Upaya Kelompok Buruh Cimahi Selatan dalam Memperjuangkan Hak-Hak Kesejahteraan Sosialkaum Buruh
on
DOI: 10.24843/SP.2018.v2.i01.p04
Upaya Kelompok Buruh Cimahi Selatan dalam Memperjuangkan Hak-Hak Kesejahteraan Sosialkaum Buruh
Program Studi Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana murniasih_ayu@yahoo.com
Abstrak
Perkembangan industri di Jawa Barat menyerap tenaga kerja (lokal dan migran) dalam jumlah besar. Kondisi disebabkan karena karakteristik sebagian besar industri yang bersifat padat karya. Pertumbuhan industri juga mendorong terjadinya peningkatan arus migran desa-kota di Jawa Barat sendiri. Selama 10 tahun (1980-1990) terjadi pertumbuhan penduduk kota dari 23 juta jiwa menjadi 38 juta jiwa. Menurut data sensus penduduk tahun 1990 tingkat pertumbuhan penduduk di Jawa Barat mencapai 6,8% untuk wilayah perkotaan dan 0,6% untuk wilayah pedesaan. Di wilayah Kelurahan Cibeureum, Kecamatan Cimahi Selatan, Kabupaten Bandung terdapat industri rumah tangga dan industri kelas menengah. Jumlah industri rumah tangga sebesar 67 unit, sedangkan industri kelas menengah sebanyak 26 (Monografi Kelurahan Cibeureum, 1999). Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka tulisan memfokuskan sebagai berikut: (1) Apa yang dilakukan Kelompok Buruh Cimahi Selatan (KBCS) dalam memberdayakan kaum buruh?, dan (2) Bagaimanakah potensi dan kendala KBCS dalam memperjuangkan hak-hak kesejahteraan sosial buruh?. Keberadaan KBCS merupaan bagian dari upaya pemberdayaan kaum buruh yang telah di-PHK agar tetap eksis dan berupaya meningkatkan skill yang dimilikinya. Dalam upaya peningkatan kesejahteraan buruh, KBCS meiliki potensi dan kendala. Potensi yang dimiliki KBCS adalah para buruh yang berada di luar struktur pabrik yang siap dibina untuk pengembangan dirinya. Namun, kendalanya para buruh sebagian besar berlatar belakang pendidikan rendah tanpa memiliki keterampilan, sehingga hanya menjadi tenaga buruh rendahan. Kendala lain, adanya kebijakan pabrik yang masih otoriter dan dukungan LSM/LBH yang masih belum efektif sehingga perjuangan KBCS tidak selalu berhasil.
Kata kunci: Buruh, Stakeholders, Pemberdayaan
Jawa Barat merupakan propinsi yang menduduki peringkat teratas dalam industry. Pada periode Januari 1967 sampai dengan Agustus 1991 (BPS 1992:60-63) terdapat 2333 proyek PMDN di Jawa Barat dengan nilai investasi Rp. 69,02 trilyun atau sama dengan 38,96% dari total PMDN di Indonesia yang bernilai Rp. 177,16 trilyun. Pada periode yang sama terdapat
781 proyek PMA dengan nilai Rp.14,47 trilyun atau sama dengan 30,53% dari total investasi PMA di Indonesia yang bernilai Rp. 47,40 trilyun.
Derasnya arus investasi di Jawa Barat berkaitan dengan boom relokasi industry dari New industrializing Countries (NICs) ke negara-negara Asia Tenggara pada periode 1980 an. Salah satu tujuan yang tersirat dari relokasi industri adalah untuk menekan biaya
Sunari Penjor: Journal of Anthropology
Prodi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Unud
produksi, khususnya komponen upah. Dalam pandangan sebagian pengusaha asing Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang memiliki keunggulan komparatif, seperti tenaga berlimpah dan upah buruh murah serta adanya stabilitas keamanan dan dukungan infrastruktur. Jawa Barat adalah salah satu propinsi yang memiliki keunggulan-keunggulan tersebut ditunjang dengan letak geografis yang berdekatan dengan ibu kota negara sebagai pusat pemerintahan (Haryadi,1994).
Perkembangan industri di Jawa Barat secara langsung menarik keterlibatan tenaga kerja (lokal dan migran) dalam jumlah besar sesuai dengan karakteristik sebagian besar industri yang bersifat padat karya. Pertumbuhan industri juga mendorong terjadinya peningkatan arus migran desakota di Jawa Barat sendiri. Dalam jangka sepuluh tahun (1980-1990) populasi penduduk kota meningkat dari 23 juta menjadi 38 juta. Sementara pada periode yang sama populasi penduduk desa meningkat dari 68 juta. Menurut data sensus penduduk tahun 1990 tingkat pertumbuhan penduduk di Jawa Barat mencapai 6,8% untuk wilayah perkotaan dan 0,6% untuk wilayah pedesaan. Di wilayah Kelurahan Cibeureum, Kecamatan Cimahi Selatan, Kabupaten Bandung terdapat industri rumah tangga dan industri kelas menengah. Jumlah industri rumah tangga sebesar 67 unit, sedangkan industri kelas menengah sebanyak 26 (Monografi Kelurahan Cibeureum, 1999).
Berkembangnya perusahaan atau pabrik-pabrik di Kelurahan Cibeureum tersebut memerlukan tenaga kerja yang cukup besar. Setiap home industri memerlukan tenaga kerja rata-rata 3 – 10 orang, sedangkan untuk perusahaan kelas menengah memerlukan tenaga kerja di atas 50 orang. Buruh-buruh yang bekerja di perusahaan yang berada di Kelurahan
Cibeureum adalah tenaga kerja migrant yang berasal dari daerah lain di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera.
Tumbuhnya pabrik-pabrik kelas menengah di wilayah Kecamatan Cimahi Selatan, khususnya di wilayah Kelurahan Cibeureum ini merupakan bagian dari kebijakan pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di satu pihak serta upaya mengurangi penangguran di pihak lain. Oleh karena banyak tenaga kerja buruh migran yang berasal dari daerah pedesaan, baik dari Pulau Jawa maupun dari Pulau Sumatera yang ditampung bekerja dipabrik-pabrik garmen dan tekstile yang berada di Kelurahan Cibeureum. Mereka datang menjadi buruh migran karena lahan-lahan pertanian di pedesaan tempat tinggalnya mulai menyempit, sementara pekerjaan di luar pertanian belum ada tersedia. Di samping itu karena di daerahnya tidak tersedia lapangan pekerjaan, maka anak-anak muda itu melakukan urbanisasi ke kota, termasuk ke kota industri di Cimahi Selatan.
Pada hakikatnya kaum buruh adalah sebagai mitra kerja perusahaan. Penerapan posisi buruh sebagai mitra perusahaan sesuai dengan konsep Hubungan Industrial Pancasila (HIP) yang di dasari oleh nilai-nilai Pancasila dan tridarma, yakni buruh dianggap ikut memiliki perusahaan, turut bertanggung jawab, dan ikut mawas diri untuk kemajuan perusahaan. Oleh karena buruh telah dianggap sebagai bagian yang penting dalam perkembangan perusahaan, maka pemerintah dan pengusaha terus berupaya meningkatkan taraf kesejahteraan kaum buruh. Tekad pemerintah dan perusahaan yang meningkatkan taraf kehidupan ekonomi dan kesejahteraan sosial kaum buruh ini didasari oleh hubungan segi industri, yakni antar pemerintah, pemilik modal (pemilik pabrik) dan tenaga kerja. Untuk itu, berbagai kebijakan pemerintahan
yang melindungi buruh perempuan seharusnya diterapkan oleh pihak manajemen pabrik. Namun, ternyata kebijakan yang membela kaum buruh tersebut belum terimplikasikan secara baik.
Secara umum, ada berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan setempat, yaitu (a) tidak adanya kesepakatan kerja bersama (KKB) atau kontrak kerja antara buruh dengan pihak manajemen pabrik; (b) larangan pembentukan serikat buruh (SB); (c) penerapan sistem kerja lembur yang tidak di sertai dengan pemberian insenstif yang memadai; (d) adanya diskriminasi terhadap buruh yang sudah bekerja; (e) tidak adanya izin/cuti hamil; (f) penanganan masalah buruh dengan pendekatan security approach sehingga tindakan terror dan kekerasan sangat dirasakan oleh buruh.
Sebagai respon terhadap
perlakuan pihak manajemen pabrik tersebut, maka muncullah kelompok buruh ini terhimpun dalam kelompok buruh Bandung Selatan, termasuk dalamnya adalah Kelompok Buruh Cimahi Selatan (KBCS) ini tergolong khas dan unik karena dalam melakukan kegiatannya, anggota kelompok
perempuan berperan aktif walaupun anggota laki-laki juga terlibat di dalamnya, baik dalam kegiatan bersifat intern maupun ekstern. Disamping itu, KBCS juga memfasilitasi pembentukan serikat buruh di tingkat pabrik. Dalam hal ini, KBCS sudah berhasil membentuk 23 serikat buruh yang berbasis di dalam pabrik yang bersifat independen, masing-masing serikat buruh tersebut memiliki anggota minimal 10 orang.
Berdasarkan latar belakang yang terurai di atas, maka masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.
-
1. Apa yang dilakukan Kelompok Buruh Cimahi Selatan (KBCS) dalam memberdayakan kaum buruh?
-
2. Bagaimanakah potensi dan kendala KBCS dalam memperjuangkan hak-hak kesejahteraan sosial buruh?
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yang dilaksanakan di kawasan Cimahi Selatan, yaitu di Kelurahan Cibeureum, Kecamatan Cimahi Selatan, Kabupaten Bandung , Propinsi Jawa Barat. Dipilihnya Cimahi Selatan sebagai lokasi penelitian adalah karena daerah ini merupakan pengembangan kawasan industri
Bandung bagian barat yang sebelumnya kawasan ini adalah kawasan pertanian. Di wilayah Kelurahan Cibeureum, Cimahi Selatan terdapat 26 pabrik dengan berbagai jenis usaha antara lain garmen, celup, tekstil, dan plastik. Bersama dengan berdirinya pabrik-pabrik ini muncul kelompok buruh, yaitu Kelompok Buruh Cimahi Selatan (KBCS). Proses pengumpulan data dilakukan dengan observasi partisipasi, kajian data skunder, dan wawancara mendalam dengan seorang informan kunci dan sembilan belas informan yang berkompeten dijadikan narasumber untuk mengungkap kehidupan buruh
perempuan yang tergabung dalam KBCS. Analisa kualitatif-deskriptif dilakukan untuk mengungkap upaya yang dilakukan Kelompok Buruh Cimahi Selatan (KBCS) dalam memberdayakan kaum buruh; potensi dan kendala KBCS dalam memperjuangkan hak-hak kesejahteraan sosial buruh.
Kelompok Buruh Cimahi Selatan (KBCS) merupakan komunitas, yakni di antara anggota memiliki ikatan yang
kuat. Mereka memiliki cirri-ciri, yakni. (1) memiliki anggota yang berinteraksi dan bekerjasama satu dengan yang lainnya; (2) memiliki tujuan yang sama, yaitu menjalin solidaritas sesame buruh untuk meperjuangkan nasib dan keberadaannya; dan (3) memiliki aturan atau norma kelompok yang mereka taati bersama. Sebagai paguyuban sosial, KBCS berada di luar struktur pabrik. Ia lahir di sekitar komunitas buruh sebagai respon terhadap tuntutan kepentingan berserikat di kalangan kaum buruh (Murniasih,2004).
Selain menjadi anggota KBCS, mereka juga menjadi anggota serikat pekerja di masing-masing pabrik atau perusahaan dimana dia bekerja. Kelompok serikat pekerja yang ada di setiap pabrik sifatnya lebih formal dan ke dalam (lingkungan pabrik itu sendiri), sedangkan KBCS merupakan paguyuban buruh yang sifatnya koordinatif, informal, dan di luar manajemen pabrik. KBCS mampu menjadi wahana untuk memperjuangkan keinginan buruh. KBCS telah menjadi perkumpulan yang diakui dan diperhitungkan oleh pihak manajemen pabrik. Keberadaannya juga diterima oleh masyarakat dan institusi lain di luar pabrik, termasuk mendapat penagkuan oleh LSM dan Departemen Tenaga Kerja Kabupaten Bandung.
Kaum buruh membentuk Kelompok Buruh Cimahi Selatan (KBCS) pada tahun 1989. KBCS ini merupakan bagian dari Kelompok Buruh Cimahi (KBC). Mereka yang sebagian besar perempuan dan terhimpun dalam KBCS melakukan gerakan sosial buruh. Gerakan KBCS tidak hanya terbatas di lingkungan pabrik di Cimahi Selatan, tetapi juga turut tergantung dalam komunitas buruh yang lebih luas, yakni Kelompok Buruh Cimahi (KBC) dan Kelompok Buruh Bandung (KBB). Perjuangan kaum buruh yang tergabung dalam KBCS tersebut tidak berdiri
sendiri. Kenberadaannya didukung oleh masyarakat, terutama LSM peduli buruh dan gerakan mahasiswa.
KBCS memiliki peran yang sangat penting sebagai ajang komunikasi dan informansi serta koordinasi antar anggotanya. Melalui wadah KBCS inilah kelompok buruh dapat melakukan kegiatan-kegiatan sosial. Kegiatan utama KBCS adalah memberikan bantuan atau dukungan kepada anggota yang sedang menghadapi masalah, baik masalah keuangan maupun masalah pekerjaan di pabrik. Melalui wadah KBCS, antaranggota dapat saling bantu dalam memecahkan masalah individual yang dihadapi, termasuk upaya mengayomi buruh perempuan. Gerakan penyadaran agar keum perempuan dapat memberdayakan dirinya melalui upaya peningkatan pengetahuan dan keterampilan teknis sesuai bidang pekerjaannya di pabrik. Buruh perempuan memerlukan pelatihan atau penataran. Menyadari akan pentingnya peningkatan pemahaman tentang dunia kerja yang digeluti kaum buruh, KBCS bekerja sama dengan pihak terkait secara reguler mengadakan pertemuan-pertemuan yang diikuti oleh para anggotanya. Dalam kaitan ini, kader KBCS yang masing-masing berada di basis pabrik berupaya mengkoordinasikan anggotanya untuk mengikuti penyuluhan atau pelatihan yang diselenggarakan oleh KBCS. Menurut penuturan seorang aktivitas buruh, pihak uyang bekerja sama dalam kegiatan KBCS ini adalah instansi pemerintah atau swasta yang memiliki kepentingan yang sama untuk membina kaum buruh, diantaranya adalah Departemen Tenaga Kerja, Lembaga Bantuan Hukum, LSM peduli perburuhan, kepolisian, Dinas Kesehatan, dan sebagainya. Lembaga-lembaga ini dalam beberpa hal memiliki kepentingan
yang sama dalam upaya pembinaan kaum buruh.
Materi penyuluhan atau pelatihan yang diadakan KBCS bagi anggotanya meliputi berbagai bidang pengetahuan yang dianggap penting untuk dipahami para buruh, di antaranya adalah sebagai berikut: (a) Undang-undang, pokok hukum, pearturan pemerintah yang berkaitan dengan perburuhan; (b) Hak dan tanggung jawab buruh/ pekerja: (c) Hak dan tanggung jawab perusahaan; (d) Hak memperoleh cuti haid dan cuti hamil: (e) Keselamatan kerja, dan (f) Asuransi kesehatan bagi buruh/pekerja dan lain-lain. Paket materi pelatihan ini merupakan bahan-bahan pengetahuan pokok yang perlu dipahami oleh kalangan buruh/pekerja. Kaum buruh yang berada di Cimahi Selatan juga sering menerima pengetahuan umum yang diberikan melalui penyuluhan-penyuluhan, baik oleh lembaga pemerintah maupun lemabaga swadaya masyarakat (LSM). Materi penyuluhan ini adalah sebagai berikut. (a) Kesehatan reproduksi; (b) Pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS; (c) Penanggulangan narkoba dan sebagainya.
Sebagai upaya peningkatan pengetahuan kaum buruh, kegiatan penyuluhan dan pelatihan-pelatihan diatas dianggap sangat penting bagi pekerja atau buruh. Para buruh menjadi lebih memahami tentang hak dan kewajibannya. Mereka juga lebih memahami tentang pentingnya keselamatan kerja serta pernyataan seorang aktivis buruh sebagai berikut.
“…………Penyuluhan atau pelatihan untuk anggota kami jelas penting. Rata-rata buruh di sini hanya berpendidikan SD . Tambahan informasi tentang masalah perburuhan dan pengetahuan umum seperti bahaya AIDS yang memang diperlukan………”
Buruh yang tergabung dalam KBCS umumnya memang masih berpendidikan rendah (SD,SLTP). Mereka dinilai kurang memahami permasalahan perburuhan, pengetahuan kesehatan keselamatan kerja, dan sebagainya yang seyogyanya dipahami. Oleh karena itu, mereka memerlukan tambahan informasi tentang dunia kerja dan masalah sosial-kesehatan yang berkembang di masyarakat.
Umumnya para buruh yang bekerja di pabrik-pabrik di Cimahi hanya mempunyai tugas yang monoton. Manajemen perusahaan kurang memberikan kesempatan bagi buruh rendah yang ingin maju meningkatkan bakat, dan keterampilan lain, yakni sebenarnya peluang tersedia di perusahaan yang bersangkutan. Harapan kaum buruh untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan khusus merupakan suatu keinginan yang wajar, tetapi dianggap tidak efektif. Upaya pengembangan keterampilan khusus akan lebih efektif apabila dilakukan dalam kelompok kecil (5-10 orang)di unit kerja masing-masing.
Upaya pemberdayaan buruh oleh KBCS dilakukan bagi buruh yang di PHK. Para buruh yang di-PHK memperoleh tambahan keterampilan yang diminatinya, yaitu pelatihan menjahit/konveksi, membuat sabun cuci, dan teknik penyablonan. Berikut penuturan salah seorang buruh:
“Biarpun sudah kena PHK kami tidak kehilangan pegangan karena masih punya pemasukan. Dengan mengerjakan order sambil melatih teman-teman seperti kami berupaya untuk tetap bertahan….”
KBCS memang terus berupaya mengadakan kegiatan untuk memberdayakan anggotanya, termasuk menyenggarakan pelatihan sablon dan konveksi bagi seluruh yang terkena PHK.
Pelatihan itu juga dimaksudkan sebagai dari sifat kemandirian KBCS sebagai serikat buruh yang berada di luar struktur manajemen pabrik. Buruh bukan hanya belajar mengenai dirinya sebagai orang lain tertindas, tetapi memiliki potensi dan bisa mengasah potensinya untuk melakukan perubahan (Sentral, 1999).
Secara umum buruh perempuan yang bekerja diberbagai pabrik di Cimahi Selatan selama ini kurang mendapat perhatian. Mereka masih berada dalam posisi yang tidak diperhitungkan, padahal kontribusi mereka sangat tinggi bagi produktivitas perusahaan. Buruh perempuan juga cenderung renta terhadap kekerasan dalam berbagai bentuk, baik fisik, verbal, maupun yang lainnya. Di antara mereka masih ada yang menerima tindakan diskriminatif dari perushaan, yang antara lain berupa gaji yang tidak dibayar atau rendah, kekerasan seksual tanpa mampu membela diri, ketidak mampuan mengakses/berekspresi ke dunia luar secara leluasa, jam kerja tanpa batas, dan sebagainya. Oleh karena itu, upaya pemberdayaan kelompok buruh perempuan seperti yang tergabung dalam KBCS merupakan bagian dari perjuangan buruh setempat untuk mendapatkan hak-hak kaum buruh yang selama ini masih terabaikan.
Beberapa pabrik di lokasi penelitian (Kelurahan Cibeureum) mengalami peristiwa demontrasi atau gerakan protes dari kaum buruh. Tuntutan atau demonstrasi yang dilakukan oleh buruh tersebut merupakan reaksi atas tindakan pabrik yang merugikan kaum buruh sekaligus sebagai tuntutan agar kaum buruh memperoleh hak-hak kesejahteraannya. Mereka terpaksa mengadakan demonstrasi agar keinginannya dipenuhi oleh pihak manajemen pabrik. Menurut Krisna Lestari (28 tahun) salah seorang buruh PT CITEX, seandainya pihak pabrik memperhatikan aspirasi kaum buruh,
maka protes dan demonstrasi tidak bakal berlangsung. Ia mengatakan sebagai berikut:
“……….Akibat rasa kesal yang menumpuk, maka kami melakukan demonstrasi. Pabrik membuat janji-jani saja, tetapi kenyataannya, di antara kami malah ada yang ditangkap, diintrogasi………….”
Seperti pernyataan lansung informan di atas pada dasarnya demonstrasi terjadi akibat akumulasi atas tindakan kesewenang-wenangan pihak pabrik. Kaum buruh tega melakukan protes kepada manajemen karena tuntutan mereka melalui jalan baik-baik tidak dipenuhi.
Sebagai reaksi terhadap manajemen yang telah bertindak tidak adil, dan tidak manusiawi, maka tindakan protes dan demonstrasi diadakan dengan skala besar, sasaran dan prilaku yang berbeda-beda. Ada demonstrasi yang dilakukan oleh lebih dari satu serikat buruh terhadap suatu perusahaan. Dalam hal ini, di samping aktivis buruh internal pabrik yang didemo, terlibat pula aktivis atau serikat buruh lain yang ikut berpartisipasi dalam melakukan aksi demo. Selain itu, ada demonstrasi dari beberapa serikat pekerja kepada beberapa pabrik secara kolektif. Perusahaan atau pabrik yang menjadi sasaran demo kolektif ini dianggap sama-sama melanggar hak-hak buruh. Seperti yang terjadi di Kelurahan Cibeureum, demonstrasi missal secara kolektif ini dapat di bedakan menjadi dua, yaitu (1) demonstrasi yang berisi penagduan, dan (2) demonstrasi yang berupa tuntutan kepada pihak manajemen pabrik.
Demonstrasi pengaduan biasanya ditujukan kepada pihak di luar manajemen, termasuk kepada camat, wali kota/bupati atau DPRD setempat. Hal ini diharapkan bahwa dengan melakukan pengaduan terhadap pimpinan wilayah atau wakil rakyat tersebut, maka
kepentingan pihak buruh dapat diperjuangkan. Wakil rakyat atau pimpinan wilayah (camat,bupati, dan walikota) diharapkan dapat menggunakan kekuatan politiknya untuk mempengaruhi pihak manajemen pabrik agar mengabulkan tuntutan dan permintaan kaum buruh. Apabila demonstrasi pengaduan kepada wakil rakyat atau pimimpinan daerah tidak mendapatkan hasil, maka kaum buruh melakukan gerakan dalam bentuk demonstrasi tuntutan secara missal yang ditunjukan langsung kepada pihak pabrik.
KBCS telah memberikan banyak bantuan langsung dalam
memperjuangkan mereka. Berbagai permasalahan yang dihadapi kaum buruh dapat tertangani bersama KBCS. Matrik 3.1 ini berisi jenis-jenis masalah dan upaya pemecahannya yang melibatkan KBCS.
Matrik 3.1
Berbagai Masalah Kaum Buruh Dan Upaya Pemecahannya
Yang Melibatkan KBCS
Masalah yang dihadapi anggota KBCS |
Stakeholders yang membantu KBCS |
Mencari kos/tempat tinggal bagi pendatang/buruh baru |
KBCS dan kepala lingkungan setempat |
Memberikan pertimbangan kepada pihak manajemen pabrik agar tidak mem-PHK anggotanya |
KBCS dan serikat pekerja di masing-masing pabrik, Depnaker, dan LBH> |
Upaya menuntut kelayakan upah buruh |
Serikat pekerja di masing-masing pabrik, Depnaker, |
LSM, dan Media massa | |
Menuntut upaya keselamatan kerja pada perusahaan |
KBCS dan serikat pekerja di masing-masing pabrik |
Mengembangkan asuransi kesehatan bagi kaum buruh |
KBCS dan serikat di masing-masing pabrik, Depnaker. |
Memperoleh perlindungan hukum, dsb |
KBCS dan serikat pekerja di masing-masing pabrik dan LBH |
Matrik di atas menunjukan bahwa berbagai masalah yang dihadapi kaum buruh bisa mendapatkan jalan keluarnya berkat bantuan KBCS. Upaya pemecahan masalah yang dihadapi kaum buruh juga melibatkan pihak terkait, termasuk keterlibatan ketua lingkungan, Departemen Tenaga Kerja, serikat pekerja masing-masing pabrik, dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH).
Selain KBCS memiliki manfaat yang positif bagi anggotanya. Anggotanya merasa tertolong dan mendapatkan hak-haknya kembali berkat bantuan kelompok solidaritas kaum buruh di tingkat bawah. KBCS muncul sebagai upaya pengembangan solidaritas di kalangan kaum buruh, khususnya di daerah Cimahi Selatan.
Kaum perempuan cenderung berpusat di pojok bawah semua subsektor. Dalam hal ini mereka banyak ditemukan dalam usaha-usaha yang paling kecil dengan modal rendah, teknologi sederhana dan kegiatan-kegiatan yang terbatas. Pilihan untuk buruh-perempuan terletak pada kenyataan bahwa upah untuk mereka bisa, lebih rendah dan kaum perempuan dianggap lebih patuh (Haryadi, 1994).
Secara keseluruhan kelompok buruh perempuan memperoleh pendapatan yang lebih rendah. Di samping itu, ada lebih banyak wanita tenaga keluarga tanpa upah dibandingkan laki-laki. Kaum perempuan yang mangang sering tidak dibayar, tatapi laki-laki memperoleh bayaran meskipun sangat sedikit. Upaya memperjuangkan hak pekerja perempuan perlu dikembangkan. Buruh perempuan perlu diberi akses untuk memperoleh pelatihan keterampilan baru. Hal ini perlu dilakukan karena perempuan ditemukan di pojok bawah semua subsektor dan didalam sektor-sektor yang mandeg, pekerjaan-pekerjaan yang dipisahkan sedemikian rupa sehingga mereka melakukan pekerjaan yang kurang terampil dengan bayaran paling rendah, dan perempuan sebagai buruh upahan wanita kurang mempunyai akses terhadap sumber daya dibandingkan laki-laki (Grijins,1992:200).
Dengan melihat kenyataan bahwa buruh perempuan selalu berada dalam keadaan termarginalisasikan maka KBCS terus memberdayakan anggotanya untuk dapat eksis dan berupaya meningkatkan skill agar mampu bersaing dengan kaum laki-laki. KBCS juga terus berupaya untuk memotivasi agar kaum buruh perempuan memiliki keadarannya, sehingga dapat mengukur tingakat kemampuannya serta mengerti hak dan kewajiban sebagai buruh di masing-masing unit kerjanya.
Perempuan tergabung dalam KBCS setidaknya mempunyai dua peranan. Pertama, mereka sebagai anggota serikat pekerja, baik yang tergabung dalam kelompok-kelompok informal di sekitar pabrik, termasuk yang terjadi anggota KBCS maupun sebagai serikat pekerja di setiap pabrik. Kedua, mereka berperan sebagai bagian dar anggota keluarganya di kampung. Semua informan menyatakan bahwa kepergiannya dari kampung halaman ke Jawa Barat,
khusunya ke daerah Cimahi Selatan ini adalah mencari penghasilan demi menunjang ekomoni keluarga. Sebagian besar keluarga mereka yang ada di kampung sangat mengharapkan agar keluarganya yang menjadi buruh atau pekerja di perkotaan ini dapat membantu perekonomian keluarga.
-
3.2. Potensi dan Kendala dalam Upaya Peningkatan Kesejateraan Kaum Buruh
Potensi yang dimiliki KBCS ini secara umum dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu potensi sumber daya manusia (SDM) pendukung keberadaan KBCS dan potensi KBCS sebagai organisasi sosial buruh yang berada di luar struktur pabrik. Dari segi SDM, tenaga kerja buruh tersedia secara melimpah. Disamping itu, SDM buruh ini merupakan tenaga kerja yang sangat potensial. Sebagaimana yang dapat ditemui diwilayah Kecamatan Cimahi Selatan, tenaga buruh tersebut tidak hanya berasal dari wilayah Jawa Barat, tetapi juga datang dari daerah-daerah lain di Indonesia. Sebagian besar buruh perempuan yang mencari pekerjaan di wilayah Kelurahan Cibeureum berasal dari daerah pedesaan di Pulau Jawa dan Luar Jawa, termasuk Pulau Sumatera.
Potensi lain yang melekat pada kaum buruh pendukung KBCS adalah mereka menghendaki pengakuan dan perlakuan yang lebih manusiawi dari perusahaan. Mereka ingin menjadi mitra perusahaan bukan hanya sebagai tenaga buruh yang cenderung berkonotasi sebagai alat produksi.
Di samping potensi yang melekat pada pendukungnya, yakni kaum buruh itu sendiri, potensi organisasi KBCS adalah eksistensinya sebagai LSM buruh yang berada diluar struktur pabrik yang independen. Keberadaan KBCS yang tidak terkooptasi oleh kekuatan pabrik
telah membuatnya lebih mandiri untuk memperjuangkan anggotanya. Hal ini diakui oleh salah seorang aktivis buruh sebagai berikut.
“……….KBCS relative mandiri, karena kami tidak dipengaruhi oleh serikat buruh yang ada di pabrik. Hanya ingin memperjuangkan kepentingan anggotanya…………….”.
Upaya untuk memperjuangkan kaum buruh merupakan tujuan dasar KBCS. Seperti pernyataan aktivis buruh di atas, bahwa KBCS adalah organisasi yang independen. Keberadaannya tidak tersubodinasi oleh kekuatan struktur pabrik tertentu sehingga perjuangannya diharapkan murni untuk kepentingan kaum buruh. Untuk itulah KBCS terus berupaya melakukan kegiatan yang bertujuan untuk memberdayakan anggotanya.
Tidak semua masalah yang dihadapi oleh kaum buruh dapat diselesaikan oleh KBCS, oleh karena itu KBCS masih memiliki beberapa kelemahan. Pertama, KBCS hanyalah kelompok buruh yang bersifat paguyuban yang muncul dari bawah yakni kelompok buruh rendahan. Di samping itu, KBCS hanya bersifat informan dan berperan sebagai fasilisator bagi buruh untuk memperjuangkan aspirasi buruh di hadapan managemen perusahaan.
Perjuangan KBCS masih menemui hambatan, termasuk hambatan yang justru berasal dari kalangan serikat pekerja sendiri. Dalam kaitan ini, ternyata muncul serikat pekerja yang berpihak kepada perusahaan. Perjuangan KBCS masih akan menemui hambatan apabila tidak saing didukung oleh pihak eksternal terkait, termasuk media massa, LBH, dan gerakan mahasiswa. Kenyataannya, dukungan pihak luar tidak selalu mendampingi gerakan buruh (KBCS). Media massa misalnya belum bisa mengetahui kejadian di lingkungan
pabrik yang merugikan pihak buruh sehingga masyarakat umu tidak mengetahui masalah yang sebenarnya. Begitu pula LBH tidak bisa berbuat apa-apa apabila mereka tidak memiliki cukup bukti bahwa pihak perusahaan telah bertindak adil terhadap buruh. Oleh karena itu dukungan pihak-pihak terkait ini sangat dibutuhkan dalam perjuangan KBCS.
Apa yang terjadi di Cimahi Selatan pada dasarnya merupakan proses peminggiran buruh. Seperti halnya peminggiran kelompok-kelompok infrastruktur, upaya peminggiran buruh akan melahirkan ketidakpuasaan, penurunan kualitas manusia (Indonesia) dan juga menimbulkan perlawanan. Kelahiran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti KBCS bersama dengan kebangkitan arus bawah (grass root) merupakan konskuensi dari peminggiran tersebut. Masyarakat arus bawah dimengerti sebagai agen, aktor politik yang sadar, dan memiliki kemampuan tertentu untuk memahami serta bertindak atas peristiwa yang ada di sekitarnya.
Sebagian buruh di Indonesia saat ini “bagai jatuh tertimpa tangga”, karena kenaikan harga kebutuhan pokok menjadi beban bagi buruh yang hidup dari penghasilan yang pas-pasan. Bila pengusaha tidak mampu membayar upah minimum regional (UMR) sesuai dengan ketetapan pemerintah, maka pemerintah tidak akan mungkin melakukan PHK dan mengurangi biaya produksi. Keputusan ini dikatakan mendukung pernyataan Asosiasi Persatuan Indonesia (APRISINDO) bahwa sebagian besar industry padat karya sudah melakukan perampinagn karyawan karena adanya gejolak moneter, bahkan sudah ada yang di-PHK untuk mengurangi biaya produksi (Bisnis, 2 Januari 1998).
Potret ketidakberdayaan dan proses yang membuat buruh tidak berdaya dapat dilihat dari tiga faktor: (a)
Represi, ketika buruh mencoba “beraktivitas” dan “berjuang” menyangkut hak-haknya dalam bekerja yang dimilikinya maka segala macam bentuk intimidasi, terror, pemecatan, dan sebagainya pasti menimpanya. Bentuk represi ini tidak dalam bentuk kekerasan fisik, tetapi terorganisasi dan sistematis tertuang dalam bentuk peraturan atau perundang-undangan perburuhan, baik secara langsung maupun tidak langsung merugikan dan merampas hak-hak kaum buruh; (b) Resistensi, bentuk berupa perlawanan tentang masalah upah, perlawanan yang tidak pernah habis-habisnya dan memiliki dua dimensi, yakni dimensi ekonomi dan politik: (c) Subsistens, konsekuensi dari adanya represi dan resistensi yang hadir secara berkesinambungan akan terjadi penurunan kualitas hidup buruh. Penurunan kualitas buruh terlihat dalam
tiga aspek yaitu, menggambarkan secara jelas subsitem buruh secara ekonomi adalah aktivitas atau strategi adaptasi dilakukan buruh dalam menyiasati situasi ekomoni yang hidup serba pas-pasan. Aspek politik, secara politisi terjadi aliansi politik buruh, sehingga buruh menjadi sangat terasing hingga hak-hak politiknya nyaris hilang. Aspek sosial, sosialisasi kehidupan buruh terjadi tidak seimbang karena terbatasnya waktu untuk melakukan interaksi sosial sebagai akibat terkonsentrasinya pada kegiatan ekonomi.
Sebagai salah satu bentuk perjuangan serikat buruh, KBCS masih memerlukan perjuangan yang panjang. Sesuai dengan teori kritis masyarakat ang dikemukakan Habermas dan Karl Marx,
gerakan emansipasi yang diperjuangkan oleh KBCS merupakan upaya perbaikan nasib buruh perempuan. Perjuangan kaum buruh tersebut juga sesuai dengan teori gender dari pendukung postfeminisme yang berupaya memperjuangkan emansipasi kaum
perempuan dalam mendobrak budaya patriarkhi. Kaum perempuan menghendaki adanya kesetaraan hak dan keadilan (Arivia,2000).
Sebagai bagian dari wadah perjuangan kaum buruh, KBCS perlu lebih diberdayakan. Oleh karena itu, hubungan segitiga industry perlu diorientasikan karena kebijakan pemerintah yang berupaya menyejahterakan kaum buruh ini belum dapat diimplementasikanoleh pihak manajemen perusahaan/pabrik sebagaimana mestinya. Begitu pula Hubungan Industrial Pancasila perlu ditinjau ulang karena ternyata kaum buruh belum sepenuhnya diakui sebagai pihak yang penting dalam perusahaan. Mereka hanya dianggap sebagai alat produksi dan dijadikan sebagai mitra perusahaan yang memiliki peranan penting dalam kemajuan perusahaan
KBCS merupakan suatu bentuk pranata sosial buruh atau paguyuban yang bertujuan menyalurkan aspirasi, dan membela hak-hak kaum buruh yang dilanggar oleh pihak manajemen pabrik. Dengan bekerja sama dengan stakeholders lainnya, KBCS meningkatkan wawasan para buruh tentang berbgai kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan perburuan, hak dan tanggung jawab buruh/pekerja, sehingga mereka memahami tentang hak dan kewajibannya, dan memahami tentang pentingnya keselamatan kerja.
Keberadaan KBCS merupaan bagian dari upaya pemberdayaan kaum buruh yang telah di-PHK agar tetap eksis dan berupaya meningkatkan skill yang dimilikinya. Dalam upaya peningkatan kesejahteraan buruh, KBCS meiliki potensi dan kendala. Potensi yang dimiliki KBCS adalah para buruh yang berada di luar struktur pabrik yang siap dibina untuk pengembangan dirinya.
Namun, kendalanya para buruh sebagian besar berlatar belakang pendidikan rendah dan tidak memiliki keterampilan khsusnya sehingga mereka hany menjadi tenaga buruh rendahan. Kendala lain, adanya kebijakan pabrikyang masih otoriter dan dukungan LSM/LBH yang masih belum efektif sehingga perjuangan KBCS tidak selalu berhasil
Daftar Pustaka
Abdullah,Irwan (Editor). 1997. Sangkan Paran gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ariva, Gadis. 1996. Mengapa Perempuan Disiksa, dalam Jurnal Perempuan No.1 1996. Jakarta: Yayasan Jurnal
Perempuan.
Ariva, Gadis. 1996. Post Feminisme: Feminisme telah Mati. Jurnal Perempuan” No 14, 1996. Jakarta: Yayasan
Jurnal Perempuan.
Ariani,I Gusti Ayu Agung. 1986.
Pengaruh Priwisata
terhadap Status Sosial
Wanita Bali dalam
Pembangunan: Studi Kasus di Desa Mas Gianyar Bali Tesis S2. Pusat
Kependudukan Universitas Gdjah Mada, Yogyakarta.
Anonim, 1996. Pola Konsumsi Buruh. Bandung : Diterbitkan
untuk Kampanye Upah 1996.
Anonim. 1998. Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial,
Pergolakan Ideologi LSM Indonesia. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar Offset.
Anonim. 1999. Annalisis Gender dan Transformasi Sosial.
Jakarta: Pustaka Pelajar.
Anonim. 1993. Masalah
Kesukubangsaan dan
Integrasi Nasional. Jakarta: Universitas Udaya Press.
Anonim. 1995. Metode Penelitian Berperspektif Wanita dalam Riset Sosial. Jakarta: Program Studi Kajian
Wanita Program pasca
Sarjana Universitas
Indonesia, Jl Salemba Raya no. 4. Bagus, I Gusti
Ngurah. 1997. Masalah
Budaya dan Pariwisata dalam Pembangunan.
Denpasar: Program studi
Magister (S2) Kajian
Budaya Universitas
Udayana.
Bappeda TK I Jawa Barat dan PPLH_ITB. 1994.
Perkembangan Industri,
TPAK Wanita dan
Dampaknya di Jawa Bara. Bandung: Bappeda TK I Jabar dan PPLH-ITB.
Bainar |
(editor). 1998. |
Wacana |
Perempuan |
dalam | |
Keindonesiaan |
dan | |
kemodernan. |
Jakarta: | |
Pustaka CIDSINDO. |
Bashin, K. 1996. Menggugat Patriarkhi: Pengantar tentang
Persoalan Dominasi
terhadap Kaum Perempuan. Yogyakarta: Yayasan
Benteng Budaya.
Bashin, K dan Nighat Said Kha. 1993. Persoalan Pokok Mengenai Feminisme dan
Relevansinya. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama Bekerja sama dengan Kalyanamitra.
Budiman, Arief. 1985. Pembagian Kerja Secara Seksual: Sebuah
Pembahasan Sosiologis
tentang Peranan Wanita di dalam Masyarakat. Jakarta: Gramedia.
Budiono. 1999. Hukum Perburuan Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Dedy, Haryadi dan Indrasari Tjandraningsih. 1995.
Buruh Anak dan Dinamika Industri Kecil. Bandung: Yayasan Akatiga.
Fakih, Mansour. 1997. Menggeser KonsepsiGender dan
Informasi Sosial. Jakarta Pustaka Pelajar.
Grijins, Mies dkk. (Penyunting). 1992. Gender, Marginalisasi dan Industri Pedesaan:
Pengusaha Pekerja Upahan dan Pekerja Wanita di Jawa Barat. Bandung: Proyek Penelitian Sektor Non Pertanian Pedesaan Jawa Barat.
Murniasih, A.A Ayu. 2004. Strategi Adaptasi Kelompok Buruh Cimahi Selatan Dalam Memperjuangkan Hak-Hak Kesejahteraan Sosialnya: Suatu Tinjauan Gender. Tesis. Denpasar: Program Magister Program Studi Kajian Budaya, Program Pascasarjana, Universitas Udayana.
Nursjahbani, kantjasungkana dkk. (penyunting). Pelaksaan Konveksi Penghapusan
Segala Bentuk Deskriminasi terhadap Perempuan.
Jakarta: Laporan kepada
Komite PBB.
Keringatnya. Yogyakarta: PPMI.
, 1999. Laporan Kerja Tahun 1999 Pemerintahan Kelurahan Cibeureum, Kecamatan Cimahi Selatan.
, 1993. Perencanaan dan Tata Ruang (RUTR) Kotib Cimahi, Kompilasi data Pemerintahan Kabipaten Bandung 1993.
, 2000. Untuk kemerdekaan Kaum Buruh, Buletin Central Edisi VII/Tahun I/Mei 2000.
Sudjana, Eggi. 2000. Bayarlah Upah
Sebelum Kering
Discussion and feedback