Resistensi Masyarakat Terhadap Kebijakan Pembangunan RISHA di Desa Bayan, Lombok, NTB
on
DOI: https://doi.org/10.24843/SP.2019.v3.i01.p02
p-ISSN: 2528-4517
Resistensi Masyarakat Terhadap Kebijakan Pembangunan RISHA di Desa Bayan, Lombok, NTB
Sarita Anggun Kinanti*, I Wayan Suwena, I Gusti Putu Sudiarna Prodi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Unud
[saritaak103@[email protected]] [[email protected]] [[email protected]]
*Corresponding Author
Abstract
The Ministry of Public Works and the Public Housing (PUPR) has proposed innovations named Rumah Instan Sederhana Sehat (RISHA) as a form of post-disaster rehabilitation and reconstruction in Lombok, West Nusa Tenggara in 2018. One of the villages that received the innovations was Bayan village. Bayan community does not accept RISHA to be built as their new residence. This research focuses on two problems: (1) Why the Bayan people performs resistance to RISHA and (2) how the form of the resistance of Bayan people to RISHA. This research aims to study the determinants and the forms of resistance that the Bayan people has committed to the RISHA. The study was conducted for two months using qualitative research methods implementing the model of ethnographic research. The ethnography itself includes observation techniques, interviews, and library studies. The supporting instruments of this research are interview guidelines, voice recording equipment, cameras, and stationery. Based on the results of the research, it is known that the determinant that causes the Bayan people commit to RISHA is indigenous belief and framing made by the Government connected to the politic elections in 2019. The form of resistance performed by Bayan people are doing traditional deliberations, destruction of modern elements in the ancient Mosque of Bayan Beleq, efforts to build their own homes, dodge and do not want to know, as well as looking for alternative houses other than RISHA.
Keywords: Resistance, Healthy House, Bayan People.
Abstak
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah mencetuskan inovasi bernama Rumah Instan Sederhana Sehat (RISHA) sebagai bentuk rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana di Lombok, Nusa Tenggara Barat pada tahun 2018. Salah satu desa yang menerima bantuan tersebut adalah Desa Bayan. Masyarakat Bayan tidak menerima RISHA untuk dibangun sebagai hunian baru mereka. Penelitian ini fokus pada dua masalah: (1) mengapa masyarakat Bayan melakukan resistensi terhadap RISHA dan (2) bagaimana bentuk resistensi yang dilakukan masyarakat Bayan terhadap RISHA. Penelitian ini bertujuan untuk menelisik determinan penyebab serta bentuk-bentuk resistensi yang dilakukan masyarakat Bayan terhadap RISHA. Penelitian dilakukan selama dua bulan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif yang menerapkan model penelitian etnografi. Etnografi itu sendiri meliputi teknik observasi, wawancara, dan studi pustaka. Instrumen pendukung penelitian ini adalah pedoman
Sunari Penjor: Journal of Anthropology
Prodi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Unud
wawancara, alat perekam suara, kamera, dan alat tulis. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa determinan yang menyebabkan masyarakat Bayan melakukan resistensi terhadap RISHA adalah kepercayaan adat serta framing yang dilakukan pemerintah sehubungan dengan adanya Pemilu serentak 2019. Bentuk-bentuk resistensi yang dilakukan masyarakat Bayan di antaranya adalah melakukan musyawarah adat, perusakan unsur modern pada Masjid Kuno Bayan Beleq, usaha membangun rumah sendiri, menghindar dan tidak mau tau, serta mencari alternatif rumah tahan gempa lain selain RISHA.
Kata kunci: Resistensi, Rumah Sehat, Masyarakat Bayan.
Bencana gempa bumi 6,8 SR yang terjadi pada 29 Juli 2018 dan 7,0 SR pada 5 Agustus 2018 di Lombok, NTB telah memberikan dampak kerusakan pada berbagai rumah maupun fasilitas umum lainnya. Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), korban jiwa akibat gempa bumi yang terjadi di Lombok berjumlah 548 orang, korban luka-luka sejumlah 1.447 orang, dan 352.793 orang mengungsi, sedangkan 67.875 rumah dan 468 sekolah mengalami kerusakan sehingga warga menggunakan tenda untuk tidur maupun beraktivitas sehari-hari.
Dalam upaya merehabilitasi rumah pascagempa sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, pemerintah pusat di bawah kebijakan Presiden Joko Widodo telah bekerjasama dengan Kementerian PUPR (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat) untuk mencanangkan Program Rehabilitasi dan Rekonstruksi Masyarakat dan Permukiman Berbasis Komunitas (REKOMPAK) dengan inovasi rumah tahan gempa bernama Rumah Instan Sederhana Sehat (RISHA). RISHA merupakan rumah dengan konsep knock down, di mana proses pembangunannya tidak membutuhkan semen dan bata, melainkan dengan menggabungkan panel beton dengan baut sehingga pembangunan rumah ini dapat
diselesaikan dengan waktu yang cepat dan murah (Sabaruddin, 2006:4). Salah satu desa yang mendapat bantuan teknologi RISHA adalah Desa Bayan, Kecamatan Bayan, Lombok Utara. Desa ini berada dekat dengan pusat gempa, tepatnya di barat laut Gunung Rinjani.
Masyarakat Bayan percaya gempa bumi yang terjadi diakibatkan oleh keserakahan manusia. Beberapa warga mengaku mendapat firasat melalui mimpi bahwa mereka harus kembali pada alam, sehingga mereka ingin membangun kembali rumah kayu seperti yang terdapat di Kompleks Adat Bayan. Terancam gagalnya penyebaran inovasi ini berkaitan dengan kepercayaan lokal. Pemerintah menerapkan kebijakan bergaya top-down dan tidak melakukan komunikasi dua arah pada masyarakat di Desa Bayan. Dalam hal ini, pemerintah lebih berorientasi pada inovasi dibandingkan sasaran, sehingga penyebaran inovasi tidak tersampaikan dengan utuh. Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis akan mengkajinya dalam sebuah penelitian dari sudut pandang antropologi dengan judul “Resistensi Masyarakat Terhadap Kebijakan Pembangunan RISHA di Desa Bayan, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat”.
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut.
-
1. Mengapa masyarakat Bayan
melakukan resistensi terhadap
kebijakan pembangunan RISHA?
-
2. Bagaimana bentuk resistensi yang dilakukan masyarakat Bayan terhadap kebijakan pembangunan RISHA?
-
3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini, sebagai berikut. 1) Untuk mengetahui determinan sosial budaya masyarakat Bayan melakukan resistensi terhadap RISHA. 2) Untuk mengetahui bagaimana bentuk resistensi yang dilakukan masyarakat Bayan terhadap RISHA.
Penelitian ini merupakan sebuah etnografi dengan pendekatan kualitatif yang menekankan deskriptif interpretatif (Spradley, 1997:5).Deskriptif yang dimaksud merupakan penggambaran dari fenomena sosial-budaya berkenaan dengan resistensi Masyarakat Bayan terhadap kebijakan pembangunan Rumah Instan Sederhana Sehat (RISHA), yang selanjutnya diinterpretasi dari sudut pandang masyarakat bersangkutan (from the native’s point of view).
Penelitian ini menggunakan teknik purposive dan snow-ball. Teknik
purposive dilakukan dengan
menyesuaikan gagasan, asumsi, sasaran, tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti sedangkan snow-ball samping merupakan hasil kerjasama peneliti dengan informan kunci untuk menentukan
sampel/informan selanjutnya yang dapat dipercaya (Endraswara, 2006:115). Teknik pengumpulan data yang digunkan
di antaranya: observasi partisipasi,
wawancara mendalam, dan studi pustaka.
Setelah melakukan observasi
partisipasi dan wawancara mendalam, hal yang harus dilakukan adalah menganalisis data yang sudah didapat secara deskriptif untuk melihat apakah data yang didapat sudah menjawab persoalan dari penelitian atau malah sebaliknya. Penulis menggunakan cara Miles dan Hubermen (1984:234) dalam menganalisis data. Pengolahan data dilakukan setelah terkumpulnya
informasi yang sudah didapat melalui proses penelitian. Tahap-tahap yang dilakukan dalam pengolahan data antara lain: penyajian data (data display),
penarikan kesimpulan dan verifikasi (conclusion drawing/verification).
-
5. Hasil dan Pembahasan
-
5.1 Determinan Sosial Budaya Masyarakat Bayan Melakukan Resistensi Terhadap RISHA
-
Pulau Lombok diguncang gempa bumi dengan skala besar yang terjadi sebanyak dua kali pada tanggal 29 Juli 2018 dengan kekuatan 6,4 SR dan 5 Agustus 2018 dengan kekuatan 7,0 SR. BMKG memaparkan penyebab gempa bumi tersebut merupakan akibat dari pergerakan Sesar Naik Flores. Bayan adalah salah satu desa yang terkena dampak bencana. Terdapat sekitar 200 rumah yang mengalami kerusakan berat. Menurut Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, secara umum penanggulangan bencana (PB) merupakan urusan berbagai pihak mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga usaha, dan masyarakat. Salah satu bentuk penyelenggaraannya pada bencana gempa bumi di Lombok adalah rehabilitasi rumah yang dibantu oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Kementerian PUPR berperan dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat (infrastruktur) untuk membantu Presiden dalam menyelanggarakan pemerintahan negara. Partisipasi dari Kementerian PUPR diwujudkan dalam program Rehabilitasi dan Rekonstruksi Masyarakat dan Permukiman Berbasis Komunitas (REKOMPAK). Program ini melatih dan mengirim fasilitator lapangan sebagai pembimbing sekaligus perantara masyarakat dengan pemerintah dalam pembangunan Rumah Tahan Gempa (RTG). Pada dasarnya masyarakat diajarkan untuk membangun rumah mereka sendiri secara swadaya dalam upaya mengobati kondisi psikologis mereka akibat trauma pada bencana. Di dalam program ini, semua aktor pelaksana adalah masyarakat lokal mulai dari pekerja bangunan, penyedia material, hingga kontraktor.
Puslitbang Permukiman Departemen Pekerjaan Umum mengusung empat pilihan RTG (Rumah Tahan Gempa) di NTB, diantaranya adalah: RIKO (Rumah Instan Konvensional), RISBA (Rumah Instan Baja), RIKA (Rumah Instan Kayu), dan RISHA (Rumah Instan Sederhana Sehat). RISHA merupakan rumah yang paling disarankan oleh berbagai ahli konstruksi. RISHA merupakan teknologi yang dikaji dan diteliti oleh Puslitbang Permukiman pada tahun anggaran 2004, dan diluncurkan kepada pasar pada tanggal 20 Desember 2004. Teknologi ini telah diuji secara masal pembangunannya pada saat penanganan perumahan korban bencana gempa dan tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias. Keunggulannya dibandingkan rumah lain adalah lebih cepat, murah, ramah lingkungan, dan tahan gempa.
Pada proses rehabilitasi dan rekonstruksi masyarakat pascabencana, ada beberapa penyebab masyarakat
Bayan melakukan resistensi terhadap RISHA. Pertama, masyarakat Bayan trauma menggunakan rumah yang terbuat dari batu sekalipun rumah tersebut disinyalir tahan gempa. Kedua, pemahaman terkait bencana dan rumah antara masyarakat Bayan dengan pemerintah memiliki perbedaan. Pemahaman yang tidak sesuai dengan norma dan adat membuat mereka berusaha mencari cara lain untuk membangun rumah tanpa menggunakan bantuan dari pemerintah tersebut.
Ketiga, keinginan mereka untuk membangun rumah adat mengalami kendala dari sisi ekologis. Masyarakat kesulitan mencari bahan. Bahan yang dibutuhkan untuk membangun rumah adat sangat sulit didapat dan harganya mahal. Apabila masyarakat memaksakan untuk membangun rumah adat yang terbuat dari kayu, maka dikhawatirkan akan ada bencana baru diakibatkan kerusakan alam. Keempat, resistensi masyarakat dilakukan akibat situasi politik Pemilu 2019 bergema di Indonesia.
Saat iklim politik sudah terbuka dan gerakan resistensi mulai berkembang, framing terhadap tindakan kolektif dilakukan untuk mencari pengikut dan mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Prayogo (dalam Fringka, 2016:221) menyebut ini sebagai rumor yang disebarluaskan oleh sekelompok orang serta dapat menjadi pemicu lahirnya gerakan resistensi. Demi kepentingan tertentu, pemerintah menyebarkan narasi percepatan proses rehabilitasi dan rekonstruksi pada korban bencana alam, salah satunya adalah masyarakat Lombok. Masyarakat yang tidak ingin memihak siapapun secara tidak sadar menciptakan gerakan resistensi karena merasa pemerintah tidak “pro-rakyat”.
-
5.2 Bentuk-bentuk Resistensi Yang Dilakukan Masyarakat Bayan Terhadap RISHA.
Resistensi merupakan sebuah fenomena yang merujuk pada situasi sosial di mana pihak-pihak yang dirugikan dalam struktur sosial masyarakat melakukan perlawanan terhadap pihak-pihak yang
merugikannya. Resistensi yang dilakukan masyarakat Bayan dilakukan dengan cara melakukan musyawarah adat, penolakan unsur modern pada Masjid Kuno Bayan Beleq, kemandirian masyarakat
membangun rumah sendiri melalui LSM, penghindaran dan ketidakpedulian, serta mencari alternatif rumah tahan gempa lain selain RISHA. Musyawarah adat dilakukan karena segala keputusan yang berhubungan dengan masyarakat Bayan tidak hanya dibuat oleh Pemerintahan Dinas, melainkan juga Pemerintahan Adat.
Musyawarah adat secara garis besar mempengaruhi bentuk resistensi lainnya. Musyawarah ini menghasilkan dua hal: pertama, masyarakat Bayan harus melaksanakan upacara petanggah untuk memohon maaf pada leluhur dan berjanji tidak akan mengulangi kesalahan yang sama lagi. Kedua, masyarakat Bayan akan berusaha merehabilitasi rumah adat mereka. Namun keinginan tersebut menghadapi banyak tantangan. Terutama soal mencari bahan-bahan membangun rumah adat karena sumber daya alam yang terdapat di Desa Bayan tidak akan cukup untuk membangun 200 rumah terkena dampak bencana.
Menghilangkan unsur modern dari Masjid Kuno Bayan Beleq dilakukan oleh oknum tertentu setelah gempa bumi, karena sebagian masyarakat percaya Masjid Kuno Bayan Beleq tidak boleh menggunakan unsur modern seperti pagar yang terbuat dari batu. Kemandirian masyarakat membangun rumah sendiri merupakan bentuk
resistensi yang dilakukan karena program bantuan rumah tidak hanya dilakukan oleh pemerintah melainkan juga pihak lain seperti LSM hingga perorangan. Sebagian masyarakat lebih terbuka dengan LSM dibandingkan pemerintah yang dianggap menyulitkan dari sisi administrasi. Kondisi yang terjadi selama pemindahan komando Program REKOMPAK dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah adalah keengganan masyarakat mengetahui kelanjutan program hingga mereka pun bergossip tentang keburukan pemerintah.
Pada akhirnya, ketika program sudah diambil alih oleh pemerintah daerah, masyarakat Bayan memilih jenis rumah konvensional dengan konsep setengah badan, di mana rumah mereka dibuat dengan setengah tembok dan setengah bambu. Hal tersebut merupakan bentuk resistensi yang terakhir, yaitu mencari alternatif rumah tahan gempa lain selain RISHA.
Berdasarkan pembahasan dan analisis data mengenai resistensi masyarakat terhadap kebijakan pembangunan Rumah Instan Sederhana Sehat (RISHA) di Desa Bayan, Lombok Utara, NTB dapat disimpulkan bahwa bantuan tersebut tidak diterima begitu saja oleh masyarakat Bayan karena beberapa hal: pertama, masyarakat Bayan trauma menggunakan rumah yang terbuat dari batu sekalipun rumah tersebut disinyalir tahan gempa. Kedua, pemahaman terkait bencana dan rumah antara masyarakat Bayan dengan pemerintah memiliki perbedaan. Pemahaman yang tidak sesuai dengan norma dan adat membuat mereka berusaha mencari cara lain untuk membangun rumah tanpa menggunakan bantuan dari pemerintah tersebut.
Ketiga, keinginan mereka untuk membangun rumah adat mengalami
kendala dari sisi ekologis. Keempat, resistensi masyarakat dilakukan akibat situasi politik Pemilu 2019 bergema di Indonesia. Saat iklim politik sudah terbuka dan gerakan resistensi mulai berkembang, framing terhadap tindakan kolektif dilakukan untuk mencari pengikut dan mendapatkan dukungan dari berbagai pihak.
Resistensi yang dilakukan masyarakat Bayan dilakukan dengan cara melakukan musyawarah adat, penolakan unsur modern pada Masjid Kuno Bayan Beleq, kemandirian masyarakat membangun rumah sendiri melalui LSM, penghindaran, serta mencari alternatif rumah tahan gempa lain selain RISHA. Berdasarkan teori Scott (2000), menurut penulis, resistensi yang dilakukan oleh masyarakat Bayan adalah resistensi setengah terbuka. Masyarakat tidak menulis surat atau menentang program RISHA secara langsung, mereka melakukannya dengan musyawarah di dalam lingkungan mereka sendiri.
Pemerintah sebagai pemegang kebijakan seharusnya lebih memahami situasi dan kenyataan bahwa Indonesia berada di daerah rawan bencana sehingga harus siap untuk menghadapinya. Diperlukan sosialisasi serta pendidikan terkait bencana di Indonesia. Pendidikan tersebut antara lain adalah soal penyebab, sifat-sifat, akibat, cara tanggap, dan dampaknya secara menyeluruh. Biar bagaimanapun juga resiliensi lebih penting dibandingkan rehabilitasi dan rekonstruksi. Ketahanan masyarakat akan suatu bencana dapat mengurangi korban dan dampak negatif lainnya.
Sebaiknya perlu diadakan local disaster management yang dibuat oleh peneliti gabungan dari berbagai latar belakang pendidikan. Local disaster management berguna sebagai langkah untuk mengatasi bencana dalam lingkup
lokal dengan rasa global. Di negara-negara maju berpotensi bencana seperti Jepang dan Australia, local disaster management sudah dibuat oleh pemerintah daerah masing-masing. Di dalamnya terdapat petunjuk pelaksanaan, petunjuk teknis, dan siapa saja yang bertanggung jawab dalam mengatasi sebuah bencana, mulai dari pemadam kebakaran, dokter, koki, dan arsitek. Sehingga masalah seperti pengalihan komando dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah tidak akan terjadi dan penolakan masyarakat akan suatu inovasi dapat berkurang, khususnya terkait rehabilitasi dan rekonstruksi.
Abdullah, Irwan. 2006. Dialektika Natur, Kultur, dan Struktur: Analisis Konteks, Proses, dan Ranah Dalam Konstruksi Bencana. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Antropologi FIB-UGM.
Benford, Robert. D dan Snow, David. A. 2000. Framing Processes and Social Movements: an Overview and Assessment. Annual Review of Sociology Vol. 26 (2000), pp. 611639.
Endraswara, Suwardi. 2006. Metode, Teori, Teknik Penelitian
Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Fitriya, Antariksa, Sari. 2010. Pelestarian Pola Permukiman di Desa Adat Bayan, Kecamatan Bayan,
Kabupaten Lombok Utara. Jurnal Tata Kota dan Daerah, Volume 2, Nomor 1.
Fringka, Yulisa. 2016. Resistensi Berbasis Adat: Perlawanan
Masyarakat Nagari III Koto, Tanah Datar, Sumatera Barat, terhadap
Rencana Tambang Bukit Batubasi. LabSosio: Pusat Kajian Sosiologi FISIP-UI.
Ghafur, Noorkamilah, Hatim Gazali. 2012. Resiliensi Perempuan Dalam Bencana Alam Merapi: Studi di Kinahrejo Umbulharjo
Cangkringan Sleman Yogyakarta. Welfare: Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial, Vol. 1, No. 1, Januari-Juni 2012.
Lavigne, Franck. 2013. Source of The Great A.D. 1257 Mystery Eruption Unveiled, Samalas Volcano, Rinjani Volcanic Complex, Indonesia. Proceedings of the National Academy of Sciences (no.42, vol.100).
Miles, M.B. dan Huberman, A.M. 1984. Qualitative Data Analysis: A
Sourcebook of New Methods. California: SAGE Publications.
Napsiah. 2016. Kontekstualisasi
Kepercayaan Warga Lokal dalam Menjaga Lingkungan Gunung Merapi. Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga: Kontekstualita, Vol. 31, No.1,
2016.
Rogers, Everett M. 1983. Diffusion of Innovations. London: a Divison of Macmillan Publishing Co.
Sabaruddin, Arief. 2006. Membangun RISHA: Rumah Instan Sederhana Sehat. Jakarta: Penebar Swadaya.
Scott, James C. 1976. Perlawanan Kaum Tani. Diterjemahkan Oleh Budi Kusworo 1993. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Spradley, James. 1997. Metode Penelitian Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Suparmini, Setyawati, Sumunar. 2014. Mitigasi Bencana Berbasis Kearifan Lokal Masyarakat Baduy. Jurnal Penelitian Humaniora, Vol. 19, No.1, April 2014: 47-64
Suwitha, I Putu Gede. 2016. Kebangkitan Bayan Menuju Politik Identitas Kontemporer. Jurnal Jnana Budaya, Volume 21, Hal. 127.
Tawalinuddin, Harris. 2002. Sejarah Masuknya Islam di Lombok. 01/th.I/Feb-Mar.
Yanuardi. 2005. Revisi Terhadap Teori Pembangunan Foucaultdian. Jurnal Pascasarjana Ilmu Politik
UGM/22783/VI-1/2114/05.
Discussion and feedback