DOI: 10.24843/SP.2018.v2.i02.p04

p-ISSN: 2528-4517

Logika, Hasrat dan Keterpinggiran Desa Pakraman di Era Global

I Nyoman Sama

Program Studi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana E-mail: nyoman.sama@gmail.com

Hp.: 085645441907

Abstrak

Struktur sosial lama lebih berbasis pada lingkungan sosial alami, sementara struktur sosial baru merupakan struktur buatan. Ternyata lingkungan sosial buatan menjadi identitas manusia dewasa ini dengan mengagumi berbagai bangunan fisik. Manusia dalam kekiniannya telah menggantikan lingkungan alami menjadi lingkungan buatan yang pelaku-pelakunya didominasi oleh manusia modern. Terjadinya perselingkuhan antara desa yang mengusung tradisi keagamaan dan adat-istiadat dengan desa yang berbasis legal formal banyak menimbulkan perubahan perilaku sosial di kalangan masyarakat di Bali.

Kata Kunci : Logika, Hasrat, Keterpinggiran Desa Pakraman, dan Era Global.

  • I.    Pendahuluan

Struktur sosial di masa lalu dapat digambarkan sebagai struktur dengan orang sebagai unsur-unsurnya dan ikatan primordial sebagai relasi-relasi dasar di antara unsur-unsur tersebut. Berbeda dengan pandangan Coleman (2011: 831) mengatakan bahwa dalam struktur sosial yang baru, relasi-relasi primordial terpinggirkan karena telah banyak fungsinya yang diambil alih oleh pelaku-pelaku kelompok baru. Jika dicermati secara seksma struktur sosial lama lebih berbasis pada lingkungan sosial alami, sementara struktur sosial baru merupakan struktur buatan. Ternyata lingkungan sosial buatan menjadi identitas manusia dewasa ini dengan mengagumi berbagai bangunan fisik seperti gedung, jalan, dan fasilitas umum lainnya. Manusia dalam kekiniannya      telah menggantikan

lingkungan alami menjadi lingkungan buatan     yang     pelaku-pelakunya

didominasi oleh manusia modern.

Sunari Penjor: Journal of Anthropology Prodi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Unud

Terjadinya perselingkuhan antara desa yang mengusung tradisi keagamaan dan adat-istiadat dengan desa yang berbasis legal formal banyak menimbulkan perubahan perilaku sosial di kalangan masyarakat di Bali. Secara filosofis juga telah terjadi perbedaan pandang antara generasi muda dengan generasi tua terutama dalam memposisikan desa pakraman sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya kebudayaan Bali. Hal ini terjadi karena mandulnya Majelis Desa Pakraman (MDP) baik yang ada di tingkat bawah maupun yang ada di tingkat atas, bahkan selama ini munculnya berbagai opini miring kepermukaan kuat dugaan bahwa MDP sebagai pengawal pembangunan sangat tidak berdaya.

Jika dicermati secara seksama dari berbagai gejolak yang muncul ternyata ada permasalahan mendasar yang tampaknya perlu disoroti yaitu (1) MDP sebagai sebuah lembaga liminalitas dalam posisi, (2) lambat dalam mengantisivasi berbagai gejolak sosial

  • (3)    kurang berani dalam mengambil keputusan. Atas dasar latar belakang seperti terurai di atas dapat dirumuskan dua permasalah pokok, yaitu :  (1)

bagaimana logika berpikir manusia Bali dalam menyikapi terjadi pertarungan budaya tradisonal dengan tingginya hasrat yang sarat dengan ideologi kapitalisme; (2) strategi apa yang dipakai agar dua kutub yang berparadok itu dapat harmoni. Dua pokok permasalahan tersebut akan dicari jawabannya baik melalui data lapangan maupun mengeksplorasi berbagai sumber yang tersedia.

  • II.    Deskripsi Logika, Hasrat dan Keterpinggiran Desa Pakraman di Era Global Deskripsi Fenomena Spiritualitas Kontemporer

Sejarah umat manusia mencatat bahwa berbagai relasiantar umat manusia tidak pernah bersih dari muatan kepentingan, penguasaan, permusuhan, dan penindasan (Susan, 2009). Kedamaian, cinta, dan empati adalah menyangkut ruang rasa yang berada pada relung pikiran manusia yang merupakan lapisan tipis yang tidak mampu menjaga relasi harmonis secara permanen. Atas dasar inilah kemudian manusia berpikir dan berbuat sesuatu sesuai kaedah-kaedah yang disebut ilmu pengetahuan agar susunan kemasyarakatannya dapat terpelihara dan dipertahankan dari kuatnya pengaruh budaya global. Memelihara dan mempertahankan susunan kemasyarakatan sesuai dengan nilai dan norma sosial tentu tidak pekerjaan mudah, karena norma sosial memiliki sifat statis sementara manusia memiliki sifat yang sangat dinamis. Artinya norma sosial tidak secepat hasrat dan keinginan manusia mengubah dalil-dalilnya yang diperlukan adalah waktu dalam berproses, sehingga dalil-dalil sosial dapat diberlakukan dalam ranah kehidupan sosial.

Norma sosial yang bersifat statis konstruksi dalil-dalilnya tidak lagi berdaya dalam mencarikan solusi-solusi pemecahan masalah ketika relasi sosial memanas oleh adanya kepentingan dan perilaku bermusuhan yang terlepas dari prosedural norma, etika, dan nilai sosial. Menurut Susan (2009) kondisi inilah yang memicu lahirnya krisis relasi sosial yang saling menjatuhkan di antara dua pihak yang terlibat. Muara dari krisis ini seringkali menggunakan kekerasan sebagai instrumen untuk mencari solusi pemecahan masalah atau yang sering disebut problem solving.

Mengglobalisasinya icon Bali seperti Pulau seribu Pura, Pulau Surga, Pulau Dewata dan lain sebagainya seolah-olah tidak terbantahkan. Namun, belakangan ini pulau yang dikagumi oleh dunia mulai terusik dengan mencuatnya fenomena kekinian yakni tentang reklamasi Teluk Benoa dan yang teranyar dijadikannya Pura Besakih sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) (Parananda, 28 Oktober-3 Nopember 2013). Tentu sangat kita sayangkan “industri pariwisata” dalam mempromosikan Bali mengusik struktur dalam atau deep structure masyarakat Bali yakni mengorbankan wilayah spiritualitas dan moralitas hanya untuk memenuhi hasrat ekonomi semata. Menurut hemat penulis, masyarakat Bali dihadapkan pada dua pilihan yang tarik menarik antara berkah dan musibah. Dengan menjadikan Pura Besakih sebagai KSPN akan dapat mendongkrak pendapatan asli daerah (PAD) Bali terutama dari sektor pariwisata, sedangkan sebagai musibah yakni rusak biota laut kedua fenomena tersebut akan menjadi bumerang bagi masyarakat Bali.

  • III.    Logika    Kebutuhan    Yang

Melandasi Fenomena Spiritualitas Kontemporer    dalam    Desa

Pakraman

Berbicara kebutuhan tidak dapat dipisahkan dari konsumsi. Dengan demikian konsumsi menyangkut aktivitas manusia yang paling primordial, karena ia sudah setua sejarah manusia itu sendiri (Pilliang, 2006:   391). Berhasilnya

pembangunan hotel di kawasan suci Pura Tanah Lot dan dimasukkannya kawasan suci Pura Besakih sebagai KSPN menunjukkan zona yang kita sebut suci dicemari oleh kotoran atau sesuatu yang dianggap leteh dalam konsepsi berpikir masyarakat Bali atau yang spiritualitas dirusak oleh yang hasrat yang berbau momo angkara (material). Realitas menunjukkan betapa tercemarnya lingkungan tenget/angker diusik oleh yang bersifat duniawi, yang transenden dirusak oleh yang imanen. Meminjam gagasan Pilliang (2009: 321) ternyata ada percampuran entitas, peleburan esensi, akan tetapi ada juga persimpangsiuran nilai. Kondisi bertumpang-tindihnya hal-hal yang bernilai spiritual dengan nilai-nilai yang mengutamakan pemenuhan kama, bersatupadunya yang bersifat duniawi dengan yang ilahiah, adanya penyimpangan yang transenden dengan yang imanen. Selanjutnya, bercampur aduknya hasrat rendah dengan yang memiliki nilai kesucian, sehingga perbedaan di antara keduanya menjadi kabur.

Bila dicermati tujuan revisi Perda Tata Ruang Bali lebih cenderung bernuasa adanya nafsu serakah yang amat besar untuk bisa mengeksploitasi ruang-ruang yang dianggap kawasan suci tadi. Lebih lanjut, dalam post-spiritualitas masa kini hadir lewat bentuk simulasi yang bersifat permukaan dan artifisial, yang mendeviasi wajah kesucian yang sebenarnya atau simulacrum of holiness (Pilliang, 2009). Kesucian masa kini

digantikan oleh image kesucian, yaitu kesucian yang ditampilan di dalam bentuk tanda-tanda atau sign of holiness yang bersifat imanen. Jika demikian, maka yang terjadi pendangkalan yang suci, dengan perkataan lain merayakan penampakan imanen kesucian, dan meniadakan makna kesucian yang sesungguhnya bersifat transenden yang dilandasi oleh adanya iman, hati, dan keyakinan. Mencuatnya persoalan seperti ini lebih disebabkan tiadanya filter dan melemahnya fungsi kontrol yang semestinya dikawal oleh dua lembaga, seperti majelis utama desa pakraman (MUDP) dan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI).

  • IV.    Logika Hasrat

Fenomena Kontemporer Pakraman

Yang Melandasi

Spiritualitas dalam    Desa


Iman adalah sesuatu yang jauh di dalam lubuk hati manusia berkorelasi dengan fenomena spiritualitas, yang pada gilirannya bermuara pada moralitas manusia itu sendiri. Apa dan bagaimanapun iman seseorang sangat dibatasi oleh keterbatasan nalarnya. Oleh karena itu, menurut Pilliang (2006: xvii) manusia mempunyai hasrat (desire) yang memerlukan sesuatu di luar dirinya sebagai sumber pemenuhan hasrat dikarenakan adanya rasa kurang (lack), dan ia tidak dapat memenuhi sendiri hasrat tersebut.

Berbaurnya gaya hidup atau life style (Pilliang, 2009: 322; Chaney, 1996: 1) dengan ritual, yang duniawi dengan yang ilahiah, yang profan dengan spiritual, merupakan sebuah fenomena spiritual di dalam      kehidupan      masyarakat

kontemporer. Pembauran itu terjadi dalam berbagai aspek kehidupan ritual keagamaan seperti rangkaian ritual perayaan pergantian tahun baru Icaka yang lazim disebut Hari Raya Nyepi yang tak dapat dipisahkan antara tabuh

rah dengan tajen. Bahkan perayaan ritual keagamaan itu tidak luput dari jamahan tangan-tangan media televisi hingga menjadi konsumsi tontonan sebagai pemenuhan hasrat manusia di luar Pulau Bali.

Berbicara mengenai moralitas sesungguhnya menceritakan batas-batas garis pemisah, demarkasi, batas antara desa pakraman,(dulu adat)/desa dinas, salah/benar, demarkasi baik/buruk. Terkait degan pengertian dualisme desa di Bali ternyata tapal batas justru sedang menghadapi masalah yang perlu dicarikan solusinya. Ketika tapal batas menjadi pemicu konflik antara desa satu dengan desa yang lain bahkan sampai terjadi benturan fisik yang membuat kedua belah pihak yang berkonflik kehilangan logika dan nalar. Artinya, kedua belah pihak yang berkonflik seolah-olah moral/amoralnya, ikatan solidaritas keagamaan/tak ada ikatan solidaritas keagamaan, kini dijungkirbalikan. Moralitas menjelma menjadi semacam ketidakpastian moral. Hal demikian terjadi karena manusia dalam berperilaku tidak lagi berpegang pada nilai-nilai kebenaran agama.

Realitas berdasarkan pandangan spiritualitas keagamaan selalu bersifat spiritual, karena segala sesuatu berasal dari Tuhan. Artinya, realitas merupakan perwujudan hasrat yang lebih tinggi, yang diarahkan pada sifat-sifat ke-Tuhanan. Terjadinya konflik tapal batas, karena terbentuk oleh perwujudan hasrat-hasrat (hawa nafsu), dengan demikian manusia sesungguhnya sebagai realitas palsu (pseudo reality). Meminjam analogi Platonis (dalam Pilliang, 2009: 232) perwujudan hasrat-hasrat rendah itu hanya mencetak manusia sebagai simulacrum reality, yaitu realitas yang menyimpang dari kehendak Tuhan. Tercetaknya generasi muda Bali dengan realitas palsu itu dinilai sangat rendah, dibandingkan tercetaknya generasi muda

Bali berdasarkan realitas spiritual. Keadaan demikian semakin menggejala pada kehidupan manusia Bali, bahkan merambah ke tingkat desa pakraman terbukti semakin banyaknya bangunan hunian yang bertingkat bersanding dengan bangunan suci seperti Pura Kahyangan Tiga. Apa yang tersurat dan tersirat dalam lontar asta kosala-kosali dan asta bumi tidak lagi dipedomani, ironinya pedoman tersebut telah dibeli atau dijual kepada investor yang termasuk manusia global yang sarat dengan ideologi kapitalisnya.

  • V.    Penutup

    5.1    Kesimpulan

  • a.    Dalam menjaga Bali lembaga seperti MDP, (madya, maupun agung) dan PHDI sebagai corong manusia Bali tidak terjebak serta memihak pada kepentingan penguasa;

  • b.    Adanya dualisme PHDI Bali menyebabkan bhisama-nya bagaikan macan kertas tidak lagi memiliki kekuatan untuk mempengaruhi setiap keputusan yang diambil;

  • c.    Seluruh komponen masyarakat hendaknya terlibat sebagai bagian dari social control dari awal perencanaan, pengambilan keputusan, (termasuk mendatangkan investor) dan proses pembangunan sesuai visi dan misi yang telah ditetapkan;

  • d.    Program menyusui perangkat desa pakraman menjadikan desa tidak lagi otonom, bahkan liminalitas dalam posisi atau mengalami keadaan yang ambigu.

  • 5.2    Saran

Untuk menjaga Bali sebaiknya menurut hemat saya masyarakat Bali bersatupadu dalam satu kekuatan dengan meniadakan perbedaan (sejarah, soroh, dan lain-lain) sehingga dapat disusun

sebuah strategi jitu terutama dalam menghadapi kekuatan kapitalisme global.

VI. Daftar Pustaka

Adlin, Alfathri. 2006. “Kala Hasrat Menggoda: Catatan dari Editor” dalam buku yang berjudul Menggeledah Hasrat : Sebuah Pendekatan Multi Perspektif. (ed) Alfathri Adlin

Berger, Arthur Asa. 2010 Pengantar Semiotika Tanda-Tanda Dalam Kebudayaan Kontemporer. Tiara Wacana, Yogyakarta.

Burton, Craeme. 2012.  Media dan

Budaya Populer Jalasutra, (terjemahan dari judul asli Media and Popular Culture) Jalasutra, Yogyakarta

Chaney, David. 1996. Lifestyle Sebuah Pengantar Komprehensif. Jalasutra, Yogyakarta

Parananda, I Putu Eka. 2013. “Menjaga Budaya dan Kawasan Suci di Bali” Bali Post : Indonesia Bangsa Tanah Air Bahasa. (09/28-Oktober-3 Nopember 2013.Bali Post, Denpasar

Pilliang, Yasraf Amir. 2009. Posrealitas realitas Kebudayaan Dalam Era Posmetafisika.            Jalasutra,

Yogyakarta dan Bandung

Suartika, I Gede. 2010. Anatomi Konflik Adat di Desa Pakraman dan Cara Penyelesaiannya.        Udayana

University Press. Denpasar

Susan, Novri. 2010. Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer. Prenada Media Group, Jakarta