjukkan sesuatu yang saling

berlawanan: dunia atas dengan dunia bawah, laki-laki dengan perempuan, gunung (kaja) dengan laut (kelod). Menurut Ngurah Bagus sistem pembagian tersebut layak dihubungkan dengan sistem pembagian ala Hindu, rwabhineda (dalam Wijaya, 2012: 269). Sistem sikut yang merupakan sistem pengukuran tradisional Bali dengan menggunakan anggota tubuh orang yang dituakan dalam keluarga juga sangat diterapkan dalam membangun rumah dan permukiman.

Berdasarkan pernyataan di atas mengenai rumah tradisional Desa Pengotan, muncul rumusan masalah sebagai berikut: Bagaimana bentuk tata ruang rumah tradisional Desa Pengotan dan bagaimana fungsi rumah tradisional dalam kehidupan masyarakat Desa Pengotan?

METODE PENELITIAN

Penelitian ini didasarkan atas metode kualitatif dalam mencermati realita yang terjadi dalam masyarakat Desa Pengotan. Pendekatan kualitatif seperti yang diutarakan Bogdan dan Taylor (dalam Furchan, 1992:19) adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau tulisan dan perilaku yang dapat diamati dari orang-orang (subjek) itu sendiri. Metode atau pendekatan kualitatif memberi kesempatan untuk melihat permasalahan yang ada secara lebih mendalam.

Etnografi adalah suatu ilmu atau metode yang memelajari kebudayaan lain. Etnografi merupakan suatu bangunan pengetahuan yang meliputi teknik penelitian, teori etnografis, dan berbagai macam deskripsi kebudayaan. Metode etnografi membuktikan bahwa sebagai metode penelitian kualitatif,

ia mampu melakukan analisis yang lebih mendalam serta menyajikan refleksi secara detil dalam sebuah kehidupan manusia (Spradley, 2007: 3-5). Metode ini nantinya akan digunakan dalam penelitian pada tata ruang rumah tradisional Desa Pengotan.

Penelitian kualitatif tidak menggunakan istilah populasi, tetapi Spradley menamai “Social situation” atau situasi sosial yang terdiri atas tiga elemen yaitu: tempat (place), pelaku/manusia (actors), dan aktivitas/perilaku (activity) yang berinteraksi secara sinergis. Pada situasi sosial atau obyek penelitian ini, peneliti dapat mengamati secara mendalam aktivitas masyarakat yang ada pada tempat tertentu (Sugiyono, 2014).

Jenis data yang digunakan adalah data kualitatif dimana hasil dari penelitian ini berupa data deskriptif yang menjelaskannya secara terperinci mengenai topik yang diangkat. Sumber data yang digunakan dalam peneltian ini terbagi menjadi dua jenis yaitu data primer dan data sekunder. Adapun teknik pengumpulan yang digunakan adalah sebagai berikut: 1) Teknik penentuan informan; 2) Teknik observasi partisipan; 3) Teknik Wawancara; 4) Studi Kepustakaan.

KERANGKA TEORI

Penggunaan Teori dalam penulisan ini ialah Teori Struktural-Fungsional Robert K. Merton. Teori tersebut diperlukan dalam membedah permasalahan yakni bentuk dan fungsi tata ruang rumah tradisional Desa Pengotan. Terutama pada konsep fungsi nyata (manifest) dan fungsi tersembunyi (latent). Bentuk tata ruang rumah tradisional yang sedemikian rupa memiliki fungsi nyata yang memang telah disadari masyarakat sejak lama. Penggunaan dalam kegiatan religius salah satunya. Namun terdapat fungsi tersembunyi yang belum diketahui dan disadari oleh masyarakat Desa Pengotan, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bangunan rumah tradisional Desa Pengotan berbeda dengan rumah tradisional Bali pada umumnya. Rumah tradisional Desa Pengotan memiliki ciri khas atau keunikan tersendiri. Jika dilihat dari pola permukiman

berbentuk linier dengan arah memanjang dari utara ke selatan. Terdapat jalan bercabang atau gang dari jalan utama ke arah kanan dan kiri untuk menuju rumah-rumah yang dibangun berjajar. Rumah-rumah yang dibangun berjajar dan berkelompok itu memiliki istilah yaitu jejer wayang. Setiap kelompok rumah-rumah tersebut terdiri dari 6 – 10 rumah.

Bentuk Tata Ruang Rumah Desa Pengotan

Pekarangan rumah tradisional Desa Pengotan memiliki pola yang berbeda dari desa lainnya. Suatu pekarangan rumah terdapat tiga zona, yaitu zona hulu, zona tengah, dan zona teben (Dwijendra, 2009: 72). Saat mulai memasuki kawasan rumah tradisional, pertama-tama pada zona teben terlihat sebuah angkul-angkul menyambut kedatangan orang yang berkunjung ke rumah tersebut. Berupa tembok dan pintu masuk berisi penutup atas atau atap kecil yang mengarah ke pekarangan rumah. Terkadang ditemukan juga bangunan lumbung di zona teben beberapa rumah. Sebuah toilet juga dibuat pada zona teben beberapa rumah. Lalu pada zona tengah terdapat dua bangunan saling berhadapan yaitu bale adat yang menghadap ke utara dan uma meten yang menghadap ke selatan. Di bagian utara adalah zona hulu. Yaitu tempat keberadaan sanggah atau sebuah ruang yang paling disucikan di setiap pekarangan rumah adat.

  • 1.    Angkul-angkul

Angkul-angkul terletak di ujung selatan-barat yang disebut zona nista atau zona teben pekarangan rumah. Gerbang masuk menuju pekarangan rumah tradisional Desa Pengotan. Lurus berhadapan dengan pintu masuk area sanggah. Angkul-angkul rumah tradisional Desa Pengotan awalnya dibuat dengan menggunakan batu bata yang disusun lalu dilumuri dengan tanah agar lebih tahan lama dan kokoh. Atap angkul-angkul juga terbuat dari bambu yang disusun berjajar membentuk prisma segitiga.

Seiring bergantinya zaman bahan-bahan tradisional tersebut mulai ditinggalkan oleh masyarakat Desa Pengotan. Tergantikan

oleh bahan-bahan modern seperti semen dan batako untuk badan angkul-angkul, lalu genteng cetakan untuk melengkapi atap bangunan angkul-angkul. Bahan-bahan tradisional mulai ditinggalkan karena kualitasnya kini tidak lagi sebagus zaman dahulu. Untuk pengukurannya tetap menggunakan ukuran badan orang yang di tuakan dalam suatu keluarga.

  • 2.    Bale Adat

Bale adat atau istilah lainnya disebut juga sebagai bale sakenem merupakan sebuah bangunan berbentuk segi empat menghadap ke utara berhadapan dengan uma meten. Berdinding anyaman bambu atau sering disebut bedeg, bangunan bale adat dibentuk sedemikian rupa menyesuaikan udara lingkungan sekitar yang cenderung sejuk. Atap bangunan bale adat berbentuk prisma segitiga atau istilah lainnya yaitu lampeng. Awalnya atap bangunan bale adat terbuat dari bilah-bilah bambu yang disusun seirama menyesuaikan struktur bangunan.

Jenis bambu yang dipilih untuk bahan pembuatan rumah tradisional Desa Pengotan adalah bambu tali. Di kawasan hutan bambu Desa Pengotan banyak terdapat berbagai macam jenis bambu termasuk bambu tali. Maka warga dapat dengan mudah mendapatkan bahan dasar pembuatan rumah tradisional yaitu pada hutan bambu di kawasan Desa Pengotan.

Ruang dalam bangunan bale adat terdapat bale yang terbuat dari kayu. Bale yang berada di dalam tersebut memiliki tiang atau saka yang berjumlah enam. Maka dari itu disebut juga bale sakenem. Pada bagian tiang menggunakan kayu nangka, kayu dis, atau kayu jempinis. Lalu pada bagian selain tiang atau bagian rangka atap (lambang) dan alas menggunakan kayu biasa seperti kayu albesia atau kayu-kayu yang biasa dijajakan di toko bangunan.

Bagian dasar bangunan dibangun lantai atau batur setinggi 50 – 75 sentimeter sebagai pondasi bangunan bale adat. Terbuat dari bebatuan yang disusun atau sering kali pada masa kini dibuat dengan menggunakan campuran semen. Dibentuk segi empat mengikuti bentuk bangunan bale adat.

  • 3.    Uma Meten

Bangunan uma meten terletak berhadapan dengan bale adat. Ukuran bangunan uma meten lebih besar dan lebih tinggi dibandingkan bangunan bale adat. Berbentuk segi empat, berdinding anyaman bambu, dan pada awalnya beratap bilah-bilah bambu yang disusun membentuk prisma segitiga. Tetapi kini seiring bergantinya zaman, bahan atap uma meten telah berganti menjadi genteng, seng, atau asbes. Sama halnya dengan bangunan bale adat yang mulai dibangun menggunakan bahan-bahan modern tersebut. Semakin sulit untuk merawat rumah menggunakan bahan-bahan tradisional menjadi salah satu alasan perubahan bahan dasar tersebut. Bangunan uma meten memakai lantai/batur sebagai pondasi setinggi 75 – 100 sentimeter untuk menghindari resapan air tanah. Rumah tradisional Desa Pengotan memakai sistem tersebut karena terletak di daerah yang cukup basah yaitu di dataran tinggi.

Pada bagian teras uma meten terdapat dua buah lincak atau bale yang terletak di luar. Lincak terbuat dari bambu disusun membentuk segi empat, lalu bambu yang berukuran lebih besar menjadi bagian pinggir. Lincak dibentuk serupa sebelah kanan dan kiri, lalu terdapat pintu di tengah untuk masuk ke dalam bangunan uma meten.

Ruangan dalam bangunan uma meten terdapat dua bale di sebelah barat dan sebelah timur terpisah oleh jalikan atau tungku yang terletak di tengah-tengah antara dua bale tersebut. Bale di bagian dalam uma meten tersebut dibuat dengan ukuran sama persis antara yang sebelah barat dan sebelah timur. Perbedaannya hanyalah pada arah menghadap bale tersebut. Bale pada sisi barat menghadap ke timur, sedangkan bale pada sisi timur menghadap ke barat.

  • 4.    Sanggah

Sanggah atau tempat yang paling disucikan di suatu pekarangan rumah adat terletak paling utara pada ruang terbuka. Pada area sanggah tersebut terdapat 10 buah pelinggih yang dibuat sederhana menggunakan kayu dan bambu. Sering juga ditemukan sanggah dibentuk menggunakan

bahan-bahan yang menyerupai sanggah desa Bali pada umumnya atau Bali Dataran.

Pada area sanggah pelinggih di tempatkan berbaris di posisi sebelah utara, di posisi sebelah timur, dan posisi di selatan agak ke tengah. Pelinggih-pelinggih yang terdapat dalam zona sanggah tersebut berjajar melingkar pada pinggir tembok pembatas sanggah. Pemberian tata letak pada pelinggih tersebut disesuaikan dengan keyakinan masyarakat Desa Pengotan yaitu sistem hulu-teben. Untuk penempatan pelinggih menggunakan posisi hulu.

Area sanggah keluarga besar atau pedadian pada masing-masing rumah berbeda-beda nama maupun tujuan persembahannya. Hal itu bergantung pada kebutuhan atau keyakinan dari masing-masing keluarga besar yang dipimpin oleh seorang Krama Pengarep. Berikut adalah nama-nama pelinggih yang terdapat pada area sanggah salah satu rumah tradisional di Desa Pengotan: Betara Maspait, Betara Majapahit, Sri Rambut Sedana, Betara Guru/Rong Telu, Sanghyang Ibu, Betara Surya

Fungsi Tata Ruang Rumah Tradisional

Pada rumah tradisional Desa Pengotan terdapat perbedaan yang sangat signifikan dalam perihal fungsi. Rumah-rumah tradisional Desa Pengotan yang berbaris membentuk banjaran dalam suatu komplek permukiman memiliki fungsi yang berbeda dari rumah tradisional desa-desa di Bali pada umumnya. Saat diadakannya upacara-upacara tertentu saja rumah-rumah tradisional di Desa Pengotan dipergunakan. Masyarakat Desa Pengotan ramai memenuhi komplek permukiman tradisional tersebut saat diadakannya upacara. Berbagai kegiatan seperti membuat banten dan persiapan sesembahan lainnya dilakukan di rumah-rumah itu. Di luar hari upacara adat, komplek rumah-rumah tradisional tersebut amat sepi dan hampir tidak terlihat masyarakat berada di sana. Hanya beberapa rumah saja yang terkadang terlihat ada yang membersihkan sampah atau membersihkan banten sisa upacara yang telah berlalu.

Antara satu rumah dan lainnya tidak diberi batas seperti tembok atau jenis

pembatas lainnya. Hal tersebut untuk mempermudah masyarakat berkomunikasi satu sama lain pada zaman dahulu saat keadaan-keadaan genting. Terutama pada saat peperangan sedang berlangsung. Masyarakat dapat cepat mengetahui dan tanggap akan keadaan yang sedang menyerang desa mereka. Juga saat-saat bencana alam yang menerpa seperti gunung meletus atau gempa bumi.

  • 1.    Fungsi Bangunan Angkul-Angkul

Angkul-angkul merupakan pintu atau gerbang akses keluar dan masuk rumah. Angkul-angkul memiliki fungsi-fungsi yang berkenaan dengan kehidupan masyarakat Desa Pengotan. Sebagai bangunan yang terletak paling depan pada rumah. Sebagai pengantar masuknya segala sesuatu ke pekarangan rumah. Siapa pun yang akan memasuki pekarangan rumah harus melewati angkul-angkul.

Hal tersebut menjadikan angkul-angkul sebagai penyaring energi-energi yang masuk ke dalam pekarangan rumah. Masuknya energi negatif yang seringkali membuat suasana tidak nyaman menjadi tersaring karena melewati bangunan angkul-angkul. Tersaringnya energi negatif yang masuk menjadi energi positif mendukung terlaksananya segala kegiatan di dalam pekarangan rumah. Kegiatan sehari-hari mulai dari yang profan hingga kegiatan sakral seperti upacara adat.

  • 2.    Fungsi Bangunan Bale Adat

Bangunan bale adat memiliki fungsi sebagai sarana beberapa upacara adat besar seperti kawin massal dan ngaben massal.

Pada saat upacara kawin massal dilaksanakan, bangunan bale adat digunakan untuk mempersiapkan banten dan beberapa kelengkapan lainnya. Bale adat juga sebagai tempat berdiam pengantin pria sembari menunggu hingga tiba saatnya menjemput pengantin wanita yang berdiam pada uma meten. Pengantin pria mempersiapkan diri untuk menjemput calon istri dan memakai perlengkapan di dalam bale adat. Salah satunya adalah memasang keris dipunggung mereka yang nantinya digunakan untuk

membuka pintu bangunan uma meten dan menjemput pengantin wanita.

Pada saat ngaben massal bangunan bale adat memiliki fungsi utama pada upacara ini. Upacara ngaben massal sepenuhnya dilaksanakan pada bangunan bale adat. Mulai dari mempersiapkan banten untuk persembahan terhadap Yang Maha Kuasa hingga proses upacara dilaksanakan pada bangunan ini. Dipilih salah satu rumah krama desa yang meninggal untuk diadakannya upacara ngaben massal tersebut. Kerap kali adalah rumah dari krama desa yang memiliki status sosial tinggi atau sebagai krama desa yang ternama.

Selain itu terdapat upacara lainnya yang dilaksanakan pada bangunan bale adat. Upacara tersebut ialah metelah atau mewinten yang merupakan upacara pembersihan ketika seseorang yang terpilih menjadi orang suci. Metelah dilaksanakan pada saat hari lahir atau oton orang tersebut yang akan melaksanakan upacara. Lalu ada pula upacara potong gigi atau disebut juga mepandes yang dilaksanakan di bangunan tersebut.

  • 3.    Fungsi Bangunan Uma Meten

Salah satu fungsi dari bangunan uma meten adalah digunakan saat upacara kawin massal. Penggunaan uma meten pada upacara kawin massal ialah untuk tempat berdiam pengantin wanita saat menunggu pengantin pria menjemput untuk dibawa ke Pura Penataran Agung. Pada pelaksanaan upacara kawin massal banten untuk persembahan diletakkan dalam bangunan uma meten ini, yaitu pada bale yang terletak di sebelah timur. Sedangkan bale yang terletak di sebelah barat dapat digunakan untuk duduk atau tidur.

Pada bagian dalam uma meten, bale yang berada di sisi kanan dan sisi kiri dipisahkan oleh sebuah tungku perapian atau sering disebut dengan jalikan. Berfungsi sebagai penghangat ruangan karena kita ketahui jika pada malam hari dan musim penghujan udara pada Desa Pengotan lumayan dingin. Selain sebagai tempat menyalakan api untuk penghangat, jalikan berfungsi sebagai tungku khusus memasak masakan untuk persembahan terhadap Ida Betara Sakti

Pingit (abu suci Ratu Sakalindhu Kirana, Prasasti Pengotan, dan Penara Pitu). Makanan yang telah dimasak pada jalikan tidak diperbolehkan dibawa keluar bangunan uma meten agar tidak terkontaminasi dengan energi luar. Maka dari itu sangatlah cocok di dalam bangunan uma meten terdapat paon. Sehingga makanan yang telah dimasak dapat langsung diletakkan pada bale sebelah timur sebagai persembahan.

Pada bale sebelah kiri di dalam uma meten saat ada yang meninggal dunia dapat juga berfungsi sebagai tempat meletakkan jenazah. Jenazah yang diletakkan di bale tersebut ditutup menggunakan kain batik dan diberi sesaji sebelum dibawa ke natah memanjang untuk dimandikan oleh krama pengarep dan dipimpin oleh Jero Senggu. Jenazah yang boleh ditempatkan di bale sebelah kiri adalah jenazah yang meninggal secara wajar karena faktor umur atau terkena penyakit.

  • 4.    Fungsi Bangunan Sanggah

Bangunan sanggah memiliki fungsi sebagai tempat pemujaan dewa-dewa atau para betara dan para leluhur. Bangunan yang terletak pada zona suci atau zona hulu ini menjadi pusat persembahan bagi seluruh anggota keluarga dalam sebuah rumah yang dipimpin oleh kepala keluarga yang menjadi bagian krama pengarep. Pelinggih yang terdapat di zona sanggah pada rumah milik keluarga satu dengan lainnya berbeda-beda perwujudannya. Perbedaan tersebut tergantung oleh kebutuhan maupun tujuan persembahan dari tiap-tiap keluarga tersebut.

Fungsi Laten Keseluruhan Tata Ruang Rumah Tradisional Desa Pengotan

Konsepsi teori yang paling dikedepankan dalam pembahasan permasalahan ini adalah teori dari Robert K. Merton mengenai fungsi yang disadari dan fungsi yang tidak disadari oleh masyarakat, atau disebut juga fungsi manifes dan fungsi laten. Karena fungsi manifes maupun laten memiliki posisi penting dalam tatanan adat masyarakat. Khususnya pada tatanan adat masyarakat di Desa Pengotan. Dikatakan penting dalam hal ini karena fungsi manifes dan fungsi laten

saling berhubungan dan memengaruhi satu sama lain.

Setiap bangunan pada rumah tradisional Desa Pengotan memiliki fungsi laten atau fungsi yang tidak disadari oleh masyarakat. Fungsi yang tidak disadari salah satunya adalah sebagai pemersatu energi satu sama lain. Energi setiap anggota keluarga maupun energi niskala para leluhur, juga energi tiap komponen yang ada pada area rumah tradisional. Setiap bangunan memiliki ruang-ruang yang memberikan dampak yang signifikan bagi proses terikatnya energi-energi tersebut. Begitu terikat erat antara energi satu dan yang lainnya akan terbentuk keselarasan dalam lingkaran kehidupan di keluarga maupun di masyarakat. Tidak lupa juga kompromi-kompromi yang menyertai tiap-tiap individu agar bisa saling mengiringi dan menyeimbangkan dalam kegiatan bermasyarakat.

Kemunculan energi-energi tak kasat mata tersebut sering tidak disadari oleh masyarakat sehingga sering kali diabaikan dan dilupakan. Hal itulah yang membentuk fungsi-fungsi laten pada rumah tradisional Desa Pengotan. Tata ruang yang dibentuk sedemikian rupa sejak zaman pendahulu masyarakat Desa Pengotan menyimpan beberapa hal yang belum atau tidak disadari. Tiap sudut ruang pada bangunan rumah tradisional Desa Pengotan menjadi tempat persinggungan antar energi yang semakin hari kian menyatu. Maka bangunan-bangunan rumah tradisional Desa Pengotan merupakan pengejawantahan dari masyarakat Desa Pengotan dengan kehidupannya. Rasa kepemilikan antar krama desa dengan rumah-rumah tradisional yang terdapat di desa sangatlah kuat. Maka dari itu tiap krama desa memiliki kesadaran yang tinggi untuk menjaga pekarangan rumah mereka masing-masing maupun pekarangan rumah krama desa lainnya. Tidak lupa juga menjaga lingkungan alam sekitar yang terdapat di sekitar rumah-rumah mereka. Karena penjagaan terhadap alam sangat perlu demi terciptanya keseimbangan dalam kehidupan.

SIMPULAN

Tata ruang rumah tradisional Desa Pengotan memiliki bentuk dan fungsi yang

berintegrasi penuh dengan kehidupan masyarakat Desa Pengotan. Karena rumah tradisional Desa Pengotan berperan amat penting dalam berbagai hal yang berkenaan dengan aktivitas masyarakat, terutama persoalan aktivitas sakral. Aktivitas-aktivitas tersebut membentuk ikatan kuat terhadap bentuk dan fungsi rumah tradisional Desa Pengotan.

Rumah tradisional Desa Pengotan sangat menerapkan konsep hulu-teben untuk letak, bentuk, dan tata ruangnya. Berorientasi ke arah utara karena memusatkan pemujaan ke kawasan Gunung Batur. Rumah tradisional Desa Pengotan dibangun berjajar antara satu rumah dengan lainnya dan disebut dengan jejer wayang. Areal bangunan paling disucikan terletak paling utara dan yang paling profan terletak paling selatan. Terdapat tiga zona dalam sebuah rumah tradisional yaitu: zona hulu, zona tengah, dan zona teben. Pada zona hulu terdapat bangunan sanggah. zona tengah terdapat bangunan uma meten dan bale adat yang dipisahkan oleh natah. Lalu terdapat angkul-angkul di zona teben.

Bentuk dan fungsi rumah tradisional Desa Pengotan saling terintegrasi dengan kehidupan masyarakat Desa Pengotan. Terlihat dari fungsi utamanya yaitu dipergunakan untuk kegiatan-kegiatan berbau sakral seperti upacara adat. Terutama upacara adat besar seperti kawin massal dan ngaben massal. Di balik fungsi manifes atau fungsi yang disadari oleh masyarakat terdapat fungsi laten yang tidak atau belum disadari oleh masyarakat. Fungsi laten rumah tradisional Desa Pengotan jika diamati yaitu sebagai ruang penyatuan energi skala dan niskala sehingga membentuk ikatan yang kuat. Ikatan itu menciptakan suatu keharmonisan yang sangat mendukung kegiatan-kegiatan masyarakat sehari-hari di Desa Pengotan.

REFERENSI

Dwijendra, N.K.A. 2003. Perumahan dan Permukiman Tradisional Bali. Jurnal Permukiman “Natah”, Vol. No.1-Pebruari 2003:    8-25. Denpasar:

Universitas Udayana

Dwijendra, N.K.A. 2009. Arsitektur dan Kebudayaan Bali Kuno. Denpasar: Udayana University Press.

Fauzy, Antariksa, Salura. 2011. Memahami Relasi Konsep Fungsi, Bentuk, dan Makna Arsitektur Rumah Tinggal Masyarakat Kota Pesisir Utara di Kawasan Jawa Timur (Kasus Studi Rumah Tinggal di Kampung Karangturi dan Kampung Sumber Girang, Lasem). DIMENSI (Journal of Architecture and Built Environment), Vol. 38, No. 2, December 2011. Bandung: Universitas Katolik Parahyangan

Furchan, Arief. 1992. Pengantar Metoda Penelitian Kualitatif: Suatu Pendekatan Fenomenologis Terhadap Ilmu-Ilmu Sosial. Surabaya : Usaha Nasional

Ganesha, Antariksa, Wardhani. 2012. Pola Ruang Permukiman dan Rumah Tradisional Bali Aga Banjar Dauh Pura Tigawasa. Arsitektur e-Journal, Volume 5 Nomor 2, November 2012. Malang: Universitas Brawijaya

Gantini, Christina. 2009. Warna-Warni Arsitektur Bali. Jurnal Seminar Nasional “Kearifan Lokal (Local Wisdom) dalam Perencanaan dan Perancangan Lingkungan Binaan”. Malang:  PPI Rektorat Universitas

Merdeka Malang

Keesing, Roger M., dan Samuel Gunawan. 1992. Antropologi Budaya:  Suatu

Perspektif Kontemporer. Edisi Kedua Jilid 1. Jakarta: Erlangga.

Mahabela, Riyani. 2013. Arsitektur Lingkungan Berkelanjutan Pada Permukiman Tradisional (Studi Kasus: Desa Tenganan, Bali). Jurnal Seminar Nasional 11.12.13. Semesta Arsitektur Nusantara 2 Arsitektur Nusantara Berkelanjutan. Malang:   Universitas

Brawijaya

Prajnawrdhi, Tri A. 2016. Perubahan Wujud dan Fungsi Ruang Pada Rumah Tinggal

Tradisional Desa Bali Aga, Studi Kasus: Dessa Pedawa, Buleleng, Bali. Jurnal Seminar Nasional Tradisi dalam Perubahan:   Arsitektur Lokal dan

Rancangan Lingkungan Terbangun -Bali, 3 November 2016. Denpasar: Universitas Udayana

Prajnawrdhi, T.A. 2016. Sanggah Kemulan Nganten dan Pelangkiran:  Obyek

Penentu Keberlangsungan Rumah Tinggal Tradisional Desa Pedawa, Bali. Jurnal RUAS, Volume 14 No 2, Desember 2016. Denpasar: Universitas Udayana

Prajnawrdhi, Yudantini. 2017. Tipologi Rumah Adat Pada Desa Tigawasa: Studi kasus pada Desa Tigawasa, Kecamatan Banjar,    Kabupaten

Buleleng. Jurnal Seminar Nasional Arsitektur dan Tata Ruang (SAMARTA). Denpasar: Universitas Udayana

Prajnawrdhi, T.A. 2017. Tipologi Rumah Adat Pada Desa Bali Studi Kasus Pada Desa Tigawasa, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng. Seminar Nasional Arsitektur dan Tata Ruang (SAMARTA), Bali-2017. Denpasar: Universitas Udayana

Prajnawrdhi, T.A. 2018. Ruang Sakral Pada Rumah Adat di Desa Bali Aga. Jurnal Seminar Arsitektur Nusantara IPLBI 2018. Denpasar: Universitas Udayana

Sabrina, Antariksa, Prayitno. 2009. Pelestarian     Pola     Pemukiman

Tradisional Suku Sasak Dusun Limbungan Kabupaten Lombok Timur. Arsitektur e-Journal, Volume 2 Nomor 3, November 2009. Malang: Universitas Brawijaya

Sinulingga, Mahagangga.  2016.  Upaya

Konservasi Rumah Adat Karo dalam Menunjang Pariwisata Budaya di Desa Lingga Kabupaten Karo Sumatera Utara. Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 4 No. 2, 2016. Denpasar: Universitas Udayana

Spradley, James P. 2007. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Suharjanto, Gatot. 2011. Membandingkan Istilah Arsitektur Vernakular Versus Arsitektur Tradisional (Studi Kasus Bangunan Arsitektur Bali dan Minangkabau). Jurnal Seminar Nasional Proseding The Local Tripod 2011. Malang: Universitas Brawijaya

Wijaya, Nyoman. 2012. MENEROBOS BADAI: Biografi Intelektual Prof. Dr. I Gusti Ngurah Bagus. Denpasar: Pustaka Larasan.

Wirata, Sueca. 2014. Konsep Arsitektur Rumah Adat Suku Sasak di Dusun Segenter, Kecamatan Bayan, Lombok Utara – NTB. SPACE RUANG Vol.1, No.1, April 2014. Denpasar: Universitas Udayana

Yudantini, Wisnawa. 2013. Rumah Tinggal Bali Aga Arsitektur Minimalis dan Fungsionalis.      Jurnal      Semnas

Reinterpretasi   Identitas   Arsitektur

Nusantara, Bali-2013. Denpasar: Universitas Udayana