DOI: https://doi.org/10.24843/SP.2019.v3.i01.p01

p-ISSN: 2528-4517

Sistem Pelapisan Sosial Dalam Ritual Teing Ela Tinu pada Masyarakat Desa Watu Rambung

Apolonia Mulya1*, I Gusti Putu Sudiarna2

Prodi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana 1[lonimulya@gmail.com] 2[igpsudiarna@yahoo.co.id]

Labuan Bajo, NTT, Indonesia *Corresponding Author

ABSTRACT

Watu Rambung Village is one of the villages in South Lembor District, West Manggarai Regency, which has a sacred ritual and is still preserved by the people of Watu Rambung Village. The ritual is called the Teing Ela Tinu ritual. The Teing Ela Tinu Ritual is a traditional event conducted by children as a form of appreciation and retribution to their parents. This ritual is performed when the children are married or have their own lives.The formulation of the problems in this study include (1) How the social coating system in the Ela Tinu Teing Ritual (2) The process of implementing the Ela Tinu Teing Ritual. This study aims to determine the social coating system in the Teing Ela Tinu ritual, as well as to know the process of implementing the Ela Tinu Teing Ritual in Watu Rambung Village. This research uses the theory of Bronislaw Malinowski about structural functional. The method used is a qualitative research method. Data collection techniques include observation, interviews, and literature study. The analysis used is descriptive qualitative.

Keywords: Social Coating System, Ela Tinu Teing, Ritual

ABSTRAK

Desa Watu Rambung merupakan salah satu desa yang terdapat di Kecamatan Lembor Selatan, Kabupaten Manggarai Barat yang memiliki ritual yang bersifat sakral dan masih di lestaraikan hingga sekarang oleh masyarakat Desa Watu Rambung. Ritual tersebut bernama ritual Teing Ela Tinu. Ritual ini dilakukan pada saat anak-anak sudah berkeluarga atau memiliki kehidupan masing-masing. Ritual ini bertujuan untuk.Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini meliputi (1) Bagaimana Sistem Pelapisan sosial dalam Ritual Teing Ela Tinu (2) Proses pelaksanaan Ritual Teing Ela Tinu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sistem pelapisan sosial dalam ritual Teing Ela Tinu, serta untuk mengetahui proses pelaksanaan Ritual Teing Ela Tinu di Desa Watu Rambung. Penelitian ini menggunakan teori dari Bronislaw Malinowski tentang fungsional struktural. Metode yang digunakan yaitu metode penelitian kualitatif. Teknik pengumpulan data meliputi observasi, wawancara, dan studi kepustakaan. Analisis yang digunakan deskriptif kualitatif.

Kata Kunci: Sistem Pelapisan Sosial, Ritual, Teing Ela Tinu.

PENDAHULUAN

Kebudayaan ialah hasil pemikiran manusia yang menciptakan ide, nilai maupun hasil karya manusia dalam bentuk benda-benda yang lahir dan berkembang seiring dengan perkembangan zaman manusia. Menurut Koentjaraningrat, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga yaitu: 1) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks

dari ide-ide gagasan, nilai-nilai, norma-norma, dan sebagainya; 2) Wujud kebudayaan suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat; 3) Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Kebudayaan sebagai wujud ideal adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma, peraturan yang bersifat abstrak dan tak dapat dipegang

Sunari Penjor: Journal of Anthropology


Prodi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Unud


| 1


atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terdapat dalam alam pemikiran warga masyarakat. Apabila oleh masyarakat kumpulan ide atau gagasan tersebut dinyatakan dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari wujud kebudayaan ideal tersebut berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut.

Kebudayaan sebagai wujud aktivitas suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Masyarakat dan kebudayaannya, merupakan dua sisi dari satu kenyataan sosial kehidupan manusia yang tidak dapat dipisahkan secara dikotomis (Admadin, 2006:1-9). Wujud aktivitas sering disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Religi merupakan salah satu unsur kebudayaan, yang tidak terpisahkan dari kebudayaan, dan tumbuh serta berkembang secara historis pada masyarakat pendukungnya. Setiap suku bangsa mempunyai sistem religi yang berbeda, begitu pula dengan masyarakat Desa Watu Rambung Kecamatan Lembor Selatan Kabupaten Manggarai Barat Nusa Tenggara Timur. Masyarakat Manggarai pada umumnya melakukan begitu banyak upacara dan sudah menjadi tradisi yang dapat dikelompokan menjadi 5 ialah: (1) upacara adat yang berhubungan dengan pembangunan rumah adat; (2) upacara adat yang berhubungan dengan manusia itu sendiri, seperti adat kelahiran dan kedewasaan (perkawinan) (3) upacara adat yang berhubungan dengan kematian, khususnya pada saat kematian, penguburan dan pesta kenduri (4) upacara yang berhubungan dengan kegiatan pertanian, terutama sebelum atau pada waktu musim tanam dan pada waktu memanen hasilnya (5) upacara adat yang berhubungan dengan pesta adat tahun baru yang dilaksanakan setiap musim panen (Dagur, 1997:88). Ritual kawit dan wiwit yaitu dari pemilihan sesaji yang digunakan mengandung banyak makna sebagai simbol penghargaan oleh masyarakat. Misalnya dengan meletakan sesaji di sawah berharap agar tanaman padi selalu dilindungi oleh nenek moyang dan

mendapatkan hasil yang melimpah (Oksiana, 2014: 1220-1236)

Ritual Teing Ela Tinu adalah ungkapan rasa syukur anak-anak sudah diberikan orang tua (Bapak/Ibu) sebagai wakil pencipta di dunia ini, dan sekaligus rasa syukur atas pemeliharaan mereka (piara), asuhan (tatong) maupun ajaran-ajaran mereka (titong). Selain itu ritual teing ela tinu sebagai wujud anak meminta maaf kepada orang tua jika ada perilaku yang kurang berkenan, salah langkah yang membuat orang tua marah, upacara ini juga sebagai upacara rekonsiliasi. Selain upacara-upacara ritual yang mempunyai peran sosial dalam rangka menjalin hubungan dengan sesama manusia, dan manusia dengan Tuhan Yang Maha Kuasa (Ferdinandus, 2014).

Sistem Pelapisan Sosial adalah menyangkut masalah kehidupan manusia dalam kelompok sosial yang pada hakikatnya mewujudkan sejumlah hak dan kewajiban tertentu berkenaan dengan dengan kedudukannya. Kedudukan atau status seperti itu dalam komunitas dibedakan secara vertikal yang menekankan pada aspek tinggi rendahnya, sehingga menciptakan ranking dalam kedudukan sebagai gejala stratifikasi sosial, sedangkan secara horizontal yang menekankan pada aspek jenis kedudukan satu dengan lainnya sebagai gejala diferensiasi sosial. Sistem pelapisan sosial atau kasta adalah bagian dari realitas hidup bermasyarakat di kepulauan kei. Melalui sistem kasta masyarakat di kelompokkan dalam kelas-kelas sosial (Marthinus, 2015: 148-163) Berdasarkan wujud sistem pelapisan sosial, dibagi menjadi dua yang meliputi: pelapisan sosial resmi dan pelapisan sosial tak resmi.

Berpijak dari pendapat tersebut di atas, lapisan sosial resmi dalam masyarakat Watu Rambung di Desa Watu Rambung adalah berdasarkan keturunan darah. Dimana lapisan tersebut sudah menjadi tegas, karena warga-warga dari suatu lapisan itu mendapat hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang terangkum kedalam adat secara dilindungi oleh hukum adat. Dengan demikian lapisan sosial resmi dalam masyarakat tersebut dapat dibedakan menjadi dua lapisan yaitu: Lapisan atas (Kraeng) dan lapisan bawah (mendi). Masing-masing lapisan tersebut

mempunyai kedudukan dan peranan dalam masyarakat. Lapisan inilah yang dikaitkan dengan adat ritual Teing Ela Tinu.

Dengan adanya statifikasi sosial seperti diatas, maka ritual Teing Ela Tinu memiliki perbedaan pada saat pelaksanaan. Apabila yang melakukan ritual ini adalah kaum lapisan atas maka pelaksanaan yang dilakukan sangat meriah dan di hadiri oleh seluruh masyarakat setempat, juga tua-tua adat dalam masyarakat setempat. Namun apabila yang melakukan ritual Teing Ela Tinu itu adalah kaum lapisan bawah, maka pelaksanan sangat sederhana dan dihadiri beberapa tua-tua adat juga beberapa masyarakat setempat. Keunikan dari Ritual Teing Ela Tinu ini adalah dimana dilakukan pada saat anak-anak sudah berkeluarga atau memiliki kehidupan masing-masing, juga masih terjaga sampai sekarang oleh masyarakat setempat.

Berdasarkan pada latar belakang diatas, oleh karena itu peneliti merasa perlu untuk mengangkat judul “Sistem Pelapisan Sosial Dalam Ritual Teing Ela Tinu Pada Masyarakat Desa Watu Rambung, Kecamatan Lembor Selatan, Kabupaten Manggarai Barat. Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahannya sebagai berikut:a) Bagaimana Sistem Pelapisan Sosial di ritual Teing Ela Tinu pada Masyarakat Watu Rambung Kecamatan Lembor Selatan, Kabupaten Manggarai Barat NTT?, b) Bagaimana proses pelaksanaan ritual Teing Ela Tinu pada Masyarakat Watu Rambung, Kecamatan Lembor Selatan, Kabupaten Manggarai Barat, NTT?. Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut. 1) Untuk mengetahui sistem pelapisan sosial di ritual Teing Ela Tinu pada Masyarakat Watu Rambung. 2) Untuk mengetahui proses pelaksanaan ritual Teing Ela Tinu pada Masyarakat Watu Rambung.

METODE

Metode yang digunakan dalam penelitian ini merupakan metode penelitian kualitatif. Metode adalah suatu cara kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan dan dipilih dengan

mempertimbangkan kesesuaiannya dengan obyek studi (Koentjaraningrat, 1987). Jenis data yang digunakan adalah data kualitatif dimana hasil dari penelitian ini berupa data deskriptif yang menjelaskannya secara terperinci megenai topik yang diangkat.Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terbagai menjadi dua jenis yaitu data primer dan data sekunder. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut: 1) Teknik penentuan informan; 2) Teknik observasi partisipan; 3) Teknik wawancara; 4) Studi kepustakaan. Selain dari pada itu dalam penelitian ini terdapat tiga tahapan yang harus di kerjakan dalam menganalisis data peneliti kualitatif, yaitu (1) reduksi data (data reduction); (2) penyajian data (data display); dan juga (3) penarikan serta penguji kesimpulan (drawing and verifying conclucuion).

KERANGKA TEORI

Kajian pustaka=Menurut Kanisius T. Deki (2011) dalam buku yang berjudul Gereja Menyapa Manggarai. Menjelaskan secara singkat tentang upacara teing Ela Tinu di Manggarai, dimana upacara teing Ela Tinu ini adalah sebuah upacara adat yang dilakukan masyarakat sebagai bentuk penghargaan dan balas budi anak terhadap orang tua. Upacara teing Ela Tinu ini ada dalam konteks upacara terima kasih kepada orang tua yang telah membesarkan anak-anak dengan penuh cinta dan kasih yang dibutuhkan oleh seorang anak. Upacara teing Ela Tinu merupakan sebuah tradisi dari nenek moyang Manggarai yang wajib dilakukan atau dilaksanakan oleh suatu masyarakat, karena apabila masyarakat tidak melakukan dan melalaikan upacara ini maka dapat terjadi banyak tantangan yang menimpa. Contoh mimpi buruk, sakit, segala panen tidak hasil, hidup pun tidak akan aman. Upacara teing Ela Tinu umumnya dibuat di saat orang tua sudah lanjut usia. Upacara teing Ela Tinu biasanya di lakukan dalam tiga kondisi. Pertama, dalam kondisi normal, kedua, dalam kondisi darurat, ketiga, orang tua yang sudah meninggal. Buku ini merupakan acuan bagi penulisan usulan penelitian ini, buku tersebut membahas

tentang upacara-upacara yang ada di Manggarai salah satunya Upacara Teing Ela Tinu. Kajian Teoritis=Kajian ini menerapkan teori fungsional dikemukakan Bronislaw Malinowski yang mengatakan bahwa segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Dengan paham itu, kata Malinowski, seorang peneliti dapat menganalisa dan menerangkan banyak masalah dikehidupan masyarakat dan kebudayaan Indonesia (Koenjaraningrat, 1987: 171). Malinowski mengatakan manusia mempunyai kebutuhan bersama yang bersifat biologis dan psikologis, dan semua kebudayaan adalah memenuhi kebutuhan tersebut. Pendekatan fungsional dari Malinowski memainkan peranan yang penting dalam pemberian tekanan pada interelasi di dalam kebudayaan dan pada cara-cara kebudayaan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar. Malinowski memberi tiga tingkat kebutuhan fundamental, yang harus dipecahkan oleh setiap kebudayaan. Tiga tingkat itu antara lain: kebudayaan harus memenuhi kebutuhan biologis, kebudayaan harus memenuhi kebutuhan instrumental (kebutuhan akan hukum dan pendidikan), kebudayaan harus memenuhi kebutuhan integrative (agama dan kesenian).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sistem Pelapisan dalam Ritual Teing Ela Tinu

Sistem Pelapisan Sosial adalah menyangkut masalah kehidupan manusia dalam kelompok sosial yang pada hakikatnya mewujudkan sejumlah hak dan kewajiban tertentu berkenaan dengan dengan kedudukannya. Kedudukan atau status seperti itu dalam komunitas dibedakan secara vertikal yang menekankan pada aspek tinggi rendahnya, sehingga menciptakan ranking dalam kedudukan sebagai gejala stratifikasi sosial, sedangkan secara horizontal yang menekankan pada aspek jenis kedudukan satu dengan lainnya sebagai gejala

diferensiasi sosial. Berdasarkan wujud sistem pelapisan dibedakan menjadi dua yaitu pelapisan sosial resmi dan pelapisan sosial tak resmi. Setiap masyarakat memiliki pandangan yang berbeda mengenai berbagai jabatan dan kedudukan yang terdapat dalam masyarakatnya, sehingga suatu kedudukan yang dianggap paling terhormat di suatu masyarakat, mungkin berada di peringkat dibawahnya dalam masyarakat lain, dan yang dianggap rendah di satu masyarakat, mungkin sangat dihormati dalam masyarakat lain. Masyarakat yang berasal dari keturunan bangsawan atau raja, manganggap diri mereka sebagai kelompok “elit” karena memiliki strata sosial paling tinggi dibandingkan yang lain (Rochmawati, 2017: 189-202). Dengan demikian ada masyarakat yang menentukan tinggi-rendahnya kedudukan seseorang berdasarkan besar kecilnya kekuasannya, dan ada masyarakat yang menilai kekayaan, kepandaian, keterampilan, pengetahuan, atau suatu kombinasi dari hal-hal tersebut untuk menentukan tinggi-rendahnya kedudukan seseorang. Dalam hampir semua masyarakat tampak gejala bahwa orang yang dipandang mempunyai kedudukan tertentu, cenderung untuk bergaul lebih banyak dengan orangorang dengan kedudukan yang sama, sehingga terbentuk lapisan-lapisan sosial (Koentjaraningrat, 2005; 158-159).

Susunan pelapisan dalam masyarakat Desa Watu Rambung umumnya sangat tinggi, dan bahkan memiliki istilah-istilah tertentu bagi lapisan-lapisan itu, misalnya ata lengge (orang miskin), dan ata bora (orang kaya). Sama halnya di Manggarai khususnya di Desa Watu Rambung, dimana pada masyarakat memiliki lapisan-lapisan sosial dalam kehidupannya. Stratifikasi sosial dalam Masyarakat Desa Watu Rambung itu bermacam-macam antara lain: Jabatan atau kekeuasaan, kekayaan atau ekonomi, keturunan dan lain sebagainya. Stratifikasi sosial (pelapisan sosial) dibedakan menjadi dua bentuk yaitu: (1) lapisan sosial resmi, dan (2) lapisan sosial tak resmi. Lapisan sosial resmi itu sudah menjadi tegas karena warga-warga dari suatu lapisan itu mendapatkan sejumlah hak dan kewajiban yang terbeku ke dalam

adat, dan dilindungi oleh hukum adat atau hukum yang berlaku. Sedangkan lapisan sosial tak resmi itu tidak tegas, dimana warga masyarakat belum mempunyai kesadaran dan konsepsi yang jelas tentang susunan lapisan dalam masyarakat mereka. Biasanya dalam masyarakat seperti itu juga tidak ada istilah-istilah tertentu untuk menyebut lapisan-lapisan tak resmi. Ukuran yang dipakai untuk menggolong anggota-anggota masyarakat ke dalam suatu lapisan adalah kekayaan, kekuasaan, kehormatan, dan ilmu pengetahuan.

Pada masyarakat Desa Watu Rambung terdapat perbedaan status sosial yang berbeda, mulai dari tinggi, dan rendah. Mekuku sebagai sebuah sistem yang dapat digunakan untuk menandai status seorang dalam masyarakat (Zakiyah, 2015: 327-344). Stratifikasi tersebut dikenal dengan tingkatan berikut: 1) kraeng (lapisan atas), 2) budak (lapisan bawah), kedua tingkatan ini sangat berpengaruh dalam pelaksanaan Ritual Teing Ela Tinu. Dalam Adat masyarakat Watu Rambung, lapisan paling bawah bisa melakukan tapi tidak seperti yang dilakukan oleh kalangan lapisan atas, dimana hanya dihadiri oleh beberapa tua Adat dalam satu kampung juga tidak semua anggota masyarakat dalam satu lingkup rumah gendang. Dalam perkawinan komunitas Islam Sasak muncul karena menjadi stratifikasi sosial yang lebih tinggi dan lebih rendah, yang ditentukan oleh pendidikan, kekuatan, kasta, kemakmuran, kehormatan dan sebagainya (Siti, 2017). Namun apabila yang melakukan Ritual tersebuat adalah lapisan atas maka Ritual tersebut dilakukan secara mewah.dan dihadiri oleh tua-tua adat yang ada di kampung tersebut dan seluruh anggota masyarakat yang ada dalam satu rumah gendang. Gelar Kebangsawaan dalam tradisi pernikahan adat sasak memiliki nilai yang sangat tinggi di mata masyarakat (Retno, 2017: 36-53) Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Desa Watu Rambung selalu mengajarkan pada anak-anak mereka untuk selalu hidup berdampingan dengan sesamanya dan saling menghormati satu sama lain baik dalam keluarga maupun diluar lingkungan keluarganya. Ajaran ini akan terus mereka bawa sampai akhir hayatnya. Jika seorang anak mengasihi dan

menghormati orang tua maka mereka dapat melakukan ritual Teing ela tinu sebagai ungkapan syukur atas apa yang diberikan oleh orang tua semasa mereka dalam kandungan hingga dewasa. Bagaimanapun kehidupan sosial ekonomi orang yang melakukan ritual itu, seorang anak harus berusaha dan harus melakukan ritual teing ela tinu baik itu dari keluarga yang berasal dari lapisan bawah, menengah, sampai lapisan atas. Karena dengan melakukan ritual tersebut kehiduapan dari seorang anak akan dijauhkan dari malapetaka, mudah rejeki dan sebagainya. Orang-orang yang terlibat dalam ritual keagamaan dari berbagai macam religi dan berbagai macam suku bangsa di dunia biasanya dilakukan oleh (a) pendeta, (b) dukun. Dalam hal Ritual Teing Ela Tinu, seluruh warga kampung terlibat dengan perannya masing-masing. Ada beberapa pembagian tugas berdasarkan status di dalam komunitas kampung, berdasarkan status dalam klan serta peran penting sebagai pemuka adat.

Proses Pelaksanaan Ritual Teing Ela Tinu

Dalam proses pelaksanaan upacara teing ela tinu masyarakat Desa Watu Rambung adalah mereka sebagai anak-anak bersyukur dan berterima kasih serta balas jasa kepada orang tua yang membesarkan mereka mulai dari dalam kandungan sampai mereka dewasa. Mereka juga bersyukur kepada Tuhan Pencipta dan Pembentuk (Mori jari agu dedek) karena telah memberikan orang tua kepada mereka anak-anaknya. Menghormati Tuhan sebagai sumber hidup dan penghidupan manusia. Tidak lupa untuk bersyukur kepada leluhur (empo) yang telah mewariskan Ritual Teing Ela Tinu ini, sehingga patutlah kita memberikan persembahan bagi mereka atas segala jasa dan kebaikannya (Deki, 2011: 136).

  • a.    Persiapan

Dalam kehidupan masyarakat Manggarai, khususnya masyarakat Desa Watu Rambung, sebelum melaksanakan suatu upacara adat maka perlu dilaksanakan musyawarah untuk menyukseskan upacara adat tersebut. Musyawarah dalam pelaksanaan upacara Teing Ela Tinu biasanya

dipimpin oleh anak tertua dalam keluarga tersebut dan di ikuti oleh anggota keluarga besar. Dalam musyawarah tersebut, biasanya hal-hal yang disepakati antara lain mengenai bahan-bahan yang akan diperlukan dalam upacara. Berarti mengundang pihak lain untuk hadir dalam Ritual Teing Ela Tinu. Pada dasar atau intinya orang terlibat dalam acara teing Ela Tinu adalah semua anak-anak dari orang tua tersebut yakni anak kandung (anak decuk), cucu (empo), anak mantu (koa/wote), saudara sepupu (asa kae ema), warga dalam satu kampung (pa’ang olon ngaung musi), sebagai saksi. Dalam penyambutannya diwakili oleh tua adat yang disebut sebagai laro jaong dan leteng temba yaitu sebagai juru bicara dan perantara untuk mewakili warga yang ada dalam satu kampung dengan tamu yang akan datang (Sabina, 2019:14-21).

Orang-orang yang diundang untuk turut mengambil bagian dalam acara inipun sesungguhnya tergantung pada persiapan dari keluarga, dan kehadiran mereka adalah sebagai saksi khususnya para tetua adat dalam kampung tersebut dan sekaligus nantinya mereka juga menyampaikan sesuatu kepada yang bersangkutan (orang tua yang diadakan Ritual teing Ela Tinu). Kehadiran dari orang-orang tersebut memiliki arti yang sangat penting, karena mereka akan menjadi saksi apabila suatu saat nanti anak-anak dari orang tersebut tidak mendapatkan rejeki dan berkat dalam kehidupannya (karena nangki tai itang diang) yakin semacam kutukan akibat tidak menghargai dan membahas budi terhadap jasa orang tuanya.

  • b.    Teing Hang

Teing Hang adalah upacara memberikan makan kepada leluhur atau orang yang sudah meninggal tujuan utama upacara ini adalah supaya para leluhur tidak murak dengan keluarga yang masih hidup karena melupakan dan berperilaku tidak sesuai dengan yang diharapkannya, misalnya saling bermusuhan. Tradisi mappamula erat kaitan dengan pernyataan kesyukuran pada dewata, dengan cara melaksanakan tradisi untuk menyenangkannya agar manusia tidak mendapat kemurkaan darinya (Nasruddin, 2017: 1-15). Upacara teing hang dilaksanakan sebelum Ritual teing Ela Tinu,

karena menurut adat menggarai khususnya (ata mbeko, ata pecing) mengatakan bahwa sebelum anak-anak melaksanakan Ritual teing Ela Tinu atau balas jasa kepada orang tua tersebut terlebih dahulu harus melakukan upacara pemberian makan kepada leluhur atau nenek moyang yang sudah medahului, dan jika ritual ini tidak dilaksanakan maka akan mendapatkan malapetaka dalam kehidupan keluarga tersebut dan leluhur dan nenek moyang yang sudah meninggal beranggapan bahwa anak-anak, termasuk orang tua yang akan melaksanakan Ritual teing Ela Tinu lupa pada leluhur atau nenek moyang yang telah meninggal.

  • c.    Puncak Pelaksanan Ritual Teing Ela tinu

Puncak dari seluruh rangkaian Ritual teing Ela Tinu adalah penyampaikan niat dan tujuan dilaksanakannya upacara, yakni permohonan maaf dan ungkapan terima kasih yang disampaikan oleh anak-anak dihadapan orang tuanya, yang diwakili oleh seorang anak (biasanya anak sulung) atau dapat pula dilakukan oleh semua anak dari orang tua itu. Upacara seba yang merupakan puncak kegiatan ritual keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat (Nandang, 2013:82-98). Pada kesempatan tersebut, mereka menyerahkan seluruh bahan yang sudah disiapkan dan memakaikannya kepada orang tua mereka. Setelah itu, orang tuanya akan memberikan petuah atau jawaban dan juga ucapan terima kasih kepada anak-anaknya. Umumnya yang disampaikan adalah ajaran mengenai cara hidup yang baik dalam masyarakat.

KESIMPULAN

Berdasarkan keseluruhan pembahasan yang telah diuraikan diatas mengenai “Sistem Pelapisan Sosial Dalam Ritual Teing Ela Tinu pada Masyarakat Desa Watu Rambung kecamatan Lembor Selatan Kabupaten Manggarai Barat”, maka dapat disimpulakan sebagai berikut: Pada masyarakat Desa Watu Rambung terdapat perbedaan status sosial, mulai dari tinggi, sedang dan rendah. Stratifikasi tersebut dikenal dengan tingkatan berikut: Kraeng (lapisan atas), Mendi (lapisan bawah). Kedua tingkatan ini sangat berpengaruh dalam

pelaksanaan Ritual Teing Ela Tinu. Dalam Adat masyarakat Watu Rambung, lapisan paling bawah bisa melakukan tapi tidak seperti yang dilakukan oleh kalangan lapisan atas, dimana hanya dihadiri oleh beberapa tua Adat dalam satu kampung juga tidak semua anggota masyarakat dalam satu lingkup rumah gendang. Namun apabila yang melakukan Ritual tersebuat adalah lapisan atas maka Ritual tersebut dilakukan secara mewah.dan dihadiri oleh tua-tua adat yang ada di kampung tersebut dan seluruh anggota masyarakat yang ada dalam satu rumah gendang.

Proses pelaksanaan ritual Teing Ela Tinu ini memiliki beberapa tahap yaitu tahap persiapan, tahap puncak, juga tahap akhir. Dalam masing-masing tahap ada ritual yang harus dilakukan sebelum ritual Teing Ela Tinu dilakukan agar berjalan dengan lancar dan sesuai harapan. Puncak dari seluruh rangkaian ritual teing ela tinu adalah penyampaian niat dan tujuan dilaksanakan ritual tersebut, yakni permohonan maaf dan ungkapan terima kasih yang disampaikan oleh anak-anak dihadapan orang tuanya, yakni diwakili oleh seorang anak biasanya anak sulung atau dapat pula dilakukan oleh semua anak dari orang tua itu. Setelah itu, orang tua juga akan memberikan petuah atau jawaban dan juga ucapan terima kasih kepada anak-anaknya. Setelah semuanya selesai menyampaikan niat maka diadakan torok ritual teing ela tinu. Dalam torok, orang manggarai memuji dan memuliakan kebesaran Mori Jari Agu Dedek (Tuhan Pencipta) dan juga meminta bantuan dari leluhur dan keluarga yang sudah meninggal. Karena tanpa torok sebuah ritual adat tidak ada artinya. Kepercayaan marapu mengkultuskan arwah nenek moyang (leluhur) sebagai perantara untuk memuja yang Maha Pencipta atau Ilahi Tertinggi (Ambrosius, 2014:1-15).

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadin. 2006.”Warisan Budaya Orang Selayar”. Makassar: Jurnal Jaffray Volume 4 No.1: 1-9.

Aminah, Siti. 2017. “Stratifikasi Sosial dalam Perkawinan Masyarakat Islam

Sasak”. Malang: Jurnal Sosiologi Agama Volume 11 No. 2.

Dagur, Anthony Bagul. 1997. Kebudayaan Manggarai Sebagai Salah Satu Khasanah     Kebudayaan Nasional.

Surabaya: Ubhara Press

Deki Kanisius Teobaldus,  2011.  Gereja

Menyapa Manggarai. Ruteng, Flores,

NTT: Yayasan Siri Bongkok.

Djawa, Ambrosius Randa. 2014. “Ritual

Merapu di Masyarakat Sumba Timur”.

Surabaya: Jurnal Pendidikan Sejarah Volume 2 No.1:1-15.

Haris, Rochmawati. 2017.  “Dinamika

Kelompok Sosial Budaya di Kota Makasar:  Memudarnya  Stratifikasi

Sosial Berbasis Keturunan”. Makasar: Jurnal Masyarakat dan Budaya Volume 19 No.2:189-202.

Hasani, M. Muwafiqillah Al. dan Oksiana Jatiningsih. 2014. “Makna Simbolik Dalam Ritual Kawit dan Wiwit pada Masyarakat Pertanian di Desa Ngasemlemahbang       Kecamatan

Ngimbang Kabupaten Lamongan”. Surabaya: Jurnal Kajian Moral Dan Kewarganegaraan Volume 3 No.2:

1220-1236

Husba, Zakiyah Mustafa. 2015.”Tuturan Mekuku: Sistem Penanda Etnis dalam Interaksi Sosial Suku Tolaki di Sulawesi Tenggara”. Sulawesi: Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya Volume 7 No.2:327-344

Janggur, Petrus. 2010, Butir-Butir Adat Manggarai,  Ruteng: Yayasan Siri

Bongkok

Koentjaraningrat.1987. Sejarah Teori Antropologi 1. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Perss).

Nasrudin. 2017. “Tradisi Mappamula pada Masyarakat Bugis Tolotang di Sidenreng Rappang”. Makassar: Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Volume 5 No.1:1-9

Ndiung, Sabin. Dan Gede Wira Bayu. 2019.”Ritus Tiba Meka Orang

Manggarai dan Relevansinya dengan Nilai-Nilai Karakter”. Singgaraja: Jurnal Pendidikan Multikultural Indonesia Volume 2 No.1: 14-2

Ngabalin, Marthinus. 2015. “Sistem Kasta Kajian Teologi Sosial Terhadap Praktik Pelaksanaan Kasta di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara”. Ambon: Jurnal Kajian Teologi Volume 1 No.2:148-163.

Ngare, Ferdinandus. 2014. “Upacara Ritual Congko Lokap dan Penti Sebagai Media     Komunikasi     Dalam

Pengembangan  Pariwisata  Daerah

Manggarai Provinsi Nusa Tenggara Timur”. Jakarta:    Jurnal Ilmu

Komunikasi Volume 1 No.1.

Nggoro, Adi M. 2006. Budaya Manggarai Selayang Pandang. Ende: Nusa Indah.

Rusnanda, Nandang. 2013. “Seba: Puncak Ritual Masyarakat Baduy di Kabupaten Lebak Provinsi Banten”. Banten: Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya Volume 5 No.1:82-98.

Sirnopati, Retno. 2017. “Makna Transaksi Harga Gelar Kebangsawanan dalam Tradisi Perkawinan Adat Sasak di Desa Batujai Lombok Tengah NTB”. Lombok:  Jurnal Hukum Ekonomi

Syariah dan Ahwal Syahsiyah Volume 2 No.2:36-53.