Mitologi sebagai Kearifan Ekologis Masyarakat Wawowae
on
DOI: https://doi.org/10.24843/SP.2019.v3.i01.p03
p-ISSN: 2528-4517
Mitologi sebagai Kearifan Ekologis Masyarakat Wawowae
Leonarda Paula Mao*, I Gusti Putu Sudiarna, Aliffiati
Prodi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana [[email protected]], [[email protected]], [[email protected]] Denpasar, Bali, Indonesia
*Corresponding Author
Abstract
Wawowae Village is one of the villages in Ngada Regency, East Nusa Tenggara. This village has a mythology in the forest of Watuata where everything in the forest is associated with humans, animals, names of places and plants. So that all activities undertaken by the Wawowae people in the forest, must go through a process of ritual. This research aims to identify mythology in the forest of Watuata and its meaning, community perception, and forest conservation actions undertaken by the society. The study used the ethnoecological approach and Clifford Geertz's Interpretative theory to see the mythological significance of the Watuata forest from the viewpoint of its people. This study was conducted for a month using qualitative research methods implementing ethnographic research models. The ethnography includes observation, interviews, and library studies. The supporting instruments of this research are interview guidelines, voice recording equipment, cameras, and stationery.
Keywords: myth, ecological wisdom, forest preservations.
Abstrak
Mitos merupakan suatu sistem kepercayaan yang berkembang di masyarakat luas karena mitos biasanya memiliki keterkaitan dengan kehidupan manusia sehari-hari. Terkait hal tersebut penelitian ini pun berfokus pada mitologi sebagai suatu kearifan ekologis dalam pelestarian hutan Watuata. Penelitian ini berlokasi di Desa Wawowae, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur. Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu tentang (a)bagaimana mitos yang terdapat dalam hutan Watuata, (b)apa makna mitos tersebut bagi masyarakat Desa Wawowae. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi mitos yang terdapat dalam hutan Watuata berkaitan dengan pelestarian hutan dan makna mitos tersebut bagi masyarakat Wawowae. Penelitian ini menggunakan pendekatan etnoekologi dan teori Interpretatif Clifford Geertz. Metode yang digunakan ialah metode kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara, dan studi kepustakaan. Analisis yang digunakan yaitu deskriptif kualitatif. Mitologi yang terdapat pada hutan Watuata Desa Wawowae secara tidak langsung telah membentuk perilaku masyarakat berupa tindakan-tindakan dalam kaitan dengan pelestarian hutan.
Kata Kunci: mitos, kearifan ekologis, pelestarian hutan
Manusia dan alam beserta lingkungannya telah hidup berdampingan karena alam merupakan salah satu tonggak kehidupan manusia. Hubungan masyarakat dan lingkungan menjadi tidak terpisahkan karena hal tersebut
mempengaruhi kehidupan masyarakat tersebut. Hubungan masyarakat asli atau lokal yang dekat dengan lingkungan sumber daya alam membuat mereka memiliki pemahaman tersendiri terhadap sistem ekologi dimana mereka tinggal. Lingkungan sendiri seharusnya
Sunari Penjor: Journal of Anthropology
Prodi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Unud
| 16
dipersepsikan bukan hanya sekadar sebagai objek yang harus digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia (human centris), melainkan juga harus dipelihara dan ditata demi kelestarian lingkungan itu sendiri (eco sentris). Oleh karena itu, adanya ikatan antara manusia dengan alam akan melahirkan pengetahuan dan pikiran bagaimana mereka memperlakukan alam lingkungannya (Sabaria, Januari 2014: 63).
Pengetahuan dan pikiran ini juga membentuk suatu kebudayaan yang terdapat pada masyarakat tersebut. Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah (material culture) yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya agar kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan untuk keperluan masyarakat (Soekanto, 2014:149). Relasi antara manusia dan lingkungan menghasilkan kebudayaan bagi suatu masyarakat yang mendiami suatu wilayah tertentu. Salah satu unsur kebudayaan yang melekat pada masyarakat adalah mengenai mitos yang terdapat pada suatu wilayah. Bascom (dalam Danandjaja, 1994:50), menjelaskan mitos atau mite adalah cerita prosa rakyat, yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita. Mite ditokohi oleh para dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwa terjadi di dunia lain, atau di dunia yang bukan seperti yang kita kenal sekarang, dan terjadi pada masa lampau.
Mitos pada umumnya mengisahkan terjadinya alam semesta, dunia, manusia pertama, terjadinya maut, bentuk khas binatang, bentuk topografi, gejala alam, dan sebagainya. Mitos Indonesia biasanya menceritakan terjadinya alam semesta (cosmogony); terjadinya susunan para dewa; dunia dewata (pantheon);
terjadinya manusia pertama dan tokoh pembawa kebudayaan (culture hero); terjadinya makanan pokok, seperti beras dan sebagainya, untuk pertama kali.
Hubungan antara manusia dengan lingkungan alam bersifat mengikat dan religius. Bersifat mengikat dan religius berarti terdapat hubungan yang tak terpisahkan. Keterikatan itu dikarenakan adanya kepercayaan bahwa antara nenek moyang dengan alam juga berkaitan erat. Hubungan antara manusia dengan lingkungan alam bersifat mengikat dan religius. Bersifat mengikat dan religius berarti terdapat hubungan yang tak terpisahkan. Keterikatan itu dikarenakan adanya kepercayaan bahwa antara nenek moyang dengan alam juga berkaitan erat. Mitos juga biasanya hidup di tengah masyarakat dan memiliki keterkaitan dengan pelestarian hutan.
Hutan merupakan suatu ekosistem natural yang telah mencapai keseimbangan klimaks dan merupakan komunitas tetumbuhan paling besar yang berkemampuan untuk pulih kembali dari perubahan-perubahan yang diderita. Hutan sebagai suatu ekosistem telah membentuk orientasi atau cara pandang masyarakat dalam aktivitas kehidupan mereka, termasuk praktik pengobatan terhadap orang sakit serta pencegahan dan penanganan penyakit. Selain berperan dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi, hutan pun secara alamiah telah menjadi pu-sat gravitasi dari tradisi kebudayaan ma-nusia, baik tradisi kebudayaan tentang siklus kehidupannya maupun tradisi ke-budayaan yang berhubungan dengan pe-lestarian hutan tempat di mana mereka tinggal (Alie Humaedi, April 2014: 92).
Hutan penting keberadaannya bagi kehidupan manusia karena manusia menggantungkan hidupnya akan keberadaan hutan. Hutan bukanlah sekedar lokasi yang dipenuhi dengan flora dan fauna, tetapi lebih dari itu, dari perspektif ekonomi dan kebijakan, hutan adalah sistemyang menyangkut hajat
hidup orang banyakdan harus dikelola dengan memperhatikan prinsip keadilan sosial di antara stakeholder pemanfaat hutan (Deddy, dkk., Desember: 2011).
Masyarakat juga mengetahui fungsi-fungsi hutan rakyat secara ekologi,ekonomi, dan sosial (Suryaningsih dkk, November 2013:30). Keberadaan hutan ini bagi masyarakat Wawowae juga dimanfaatkan sebagai tempat untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Pemanfaatan lingkungan alam ini pun tidak terlepas dari faktor ekonomi yakni terdorong oleh pemenuhan kebutuhan hidup. Lingkungan yang dinamis kemudian mempengaruhi munculnya beragam upaya untuk bertahan hidup, sebab kebutuhan yang ada terus berkembang dan alat pemuas kebutuhan jumlahnya terbatas. Kelangkaan alat pemuas kebutuhan ekonomi inilah yang menjadi pokok masalah ekonomi (Sugiharsono, 2009:22). Beragam upaya dilakukan untuk memecahkan masalah ekonomi tersebut, masyarakat Wawowae dibantu LSM yaitu Lapmas Ngada untuk melakukan upaya peningkatan ekonomi masyarakat tanpa harus mengganggu dan merusak keberadaan hutan Watuata.
Adanya kebudayaan berupa mitos yang hidup dan berkembang pada masyarakat Wawowae bisa menjadi potensi yang dapat dimanfaatkan untuk mengelola dan melestarikan hutan. Sebenarnya masyarakat tradisional telah melindungi sistem ekologis secara sadar selama ribuan tahun. Masyarakat menciptakan cerita rakyat terkait upaya dalam pelestarian hutan agar masyarakat tidak berlaku sembarangan terhadap alam dan lingkungannya. Banyak mitos maupun cerita yang berkembang di masyarakat mengenai penjaga-penjaga hutan guna agar hutan tersebut tetap lestari dan terhindar dari pengrusakan.
Pihak yang dipandang menghidupkan adalah orang tua, dan lebih jauh adalah nenek moyang yang memberikan garis
keturunan sampai pada kita, atau orangorang yang telah berjasa. Generasi muda mempunyai kewajiban berbakti dan menghormati semua pihak yang sudah berjasa menghidupkannya. Salah satu cara berbakti dan menghormati leluhur yang sudah berjasa adalah dengan merawat, memelihara dan melestarikan ciptaannya (Bernadus,Juli:2014). Mitos dan legenda mengandung kebijaksanaan, pengalaman, dan nilai budaya. Metode pengajaran budaya lewat cerita yang mempunyai pesan moral sudah dilakukan sejak ribuan tahun lalu, cerita yang sama diteruskan dari generasi ke generasi dan mengalami distorsi dalam penyampaiannya sehingga tidak lagi dapat diketahui kebenarannya (Maria Angeline, April:2015).
Mitos-mitos dalam hutan Watuata berkembang di masyarakat dan dipertahankan hingga saat ini. Mitos-mitos ini merupakan warisan dari nenek moyang terdahulu dalam upaya menjaga lingkungan dengan membuat pantangan-pantangan yang akhirnya berkembang menjadi sebuah mitos yang berkembang di masyarakat dan dipertahankan hingga saat ini. Mitos-mitos tersebut dalam perkembangannya tetap dilestarikan meskipun tidak semua warga masyarakatnya percaya namun, relatif masih lestari dengan batas-batasnya.
Mitos tersebut juga merupakan suatu kearifan lokal yang ada pada masyarakat Wawowae. Kearifan lokal yang melekat pada masyarakat dalam menjaga lingkungan berdasarkan potensi hasil sumber daya alamnya, dapat menarik untuk didalami lebih lanjut guna mempertahankan adat istiadat tanpa mengurangi upaya konservasi (Henri, dkk 2018). Kearifan lokal ini dapat dilihat dari adanya tindakan masyarakat dalam pelestarian hutan seperti adanya larangan untuk menebang pohon dan merusak lingkungan alam dan hutan. Pada masyarakat Wawowae diidentifikasi terdapat 3 jenis mitos yang secara tidak
langsung mempengaruhi perilaku masyarakat berupa tindakan-tindakan dalam pelestarian hutan Watuata. Mitos-mitos yang terdapat dalam hutan Watuata ini memberikan gambaran bagaimana masyarakat dalam menjaga kelestarian hutan dan memberikan sikap serta pandangan tersendiri dalam memaknai keberadaan mitos-mitos ini dalam pelestarian hutan Watuata.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan yang telah disampaikan pada bagian sebelumnya, maka penulis akan mengkaji mitos yang terdapat dalam hutan Watuata secara lebih dalam pada sebuah penelitan yang berjudul “Mitologi sebagai Kearfian Ekologis Masyarkat Wawowae, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur”.
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan permasalahannya sebagai berikut:
-
a. Bagaimanakah mitologi yang ada di hutan Watuata?
-
b. Apa makna mitos tersebut bagi masyarakat di Desa Wawowae?
Adapun tujuan penelitan ini adalah sebagai berikut. 1) Untuk mengidentifikasi mitologi yang terdapat pada hutan Watuata bagi masyarakat Wawowae dalam mengelola dan melestarikan hutan. 2) Untuk mengetahui makna mitologi yang ada di hutan Watuata.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini merupakan metode penelitian kualitatif. Metode adalah suatu cara kerja yang digunakan peneliti untuk dapat memahami obyek yang dikaji.
Jenis data yang digunakan adalah data kualitatif dimana hasil dari penelitian ini berupa data deskriptif yang
menjelaskan secara terperinci mengenai obyek kajian yang diangkat. Sumber data yang digunakan pada penelitian ini terbagi menjadi 2 yaitu data primer dan data sekunder. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut : 1) Teknik penentuan informan; 2) Teknik Observasi; 3) Teknik wawancara; 4) Studi Kepustakaan. Selain daripada itu dalam penelitian ini juga terdapat analisis data. Analisis data yang digunakan adalah analisis data kualitatif dimana peneliti berusaha menganalisis terkait obyek kajian yang diteliti. Terdapat tiga tahapan dalam yang harus dikerjakan dalam menganalisis data kualitatif yaitu: 1) reduksi data, 2) penyajian data, 3) penarikan serta penguji kesimpulan.
Pada penelitian ini diidentifikasi ada tiga mitos yang terdapat dalam kawasan hutan Watuata yang memiliki keterkaitan dengan pelestarian hutan. Ketiga mitos tersebut masih hidup dan diyakini masyarakat setempat serta memiliki makna dan arti tersendiri bagi masyarakat setempat. Ketiga mitos tersebut adalah : Mitos Watuata, Mitos Pohon, dan Mitos Mata Air Mukufoka. Ringkasan masing-masing kisah tersebut dalam disimak dalam bagian berikut.
Mitos Watuata ini bercerita tentang dua orang ibu yang baru saja melahirkan di Desa Wawowae. Suatu hari salah seorang ibu hendak memasak namun dia tidak memiliki api untuk menyalakan tungku kemudian, ia meminta kepada tetangga sebelah rumahnya yang juga baru habis melahirkan untuk memberinya api. Ibu tersebut memiliki api namun tidak dapat keluar rumah karena belum dilakukan upacara lawi azi yaitu upacara
pemberian nama kepada bayi yang baru lahir. Jika upacara tersebut belum dilakukan maka sang ibu tidak diperbolehkan keluar rumah. Ibu yang memiliki api tersebut memiliki ide dengan mengikat sabut kelapa yang sudah dibakar di ekor anjing dan meminta anjing tersebut membawanya kepada tetangganya. Saat anjing itu jalan kedua ibu tersebut tertawa melihat anjing yang membawa api tersebut. Dahulu menertawakan binatang khususnya anjing merupakan pamali bagi masyarakat Wawowae. Tak lama kemudian terjadilah hujan besar dan banjir besar menerpa desa tersebut. Semua warga desa berusaha melarikan diri ke balik bukit dan dalam upaya menyelamatkan diri terdapat suatu larangan yaitu apapun yang terjadi dilarang menoleh kebelakang. Terdapat suatu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak yang melanggar perintah tersebut. Sang ibu yang sedang berlari mendengar bunyi gemuruh dari arah desanya dan kemudian ia pun menoleh ke belakang saat itulah ia pun berubah menjadi batu. Sang ayah dan anak yang telah melarikan diri terlebih dahulu tersadar bahwa isterinya sudah tidak bersama mereka lantas menoleh kebelakang dan saat itulah ia beserta anaknya menjadi batu. Batu ayah dan anak tersebut hingga sekarang terdapat di puncak Gunung Wolowio dan dinamai Watuata dan batu sang ibu dinamai Watumere.
Mitos pohon ini bercerita tentang seorang bapak yang memiliki seorang isteri yang sedang mengandung dan ia baru saja kembali dari kebun. Saat dalam perjalanan pulang karena merasa lelah ia pun berisitahat sejenak di bawah pohon yang dikenal dengan nama Oja. Saat beristirahat ia pun mengeluarkan parang dan mulai memotong-motong kayu pohon tersebut. Tanpa sadar ia pun tertidur lelap dibawah pohon itu dan saat
tertidur dia mendengar suara orang berbicara dan ternyata yang sedang berbicara adalah pohon-pohon yang ada disekitar hutan tersebut. Pohon-pohon tersebut berbicara bahwa mereka hendak menjenguk saudaranya yang baru saja lahir. Saat mengajak pohon Oja ia menolak dikarenakan kakinya terluka. Namun, ia berpesan bahwa anak yang baru lahir tersebut lahir cacat atau saat usianya menginjak 5 tahun anak tersebut harus meninggal. Keesokan harinya saat kembali ke rumah didapati isterinya telah melahirkan dan saat itu ia pun tersadar bahwa semalam yang dibicarakan oleh pohon-pohon adalah anaknya. Ketika anaknya telah berusia 5 tahun ia pun menyuruh anaknya ke kali dan mengambil air lalu dimasukkan ke dalam bambu. Saat anak itu kembali dan hendak memasuki rumah bapak tersebut lalu mengeluarkan palang dan memotong bambu tersebut dan dari bambu tersebut keluarlah darah segar. Setelahnya dilakukan upacara pergantian nama pada anak tersebut sebagai bentuk kelahiran baru baginya.
Mitos ini bercerita tentang seorang nenek yang hidup sendiri di sebuah kampung bernama Rebe Rubi. Nenek Lina ini memelihara seekor babi yang kandangnya terdapat di bawah kolong rumahnya. Ia sering memberi makan kepada babi tersebut melalui lubang yang terdapat di dapurnya. Suatu ketika babi tersebut birahi nenek Lina pergi mencari babi jantan untuk dikawinkan dengan babinya tersebut. Setelah babi tersebut mengandung ia pun masih sering memberi makan babi tersebut melalui lubang yang ada di dapurnya. Suatu ketika ia hendak menengok babi itu tiba-tiba babi tersebut menyerang dan berusaha menggigit nenek Lina. Babi itu pun lari dan meninggalkan nenek Lina kemudian, nenek Lina berusaha mencari babi itu dan babi itu ditemukan berada di
kampung nua mere lalu nenek Lina kembali ke rumahnya dan mengambil makanan untuk diberikan kepada babi tersebut. Saat ia kembali babi itu telah menghilang lagi dan nenek Lina pun kembali mencari babi tersebut. Babi itu lalu ditemukan berada di sebuah kali mati atau kali yang sudah kering dan dalam keadaan sudah melahirkan. Saat memberi makan babinya tersebut tiba-tiba sebuah air keluar dan menyembur ke atas namun air tersebut tidak mengalir. Nenek Lina menjadi takut tatkala melihat air tersebut dan ia pun bertanya kepada nitu wae atau pemilik air apakah dia menginginkan kerbau merah, babi merah, ayam merah, dan beras merah untuk dipersembahkan kepadanya. Namun, air tersebut tetap menyembur ke atas lalu Nenek Lina menawarkan dirinya sebagai korban persembahan. Seketika itu juga air tersebut perlahan mulai mengalir dan menenggelamkan Nenek Lina. Sebelum tenggelam nenek Lina berkata bahwa ia akan menyuburkan tanah seperti muku dan foka (pisang dan rebung) setelah berkata demikian nenek Lina pun tenggelam dan mata air tersebut hingga kini dikenal dengan sebutan mata air mukufoka.
Pada dasarnya makna merupakan sebuah definisi seseorang terhadap sesuatu yang dikonstruksi dari hasil interaksi seseorang dengan orang lain.Dalam kaitannya dengan hutan, setiap orang mampu mengubah makna yang dipengaruhi oleh suatu situasi dengan mempertimbangkannya terlebih dahulu. Seseorang akan mampu mempertimbangkannya berdasarkan pengalaman dan pengetahuan seseorang tersebut (Devi Intan, Oktober:2017).
Manusia dalam masyarakat dan lingkungan sebagai pen dukung mitos berada dalam lingkup sosial budaya.
manusia dalam menjelaskan kenyataan yang tidak tampak, cenderung mengacu pada kebudayaan sebagai seperangkat simbol yang dapat memperjelas fenomena lingkungan yang di hadapinya. Seperti lazimnya, manusia senantiasa berusaha memahami dan menata gejala/fenomena yang ada di lingkungannya demi kelangsungan hidupnya (Sri Iswidayati, Mei-Agustus:2007).
Pada masyarakat Wawowae mitologi ini telah hadir dan hidup bersama masyarakat yang ada dalam suatu wilayah. Mitologi turut serta membentuk budaya yang dimiliki oleh masyarakat yang bersangkutan. Geertz dalam Syam memberi pengertian bahwa budaya memiliki dua elemen, yaitu kebudayaan sebagai sistem kognitif serta sistem makna dan kebudayaan sebagai sistem nilai. Kedua elemen tersebut merupakan repsentasi dari wujud nyata kelakuan manusia sehari-hari dan apa yang menjadi pedoman manusia untuk melakukan hak tersebut (Geertz dalam Syam 2014:91). Beberapa mitos dan realitas yang berkembang di dalam masyarakat secara empiris telah menjadi nilai-nilai kearifan lingkungan. (Nurhadi A,. Dkk, November 2012). Nilai adalah hal yang dapat dibutuhkan dalam setiap aspek kehidupan. Nilai ini hidup dalam suatu masyarakat dan menjadi suatu kebudayaan atau kebiasaan dalam masyarakat tertentu. Nilai-nilai tersebut telah memberikan makna positif bagi masyarakat Wawowae dalam menjaga kelestarian hutan. Nilai tersebut adalah sebagai berikut :
-
a) Mitos pohon ini sangat berpengaruh bagi masyarakat Wawowae khususnya dalam hal pelestarian hutan. Adanya mitos ini secara tidak langsung telah membentuk persepsi masyarakat upaya dalam menjaga kelestarian hutan. Hal ini dapat dilihat pada cara masyarakat memaknai hutan itu sebagai roh yang
22 | Leonarda Paula Mao, I G. P. Sudiarna, Aliffiati memberikan penghidupan bagi mereka. Pengambilan kayu tersebut harus melakukan suatu proses upacara untuk meminta ijin agar kayu tersebut dapat digunakan. Hal ini dimaknai oleh
masyarakat karena pohon merupakan sumber penghidupan sehingga tidak
dapat diperlakukan sembarangan.
-
b) Mitos mata air mukufoka merupakan gambaran dari kesuburan yang tergambar pada muku (pisang) dan foka (rebung) dimana merupakan tumbuhan yang selalu bertunas banyak. Hal ini menggambarkan kesuburan bagi tanah yang ada di hutan Watuata dan sekitaran desa Wawowae. Mitos ini juga membentuk perilaku masyarakat akan pentingnya air bagi kehidupan mereka.
-
c) Mitos Watuata bagi masyarakat ini dimaknai dalam kehidupan sehari-hari dimana jangan terpaku pada kejadian maupun kesalahan yang terdapat pada masa lalu dan fokus untuk melihat masa depan yang akan datang.
Manusia tidak merasa puas dan selalu ingin melakukan pengembangan-pengembangan baru dalam memahami setiap aspek kehidupan baik yang tampak maupun yang tidak. Hal tersebut memiliki dampak dimana masyarakat mulai mengembangkan cara-cara yang bersifat komunikatif untuk dapat membagi perasaan ataupun kejadian yang memiliki makna dan arti kehidupan. Berbagai macam mitos dan kepercayaan masyarakat dari berbagai belahan dunia masih melekat dengan kepercayaan akan takhayul dan bersifat magis.
Pada perkembangannya masyarakat Wawowae perlahan mulai kehilangan makna dari mitos-mitos ini. Hal ini dapat dilihat pada generasi sekarang yang tidak begitu memahami keberdaaan mitos ini dalam kehidupan sehari-harinya. Hal ini diperparah dengan adanya teknologi yang
menyebabkan para generasi muda mulai lupa akan makna dari mitos tersebut. Masyarakat diharapkan agar dapat terus melestarikan nilai budaya khususnya nilai yang terkandung dalam mitos-mitos tersebut. Meski demikian, tidak sedikit juga masyarakat yang masih menyadari akan pentingnya keberadaan mitos-mitos ini.
Berdasarkan analisis penelitian mengenai “Mitologi sebagai Kearifan Ekologis Masyarakat Wawowae dalam Pelestarian Hutan Watuata di Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur” dapat disimpulkan sebagai berikut: pertama, terdapat tiga mitos yang ada pada hutan Watuata berkaitan dengan pelestarian hutan. Kedua, mitos-mitos tersebut dimaknai oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari dan dalam pelestrarian hutan serta adanya perkembangan makna dari mitos tersebut pada masyarakat Wawowae.
Pertama, mitos-mitos ini telah ada sejak dahulu dan sudah sepatutnya dijaga dan dilestarikan. Kedua, diperlukan dukungan dari semua pihak agar mitos ini tetap hidup dan terjaga agar warisan kebudayaan ini masih dapat dinikmati oleh generasi penerus. Ketiga, perlu adanya ruang bagi generasi-generasi muda untuk turut langsung sedari dini untuk mengenal warisan budayanya sendiri sehingga generasi muda tidak hanya mengetahui mengenai keberadaan mitos tersebut melainkan dapat memaknainya dalam kehidupan sehari-hari.
Angeline, Maria. 2015. “Mitos dan
Budaya”. Jakarta : Jurnal
Humaniora Volume 8 No.2: 190200.
Danandjaja, James. 1986. “Folklor
Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain”. Jakarta: Grafitti
Press.
Cahyanti Ika dkk. 2017. “Mitos dalam Ritual Ruwatan Masyarakat Madura di Kecamatan Gending Kabupaten Probolinggo”. Jember: Jurnal Edukasi IV (1): 13-19
Henry dkk. 2018. “Kearifan Lokal Masyarakat sebagai Upaya Konservasi Hutan Pelawan di Kabupaten Bangka Tengah, Bangka Belitung”. Semarang: Jurnal Ilmu Lingkungan Vol.16: 49-57.
Humaedi, Ali. 2014. “Tradisi Pelestarian Hutan Masyarakat Adat Tau Taa Vana di Tojo Una-Una Sulawesi Tengah. Jakarta: Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol.11 No.1: 91-111.
Intan, Devi. 2017. “Keberlanjutan Ekologis Hutan dalam Kearifan Lokal Panglima Uteun pada Masyarakat Nagan Raya”.
Surakarta: Jurnal Analisa Sosiologi 6 (2): 1-7.
Iswidayati, Sri. 2007. “Fungsi Mitos dalam Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Pendukungnya.
Semarang: Harmonia Jurnal
Pengetahuan dan Pemikiran Seni Vol. VIII No.2.
Niapele, Sabaria. 2014. “Bentuk Pengelolaan Hutan dengan Kearifan Lokal Masyarakat Adat Tugutil”. Ternate: Jurnal Ilmiah Agribisnis dan Perikanan (Agrikan UMMU- Ternate) Vol. 6 Edisi 3.
Nurhadi, Ahsan dkk. 2012. “Kearifan Lingkunga dalam Perencanaan dan Pengelolaan Hutan Wonosadi Kecamatan Ngawen Kabupaten Gunung Kidul”. Jurnal Manusia dan Lingkungan, Vol. 19 No.3:
226-237.
Soekanto, Soerjono. 2009. “Sosiologi Suatu Pengantar”.Jakarta: Rajawali Press
Sugiharsono.2009. “Sistem Ekonomi Koperasi sebagai Solusi Masalah Perekonomian Indonesia”.
Yogyakarta: Jurnal Ekonomi & Pendidikan Volume 6 No.1: 22
Suryaningsih, Wakhidah dkk. 2012. “
Persepsi dan Perilaku Masyarakat dalam Upaya Pelestarian Hutan Rakyat di Desa Karangrejo Kecamatan Loano, Kabupaten Purworejo”. Semarang: Jurnal
Ekosains Vol. IV No. 3.
Syam, Nur.2007. “Mazhab-mazhab Antropologi. Yogyakarta: PT. LkiS Pelangi Aksara.
Wibowo, Bernadus. 2014. “Kearifan Lokal Masyarakat Desa Beji dalam Pemanfaatan Hutan Wonosadi”. Jakarta: RESPONS Vol. 19 No.1: 57-77.
Winarwan, Deddy dkk. “Kebijakan Pengelolaan Hutan, Kemiskinan Struktural dan Perlawanan
Masyarakat. Yogyakarta: Jurnal
KAWISTARA Vol.1 No. 3: 213320).
Discussion and feedback