PEMAKSAAN PERKAWINAN SEBAGAI FAKTOR TERJADINYA KEKERASAN SEKSUAL DALAM RUMAH TANGGA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PIDANA INDONESIA
on
PEMAKSAAN PERKAWINAN SEBAGAI FAKTOR
TERJADINYA KEKERASAN SEKSUAL DALAM RUMAH TANGGA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PIDANA INDONESIA
Deybi Santi Wuri, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail : santideybi@gmail.com
Anak Agung Istri Ari Atu Dewi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail : ariatudewi@gmail.com
Abstrak
Pemaksaan perkawinan merupakan fenomena yang sering terjadi dan dianggap biasa di kalangan masyarakat, namun nyatanya perbuatan ini dapat berpotensi menimbulkan terjadinya kekerasan seksual dalam rumah tangga. Kekerasan seksual merupakan perilaku seksual atau hubungan seksual yang tidak seharusnya, membawa kerugian, serta merusak. Artikel ini membahas mengenai alasan pemaksaan perkawinan dapat dikategorikan sebagai faktor terjadinya kekerasan seksual dalam rumah tangga. Dibahas pula mengenai perspektif hukum pidana terkait pemaksaan perkawinan sebagai penyebab terjadinya kekerasan seksual dalam rumah tangga sebagai perbuatan pidana. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan. Berdasarkan hasil studi menunjukkan bahwa pemaksaan perkawinan dapat menjadi perbuatan pidana terkait dengan pelanggaran atas hak asasi manusia dan dapat menjadi faktor terjadinya kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga, yang mana pengaturan pemidanaan atas pemaksaan perkawinan ini diatur dalam KUHP dan UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT.
Kata Kunci : Kekerasan Seksual, Pemaksaan Perkawinan, Perkawinan
Abstract
Forced marriage is an often happen phenomenon and unfortunately considered as a normal thing, but in fact it potentially leads for domestic sexual abuse can be happened. Sexual abuse is a sexual behavior that is deviant, harmful and destructive. This article will discuss about the reason of forced marriage as the causality of domestic sexual abuse. Also will be discussed about law perspective against forced marriage as a domestic sexual abuse’s cause. This research uses the normative legal method that was submitted through the agreements. Based on the research results`can be concluded that forced marriage could be a criminal act related to human rights violations and the causality of domestic sexual abuse according to Indonesian Criminal Code and Law No. 23 of 2004.
Keywords : Forced Marriage, Marriage, Sexual Abuse
Sejatinya, perkawinan merupakan suatu ikatan yang terjadi antara laki-laki dan perempuan dengan tujuan untuk membentuk rumah tangga. Perkawinan ini merupakan bagian dari siklus hidup yang tidak dapat dipisahkan dari sebagian manusia. Selain perlu dilaksanakan secara sah menurut hukum nasional, sebagai negara yang menghormati eksistensi dari berbagai agama tentunya perkawinan juga wajib dilaksanakan atas dasar ajaran agama sehingga demikian pentingnya suatu momen perkawinan tersebut yang membawa dampak besar dalam kehidupan pribadi manusia karena melibatkan banyak aspek dan juga pihak. Melihat daripada penting dan sakralnya suatu perkawinan tersebut, maka perkawinan wajib dilaksanakan atas dasar kerelaan hati dan keinginan dari pihak laki-laki maupun perempuan
sebagaimana telah diatur sebagai syarat untuk melaksanakan perkawinan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut sebagai UU Perkawinan). Namun demikian, di Indonesia sendiri sering terjadi kasus-kasus dimana perkawinan terjadi bukan atas dasar keinginan dari pihak-pihak di dalamnya, namun perkawinan tersebut terjadi dikarenakan adanya paksaan yang mana sudah seharusnya suatu perkawinan didasarkan atas suka sama suka dari kedua belah pihak baik laki-laki maupun perempuan. Sejatinya, paksaan atas terjadinya suatu perkawinan ini dapat menjadi suatu perbuatan pidana. Terlebih lagi berkaitan dengan perbuatan pemaksaan perkawinan yang dapat dikorelasikan dengan adanya suatu kekerasan seksual dalam rumah tangga.
Berdasarkan statistik kriminal 2018 oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia terkait tingkat serta perkembangan kriminalitas yang terjadi di Indonesia dalam tahun 2015–20171, berdasarkan data statistik jumlah kejahatan terhadap kesusilaan secara signifikan terus meningkat mulai dari tahun 2015 hingga tahun 2017. Bahkan menurut Catatan Tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Tahun 20182, dimana selama tahun 2017 terjadi sebanyak 2.979 kasus kekerasan seksual dengan korbannya adalah perempuan. Melihat dari keseluruhan data mengenai kekerasan atas perempuan tersebut, kekerasan seksual berada dalam posisi kedua tertinggi terkait jenis kekerasan yang kerap terjadi terhadap perempuan. Melihat dari tingginya tingkat kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia, tentunya menjadikan kekerasan seksual sendiri adalah suatu kejahatan yang sangat berbahaya dan patut untuk dicegah, yang mana kekerasan seksual ini merupakan suatu perbuatan seksual yang menyimpang atau tidak semestinya dilakukan.
Berkaitan dengan adanya kasus-kasus pemaksaan perkawinan yang marak terjadi di kalangan masyarakat Indonesia, nyatanya memberi dampak lebih dari sekedar sebuah pemaksaan atau pembatasan terhadap hak individu untuk memilih. Nyatanya, salah satu faktor penyebab kekerasan seksual dalam rumah tangga adalah pemaksaan perkawinan, yang mana suatu pemaksaan perkawinan berpotensi masuk dalam ranah kekerasan seksual yang berkaitan dengan rumah tangga. Sehingga pemaksaan atas terjadinya suatu perkawinan tidaklah dapat dianggap sebagai hal biasa dan tentunya berdampak atas terjadinya kekerasan seksual dalam rumah tangga. Salah satu kekerasan seksual yang dimungkinkan terjadi dalam rumah tangga yang ada karena dipaksakan adalah pemaksaan melakukan hubungan seksual atau marital rape. Hubungan seksual yang terjadi dalam perkawinan yang dipaksakan namun dilakukan atas dasar suka sama suka sangat dimungkinkan terjadi apabila kedua belah pihak telah merasa menerima perkawinan tersebut. Namun demikian jika adanya pemaksaan perkawinan yang diikuti pula dengan paksaan melakukan hubungan seksual dalam rumah tangga tentunya merupakan hal fatal yang terjadi dalam perkawinan yang dipaksakan dan dapat menjadi perbuatan yang dapat dipidana.
Berdasarkan latar belakang yang sebagaimana telah dipaparkan di atas, maka masalah yang akan dibahas dalam karya ilmiah ini, adalah sebagai berikut :
1
-
1. Mengapa pemaksaan perkawinan dapat dikategorikan sebagai faktor terjadinya kekerasan seksual?
-
2. Bagaimana perspektif hukum pidana Indonesia mengenai pemaksaan perkawinan sebagai faktor terjadinya kekerasan seksual sebagai sebuah perbuatan pidana?
Melalui rumusan masalah tersebut, maka tujuan penulisan dari karya ilmiah ini yakni untuk mengetahui bagaimana perbuatan pemaksaan perkawinan dapat dikategorikan sebagai faktor terjadinya kekerasan seksual. Lebih dari pada itu, perlu diketahui pula perspektif hukum pidana Indonesia terkait dengan pemaksaan perkawinan sebagai faktor terjadinya kekerasan seksual sebagai sebuah perbuatan pidana.
Dalam rangka menjamin orisinalitas dari penulisan karya ilmiah ini, maka dilakukan beberapa penelusuran terkait dengan hal tersebut. Berikut dipaparkan karya ilmiah lainnya sebagai perbandingan :
No. |
Judul |
Penulis |
Rumusan Masalah |
1. |
Analisis Yuridis terhadap Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam Rumah Tangga Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga |
Nys. Arfa |
tentang tindak pidana kekerasan seksual dalam rumah tangga berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga?
pidana kekerasan seksual dalam rumah tangga berdasarkan Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga? |
Jenis penelitian yang diterapkan dalam memecahkan masalah dalam artikel ini merupakan penelitian hukum normative, yang mana dalam penelitian hukum normatif, hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-
undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang dianggap pantas.3
Dalam penelitian hukum normatif terdapat beberapa jenis pendekatan. Dalam penulisan karya ilmiah ini menggunakan pendekatan perundang-undangan. Dimana ini berarti karya ilmiah ini menggunakan legislasi serta regulasi terkait atau disebut bahan hukum primer untuk menganalisis permasalahan hukum yang diangkat dalam karya ilmiah ini serta menggunakan bahan hukum sekunder berupa hasil-hasil penelitian.4
Adapun jenis dan sumber data yang digunakan sebagai dasar untuk menunjang studi ini adalah data yang dikumpulkan berasal dari data sekunder, yang mana data sekunder tersebut meliputi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai landasan utama yang dipakai dalam rangka studi ini. Kemudian, bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, hasil seminar, hasil karya dari kalangan hukum, serta dokumen-dokumen lain yang berkaitan dengan pemaksaan perkawinan dan kekerasan seksual dalam rumah tangga.5
Dalam karya ilmiah ini data yang digunakan berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Dimana, metode analisis dalam karya ilmiah ini menekankan pada metode deduktif yang digunakan sebagai langkah pertama yang mana kemudian menggunakan metode induktif sebagai pendukungnya. Selanjutnya, terhadap hal tersebut dijelaskan secara deskriptif berupa merumuskan asas-asas serta pengertian-pengertian dari bahan hukum terkait untuk mendapatkan penjelasan secara ilmiah terkait fenomena yang terjadi.6
Secara etimologi, kekerasan seksual berarti suatu perbuatan paksaan yang berkaitan dengan hubungan seksualitas. Sehingga kekerasan seksual dapat diartikan sebagai suatu istilah yang merujuk pada perilaku seksual deviatif atau hubungan seksual yang menyimpang atau tidak seharusnya, bersifat merugikan pihak korban, dan merusak kedamaian di dalam masyarakat.7 Kekerasan seksual juga dapat diartikan sebagai setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau
perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.8
Terkait dengan hal tersebut, pemaksaan perkawinan atau yang lebih dikenal dengan sebutan kawin paksa sesungguhnya merupakan suatu hal yang sering dijumpai di masyarakat. Adanya fenomena pemaksaan perkawinan sejatinya merupakan fenomena sosial yang telah ada sejak lama dan menjadi hal yang “lumrah” terjadi. Praktik pemaksaan perkawinan ini sejatinya memiliki beberapa jenis jika dilihat dari motifnya. Misalnya saja ada pemaksaan perkawinan yang dilakukan oleh seseorang lewat “perjodohan”. Hal ini banyak terjadi dalam keluarga, lebih tepatnya pemaksaan perkawinan oleh orang tua terhadap anaknya. Dimana banyak kasus yang terjadi bahwa anak dipaksa untuk dinikahkan dengan seseorang yang belum dikenal atau tidak ingin dinikahi. Terdapat pula pemaksaan perkawinan yang dilakukan oleh salah satu individu terhadap lawan jenisnya. Hal ini biasanya terjadi pada saat salah satu pihak ingin melaksanakan perkawinan, namun pihak lain yakni lawan jenisnya menolak untuk dinikahin sehingga mengakibatkan terjadinya pemaksaan. Selain daripada itu, pemaksaan perkawinan juga seringkali terjadi pada korban-korban pemerkosaan. Seringkali terjadi, dengan dalih menjaga nama baik keluarga serta masyarakat, korban pemerkosaan sering dinikahkan secara paksa. Bahkan banyak kasus terjadi dimana korban perkosaan dinikahkan dengan pelaku pemerkosaan itu sendiri.
Menurut Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, pemaksaan perkawinan diatur dalam 17 RUU tersebut yang menyebutkan bahwa pemaksaan perkawinan merupakan perbuatan menyalahgunakan kekuasaan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat, atau tekanan psikis lainnya yang mengakibatkan seseorang tidak dapat memberikan persetujuan yang sebenar-benarnya untuk melakukan perkawinan. Sehingga unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk dapat dikatakan telah ada pemaksaan perkawinan yakni : adanya penyalahgunaan kekuasaan; atau adanya kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat, atau tekanan psikis lainnya; serta mengakibatkan seseorang tidak dapat memberikan persetujuan dengan benar dalam melakukan perkawinan. Namun demikian, tentu perlu diperhatikan pula unsur dari pemaksaan perkawinan, yakni mengakibatkan seseorang tidak dapat memberikan persetujuan dengan benar dalam melakukan perkawinan. Nantinya di kemudian hari, apabila dengan berjalannya waktu nyatanya pihak yang merasa dipaksakan perkawinannya nyatanya menerima perkawinan tersebut, tentu hal ini tidak dapat menjadi suatu tindak pidana pemaksaan perkawinan dikarenakan telah ada persetujuan di dalamnya.
Jika melihat dari motif-motif terjadinya kawin paksa yang sering terjadi dalam masyarakat tersebut, sesungguhnya praktik kawin paksa ini sangat bertentangan dengan hak asasi manusia. Hal ini karena terjadinya perkawinan bukanlah kehendak dari kedua individu maupun salah satu individu dalam hubungan perkawinan melainkan atas dasar paksaan bahkan dimungkinkan pula adanya ancaman. Padahal
setiap individu memiliki hak untuk melakukan sesuatu yang berdasarkan kehendak dirinya sebagai bagian dari hak kebebasan pribadi sebagaimana diatur dalam pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut UU HAM) yang mengatur bahwa hak hidup; hak tidak disiksa; hak atas kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani; hak kebebasan menganut agama; hak tidak mengalami perbudakan; hak mendapat pengakuan sebagai pribadi serta persamaan dihadapan hukum, dan hak tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut merupakan bagian dari hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Hal ini berarti Undang-Undang sendiri telah menjamin kebebasan setiap individu dalam menentukan kehendaknya khususnya dalam hal perkawinan. Hak-hak tersebut tidak dapat diganggu atau dihilangkan dalam keadaan apapun dan oleh siapapun dikarenakan hak-hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) dan UU HAM termasuk dalam kategori non derogable rights. Non derogable rights sendir dapat diartikan sebagai hak-hak yang tidak dapat dikurangi.9 Jika melihat dari perspektif psikologi eksistensialisme dapat diinterpretasikan bahwa perkawinan paksa serta merta menimbulkan kecemasan karena si pelaku menghayati dirinya tidak punya kemampuan, wewenang, dan pilihan terhadap keputusan apa pun.10
Selain menimbulkan potensi kemungkinan terjadinya pelanggaran atas hak asasi manusia, pemaksaan perkawinan juga dapat menyebabkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Menurut Mansour Fakih, kekerasan adalah sesorang atau invasi terhadap fisik maupun integritas mental psikologi sesorang.11 Dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (selanjutnya disebut UU Penghapusan KDRT) menyebutkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Kemudian dalam pasal 5 UU Penghapusan KDRT membagi kekerasan dalam rumah tangga ke dalam empat jenis, yakni kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga.
Unsur kekerasan seksual ini dilihat melalui potensi adanya pemaksaan untuk melakukan hubungan seksual. Adanya pemaksaan perkawinan ini tentunya mengakibatkan terjadinya perkawinan di luar kehendak salah satu pihak maupun kedua pihak yang terlibat dalam perkawinan yaitu pihak suami maupun istri. Dalam suatu perkawinan tentu identik dengan adanya hubungan seksual. Apabila perkawinan terjadi dengan tanpa kehendak dari pihak laki-laki maupun perempuan terutama ancaman baik secara verbal maupun tindakan, dapat terjadi pemaksaan hubungan seksual sebagai konsekuensi dari tidak dikehendakinya perkawinan. Pemaksaan untuk melakukan perkawinan ini sesungguhnya dapat dikatakan sebagai
bagian dari perkosaan dalam rumah tangga atau yang dikenal dengan istilah marital rape. Marital rape merupakan perkosaan yang terjadi antara suami dengan istri dalam suatu hubungan perkawinan, yang mana maksud dari perkosaan ini adalah pemaksaan untuk melakukan aktivitas seksual oleh suami atas istri ataupun sebaliknya.12 Melalui adanya unsur pemaksaan untuk melakukan hubungan seksual maka semakin terlihat dengan jelas bagaimana pemaksaan perkawinan dapat menimbulkan terjadinya kekerasan seksual.
Pemuasan hasrat seksual tentunya merupakan salah satu alasan utama dilaksanakannya perkawinan, namun makna perkawinan sesungguhnya lebih luas dari pada sekedar seks. Perkawinan juga mencakup aspek-aspek sosial dan psikologis. Suami istri harus dekat dan akrab secara fisikal, psikologis dan emosional. Saling bersimpati dan saling memperlakukan dengan baik dapat melanggengkan cinta bahkan ketika masa-masa penuh gairah.13 Dalam hal terjadinya pemaksaan perkawinan sangat dimungkinkan terjadinya tekanan psikologis serta emosional dikarenakan paksaan yang dialami oleh pihak-pihak dalam perkawinan tersebut.
sebagai Faktor Terjadinya Kekerasan Seksual sebagai Perbuatan Pidana Secara umum, dasar hukum pelaksanaan perkawinan Indonesia adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut sebagai UU Perkawinan). Dalam UU Perkawinan tersebut, pasal 1 mendefinisikan perkawinan sebagai ikatan lahir batin seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia serta kekal dengan didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Kemudian, pasal 6 sampai pasal 12 mengatur mengenai syarat-syarat perkawinan dapat dilaksanakan. Tepatnya dalam pasal 6 ayat (1) diatur bahwa perkawinan harus dilakukan dengan dasar persetujuan dari kedua calon mempelai. Sehingga tanpa kehendak kedua belah pihak, yang dalam hal ini adalah calon suami serta calon istri, suatu perkawinan tidak dapat dilaksanakan.
Meski telah diatur bahwa perkawinan merupakan bagian dari hak individu dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal serta harus dengan persetujuan antara kedua calon mempelai, nyatanya pemaksaan perkawinan di Indonesia sendiri masih marak terjadi. Persetujuan mengenai adanya pernikahan antara kedua pihak baik laki-laki maupun perempuan seharusnya didapat karena memang atas dasar kehendaknya dan bukan dengan paksaan. Sementara itu, apabila suatu perkawinan didasarkan atas adanya paksaan apalagi disertai dengan ancaman, tujuan membentuk perkawinan yang bahagia dan kekal akan sulit tercapai dikarenakan perkawinan yang terjadi bukan karena keinginan kedua pihak dan dilaksanakan berdasarkan keterpaksaan sehingga berpotensi menimbulkan konflik dalam perkawinan yang hanya merugikan perkawinan tersebut.
Terkait dengan jaminan bahwa perkawinan benar-benar dilangsungkan tanpa adanya paksaan terlebih ancaman, UU Perkawinan sejatinya telah memberikan kesempatan kepada kedua pihak dalam perkawinan yakni suami atau istri untuk
melakukan pembatalan perkawinan sesuai dengan yang telah diatur dalam pasal 27 ayat (1) UU Perkawinan. Permohonan pembatalan perkawinan sendiri dapat diajukan di pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal suami istri, suami atau istri.
Meskipun suatu perkawinan yang didasarkan paksaan dapat dibatalkan sehingga perkawinan tersebut dianggap tidak terjadi. Namun demikian, unsur kekerasan seksual di dalam pemaksaan perkawinan tersebut tentu tidak dapat diatasi hanya dengan adanya pembatalan perkawinan. Tentunya inilah peran hukum pidana di dalamnya, dimana hukum pidana tentu diharapkan dapat mengatasi kekerasan seksual yang terjadi akibat pemaksaan perkawinan. Adapun tujuan adanya pemidanaan terhadap pelaku pemaksaan perkawinan bertolak pada keseimbangan dua sasaran pokok, yaitu perlindungan masyarakat dan perlindungan/pembinaan individu pelaku tindak pidana.14 Meskipun hukum pidana bersifat ultimum remedium yang berarti bahwa hukum pidana hendaklah dijadikan upaya terakhir dalam hal penegakan hukum.15 Hukuman ditujukan terhadap pribadi orang yang melakukan pelanggaran pidana dan ditujukan untuk memelihara keamanan dan pergaulan hidup yang teratur.16 Nyatanya, fenomena pemaksaan perkawinan merupakan suatu masalah yang sangat serius dan kompleks, yang mana dalam pemaksaan perkawinan juga seringkali melibatkan adanya ancaman baik secara verbal maupun tindakan yang merugikan bagi korbannya. Perlu diperhatikan pula, bagaimana hukum pidana dapat mengatasi suatu pemaksaan perkawinan, baik sebelum perkawinan tersebut terjadi maupun setelah perkawinan terjadi. Secara khusus, terkait dengan pemaksaan perkawinan yang bagi masyarakat awam mungkin dianggap bukanlah sebuah kejahatan yang serius. Secara etimologis, kejahatan merupakan perbuatan atau tindakan jahat dimana suatu perbuatan tersebut dianggap merugikan masyarakat atau perorangan, baik secara material maupun imateriil. Sementara itu, secara sosiologis kejatan diartikan sebagai perbuatan yang merugikan atau melanggar kaidah maupun norma yang berlaku dalam masyarakat.17 Jika dilihat dari kedua pengertian kejahatan tersebut, pemaksaan perkawinan dapat dikatakan sebagai sebuah kejahatan. Dimana pemaksaan perkawinan yang berakibat pada terjadinya pemaksaan perkawinan dalam rumah tangga tentunya telah dengan jelas melanggar aturan-aturan pidana dan bahkan norma kesusilaan yang ada dalam masyarakat.
Pengaturan terkait dengan pemidanaan terhadap kekerasan seksual yang terjadi selama proses perkawinan khususnya paksaan untuk melakukan hubungan seksual diatur secara khusus dalam UU Penghapusan KDRT. Dalam pasal 1 angka 1 UU Penghapusan KDRT disebutkan bahwa : “Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.”
Kemudian dalam pasal 46 jo. pasal 8 UU Penghapusan KDRT diatur bahwa menentukan mengenai pemidanaan terhadap pelaku pemaksaan hubungan seksual dalam rumah tangga dengan ancaman pidana penjara maksimal dua belas tahun atau denda maksimal Rp 36.000.000,00. Berkaitan dengan pemaksaan perkawinan yang dapat menimbulkan terjadinya marital rape, tentunya unsur tersebut harus dapat menjadi bahan pembuktian. Dimana unsur-unsur pemaksaan perkawinan merupakan sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Perlu dilihat dalam konteks marital rape tersebut mengenai apakah perkawinan didasarkan atas suka sama suka dari kedua belah pihak atau apakah nyatanya adanya pemaksaan sehingga perkawinan terjadi yang kemudian menimbulkan paksaan melakukan hubungan seksual dalam perkawinan nantinya.
Kebijakan hukum pidana dapat diartikan sebagai usaha yang rasional untuk menanggulangi kejahatan dengan menggunakan sarana hukum pidana. Dilihat dari sudut pandang kebijakan kriminal atau politic criminal, dapat dikatakan bahwa kebijakan hukum pidana identik dengan pengertian kebijakan penanggulangan kejahatan melalui hukum pidana sehingga diperlukan usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi yang ada pada saat ini maupun yang akan datang serta kebijakan negara melalui badan yang berwenang untuk merumuskan dan menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki dan bahkan diperkirakan dapat digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat guna mencapai apa yang dicita-citakan. Lebih lanjut, kebijakan hukum pidana dapat dikaitakan dengan tindakan-tindakan berupa bagaimana upaya pemerintah untuk menanggulangi kejahatan dengan hukum pidana, bagaimana merumuskan hukum pidana agar sesuai dengan kondisi masyarakat, bagaimana kebijakan pemerintah untuk mengatur masyarakat dengan hukum pidana, dan bagaimana mengunakan hukum pidana untuk mengatur masyarakat dalam rangka mencapai tujuan yang lebih besar.18
Sejatinya, saat inibelum ada aturan yang secara khusus mengatur mengenai pemaksaan perkawinan sebagai sebuah tindak pidana. Sehingga pemidanaannya hanya terbatas setelah terjadinya marital rape melalui UU Penghapusan KDRT dan belum ada pemidanaan yang langsung tertuju pada perbuatan pemaksaan perkawinan. Padahal sebagaimana telah dilihat di atas bahwa perbuatan pemaksaan perkawinan sudah seharusnya ditanggapi secara serius melalui pemidanaan terhadap pelakunya. Pemaksaan perkawinan yang melanggar hak asasi manusia dan bahkan dapat menjadi salah satu faktor terjadinya kekerasan seksual dalam rumah tangga tentunya harus memiliki aturan yang secara tegas mengatur mengenai pemidanaan terhadap pemaksaan perkawinan. Sehingga melalui hal tersebut, saat ini DPR yang bekerja sama dengan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan telah menyusun RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang di dalamnya memuat ancaman pidana terhadap perbuatan pemaksaan perkawinan. Dalam RUU tersebut pemidanaan terhadap pemaksaan perkawinan diatur dalam bagian kedelapan yang di dalamnya memuat empat pasal, yakni :
Pasal 116 ayat (1) : “Setiap orang yang melakukan pemaksaan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf f, dengan tujuan mendapatkan: a. keuntungan materil, termasuk membayar pinjaman atau hutang; b. imbalan jasa berupa uang atau harta benda lainnya; atau c.
keuntungan jabatan atau posisi tertentu; dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana tambahan Ganti Kerugian.”
Ayat (2) “Setiap orang yang melakukan pemaksaan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf f, dengan tujuan: a. menutup sesuatu kejadian yang dianggap menimbulkan aib keluarga atau masyarakat; atau b. menyembuhkan penyakit seseorang; dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana tambahan pembinaan khusus.”
Pasal 117 ayat (1) “Apabila pemaksaan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf f dilakukan oleh tokoh adat, tokoh masyarakat atau tokoh agama, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan pidana tambahan Ganti Kerugian.” Ayat (2) “Apabila pemaksaan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf f dilakukan oleh aparat penegak hukum atau Pejabat Publik, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (dua) tahun dan paling lama 9 (enam) tahun dan pidana tambahan Ganti Kerugian.”
Pasal 118 ayat (1) “Apabila pemaksaan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf f dilakukan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara 33 paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 13 (tiga belas) tahun dan pidana tambahan pembinaan khusus.
Ayat (2) “Apabila pemaksaan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf f mengakibatkan anak tidak melanjutkan pendidikannya, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 14 (sepuluh) tahun dan pidana tambahan pembinaan khusus (3) Apabila pemaksaan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf f mengakibatkan anak mengalami kegoncangan jiwa, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana tambahan pembinaan khusus.”
Pasal 119 “Petugas pencatat perkawinan yang mengetahui atau patut diduga mengetahui terjadi pemaksaan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf f, namun tidak mencegah berlangsungnya perkawinan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana tambahan pembinaan khusus.”
Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa:
-
1. Perbuatan pemaksaan perkawinan berlawanan dengan hak asasi manusia yakni hak bagi setiap individu yang memiliki kebebasan untuk melakukan apa yang menjadi kehendaknya. Selain merupakan pelanggaran hak asasi manusia, pemaksaan perkawinan juga dapat menyebabkan terjadinya kekerasan seksual yang dapat dilihat melalui adanya pemaksaan melakukan hubungan seksual akibat pelaksanaan perkawinan yang tidak sesuai dengan kehendak dari pihak laki-laki atau perempuan.
-
2. Melihat dari perspektif hukum pidana, pemaksaan perkawinan dengan ancaman sejauh ini dapat dipidana dengan menggunakan pasal 335 ayat (1) angka 1 KUHP. Kemudian, terkait dengan adanya perkosaan dalam rumah
tangga akibat adanya pemaksaan perkawinan diatur dalam pasal 46 jo. pasal 8 ayat (1) UU Penghapusan KDRT.
-
1. Masyarakat seharusnya menyadari bahwa melakukan pemaksaan maupun ancaman terhadap seseorang untuk melakukan perkawinan merupakan pelanggaran atas hak asasi manusia dan bagian dari perbuatan yang dapat menyebabkan terjadinya kekerasan seksual.
-
2. Kekerasan seksual merupakan suatu kejahatan yang serius dan memerlukan penanganan yang serius pula dari pemerintah guna menjamin perlindungan hukum atas korban kekerasan seksual.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku :
Amiruddin dan Zainal Asikin. (2004). Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Marpaung, Leden. (2009). Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.
Wahid, Abdul dan Muhammad Irfan. (2001). Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi atas Hak Asasi Perempuan). Bandung: PT Refika Aditama.
Wijaya, Andika dan Wida Peace Ananta. (2016). Darurat Kejahatan Seksual, Jakarta: Sinar Grafika.
Jurnal Ilmiah
Bakar, Abu. (2010). KAWIN PAKSA (Problem Kewenangan Wali dan Hak Perempuan dalam Penentuan Jodoh). Jurnal STAIN Ponorogo, 5(1).
Kenedi, John. (2017) Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) dalam Negara Hukum Indonesia: Upaya Mensejahterakan Masyarakat (Social Welfare). Jurnal IAIN Bengkulu, 2(1).
Maisah. (2016). RUMAH TANGGA DAN HAM: Studi atas Trend Kekerasan dalam Rumah Tangga di Provinsi Jambi. Jurnal Institut Agama Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, 15(1).
Purwanti, Ani. (2018). Strategi Penyelesaian Tindak Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan dan Anak Melalui RUU Kekerasan Seksual. Jurnal Masalah-Masalah Hukum Universitas Diponegoro, 47(2).
Putra, Tri Sulama (2016). Pemaksaan Hubungan Seksual terhadap Istri dalam Uu No
23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT). Jurnal Fakultas Syariah IAIN Langsa, 2(2).
Rajamuddin, A. (2014). Tinjauan Kriminologi terhadap Timbulnya Kejahatan yang Diakibatkan oleh Pengaruh Minuman Keras di Kota Makassar. Jurnal UIN Alauddin Makassar, 3(2).
Samsudin, Titin. (2010). Marital Rape sebagai Pelanggaran Hak AsasifManusia. Jurnal Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sultan Amai, 10(02).
Website
https://www.bps.go.id/publication/2018/12/26/89c06f465f944f3be39006a1/statistik-
kriminal-2018.html
https://www.komnasperempuan.go.id/read-news-catatan-tahunan-kekerasan
-terhadap-perempuan-2018
Peraturan Perundang-undangan:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang asdfHak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia asdfTahun 1999 Nomor 165; Tambahan Lembaran NegarafRepublik Indonesia Nomor 3886).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 95; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4419).
12
Discussion and feedback