Ritual Matruna Nyoman: Perspektif Antropologi Komunikasi
on
DOI: 10.24843/SP.2018.v2.i02.p05
p-ISSN: 2528-4517
Ritual Matruna Nyoman: Perspektif Antropologi Komunikasi
Program Studi Antropologi, FIB, Unud e-mail: ketut_kaler@unud.ac.id
Abstrak
Ritual Matruna Nyoman adalah sebuah tradisi unik yang dilakukan oleh komunitas adat Tenganan Pagringsingan. Oleh karena itu para intelektual ilmu social kemasyarakat sering menjadikan desa ini sebagai obyek penelitian. Di dalam tulisan ini akan dicoba melakukan analisis terhadap ritual ini dari perspektif Antropologi Komunikasi. Kecuali itu, tulisan ini juga diharapkan menjadi satu bacaan sederhana untuk memahami secara empiris bagaimana komunikasi itu dapat ditelaah dari perpsektif Antropologis. Tulisan ini lebih bersifat deskrptif kualitatif dalam arti coba untuk memahami seluk beluk komunikasi di dalam masyarakat dipandang dari perspektif Antropologis. Data bersumber dari sebuah tesis hasil penelitian Putu Karina Pravitasari yang berjudul Perubahan Ritual Matruna Nyoman. Selain itu data juga diperoleh dari hasil observasi dan sekaligus wawancara mendalam. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa prosesi ritual matruna nyoman sangat kaya dengan proses-proses komunikasi. Hal itu ditunjukkan bahwa di dalam setiap tahap prosesi ritual ini selalu mengandung unsur-unsur komunikasi yang berupa nasihat-nasihat kebaikan, kejujuran, toleransi, gotong royong, kebersamaan di dalam menghadapai segala tantangan. Leader komunikasi dalam prosesi ini yang berperan sebagai komunikator adalah Truna Bani, Truna Pengawin, Truna Penegenan Base, dan Mekel sebagai pimpinan tertinggi. Semua petuah-petuah dan nasihat-nasihat yang disampaikan oleh komunikator itu disebut dengan Sambodana.
Kata kunci: Ritual, Matruna Nyoman, dan Komunikasi
Di Bali kalau ditelisik ke berbagai pelosok perdesaan akan banyak sekali ditemukan berbagai macam tradisi yang unik. Tradisi yang unik tersebut terdapat di berbagai wilayah seperti: Makotekan di desa Munggu, Badung, Nampah Batu di Singaraja, Ari-Ari di gantung di pohon di desa Bayung Gede, Mayat tidak di kubur di desa Trunyan, Mecakcakan di desa Sambirenteng, Singaraja, Masuryak di desa Bongan Gede, Tabanan, Okokan di Kerambitan, Tabanan, Omed-Omedan di desa Sesetan, Denpasar, Magoak-goakan di Singaraja, Mageret Pandan di desa Tenganan Pagringsingan,
Karangasem, Perang Sampyan di desa Bedulu, Gianyar, dan lain sebagainya. Semua tradisi tersebut di atas, dapat dikaji dari berbagai perspektif dengan berbagai interpretasinya. Kecuali itu, tradisi tersebut dipengaruhi oleh berbagai macam mitologi lokal yang sarat dengan kepercayaan dan seringkali bernuansa religio-magis.
Salah satu dari sekian banyak tradisi yang tersebar di berbagai wilayah di Bali yang cukup terkenal adalah tradisi Matruna Nyoman. Tradisi ini dilaksanakan oleh komunitas Adat desa Tenganan Pagringsingan, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem.
Sunari Penjor: Journal of Anthropology
Prodi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Unud
Penelitian terhadap tradisi ini telah banyak dilakukan untuk berbagai kepentingan baik kepentingan praktis maupun kepentingan akademis dari berbagai perguruan tinggi negeri maupun swasta. Akan tetapi tulisan ini disajikan untuk mengkaji proses matruna nyoman dari perspektif Antropologi Komunikasi.
Kajian komunikasi tidaklah menjadi dominasi dan trade mark ilmu komunikasi. Komunikasi juga dapat dikaji dari perspektif Antropologi dan juga ilmu-ilmu lain. Oleh karena itu, menurut Fisher (1986: 17) menyatakan bahwa komunikasi memang mencakup semuanya dan bersifat sangat eklektif (menggabungkan berbagai bidang). Atas dasar sifat keeklektifannya itu, maka menurut Schramm (dalam Arifin, 2002: 15) melukiskan bahwa ilmu komunikasi sebagai “jalan simpang paling ramai dengan segala disiplin yang melintasinya”.
Mengacu beberapa pandangan di atas, maka dalam tulisan ini untuk mengkaji dan mendeskripsikan tradisi prosesi matruna nyoman mulai dari tahap persiapan, tahap inti, dan tahap akhir dipandang dari perspektif Antropologi Komunikasi. Tradisi ini diangkat sebagai sebuah ilustrasi semata untuk melengkapi referensi mata kuliah antropologi komunikasi. Sesungguhnya, hampir segala aspek kehidupan manusia dapat dikaji dari perspektif Antropologi Komunikasi. Sebagaimana pula dinyatakan oleh Fisher (1986:8) bahwa, komunikasi merupakan sesuatu yang serba ada (Ubiquitous). Setiap orang berkomunikasi. Fenomena komunikasi terdapat di mana saja. Suatu konsekuensi wajar yang sifatnya pasti daripada kehadirannya di mana saja, sehingga setiap orang menganggap dirinya sebagai ahli komunikasi, baik menyangkut permasalahannya maupun pemecahannya.
Semua tahapan dalam prosesi Matruna Nyoman akan dianalisis dengan meminjam beberapa konsep dan definisi komunikasi yang dikembangkan oleh para ahli komunikasi. Selanjutnya konsep dan definisi tersebut akan langsung dioperesionalkan di dalam pengkajian tahapan prosesi matruna nyoman.
Di dalam tahap ini ada dua proses yang harus dilewati yaitu:
Mengawali akan dilaksanakan prosesi Matruna Nyoman dilakukan dengan maajak-ajakan yaitu suatu usaha pendekatan yang dilakukan antar keluarga yang memiliki anak laki-laki dan diperkirakan sudah pantas dan mampu (mental dan fisik) mengikuti prosesi ini. Pendekatan ini penting dilakukan agar ada keterwakilan dari masing-masing organisasi pemuda yang ada di desa Tenganan Pagringsingan. Organisasi pemuda itu disebut dengan istilah patemu yang terbagi ke dalam tiga bagian yaitu patemu kelod, patemu tengah, dan patemu kaja.
Di dalam tahap ini juga dilakukan beberapa seleksi terhadap keluarga yang punya anak laki-laki. Misalkan, didalam satu keluarga memiliki dua anak laki atau lebih maka, hanya satu anak yang diperkenankan mengikuti prosesi ini dalam satu kali putaran. Caranya adalah dengan mengutamakan anak yang usianya paling tua. Sementara anak-anak yang lebih muda secara berurutan baru boleh mengikuti pada acara matruna nyoman berikut-berikutnya. Suatu perkecualian apabila anak laki-laki itu kembar maka dia diwajibkan diikutsertakan secara bersama-sama.
Mencermati proses maajak-ajakan di atas sesungguhnya telah terjadi proses-proses komunikasi yang diawali oleh salah satu keluarga yang mempunyai anak laki-laki. Orang tua dari anak tersebut mulai mendatangi keluarga lainnya yang tentu saja mempunyai anak laki-laki baik dari keluarga patemu kelod, tengah, maupun patemu kaja. Tujuan dari semacam (safari) ini adalah untuk menyampaikan pesan-pesan atau informasi kepada keluarga lainnya agar bersedia secara kolektif melakukan ritual matruna nyoman. Sebagaimana dinyatakan oleh Fisher (dalam Arifin, 2002: 25) yang membuat lima katagori dari definisi yang ditemukannya yaitu: 1. Definisi yang memusatkan perhatian pada penyampaian atau pengoperan, 2. Definisi yang menempatkan komunikasi sebagai kontrol sosial, 3. Definisi yang memandang komunikasi sebagai fenomena stimuli-respons, 4. Definisi yang menekankan pada unsur kebersamaan arti, dan 5. Definisi yang melihat komunikasi sebagai integrator sosial. Tampaknya kesemua unsur komunikasi ini tercermin ke dalam proses maajak-ajakan. Lazimnya proses ini sudah dilalui satu atau dua tahun sebelum ritual ini secara definitif ditetapkan oleh paruman adat.
Setelah tahapan maajak-ajakan dilalui, maka calon truna nyoman harus mengikuti proses lebih lanjut yaitu proses yang disebut melali. Di dalam tahapan ini calon truna nyoman diwajibkan mengunjungi setiap pura yang ada di wilayah desa untuk melakukan persembahyangan. Pura yang pertama kali dikunjungi adalah Pura Puseh dengan maksud untuk memohon keselamatan lahir batin agar nantinya pelaksanaan prosesi ritual matruna nyoman dapat berjalan dengan baik dan lancar. Aktivitas ini hanya dilakukan oleh
calon truna nyoman dan tidak boleh ditemani oleh siapapun. Waktu pelaksanaan melali ini adalah tepat tengah malam yaitu pukul 00.00. karena itu sering diistilahkan dengan pingit. Kecuali pura puseh, ada belasan pura lain yang harus dikunjungngi yaitu: pura Sri, pura Guliang, pura Dalem Pengastulan, pura Penataran Yeh Santi, pura Jero, pura Dalem Kauh, pura Durun Suarga, pura Raja Purana, pura Gaduh, pura Petung, pura Batan Cagi, pura Banjar, pura Dalem Majapahit, pura Bada Budu, pura Besaka, pura Kubu Langlang, pura Penyaungan, dan pura Candi Dasa. Seluruh pura ini minimal dikunjungi sekali dan kalau waktunga memungkinkan dibolehkan lebih dari sekali. Keberadaan lokasi pura ini sebagian besar ada pada lokasi yang cukup sulit dicapai, karena wilayah desa adalah wilayah perbukitan. Oleh karena itu, calon truna nyoman harus betul betul dalam kondisi sehat jasmani maupun rohani.
Bersamaan dengan prosesi ini, dilaksanakan juga aktivitas memilih Mekel sebagai pimpinan truna nyoman nantinya. Mekel ini ditunjuk dari truna bani yaitu truna yang telah mengikuti matruna nyoman terdahulu. Dalam hal ini Mekel dapat disejajarkan dengan seorang guru. Guru dalam pandangan masyarakat adalah orang yang melaksanakan pendidikan di tempat tertentu yang tidak selalu ada di lembaga pendidikan formal, tetapi bisa juga di masjid, surau, musola, rumah, dan sebagainya (Mahmud dan Suntana, 2014: 220). Dengan demikian, peranan Mekel adalah menduduki posisi sentral di dalam prosesi ritual matruna nyoman.
Mencermati tahap prosesi melali ini, Mekel sudah mulai mengambil peran dalam rangka mengarahkan calon truna nyoman agar selalu siap menghadapi segala tantangan yang ada di dalam prosesi ini. Mekel juga
menginformasikan agar semua peserta dapat bekerjasama, saling bahu membahu, bantu membantu untuk mencapai tempat suci yang telah dipersyaratkan yang keberadaanya ada yang agak sulit dijangkau. Komunikasi selalu mengalir dari Mekel menyangkut berbagai hal yang pernah diterimanya kepada calon truna nyoman. Dalam hal ini, komunikasi yang dibangun adalah komunikasi verbal berupa nasihat-nasihat, wejangan-wejangan, pengarahan, dan lainnya yang harus ditaati oleh peserta prosesi. Ketaatan terhadap nasihat, wejangan, arahan, dan lainnya itu ditunjukkan oleh peserta prosesi di dalam perjalanannya menuju beberapa tempat suci yang dipersyaratkan. Seperti misalnya kalau ada salah seorang peserta prosesi yang agak lemah fisiknya maka peserta lainnya yang lebih kuat akan membantunya dan bila perlu menggendongnya. Di sinilah sesungguhnya akan terbangun rasa solidaritas yang tinggi antar peserta. Kecuali itu, peserta prosesi tidak dibolehkan melalukan perjalanan secara sendiri-sendiri, mereka harus melakukan aktivitas ini secara bersama-sama. Oleh karena itu, pesan kebersamaan sangat ditekankan.
-
a) Basen Pamit.
Upacara ini dilakukan hanya sekali oleh truna nyoman mendatangi pura Puseh serta membawa sarana berupa sirih-pinang. Prosesi ini tidak boleh diikuti oleh siapapun kecuali truna nyoman dan dilaksanakan tepat tengah malam. Pastinya upacara ini dilakukan untuk memohon keselamatan kehadapan Ida Sanghyang Widhiwasa. Terminologi pamit dalam hal ini dimaknai sebagai permohonan. Hal ini mencerminkan bahwa komunitas adat di sini berkeyakinan kuat terhadap adanya Dewa-dewa utamanya yang berstana di
pura Puseh. Upacara ini pula menentukan seleksi akhir bagi berapa peserta yang mampu mengikuti prosesi ini. Sebab ada kemungkinan calon peserta yang mengalami sesuatu dan lain hal, sehingga batal mengikuti prosesi ini seperti misalnya salah seorang kerabat peserta yang meninggal dunia.
Setelah prosesi ini dilaksanakan, maka semua peserta wajib tinggal di rumah pimpinan mereka yaitu di rumah Mekel sekaligus sebagai asrama. Di rumah Mekel ini para truna nyoman diberikan tugas rutin seperti: membersihkan rumah, mencari air, menyalakan lampu, dan berjaga pada malam hari. Kesemua tugas-tugas itu dibebankan kepada mereka dengan maksud agar tercipta kedisiplinan, sekaligus membangun karakter yang bertanggung jawab. Dengan tinggal di rumah Mekel dimaksudkan agar komunikasi dapat dilakukan secara intensif serta informasi yang disampaikan oleh Mekel dapat berjalan secara efektif.
-
b) Kagedong
Upacara kagedong diawali dengan potong rambut habis (magundul) dan potong gigi (Matatah). Dalam rentang waktu setahun rambut tidak boleh dipotong walaupun sampai tumbuh panjang. Setelah matatah dan magundul barulah dilaksanakan upacara kagedong yang dilaksanakan setiap tiga hari sekali. Sarananya adalah disebut gedong yaitu terbuat dari gedeg (bedeg) dibentuk persegi empat dengan rangka bambu tidak beratap dan berlantai dengan tinggi kurang lebih 2 meter, sarana ini juga dilengkapi dengan alat pemanggul. Sarananya dibuat seperti ini, oleh karena prosesi upacara kagedong tempatnya berpindah-pindah. Diawali persembahyangan di rumah mekel, kemudian dilanjutkan ke Subak Daha dengan menggunakan gedong yang dipanggul oleh pengawin di mana truna nyoman berada di dalamnya. Ada tiga
subak yang harus dikunjungi yaitu: subak daha wayan, subak daha nengah, dan subak daha nyoman. Sesampainya truna nyoman di subak daha, mereka keluar dari gedong menuju Bale Buga bersama Daha, akan tetapi mereka tidak saling melihat, karena dipissahkan oleh penyekat. Di sinilah mereka saling lempar lumpur (masabatan endut) yang telah disiapkan sebelumnya antara truna dengan daha. Inilah yang disebut dengan inisiasi oleh sebab itu, di dalam prosesi ini mereka dapat berfikir mengenai hakikat hidup. Di dalam prosesi ini pula para senior mereka menyampaikan sambodana yaitu mencakup pesan-pesan yang berkaitan dengan hidup dan kehidupan yang berarti pula telah terjadi proses komunikasi.
-
c) Matamiang
Matamiang adalah suatu bagian dari upacara matruna nyoman yaitu upacara mengelilingi desa yang dilakukan oleh para peserta dengan membawa tamiang (tameng). Ritual ini diibaratkan sebagai kepompong yang baru keluar sebagian dari kulitnya. Karena itu pula ritual ini hanya dilakukan di sekitar desa saja menurut aturan adat setempat. Menurut Turner (1967), ritus yang dilakukan oleh suatu masyarakat merupakan penampakan dari keyakinan religius dan praktik-praktiknya. Ritus semacam itu mendorong orang-orang untuk melakukan dan mentaati tatanan sosial. Ritus juga memberikan motivasi dan nilai-nilai pada tingkat yang paling dalam (Winangun, 1990:67).
Begitu juga, dalam prosesi ini selalu diberikan penekanan berkaitan mengenai aturan-aturan (awig-awig) yang ada oleh para senior mereka. Berkaitan dengan ini proses-proses komunikasi selalu mengalir dengan sendirinya antara senior denga truna nyoman. Misalkan selama prosesi ini berlangsung para truna nyoman dilarang untuk melakukan aktivitas ke luar desa, karena masih dianggap belum
siap secara fisik maupun mental. Proses komunikasi terus menerus berlangsung selama perjalanan mengelilingi desa.
Sampailah pada klimaks prosesi matruna nyoman yang disebut dengan katinggal atau telah tamat mengikuti semua tahap prosesi upacara tersebut. Prosesi upacara ini dilaksanakan di subak daha yang dihadiri oleh para daha, truna nyoman, truna pangawin, truna bani, truna panegenan base, dan Mekel atau pamurukan. Pada prosesi terakhir inilah terjadi proses komunikasi semakin intensif dilakukan, baik oleh truna bani dan truna pengawin maupun oleh Mekel. Adapun isi dari proses komunikasi itu adalah berupa nasihat-nasihat (sambodana) untuk kebaikan para truna nyoman di dalam mengarungi hidup dan kehidupan. Kecuali itu, telah terjadi pula transformasi nilai kultural dari generasi tua kepada generasi muda. Di dalam prosesi matruna nyoman ini juga dimaknai sebagai proses pendidikan karakter dengan mentransformasikan informasi-informasi berkaitan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Dengan demikian proses pengalihan informasi dapat berjalan secara berkesinambungan dan berkelanjutan, sehingga nilai-nilai budaya lokal dapat survive dari genersi ke generasi. Seperti Spencer menyatakan pandangannya dalam evolusi sosial yang disebutnya dengan survival of the fittest yaitu aturan-aturan hidup serta hukum yang dapat dipaksakan tahan dalam masyarakat adalah hukum yang melindungi kebutuhan para warga masyarakat yang paling cocok dengan persyaratan di mana mereka hidup yaitu kebutuhan warga masyarakat yang paling berkuasa, paling pandai, dan paling mampu (Geriya, 1982: 19—20).
Matruna Nyoman adalah prosesi ritual yang dilaksanakan secara terus menerus oleh komunitas adat Tenganan
Pagringsingan. Prosesi ini oleh mereka diibaratkan sebagai proses terjadinya kupu-kupu yang diawali dengan terbentuknya ulat dan kepompong. Demikian pula, prosesi ritual ini harus melalui beberapa tahap yaitu: tahap persiapan meliputi maajak-ajakan dan melali. Selanjutnya tahap inti meliputi basen pamit, kagedong, matamiang dan katinggal (tamat).
Bahwa prosesi matruna nyoman di dalam keseluruhan tahapan itu selalu disertai dengan proses komunikasi. Di dalam setiap tahap prosesi ini selalu disertai dengan penyampaian informasi yang ditujukan kepada para peserta truna nyoman. Berkenaan dengan hal ini, telah terjadi komunikasi satu arah atau komunikasi linier dimana Truna Bani, Truna Pengawin, Truna panegenan Base, serta Mekel menjadi komunikator, sedangkan peserta Truna Nyoman merupakan komunikan (yang menerima pesan).
Bahwa pesan-pesan yang
disampaikan cenderung mengandung unsur edukasi yang terkait dengan pembentukan karakter. Kecuali itu, pesan juga mengandung nilai-nilai kemanusiaan untuk bekal hidup bermasyarakat. Nilai-nilai itu dapat berupa toleransi, gotong royong, saling menghormati, saling membantu dan seterusnya. Dengan demikian sesungguhnya proses
komunikasi itu adalah untuk kepentingan seluruh komunitas desa setempat.
Arifin, Anwar.2002. Ilmu Komunikasi
Sebuah Pengantar Ringkas.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Fisher, B Aubrey. 1986. Teori-Teori Komunikasi. (Penyunting:
Jalaluddin Rakhmat). Bandung: Remaja Karya.
Geriya, I Wayan. 1982. Teori Antropologi Diakronis. (sebuah
ikhtiar). Denpasar: Jurusan
Antropologi Universitas Udayana.
Mahmud H; Ija Suntana. 2014. Antropologi Pendidikan. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Pravitasari, Putu Karina. 2013.
Perubahan Ritual Matruna Nyoman. Pascasarjana Universitas Udayana. (Tesis S2).
Winangun, YW. Wartaya. 1990. Masyarakat Bebas Struktur: Liminalitas dan Komunitas
menurut Victor Turner.
Yogyakarta: Kanisius.
Discussion and feedback